• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI DEBU VULKANIK SERTA SEBARANNYA PADA ERUPSI GUNUNG RINJANI MENGGUNAKAN CITRA SATELIT HIMAWARI-8

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IDENTIFIKASI DEBU VULKANIK SERTA SEBARANNYA PADA ERUPSI GUNUNG RINJANI MENGGUNAKAN CITRA SATELIT HIMAWARI-8"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI DEBU VULKANIK SERTA SEBARANNYA PADA ERUPSI GUNUNG RINJANI

MENGGUNAKAN CITRA SATELIT HIMAWARI-8

VOLCANIC ASH IDENTIFICATION AND DISPERTION OF RINJANI MOUNTAIN ERUPTION USING HIMAWARI-8 SATELLITE IMAGERY

Ni Putu Andini Ganiswari

Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

ABSTRAK

Indonesia merupakan negara dengan jumlah gunung berapi terbanyak didunia hal ini disebabkan karena posisi geografis Indonesia yang berada pada titik pertemuan tiga lempeng tektonik yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo Australia dan lempeng Pasifik. Sehingga penting untuk kita memberikan informasi dengan cepat kepada masyarakat tentang adanya sebaran dan pergerakan dari debu vulkanik untuk meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan. Debu vukanik dapat dideteksi dengan menggunakan satelit Himawari-8 dengan metode split windows (SP), RGB (Red Green Blue) dan TVAP (Three-band Volcanic Ash Product). Pergerakan dan estimasi ketinggian debu vulkanik dibuat menggunakan model HYSPLIT (Hybrid Single-Particel Lagrangian Integrated Trajectory) dari data angin perlapisan GDAS (Global Data Asimilation System) dengan membuat beberapa trajektori pada ketinggian tertentu. Pada kasus erupsi Gunung Rinjani tanggal 3 sampai 5 November 2015, pengidentifikasian debu vulkanik dengan gabungan metode antara metode split window dan TVAP berhasil menampilkan piksel-piksel debu yang hilang dibandingkan jika hanya menggunakan metode split window atau TVAP. Model trajektori dari HYSPLIT menunjukkan kecocokan dengan pergerakan debu sehingga pergerakan debu dalam periode waktu ke depan dapat diprakirakan.

Kata Kunci: debu vulkanik, split windows, TVAP, RGB, trayektori

ABSTRACT

Indonesia is a country with the largest number of volcanoes in the world. This is because the geographic position of Indonesia is located at the meeting point of three tectonic plates, Eurasian plate, Indo Australian plate and Pacific plate. It is really important for us to provide information quickly to the public about existence, dispertion and the movement of volcanic ash to minimize the negative impacts. Vukanik ash can be detected using satellite Himawari-8 by the method of split windows (SP), RGB (Red Green Blue) and TVAP (Three-band Volcanic Ash Product). The movement and estimation of volcanic ash height was made using HYSPLIT model (Hybrid Single-Particel Lagrangian Integrated Trajectory) utilizing wind data each layer from GDAS (Global Data Asimilation System) and make some trajectories at certain height. In case of Gunung Rinjani in 3-5 November 2015, combination between SP and TVAP technique were successfully display ash pixels which lost when only SP or TVAP technique is used. Trajectory model from HYSPLIT showed an identic direction with real ash movement with the result that ash movement can be predicted in the future.

(2)

1. PENDAHULUAN

Salah satu bahan meterial vulkanik saat terjadi letusan gunung berapi adalah debu vulkanik. Debu vulkanik dari letusan gunung berapi merupakan campuran potongan batuan kecil yang bergerigi, mineral dan kaca vulkanik yang berukuran sangat halus serta lumpur dengan diameter kurang dari 2 milimeter. Debu vulkanik berbeda dengan debu yang dihasilkan oleh pembakaran, karena sifat debu vulkanik yang keras, tidak larut dalam air, sangat kasar dan dapat menghantarkan arus listrik dalam keadaan basah (volcanoes.usgs.gov). Erupsi gunung berapi selalu mempunyai dampak negatif yang berbanding lurus dengan kekuatan letusan itu sendiri. Semakin kuat letusannya, maka semakin besar dampak negatif yang dihasilkan. Pada saat erupsi, sebagian debu yang dilontarkan akan jatuh kembali ke permukaan sebagai hujan debu yang dapat merusak lingkungan dan berbahaya bagi kesehatan. Sebagian debu yang lain akan melayang-layang di atmosfer terbawa angin dan akan sangat berbahaya bagi dunia penerbangan. Karena partikel debu vulkanik dapat merusak mesin pesawat terbang yang akan membahayakan aktifitas penerbangan itu sendiri.

Informasi tentang debu vulkanik sangat penting dalam operasional meteorologi penerbangan, karena digunakan sebagai dasar pembuatan SIGMET (Significant Meteorological Information) untuk debu vulkanik. Oleh karena itu, teknik identifikasi debu vulkanik yang cepat dan akurat sangat diperlukan. Dikarenakan lokasi dari banyak gunung api yang terisolasi, maka remote sensing memainkan suatu peran penting dalam melacak awan-awan debu saat mereka bergerak menjauh dari gunung yang meletus. Informasi mengenai debu vulkanik dapat disediakan dengan memanfaatkan alat remote sensing berupa satelit cuaca Himawari-8 secara realtime dengan resolusi temporal 10 menit yang digunakan untuk membedakan debu vulkanik dari awan-awan meteorologi dan permukaan di bawahnya baik siang maupun malam.

2. LANDASAN TEORI

2.1 Debu Vulkanik

Satu di antara sumber partikel padat di atmosfer adalah erupsi gunung berapi yang

menyumbang partikel padat berupa debu vulkanik sebagai aerosol. Aerosol adalah partikel-partikel padat dalam medium udara (atmosfer) dengan kecepatan jatuh yang sangat kecil (Tjasyono, 2007). Debu vulkanik merupakan aerosol yang tergolong berbahaya karena karakteristik bentuknya yang tajam.

2.2 Satelit Cuaca

Satelit meteorologi merupakan satelit yang mengorbit bumi dengan membawa instrumen penginderaan jauh untuk memperoleh data atmosfer dan lautan (Susilawati; 2012). Satelit Himawari-8 merupakan satelit geostasioner yang dapat mengambil gambar keseluruhan planet. Himawari-8 memiliki 16 kanal yang berbeda panjang gelombangnya. Pemanfaatan data satelit meteorologi digunakan untuk mendeteksi aerosol, debu vulkanik, Sea Surface Temperature (SST), Land Surface Temperature (LST), labilitas atmosfer dan lain sebagainya.

2.3 Jenis Remote Sensing

Remote sensing merupakan teknik yang memanfaatkan konsep dasar dari teori radiasi, dimana seluruh zat atau materi dengan suhu di atas 0 mutlak memancarakan radiasi Elekromagnetik (EM). Berdasarkan sumber energi gelombang elektromagnetik, remote sensing dibedakan menjadi dua yaitu :

Remote sensing aktif adalah melakukan pengukuran dengan mengirimkan pulsa-pulsa radiasi elektromagnetik dan kemudian mengukur radiasi yang dipantulkan kembali ke sensor oleh suatu objek yang diamati, Contohnya adalah RADAR (Aggarwal, 2003).

Remote sensing pasif adalah melakukan pengukuran radiasi alamiah dari suatu objek yang diamati. Contohnya adalah menggunakan sensor pada satelit cuaca. Beberapa sensor yang menggunakan sistem ini adalah MSS, TM, ETM+, NOAA, AVHRR, MOS-1, MESSR, IRS, dan potret udara.

2.4 RGB (Red Green Blue)

RGB merupakan sebuah metode penggabungan tiga kanal satelit dalam satu citra. Metode ini akan menghasilkan sebuah citra yang dapat dianalisa dengan tiga karakteristik kanal yang berbeda sekaligus. Teknik RGB ini diaplikasikan dalam aplikasi SATAID dari JMA dengan ketentuan warna Merah (RED) untuk citra SP (IR1-IR2), warna

(3)

Hijau (GREEN) untuk citra S2 (IR4-IR1), dan warna Biru (BLUE) untuk citra IR4 (BMKG, 2010).

2.5 Split Window (SP)

Split Window merupakan suatu metode yang digunakan untuk membedakan antara awan debu vulkanik dengan awan air dan es. Awan debu akan sulit dibedakan jika hanya menggunakan satu kanal saja (VIS atau IR). Sifat penyerapan yang berbeda dari debu dan air / es pada panjang gelombang 11 & 12μm (IR1 & IR2) terlihat yang paling significant perbedaan nya, oleh karena itu kanal IR1 dan IR2 banyak digunakan untuk identifikasi debu vulkanik (Tupper, 2011).

2.6 Multispectral Image Enhancemen Techniques (TVAP)

TVAP Merupakan sebuah metode yang digunakan untuk mendeteksi debu vulkanik dengan menggunakan tiga kanal IR dari satelit geostationer. Tiga kanal tersebut berada pada daerah panjang gelombang 3,9 µm (IR4), 10,7 µm (IR1), dan 12.0 µm (IR2) (Ellrod dkk., 2003).

2.7 Estimasi Ketinggian Debu Vulkanik Ketinggian debu vulkanik yang dilontarkan oleh erupsi gunung api tergantung pada tipe letusan gunung api (Gambar 2). Berdasarkan tinggi rendahnya derajat fragmentasi dan luasnya, juga kuat lemahnya letusan serta tinggi

kepulan asap, maka erupsi gunung api dapat dibagi menjadi beberapa tipe (esdm.go.id).

3. DATA DAN METODE

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Data satelit cuaca Himawari-8 kanal inframerah tiap jam tanggal 25 Oktober 2015 - 5 November 2015

b. Data GDAS (Global Data Asimilation System), data yang digunakan adalah data medan angin perlapisan.

3.1 Metode Penelitian

Gambar 1. Grafik perbedaan sifat penyerapan energi antara air, es dan debu

pada panjang gelombang tertentu. (sumber: Pavolonis dkk., 2006)

Gambar 2 Tipe Letusan Gunung Berapi ( sumber: www.esdm.go.id)

Gambar 3. Diagram Alir Penelitian

(4)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penentuan Threshold

Dengan menggunakan metode split window dengan algoritma SP=BTD(IR1-IR2) maka debu akan terindikasi dengan nilai negatif (SP < 0) (Prata, 1989).Namun dalam penentuan threshold tersebut akan sangat bergantung kepada ketinggian debu perbandingan antara jumlah partikel es/air dan debu serta ukuran dari debu, sehingga dalam beberapa keadaan debu dapat memiliki nilai positif dalam metode split window (Ellrod, 2003).

Nilai positif dari TVAP menunjukan partikel tersebut mengandung debu vulkanik (ellrod dkk., 2003). Dalam kasus letusan Gunung Rinjani ini, nilai threshold dari TVAP adalah (TVAP) > 60, karena mulai dari nilai tersebut partikel debu vulkanik dapat dipisahkan dari piksel-piksel awan (air/es) dengan jelas.

4.2 Identifikasi Debu Vulkanik a. Tanggal 3 November 2015

Erupsi Gunung Rinjani adalah low eksplosive (lemah) dan berkelanjutan/terus-menerus. Letusan tipe ini tidak banyak mengeluarkan material vulkanik. Akibatnya,

awan debu vulkanik pada erupsi Gunung Rinjani memiliki karakter yang tipis dan rendah. Gambar 4 (a) merupakan citra identifikasi debu vulkanik dengan metode split window pada erupsi Gunung Rinjani tanggal 3 November 2015 jam 00.00 UTC mengindikasikan partikel debu pada nilai positif dan negatif. Umumnya, metode split window akan mengidentifikasi partikel debu pada nilai negatif saja, namun pada kenyataannya tidaklah selalu demikian. Penelitian yang dilakukan oleh Yu dkk (2002) pada kasus erupsi Gunung Soufriere Hills 26 Desember 1997 mengidentifikasi debu pada nilai positif (+1 sampai +3). Kelainan ini disebabkan oleh gangguan penyerapan gelombang inframerah oleh uap air di atmosfer. Pada kasus erupsi Gunung Rinjani, identifikasi debu mendapat gangguan dari kandungan uap air di atmosfer hingga mengakibatkan metode split window baru bisa mengidentifikasi debu pada nilai positif, debu vulkanik teridentifikasi pada nilai +1 hingga 0.

Gambar 4 (b) adalah identifikasi debu dengan metode TVAP pada tanggal 4 November 2015. Berbeda dengan metode split window, metode TVAP mengidentifikasi debu pada nilai positif. Semakin besar nilai positif yang ditunjukan oleh TVAP maka semakin mengidentifikasikan nilai tersebut adalah debu.Metode TVAP mengidentifikasi debu vulkanik mulai threshold 60 sampai 70. Debu pada kasus erupsi Gunung Rinjani memiliki nilai yang lebih kecil hal ini disebabkan karena sifatnya yang low eksplosive sehingga debu di atmosfer hanya berada pada level rendah dan konsentrasi debu yang sedikit (Ellrod dkk, 2003).

Akibat banyaknya gangguan, baik metode SP maupun TVAP tidak sempurna dalam mengidentifikasi debu yang ada di atmosfer. Penggabungan dua metode ini disajikan pada gambar 4(c) dan menghasilkan identifikasi yang lebih baik dengan saling memperbaiki partikel-partikel debu yang hilang pada masing-masing metode. Debu vulkanik yang terdeteksi oleh metode TVAP pada gambar 4(c) berwarna merah dan jingga sedangkan debu vulkanik yang terdeteksi oleh metode split window berwarna biru dan ungu. Pada gambar 4(c) terlihat hanya terjadi sedikit perbaikan pixel dari metode split window maupun TVAP. Gambar 4. Tahap pendeteksian debu

vulkanik Gunung Rinjani 3 November 2015 jam 00.00 UTC (a)metode split windows

(5)

Gambar 4(d) merupakan citra RGB dari Himawari-8 dimana debu vulkanik teridentifikasi berwarna “pink” dalam wilayah yang dibatasi garis merah putus-putus. Pola sebaran debu yang terlihat pada citra RGB hampir sama yang seperti pola sebaran debu pada gambar 4(a,b, dan c) dimana sebaran debu mengarah ke barat Namun dengan hanya menggunakan citra RGB, antara debu vulkanik dan awan es belum dapat terpisah dengan jelas untuk itu diperlukan metode lain seperti 3 metode diatas yaitu metode split window, TVAP dan metode gabungan untuk menghasilkan identifikasi yang jelas dan akurat

b. Tanggal 4 November 2015

Gambar 5(a) merupakan citra identifikasi debu vulkanik pada erupsi Gunung Rinjani tanggal 4 November 2015 dengan metode split window. Debu vulkanik teridentifikasi pada nilai +2.0 hingga -1.0. Pada gambar 5(a) terlihat sebaran debu lebih luas dari hari-hari sebelumya dikarenakan terjadinya letusan yang besar pada tanggal 4 jam 00.00 UTC. Akibatnya sebaran meluas sampai ke Bali dan Banyuwangi yang menyebabkan ditutupnya bandara Ngurah Rai dan Belimbing sari karena erupsi tersebut. Gambar 5(b) adalah identifikasi debu dengan metode TVAP, terlihat pada gambar pixel debu yang terdapat dengan metode TVAP lebih sedikit dibanding dengan metode split window

pada gambar 5(a). Gambar 5(c) adalah citra identifikasi debu dengan menggunakan metode gabungan split window dan TVAP. Jelas terlihat pada jam 00.00 UTC kekosongan pixel pada metode TVAP diperbaiki oleh metode split window begitupun sebaliknya. Pola sebaran debu yang terlihat pada citra RGB pada gambar 5(d) hampir sama yang seperti pola sebaran debu pada tanggal 3 jam 00.00 UTC sebaran debu mengarah ke arah barat, namun pada tanggal 4 sebaran debu lebih meluas dari tanggal sebelumnya hal ini dikarenakan terjadi letusan yang besar pada tanggal 4 November 2015.

4.3 Pergerakan dan Estimasi Ketinggian Debu Vulkanik

Trayektori debu vulkanik dapat dihasilkan dengan menggunakan model trajektori HYSPLIT (Hybrid Single Particle Lagrangian Integrated Trajectory Model) metode ini juga digunakan di VAAC. Model Trajektori HYSPLIT dapat menghasilkan lintasan debu yang berbeda pada tiap lapisan dengan menggunakan data GDAS yaitu data angin perlapisan sebagai data utama dalam pembuatan trajektori debu vulkanik di atmosfer. Gambar 6 adalah overlay antara citra sebaran debu Gunung Rinjani pada 3 November 2015 jam 00.00 UTC menunjukkan sebaran debu terlihat mengikuti trayektori berwarna merah. Trayektori merah adalah trayektori untuk pergerakan debu pada ketinggian 3726 m AGL. Gambar 7 adalah overlay antara citra sebaran debu Gunung Rinjani pada 4 November 2015 jam 00.00 UTC menunjukkan sebaran debu terlihat dominan mengikuti trayektori berwarna biru muda dan mengarah kearah barat. Trayektori biru muda adalah trayektori untuk pergerakan debu pada ketinggian 6126 m AGL.

Gambar 5. Tahap pendeteksian debu vulkanik Gunung Rinjani 4 November 2015 jam 00.00 UTC

(6)

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil deteksi debu vulkanik dan sebarannya akibat erupsi Gunung Rinjani, maka diperoleh kesimpulan bahwa :

1. Identifikasi debu menggunakan metode SP maupun TVAP menghasilkan

identifikasi debu yang kurang sempurna. Masing-masing metode memiliki area debu yang tidak teridentifikasi (miss). Penggabungan dua metode split windows dan TVAP mampu meningkatkan keakuratan dalam pendeteksian debu vulkanik erupsi Gunung Rinjani. Baik metode split window maupun TVAP sama-sama melakukan perbaikan terhadap metode lainnya, dengan menampilkan pixel-pixel debu yang hilang dari metode split window dan metode TVAP. kin kecil threshold TVAP dan threshold metode SP bisa mencapai nilai positif.

2. Pada kasus erupsi gunung rinjani, pola sebaran debu dominan mengarah ke arah barat pada tanggal 3 dan 4 November 2015 jam 00.00 UTC 3. Estimasi ketinggian debu vulkanik

didapat dengan mencocokkan antara persebaran debu dengan model trayektorinya. Trayektori yang cocok dengan persebaran deu vulkanik mengidikasikan bahwa konsentrasi debu berada pada ketinggian trajktori tersebut.

5. SARAN

Untuk penelitian selanjutnya tentang pengidentifikasian debu vulkanik dimasa mendatang, diperlukan adanya penggembangan metode dan penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan pengidentifikasian debu vulkanik khususnya pada lapisan bawah (low level ash) mengingat masih sulitnya pendeteksian debu pada lapisan bawah.

6. REFERENSI

Aggarwal, Shefali, (2003) : Principles of Remote Sensing. Proceeding of WMO Training on Satellite Remote Sensing and GIS Applications in Agricultural Meteorology. Dehra Dun, India. 7-11 July 2003

Draxler, R. R., 1997. Hybrid Single Particel Lagrangian Integrated Trajectories (HY-SPLIT): Version 4.0 – User’s guide and model description. NOAA Tech. Memo. ERL ARL-225.

Gambar 6. Overlay citra sebaran debu Gunung Rinjani 03 November 2015 jam 00.00 UTC dengan model

trayektori HYSPLIT

Gambar 7. Overlay citra sebaran debu Gunung Rinjani 04 November 2015 jam 00.00 UTC dengan model trajektori

(7)

Ellrod, G.P., B. H. Connel, D. W. Hillger. 2003. Improved Detection of Airbone Volcanic Ash using Multispectral Infrared Satellite data. Journal of Geophysical Research, 108.

Kelkar, R.R., 2007. Satellite Meteorology. Hyderabad: BSP.

Pahlewi, Reza. 2014. Peran Teknik Split Window dan TVAP Dalam Identifikasi Debu Vulkanik Menggunakan Satelit MTSAT- 2. Jakarta : STMKG.

Pavolonis, Michael. 2006. Multi-sensor Satellite Algorithm Development for Volcanic and Fog Hazards. NOAA Pedoman Operasional Pengelolaan Citra Satelit

BMKG. Pusat Meteorologi Publik, Deputi Bidang Meteorologi, BMKG. Desember 2010

Prata, A. J. 2008. Satellite Detection of Hazardous Volcanic Clouds and The Risk to Global Air Traffic. Amerika: Springer Science and Business Media.

Shimoji, K., 2010 : Outline of the Meteorological Observation by Satellite and Its Application. Training Course on Satellite Meteorology for BMKG. Tokyo. 6 Oktober 2010

Susilawati, Asri, dkk. 2012. Identifikasi Debu Vulkanik Menggunakan Citra Satelit MTSAT. Buletin Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Vol.8, No. 1.

Taylor, Isabelle. 2015. Investigating the use of the Saharan dust index as a tool for the detection of volcanic ash in SEVIRI

imagery. Journal of Volcanology and Geothermal Research

Tjasyono, Bayong. 2007. Meteorologi Indonesia 1: Karakteristik & Sirkulasi Atmosfer. Jakarta: Badan Meteorologi dan Geofisika.

Tupper, A, 2011: Meteorological remote sensing techniques for assisting mitigating volcanic hazards. RA-V Training Workshop on Satellite Application for Meteorology and Climatology. Bogor. 26 September 2011

Turk, J., J. Vivekanandan, T. Lee, P. Durkee, and K. Nielsen, 1998: Derivation and applications of near-infrared cloud reflectances from 8 and GOES-9, Journal Applied Meteorologi, 37, 819– 831

Weather and Climate Prediction labolatory. 2005. Deteksi Debu Vulkanik dengan

Satelit MTSAT.

http://weather.meteo.itb.ac.id/artikel7. php. (diakses tanggal 2 Februari 2016).

www.esdm.go.id/batubara/doc.../490-pengenalan-gunung-api.html (diakses 5 Februari 2016)

www.bnpb.go.id/berita/2703/erupsi-gunung-rinjani-berlanjut-bandara ngurah-rai-ditutup-lagi (diakses 5 Februari 2016 )

Gambar

Gambar 3. Diagram Alir  Penelitian
Gambar  4(d)  merupakan  citra  RGB  dari  Himawari-8  dimana  debu  vulkanik  teridentifikasi berwarna “pink” dalam wilayah  yang  dibatasi  garis  merah  putus-putus
Gambar 6.  Overlay citra sebaran  debu Gunung Rinjani 03 November  2015  jam 00.00 UTC dengan model

Referensi

Dokumen terkait

Telah dilakukan penelitian pembuatan genteng polimer yang terbuat dari campuran debu vulkanik gunung sinabung, aspal dengan perekat resin polipropilen3.

Telah dilakukan isolasi material vulkanik dari Gunung Merapi erupsi tahun 2010 dan berhasil memperoleh 10 isolat Actinomycetes, tetapi belum diketahui potensi antibiotik

Berdasarkan hasil penelitian potensi antibiotik yang dihasilkan oleh isolat Actinomycetes dari material vulkanik Gunung Merapi erupsi tahun 2010 terhadap pertumbuhan bakteri

Telah dilakukan analisis radionuklida alam pada debu vulkanik dan lahar dingin Gunung Sinabung Kabupaten Karo dengan menggunakan metode Analisis Aktivasi Neutron (AAN). Sampel

Telah dilakukan analisis radionuklida alam pada debu vulkanik dan lahar dingin Gunung Sinabung Kabupaten Karo dengan menggunakan metode Analisis Aktivasi Neutron (AAN).. Sampel

a. Penghamparan paving block menggunakan abu vulkanik dari erupsi Gunung Sinabung dan digunakan untuk parkir sepeda motor, pejalan kaki, dan taman selama 90 hari mempengaruhi

menunjukkan hasil plotting arah dan kecepatan angin dari data ECMWF dan ditampalkan dengan pola sebaran awan abu vulkanik.Abu vulkanik pada tanggal 5 November 2010 pukul 18.00

Tujuan pelitian ini adalah mengetahui dan menentukan potensi antibiotik isolat rare Actinomycetes yang sudah diperoleh dari material vulkanik Gunung Merapi DIY