BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi 2.1.1. Uterus
Uterus terdiri dari fundus uterus, korpus uterus, dan serviks uterus (Pearce, 2009).
Menurut Prawirohardjo (2010), secara histologi uterus terdiri dari:
1. Endometrium di korpus uterus dan endoserviks di serviks uterus.
Endometrium mempunyai arti penting dalam siklus menstruasi karena selama
masa menstruasi endometrium sebagian besar dilepaskan dan tumbuh
kembali dalam masa proliferasi.
2. Miometrium
Otot polos uterus di sebelah dalam berbentuk sirkular dan disebelah luar
berbentuk longitudinal. Di antara otot tersebut terdapat lapisan otot oblik
yang berbentuk anyaman.
3. Perimetrium, yaitu lapisan serosa.
Uterus diperdarahi oleh arteri uterina kanan dan kiri. Pembuluh darah ini berasal
dari arteria iliaka interna. Inervasi uterus terutama terdiri atas sistem saraf
simpatetik dan untuk sebagian terdiri atas sistem parasimpatetik dan serebrospinal
(Prawirohardjo, 2010).
2.1.2. Tuba Falloppii
Menurut Prawirohardjo (2010), tuba falloppii terdiri dari:
1. Pars interstisialis, yaitu bagian yang terdapat di dinding uterus.
2. Pars ismika, yaitu bagian medial tuba yang sempit.
3. Pars ampullaris, yaitu bagian yang agak lebar, tempat terjadinya konsepsi.
4. Infundibulum, yaitu bagian ujung tuba yang terbuka ke arah abdomen dan
mempunyai fimbria. Fimbria berfungsi untuk menangkap ovum dan
2.1.3. Ovarium
Menurut Prawirohardjo (2010), struktur ovarium terdiri dari:
1. Korteks, bagian luar yang diliputi oleh epitelium germinativum berbentuk
kubik dan di dalamnya terdiri atas stroma serta folikel-folikel primordial.
2. Medulla, bagian di sebelah dalam korteks terdapat stroma dengan
pembuluh-pembuluh darah, serabut-serabut saraf, dan sedikit otot polos.
Ovarium berisi sejumlah besar ovum yang belum matang, yang disebut oosit
primer. Folikel ini akan berkembang menjadi folikel de Graaf. Setiap bulan folikel
akan berkembang dan melepaskan sebuah ovum. Ovulasi ini terjadi pada saat
pertengahan (hari ke-14) siklus menstruasi (Pearce, 2009). Ovarium juga
menghasilkan hormon yaitu progesteron dan estrogen (hormon seks wanita),
inhibin, dan relaksin (Tortora & Derrickson, 2009).
2.2. Menstruasi
Menstruasi adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai
pelepasan (deskuamasi) endometrium (Prawirohardjo, 2008). Proses siklus
menstruasi sangat kompleks karena dipengaruhi oleh hormonal dan keadaan
mikrointra folikel (Manuaba et al., 2010).
Usia remaja wanita pada waktu pertama kalinya mendapat menstruasi (menarche)
bervariasi lebar, yaitu antara 10-16 tahun, tetapi rata-ratanya 12,5 tahun. Statistik
menunjukan bahwa usia menarche dipengaruhi oleh faktor keturunan, keadaan
gizi, dan kesehatan umum (Prawirohardjo, 2008).
Panjang siklus menstruasi adalah jarak antara tanggal mulainya menstruasi yang
lalu dan mulainya menstruasi berikutnya (Prawirohardjo, 2008). Panjang siklus
menstruasi normal biasanya 21-35 hari. Seorang wanita rata-rata mengalami 400
siklus menstruasi sebelum menopause dan siklus menstruasi rata-rata berlangsung
selama 5 hari (Kumar et al., 2013).
Jumlah darah setiap menstruasi rata-rata 50 ± 30 cc (Kumar et al., 2013). Apabila
jumlah darah menstruasi lebih dari 80 cc, keadaan tersebut dianggap patologis
(Prawirohardjo, 2008). Darah menstruasi normal tidak membentuk bekuan karena
adanya fibrinolisin. Apabila perdarahan menstruasi banyak, jumlah fibrinolisin
tidak cukup untuk mencegah pembekuan, sehingga terbentuk gumpalan darah.
Hal ini merupakan bukti klinis dari adanya kelainan dari uterus (Manuaba et al.,
2010).
2.2.1. Siklus menstruasi 1. Siklus Ovarium
Siklus ovarium menurut Guyton & Hall (2007) yaitu:
a. Fase folikel
Tahap pertama, pertumbuhan folikel berupa pembesaran sedang dari ovum,
sel-sel granulosa tambahan. Folikel ini disebut dengan folikel primer.
Sesudah dimulainya menstruasi, konsentrasi Follicle Stimulating Hormone
(FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) meningkat. Peningkatan FSH sedikit
lebih besar dan lebih awal beberapa hari dari LH. Hormon-hormon ini,
khususnya FSH, mempercepat pertumbuhan 6-12 folikel primer, hingga
terbentuknya teka, yaitu teka interna dan teka eksterna.
Sesudah tahap awal pertumbuhan proliferasi yang berlangsung beberapa hari,
masa sel granulosa menyekresi cairan folikular yang mengandung estrogen
dalam konsentrasi tinggi. Pengumpulan cairan ini menyebabkan terbentuknya
antrum di dalam masa sel granulosa. Apabila antrum sudah terbentuk, sel
granulosa dan teka berproliferasi lebih cepat, laju kecepatan sekresinya
meningkat, dan masing-masing folikel tumbuh menjadi folikel antral.
Peningkatan pertumbuhan secara besar-besaran terjadi di dalam folikel antral,
menuju ke arah pembentukan folikel vesikular. Ketika folikel vesikular
membesar, ovum tetap tertanam di dalam massa sel granulosa yang terletak di
sebuah kutup dari folikel. Ovum bersama sel granulosa di sekelilingnya
disebut kumulus ooforus. Setelah pertumbuhan selama satu minggu atau
lebih, tetapi sebelum ovulasi, salah satu dari folikel mulai tumbuh melebihi
folikel lainnya, sisanya mengalami involusi (atresia) dan sisa folikel ini
disebut atretik.
b. Fase Ovulasi
Ovulasi pada wanita dengan siklus menstruasi normal 28 hari terjadi pada
hari ke-14 setelah menstruasi. Ovulasi dipengaruhi oleh LH. LH mempunyai
efek khusus terhadap sel granulosa dan sel teka, sehingga membuat sel
tersebut menyekresikan banyak progesteron. Ada dua paristiwa yang
dibutuhkan untuk ovulasi:
1) Teka eksterna, mulai melepaskan enzim proteolitik dari lisozim yang
ini menyebabkan semakin membengkaknya seluruh folikel dan
degenerasi stigma.
2) Terjadi pertumbuhan pembuluh darah baru yang berlangsung sangat
cepat ke dalam dinding folikel dan sekresi prostaglandin dalam jaringan
folikular.
Kedua efek ini menyebabkan transudasi plasma ke dalam folikel, yang
berperan dalam pembengkakan folikel. Kombinasi dari pembengkakan folikel
dan degenerasi stigma menyebabkan folikel pecah disertai pengeluaran ovum.
c. Fase Luteal
Beberapa jam setelah ovum dikeluarkan dari folikel, sel-sel granulosa dan
teka interna yang tersisa berubah menjadi sel lutein. Perubahan sel ini sangat
bergantung pada LH yang dihasilkan hipofisis anterior. Diameter sel ini
membesar 2 kali atau lebih dan berisi inklusi lipid sehingga memberi
tampilan kekuningan, yang disebut korpus luteum. Pada wanita normal,
korpus luteum tumbuh menjadi ± 1,5 cm, perkembangan ini dicapai selama
7-8 hari setelah ovulasi. Kemudian, korpus luteum mulai berinvolusi dan
akhirnya kehilangan fungsi sekresi, warna kekuningan serta sifat lipidnya
dalam waktu ± 12 hari setelah ovulasi. Kemudian, korpus luteum berubah
menjadi korpus albikans; selama beberapa minggu korpus albikans akan
digantikan oleh jaringan ikat dan diserap dalam hitungan bulan. Pada saat ini,
penghentian tiba-tiba sekresi estrogen, progesteron, dan inhibin dari korpus
luteum menghilangkan umpan balik halangan kelenjar hipofisis anterior,
sehingga meningkatkan sekresi FSH dan LH yang merangsang pertumbuhan
folikel baru. Terhentinya sekresi progesteron dan estrogen saat ini
2. Siklus Endometrium
Menurut Prawirohardjo (2008), fase endometrium selama siklus menstruasi terdiri
dari:
a. Fase menstruasi atau fase deskuamasi
Dalam fase ini endometriosis terlepas dari dinding uterus disertai perdarahan,
tetapi stratum basale tetap tinggal utuh. Darah menstruasi mengandung darah
arteri dan vena, sel-sel epitel dan stroma, serta sekret dari uterus, serviks, dan
kelenjar-kelenjar vulva. Fase ini berlangsung selama 3-4 hari.
b. Fase pascamenstruasi atau fase regenerasi
Luka endometrium berangsur-angsur sembuh dan ditutup kembali oleh
selaput lendir baru yang tumbuh dari sel-sel epitel endometrium. Pada fase ini
tebal endometrium ± 0,5 mm. Fase ini dimulai sejak fase menstruasi dan
berlangsung selama ± 4 hari.
c. Fase intermenstruum atau fase proliferasi
Pada fase ini endometrium tumbuh menjadi setebal ± 3,5 mm. Fase ini
berlangsung dari hari ke-5 sampai hari ke-14 dari siklus menstruasi.
d. Fase pramenstruasi atau fase sekresi
Fase ini dimulai sesudah ovulasi dan berlangsung dari hari ke-14 sampai hari
ke-28. Fase sekresi dibagi menjadi 2 fase, yaitu:
1) Fase sekresi dini, endometrium lebih tipis karena kehilangan cairan.
2) Fase sekresi lanjut, tebal endometrium sekitar 5-6 mm. Endometrium
sangat banyak mengandung pembuluh darah yang berkeluk-keluk dan
kaya dengan glikogen. Fase ini ideal untuk nutrisi dan perkembangan
ovum. Sitoplasma sel-sel stroma bertambah. Sel stroma menjadi sel
Gambar 2.2. Siklus Menstruasi Normal (Sumber: Tortora & Derrickson, 2009)
2.2.2. Pengaturan Siklus Menstruasi
Menurut Guyton & Hall (2007), mekanisme ritmik dasar yang menyebabkan
terjadinya variasi siklus menstruasi, yaitu:
1. Hipotalamus tidak menyekresikan Gonadotropin Releasing Hormone
(GnRH) secara terus menerus tetapi secara pulsatil selama 5-25 menit setiap
1-2 jam. Pelepasan GnRH secara pulsatil menyebabkan pengeluaran LH
secara intermiten setiap 90 menit. Aktivitas saraf yang menyebabkan
pelepasan GnRH secara pulsatil terutama terjadi di hipotalamus mediobasal,
khususnya di nukleus arkuatus. Banyak pusat saraf dalam sistem limbik otak
(sistem yang mengatur psikis) menghantarkan sinyal ke nukleus arkuatus
untuk memodifikasi intensitas pelepasan GnRH dan frekuensi pulsasi. Hal
inilah yang menyebabkan faktor psikis dapat memodifikasi fungsi seksual
2. Estrogen memiliki efek yang kuat dalam menghambat produksi LH dan FSH.
Efek penghambatan akan berlipat ganda bila ada progesteron. Efek umpan
balik ini bekerja langsung pada hipofisis anterior dan bekerja sedikit pada
hipotalamus untuk menurunkan sekresi GnRH, terutama mengubah pulsasi
GnRH. Selain itu, hormon inhibin juga berperan dalam menghambat sekresi
FSH dan LH. Hormon ini disekresikan bersama hormon seks steroid oleh
sel-sel granulosa dari korpus luteum.
3. Efek umpan balik positif dari estrogen untuk merangsang peningkatan LH
sebelum ovulasi. Tanpa peningkatan LH sebelum ovulasi yang normal, tidak
akan terjadi ovulasi.
Gambar 2.3. Regulasi Hormon pada Siklus Menstruasi (Sumber: Tortora & Derrickson, 2009)
2.2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Siklus Menstruasi
Faktor-faktor yang memegang peranan dalam siklus menstruasi menurut
1. Faktor enzim
Dalam fase proliferasi estrogen mempengaruhi tersimpannya enzim-enzim
hidrolitik dalam endometrium dan merangsang pembentukan glikogen dan
asam-asam mukopolisakarida. Pada pertengahan fase luteal sintesis
mukopolisakarida terhenti, sehingga meningkatkan permeabilitas
pembuluh-pembuluh darah yang sudah berkembang sejak permulaan fase proliferasi.
Dengan demikian, zat-zat makanan banyak mengalir ke stroma endometrium
sebagai persiapan implantasi ovum apabila terjadi kehamilan. Jika kehamilan
tidak terjadi, penurunan kadar progesteron menyebabkan pelepasan
enzim-enzim hidrolitik, dan merusak sel-sel yang berperan dalam sintesis protein.
Oleh karena itu, timbul gangguan metabolisme endometrium, yang
menyebabkan regresi endomentrium dan perdarahan.
2. Faktor vaskuler
Pertumbuhan endometrium diikuti oleh pertumbuhan arteri-arteri, vena-vena
dan hubungan diantaranya. Regresi endometrium menyebabkan statis dalam
vena serta saluran-saluran yang menghubungkannya dengan arteri, sehingga
terjadi nekrosis dan perdarahan dengan pembentukan hematom, baik dari arteri
maupun dari vena.
3. Faktor prostaglandin
Endometrium mengandung banyak prostaglandin. Dengan desintegrasi
endometrium, prostaglandin terlepas dan menyebabkan kontraksi miometrium
sebagai suatu faktor untuk membatasi perdarahan pada menstruasi.
2.2.4. Faktor Risiko Gangguan Menstruasi
1. Berat badan
Berdasarkan penelitian Rakhmawati (2012), pada kelompok subjek yang
mengalami obesitas memiliki risiko mengalami gangguan siklus menstruasi
sebesar 1,89 kali lebih besar dibandingkan pada kelompok subjek dengan
status gizi normal. Menurut Hupitoyo (2011) dalam Adnyani (2013), pada
wanita obesitas terjadi peningkatan kadar androgen dan estrogen. Akibatnya,
2. Stres
Stres menyebabkan peningkatan kadar Corticotropin Releasing Hormone
(CRH) dan Glucocorticoid sehingga menghambat GnRH oleh hipotalamus. Hal
ini menyebabkan fluktuasi kadar FSH dan LH sehingga masa proliferasi dan
sekresi mengalami pemendekan atau pemanjangan. Wanita yang mengalami
stres memiliki risiko gangguan siklus menstruasi 2 kali lebih besar
dibandingkan wanita yang tidak mengalami stres (Rakhmawati, 2012). Hal ini
sesuai dengan penelitian Mesarini & Astuti (2013) yaitu wanita dengan stres
yang berat cenderung mengalami gangguan siklus menstruasi lebih besar.
3. Penggunaan kontrasepsi
Menurut Laely & Fajarsari (2011), kontrasepsi hormonal yang hanya
mengandung progesteron dapat menyebabkan gangguan menstruasi. Amenorea
yang tinggi disebabkan oleh hormon progesteron menekan LH sehingga
endometrium menjadi lebih dangkal dan mengalami kemunduran sehingga
kelenjarnya menjadi tidak aktif.
4. Dysfunctional Uterine Bleeding (DUB)
Dysfunctional Uterine Bleeding (DUB) adalah gangguan perdarahan dalam
siklus menstruasi yang tidak berhubungan dengan kondisi patologis. DUB
meningkat selama proses transisi menopause (Kusmiran, 2011).
5. Mioma uteri
Menurut Kurniasari (2010), hipermenorea dan menometroragia merupakan
gejala klasik mioma uteri. Diperkirakan 30% wanita dengan mioma uteri
mengalami kelainan menstruasi, menoragia. Hal ini disebabkan oleh perubahan
struktur vena pada endometrium dan miometrium sehingga terjadinya venule
ectasia.
6. Gangguan endokrin
a. Diabetes melitus
Prevalensi amenorea dan oligomenorea lebih sering terjadi pada pasien
diabetes (Kusmiran, 2011).
Hipertiroid berhubungan dengan oligomenorea dan lebih lanjut menjadi
amenorea. Sedangkan hipotiroid berhubungan dengan polimenorea dan
menoragia (Kusmiran, 2011).
c. Polikistik ovarium
Amenorea dan oligomenorea pada penderita polikistik ovarium
berhubungan dengan insensitivitas hormon insulin dan menjadikan wanita
tersebut obesitas (Kusmiran, 2011). Resistensi insulin dan obesitas
menyebabkan keadaan hiperandrogen pada ovarium, sehingga
menghambat perkembangan folikel dan memicu terjadinya siklus
anovulatorik (Baziad, 2012).
2.2.5. Gangguan Menstruasi 1. Gangguan Siklus Menstruasi
Menurut Manuaba et al. (2010), gangguan siklus menstruasi dalam masa
reproduksi dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Polimenorea
Polimenorea adalah siklus menstruasi kurang dari 21 hari. Jumlah dan lama
perdarahan sama. Biasanya disebabkan oleh gangguan hormonal, korpus
luteum defisiensi. Penyebab lainnya adalah endometriosis dan infeksi ovarium.
Gangguan menstruasi ini disebut juga dengan polimenoragia atau
epimenoragia.
b. Oligomenorea
Oligomenorea yaitu siklus menstruasi yang lebih dari 35 hari. Perdarahan pada
oligomenorea biasanya berkurang dan durasinya semakin pendek. Menurut
Guyton & Hall (2007), siklus ovarium yang memanjang disebabkan oleh
kegagalan ovulasi akibat insufisiensi sekresi LH pada waktu lonjakan LH
praovulasi.
c. Amenorea
Secara fisiologis, wanita mengalami amenorea pada saat sebelum menarche,
saat kehamilan dan laktasi, serta setelah menopause. Amenorea dibagi menjadi
1) Amenorea primer, seorang wanita tidak pernah mendapatkan sampai umur
18 tahun. Biasanya disebabkan oleh faktor hormonal, kongenital organ dan
kelainan genetik.
2) Amenorea sekunder, pernah beberapa kali mendapat menstruasi sampai
umur 18 tahun dan diikuti oleh kegagalan menstruasi dengan melewati
waktu 3 bulan atau lebih.
2. Gangguan perdarahan
Menurut Manuaba et al. (2010), gangguan perdarahan menstruasi terdiri dari:
a. Hipermenorea yaitu perdarahan yang banyak, melebihi 8 hari dan volume lebih
dari 80 cc. Hal ini disebabkan oleh estrogen dominan sehingga pelepasan
endometrium tidak normal atau tidak teratur.
b. Hipomenorea yaitu perdarahan yang sedikit, kurang dari 3 hari. Gangguan ini
disebabkan oleh kurangnya reseptor estrogen di uterus.
3. Dismenorea
Menurut Pangulu (2011), dismenorea terdiri dari 2 macam yaitu:
a. Dismenorea primer
Dismenorea primer adalah nyeri yang dirasakan saat menstruasi tanpa adanya
kelainan anatomis. Nyeri dimulai beberapa jam sebelum menstruasi dan
berlangsung selama 2-3 hari. Intensitas nyeri bervariasi. Pada nyeri yang berat,
penderita biasanya harus meninggalkan aktivitas sehari-hari.
b. Dismenorea sekunder
Dismenorea sekunder terjadi karena adanya kelainan anatomis dalam pelvis.
Nyeri dismenorea sekunder tidak dibatasi masa menstruasi. Nyeri sering
dimulai sejak 1-2 minggu sebelum menstruasi dan menetap hingga beberapa
hari setelah menstruasi. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kadar
prostanglandin atau kontraksi uterus yang abnormal akibat adanya obstruksi
servikal, massa intrauterus, dan adanya benda asing. Etiologi dismenorea
dyschezia, perdarahan abnormal pada vagina, perdarahan pascacoitus, dan
ketidakteraturan siklus bulanan. Penyebab dismenorea sekunder antara lain:
1) Endometriosis pelvis dan adenomiosis
2) Penyakit radang pelvis kronik seperti salpingitis
3) Uterus miomatoses
4) Kelainan bentuk uterus seperti hipoplasi dan anomali kongenital traktus
genital
5) Kelainan letak uterus (retrofleksi atau hiperantefleksi)
6) Stenosis kanalis servikalis
7) Adanya Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)
8) Tumor ovarium
2.3. Kista Ovarium 2.3.1. Definisi
Kista ovarium merupakan rongga berbentuk kantong yang berisi cairan di dalam
jaringan ovarium. Kista ovarium disebut juga dengan kista fisiologis karena
terbentuk selama siklus menstruasi dan biasanya menghilang setelah 1-3 bulan
(Yatim, 2005).
2.3.2. Klasifikasi Kista Fisiologis
1. Kista folikel
Kista ini berasal dari folikel yang tidak ruptur. Kista ini biasanya dapat
menghilang secara spontan dan memiliki ukuran kurang dari 6 cm (Umami &
Safitri, 2007).
2. Kista korpus luteum
Dalam keadaan normal korpus luteum lambat laun mengecil dan menjadi
korpus albikans. Kadang-kadang korpus luteum mempertahankan diri (korpus
luteum persistens); perdarahan yang sering terjadi di dalamnya menyebabkan
terjadinya kista yang berisi cairan berwarna merah coklat karena darah tua.
amenorea diikuti oleh perdarahan tidak teratur. Kista ini juga dapat
menyebabkan rasa berat di perut bagian bawah (Prawirohardjo, 2008).
3. Kista lutein
Pada kasus mola hidatidosa, ovarium banyak terdapat kista teka lutein yang
disebabkan oleh pengaruh HCG yang berlebihan. Kista ini dapat mengalami
torsi, infark, dan perdarahan (Leveno et al., 2009).
4. Kista inklusi germinal
Kista ini terjadi karena invaginasi dan isolasi bagian-bagian kecil dari epitel
germinativum pada permukaan ovarium. Kista ini lebih banyak terdapat pada
wanita yang lanjut usia, dan besarnya jarang melebihi diameter 1 cm
(Prawirohardjo, 2008).
5. Kista endometrium
Kista endometrium terbentuk dari jaringan endometrium yang berkembang di
luar tempat normalnya, paling sering terdapat di ovarium. Terdapat tiga teori
tentang patogenesis dari kista endometrium, yaitu transpor retrograd dan
implantasi, transpor retrograd dan transformasi metaplastik pada peritonium
yang berdekatan, dan penyebaran limfatik atau hematogen (Graber et al.,
2006).
6. Kista Stein-Leventhal atau Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS)
Kelainan ini disebabkan oleh gangguan proses pengaturan ovulasi dan
ketidakmampuan enzim yang berperan pada proses sintesis estrogen di
ovarium. Pada perempuan dengan PCOS, tidak dijumpai gangguan sintesis
estrogen, tetapi justru ditemukan produksi estrogen yang tinggi yang
meningkatkan risiko terkena kanker endometrium dan payudara (Baziad,
2012).
Kista Patologis
Menurut Prawirohardjo (2008), kista ovarium yang patologis terdiri dari:
1. Kistoma ovarii simpleks
Kista ini mempunyai permukaan rata dan halus, biasanya bertangkai sehingga
Dinding kista tipis dan cairan di dalamnya jernih, serus dan berwarna kuning.
Pada dinding kista terlihat lapisan epitel kubik
2. Kistadenoma ovarii serosum
Kista ini berasal dari epitel permukaan ovarium. Ukurannya tidak lebih besar
dari kistadenoma musinosum. Permukaannya licin, tetapi dapat pula
berbagala sehingga dapat berbentuk multilokuler, meskipun lazimnya
berongga satu. Warna kista putih keabu-abuan dan isi kista cair, kuning, dan
kadang-kadang cokelat. Ciri khas kista ini adalah potensi pertumbuhan
papiler ke dalam rongga kista sebesar 50%, dan keluar pada permukaan kista
sebesar 5%.
3. Kistadenoma ovarii musinosum
Asal tumor ini belum diketahui dengan pasti. Menurut Meyer, kista ini
berasal dari suatu teratoma di mana dalam pertumbuhannya satu elemen
mengalahkan elemen-elemen lainnya. Tumor berbentuk multilokuler
sehingga permukaan berbagala (lobulated), dapat mencapai ukuran yang
sangat besar, unilateral atau bilateral. Dinding kista agak tebal dan berwarna
putih keabu-abuan yang berisi cairan lendir yang khas, kental seperti gelatin,
melekat dan berwarna kuning sampai cokelat. Dinding kista dilapisi oleh
epitel torak tinggi dengan inti pada dasar sel.
4. Kista endometroid
Kista ini biasanya unilateral dengan permukaan licin. Pada dinding dalam
terdapat satu lapisan sel-sel, yang menyerupai lapisan epitel endometrium.
5. Kista dermoid
Kista ini merupakan satu teratoma kistik yang jinak di mana struktur-struktur
ektodermal dengan diferensiasi sempurna, seperti epitel kulit, rambut, gigi,
dan produk glandula sebasea berwarna putih kuning seperti lemak terlihat
lebih menonjol dibandingkan elemen entoderm dan mesoderm.
2.3.3. Faktor Risiko
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terbentuknya kista ovarium
1. Riwayat Keluarga
Sekitar 10% dari kanker ovarium disebabkan oleh mutasi gen yang
diwariskan dalam gen tertentu sehingga dapat meningkatkan risiko kanker
ovarium. Misalnya, mutasi pada gen Breast Cancer 1 (BRCA1) dan Breast
Cancer 2 (BRCA2) meningkatkan risiko kanker payudara. Kanker payudara
pada wanita dapat bermetastasis ke ovarium, sehingga wanita yang memiliki
riwayat anggota keluarga dengan kanker payudara dapat meningkatkan risiko
terjadinya kanker ovarium (American Cancer Society, 2013).
2. Usia
Risiko peningkatan kanker ovarium semakin tinggi seiring bertambahnya
usia. Kebanyakan kanker ovarium berkembang setelah menopause (American
Cancer Society, 2013).
3. Siklus menstruasi
Menurut penelitian Hariyanti (2012) tentang faktor risiko kista ovarium,
didapatkan sebesar 80 % wanita mengalami siklus menstruasi tidak teratur.
Dari hasil rasio prevalensi menunjukan bahwa siklus menstruasi tidak teratur
mempengaruhi kejadian kista ovarium. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
sebelumnya.
4. Obesitas
Beberapa penelitian menemukan bahwa ada hubungan antara obesitas dengan
kanker ovarium. Body Mass Index (BMI) yang lebih dari 30 memiliki risiko
lebih besar terhadap pekembangan kanker ovarium (American Cancer
Society, 2013).
5. Merokok
Beberapa penelitian epidemiologi membuktikan adanya hubungan antara
merokok dengan perkembangan kista fungsional. Meskipun mekanisme
merokok menyebabkan kista ovarium tidak diketahui, diduga adanya
perubahan pada sekresi gonadotropin dan fungsi ovarium (Schorge et al.,
2008).
Beberapa peneliti telah memperkirakan bahwa paparan bahan kimia
lingkungan seperti pestisida dan herbisida berhubungan dengan kista
ovarium. Hubungan antara atrazine dan tumor ovarium telah diamati dalam
dua penelitian di Italia, yang menunjukkan bahwa atrazine adalah
karsinogenik pada manusia (Hariyanti, 2012).
7. Hipotiroid
Menurut Shivaprasad et al. (2013), ada beberapa teori yang menjelaskan
hubungan hipotiroid dengan kista ovarium yaitu:
a. Kesamaan struktural antara Thyroid Stimulating Hormone (TSH) dengan
Follicle Stimulating Hormone Receptor (FSHR), sehingga tingginya level
TSH dapat menyebabkan aktivasi sel folikel.
b. Pada pasien hipotiroid yang parah terjadi perubahan kadar gonadotropin.
Mereka memiliki tingkat FSH relatif tinggi dan tingkat LH yang rendah.
c. FSHR memperkuat efek Human Chorionic Gonadotropin (HCG) atau
TSH pada folikel.
d. TSH memiliki efek pada ovarium untuk menstimulasi gonadotropin
dengan stimulasi reseptor nuklir tiroid dalam sel granulosa. Gangguan
dalam steroidogenesis oleh jenis myxedematou infiltrasi ovarium
hipotiroidisme mempengaruhi perubahan kistik dalam ovarium.
2.3.4. Patogenesis
Kista ovarium terbentuk dari folikel dominan yang tidak berovulasi. Hal ini
disebabkan oleh gagalnya memperoleh lonjakan GnRH/LH berikutnya atau
lonjakan GnRH/LH yang tidak tepat waktu/tertunda (gambar 2.4.) (Vanholder et
al., 2006). Menurut Samsulhadi (2009), pada keadaan tersebut sekresi estrogen
tetap ada tetapi tidak ada progesteron. Gejala yang ditimbulkan dapat berupa
oligomenorea, amenorea atau DUB
Menurut Schorge et al. (2008), angiogenesis merupakan komponen penting dari
folikel dan fase luteal pada siklus ovarium. Itu juga berperan dalam berbagai
hiperstimulasi ovarium, dan neoplasma ovarium baik jinak maupun ganas. Faktor
pertumbuhan endotel vaskular berfungsi sebagai mediator utama angiogenesis,
dan faktor itu berpengaruh dalam pengembangan neoplasma ovarium.
Gambar 2.4. Patogenesis Kista Ovarium (Sumber: Vanholder et al., 2006)
2.3.5. Patofisiologi
1. Faktor pertumbuhan
Adanya tumor di dalam perut bagian bawah bisa menyebabkan benjolan
perut. Tekanan terhadap alat-alat disekitarnya disebabkan oleh besarnya
tumor atau posisinya dalam perut. Apabila tumor mendesak kandung kemih,
dapat menimbulkan gangguan miksi, sedangkan kista yang lebih besar tetapi
terletak bebas di rongga perut kadang-kadang hanya menimbulkan rasa berat
yang besar juga dapat terjadi tidak nafsu makan, rasa sesak, dan lain-lain
(Prawirohardjo, 2008).
2. Faktor aktivitas hormonal
Penderita kista ovarium juga dapat mengalami gangguan hormonal. Misalnya,
peningkatan produksi estrogen dari sel granulosa yang dapat mengganggu
menstruasi normal (Schorge et al., 2008). Hal ini sesuai dengan penelitian
Yan-min et al. (2010) yaitu menemukan gangguan siklus menstruasi sebesar
76 % pada penderita PCOS di masyarakat dan 92,1 % pada penderita PCOS
di rumah sakit, sama dengan tingkat kejadian yang dilaporkan sebelumnya.
3. Faktor inflamasi
Menurut Harada (2013), penyebab nyeri saat menstruasi (dismenorea) pada
penderita endometriosis adalah konsentrasi prostaglandin yang tinggi. Bulletti
et al. menemukan peningkatan frekuensi, amplitudo, dan tekanan basal
kontraksi uterus pada wanita dengan endometriosis. Nyeri juga disebabkan
oleh lesi endometriosis yang memicu terjadinya reaksi inflamasi dan
mengeluarkan prostaglandin, sitokin, histamin dan kinin. Infiltrasi
endometriosis yang dalam menyebabkan kerusakan jaringan dan saraf, serta
kista coklat yang pecah dapat mengiritasi peritoneum. Terbentuknya jaringan
parut, fibrosis, dan adhesi menyebabkan penurunan mobilitas organ sehingga
nyeri dapat terasa selama adanya gerakan atau ovulasi. Bila terjadi adhesi
pada usus maka dapat menyebabkan nyeri saat buang air besar (dyschezia).
2.3.6. Gejala Klinis
Kista ovarium biasanya tidak menimbulkan gejala (Gulati & Goyal, 2013).
Menurut Sain Mary’s Hospital (2012), gejala kista ovarium dapat ditemukan
apabila massa berukuran besar, pecah (splits), atau terjadi torsi. Dalam keadaan
seperti itu dapat ditemukan gejala berupa:
1. Nyeri panggul karena ukuran kista yang besar, dan nyeri tajam yang tiba-tiba
karena kista pecah atau torsi.
2. Kesulitan mengosongkan perut.
4. Nyeri panggul selama hubungan seksual.
5. Menstruasi yang tidak teratur.
6. Merasa kenyang dan kembung.
2.3.7. Diagnosis 1. Anamnesis
Setiap mengevaluasi pasien dengan kista ovarium harus mencakup riwayat
kesehatan menyeluruh. Mencari tahu faktor risiko dan risiko keganasan pada
pasien. Gejala seperti nyeri panggul, perut kembung, cepat kenyang, dan
perubahan nafsu makan harus diwaspadai adanya keganasan dan penatalaksanaan
yang dipilih harus tepat. Hal ini juga penting untuk mencari gejala yang
menunjukkan endometriosis, terutama pada pasien wanita usia reproduksi dengan
infertilitas (Rofe et al., 2013).
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaan abdominal dan pemeriksaan
pelvis, termasuk pemeriksaan palpasi bimanual untuk mencari massa (Rofe et al.,
2013). Bila dijumpai massa, maka karakteristik dari massa harus dievaluasi
dengan baik sehingga asal massa dapat diketahui dengan pasti untuk penanganan
lebih lanjut. Karakteristik massa yang harus dievaluasi meliputi lokasi, ukuran,
konsistensi, bentuk, mobilitas, unilateral atau bilateral dan penemuan lain yang
bermakna seperti demam, asites (Hadibroto, 2005). Demam menunjukan proses
infeksi atau torsi ovarium (Ross & Kebria, 2013) dan asites menandakan adanya
kemungkinan keganasan. Namun, perlu diingat bahwa pemeriksaan fisik memiliki
sensitivitas yang buruk untuk mendeteksi massa ovarium (15 % - 51 %) (Rofe et
al., 2013).
3. Pemeriksaan Laboratorium
Penanda adanya tumor adalah protein, yang dihasilkan oleh sel-sel tumor atau
oleh tubuh sebagai respons terhadap sel-sel tumor. Cancer Antigen 125 (CA-125)
antigen spesifik tumor, tetapi penentuan serum CA-125 dapat membantu dan
sering digunakan dalam evaluasi kista ovarium (Schorge et al., 2008).
Pemeriksaan CA-125 biasanya dilakukan pada wanita yang berisiko memiliki
keganasan (Yatim, 2005). CA-125 pada wanita usia reproduksi meningkat dalam
berbagai kondisi seperti fibroid, endometriosis, adenomiosis, infeksi panggul dan
selama siklus menstruasi normal. CA-125 digunakan untuk membedakan massa
jinak dengan massa ganas (Rofe et al., 2013).
Anti-Mullerian Hormone (AMH) adalah penanda yang relatif baru pada cadangan
ovarium dan dianggap paling akurat pada saat ini. Serum AMH diatas 0,5 ng/mL
menunjukan cadangan ovarium yang baik, sedangkan serum AMH yang rendah
menunjukan adanya penurunan folikel ovarium. Tingkat serum AMH dapat
memberikan petunjuk manajemen yang tepat untuk pasien kista ovarium.
Penurunan AMH mungkin kontraindikasi untuk bedah pada pasien tertentu. AMH
juga dapat digunakan sebagai alat untuk mengevaluasi kerusakan ovarium setelah
operasi (Rofe et al., 2013).
4. Pemeriksaan penunjang
Pencitraan yang paling banyak digunakan adalah ultrasonography (USG)
transvaginal. Pencitraan ini sering digunakan untuk wanita usia reproduksi dan
asimtomatik (Rofe et al., 2013). Melalui USG dapat diketahui tempat lesi
(unilateral atau bilateral), ukuran, konsistensi (kistik atau solid), struktur internal
(septa tipis atau tebal), permukaan kista (rata atau tidak rata) (Edmonds, 2007).
Pada USG gambaran khas yang menunjukan adanya lesi jinak adalah dinding
yang tipis, tidak adanya eko internal, kurangnya septa internal. Kista sederhana
yang berukuran kurang dari 6 cm harus dipantau dengan USG. Jika USG
memberikan gambaran yang kurang jelas atau jika terdapat kecurigaan adanya
keganasan, maka dapat digunakan Computerized Tomography (CT) dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI) untuk melihat pencitraan yang lebih akurat (Umami &
2.3.8. Penatalaksanaan 1. Konservatif
Menurut konsensus yang diterbitkan oleh Society of Radiologists in Ultrasound
dalam Levine et al. (2010), kista ovarium dan kista adneksa lainnya pada wanita
yang asimtomatik dapat ditatalaksana dengan cara berikut ini:
a. Kista adneksa dengan ukuran fisiologis pada wanita usia reproduksi, atau kista
sederhana yang berukuran ≤ 1 cm pa da wanita pascamenopause, cenderung
jinak dan tidak berbahaya.
b. Kista sederhana dengan ukuran lebih dari 3 cm pada wanita usia reproduksi
atau lebih besar dari 1 cm pada wanita pascamenopause harus diperiksa dengan
USG. Meskipun kista sederhana dari berbagai ukuran tidak mungkin menjadi
lesi ganas, tetapi perlu dilakukan USG tahunan untuk mengawasi kista yang
lebih dari 5 cm pada wanita pramenopause dan 1 cm pada wanita
pascamenopause. Batas 5 cm juga digunakan sebagai rekomendasi tindak
lanjut untuk kista hemoragik pada wanita pramenopause.
c. Penggunaan pedoman ini bertujuan untuk mengurangi kecemasan pasien dan
dokter, serta membatasi kebutuhan tindak lanjut pemeriksaan.
2. Pembedahan
Sebagian besar kista ovarium tidak memerlukan pengobatan, tetapi yang lebih
besar dari 5 cm dapat diangkat melalui pembedahan (Tortora & Derrickson,
2009). Bedah laparoskopi merupakan standar baku untuk pengobatan kista
ovarium jinak. Ini adalah prosedur yang sangat efektif dan aman (Coccia et al.,
2011). Menurut Hadibroto (2005), dengan laparoskopi trauma dinding abdomen
lebih minimal, waktu operasi lebih singkat, risiko perlengketan lebih minimal dan
masa penyembuhan lebih cepat dibanding dengan prosedur pembedahan
laparotomi. Ketika melakukan operasi laparoskopi pada kista ovarium jinak,
penghapusan kapsul lengkap harus dilakukan. Apabila hanya melakukan aspirasi,
pengobatan menjadi kurang efektif dan tingkat kekambuhan lebih tinggi (46% -
Gambar 2.5. Penatalaksanaan Kista Ovarium (Sumber: Ross & Kebria, 2013)
2.3.9. Komplikasi 1. Torsi
Kista ovarium dengan diameter besar dari 4 cm memiliki tingkat torsi sekitar
15%. Torsi menyebabkan obstruksi vena, sehingga aliran arteri dapat mengalami
infark. Sebagian besar kasus torsi terjadi pada wanita pramenopause usia subur,
tetapi 17% dari kasus terjadi pada wanita prapubertas dan pascamenopause. Torsi
ovarium lebih umum di sisi kanan karena kolon sigmoid membatasi mobilitas
ovarium kiri. Massa ovarium yang paling umum yang terkait dengan torsi adalah
kista dermoid (Helm, 2014).
2. Ruptur
Kista folikular menyebabkan timbulnya nyeri yang akut dan singkat. Kista korpus
luteum yang ruptur dapat menyebabkan perdarahan yang mengancam jiwa karena
kista tersebut memiliki banyak pembuluh darah. Nyeri akut tidak dapat dibedakan
dari kehamilan ektopik yang ruptur tetapi HCG serum negatif. Nyeri tekan pelvis
yang difus terdeteksi pada pemeriksaan pelvis dan sering terjadi unilateral pada