BAB II
PENERTIBAN TANAH TERLANTAR MENURUT SISTEM HUKUM YANG BERLAKU
A. Konsepsi Tanah Terlantar
1. Pengertian Tanah Terlantar
Sejalan dengan adanya TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, permasalahan tanah terlantar yang berkaitan dengan upaya penertibannya oleh pemerintah, merupakan hal penting untuk dikaji, karena hal itu merupakan perwujudan salah satu upaya pembaharuan di bidang agraria. Menyadari bahwa hukum akan memberikan jaminan kepastian pada setiap penatagunaan tanah, dalam kerangka kebijakan pembaharuan agraria, kajian dari aspek hukum menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan lebih dahulu. UUPA merupakan dasar dari lahirnya perundang-undangan lainnya dan peraturan-peraturan pendukung dalam mengatur kebijakan di bidang pertanahan. Ada beberapa pengertian tanah terlantar sebagai berikut.
a. Menurut Hukum Adat
merupakan modal satu-satunya bagi manusia. Adapun ciri-ciri Hukum Adat dalam memandang tanah dapat diketahui dari para pakar dalam mengidentifikasinya yaitu: 1) Menurut I Gede Wiranata :33
a. Tanah mempunyai sifat yang tetap keadaannya tidak pernah berubah.
b. Tanah merupakan sarana tempat tinggal bagi persekutuan hukum dan seluruh anggotanya, sekaligus memberikan penghidupan kepada pemiliknya.
c. Tanah merupakan suatu kesatuan dimana nantinya pemilik akan dikubur setelah meninggal, sekaligus merupakan tempat leluhur.
2) Menurut Van Dijk:34
a. Membahas tanah tidak dapat dilepaskan dari corak persekutuan persekutuan hukum.
b. Tanah merupakan modal yang utama dan satu-satunya.
c. Campur tangan persekutari itu sehingga kesatuan denga menggunaakan Kepala Persekutuan sebagai alatnya untuk mengutus hak-hak perorangan dalam suatu persekutuan.
3) Menurut B. Ter Haar BZN:35
“Tanah adalah tempat dimana mereka berdiam, tanah memberikanmakan mereka, tanah dimana mereka dimakamkan dan yang menjadi tempat kediaman orang-orang halus pelindungnya”
Berdasar uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tanah menjadi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan moneter secara individu, maupun masyarakat dalam suatu persekutuan di wilayah tertentu.
Persekutuan hukum desa atau daerah bukan persekutuan hukum belaka. Tetapi yang utama suatu persekutuan usaha dengan tanah sebagai modal, dimana
33 I Gede Wiranata. Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya Dari Masa Ke Masa,
(Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004), hal 226
34
Van Dijk.Pengantar Hukum Adat Indonesia,diterjemahkan oleh A. Soehardi, (Bandung : Sumur, 1979), halaman 56
35Ter Haar BZN.Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Terjemah K.Ng Soebakti Poesponoto.
semua anggota masayarakat pada dasarnya mempunyai kewajiban mengolah tanah yang baik.
Konsep Tanah Terlantar menurut Hukum Adat dapat ditemukan dalam pengertian-pengertian tanah terlantar. Untuk memudahkan dalam memahami pengertian tanah terlantar menurut Hukum Adat, akan dikemukakan beberapa pandangan ahli, termasuk karakternya.
1. Menurut S.R Nur dan H. Parerengi
Tanah terlantar adalah tanah sawah yang ditinggalkan selama 10 tahun atau lebih. Patokannya :
a. Pematang – pematangnya tidak kelihatan lagi. b. Semua tanda – tandanya sudah hilang seluruhnya.36 2. Achmad Manggau
Tanah terlantar adalah tanah yang sudah digarap oleh seseorang, kemudian dibiarkan kosong, ditumbuhi rumput dan tumbuh liar hingga berangsur menjadi semak dan hutan kembali.37
3. Moshedayan Pakpahan dan Sony Bachtiar
Tanah Terlantar adalah Tanah bekas ladang yang ditinggalkan kira – kira 2 musim atau lebih, maka akan kembali menjadi padang atau tanah tanpa pemilik.38
36
Suhariningsih,Tanah Terlantar, Asas dan Pembaharuan Konsep Menuju Penertiban, Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2009, hlm 92
Berdasarkan karakter terlantarnya sebidang tanah dapat disebut sebagai tanah terlantar apabila:39
1. Tanah (sawah, tegalan, ladang) yang sudah pernah dibuka, dengan ciri – ciri: - Satu kali panen.
- Belum lama dibuka kemudian ditinggalkan. - Menjadi semak belukar.
- batas-batas tanah garapan tidak jelas lagi.
- Jangka waktu: ditinggalkan 2 musim; 3 - 15 tahun atau lebih. 2. Ditinggalkan oleh pemilik (penggarapnya).
3. Kembali kepada hak ulayat/masyarakat adat (beberapa). 4. Tanah kembali tanpa pemilik.
Jadi konsep tanah terlantar menurut Hukum Adat dapat dirumuskan sebagai tanah sawah atau ladang yang ditinggalkan oleh pemilik atau penggarapnya dalam beberapa waktu tertentu (3-15 tahun) sampai tanah sawah atau ladang itu menjadi semak belukar kembali, maka tanah kembali pada hak ulayat.
Jadi menurut Hukum Adat, “tanah terlantar”, lebih mengarah pada keadaan fisik tanah yang sudah tidak produktif dan tidak bertuan (ditinggalkan oleh pemegang haknya). Hanya secara yuridis tidak jelas kedudukannya. Karena tidak disebutkan siapa yang berwenang menetapkan suatu atau sebidang tanah adalah terlantar. Apabila memperhatikan kesimpulan berdasar pendapat para peneliti maka dinyatakan “kembali kepada hak ulayat atau masyarakat adat”. Biasanya yang berhak menyatakan tanah terlantar adalah ketua masyarakat adatnya.
b. Menurut Pakar Hukum Agraria
1. A.P Parlindungan menyatakan dalam bahasannya tentang tanah terlantar lebih menitikberatkan pada pandangan Hukum Adat Indonesia. A.P. Parlindungan
memiliki konsep tanah terlantar dengan merujuk pada Hukum Adat, yaitu sesuai dengan karakter tanah terlantar (kondisi fisik) yang telah berubah dalam waktu tertentu (3 sampai 10 Tahun) maka haknya gugur, tanah kembali pada penguasaan hak ulayat.40
Adapun saran beliau terhadap ketentuan tanah terlantar yang diatur oleh UUPA, adalah dalam pelaksanaannya ada larangan menjadikan tanah terlantar. Tujuannya agar dapat memberantas manipulasi dan spekulasi tanah, kemudian melaksanakan fungsi sosial dari tanah tersebut untuk mengoptimalkan produktifitas tanahnya.41
2. Boedi Harsono, memandang tanah terlantar lebih mengarah pada terjadinya peristiwa hukum karena perbuatan manusia, sehingga hak atas tanah menjadi hapus. Jika hak atas tanah itu dihapuskan oleh pejabat yang berwenang, sebagai sanksi terhadap tidak dipenuhinya oleh pemegang hak yang bersangkutan kewajiban tertentu atau dilanggarnya sesuatu larangan. Selanjutnya beliau mencontohkan untuk pemegang HGU yang tidak mengusahakan perusahaan kebunnya dengan baik, maka hal ini dapat dijadikan alasan untuk menghapuskan hak yang bersangkutan oleh pejabat yang berwenang. Dasar penghapusan HGU adalah Pasal 34 huruf e UUPA yang menyatakan bahwa HGU hapus karena diterlantarkan.42
40
A.P. Parlindungan.Berakhirnya Hak-Hak Atas Tanah (Menurut sistem UUPA). Bandung: Mandar Maju, 1990, hlm 17
41Ibid. Hlm 17
3. Achmad Sodiki, menyatakan bahwa persoalan pengertian tanah terlantar meliputi bagaimana dan oleh siapa status tanah dinyatakan terlantar. Demikian juga tanah yang jatuh ke tangan Negara itu bekas pemiliknya sama sekali kehilangan hak atas tanah yang demikian ini haruslah mendapatkan kejelasan secara pasti.43 4. Gouw Giok Siong, menyatakan bahwa berdasarkan fakta ilmu hukum, istilah
diterlantarkan diartikan awalnya keadaan jika tanah yang tidak dipakai sesuai dengan keadaannya, sifat atau tujuannya.44 Selanjutnya untuk tanah HGU yang diterlantarkan dijelaskan artinya antara lain pemakaian yang tidak sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan tanah yang bersangkutan.
5. Maria S.W. Sumarjono, asas fungsi sosial hak atas tanah (Pasal 6 UUPA) meliputi juga kewajiban memelihara bagi setiap orang dan badan hukum pemegang hak atas tanah.45 Menurut beliau tidak mudah menetapkan tanah terlantar, karena mencakup:
1) Subyeknya (perorangan atau badan hukum). 2) Tanah pertanian atau bangunan.
3) Adanya kesengajan dari subyek atau tidak.
4) Jangka waktu yang harus dilewati untuk dapat disebut sebagai tanah terlantar. c. Menurut Perundang-undangan
Seperti telah dijelaskan bahwa lahirnya UUPA adalah dalam rangka menghilangkan dualisme di bidang Hukum Agraria. Demikian pula bahwa UUPA dibuat mengambil sumber dari Hukum Adat yang bersifat komunalistik religius yang
43Achmad Sodiki,Majalah Penelitian Dan Pengembangan Hukum, hlm 10 44Suhariningsih,Tanah Terlantar, Op. Cit. Hlm 111
mempunyai makna bahwa penguasaan tanah bersama memungkinkan penguasaan tanah secara individu dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan.
Jadi ada kewajiban dari individu atau masyarakat untuk mengerjakan atau mengusahakan tanah sebaikbaiknya sesuai dengan apa yang telah ditentukan atau sesuai dengan tujuannya (kemakmuran) itu. Berdasarkan hakekat yang ada pada Hukum Agraria Nasional (UUPA) tersebut, semua pihak perlu mengerti dan menjaga agar tidak terjadi tanah terlantar.
Beberapa ketentuan UUPA yang berkaitan dengan hal ini, dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Hak milik atas tanah hapus bila tanahnya jatuh kepada Negara karena diterlantarkan. (Pasal 27 poin a. 3). Penjelasan Pasal 27 menyatakan, “Tanah diterlantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada haknya”
2. Hak Guna Usaha hapus karena diterlantarkan (Pasal 34e).
Keberadaan Pasal-Pasal UUPA mengenai tanah terlantar nampaknya tidak cukup serius diterapkan di lapangan, sehingga Pemerintah mengeluarkan peraturan-peraturan yang bersifat melaksanakan perintah UU. Peraturan-peraturan-peraturan itu sudah bersifat sektoral, misalnya Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 88 Tahun 1973 tentang Penguasaan Tanah Perkebunan Terlantar dan atau Diterlantarkan di Daerah Propinsi Jawa Barat.46
Dalam bagianMenimbanghuruf a Keputusan tersebut dinyatakan:
“bahwa dengan membiarkan tanah-tanah perkebunan dalam keadaan terlantar atau diterlantarkan pemegang haknya atau pengusahanya tidak mempergunakan atau menggunakan sebagaimana mestinya adalah merupakan pelanggaran terhadap fungsi sosial disamping merupakan kelalaian dari pada pengusaha atau pemegang hak yang tidak mengindahkan kewajiban dalam mengusahakan perkebunannya secara baik dan layak.”
Lahirnya Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 88 Tahun 1973, sebagai wujud kepedulian atas terlantarnya tanah HGU (Perkebunan).Hal itu dimaksudkan untuk segera mengatasi atau meniadakan kondisi lahan perkebunan yang terlantar, dengan menindak pemegang haknya, berikut pendayagunaan tanah terlantar tersebut. Sehingga lahan HGU (Perkebunan) memberi kesejahteraan kepada masyarakat sekitar lahan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Jadi, untuk dapat menyatakan suatu perkebunan sebagai terlantar, ialah apabila diketahui bahwa pemegang hak atas tanah, tidak mempergunakan atau mengerjakan yang ia peroleh sebagaimana mestinya. Dengan demikian berarti pemegang hak atas tanah tidak
mengindahkan kewajiban mengusahakan perkebunan secara baik dan mengabaikan fungsi social atas tanah.
Selanjutnya terhadap Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 88 Tahun 1973 tersebut di atas, AP Parlindungan berpendapat bahwa itu sebagai koreksi terhadap Keputusan Gubernur Kepala Daerah Jawa Barat tanggal 17 Januari No. 12/A/-1/2/SK/1973 yang menguasai tanah-tanah perkebunan terlantar di Jawa Barat dan memberikan Surat Keputusan tersendiri seperti tersebut di atas. Penguasaan oleh Gubernur Kepala Daerah Jawa Barat tersebut berlangsung hanya sampai 17 Januari 1974. Kemudian panitia yang dibentuk oleh Keputusan Gubernur Jawa Barat harus mengajukan usul-usul dan pertimbangan kepada Menteri Dalam Negeri mengenai peruntukan atau penggunaan serta penyelesaian terhadap tanah-tanah perkebunan termaksud.
Perlu diketahui juga bahwa setelah itu terdapat catatan adanya Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1982 tentang Penertiban Tanah Di Daerah Perkotaan Yang Dikuasai Oleh Badan Hukum Atau Perorangan yang tidak dimanfaatkan atau diterlantarkan. Dalam Instruksi tersebut tugas dibebankan kepada seluruh Gubernur dan semua Bupati atau Walikota seluruh Indonesia untuk menertibkan semua tanah yang ada di daerah perkotaan yang dikuasai oleh badan-badan hukum atau perorangan.
Adapun isi Instruksinya tersebut adalah:
a. Agar dilakukan penertiban, pemanfaatan tanah sesuai dengan maksud dan syarat-syarat yang telah ditetapkan.
b. Agar melakukan inventarisasi tanah yang tidak dimanfaatkan atau diterlantarkan, dan apa sebab tidak dipenuhi syarat pencadangan.
c. Mengadakan langkah-langkah pengawasan yang intensif dan memberikan jangka waktu sampai 24 Agustus 1982 kepada badan hukum/perorangan untuk memanfaatkan atau menggunakan tanah sesuai dengan maksud dan syarat-syarat yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Pencadangan Tanah. d. Apabila sampai tanggal 24 September 1982 tidak ada kegiatan, maka
pecadangan tanah tersebut dibatalkan dan tanahnya dikuasai langsung oleh negara.
dan tindakan yang tegas dari pemerintah walaupun aturan-aturan yang mendukung sudah ada.
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah. Dalam Menimbang poin b Peraturan Pemerintah ini menyatakan:
“bahwa oleh karena itu pengakuan penguasaan pemilikan dan penggunaan tanah perlu lebih diarahkan bagi semakin terjaminnya tertib di bidang hukum pertanahan, administrasi pertanahan, penggunaan tanah, ataupun pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup, sehingga adanya kepastian hukum di bidang pertanahan pada umumnya dapat terwujud”.
Dari ketentuan di atas pemerintah ingin menegaskan kembali bahwa penggunaan tanah berdasarkan pada HGU, HGB, Hak Pakai dalam rangka pembangunan nasional, diarahkan untuk terjaminnya atau terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. Oleh karena itu PasalPasal dalam PP No. 40 Tahun 1996 secara rinci dan jelas mengatur mengenai pemberian hak (HGU, HGB dan Hak Pakai), obyek hak, jangka waktu dan lamanya suatu hak, diberikan oleh negara kepada subyek hak.
Apabila kewajiban pemegang hak tidak dilaksanakan maka berdasarkan ketentuan dalam Pasal 17e bahwa Hak Guna Usaha hapus karena diterlantarkan; Dalam penjelasannya dinyatakan sesuai dengan penjelasan yang ada dalam UUPA. Demikian juga tentang hapusnya HGB dalam Pasal 35e yang dinyatakan bahwa Hak Guna Bangunan hapus karena diterlantarkan.
diterlantarkan. Hapusnya hak pakai tidak diatur oleh UUPA. Dari ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan tentang hapusnya hak atas tanah (HGU, HGB, Hak Pakai) dapat disimpulkan bahwa PP No. 40 Tahun 1996 menggunakan istilah diterlantarkan, pengertian diterlantarkan mengikuti penjelasan dari UUPA tentang hapusnya HM, HGU, HGB. Sedangkan Hak Pakai tidak diatur adanya tanah diterlantarkan.
Hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah ketentuan Pasal 14 Ayat (3), Pasal 35 Ayat (2) PP No. 40 Tahun 1996 yang mengatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai hapusnya HGB sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatur dengan Keputusan Presiden”.
Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998 dikeluarkan karena dilatarbelakangi semakin banyaknya jumlah tanah terlantar di Indonesia dan karena tidak ada upaya penertiban yang dilakukan oleh Pemerintah. Oleh karena itu dalam Menimbang pada huruf b disebutkan bahwa dalam kenyataannya masih terdapat bidang-bidang tanah yang dikuasai oleh perorangan, badan hukum atau instansi yang tidak digunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya.
memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai dengan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku”.
Selanjutnya pengertian tanah terlantar diulang kembali ketika mengatur tentang Kriteria Tanah Terlantar yaitu dalam Pasal 3 PP No. 36 tahun 1998 yang menyatakan: “Tanah Hak Milik; Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai, dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik”.
Lebih lanjut pengertian tanah terlantar disebutkan dalam Pasal 5 PP No. 36 Tahun 1998 yang mengatur khusus untuk HGU yang menyatakan:
1. Tanah Hak Guna Usaha tidak dipergunakan sesuai dengan keadannya atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud Pasal 3 bila, apabila tanah itu tidak diusahakan sesuai dengan kriteria pengusahaan tanah pertanian yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Jika haknya sebagian dari bidang tanah Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat 1, memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.
Apabila diperhatikan, ternyata banyak istilah ataupun pengertian yang diberikan oleh PP 36 Tahun 1998 ini untuk menyatakan bahwa sebidang tanah adalah terlantar. Kalimat-kalimat yang dipilih dalam menyatakan tanah terlantar dapat di inventarisasi sebagai berikut:
a. Tanah tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya, bila tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai peruntukannya menurut RTRW yang berlaku;
c. Tidak diusahakan sesuai dengan kriteria pengusahaan tanah pertanian yang baik sesuai Ketentuan Peraturan Perundangundangan;
d. Tanah sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya.
Pengertian tanah terlantar dapat dilihat dalam penjelasan pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2010 yang menyatakan bahwa : “ Tanah yang sudah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, atau Hak Pengelolaan dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya.
Demikian pula tanah yang ada dasar penguasaannya dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya tidak dimohon hak, tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan persyaratan atau ketentuan yang ditetapkan dalam izin lokasi, surat keputusan pemberian hak, surat keputusan pelepasan kawasan hutan, dan/atau dalam izin/keputusan/surat lainnya dari pejabat yang berwenang.
Dengan demikian tanah terlantar adalah tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan atau tanah yang ada dasar penguasaannya yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, sesuai dengan keadaannya, sifat dan tujuan haknya.
Berdasarkan Pasal 2 PP No. 11 Tahun 2010, objek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolahan atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. a. Hak milik
Hak milik atas tanah berdasarkan UUPA tidak sama dengan hak eigendom berdasarkan BW atau sekalipun hamper sama juga tidak persis sama dengan hak milik menurut hukum adat.
Berhubungan sampai saat ini ketentuan-ketentuan tentang hak milik belum diatur dengan undang-undang (pasal 50 UUPA), maka untuk mencermati hal-hal yang berkaitan dengan hak milik itu belum dapat dilakukan rinci apalagi disebutkan pada pasal 56 UUPA bahwa sebelum Undang-Undang Hak Milik terbentuk maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan Hukum Adat setempat yang member wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam pasal 20 UUPA sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA.
Memberlakukan ketentuan-ketentuan hukum adat setempat semestinya harus dipahamkan adalah hak adat yang bersesuaian dengan kepentingan nasional dan negara, persatuan bangsa, sosialisme Indonesia (masyarakat hukum adil dan makmur berdasarkan Pncasila) sebagaimana disebut pada pasal 5 UUPA.47
47 Tampil Anshari Siregar, pendalaman lanjutan undang-undang pokok agraria, pustaka
Ciri-ciri hak milik sebagaimana disebutkan dibawah ini :
1) Hak milik sebagaimana disebut pada pasal 20 UUPA adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang mempunyai fungsi social. Dalam pengertian, jika dibandingkan dengan hak lain lebih kuat dan penuh. Terlihat dalam wujud konkritnya, hak milik itu penggunaannya yang lebih luas, nilai tanggungannya lebih tinggi jika dijadikan objek hak tanggungan dan pembayaran ganti kerugiannya lebih besar jika menjadi objek pencabutan/pelepasan hak maupun juga nilai jualnya lebih mahal namun haknya tetap penuh tidak dipengaruhi oelh waktu penggunaannya. Bahkan diatasnya berdasarkan kesepakatan/perjanjian otentik dapat diterbitkan hak lain seperti hak guna bangunan, hak pakai atau hak sewa yang diberikan kepada subjek lain yang memenuhi syarat.
Berfungsi social harus diartikan, selain sebagai mana dimaksudkan pasal 6 UUPA tetapi juga jika karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau mentup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air dan kemudahan lain bagi pekarangan yang terkurung itu sebagaimana yang berlaku juga terhadap hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai yang diatur pada pasal 13, 31 dan 51 PP No. 40 Tahun 1996.
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (badan hukum Indonesia) tertentu saja berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 yaitu bank-bank negara, badan koperasi pertanian, lembaga social dan lembaga keagamaan. 3) Hak pengguanaan (right to use) hak milik itu luas jika di banding dengan
hak-hak lainnya namun harus tunduk kepada planning yang sudah ditetapkan. 4) Hak untuk mengalihkan/beralih dan dijadikan objek hak tanggungan (right of
disposal) dari hak milik tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Hak guna usaha.
Hak guna usaha dalam UUPA merupakan hak yang baru yang tidak terdapat di dalam hukum adat namun tidak sama dengan hak erfpacht dalam BW yang merupakan hak kebendaan. Ketentuan-ketentuan poko tentang hak guna usaha dalam UUPA telah disempurnakan melalui PP No. 40 Tahun 1996.
1) Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oelh negara (tanah negara) guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan dalam jangka waktu 25 atau 35 tahun, dapat diperpanjang jadi 25 tahun dan kemudian dapat diberikan pembaharuan hak. Pembaharuan hak itu adalah pemberian hak yang sama pada pemegang hak atas tanah yang telah dimilikinya sesudah jangka waktu tersebut atau perpanjangan hak.
atau mengalihkan hak guna itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat, jika tidak haknya menjadi hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara.
3) Tanah yang dapat diberikan untuk hak guna usaha adalah tanah negara, dalam pengertian (sesuai dengan pasal 4 PP No. 40/1996) bahwa dapat diberikan tanah yang telah diperuntukkan untuk kawansan hutan tetapi dengan ketentuan harus lebih dahulu dilepas/dikeluarkan dari kawasan hutan baru kemudian dapat diberikan hak guna usaha. Demikain tanah hak, jika akan diberikan hak guna usaha di atasnya harus lebih dahulu dilepaskan hak atas tanah tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Khusus jika sebelumnya berupa tanah hak guna usaha, ada tanaman atau bangunan milik subjek pada hak guna usaha terdahulu di atasnya dengan alas hak yang sah, dapat diberi ganti kerugian yang dibebankan kepada subjek hak guna usaha yang baru.
4) Luas area tanah hak guna usaha minimum 5 hektare dan maksimum tidak ditentukan minimum 5 hektare dan masksimum tidak ditentukan (pasal 28 UUPA) tetapi pada pasal 5 PP No. 40 Tahun 1996 dinyatakan jika subjeknya persorangan batas maksimum 25 hektare tetapi jika subjeknya badan hukm Indonesia akan ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan bidang usaha dan daya gunanya.
Hak guna bangunan dalam UUPA juga merupakan hak baru yang tidak dikenal dalam hukum adat. Namun tidak seperti hak Opstal dalam BW sebagai hak kebendaan.
Ketentuan-ketentuan pokok tentang hak guna bangunan dalam UUPA telah disempurnakan melalui Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1996.
1) Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri seperti tanah hak milik, tanah hak pengelolahan dan tanah negara dalam jangka waktu paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang 20 tahun (pasal 35 UUPA) dan dapat diberikan pembaharuan hak guna bangunan di atas tanah yang sama (pasal 25 PP No. 40 tahun 1996). Khusus hak guna bangunan diatas tanah hak pengelolahan diperpanjang atau diperbaharui atas permohonan pemegang guna bangunan setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak pengelolahan. Demikian juga hak guna bangunan diatas tanah hak milik atas kesepakatan dapat diperpanjang haknya dan diperbaharui dengan suatu akta PPAT.
2) Subjek hak guna bangunan sama seperti hak guna usaha yaitu warga negara Indonesia tunggal dan badan hukum Indonesia, jika oleh karena sesuatu sebab mengakibatkan tidak lagi memenuhi persyaratan demikian maka dalam waktu 1 (satu) Tahun wajib dilepaskan hak guna bangunan hapus karena hukum dan jatuh menjadi tanah negara.
Peralihan hak guna bangunan terjadi karena jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah dan pewarisan. Peralihan tersebut kecuali karena lelang yang harus dibuktikan dengan berita acara lelang harus dilakukan dengan Akta PPAT dan khusus pewarisan harus dibuktikan dengan surat wasiat atau keterangan waris.
d. Hak pakai
Hak pakai sesuai dengan ketentuan pasal 41 UUPA adalah hak untuk menggunakan atau memungut hasil tanah yang dikuasai langusng oleh negara (tanah negara) atau tanah milik ( tanah hak milik) orang lain atau berdasarkan ketentuan pasal 41 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 juga diatas tanah hak pengelolahan, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengelolahan tanah.
Berdasarkan jangka waktu, hak pakai tersebut dapat dibagi atas :
1) Hak pakai dengan jangka waktu tertentu maksimum 25 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun lagi serta dapat diberikan pembaharuan hak, yang biasa disebut hak pakai perdata atau hak pakai privat.
lain, akan tetapi dapat dilepaskan oleh pemegang haknya sehingga menjadi tanah negara untuk kemudian dimohon dengan hak baru oleh pihak lain.
Subjek hak pakai adalah warga negara Indonesia ataupun warga negara asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum Indonesia, badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia (pasal 42 UUPA), seperti departemen, lembaga pemerintahan non departemen, pemerintahan daerah, badan-badan keagamaan dan social, perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional (pasal 39 PP No. 40 tahun 1996)
Jika syarat-syarat subjek hak pakai itu tidak dipenuhi lagi oleh sesuatu sebab, dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak tersebut, jika tidak, haknya hapus karena hukum. Tanahnya kembali sesuai dengan di atas tanah apa hak pakai tersebut diberikan.
Hak pakai privat dapat dialihkan, beralih ke pihak lain melalui jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah dalam modal, hibah dan pewarisan. Sementara untuk objek hak tanggungan, baru ditetapkan hanya hak pakai privat di atas tanah negara (UU No. 4 Tahun 1996). Peralihan hak pakai privat kecuali melalui jual lelang yang harus dibuktikan dengan berita acara lelang harus dibuktikan dengan berita acara lelang dan akta PPAT, khusus untuk pewarisan harus pula dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris.
hak milik atau hak pengelolahan harus dengan persetujuan tertulis pemegang hak milik atau pemegang hak pengelolahan tersebut.
e. Hak pengelolaan
Berdasarkan pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 bahwa hak pengelolahan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangannya pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang hak pengelolahan hak tersebut.
Bertolak dari pasal 2 ayat 4 UUPA yang menegaskan bahwa hak menguasai dari negara dalam pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah, diterbitkanlah hak pengelolahan tersebut. Jangka waktu hak pengelolahan itu tidak ditentukan, oleh karena itu dapat diartikan bahwa hak pengelolaan dapat terus berlangsung selama sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya. Lain halnya hak atas tanah yang diterbitkan dari hak pengelolaan tersebut seperti hak milik, hak guna bangunan dan hak pakai, khususnya hak pakai privat harus tunduk kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti PP No. 40 Tahun 1996 dan lain-lainnya.
3. Kriteria Tanah Terlantar
1. Adanya pemilik atau pemegang hak atas tanah (subyek). 2. Adanya tanah hak yang diusahakan atau tidak (obyek).
3. Adanya tanah yang teridentifikasi telah menjadi hutan kembali atau kesuburannya tidak terjaga.
4. Adanya jangka waktu tertentu dimana tanah menjadi tidak produktif. 5. Adanya perbuatan yang sengaja tidak menggunakan tanah.
6. Status tanah kembali kepada hak ulayat atau kepada Negara.48
Dengan mengetahui unsur-unsur esensial terjadinya tanah terlantar maka kriteria atau ukuran yang dapat dipakai untuk menetapkan sebidang tanah adalah terlantar dengan cara kembali menjelaskan dengan melakukan penafsiran-penafsiran terhadap unsur yang ada, dengan fokus terhadap tujuan pemberian hak atas tanah. Sehingga apabila dari kondisi fisik tampak tanah tidak terawat atau tidak terpelihara itu berarti tidak sesuai dengan tujuan pemberian haknya. Dengan demikian kriteria tanah terlantar adalah :
1. Harus ada pemilik atau pemegang hak atas tanah (subyek).
2. Harus ada tanah hak (Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,dan lain-lain) yang tidak terpelihara dengan baik sehingga kualitas kesuburan tanahnya menurun.
3. Harus ada jangka waktu tertentu.
4. Harus ada perbuatan yang dengan sengaja tidak menggunakan tanah sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya.49
Berdasarkan konsep tanah terlantar yang diatur dalam Penjelasan Pasal 27 UUPA yang menyatakan: Tanah ditelantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada haknya, maka kriteria tanah terlantar dalam UUPA kurang jelas atau masih kabur karena hanya ditentukan subyek hak/pemegang hak atas tanah, obyek hak (Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan), dan ada perbuatan yang mengakibatkan tanah menjadi terlantar, sedangkan jangka waktunya tidak ditentukan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 kriteria tanah terlantardiatur dalam Bab III, yang dibagi menjadi tiga bagian :Bagian Kesatu mengenai tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunandan Hak Pakai meliputi :Pasal 3 yang menyatakan bahwa : “Tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik.”
Pasal 4 yang menyatakan bahwa : “Tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang tidak dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai dengan peruntukannya menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku pada waktu permulaan penggunaan atau pembangunan fisik di atas tanah tersebut.”
Pasal 5 yang menyatakan bahwa :
(1)Tanah Hak Guna Usaha tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanahitu tidak diusahakan sesuai dengan kriteria pengusahaan tanah pertanian yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.
Pasal 6 menyatakan bahwa :
(1)Tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut tidak dipecah dalam rangka pengembangannya sesuai dengan rencana kerja yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang.
(2)Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi kriteria terlantar, makahanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.Bagian Kedua mengenai Tanah Hak Pengelolaan, meliputi :
Pasal 7 yang menyatakan behwa:
(1)Tanah Hak Pengelolaan dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila kewenangan hak menguasai dari Negara atas tanah tersebut tidak dilaksanakan oleh pemegang Hak Pengelolaan sesuai tujuan pemberian pelimpahan kewenangan tersebut.
(2)Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.
Bagian Ketiga Tanah Yang Belum Dimohon Hak meliputi : Pasal 8 yang menyatakan bahwa :
(2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah yang sudah diperoleh dan dikuasai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi kriteria tanah terlantar,maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 rumusan kriteria tanah terlantar masih kabur karena dalam peraturan tersebut tidak ditentukan jangka waktu tanah dinyatakan sebagai tanah terlantar. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut ditentukan subyek/pemegang hak atas tanah, obyek hak ( Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan ), adanya perbuatan yang dapat mengakibatkan tanah menjadi terlantar
Dalam Penjelasan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 ditentukan tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan,atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Kemudian dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 11Tahun 2010 dinyatakan bahwa identifikasi dan penelitian dilaksanakan : terhitung mulai 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atau sejak berakhirnya izin/keputusan/surat dasar penguasaan atas tanah dari pejabat yang berwenang.
perbuatan yang mengakibatkan tanah terlantar, jangka waktunya terhitung 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya sertifikat Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atau sejak berakhirnya izin/ keputusan/ surat dasar penguasaan tanah dari pejabat yang berwenang.
B. Sistem Penertiban Tanah Terlantar
1. Organ Yang Berwenang Dalam Penertiban Tanah Terlantar
Dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA disebutkan bahwa negara sebagai personifikasi dari seluruh rakyat diberi wewenang untuk mengatur, yaitu membuat peraturan, menyelenggarakan dalam arti melaksanakan (execution),menggunakan(use), menyediakan(reservation), dan memelihara (maintenance), atas bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Berdasarkan hak menguasai negara atas bumi, air dan kekayaan alam tersebut, maka kewenangan penguasaan dan pengurusan bidang pertanahan ada pada negara, dimana dibidang eksekutif (pemerintahan) dijalankan oleh Presiden (Pemerintah).
bersifat abadi, dengan demikian kewenangan untuk mengurus bidang tanah adalah negara, dalam pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah pusat.
Kewenangan yang ada pada pemerintah adalah sebagai dasar dalam penyelenggaran kenegaraan dan pemerintahan yang artinya setiap penyelenggaraan kenegaraan harus memiliki legitimasi yaitu adanya kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang. Konsep ini sesuai dengan konsep negara hukum dimata setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus ada aturan yang mengaturnya.
Wewenang ini sangatlah diperlukan oleh pemerintah, mengingat pemerintah adalah adalah pemegang kekuasaan dalam organisasi negara. Pemerintah untuk dapat menjalankan kekuasaannya dengan baik dan lancer perlu diberi wewenang. Adanya pengaturan pemberian wewenang tersebut akan memberikan keabsahan bagi tindakan yang dilakukan pemerintah Pemerintah dalam menjalankan urusan pemerintahannya haruslah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga tindakan pemerintah sah adanya dan mempunyai kekuasaan hukum. Sudah tentu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut harus jelas dan pasti, sehingga tidak dapat ditafsirkan secara beda. Ketentuan yang ditafsirkan secara berbeda-beda disebut dengan istilah norma kabur sehingga lingkup kewenangan yang diaturnyapun menjadi tidak jelas. Hal itu senada dengan apa yang dikemukakanoleh J.J.H Bruggink, yaitu “ Vage begrippen, Dit zijn begrippen waarvan de inhoud niet precies te bepalen is, zod at ook de omvang onduidelejk “50( pengertian yang kabur
50
adalah pengertian yang isinya tidak dapat ditetapkan secara pasti, sehingga lingkupannya tidak jelas)
Kewenangan penertiban tanah terlantar merupakan kewenangan delegasi dari pemerintah ( Presiden ) kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Ketentuan ini tersirat dalam Pasal 17 PP No.11 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa:
“Pelaksanaan penertiban tanah terlantar dan pendayagunaan tanah terlantar dilakukan oleh Kepala dan hasilnya dilaporkan secara berkala kepada Presiden“.
Dalam pelaksanaan penertiban tanah terlantar dibentuk sebuah panitia. Susunan keanggotaan panitia ini terdiri dari unsur Badan Pertanahan Nasional dan instansi terkait yang diatur oleh Kepala ( Pasal 5 PP No.11 Tahun 2010 ). Melihat ketentuan tersebut terjadi kekaburan norma karena instansi terkait yang dimaksud tidak jelas.Sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 14 PP No.11 Tahun 2010 dikeluarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar. Panitia yang dimaksud Pasal 5 PP No.11 Tahun 2010,dalam Peraturan Kepala BPN No.4 Tahun 2010 adalah Panitia C yang terdiri dari Kanwil BPN, Pemerintah Daerah, dan instansi yang berkaitan dengan peruntukan tanahnya yang mempunyai wewenang untuk melakukan identifikasi dan penelitian tanah terindakasi terlantar. Berdasarkan Pasal 10 Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010, Susunan keanggotaan panitia C terdiri atas :
a. Ketua : Kepala Kantor Wilayah
c. Anggota : 1. Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota
2. Dinas/Instansi Provinsi yang berkaitan dengan peruntukan tanahnya
3. Dinas/instansi Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan peruntukan tanahnya.
4. Kepala Kantor Pertanahan.
Dengan demikian maka organ yang berwenang dalam penertiban tanah terlantar adalah panitia C yang terdiri dari Kanwil BPN, Kantor Pertanahan,Pemerintah Daerah dan instansi yang berkaitan dengan peruntukan tanah yang bersangkutan berwenang dalam melakukan identifikasi dan penelitian terhadap tanah yang terindikasi terlantar. Sedangkan penetapan tanah terlantar merupakan kewenangan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
5. Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar
Pemberian hak atas tanah oleh negara kepada perorangan atau badan hukum dimaksudkan agar masyarakat dapat menggunakan, mengusahakan tanah untuk mencapai kecukupan di bidang ekonomi, kesejahteraan atau kemakmuran. Agar tujuan dapat tercapai, maka setiap pemegang hak atas tanah memahami bahwa setiap hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan.
menyebutkan “Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan” Kemudian Pasal 15 menyebutkan “Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu dengan memperhatikan pihak yang ekonomi lemah.” Pemegang hak atas tanah yang tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan Pasal 27 huruf a angka 3, Pasal 34 huruf e, Pasal 40 huruf eyang menentukan semua hak atas tanah tersebut akan hapus dan jatuh ke tangan negara apabila tanah tersebut ditelantarkan.
hapus dengan dikeluarkannya surat keputusan tersebut. Jika yang hapus hak-hak atas tanah primer, maka tanah yang bersangkutan menjadi tanah negara.51
Dalam menata kembali tanah-tanah yang ditelantarkan, pemerintah diberikan kewenangan untuk mengambil tindakan-tindakan terhadap pemegang hak yang menelantarkan tanahnya. Tindak pemerintahan dalam hukum administrasi digolongkan menjadi dua golongan yaitu tindak pemerintahan berdasarkan hukum
(rechtshandeling) dan tindak pemerintahan yang berdasarkan fakta
(feitelijkehandeling).Tindak pemerintahan yang berdasarkan hukum dapat dibagi menjadi dua macam tindakan yaitu tindakan hukum privat dan tindakan hukum publik. Tindakan hukum publik dibedakan menjadi dua yaitu tindakan hukum public bersegi satu atau sepihak dan tindakan hukum publik bersegi dua atau berbagai pihak. Tindakan hukum publik sepihak dapat bersifat umum dan dapat bersifat individual.Tindakan hukum publik sepihak bersifat umum terdapat dalam bentuk pengaturan umum atau regeling yang mempunyai daya ikat konkrit dan abstrak. Sedangkan tindakan hukum publik sepihak yang bersifat individual terdapat dalam bentuk keputusan ataubeschikking
Dalam hal terjadinya penelantaran tanah pemerintah dapat mengambil tindakan penertiban yang merupakan wewenang badan atau Jabatan Tata Usaha Negara maupun pelanggaran pada suatu ketentuan Undang-Undang. Badan atau pejabar TUN berwenang untuk bertindak secara nyata tanpa memerlukan adanya putusan pengadilan lebih dahulu. Sebelum tindakan penertiban itu dilaksanakan,
tentunya pihak yang bersangkutan diberitahu terlebih dahulu. Pemberitahuan bahwa akan dilaksanakan suatu tindakan penertiban merupakan suatu penetapan tertulis yang dapat digugat keabsahannya.52
Pemberitahuan akan dilakukan suatu tindakan penertiban harus berisi antara lain : a. Gambaran tentang keadaan atau sikap yang bersifat illegal dari peraturanyang
dilanggar disebutkan.
b. Pemberitahuan harus jelas, sehingga yang diberitahu itu mengerti apayang harus dilakukan.
c. Tenggang waktu yang diberikan harus jelas dan tegas.
d. Pemberitahuan itu harus mengandung suatu kepastian, bahwa akan benar-benar dilaksanakan, sebab kalau hanya kira-kira akan dilakukan penertiban, maka hal itu akan bertentangan dengan asas kepastian.
Berdasarkan PP No.11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban TanahTerlantar, penertiban tanah terlantar dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : a. Inventarisasi tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang terindikasi
terlantar
b. Identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar c. Peringatan terhadap pemegang hak
52
d. Penetapan tanah terlantar
a. Inventarisasi Tanah Terindikasi Terlantar
Informasi tanah terindikasi terlantar diperoleh dari hasil pemantauan lapangan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan, atau dari laporan dinas / instansi lainnya, laporan tertulis dari masyarakat, atau pemegang hak.Inventarisasi tanah terindikasi terlantar meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, tanah yang telah memperoleh dasar penguasaan dari pejabat yang berwenang sejak diterbitkan izin / keputusan /surat dasar penguasaan tanah tersebut. Kegiatan inventarisasi ini dilaksanakan melalui:
1. Pengumpulan data mengenai tanah yang terindikasi terlantar meliputi datatekstual dan data spasial.
a. Data tekstual meliputi nama dan alamat pemegang hak, nomor dan tanggal keputusan pemberian hak, nomor, tanggal dan berakhirnya sertifikat, letak tanah, luas tanah, penggunaan tanah, luas tanah terindikasi terlantar.
b. Data spasial merupakan data grafis berupa peta yang dilengkapi dengan koordinat posisi bidang tanah terindikasi terlantar.
2. Pengelompokan data tanah terindikasi terlantar yang telah terhimpun menurut wilayah kabupaten/kota dan jenis hak/dasar penguasaan tanah.
Tanah terindikasi terlantar yang telah diinventarisasi ditindaklanjuti dengan identifikasi dan penelitian. Identifikasi dan penelitian dilakukan 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya sertipikat Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, serta tanah yang telah memperoleh izin/keputusan/surat dasar penguasaan atas tanah dari pejabat yang berwenang terhitung sejak berakhirnya dasar penguasaan tersebut. Kakanwil BPN menetapkan target tanah hak yang terindikasi terlantar, dengan mempertimbangkan lamanya tanah tersebut ditelantarkan dan / atau luas tanah yang terindikasi terlantar. Untuk mempercepat proses identifikasi dan penelitian, Kakanwil BPN menyiapkan data dan informasi tanah terindikasi terlantar yang meliputi :
1. Verifikasi data fisik dan data yuridis meliputi jenis hak dan letak tanah
2. Mengecek buku tanah dan/atau warkah dan dokumen lainnya untuk mengetahui keberadaan pembebanan, termasuk data, rencana, dan tahapan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada saat pengajuan hak
3. Meminta keterangan dari pemegang hak dan pihak lain yang terkait, apabila pemegang hak/kuasa/wakil tidak memberikan data dan informasi atau tidak ditempat atau tidak dapat dihubungi, maka identifikasi dan penelitian tetap dilaksanakan dengan cara lain untuk memperoleh data
4. Melaksanakan pemeriksaan fisik berupa letak batas, penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan menggunakan tehnologi yang ada
6. Membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar antara lain menyangkut permasalahan-permasalahan penyebab terjadinya tanah terlantar, kesesuaian dengan hak yang diberikan, dan kesesuaian dengan tata ruang. 7. Menyususn laporan hasil identifikasi dan penelitian
8. Kakanwil BPN memberitahukan secara tertulis kepada pemegang hak yangakan dilakukan identifikasi dan penelitian sesuai dengan alamat atau domisili pemegang hak
9. Apabila pemegang hak tidak diketahui alamat atau domisilinya, maka pemberitahuan dilakukan melalui pengumuman di kantor Pertanahan dan dilokasi tanah yang bersangkutan, bahwa tanah tersebut sedang dalam tahap identifikasi dan penelitian oleh Kakanwil BPN.
Setelah data hasil identifikasi dan penelitian dinilai cukup sebagai bahan pengambilan keputusan upaya penertiban, Kakanwil membentuk Panitia C yang terdiri dari unsurKantor Wilayah, Kantor Pertanahan, Pemerintah Daerah, dan instansi yang berkaitan dengan peruntukan tanah yang bersangkutan. Susunan keanggotaan Panitia C terdiri dari :
a. Ketua : Kepala Kantor Wilayah
b. Sekretaris : Kepala Bidang Pengendalian Pertanahan danPemberdayaan Masyarakat, merangkap anggota
2. Dinas/instansi Provinsi yang berkaitan dengan peruntukan tanahnya
3. Dinas/instansi Kabupaten/Kota yang berkaitandengan peruntukan tanahnya
4. Kepala Kantor Pertanahan
Panitia C melaksanakan sidang panitia dengan menggunakan konsep laporan hasil identifikasi dan penelitian yang telah dilaksanakan oleh Kakanwil BPN, dan apabila diperlukan Panitia C dapat melakukan pengecekan lapangan. Panitia C menyampaikan laporan akhir hasil identifikasi dan penelitian serta Berita Acara kepada Kepala Kantor Wilayah BPN
c. Peringatan
1. Mengusahakan, menggunakan, dan memanfaatkan tanahnya sesuai keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya
2. Dalam hal tanah yang digunakan tidak sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian haknya, pemegang hak harus mengajukan permohonan perubahan hak atas tanah kepada kepala sesuai dengan peraturan yang berlaku
3. Mengajukan permohonan hak untuk dasar penguasaan atas tanah mengusahakan, menggunakan atau memanfaatkan tanahnya sesuai dengan izin/keputusan/surat dari pejabat yang berwenang.
Apabila pemegang hak tidak melaksanakan peringatan pertama, setelah memperhatikan kemajuan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada akhir peringatan pertama, Kakamwil BPN memberikan peringatan tertulis, kedua dengan jangka waktu yang sama dengan peringatan pertama. Apabila pemegang hak tidak melaksanakan peringatan kedua, setelah memperhatikan kemajuan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada akhir peringatan kedua, Kakanwil BPN memberikan peringatan tertulis ketiga yang merupakan peringatan terakhir dengan waktu sama dengan peringatan kedua. Dalam masa perigatan (pertama, kedua, dan ketiga) pemegang hak wajib melaporkan kemajuan penggunaan dan pemanfaatan tanah. secara berkala setiap 2(dua) mingguan kepada Kakanwil BPN dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, dan dilakukan pemantauan dan evaluasi lapangan oleh Kanwil BPN pada setiap akhir peringatan.
Apabila pada akahir peringatan ketiga, setelah dilakukan pemantauan dan evaluasi, masih terdapat tanah yang ditelantarkan (berarti pemegang hak tidak mematuhi peringatan tersebut), maka Kepala Kanwil BPN mengusulkan kepada Kepala BPN RI
Agar bidang tanah tersebut ditetapkan sebagai tanah terlantar. Yang dimaksud tidak mematuhi peringatan, adalah apabila :
1. seluruh bidang tanah hak tidak digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian hak
2. sebagian tanah belum diusahakan sesuai dengan Surat Keputusan hak atau dasar penguasaan tanah
3. sebagian tanah digunakan tidak sesuai dengan Surat Keputusan hak atau dasar penguasaan tanah
4. seluruh tanah telah digunakan tetapi tidak sesuai dengan Surat Keputusan hak atau dasar penguasaan tanah
5. tidak ada tindak lanjut penyelesaian pembangunan
6. tanah dasar pengusaan telah digunakan tetapi belum ada permohonan pengajuan hak
dikuasai langsung oleh negara. Tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar, dalam jangka waktu1 (satu) bulan wajib dikosongkan oleh bekas pemegang hak. Apabila tanah terlantar tersebut dibebani hak tanggungan, maka hak tanggungan tersebut juga menjadi hapus dengan hapusnya hak atas tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar. Akan tetapi hapusnya hak tanggungan tersebut tidak menghapus perjanjian kredit atau utang piutang yang terjadi antara kreditur dengan debitur, karena hubungan hukum tersebut bersifat keperdataan. Terhadap pemegang hak yang hanya menterlantarkan tanahnya sebagian, dan pemegang hak mengajukan permohonan hak baru atau revisi atas luas bidang tanah yang benar-benar diusahakan, dipergunakan dan dimanfaatkan, maka setelah hak atas tanahnya yang baru terbit, pemegang hak dapat melakukan pembebanan hak tanggungan sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan DenganTanah.
Keputusan Penetapan tanah terlantar yang ditetapkan oleh Kepala BPN RI merupakan tindakan hukum public sepihak, sehingga agar tidak menimbulkan kerugian bagi pemegang hak atas tanah maka seblum keputusan ini ditetapkan perlu diperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
yang senantiasa harus diperhatikan dan ditaati oleh pemerintah dalam mengambil tindakan dalam menjalankan pemerintahan
Menurut Kuntjoro Purbopranoto terdapat 13(tigabelas) asas-asas umum pemerintahan yang baik yaitu :53
1. Asas Kepastian Hukum(principle of legal security)
2. Asas Keseimbangan(principle of proportionality)
3. Asas Bertindak Cermat(principle of carefulness)
4. Asas Motivasi Dalam Setiap Keputusan(principle of motivation )
5. Asas Larangan Mencampuradukan Kewenangan(principle of non misuse of competence )
6. Asas Kesamaan Dalam Mengambil Keputusan(principle of equality)
7. Asas Permainan Yang Layak(principle of fair play)
8. Asas Keadilan atau kewajaran(principle of reasonable of prohibition of arbitrariness)
9. Asas Menanggapi Pengharapan Yang Wajar(Principle of meeting raise dexpectation )
10. Asas Meniadakan Akibat Keputusan Yang Batal(principle of undoing the consequences of unneled decision )
11. Asas perlindungan atas Pandangan Hidup Pribadi(principle of protetcting the personal way of life )
12. Asas kebijaksanaan(principle of sapiently)
13. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum(principle of public service)
Asas-asas umum pemerintahan yang baik dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Asas Kepastian Hukum, asas ini menghendaki setiap keputusan badan
atau pejabat tata usaha negara yang dikeluarkan dianggap benar menurut hukum, selama belum dibuktikan sebaliknya atau dinyatakan sebagai keputusan
yang bertentangan dengan hukum oleh hakim adminstrasi.
53Kuntjoro Purbopranoto,Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan
2. Asas Keseimbangan, asas ini menghendaki adanya kriteria yang jelasmengenai jenis-jenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan yangdilakukan sehingga memudahkan penerapannya dalam setiap kasus yang ada.
3. Asas bertindak cermat, asas ini menghendaki agar pemerintah bertindak cermat dalam melakukan aktivitas sehingga tidak merugikan bagi warga negaranya. 4. Asas Motivasi Dalam Setiap Keputusan, asas ini menghendaki setiap keputusan
badan pemerintahan harus mempunyai motivasi atau alas an yang cukup sebagai dasar dalam menerbitkan keputusan.
5. Asas Larangan Mencampuradukan Kewenangan, dalam asas ini aspek wewenang tidak dapat dijalankan melebihi apa yang sudah ditentukan dalam undang-undang artinya pejabat tata usaha negara tidak menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain selain yang ditentukan dalam peraturan yang berlaku atau menggunakan wewenang melampaui batas.
6. Asas Kesamaan Dalam Mengambil Keputusan, asas ini menghendaki badan pemerintah mengambil tindakan yang sama atas kasus yang faktanya sama.
7. Asas Permainan Yang Layak, asas ini menghendaki agar setiap warga diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mencari kebenaran dan keadilan serta membela diri sebelum dijatuhkan putusan.
9. Asas Menanggapi Pengharapan Yang Wajar, asas ini menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus mengabulkan harapan warga Negara walaupun tidak menguntungkan bagi pemerintah.
10. Asas Meniadakan Akibat Keputusan Yang Batal, asas ini menghendaki jika terjadi pembatalan atas suatu keputusan maka yang bersangkutan atau yang terkena keputusan haru diberikan ganti rugi atau kompensasi atau pengembalian nama baik.
11. Asas Perlindungan atas Pandangan Hidup Pribadi, asas ini menghendaki pemerintah melindungi hak setiap warga negara yang merupakan konsekuensi negara hukum demokratis yang menjunjung tinggi dan melindungi hak asasi setiap warga negara.
12. Asas Kebijaksanaan, asas ini menghendaki pemerintah dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya diberi kebebasan dan keleluasaan untuk menerapkan kebijaksanaan tanpa harus terpaku pada peraturan perundang-undangan formal atau hukum tertulis.
13. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum, asas ini menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan kepentingan umum.
Secara yuridis asas-asas umum pemerintahan yang baik dituangkan dalam UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Asas-asas Penyelenggaraan Negara terdiri dari :
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara; 3. Asas Kepentingan Umum;
4. Asas Keterbukaan; 5. Asas Proporsionalitas; 6. Asas Profesionalitas; 7. Asas Akuntabilitas.
1. seluruh hamparan tanah hak/dasar penguasaan terlantar atau 100% diterlantarkan;
2. sebagian besar terlantar, dengan kisaran > 25% – < 100% diterlantarkan,dan 3. sebagian kecil terlantar, dengan kisaran ≤ 25 % diterlantarkan.