• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontribusi Anak Bekerja Terhadap Sosial Ekonomi Keluarga (Studi Kasus Anak Bekerja Sebagai Tukang Sapu Angkutan di Terminal Terpadu Amplas, Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kontribusi Anak Bekerja Terhadap Sosial Ekonomi Keluarga (Studi Kasus Anak Bekerja Sebagai Tukang Sapu Angkutan di Terminal Terpadu Amplas, Medan)"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kontribusi

Kontribusi berasal dari bahasa inggris yaitu contribute, contribution. Maknanya adalah keikutsertaan, keterlibatan, melibatkan diri ataupun sumbangan. Artinya dalam hal ini kontribusi dapat berupa materi maupun tindakan. Misalnya yang bersifat materi seorang individu memberikan pinjaman terhadap pihak lain demi

kebaikan bersama. Contoh lainnya adalah seseorang membayar sejumlah uang untuk dapat mengikuti kegiatan tertentu.

Kontribusi dalam pengertian sebagai tindakan yaitu berupa perilaku yang dilakukan oleh individu yang kemudian memberikan dampak baik itu positif maupun negatif terhadap pihak lain. Contohnya, seseorang melakukan kerja bakti di daerah

rumahnya demi menciptakan suasana asri di daerah tempat ia tinggal. Kemudian memberikan dampak positif bagi penduduk maupun pendatang, dengan berkontribusi berarti individu tersebut telah terintegrasi dengan komunitas dan lingkungannya.

Berkontribusi berarti individu tersebut juga berarti berusaha meningkatkan efisiensi dan efektivitas hidupnya. Ini dilakukan dengan cara menajamkan posisi dan

perannya, sesuatu yang kemudian menjadi bidang spesialis, agar lebih tepat dan sesuai dengan kompetensi (http://patriotproklamasi.blogspot.com/2009/06/afiliasi-partisipasi-dan-kontribusi.html, diakses pada 24 November 2015 pukul 20.30 WIB).

(2)

pemberian yang umumnya bersifat riil baik oleh perorangan maupun badan hukum. Pemberian ini mempunyai sifat sukarela dengan tanpa adanya imbalan bersifat keuntungan. Pemberian donasi dapat berupa makanan, barang, pakaian, mainan

ataupun kendaraan, akan tetapi tidak selalu demikian. Pada peristiwa darurat bencana alam atau dalam keadaan tertentu lain donasi dapat berupa bantuan kemanusian

maupun dalam bentuk pembangunan. Pada perawatan medis donasi dapat pemberian transfuse darah dan pemberian penggantian organ. Pemberian donasi dapat dilakukan tidak hanya dalam bentuk pemberian jasa atau barang semata akan tetapi dapat

dilakukan pula dalam bentuk pendanaan kehendak bebas.

Masyarakat awam mengartikan kontribusi sebagai sumbangsih atau peran,

atau keikutsertaan seseorang dalam suatu kegiatan tertentu. Misalnya dalam melakukan pembangunan di daerah masyarakat harus ikut berkontirbusi dalam pembangunan desa. Kata kontribusi disini diartikan sebagai adanya ikut campur

masyarakat baik dalam bentuk tenaga, pikiran dan kepedulian terhadap suatu program atau kegiatan yang dilakukan pihak tertentu. Kontribusi tidak bisa diartikan hanya sebagai keikutsertaan seseorang secara formalitas saja melainkan harus ada bukti

nyata atau aksi nyata bahwa orang atau kelompok tersebut ikut membantu ikut turun ke lapangan untuk mengsukseskan suatu kegiatan tertentu. Bentuk kontribusi yang

bisa diberikan oleh masyarakat harus sesuai dengan kapasitas atau kemampuan masing-masing orang tersebut. Individu atau kelompok bisa menyumbangkan pikirannya, tenaganya, dan materinya demi mengsukseskan kegiatan yang sudah

(3)

pengertian kontribusi secara umumnya. (http://pengertiandefenisi.com/konsep-dan-pengertian-kontribusi/ diakses pada 24 November 2015 pukul 21.05 WIB).

Maka pengertian dari kontribusi sendiri ialah tidak terbatas pada pemberian

bantuan berupa uang saja. Kontribusi merupakan bantuan dalam bentuk lain seperti bantuan tenaga, bantuan pemikiran, bantuan materi, dan segala macam bentuk

bantuan yang kiranya dapat membantu suksesnya kegiatan yang telah direncanakan sebelumnya untuk mencapai tujuan bersama. Makna kontribusi dalam penelitian ini adalah suatu keterlibatan yang dilakukan oleh seorang anak yang kemudian

memposisikan dirinya terhadap peran serta dalam keluarga sehingga memberikan dampak yang kemudian dinilai dari aspek sosial dan aspek ekonomi.

2.2 Anak

2.2.1 Pengertian Anak

Anak merupakan individu yang berada dalam suatu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun) usia

bermain/oddler (1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5), usia sekolah (5-11 tahun) hingga remaja (11-18 tahun). Rentang ini berada antara anak satu dengan yang lain

mengingat latar belakang anak berbeda.

Menurut The Minimum Age Convention nomor 138 (1973), pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah. Berdasarkan Pasal 1 ayat 1

(4)

anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Rentang usia anak secara keseluruhan dapat dilihat bahwa usia anak terletak

pada skala 0 sampai dengan 21 tahun. Penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kematangan sosial, kematangan pribadi, dan

kematangan mental seseorang yang umumnya dicapai setelah seseorang melampaui usia 21 tahun (Huraerah, 2012:19).

Rentang usia anak dipertegas dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2002

tentang Perlindungan Anak yang mengatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan. Batasan

umur seseorang masih dalam kategori anak, berdasarkan beberapa peraturan yang ada di Indonesia cukup beragam, yang antara lain adalah sebagai berikut:

1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; menyebutkan : “Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum melakukan

perkawinan di bawah kekuasaan orang tuanya”.

2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pasal 1 angka (1), menyebutkan: “Anak adalah orang yang dalam perkara

anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum 11 mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.

3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 1 angka (5), menyebutkan bahwa: “Anak adalah manusia yang

(5)

4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2001 tentang Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak yaitu pada pasal 1 disebutkan bahwa anak adalah semua yang berusia di bawah 18

(delapan belas) tahun.

2.2.2 Hak dan kebutuhan Anak

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) PBB melalui Keppres No 39 Tahun 1990. Menurut KHA yang diadopsi dari Majelis

Umum PBB tahun 1989, setiap anak tanpa memandang ras, jenis kelamin, asal-usul keturunan, agama, maupun bahasa, mempunyai hak-hak yang mencakup empat

bidang:

1. Hak atas kelangsungan hidup, menyangkut hak atas tingkat hidup yang layak dan pelayanan kesehatan.

2. Hak untuk berkembang, mencakup hak atas pendidikan, informasi, waktu luang, kegiatan seni dan budaya, kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama, serta hak anak cacat (berkebutuhan khusus) atas pelayanan, perlakuan dan

perlindungan khusus.

3. Hak perlindungan, mencakup perlindungan atas segala bentuk eksploitasi,

perlakuan kejam, dan perlakuan sewenang-wenang dalam proses peradilan pidana.

4. Hak partisipasi, meliputi kebebasan untuk menyatakan pendapat, berkumpul, dan

(6)

Setiap anak sebagaimana halnya manusia lainnya, memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar yang menuntut untuk dipenuhi, sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar. Hutman dan Huraerah merinci kebutuhan anak

adalah:

1. Kasih sayang orangtua.

2. Stabilitas emosional. 3. Pengertian dan perhatian. 4. Pertumbuhan dan kepribadian.

5. Dorongan kreatif.

6. Pembinaan kemampuan intelektual dan keterampilan dasar.

7. Pemeliharaan kesehatan.

8. Pemenuhan kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal yang sehat dan memadai.

9. Aktivitas rekreasional yang konstruktif dan positif. 10.Pemeliharaan, perawatan, dan perlindungan.

Kegagalan dalam proses pemenuhan kebutuhan dasar tersebut akan

berdampak negatif pada petumbuhan fisik dan perkembangan intelektual, mental, dan sosial anak. Anak bukan saja akan mengalami kerentanan fisik akibat gizi dan dan

kualitas kesehatan yang buruk, melainkan juga mengalami hambatan mental, lemah daya nalar bahkan perilaku-perilaku seperti nakal, autis, tidak suka diatur yang kelak mendorong mereka menjadi manusia „tidak normal‟ dan perilaku kriminal (Suharto

(7)

2.2.3 Anak yang Bekerja dan Pekerja Anak

Berkaitan dengan pekerja anak pasal 32 KHA menegaskan bahwa anak harus dilindungi dari eksploitasi ekonomi. Anak juga harus dilindungi dari pelaksanaan

setiap pekerjaan yang mungkin berbahaya atau mengganggu pendidikan anak. Yang akan merugikan kesehatan atau perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, atau

sosial anak. Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi KHA berdasarkan Kepres No. 36 tahun 1990 dan dengan demikian Pemerintah Indonesia bertanggung jawab untuk melindungi hak-hak anak terutama pekerja anak

sebagaimana tercantum pada KHA tersebut (Ikhsan dkk,2000:1)

Prakteknya menunjukkan bahwa nasib anak-anak di Indonesia dewasa ini

tidaklah seperti yang dituliskan di dalam doktrin-doktrin formal itu. Berbagai problematika persoalan anak yang acapkali terdengar adalah anak jalanan, anak jermal, pekerja anak maupun anak yang bekerja. Isu anak yang bekerja (working

children) telah menjadi program aksi badan-badan dunia. Jumlah anak yang bekerja dan skala penderitaannya terus meningkat dari tahun ke tahun.

Berkaitan dengan konsep pekerja anak atau anak bekerja, indikator

Kesejahteraan Rakyat memberitahukan batasan bahwa yang termasuk pekerja anak adalah penduduk yang berusia 10-14 tahun yang melakukan kegiatan untuk

memperoleh pendapatan atau penghasilan minimal 1 jam dalam seminggu. Kendati demikian, BPS 1993 meletakkan kategori anak yang berstatus sebagai pekerja anak

(8)

diidentifikasikan sebagai anak yang bekerja dalam situasi yang biasanya mengandung unsur lingkungan kerja yang membahayakan dan unsur eksploitatif. Konsepsi tersebut tidak mengabaikan bahwa pekerja anak kadangkala juga berada pada

lingkungan kerja yang membahayakan dan eksploitatif akibatnya batasan antara pekerja anak dengan buruh anak menjadi kabur (Ikshan, dkk, 2000).

Soetarso menegaskan bahwa tidak dikategorikan sebagai pekerja anak adalah anak yang dibimbing oleh orangtua atau sanak keluarganya atau atas kesadarannya sendiri membantu pekerjaan orangtua atau orang lain. Anak yang tidak diarahkan

untuk mencari atau membantu mencari nafkah tetapi untuk menanamkan atau memperoleh pengetahuan, keterampilan,dan atau sikap kewirausahaan sejak dini.

Anak tersebut masih sekolah dan kegiatan tersebut tidak mengganggu proses belajar di sekolahnya (Huraerah, 2006). Masyarakat biasanya mendefenisikan anak bekerja sebagai upaya membantu orang tua. Anak yang tidak melakukan nya sementara

orangtua mengaharapkannya demikian disebut tidak mengerti keadaan orang tua. Anak yang bekerja tanpa disuruh dan diharapkan untuk bekerja disebut mengerti kesulitan orangtua (Ikhsan, 2000).

Menurut Warsini anak yang bekerja adalah anak melakukan pekerjaan karena membantu orangtua, latihan keterampilan dan belajar bertanggung jawab. Misalnya

membantu mengerjakan tugas-tugas dirumah, membantu pekerjaan orang tua diladang dan lain-lain. Anak melakukan pekerjaan yang ringan dapat dikategorikan sebagai proses sosialisasi dan perkembangan anak menuju dunia kerja. Indikator anak

membantu melakukan pekerjaan ringan adalah :

(9)

2. Ada unsur pendidikan/pelatihan. 3. Anak tetap sekolah.

4. Dilakukan pada saat senggang dengan waktu yang relatif pendek.

5. Terjaga keselamatan dan kesehatannya.

Lebih lanjut menurut Kelompok usia tersebut dikelompokkan menjadi tiga

yaitu: 5-12, 13-15 dan 16-17. Penentuan batas terendah yaitu usia 5 tahun dipilih berdasarkan kenyataan bahwa di Indonesia masih sangat jarang (jika ada) bagi anak-anak untuk terlibat dalam ketenagakerjaan. Walaupun sangat mungkin terjadi bagi

anak-anak untuk berada di dalam pekerjaan setidaknya sebagai pekerja keluarga yang tidak dibayar. Pada kelompok termuda 5-12, bekerja sebenarnya tidak diperbolehkan,

bahkan untuk pekerjaan ringan. Pada kelompok usia berikutnya 13-15, pekerjaan ringan dapat ditoleransi oleh undang-undang sedangkan pada kelompok usia tertua 16-17, bekerja secara umum diperbolehkan secara hukum. Namun mereka dilindungi

oleh undang-undang dari bentuk pekerjaan terburuk bahaya (Melati, 2012).

Dampak anak bekerja juga dapat berpengaruh pada anak baik dari psikis maupun menurunnya proses pendidikannya. Pada KHA yang telah diratifikasi oleh

Pemerintah Indonesia disebutkan dan diakui bahwa anak-anak pada hakikatnya berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Faktanya akibat tekanan kemiskinan,

kurangnya animo orang tua terhadap arti penting pendidikan, dan sejumlah faktor lain, maka secara sukarela maupun terpaksa anak menjadi salah satu sumber pendapatan keluarga yang penting.

(10)

juga kerugian jangka panjang yang harus ditanggung masyarakat: Kerugian bagi anak:

1. Penyangkalan hal-hak dasar anak, misalnya hak untuk mendapatkan pendidikan.,

hak untuk bermain, dan hak untuk mendapatkan perlakuan baik.

2. Tubuh anak masih terus berkembang dan belum terbentuk sepenuhnya. Pekerjaan

tertentu dapat mencelakakan dan mengakibatkan kesehatan yang buruk atau dapat mencelakakan dan dapat mengakibatkan tumbuh-kembang anak tergangu.

3. Anak-anak lebih mudah terkontaminasi senyawa kimia dan radiasi berbahaya

dibandingkan dengan orang dewasa.

4. Daya tahan tubuh anak rentan terhadap penyakit.

5. Anak-anak seringkali mengerjakan pekerjaan yang terdapat eksploitasi, berbahaya, merendahkan harga diri dan terisolasi. Mereka seringkali mendapatkan perlakuan yang kasar, sewenang-wenang dan diabaikan oleh

majikannya.

6. Anak-anak didorong memasuki dunia orang dewasa sebelum waktunya. Mereka tidak mempunyai waktu untuk mengikuti aktivitas-aktivitas yang penting untuk

pertumbuhan mereka, misalnya bermain, bersekolah, bergaul dengan teman sebaya.

Kerugian jangka panjang:

1. Anak-anak tanpa pendidikan tidak memiliki kesempatan mengubah nasibnya dari kemiskinan. Kemiskinan merupakan faktor pendorong masuknya anak ke dunia

(11)

2. Anak-anak yang mulai bekerja pada usia dini akan mengalami kesehatan fisik yang rapuh, ketakutan, dan matang bsebelum waktunya di masa yang akan dating (Huraerah, 2006).

Konvensi ILO No. 138 tentang Usia Minimum Diperbolehkan untuk Bekerja 1973 tetap menjadi standar internasional yang fundamental tentang pekerja anak

ataupun anak yang bekerja. Dimana negara-negara yang telah meratifikasi konvensi ini diharuskan untuk menyusun kebijakan nasional yang bertujuan untuk menghapus perburuhan anak ataupun pekerja anak secara efektif. Hal ini dilakukan untuk

meningkatkan secara progresif umur minimum seseorang untuk bekerja atau bekerja pada tingkat yang sesuai dengan pertumbuhan optimal dari fisik dan mental

anak-anak. Menetapkan umur minimum seseorang untuk bekerja merupakan kewajiban pokok dari negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi ini dan Konvensi ini telah menetapkan tiga kategori berikut ini:

1. Umur minimum tidak boleh kurang dari umur yang dibutuhkan untuk menyelesaikan program wajib belajar, dan dalam hal apapun, tidak boleh kurang dari umur 15 tahun. Negara-negara yang fasilitas perekonomian dan

pendidikannya belum dikembangkan secara memadai dapat menetapkan usia minimum 14 tahun untuk bekerja pada tahap permulaan.

2. Umur minimum yang lebih tua yaitu 18 tahun ditetapkan untuk jenis pekerjaan yang berbahaya “yang sifat maupun situasi dimana pekerjaan tersebut dilakukan

kemungkinan besar dapat merugikan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak”. Masing-masing negara diberi kebebasan untuk menentukan batas usia ini,

(12)

menyediakan panduan tentang kriteria yang harus diterapkan dalam menentukan pekerjaan mana yang dikategorikan sebagai pekerjaan yang berbahaya.

3. Umur minimum yang lebih rendah untuk pekerjaan ringan yaitu pekerjaan yang kemungkinan besar tidak akan membahayakan kesehatan atau pertumbuhan anak-anak atau menganggu pendidikan mereka, dapat ditetapkan pada umur 13 tahun. Negara-negara yang pada awalnya menetapkan umur minimum 14 tahun, maka umur minimum untuk pekerjaan ringan dapat ditetapkan pada umur 12 tahun (Idris, 2007).

Sementara itu yang dimaksud dengan pekerja anak menurut Warsini, dkk adalah anak yang melakukan segala jenis pekerjaan yang memiliki sifat atau

intensitas yang dapat mengganggu pendidikan, membahayakan keselamatan, kesehatan serta tumbuh kembangnya dapat digolongkan sebagai pekerja anak. Disebut pekerja anak apabila memenuhi indikator antara lain:

1. Anak bekerja setiap hari. 2. Anak tereksploitasi.

3. Anak bekerja pada waktu yang panjang

4. Waktu sekolah terganggu/tidak sekolah

Para pekerja anak tersebut kerap diberlakukan tidak sesuai norma yang ada.

Mereka kerap dijadikan obyek perbudakan, eksploitasi dan kekerasan. Para pekerja anak menghadapi berbagai macam perlakuan kejam dan eksploitasi, termasuk perlakuan kejam secara fisik dan seksual, pengurungan paksa, upah tidak dibayar,

upah yang tidak mencukupi, Pekerjaan yang mengurangi harga diri dan martabat anak-anak, seperti perbudakan atau pekerjaan kontrak paksa, tidak diberi makan dan

(13)

Mempekerjakan pekerja anak pada dasarnya merupakan suatu hal yang melanggar hak asasi anak karena eksploitasi pekerja anak selalu berdampak buruk terhadap perkembangan anak baik fisik, emosi dan sosial anak (Melati, 2012).

2.2.4 Bentuk-Bentuk Terburuk Pekerjaan Anak

Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak adalah yang dicantumkan dalam pasal 3 Konvensi ILO Nomor 182, yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 yaitu:

1. Segala bentuk perbudakan, praktik sejenis perbudakan seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara

paksa atau wajib untuk dimanfaatkan.

2. Pemanfaatan, penyediaan, atau penawaran anak untuk pelacuran ataupun pertunjukan-pertunjukan porno.

3. Pemanfaatan, penyediaan, atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan.

4. Pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak-anak (Huraerah, 2000).

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyebutkan bahwa:

1) Seorang anak tidak boleh dipekerjakan lebih dari 4 jam sehari.

(14)

3) Pemberi kerja harus memberikan upah kerja kepada anak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

4) Seorang anak tidak boleh melakukan pekerjaan-pekerjaan di bawah tanah, di

dalam lubang, di bawah permukaan tanah, di tempat pengambilan mineral, logam dan bahan-bahan galian lainnya dalam lubang terowongan di bawah tanah

termasuk di dalam air.

5) Seorang anak tidak boleh diperkerjakan di tempat-tempat dan/atau menjalankan pekerjaan yang bersifat dapat membahayakan kesusilaan.

6) Seorang anak tidak dipekerjakan di pabrik, di dalam ruangan tertutup yang menggunakan alat bermesin.

7) Seorang anak tidak boleh dipekerjakan pada pekerjaan konstruksi jalan, jembatan, bangunan air dan bangunan gedung.

8) Seorang anak tidak boleh dipekerjakan pada pembuatan, pembongkaran, dan

pemindahan barang di pelabuhan, dermaga, galangan kapal, stasiun, tempat penyimpanan barang dan gedung.

2.2.5 Faktor-faktor Anak Bekerja

Pekerja anak atau anak bekerja merupakan masalah yang cukup kompleks

yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kemiskinan, kondisi anak, keluarga dan budaya dan ketidaksetaraan di tengah-tengah masyarakat. Namun anak yang bekerja juga merupakan faktor penyebab terjadinya kemiskinan dan dalam hal ini ia hidup

(15)

buta huruf, ketidakberdayaan dan kurangnya pilihan, sehingga makin memperburuk kondisi orang tua yang miskin sehingga mereka terpaksa menyuruh anak-anaknya untuk bekerja. Kemiskinan bukan satu-satunya faktor yang mendorong timbulnya

perburuhan anak atau anak yang bekerja dan tidak dapat digunakan untuk membenarkan segala jenis pekerjaan dan perbudakan.

Orang tua yang sangat tertekan mungkin tidak merasa bahwa hasil jangka panjang yang diperoleh dari pendidikan adalah jauh lebih baik menguntungkan daripada hal ekonomi jangka pendek serta keterampilan yang diproleh dari pekerjaan

anak. Pendidikan untuk anak-anak miskin mungkin terlalu mahal, sulit diakses, bermutu rendah atau dianggap tidak relevan. Banyak keluarga tergantung pada anak

perempuan mereka untuk melakukan tugas-tugas di rumah agar anggota keluarga dewasa dapat bekerja di luar rumah. Anak-anak mungkin memutuskan untuk bekerja setelah mengetahui bahwa keluarga mereka butuh uang, atau akibat pengaruh dari

teman-teman untuk bergabung dengan mereka di jalan atau di lokasi lain. Perburuhan anak, pekerja anak serta anak yang bekerja terus berlangsung karena undang-undang yang ada tidak diterapkan dengan baik dan karena lemahnya komitmen sosial dan

politik (Idris, 2007).

Faktor-faktor penyebab anak yang bekerja yaitu:

(16)

2. Kemiskinan, gaya hidup konsumerisme, tekanan kelompok sebaya serta drop out dari sekolah mendorong anak untuk mencari keuntungan material dengan terpaksa bekerja.

3. Kondisi krisis ekonomi juga mendorong anak untuk terjun bekerja bersaing dengan orang dewasa.

4. Lemahnya penegakan hukum di bidang pengawasan umur minimum untuk bekerja dan kondisi pekerjaan. (Tjahjorini, 2014)

5. Faktor adanya urbanisasi. Daerah asal dari anak yang berkerja, yang mayoritas

dari pedesaan juga merupakan salah satu faktor timbulnya anak bekerja. Pedesaan yang dianggap tidak bisa memberikan jaminan perbaikan ekonomi, maka banyak

orang yang mengadu nasib ke kota-kota besar dengan harapan dapat memperoleh penghasilan yang lebih tinggi, tanpa kecuali para orangtua yang terbelenggu masalah ekonomi mengajak anaknya untuk dipekerjakan, mulai dijadikannya

pengemis sampai pada buruh pabrik (Setiamandani, 2012).

6. Faktor sosial budaya. Fenomena anak bekerja ini tidak terlepas dari realitas yang ada pada masyarakat, yang secara kultural memandang anak sebagai potensi

keluarga yang wajib berbakti kepada orang tua. Anak yang bekerja justru dianggap sebagai anak yang berbakti dan dapat mengangkat harkat dan martabat

orang tua. Dengan budaya yang seperti ini, maka posisi anak yang sebenarnya mempunyai hak dan wajib dilindungi menjadi terabaikan (Setiamandani, 2012).

Sebagai tambahan dari beberapa faktor pendorong anak untuk bekerja di

(17)

1. Faktor mendasar adalah masalah kemiskinan, terkait dengan situasi dan kondisi keluarga yang miskin sehingga mengakibatkan daya ekonomi keluarga menjadi lemah. Akibatnya keluarga tidak dapat mencukupi kebutuhan dasarnya. Hal ini

terkait dengan ketidakmampuan keluarga dalam hal ini orang tua untuk menjalankan fungsinya terutama fungsi ekonomi. Ketidakmampuan keluarga

memenuhi kebutuhan dasar ini berpengaruh pada rendahnya daya tahan fisik serta intelektual karena kurangnya asupan gizi yang memenuhi standar. Lebih lanjut hal ini akan berpengaruh pada rendahnya motivasi, kreativitas dan produktivitas.

Anak menjadi mudah lelah saat bekerja serta mudah terserang penyakit, rendah konsentrasinya saat seharusnya anak menerima pelajaran di sekolah, sehingga

berpengaruh terhadap kemampuan intelektual anak. Untuk itu perlu diupayakan gizi, menu makanan serta minuman penyegar untuk menunjang kesehatan fisik, mental dan intelektual anak.

2. Faktor terkait dengan program wajib belajar sembilan tahun yang harus dicapai secepat mungkin oleh pihak pemerintah, menjadi sulit untuk diberlakukan kepada keluarga miskin. Hal ini disebabkan bagi kelompok rumah tangga yang terpaksa

membiarkan anaknya bekerja dengan alasan menambah pendapatan rumah tangga, tentu saja bukan hal mudah untuk mewajarkannya, apalagi dengan biaya

dan kebutuhan pendidikan yang relatif tidak sedikit. Akibatnya satu juta anak usia 10-14 (sepuluh sampai dengan empat belas) tahun terpaksa sekolah sambil

(18)

meskipun biaya pendidikan dibebaskan, keluarga miskin niscaya harus menanggung biaya lain terkait dengan masuknya anak di sekolah, seperti biaya seragam, buku dan transportasi. Belum lagi, biaya kehilangan pendapatan

(opportunity cost) yang diakibatkan oleh hilang atau berkurangnya waktu kerja anak untuk membantu orang tua mencari nafkah bagi keluarga (Tjahjorini, 2014).

3. Kalau bicara dari segi etika dan moral anak-anak memang disadari bahwa tidak seharusnya bekerja, apalagi bekerja disektor berbahaya, karena dunia mereka adalah dunia yang selayaknya digunakan untuk belajar, bermain dan sebagainya,

tetapi akibat tradisi, perubahan proses produksi, kelangkaan pendidikan, dan tidak memadainya aturan yang melarang anak yang bekerja (Suyanto, 2003: 126).

2.2.6 Kesejahteraan Anak

Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan anak yang dapat menjamin

pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Dasar dari undang-undang ini mengacu kepada pasal 34 UUD

1945, yang menyatakan fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Apabila ketentuan pasal 34 UUD 1945 ini diberlakukan secara konsekuen, maka

kehidupan fakir miskin dan anak terlantar akan terjamin.

Beberapa hal yang perlu diketahui dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak adalah dari segi batas usia anak menurut

(19)

Menurut undang-undang ini, batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, tahap kematangan pribadi dan tahap kematangan mental. Pada usia 21 tahun anak sudah

dianggap mempunyai kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental (Waluyadi, 2009: 5)

Pada Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak juga di jelaskan mengenai hak-hak anak yaitu dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979, juga disebutkan hak-hak anak sebagai berikut:

1. Pasal 3 UU No. 4 Tahun 1979 : Seorang anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan berdasarkan kasih sayang, pelayanan untuk berkembng,

pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan atau setelah dilahirkan, perlindungan lingkungan hidup yang menghambat perkembangan. 2. Pasal 4 UU No. 4 Tahun 1979 : Anak yang tidak mempunyai orang tua berhak

memproleh asuhan negara atau orang atau badan.

3. Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1979 : Anak yang tidak mampu berhak memproleh bantuan agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang

dengan wajar.

4. Pasal 6 UU No. 4 Tahun 1979 : Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi

(20)

2.3 Keluarga

2.3.1 Pengertian Keluarga

Keluarga adalah kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat.

Menurut Iver dan Page keluarga dirumuskan sebagai kelompok sosial yang terkecil yang umumnya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluarga merupakan unit terkecil

yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan organisasi terbatas, dan mempunyai ukuran yang minimum, terutama pihak-pihak yang pada awalnya mengadakan suatu ikatan.

Disimpulkan bahwa keluarga tetap merupakan bagian dari masyarakat total yang lahir dan berada didalamnya, yang secara berangsur-angsur akan melepaskan ciri-ciri

tersebut karena tumbuhnya mereka kearah pendewasaan.

Beberapa pengertian tentang keluarga pada hakikatnya keluarga merupakan hubungan seketurunan maupun tambahan (adopsi). Keluarga kemudian diatur melalui

kehidupan perkawinan bersama searah dengan keturunannya yang merupakan satuan yang khusus. Keluarga pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang terbentuk dari suatu hubungan seks yang tetap. Keluarga bertugas untuk menyelenggarakan hal-hal

yang berkenaan dengan keorangtuaan dan pemeliharaan anak dalam keluarga tersebut. (Su‟adah, 2005: 22-23).

2.3.2 Ciri-ciri Keluarga

Selanjutnya Iver dan Page memberikan ciri-ciri umum keluarga yang

meliputi:

(21)

2. Berbentuk perkawinan atau susunan kelembagaan yang berkenaan dengan hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk dan dipelihara.

3. Suatu sistem tata-tata norma termasuk perhitungan garis keturunan.

4. Ketentuan-ketentuan ekonomi yang dibentuk oleh anggota-angta kelompok yang mempunyai ketentuan khusus terhadap kebutuhan-kebutuhan ekonomi yang

berkaitan dengan kemampuan untuk mempunyai keturunan dan membesarkan anak.

5. Merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau rumah tangga yang walau

bagaimanapun tidak mungkin menjadi terpisah terhadap kelompok keluarga (Su‟adah, 2005).

Disamping memiliki ciri-ciri umum sebagai suatu lazimnya keluarga juga memiliki ciri-ciri khusus sebagai berikut:

1. Universalitas artinya merupakan bentuk yang universal dari seluruh organisasi sosial.

2. Dasar emosional artinya rasa kasih sayang, kecintaan sampai kebanggan suatu ras.

3. Pengaruh yang normatif artinya keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama-tama bagi seluruh bentuk hidup yang tertinggi, dan membentuk watak

daripada individu.

4. Besarnya keluarga terbatas.

5. Kedudukan yang sentral dalam struktur sosial.

6. Pertanggung jawab daripada anggota-anggota.

(22)

2.3.3 Tipe Keluarga

Keluarga dibagi menjadi dua bagian yaitu keluarga inti (Nuclear Family) dan keluarga besar (Extended Family). Keluarga inti dapat kita definisikan dengan keluarga atau kelompok yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum dewasa atau belum kawin. Terdapat interaksi dengan kerabat dari salah satu atau dua

pihak orang tua, sedangkan keluarga luas adalah satuan keluarga yang meliputi lebih dari satu generasi dan suatu lingkungan kaum keluarga yang lebih luas daripada hanya ayah, ibu, dan anak-anaknya. Keluarga luas ini meliputi hubungan antara bibi,

paman, keluarga kakek, dan keluarga nenek (Sunarto, 2004).

2.3.4 Tugas dan Fungsi Keluarga

1. Tugas Keluarga

Pada dasarnya tugas keluarga ada delapan tugas pokok sebagai berikut:

1. Pemeliharaan fisik keluarga dan para anggotanya.

2. Pemeliharaan sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga.

3. Pembagian tugas masing-masing anggotanya sesuai dengan kedudukannya

masing-masing.

4. Sosialisasi antar anggota keluarga.

5. Pengaturan jumlah anggota keluarga. 6. Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga.

7. Penempatan anggota-anggota keluarga dalam masyarakat yang lebih luas.

(23)

2. Fungsi Keluarga

Sebagaimana halnya dengan institusi lain, maka keluarga pun menjalankan fungsi. Fungsi yang dijalankan keluarga diantaranya adalah:

1) Fungsi Pendidikan dilihat dari bagaimana keluarga mendidik dan menyekolahkan anak untuk mempersiapkan kedewasaan dan masa depan anak.

2) Fungsi Sosialisasi anak dilihat dari bagaimana keluarga mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik.

3) Fungsi Perlindungan dilihat dari bagaimana keluarga melindungi anak sehingga

anggota keluarga merasa terlindung dan merasa aman.

4) Fungsi Perasaan dilihat dari bagaimana keluarga secara instuitif merasakan

perasaan dan suasana anak dan anggota yang lain dalam berkomunikasi dan berinteraksi antar sesama anggota keluarga. Sehingga saling pengertian satu sama lain dalam menumbuhkan keharmonisan dalam keluarga.

5) Fungsi Agama dilihat dari bagaimana keluarga memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga lain melalui kepala keluarga menanamkan keyakinan yang mengatur kehidupan kini dan kehidupan lain setelah dunia.

6) Fungsi Ekonomi dilihat dari bagaimana kepala keluarga mencari penghasilan, mengatur penghasilan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi

kebutuhan-kebutuhan keluarga.

7) Fungsi Rekreatif dilihat dari bagaimana menciptakan suasana yang menyenangkan dalam keluarga, seperti acara nonton TV bersama, bercerita

(24)

8) Fungsi Biologis dilihat dari bagaimana keluarga meneruskan keturunan sebagai generasi selanjutnya.

9) Memberikan kasih sayang, perhatian, dan rasa aman diaantara keluarga, serta

membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga. Menurut Horton fungsi-fungsi keluarga meliputi:

1) Fungsi Pengaturan Seksual yaitu keluarga berfungsi sebagai lembaga pokok yang merupakan wahana bagi masyarakat untuk mengatur dan mengorganisasikan kepuasan keinginan seksual.

2) Fungsi Reproduksi yaitu keluarga untuk memproduksi atau menghasilkan anak. 3) Fungsi Afeksi sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia akan kasih sayang dan

dicintai (Su‟adah, 2005).

Fungsi-fungsi suatu lembaga adalah tipe aktivitas yang secara berbeda dapat ditunjukkan. Secara historis keluarga telah menghilangkan berbagai fungsi-fungsi

karakteristik yang telah melayani anggota-anggotanya dan masyarakat. Beberapa sebab misalnya yaitu karena adanya perekonomian, pengaruh uang, produksi atau pengaruh individualisme, sistem kekeluargaan ini menjadi kabur. Hal ini disebabkan

karena urbanisasi, emansipasi sosial wanita dan adanya pembatasan kelahiran yang disengaja.

Akibat pengaruh-pengaruh perkembangan keluarga itu menyebabkan hilangnya peranan-peranan sosial yaitu:

1) Keluarga berubah fungsinya, dari kesatuan yang menghasilkan menjadi kesatuan

(25)

tetapi lama kelamaan fungsi ini semakin jarang karena telah dikerjakan oleh orang-orang tertentu.

2) Tugas untuk mendidik anak-anak sebagian besar diserahkan kepada

sekolah-sekolah, kecuali anak-anak kecil yang masih hidup dalm lingkungan keluarga. 3) Tugas bercengkerama di dalam keluarga menjadi mundur, karena tumbuhnya

perkumpulan-perkumpulan modern, sehingga waktu untuk berada di tengah-tengah keluarga makin lama makin sedikit (Ahmadi, 2007: 223)

2.3.5 Peranan Keluarga

Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku antar pribadi, sifat,

kegiatan yang berhubungan dengan pribadi dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan pribadi dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat. Berbagai peranan yang terdapat di dalam keluarga adalah:

1. Ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman. Sebagai kepala keluarga serta sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari

lingkungannya.

2. Istri sebagai ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus

rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya. Disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai

(26)

3. Anak-anak melaksanakan peranan psikosial sesuai dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial, dan spiritual (Ramlan, 2001).

2.4 Sosial Ekonomi

Salah satu faktor yang penting untuk membangun masyarakat yang sejahtera

adalah sebuah teori sosial ekonomi yang baik. Sepanjang sejarah, manusia terus mencari jawaban bagaimana sumber daya bumi ini dapat dipergunakan dan dibagikan dengan baik. Tambahan pula, masyarakat memerlukan suatu sistim pemerintahan

yang dapat memenuhi semua kebutuhan anggotanya. Jawaban masyarakat atas keperluan itu menggambarkan nilai-nilai sosial ekonomi yang diikuti masyarakat

ketika itu.

Kata sosial berasal dari kata “socious” yang artinya kawan, teman. Artinya kawan bukan terbatas sebagai teman sepermainan, teman kerja, teman sekampung

dan sebagainya. Artinya kawan adalah mereka (orang-orang) yang ada disekitar kita, yakni yang tinggal dalam satu lingkungan tertentu dan mempunyai sifat yang saling mempengaruhi satu sama lain (Fahruddin, 2012:8). Kata sosial menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat. Sementara dalam konsep sosiologis, manusia sering disebut mahluk sosial yang

artinya bahwa manusia itu tidak dapat hidup dengan wajar tanpa orang lain disekitarnya.

Istilah ekonomi secara etimologi berasal dari bahasa yunani yaiu “Oikos”yang

(27)

Seiring dengan perkembangan dan perubahan masyarakat, maka pengertian ekonomi juga sudah lebih luas. Ekonomi juga sering diartikan sebagai cara manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kondisi sosial ekonomi adalah suatu

keadaan atau kedudukan yang diatur secara sosial dan menetapkan seseorang dalam posisi tertentu dalam struktur sosial masyarakat. Pemberian posisi ini disertai dangan

seperangkat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh si pembawa status (Soekanto, 2007). Tingkat sosial merupakan faktor non ekonomis seperti budaya, pendidikan, umur dan jenis kelamin, kesehatan, sedangkan tingkat ekonomi seperti

pendapatan, jenis pekerjaan, pangan, dan investasi.

Menurut Melly G. Tan bahwa kedudukan sosial ekonomi meliputi tiga faktor

yaitu pekerjaan, pendidikan, dan penghasilan. Pendapat diatas didukung oleh Mahbud UI Hag dari Bank Dunia bersama dengan James Grant dari Overseas Development Council mengatakan bahwa kehidupan sosial ekonomi dititikberatkan pada pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan, pangan, pendapatan dan air yang sehat yang didukung oleh pekerjaan yang layak. Semakin tinggi tingkat sosial ekonomi maka akan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan hidup manusia misalnya perumahan,

sandang, pangan, kesehatan, pendidikan, luas lahan dan pendapatan (Susanto,1984:120). Menurut pendapat tersebut dapat diketahui bahwa status sosial

ekonomi adalah kemampuan seseorang untuk mampu menempatkan diri dalam lingkungannya sehingga dapat menentukan sikap berdasarkan atas apa yang

(28)

2.5 Kesejahteraan Sosial

Menurut Frienlander kesejahteraan sosial adalah system yang terorganisasi dari pelayanan-pelayanan social dan institusi-institusi yang dirancang untuk

membantu individu-individu dan kelompok-kelompok guna mencapai standar hidup dan kesehatan yang memadai dan relasi-relasi personal dan sosial. Hal ini

memungkinkan mereka dapat mengembangkan kemampuan dan kesejahteraan sepenuhnya selaras dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga dan masyarakatnya. Menurut UU No. 11 tahun 2009 tentang kesejahteraan social menyatakan bahwa

kesejahteraan sosial kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga

dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Kesejahteraan sosial mempunyai tujuan yaitu :

1. Mencapai kehidupan yang sejahtera dalam arti tercapainya standar kehidupan

pokok seperti sandang, perumahan, pangan, kesehatan, dan relasi-relasi social yang harmonis dengan lingkungan nya.

2. Mencapai penyesuaian diri yang baik khusus nya dengan masyarakat

dilingkungannya, misalnya dengan menggali sumber-sumber, meningkatkan, dan mengembangkan taraf hidup yang memuaskan.

Berdasarkan defenisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kesejahteraan sosial mencakup berbagai usaha yang dikembangkan untuk meningkatkan taraf hidup manusia, baik itu di bidang fisik, mental, emosional,sosial ekonomi, ataupun

(29)

2.6 Kerangka Pemikiran dan Bagan Alur Pikir

Anak-anak yang bekerja (working children) di Indonesia dapat disaksikan secara kasat mata dan keberadaan mereka tidak dapat disangkal. Kita bisa

menyaksikan nya dengan banyaknya fenomena-fenomena anak-anak yang bekerja layaknya orang dewasa baik itu bekerja di sector formal maupun informal. Mencari

nafkah ataupun mengorbankan waktu yang seharusnya untuk bermain dan belajar di sekolah digunakan anak-anak untuk bekerja. Anak yang bekerja merupakan anak yang melakukan pekerjaan karena membantu orangtua baik dalam membantu

pemenuhan kebutuhan sosial dan kebutuhan ekonomi keluarga. Anak yang bekerja berasal dari berbagai latar belakang keluarga.

Ada banyak faktor yang menyebabkan anak mulai bekerja atau terpaksa bekerja pada usia dini baik bekerja. Ada yang bekerja pada sector formal dan sector informal. Beberapa diantaranya disebabkan faktor kemiskinan, kondisi krisis

ekonomi, lemahnya penegakan hukum dibidang pengawasan umur minimum untuk bekerja dan kondisi pekerjaaan, faktor adanya urbanisasi, faktor sosial budaya. Kehidupan keluarga atau orang tua yang tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga

sehari-hari akibat tekanan kemiskinan memaksa anak untuk turut bekerja membantu menghidupi ekonomi keluarga.

Anak-anak dari keluarga yang kurang mampu terpaksa harus bekerja, baik membantu pekerjaan orang tua ataupun bekerja di luar rumah untuk membantu ekonomi keluarga. Kontribusi yang diberikan dapat berupa kondisi sosial ekonomi.

(30)

Selanjutnya memudahkan kita memahami bagaimana kontribusi anak bekerja terhadap ekonomi keluarga (studi kasus anak bekerja sebagai tukang sapu angkutan, di Terminal Terpadu Amplas) berikut ini disajikan bagan alur pikir.

Bagan alur pikir:

2.7 Defenisi Konsep

Konsep adalah bagian penting dari metodologi penelitian, karena apabila

konsep penelitian, dibagun secara asal-asalan maka akan mengacaukan bagian penting lainnya. Konsep merupakan istilah khusus yang digunakan para ahli dalam

upaya menggambarkan secara cermat fenomena sosial yang akan dikaji. Konsep

Sosial Ekonomi

Keluarga:

1. Pendidikan

2. Kesehatan

3. Perumahan

4. Sandang

5. Pangan

(31)

adalah proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna konsep dalam suatu penelitian. Cara untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep dalam suatu penelitian, maka seorang peneliti harus menegaskan dan mebatasi makna

konsep-konsep yang diteliti (Siagian, 2011: 136-138). Pengertian mengenai konsep-konsep-konsep-konsep yang akan digunakan, maka peneliti membatasi konsep yang digunakan sebagai

berikut:

1. Kontribusi adalah sumbangan terhadap variabel tertentu. Dalam hal ini maksud kontribusi adalah sumbangan dari anak yang bekerja sebagai tukang sapu

angkutan di terminal Amplas terhadap sosial ekonomi keluarga.

2. Anak bekerja adalah anak yang melakukan pekerjaan karena membantu orangtua.

Anak yang dimaksud disini yaitu anak yang telah mencapai umur 10 tahun sampai usia 18 tahun dan belum pernah kawin.

3. Sosial ekonomi adalah kemampuan seseorang untuk mampu menempatkan diri

dalam lingkungannya sehingga dapat menentukan sikap berdasarkan atas apa yang dimilikinya dan kemampuan mengenai keberhasilan menjalankan usaha dan berhasil mencukupi hidupnya.

4. Keluarga adalah suatu organisasi terkecil di dalam masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu dan anak.

5. Tukang sapu angkutan adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan jasa dengan membersihkan angkutan yang ada di terminal untuk mendapatkan upah.

6. Terminal Terpadu Amplas adalah terminal paling besar di Kota Medan dimana

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah pada praktikum fotosintesis dan respirasi dapat meningkatkan kemamapuan generik sains

Berdasarkan Berita Acara Penetapan Daftar Pendek ( Short List ) Nomor : 05/PBJ-Kons/KP-4/08/2012 tanggal 11 Mei 2012 dengan ini diumumkan Hasil Evaluasi Seleksi Sederhana Penyedia

Untuk mengetahui dosis terbaik dari media tanam tanah dengan bahan. organik sabut kelapa terhadap pertumbuhan

Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Keberhasilan Usaha Mikro dan Kecil (Studi Kasus Pada Usaha Kecil Di Semarang Barat).. Jurnal

yang handal dapat meningkatkan jumlah penerimaan dan respons dari publik. Menurut teori ini, seluruh individu yang menerima pesan dianggap punya karakteristik yang

Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia juga turut memperjelas kedudukan tiga aktor utama pembentukan kebijakan ( law makers ) tersebut melalui berbagai

Kenaikan suhu dapat mempercepat laju reaksi karena dengan naiknya suhu, energi kinetik partikel zat-zat meningkat sehingga memungkinkan semakin banyaknya tumbukan efektif yang

Menurut (Sugiyono, 2010:60), hubungan antar variabel yang disusun dari berbagai teori yang telah dideskripsikan akan dianalisis secara kritis dan sistematis, sehingga