• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Kadar Magnesium Dan Ferritin Serum Dengan Frekuensi, Durasi Dan Intensitas Migren

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Antara Kadar Magnesium Dan Ferritin Serum Dengan Frekuensi, Durasi Dan Intensitas Migren"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. MIGREN

II.1.1. Definisi Migren

Migren telah diderita umat manusia selama berabad-abad. Diskripsi serangan migren akut muncul pada awal abad kedua Masehi pada tulisan Aretaeus of Cappadocia. Istilah migren berasal dari kata Yunani kuno hemikranios yang berarti “half head” (Boes dkk, 2004).

Migren adalah nyeri kepala berulang dengan manifestasi serangan selama 4-72 jam, yang bersifat unilateral, berdenyut, intensitas sedang atau berat, dimana nyeri akan bertambah berat dengan aktifitas fisik yang rutin dan diikuti dengan nausea dan/atau fotofobia dan fonofobia. Keluhan nyeri kepala dapat didahului dengan gejala aura (Sjahrir dkk, 2013).

Migren merupakan nyeri kepala episodik dengan perubahan neurologis, gastrointestinal dan otonom. Faktor genetik penting pada migren, namun pola pewarisanspesifik belum ditetapkan (Adams, 2008).

II.1.2 Epidemiologi Migren

(2)

10-20% setahun, pria 6% dan wanita 15-18%, dimana migren dengan aura 4% sedangkan migren tanpa aura 6% (Sjahrir,2008).

Sedangkan di Indonesia, dari hasil penelitian berbasis rumah sakit pada 5 rumah sakit besar di Indonesia, didapatkan prevalensi penderita migren tanpa aura 10%, dan migren dengan aura 1,8% dari seluruh nyeri kepala primer (Sjahrir, 2004).

Prevalensi tertinggi penderita migren terjadi antara usia 25 dan 55 tahun. Prevalensi tertinggi pada wanita dibanding pria dengan rasio bervariasi antara 2:1 saat 15 tahun, meningkat menjadi 3.5:1 pada usia 39 tahun, dan menurun menjadi 2.5:1 pada usia 70 tahun. Sekitar 57% pria dan 76% wanita mengalami satu atau lebih serangan migren perbulan (O’sullivan dkk, 2006).

II.1.3 Klasifikasi Migren

Migren berdasarkan The International Classification of Headache Disorders, 2nd Edition termasuk dalam kelompok nyeri kepala primer (The International Headache Society, 2004).

Berdasarkan The International Classification of Headache Disorders, 2nd Edition (2004), klasifikasi migren adalah sebagai berikut:

1. Migren tanpa aura 2. Migren dengan aura

(3)

2.3. Aura tipikal tanpa nyeri kepala 2.4. Familial hemiplegik migren 2.5. Sporadik hemiplegik migren 2.6. Migren tipe basiler

3. Sindroma periodik pada anak yang sering menjadi prekursor migren

3.1. Cyclical vomiting 3.2. Migren abdominal

3.3. Benigna paroksismal vertigo pada anak 4. Migren Retinal

5. Komplikasi migren 5.1. Migren kronik 5.2. Status migrenosus

5.3. Aura persisten tanpa infark 5.4. Migrenous infark

5.5. Migraine-triggered seizure 6. Probable migren

(4)

II.1.4. Patofisiologi Migren

Patogenesis migren masih belum sempurna dipahami, namun terdapat lima faktor penyumbang yang telah teridentifikasi, yaitu: 1) abnormalitas genetik, 2) perubahan endokrin dan ketidakseimbangan elektrolit, 3) hipereksitabilitas neuronal pada neuron korteks serebral, secara sementara atau kronik, khususnya pada regio oksipital, 4) cortical spreading depression,dan 5) aktivasi nervus trigeminal, baik perifer atau sentral, sebagai suatu pemicu untuk induksi serangan migren. Faktor tersebut diatas sendiri maupun kombinasi dipercaya menjadi indeks kunci formasi migren (O’Sullivan dkk, 2006).

(5)
(6)
(7)

dorsalis (nukleus utama serotonergik), dan locus ceruleus (nukleus utama noradrenergik). Nosiseptor di daerah ganglion trigeminal (transmisi first-order) menjadi peka, menyebabkan sensitisasi nukleus kaudatus trigeminal (transmisi second-order), menyebabkan sensitisasi nukleus batang otak dan talamus (third order). Proyeksi jaringan thalamokortikal, sebagai jaringan utama neuron trigeminovascular-sensitive dari talamus ke wilayah luas korteks adalah memainkan peranan penting dalam transmisi sinyal nosiseptik dari meningen ke korteks (Maizels dkk, 2012).

Gambar 1. Jalur neurolimbik migren, PAG sebagai generator migren.

(8)

Functional brain mapping dengan PET menunjukkan adanya aktivasi midbrain dorsalis, termasuk periakuaduktus grisea (PAG), dekat locus coeruleus pada studi selama mgren tanpa aura. Aktivasi pons dorsolateralis tampak dengan PET pada migren episodik spontan dan kronik. Besi berlebihan yang tercatat pada PAG pasien dengan migren episodik dan kronik (Goadsby, 2012).

II.1.5. Manifestasi Klinis Migren

Terdapat lima fase migren, yaitu: 1) premonitory, 2) aura, 3) nyeri kepala, 4) resolusi nyeri kepala, 5) postdromal. Fase premonitory mengenai 40% hingga 60% pasien penderita migren dan termasuk behavior, emosional, autonom dan gangguan pokok lain yang muncul satu atau dua hari sebelum nyeri kepala. Gangguan ini mungkin seperti gangguan tidur, keinginan makan, kelelahan, menguap, depresi dan euforia. Pencetus migren tanpa aura kemungkinan komponen fase premonitory tersebut diatas (Adams, 2008).

(9)

Keluhan lain, yaitu fatigue, perubahan emosional, abnormalitas sensorik, dan retensi cairan. Jangka waktu untuk fase nyeri kepala bervariasi antara 4 hingga 72 jam. Keluhan fase postdromal biasanya adalah keluhan kelelahan dan kebingungan mental yang dapat berlangsung untuk satu atau dua hari (Adams, 2008).

Fase klinis migren dari literatur lain dibagi menjadi tiga fase, yaitu: fase pre-nyeri kepala, fase nyeri kepala dan fase resolusi. Fase pre-nyeri kepala termasuk fase premonitory dan aura migren, yang mendahului fase nyeri kepala yang berlangsung beberapa jam hingga hari. Gejala fase premonitory dominan fisik dan somatik sedangkan manifestasi fase aura lebih gejala neurologis. Sedangkan fase resolusi atau postdromal terkadang disebut sebagai “migraine hangover”. Walaupun ketiga fase ini mengkarakteristikan stadium migren, banyak pasien tidak mengalami model khas ini, terkadang mereka mengalami hanya beberapa gejala klinis. Dan, kriteria diagnosis migren menurut the International Headache Classification membutuhkan dua dari empat karakteristik nyeri dan hanya satu dari dua keluhan yang menyertainya (DeMaagd, 2008).

ii.1.6. Diagnosis Migren

(10)

• Lokasi unilateral

• Nyeri kepala berdenyut

• Intensitas nyeri sedang hingga berat

• Nyeri makin berat bila aktifitas fisik ( berjalan atau menaiki tangga) Dan tambahan, selama nyeri kepala, pasien harus memiliki gejala setidaknya satu dari kriteria dibawah ini, yaitu:

• Mual dan/atau muntah

• Photofobia dan phonofobia.

II.2. MAGNESIUM

Magnesium merupakan elemen penting yang mengkontrol fungsi adenosine triphosphate normal, metabolisme glukosa dan beragam fungsi seluler lain. Elemen ini juga terlibat dalam fungsi otot skeletal dan kardiak dan kontraksi sitokeleton (Mauskop dkk, 2012).

(11)

Hipomagnesium adalah umum, terjadi sekitar 14,5% pada populasi umum (Mauskop dkk, 2012).

Magnesium diserap dalam saluran pencernaan, melalui saluran epitel usus di ileum serta oleh sistem ginjal di tubulus distal dan lengkung Henle nefron. Absorbsi ion Mg dan Ca diregulasi oleh kelenjar paratiroid. Penyerapan magnesium dipengaruhi oleh asupan protein serta fosfat dan lemak. Magnesium diet dikeluarkan melalui urin, namun secara iatrogenik, pemberian magnesium oral dapat dieksresikan melalui feses (Yablon dkk, 2011).

Sulit untuk mengukur kadar magnesium secara akurat, oleh karena magnesium pada peredaran darah hanya mewakili 2% magnesium total tubuh. Pengukuran magnesium terionisasi atau kadar magnesium sel darah merah dianggap kemungkinan lebih akurat, namun pemeriksaan laboratorium ini lebih sulit dan membutuhkan biaya lebih mahal (Tepper, 2013).

(12)

Fosfat anorganik (inorganic phosphate/PI), phosphocreatine (PCr) dan ATP adalah ligan pokok Mg2+ diantara molekul terfosforilasi yang hadir pada sel sitosol (gambar 2). Namun, pada matriks sitosol, magnesium berikatan primer pada ATP membentuk MgATP2-, yang merupakan jenis aktif pada ikatan enzim serta menghasilkan energi dalam bentuk transportasi aktif dan kontraksi muskular (Lotti dkk, 2011).

Dari hasil penelitian kohort diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan cytosolic [Mg2+] pada usia dan jenis kelamin. Kini, setelah pengukuran cytosolic [Mg2+] dapat dilakukan membuka peluang penelitian untuk mempelajari keterlibatan magnesium pada patologi neurologik yang berbeda-beda. Terutama yang menarik adalah mitochondria cytopathies dan migren, dimana produksi energi mitokondria rusak adalah masing-masing penyebab utama atau diduga faktor patogenetik (Lotti dkk, 2011).

(13)

Gambar 2. Skema molekul utama terfosforilasi pada sel sitosol otak.

Kadar magnesium serum adalah 0.7- 1.0 mmol/L (1.8 – 2.4 mEq/L). Kadar magnesium serum mungkin tampak normal bahkan pada kasus defisiensi intraseluler, dan hipomagnesemia sejati adalah umum, kemungkinan karena kekurangan asupan atau absorbsi, ekskresi berlebihan melalui urin atau diare atau faktor genetik (Yablon dkk, 2011).

II.3. FERRITIN

(14)

proses metabolik otak, yang berimplikasi pada pemakaian besi relatif tinggi. Besi heme secara primer disimpan dalam protein ferritin non-toksik, namun dapat juga hadir dalam bentuk larut tidak terlindung. Besi ini dapat menjadi toksik karena ia dapat mengkatalisasi pembentukan radikal bebas, yang dapat menuju ke kerusakan DNA, protein dan sel neuron (Kruit dkk, 2009; Zecca dkk, 2004).

Homeostasis global besi diregulasi pada tingkat penyerapan besi dari traktus gastrointestinal, dimana sebanyak 1-2 mg besi diserap per hari, dan jumlah yang sama dieksresikan. Protein penting yang terlibat dalam regulasi besi adalah Haemochromatosis gene (HFE), transferrin (Tf), iron regulatory protein (IRPs) dan transferrin receptor (TfR), dimana HFE, Tf dan TfR saling berinteraksi satu sama lain sedangkan IRPs berinteraksi dengan dengan mRNA ferritin dan TfR (Zecca dkk, 2004).

Kebanyakan sel mengambil besi dari diferric transferrin (Tf-Fe2)

melalui TfR dan transferrin-to-cell cycle. Setelah berikatan dan internalisasi kompleks Tf-Fe2 – TfR, besi dilepaskan dari transferrin dalam

(15)

kembali ke membran plasma, dimana ia kemudian dilepaskan kedalam sirkulasi (Zecca dkk, 2004).

Gambar 3. Siklus Transferrin

(16)

besi yang mungkin berisi sebanyak 4000-4500 atom. Ferritin sebagai penyimpanan utama besi bersifat non-toksik dan larut namun bentuk bioavailable yang esensial sebagai mineral fase ferrhydrite. Di dalam tubuh, sejumlah kecil ferritin disekresikan ke dalam plasma darah. Konsentrasi ferritin plasma ini (atau serum) berkorelasi positif dengan ukuran total penyimpanan total besi tubuh tanpa adanya inflamasi. Nilai ferritin serum yang rendah mencerminkan penyimpanan besi telah habis (Zecca dkk, 2004; WHO, 2011).

Konsentrasi ferritin yang normal bervariasi menurut usia dan jenis kelamin. Konsentrasi tinggi saat lahir, meningkat selama dua bulan pertama kehidupan, dan kemudian turun selama masa bayi. Pada sekitar usia satu tahun, konsentrasi mulai naik kembali dan terus meningkat hingga dewasa. Dimulai pada masa remaja, bagaimanapun, pria memiliki nilai yang lebih tinggi daripada wanita, sebuah tren yang berlanjut hingga usia lanjut. Kadar puncak diantara pria antara usia 30-39 tahun dan kemudian cenderung untuk tetap konstan sampai usia sekitar 70 tahun. Diantara wanita, nilai ferritin serum relatif tetap rendah sampai usia menopause dan kemudian meningkat. Kadar ferritin tubuh, berbeda dengan hemoglobin, tidak terpengaruhi oleh elevasi tempat tinggal di atas permukaan laut atau perilaku merokok (WHO, 2011).

(17)

yang dapat mengkatalisasikan oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ dengan cepat, sementara rantai L dianggap berfungsi dalam nucleation mineral inti dalam kerangka protein. Ferritin yang kaya dengan rantai L berhubungan dengan penyimpanan besi, sedangkan ferritin rantai H berhubungan dengan respon terhadap stress (Zecca dkk, 2004).

Pada otak, semua tipe sel otak mempunyai kapasitas untuk menyimpan besi namun dengan jumlah yang berbeda-beda. Sel neuron mengekspresikan kebanyakan H-ferritin, sedangkan L-ferritin lebih banyak diekspresikan oleh mikroglial dan oligodendrosit mengeskpresikan kedua subunit dengan jumlah yang sama. Secara keseluruhan, kadar H- dan L-ferritin pada neuron jauh lebih rendah dibandingkan pada oligodendrosit. Sementara astrosit hanya mengekspresikan sejumlah kecil ferritin. Tiga protein yang dapat mentransportasikan besi tampak berikatan di otak. Transferritin reseptor (TfR) tampak predominan pada neuron, ikatan transferritin (Tf) kelihatan eksklusif pada substansia grisea dan ikatan ferritin tampak pada traktus substansia alba (Zecca dkk, 2004).

II.4. HUBUNGAN MAGNESIUM DENGAN MIGREN

(18)

konsentrasi seluler dapat menjadi indikator kadar rendah di serebral, yang menambah terhadap penurunan ambang untuk nyeri kepala migren. Penderita migren mungkin menjadi defisiensi magnesium berhubungan pada ketidakmampuan genetik untuk mengabsorbsi magnesium, pembuangan magnesium renal yang diturunkan, ekskresi jumlah magnesium berlebihan oleh adanya stress, asupan nutrisi rendah. Defisiensi magnesium mungkin terjadi hampir setengah penderita migren (Mauskop dkk, 2012).

Faktor genetik secara jelas mempunyai peranan dalam kerentanan terhadap nyeri kepala migren, yaitu DRD2. Absorbsi dan ekskresi

magnesium juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Ada kemungkinan bahwa terdapat suatu hal yang saling melengkapi antara genetik, migren dan metabolisme magnesium (Mauskop dkk, 2012).

(19)

Bukti terkuat efektivitas terapi magnesium (400-500 mg/hari) pada pasien migren dengan aura adalah pencegahan gelombang sinyal otak CSD yang menghasilkan perubahan visual dan sensorik (aura). Mekanisme lainnya adalah meningkatkan fungsi platelet dan menurunkan pelepasan atau memblok kimiawi transmisi nyeri di otak seperti substansi P dan glutamat. Magnesium juga mencegah vasokontriksi pembuluh darah otak akibat oleh neurotransmiter serotonin (Tepper, 2013).

Nitric oxide (NO) berperan sebagai modulator sinaptik, yang mempengaruhi pengolahan nosiseptik selain keterlibatannya dalam pengaturan pembuluh darah baik intrakranial maupun ekstrakranial. Hal ini menambah bangkitan arus oleh reseptor NMDA, sehingga menfasilitasi transmisi glutaminergik yang dapat dihambat oleh magnesium. Produksi NO dapat dihambat oleh kadar magnesium menurun (Yablon dkk, 2011).

(20)

Penelitian kasus kontrol Samaie dkk menentukan kadar total magnesium serum pada saat serangan migren dan diantara serangan migren pada 50 penderita migren dibandingkan dengan kelompok orang sehat. Penelitian ini memperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan kadar total Mg serum dalam dan di antara serangan migren (1.86±0.41 mg/dl versus 1.95±0.35 mg/dl, p = 0.224). Namun, kadar total Mg serum penderita migren lebih rendah dibandingkan pada kelompok kontrol (Samaie dkk, 2012).

(21)

Transmisi sinaps yang terjadi pada CSD menyebabkan pemindahkan blok voltage-sensitive Mg2+ reseptor NMDA, dan sensitisasi reseptor untuk sedikit meningkatkan glutamat interstitial. Adanya interaksi glutamat dengan reseptor NMDA akan mencetuskan proses CSD dari awal kembali (Lauritzen dkk, 2011).

Nitric oxide merupakan molekul signaling yang terlibat dalam regulasi aliran darah serebral dan ekstraserebral dan diameter arteri, serta memainkan peranan sebagai modulator sinaptik dan terlibat pada proses nosiseptik. Oleh karena ini, NO dianggap merupakan molekul kunci dalam perkembangan migren. Selain patogenesis vaskular, blokade NO mungkin menghambat ekspresi kompleks treigemino-servikalis. Produksi NO dapat dimodulasi oleh perubahan kadar magnesium, dimana dalam tingkat rendah diperkirakan akan menghambat produksi NO (Mauskop dkk, 2012).

(22)

II.5. HUBUNGAN FERRITIN DENGAN MIGREN

Konsentrasi ferritin meningkat di putamen, korteks motorik, korteks prefrontal, korteks sensorik dan talamus selama 30-35 tahun pertama kehidupan. Seiring dengan penambahan usia, terjadi akumulasi besi diseluruh otak, dan pola distribusinya tidaklah sama. Akumulasi besi yang berlebihan dapat secara langsung menyebabkan disfungsi talamus, basal ganglia, misalnya dengan merusak sinaptik atau modulasi sintesis protein, menyebabkan baik kenaikan maupun penurunan kadar lokal neurotransmiter. Secara tidak langsung, mekanisme peningkatan konsentrasi besi menjadikan otak menjadi lebih rentan terhadap stres oksidatif (Zecca dkk, 2004; Kruit dkk, 2009).

(23)

Besi mempunyai kemampuan untuk memberikan elektron kepada oksigen, Kadar besi yang berlebihan pada sitosol atau intralisosom dapat menuju kepada pembentukan radikal hydroxyl dan anion hydroxyl melalui reaksi Fenton, yaitu Fe2+ + H2O2 Fe3+ + OH* + OH- (gambar 4).

Peningkatan kadar besi juga membangkitkan radikal peroxyl/alkoxyl sebagai akibat Fe2+ terhadap peroksidasi lipid. Reactive-oxygen species (ROS) ini dapat menyebabkan kerusakan seluler (Mills dkk, 2010).

Produksi ROS tersebut dapat terakumulasi pada mitokondria yang dapat menyebabkan kerusakan DNA mitokondria (mtDNA) sehingga terjadi disfungsi mitokondria (Mills dkk, 2010; Pieczenik dkk, 2007).

(24)

Gambar 4. Pembentukan ROS

Nitric oxide diproduksi dalam mitokondria oleh mitochondrial nitric oxide synthase (mtNOS) dan juga berdifusi secara bebas kedalam mitokondria dari sitosol (gambar 5). Reaksi NO dengan O-2 menghasilkan

radikal lainnya, yaitu peroxynitrite (ONOO-). Radikal bebas ini bersama-sama dengan radikal hydroxyl (OH*), yang berasal dari Fe2+, yang keduanya mampu menyebabkan kerusakan hebat pada mitokondria (Pieczenik dkk, 2007).

Dikutip dari: Mills, E., Dong, X.P., Wang, F., Xu, H. 2010. Mechanisms of brian iron transport: Insight into neurodegeneration and CNS disorders. Future Med

(25)

Gambar 5. Kerusakan oksidatif pada mitokondria.

Kerusakan mitokondria akibat paparan ROS akan menyebabkkan abnormalitas fosforilasi oksidatif mitokondria sehingga terjadi gangguan metabolisme energi otak dan berujung pada gangguan sirkulasi kortikal. Hal ini didukung dengan hasil penelitian pada pasien migren, dimana dilakukan MRS phosphorus-31 pada fase diantara serangan migren dan diperoleh hasil penurunan kadar phosphocreatine dan potensial fosforilasi dan peningkatan kadar adenosine diphosphate di lobus oksipital. Ketika Dikutip dari: Pieczenik, S.R., Neustadt, J. 2007. Mitochondrial dysfunction and

(26)

MRS phosphorus-31 dilakukan saat fase serangan migren menunjukkan menipisnya fosfat berenergi tinggi tanpa disertai perubahan pada PH intraseluler, yang mengindikasikan bahwa kegagalan energi akibat dari kecacatan metabolisme aerobik daripada vasospasme dengan iskemik (Boes dkk, 2004).

Disfungsi mitokondria akan menyebabkan pemburukkan metabolisme energi sehingga terjadi hipometabolisme berkepanjangan. Keadaan hipometabolisme akan mengakibatkan peningkatan eksitabilitas neuronal dan kerentanan terhadap depolarisasi spontan (Boes dkk, 2004).

(27)
(28)

II.7. KERANGKA KONSEPSIONAL

MIGREN

Kadar Magnesium serum

Kadar Ferritin serum

Frekuensi Migren

Durasi Migren

Gambar

Gambar 1. Jalur neurolimbik migren, PAG sebagai generator migren.
Gambar 2. Skema molekul utama terfosforilasi pada sel sitosol otak.
Gambar 3. Siklus Transferrin
Gambar 4. Pembentukan ROS
+2

Referensi

Dokumen terkait

Fotokopi Sertifikat Akreditasi Jurusan/Program Studi yang dikeluarkan oleh BAN-PT sebanyak 1 (satu) rangkap yang dilegalisir oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan Point f

Tidak hanya itu, ide akan penulisan dengan menggunakan bahasa pemrograman Python ini, juga didasarkan pada tujuan penulis, yaitu untuk mensosialisasikan bahasa pemrograman yang

Klasifikasi adalah salah satu solusi dalam data mining untuk mengurai permasalahan tersebut, dengan mengklasifikasikan jenis-jenis penyakit yang berhubungan dengan

Pengujian buck converter dilakukan dengan memberi tegangan masukan dari 20 Volt kemudian diturunkan secara perlahan hingga 0 Volt, sedangkan untuk boost converter

FOTO MAKET STUDI PERANCANGAN HOTEL.. Universitas

Seperti penelitian yang dilakukan Then Nana Universitas Atma Jaya pada tahun 2009 dengan judul pengaruh kecerdasan emosional terhadap minat berwirausaha mahasiswa

Berdasarkan hasil pengujian ini, dapat disimpulkan bahwa perkuatan balok dengan GFRP mampu menghambat retakan awal juga menahan kekuatan tarik dan lentur lebih

Berdasarkan hasil pengujian ini, dapat disimpulkan bahwa perkuatan balok dengan GFRP mampu menghambat retakan awal juga menahan kekuatan tarik dan lentur lebih