72
BAB III
PENUTUP
Pada bab ini penulis akan meberikan kesimpulan dan saran dari pembahasan mengenai
bagaimana pertimbangan Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan Bachtir Abdul fatah Nomor
21/PUU-XII/2014 terkait penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan.
A. KESIMPULAN
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara Nomor
21/PUU-XXI/2014 terdapat 4 (empat) aspek yaitu mengenai:
a. legal standing pemohon bahwa Yang terkait permohonan yang diajukan oleh
Bachtiar Abdul Fatah, bahwa ia adalah sorang pemohon yang dalam
permohonannya merupakan perseorangan atau berkewarganegaraan
Indonesia, yang memiliki hak konstitusional atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil” dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Menurut pemohon hak konstitusionalnya tersebut telah dirugikan oleh
berlakunya Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1),
Pasal 77 huruf a, dan Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981
tetang KUHAP.
b. kewenangan Mahkamah Konstitusi bahwa Kemudian terkait kewenangan
Mahkamah Konstitusi atas permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi
berwenang untuk mengadili permohonan yang diajukan oleh Bachtiar Abdul
Fatah karena dalam permohonan yang diajukan dinyatakan bertentangan
dengan Undang-undang Dasar 1945 dan atas hal tersebut permohonan
tersebut merupakan constitutional complaint atas judicial review atau
constitutional review. Dimana mahkamah Konstitusi sesuai dalam Pasal 10
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah konstitusi yang
73
berwenang atas permohonan yang terkait pengujian Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
c. konstitusionalitas materiil Bahwa permohonan yang diajukan oleh Bachtiar
Abdul Fatah selaku pemohon pengujian pasal tersebut bersifat Konstitusional
materiel, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa permohonan yang
dimohonkan oleh pemohon bersifat kosntitusionalitas materiel sebagian
karena terkait pasal dalam permohonan yang diajukan dinyatakan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 atas dasar pertimbangan
Pasal 13 ayat (1) Peraturan Mahmamah Konstitusi No 06/PMK/2005.
Kemudian dalam hal materi yang dimohonkan pemohon terkait penetapan
tersangka sebagai obyek praperadilan bahwa dalam penjelasannya UUD
1945, setiap orang dijamin haknya untuk mendapatkan pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum. sehingga penetapan tersangka adalah bagian dari proses
penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka
seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat
dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan.
d. konstitusionalitas formil, Mahkamah Kosntitusi mendengarkan keterangan
DPR dan/atau DPD atau mendengarkan keterangan saksi terkait dasar
dokumen penting yang menjadi risalah pembentukan Undang-Undang.
Terkait yang menjadi pendapat pemerintah dan/atau DPR, Makamah
Konstitusi mempertimbangkan bahwa dalam penafsiran norma tersebut
sudah tepat karena memberikan kepastian hukum yang adil kepada warga
negara Indonesia ketika akan ditetapkan menjadi tersangka oleh penyidik,
yaitu, harus melalui proses atau rangkaian tindakan penyidikan dengan cara
mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut penyidik menemukan
tersangkanya, bukan secara subjektif penyidik menemukan tersangka tanpa
mengumpulkan bukti.
Kemudian mengani materi yang menjadi pertimbangan Mahkamah konstitusi
bahwa dalam KUHAP cukup jelas dalam kepastian produk pelanggaran HAM oleh
74
tersebut dengan memaknai bukti permulaan yang cukup, harus merujuk pada Pasal 183
KUHAP dalam rangka mencegah pelanggaran HAM. Terkait harus merujuk pada Pasal
183 KUHAP adalah mengenai ketentuan yang mengatur tentang kewenangan hakim menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana, berdasarkan “dua alat bukti”, sebagai ketentuan yang “linear” dengan penetapan tersangka, perintah penangkapan dan
penahanan. Dengan demikian, berkenaan dengan penetapan tersangka dan penangkapan dilakukan berdasarkan “dua bukti permulaan” sebagai dasar kecukupannya secara hukum dan penahanan dilakukan berdasarkan “dua bukti”, bahwa seseorang diduga keras
melakukan tindak pidana dan dikhawatirkan melarikan diri, mengilangi perbuatannya dan
merusak serta menghilangkan barang bukti.
B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan ada beberapa hal yang perlu
mendapat perhatian sebagai bentuk saran dari penulis terhadap permasalahan yang ada
bahwa Mahkamah Konstitusi dalam memrpertimbangkan suatu permohonan apakah
bersifat materiil atau tidak haruslah memanggil saksi terkait dalam proses pembentukan
Undang-Undang tersebut, karena dalam hal mempertimbangkan tersebut Mahkamah akan
mendengarkan keterangan DPR dan/atau pemerintah terkait pembentukan
Undang-Undang tersebut, dimana dalam proses pembentukan suatu Undang-Undang-Undang-Undang, Pemeritah
maupun DPR bukanlah merupakan pemerintah atau DPR yang turut serta dalam proses
pembuatan Undang-ungang tersebut karena perubahan pemerintahan sehingga
dimungkinkan dalam memberikan keterangan tersebut pemerintah dan/atau DPR