280
BERPIKIR REFLEKTIF MAHASISWA DALAM
MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA
Hery Suharna, Toto Nusantara, Subanji, dan Santi Irawati
Universitas Khairun, Universitas Negeri Malang, Universitas Negeri Malang, Universitas Negeri Malang
ABSTRAK: Berpikir reflektif terjadi jika mahasiswa mengalami hambatan, kebingungan atau keraguan dalam menyelesaikan masalah matematika, disebabkan karena kurangnya proses berpikir reflektif. Penyelesaian masalah, mahasiswa dapat menjadi terampil dalam (mengidentifikasi, memilih pengetahuan yang relevan, mengorganisasikan keterampilan yang sudah dimiliki, membuat rencana, dan membuat generalisasi). Oleh karena itu menyelesaikan suatu masalah tersebut mahasiswa memerlukan alur pemikiran dengan kemampuan berpikir reflektif. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan mempelajari dan mengkaji jurnal dan buku-buku teks yang berkaitan dengan berpikir reflektif mahasiswa dalam penyelesaian masalah matematika. Berdasarkan hasil kajian dapat disimpulkan bahwa berpikir reflektif dapat dikelompokan menjdi 3 skema berpikir yaitu berpikir reflektif pemahaman, koneksi dan kreatif . Berpikir reflektif pemahaman yaitu selection techniques, dan mengkomunikasikan ide dalam bentuk simbol atau gambar, berpikir reflektif koneksi yaitu selection techniques, mengkomunikasikan ide dalam bentuk simbol atau gambar, dan conceptualization, dan berpikir reflektif kreatif yaitu selection techniques, mengkomunikasikan ide dalam bentuk simbol atau gambar, conceptualization, dan rasionalisasi.
Kata Kunci: Penyelesaian masalah, berpikir reflektif pemahaman, berpikir reflektif, dan berpikir reflektif koneksi.
Solso (1995) menyatakan bahwa berpikir dapat didefinisikan sebagai proses menghasilkan representasi mental yang baru melalui tranformasi informasi yang melibatkan interaksi secara kompleks antar atribut-atribut mental seperti penilaian, abstraksi, dan pemecahan masalah. Oleh karena itu berpikir didefinisikan sebagai sutu proses yang melibatkan beberapa manipulasi pengetahuan di dalam sistem kognitif seperti yang digambarkan oleh Solso, dimana kesemua proses itu mengarah pada suatu simpulan atau diarahkan untuk menghasilkan penyele-saian pemecahan masalah.
Krulik (2003:89) menyatakan bahwa berpikir dapat dibagi menjadi empat
kategori, seperti yang ditunjukkan pada gambar di bawah
Gambar 1 Kategori Keterampilan Berpikir
King (1993:1) “Higher order thinking
skills include critical, logical, reflective thinking, metacognitive, and creative
Reasoning Higher-Order Hierarchy of Thinking Creative Critical Basic Recall
thinking”. Salah satu keterampilan berpikir
tingkat tinggi adalah berpikir reflektif . Selanjutnya beberapa jurnal hasil penelitian membahas pentingnya berpikir reflektif dalam pembelajaran. Sezer (2008) dalam Chee (2012:168) menyatakan bahwa berpikir reflektif didefinisikan sebagai kesadaran tentang apa yang diketahui dan apa yang dibutuhkan, hal ini sangat penting untuk menjembatani kesenjangan situasi belajar. Gurol (2011) mendefi-nisikan berpikir reflektif sebagai proses kegiatan terarah dan tepat dimana individu menganalisis, mengevaluasi, memotivasi, mendapatkan makna yang mendalam, menggunakan strategi pembelajaran yang tepat. Dengan demikian berpikir reflektif bertujuan untuk mencapai target belajar dan menghasilkan pendekatan pembe-lajaran baru yang berdampak langsung pada proses belajar.
Sezer (2008) dan Gurol (2011) menyatakan bahwa berpikir reflektif
(reflective thinking) sangat penting bagi
siswa dan guru. Namun hal ini sangat berbeda dengan fakta di lapangan, bahwa dalam pembelajaran matematika, berpikir reflektif (reflective thinking) kurang mendapat perhatian guru. Terkadang guru hanya memperhatikan hasil akhir dari penyelesaian masalah yang dikerjakan siswa, tanpa memperhatikan bagaimana siswa menyelesaian masalah. Jika jawaban siswa berbeda dengan kunci jawaban, biasanya guru langsung menyalahkan jawaban siswa tersebut tanpa menelusuri mengapa siswa menjawab demikian.
Rodgers (2002) menyatakan bahwa kurangnya definisi atau pengertian yang jelas tentang berpikir reflektif dan kriteria yang jelas untuk berpikir reflektif, hal ini sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan kegiatan reflektif dalam pembelajaran. Pernyataan yang disampaikan oleh Rodgers di atas tersebut menunjukan
bahwa sampai saat ini belum ada definisi yang jelas tentang berpikir reflektif.
Zehavi dan Mann (2006) melakukan penelitian tentang berpikir reflektif
(reflective thinking). Menurut Zehavi dan
Mann (2006: 84) tingkat berpikir reflektif
(reflective thinking) mengacu pada empat
kategori: pemilihan teknik (techniques),
pemantauan (monitoring) solusi proses, wawasan (insight) atau kecerdikan, dan konseptualisasi (conceptualization) (yaitu
menghubungkan konsep dan makna). Selanjutnya Zehavi dan Mann (2006) membandingkan penyelesaian matematika berbasis Computer Algebra Systems
(CAS) dan solusi tradisional, pada penyelesaian soal berbasis CAS siswa menggunakan pemikiran reflektif yaitu pemilihan teknik (techniques), pemantauan (monitoring) solusi proses, wawasan/ kecerdikan (insight), dan konseptualisasi (conceptualization.) Sementara itu solusi tradisional pemilihan teknik (techniques), wawasan/ kecerdikan (insight), dan
kon-septualisasi (conceptualization) atau pada
solusi tradisional, tidak terjadi tahap
pemantauan (monitoring).
Vilhelm von Humboldt sebagai orang pertama yang menggunakan pembelajaran reflektif (the reflective learning) (Gurol, 2011:388):
“ … An important role of reflective
thinking is to act as a means of prompting the thinker during problem solving situations because it provides an opportunity to step back and think of the best strategies to achieve goals (Rudd, 2007). Rreflective thinking helps to integrate these thinking skills by helping with judgments (Shermis,1999)… “
Peran penting dari berpikir reflektif adalah sebagai sarana untuk mendorong pemikiran selama situasi pemecahan masalah, karena memberikan (peran
penting pemikiran reflektif) kesempatan untuk belajar dan memikirkan strategi terbaik untuk mencapai tujuan pembe-lajaran (Rudd, 2007). Pemikiran reflektif membantu mengintegrasikan kemampuan berpikir (Shermis, 1999).
Chee dan San (2011) menyatakan bahwa calon guru secara keseluruhan tidak kritis. Calon guru (mahasiswa) tidak menunjukkan bahwa mereka secara aktif mempraktikkan empat proses belajar, yaitu: analisis asumsi, kesadaran kontekstual, spekulasi imajinatif dan skep-tisisme praktek-praktek yang mengin-dikasikan berpikir reflektif (Chee,2011).
Gurol (2011) menyatakan bahwa berpikir reflektif sangat diperlukan dalam pemikiran calon guru dalam proses belajar mengajar. Selain itu gurol juga menga-takan bahwa calon guru (mahasiswa) sering bertindak sesuai dengan pemikiran reflektif.
Van Manen dalam Maureen (2003) menyarankan sebuah tahapan dari pemi-kiran reflektif yaitu: teknis, kontekstual, dan dialektik. Tingkat refleksi teknis menyangkut efektifitas penerapan kete-rampilan dan pengetahuan teknis di kelas. Tingkat kontekstual melibatkan refleksi tentang asumsi, dimana asumsi ini yang mendasari praktik di kelas. Tingkat dialektis diperlukan untuk mengajukan pertanyaan tentang moral, masalah etika, atau sosial-politik.
Berdasarkan hasil penelitian di atas pentingnya berpikir reflektif dalam pembelajaran matematika sudah banyak dilakukan, tetapi bagaimana alur berpikir reflektif mahasiswa menyelesaiakan masalah matematika belum dilakukan, maka dalam penelitian ini dikaji bagaimana alur berpikir reflektif maha-siswa dalam menyelesaiakan masalah matematika.
Selain pentingnya berpikir reflektif di atas, beberapa jurnal berikut menjadi
landasan dalam penelitian adalah kesulitan mahasiswa dalam menyelesaiakan masalah matematika, disebabkan karena kurangnya pembelajaran yang melibatkan berpikir reflektif. Lee (2005) menyatakan bahwa berpikir reflektif dapat mengembangkan penalaran guru dan siswa. Mengapa guru menggunakan strategi pembelajaran ter-tentu dan bagaimana guru dapat meningkatkan pembelajaran mereka dapat mempengaruhi efek positif pada siswa. Oleh karena itu, disarankan bahwa calon guru perlu terlibat dalam berpikir reflektif dan tidak hanya mempelajari ide-ide baru tetapi juga untuk meningkatkan profesional.
Mezirow (1998) mengemukakan empat tahap berpikir reflektif perspektif teoretis yaitu tindakan kebiasaan, pemahaman, refleksi dan kritis. Tindakan kebiasaan adalah kegiatan otomatis yang dilakukan dengan pikiran. Pemahaman adalah belajar dan membaca tanpa terkait dengan situasi lain. Refleksi menyangkut pertimbangan aktif, gigih dan hati-hati dari setiap asumsi atau keyakinan didasarkan pada kesadaran seseorang, refleksi kritis dianggap sebagai tingkat yang lebih tinggi dari pemikiran reflektif yang menyebabkan seseorang menjadi lebih sadar bagaimana melihat suatu masalah, cara merasakan suatu masalah, bertindak dan penyelesaian suatu masalah.
Dewey (1933) membagi pemikiran reflektif menjadi tiga situasi sebagai berikut:
“…. Dewey divides reflective thinking into three situations as follows: The pre-reflective situation, a situation experiencing perplexity, confusion, or doubts; the post-reflective situation, a situation in which such perplexity, confusion, or doubts are dispelled; and the reflective situation, a transitive situation from the pre-reflective
situation to the post-reflective situ-ation…”
situasi pra-reflektif yaitu situasi seseorang mengalami kebingungan atau keraguan; situasi reflektif yaitu situasi transitif dari situasi pra-reflektif menjadi situasi pasca-reflektif atau terjadinya proses pasca-reflektif; dan situasi pasca-reflektif yaitu situasi dimana kebingungan atau keraguan tersebut dapat terjawab.
Dewey (1933) mengemukakan bahwa komponen berpikir reflektif (reflective
thinking) adalah kebingungan (perplexity)
dan penyelidikan (inquiry). Kebingungan adalah ketidakpastian tentang sesuatu yang sulit untuk dipahami yang kemudian menantang pikiran dan perubahan dalam pikiran dan keyakinan seseorang. Penye-lidikan adalah mengarahkan informasi yang mengarahkan pikiran terarah. Dengan membiarkan kebingungan dan penye-lidikan terjadi pada saat yang sama, perubahan perilaku seseorang dapat terlihat, demikian juga sebaliknya jika pemikiran reflektif adalah kebiasaan yaitu kebingungan (perplexity) dan penyelidikan
(inquiry), maka seseorang akan ada
perubahan perilaku yang mungkin (Dewey, 1933).
Berpikir reflektif sangat mempe-ngaruhi perilaku baik atau buruk, percaya diri atau tidak seseorang. Dengan demikaian guru harus mengetahui berpikir reflektif agar disesuaikan dengan pembe-lajaran yang dilakukan. Hatton & Smith (1995) mengemukakan bahwa berpikir reflektif (reflective thinking) merupakan suatu cara dalam mengubah perilaku seseorang, dan ini merupakan cara untuk mengatasi masalah praktis. Guru menanggapi mereka sendiri meminta dari pengajaran mereka sendiri dalam konteks karakteristik khusus dan konsep akan bekerja untuk mewakili praktek pengajaran yang efektif (Gordinier, Moberly, & Conway, 2004).
Dewey (1933) mengemukakan tentang peran berpikir reflektif bagi guru bahwa :
“… reflective thought brings two challenges. First, teachers must be observers of all that concerns the students in their classrooms. They must know all of the conditions that could make things better or worse for the students as well as the consequences of those conditions. Second, teachers must also know about the school organization and about the atmosphere surrounding a child's learning…”
Ada dua tantangan bagi guru dalam berpikir reflektif (reflective thinking) yaitu: pertama, guru harus menjadi pengamat dari semua yang menyangkut siswa di kelas mereka. Mereka harus tahu semua kondisi yang bisa membuat hal-hal yang lebih baik atau lebih buruk bagi siswa serta konsekuensi dari kondisi tersebut. Kedua, guru juga harus tahu tentang organisasi sekolah dan tentang suasana sekitarnya pembelajaran anak.
Berpikir reflektif penting untuk mengembangkan pengetahuan matematika. Hal yang menarik untuk diketahui adalah pada usia berapa proses berpikir reflektif
(reflective thinking) mulai muncul dalam
diri anak? Bagaimana caranya sekarang proses berpikir reflektif dapat dimun-culkan?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan oleh Inhelder dan Piaget dalam Skemp (1982). Dari hasil penelitian tersebut, diperoleh seorang anak mengembangkan proses berpikir reflektif pada usia mulai 7 tahun, pada rentang usia tersebut seorang anak mampu memanipulasi berbagai ide-ide konkrit, seperti menceritakan kembali apa yang telah dilakukan (dalam imaginasinya). Inhelder dan Piaget juga menemukan fakta bahwa subjek-subjek penelitian mereka
belum dapat memberikan alasan mengapa mereka melakukan sesuatu secara formal.
Berpikir matematika yang dilakukan oleh siswa bertujuan untuk memecahkan masalah. Pentingnya pemecahan masalah ditegaskan dalam National Council of
Teacher Mathematics (2000) yang menetapkan bahwa terdapat 5 standar proses yang perlu dimiliki siswa dalam pembelajaran matematika, yaitu: (a) pemecahan masalah (Problem solving), (b) Penalaran dan pembuktian (Reasoning and
proof), (c) Komunikasi (Communication),
(d) Koneksi (Connection); dan (e) representasi (Representation).
Masalah matematika menurut Polya dalam bukunya “How To Solve It” (Polya, 1973) mengemukakan dua macam masalah dalam matematika yaitu: (1) Masalah untuk menemukan (problem to find), baik teoritis maupun praktis, abstrak atau konkret, termasuk teka-teki; dan (2) Masalah untuk membuktikan (problem to
prove), yakni untuk menunjukkan salah
satu kebenaran pernyataan, bahwa suatu pernyataan itu benar atau salah.
National Research Council (1989), dinyatakan bahwa pengalaman-penga-laman yang diperoleh melalui proses pemecahan masalah matematis memung-kinkan berkembangnya kekuatan mate-matis yang antara lain meliputi kemampuan membaca dan menganalisis situasi secara kritis, mengidentifikasi kekurangan yang ada, mendeteksi kemungkinan terjadinya bias, menguji dampak dari langkah yang akan dipilih, serta mengajukan alternatif solusi kreatif atas permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian, pemecahan masalah matematis dapat membantu seseorang memahami informasi yang tersebar di sekitarnya secara lebih baik. Pemecahan masalah yaitu masalah menemukan atau membuktikan merupakan sesuatu yang sangat penting dan perlu dikaji.
Melalui pemecahan masalah, mahasiswa dapat menjadi terampil dalam (mengi-dentifikasi, memilih pengetahuan yang relevan, mengorganisasikan keteram-pilan yang sudah dimiliki, membuat rencana, dan membuat generalisasi). Untuk menyelesaikan masalah tersebut mahasiswa memerlukan alur pemikiran dengan kemampuan berpikir reflektif
(reflective thinking). Poses Berpikir Reflektif
Berikut ini disajikan tentang proses berpikir refletif (reflective thinking).
Dewey (1933) menyatakan bahwa berpikir reflektif (reflective thinking) adalah:
“ …. reflective thinking is active,
persistent, and carefull consideration of any belive or suppose from of knowledge in the light of the grounds that support it and the conclusion to which it tends….”
Jadi berpikir reflektif adalah aktif terus-menerus, gigih, dan mempertim-bangkan dengan seksama tentang segala sesuatu yang dipercaya kebenarannya.
Sementara itu Len dan Kember (2008: 578) mengungkapkan berdasarkan
Mezirow’s theorical framework bahwa
berpikir reflektif dapat digolongkan ke dalam 4 tahap yaitu:
1. Habitual Action (Tindakan Biasa).
Habitual Action didefinisikan ‘… a mechanical and automatic activity that is performed with little conscious thought’, yaitu kegiatan yang
dilaku-kan dengan sedikit pemikiran yang sengaja.
2. Understanding (Pemahaman).
Pemahaman atau (Understanding)
yaitu siswa belajar memahami situasi yang terjadi tanpa menghubungkannya dengan situasi lain.
3. Reflection (Refleksi).
Refleksi yaitu aktif terus-menerus, gigih, dan mempertimbangkan dengan
saksama tentang segala sesuatu yang dipercaya kebenarannya yang berkisar pada kesadaran siswa.
4. Critical Thinking (Berpikir Kritis). Berpikir kritis merupakan tingkatan tertinggi dari proses berpikir reflektif yang melibatkan bahwa siswa lebih mengetahui mengapa seseorang mera-sakan berbagai hal. Memutuskan dan memecahkan penyelesaian.
Esensi dari apa yang dikemukakan oleh Len and Kember (2008) di atas jelas bahwa siswa diharapkan memiliki tindakan biasa, pemahaman, refleksi, dan berpikir kritis.
Berpikir reflektif (reflective thinking) yang dikemukakan oleh Skemp (1982: 54-55) bahwa proses berpikir reflektif
(reflective thinking) dapat digambarkan
sebagai berikut: (a) informasi atau data yang digunakan untuk merespon, berasal dari dalam diri (internal), (b) bisa menje-laskan apa yang telah dilakukan, (c) me-nyadari kesalahan dan memperbaikinya (jika ada kesalahan), dan (d) mengkomu-nikasikan ide dengan simbol atau gambar.
Selanjutnya berdasarkan definisi-definisi berpikir reflektf (reflective thinking) yang dikemukakan di atas maka
definisi berpikir reflektif dalam penelitian ini adalah kombinasi dari yang dikemukakan oleh Zehavi (2006), Skemp (1982) dan Lee (2005) yaitu:
a. Selection techniques;
b. Mengkomonikasikan ide dalam bentuk
simbol atau gambar;
c. conceptualization (konseptualisasi yai-tu menghubungkan konsep); dan d. Rasionalisasi (rasionalisasi yaitu
menghubungkan informasi-informasi untuk menyelesaikan soal yang diberikan dengan tepat dan dapat menarik kesimpulan).
Terjadinya Berpikir Reflektif
Berikut adalah diagram yang menggambarkan terjadinya proses
berpikir reflektif menurut Skemp (1982: 55) disajikan dalam gambar 2.2 berikut:
Gambar 1. Bagan Berpikir Reflektif Gambar 1. menjukan bahwa seseorang berpikir reflektif terjadi adalah merespon informasi dari luar, diteruskan pada aktivitas mental yang dimaksud dan mendapat masalah atau membutuhkan informasi dalam yang sudah dimiliki, aktifitas tersebut untuk merespon hal terbut yaitu Informasi/pengetahuan atau data yang digunakan untuk merespon, berasal dari dalam diri (internal), bisa menjelaskan apa yang telah dilakukan, menyadari kesalahan dan memperbaikinya (jika ada kesalahan), dan mengkomunikasikan ide dengan simbol atau gambar. Selanjutnya merespon suatu persoalan yang bersifat eksternal sebagai efek dari berpikir reflektif, hal tersebut terus berulang sampai pada penyelesaian maslah.
Dewey (1933) membagi pemikiran reflektif menjadi tiga situasi sebagai berikut:
“…. Dewey divides reflective thinking into three situations as follows: The pre-reflective situation, a situation expe-riencing perplexity, confusion, or doubts; the post-reflective situation, a situation in which such perplexity, confusion, or doubts are dispelled; and the reflective situation, a transitive situation from the pre-reflective
RECEPTOR S
EFEKTOR RECEPTORS
situation to the post-reflective situation…”
situasi pra-reflektif yaitu suatu situasi seseorang mengalami kebingungan atau keraguan; situasi reflektif yaitu situasi transitif dari situasi pra-reflektif dengan situasi pasca-reflektif atau terjadinya proses reflektif; dan situasi pasca-reflektif yaitu situasi dimana kebingungan atau keraguan tersebut dapat terjawab.
Dewey (1933) mengemukakan bahwa komponen berpikir reflektif (reflective
thinking) adalah kebingungan (perplexity)
dan penyelidikan (inquiry). Kebingungan adalah ketidakpastian tentang sesuatu yang sulit untuk memahami yang kemudian menantang pikiran dan sinyal perubahan dalam pikiran dan keyakinan. Penyelidikan adalah mengarahkan informasi yang mengarahkan pikiran terarah. Dengan membiarkan kebingungan dan penyeli-dikan terjadi pada saat yang sama, perubahan perilaku seseorang dapat terlihat, demikian juga sebaliknya jika pemikiran reflektif adalah kebiasaan yaitu kebingungan (perplexity) dan penyelidikan
(inquiry), maka seseorang akan ada
perubahan perilaku yang mungkin (Dewey, 1933).
Berdasarkan Dewey (1933) dan Skemp (1982) terlihat bahwa seseorang akan berpikir reflektif (reflective thinking) jika seseorang mengalami kebingungan atau keraguan pada saat penyelesaikan masalah dan mengalami hambatan dalam menyelesaiakan masalah matematika.
Penyelesaian Masalah Matematika
Dalam pembelajaran matematika, masalah matematika sering diartikan sebagai suatu pertanyaan atau soal yang memerlukan solusi atau jawaban, dimana yang dimaksudkan suatu pertanyaan atau soal yang memerlukan solusi atau jawaban adalah yang memenuhi dua syarat suatu
pertanyaan menjadi masalah bagi siswa, yaitu:
1. Pertanyaan yang dihadapkan kepada siswa haruslah dapat dimengerti, namun pertanyaan tersebut harus merupakan tantangan baginya untuk menjawabnya,
2. Pertanyaan tersebut tak dapat dijawab dengan prosedur rutin yang telah diketahui siswa.
Jadi suatu pertanyaan atau soal yang diajukan kepada siswa merupakan masalah baginya jika pertanyaan atau soal itu tidak segera dapat diselesaikan oleh siswa dengan prosedur rutin namun memberikan rangsangan dan tantangan untuk dijawab. Jika pertanyaan atau soal sudah berisi tantangan tetapi tantangan itu tidak diterima siswa, maka pertanyaan itu menjadi bukan masalah baginya. Oleh karena itu pemecahan masalah didefinisikan sebagai proses mencari pemecahan terhadap masalah yang menantang dan belum atau tidak serta merta pemecahannya diperoleh yang melibatkan proses berpikir dan penalaran.
Polya (1973) mengemukakan dua macam masalah dalam matematika yaitu: (1) Masalah untuk menemukan (problem
to find), baik teoritis maupun praktis,
abstrak atau konkret, termasuk teka-teki; dan (2) Masalah untuk membuktikan (problem to prove), yakni untuk menunjukkan salah satu kebenaran pernyataan, bahwa suatu pernyataan itu benar atau salah. Polya mengemukakan empat langkah dalam memecahkan masalah. Keempat langkah tersebut adalah: 1. Memahami masalah (understanding
the problem) meliputi memahami
berbagai hal yang ada pada masalah seperti apa yang tidak diketahui, apa saja data yang tersedia, apa syat-syatnya, dan sebagainya. Pada tahap ini, mahasiswa dapat melakukan beberapa langkah yang diperlukan
untuk mengerti masalah, seperti membuat sketsa gambar, mengenal notasi yang digunakan, mengelom-pokan bagian dari syarat-syarat, dan sebagainya;
2. Memikirkan suatu rencana (devising a
plan) meliputi berbagai usaha untuk
menemukan hubungan masalah dengan maslah lainnya atau hubungan antar data dengaan hal yang tidak diketahui, dan sebagainya. Pada akhirnya seseorang harus memiliki suatu rencana pemecahan;
3. Melaksanakan rencana (carrying out
the plan) termasuk memeriksa setiap
langkah pemecahan, apakah langkah yang dilakukan sudah benar atau dapat dibuktikan bahwa langkah tersebut benar; dan
4. Memeriksa kembali (looking back) meliputi menguji tahap pemecahan yang dihasilkan.
Selanjutnya Krulik (2003: 94) mem-perhalus atau menguraikan keempat langkah yang sampaikan oleh Polya. Pada strategi pemecahan memahami masalah (understanding the problem) tujuan utamanya adalah mengetahui apa yang di tanyakan pada dan mengetahui apa yang di tanykan dalam maslah. Oleh karena itu menurut Krulik (2003: 94) siswa melakukan: (a). identifikasi fakta (Identify
the fact), (b). identifikasi pertanyaan (Identify the questions), (c) memahami
kosa kata (Understand the vocabulary), (d) memeriksa kecukupan data (Check sufficiency of data), dan (e) penaksiran (Estimate).
Dari gambaran yang dikemukan di atas, maka pemecahan masalah matematikan yang dimaksudkan sebagai proses yang meliputi tahap-tahap: mema-hami masalah, memikirkan rencana/ merencanakan, melaksanakan rencana, dan evaluasi terhadap hasil pemecahan. Tahap tersebut dilakukan terhadap maslah khusus
matematika. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemampuan memecah-kan masalah berkaitan erat dengan kemampuan berpikir seseorang serta keterampilan mengatur proses berpikirnya sepanjang proses pemecahan masalah.
Kerangka teori berpikir reflektif dalam pemecahan masalah
Pada bagian ini akan diuraikan kerangka teori penelitian berpikir reflektif dalam pemecahan masalah:
Gambar 2. Skema Berpikir Reflektif Pemahaman (understanding) Pada tahap memahami masalah, merencanakan, melaksanakan rencana dan memeriksa kembali. Berpikir reflektif pemahaman (understanding) yaitu maha-siswa mengalami hambatan, kebingungan atau keraguan pada selection techniques, dan mengkomunikasikan ide dalam bentuk simbol atau gambar. Proses terjadinya berpikir reflektif (reflective thinking) hanya sekali saja yaitu mengalami hambatan pada satu komponen selanjutnya
Mr Ms
Mlk
melakukan reflektif pada setiap langkah penyelesaian masalah.
Gambar 3. Skema Berpikir Reflektif Koneksi (connection)
Pada memahami masalah, merencanakan, melaksanakan rencana dan memeriksa kembali. Berpikir reflektif koneksi yaitu selection techniques, mengkomunikasikan ide dalam bentuk
simbol atau gambar, dan conceptualization. Gambar 4. Skema Berpikir Reflektif Kreatif (creative)
Pada memahami masalah, merencanakan, melaksanakan rencana dan memeriksa kembali berpikir reflektif kreatif yaitu selection techniques, mengkomunikasikan ide dalam bentuk simbol atau gambar, conceptualization, dan rasionalisasi.
Berpikir reflektif siswa dalam menyelesaikan masalah aljabar
Berikut ini hasil pekerjaan siswa dalam menyelesaikan masalah aljabar dengan kode sampai :
Ms Mr Mlk Mrk Mr Ms Mlk Mrk
Dalam menyelesaikan masalah aljabar, pada saat memahami masalah lerlihat bawa siswa menggambarkan masalah agar mudah dimengerti atau mudah dipahami. Hal ini terlihat dari kerja siswa pada dengan menggambarkan/ mengilustrasikan masalah aljabar lebih dahulu agar mudah difahami dan berusaha menjelaskan apa yang sudah digambarkan. Data tersebut diperkuat dengan petikan wawancara, ketika peneliti bertanya “apa sih maunya soal ini?”, subjek menjawab “iya kan gini, pak Hery
punya kebun berbentuk persegi panjang, terus kebunya itu di bagi menjadi dua bagian yang sama selanjutnya pak Hery ingin memagari kebun yang sudah dibagi itu dengan kawat berduri”. Selanjutnya
peneliti menanyakan perkerjaan selanjut-nya, subjek menjawab “terus pak Hery
memiliki kawat berduri sepanjang 1.500 meter”.
Pada tahap memikirkan rencana terlihat bawa dengan menggabar pada dan siswa menghiting dengan cara memisalkan ada 3 dan ada 2, dengan demikian untuk mengetahui kelilingnya subjek menjumlahkan panjang dan . Informasi tersebut diperkuat dengan hasil wawancara, ketika peneliti bertanya “apa yang akan kamu lakukan?” Subjek menjawab “saya misalkan lebar : dan
panjangnya saya misalkan panjangnya:
”, peneliti bertanya lebih lanjut “kenapa kok dimisalkan seperti itu?” subjek menjawab “supaya, gampang menjawab
soalnya”. Berdasarkan data tersebut,
subjek berusaha meyakinkan deangan apa yang akan dilakukan pada masalah aljabar. Cara yang digunakan adalah menggambar dan memisalkan sisi-sisinya dengan dan .
Selanjutnya pada tahap melaksanakan penyelesaian terlihat pada subjek meyakinkan dengan melakukan perhi-tungan, demikian juga dengan subjek melakukan perhitungan untuk meyakinkan dengan apa yang dikerjakan. Demikian juga dengan mengklarifikasi apakah jawaban sudah benar, melakukan klarifikasi dengan cara menhitung, mengganti jawaban dengan yang sudah ditulis dengan jawaban yang dianggapnya benar, subjek tidak yakin dengan jawabannya, dan subjek berusaha menjeleaskan walaupun jawabannya sudah diklarifikasi. Informasi tersebut diperkuat dengan hasil wawancara, “selanjutnya gimana” subjek menjawab “dari gambar
kan kelihatan kelilingnya ”, peneliti menanyakan lebih lanjut “kenapa kok dicoret-coret?”, subjek menjawab “tadi saya salah menghitung
dan salah menggambar”, peneliti juga
bertanya “kenapa kok dicoret-coret?” dan subjek menjawab “tadi saya salah
Pada tahap memeriksa kembali terlihat pada subjek berusaha menjelaskan apa yang telah dilakukan untuk mengecek jawaban, kode setelah memeriksa kembali pekerjaan di ternyata subjek memperbaikinya yang terlihat pada , dan meyakinkan apa
yang akan dilakukan. Data tersebut diperkuat ketika peneliti bertanya “hasil akhir untuk soal a) kenapa di coret?” subjek menjawab “iya saya lupa tadi saya
liat lagi ternya yang di tanya kelilingnya. Kelilingnya kan bisa diperoleh dari
diperoleh
”.
PENUTUP Kesimpulan
1. Berpikir reflektif Pemahaman
(understanding),
Pada tahap memahami masalah, merencanakan, melaksanakan rencana dan memeriksa kembali. Berpikir reflektif pemahaman (understanding) yaitu mahasiswa mengalami hambatan, kebingungan atau keraguan pada selection techniques, dan
mengkomunikasikan ide dalam bentuk simbol atau gambar. Proses terjadinya berpikir reflektif (reflective
thinking) hanya sekali saja yaitu
mengalami hambatan pada satu komponen selanjutnya melakukan reflektif pada setiap langkah penyelesaian masalah.
2. Berpikir Reflektif Koneksi
(connection)
Pada memahami masalah, meren-canakan, melaksanakan rencana dan memeriksa kembali. Berpikir reflektif koneksi yaitu selection techniques, mengkomunikasikan ide dalam ben-tuk simbol atau gambar, dan conceptualization.
3. Berpikir Reflektif Kreatif (creative) Pada memahami masalah, meren-canakan, melaksanakan rencana dan memeriksa kembali berpikir reflektif kreatif yaitu selection techniques, mengkomunikasikan ide dalam bentuk simbol atau gambar,
concep-tualization, dan rasionalisasi.
DAFTAR RUJUKAN
Aysun. 2011. Determining the reflective thinking skills of pre-service teachers learning and teaching process. Energy Education Science
and Technology. Volume (issue)
3(3): 387-402.
Carol, R. 2003. Definiting reflection: Another look at John Dewey and reflective thanking. Teachers College
Record Volume 104, Number 4, pp.
842–866. Columbia University 0161-4681.
Chee., dan Pou. 2012. Reflective Thinking And Teaching Practices: A Precursor For Incorporating Critical Thinking
Into The Classroom?. International
Journal of Instruction. Vol 5. No 1.
(e-ISSN: 1308-1470).
Dewey J. 1933. How We Think: A
Restatement of the Relation of Reflective Thinking to the Educative Process, Boston, MA: D.C., Heath
and Company.
Gurol. A. 2011. Determining the reflective thinking skills of pre-service teachers in learning and teaching process. Energy Education Science
and Technology Part B: Social and Educational Studies 2011 Volume (issue) 3(3): 387-402.
Lee, H. 2005. Understanding and assessing preservice teachers’ reflec-tive thinking. Teaching and Teacher
Education. USA. 21 (699–715).
Krulik, S., Rudnick, J., dan Milou, E. 2003. Teaching Mathematics in
Middle School A Practical Guide.
Boston.
Maureen, L. 2003. Using Critical Incidents to Promote and Assess Reflective Thinking in Preservice Teachers.
Carfax Publising Vol. 4, No. 2.
NCTM. 2000. Principle and Standards for
School Mathematics. Reston: The
National Council of Teacher Mathematics, Inc.
Polya, G. 1973. How To Solve It. 2nd ed, Princeton: Princeton University Press. ISBN 0-691-08097-6.
Rodgers. C., 2002. Defi ni ng Ref l ec -t i on: Ano-t her Loo k A-t J o h n D e w e y a n d R e f l e c t i v e T h i n k i n g . Teachers College Record Volume 104, Number 4,
June 2002, Pp. 842–866.
Skemp, R. 1982. The Psychology of
Learning Mathematics. USA. Peguin Books.
Slavin, R. 2006. Educational Psychology
Theory and Practice. Eighth Edition. New York. Pearson.