• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMBANGUNAN EKONOMI THAILAND DAN ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC) Sejarah Pembangunan Ekonomi Nasional Di Thailand

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PEMBANGUNAN EKONOMI THAILAND DAN ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC) Sejarah Pembangunan Ekonomi Nasional Di Thailand"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PEMBANGUNAN EKONOMI THAILAND DAN ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC) 2015

2.1. Sejarah Pembangunan Ekonomi Nasional Di Thailand

Thailand merupakan negara monarki konstitusi yang terletak di Asia Tenggara yang juga merupakan negara transit diantara berbagai negara Asia Tenggara lainnya, yaitu Laos, Kamboja, Myanmar, dan juga Malaysia. Thailand merupakan negara yang memiliki luas wilayah sebesar 514.000 kilometer persegi, yang mana 40% dari wilayahnya tersebut merupakan lahan pertanian. Adapun rata-rata pertumbuhan populasi penduduknya sebesar 1,2% dalam dua dekade terakhir. Jumlah populasi di Thailand pada tahun 2004 telah mencapai 6.242 juta orang. Sebanyak 31% dari populasi tersebut tinggal di area perkotaan dan sebagian besar bertempat tinggal di ibukota Thailand, Bangkok. Walaupun sektor pertanian terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan jaman, namun sektor pertanian masih tetap menjadi sektor utama dalam pembangunan ekonomi Thailand. Sektor ini menyediakan 50% tenaga kerja pada tahun tersebut (Thongpakde, 2010).

Thailand sendiri telah mengimplementasikan five year development

plans sejak tahun 1961. Rancangan inilah yang mengarahkan kebijakan ekonomi

Thailand secara signifikan dari yang awalnya tertutup menjadi lebih terbuka terhadap pihak asing terutama pasca Perang Dunia Kedua. Rencana arah dan formulasi ekonomi serta pembangunan sosial di Thailand dipengaruhi oleh

(2)

kolaborasi antara kinerja dari World Bank dan lembaga pemerintahan Thailand. Pada masa itu, pemerintah juga menciptakan lembaga ekonomi baru di bawah Perdana Menteri yaitu National Economic and Social Development Board (NESDB), The Bureau of the Budget (BOB), dan The Board of Investment (BOI). National Economic and Social Development Board (NESDB), The

Bureau of the Budget (BOB), Menteri Keuangan, dan Bank Thailand merupakan

lembaga pemerintahan yang mengurusi bidang manajemen ekonomi makro (NESDB, 2002).

Sejak implementasi dari five years development plans tersebut, pertumbuhan ekonomi Thailand mengalami peningkatan yang signifikan sampai munculnya krisis ekonomi di tahun 1997. Hal ini dapat dilihat melalui grafik berikut:

Grafik 1. Pertumbuhan Ekonomi Thailand Dari Tahun 1960-1990

Sumber: Office of National Economic and Social Development Board , 2002

7.2

6.3

5.4

10.3

1960-1969 1970-1979 1980-1985 1986-1990

Thailand Economic Growth

(3)

Adapun dari data di atas dapat dilihat selama tahun 1960-1969, laju pertumbuhan Gross Domestict Product (GDP) adalah sebesar 7,2%. Angka ini menurun menjadi 6,3% dalam dekade berikutnya. Pada paruh pertama tahun 1980-an, resesi global menyebabkan laju pertumbuhan Gross Domestict Product (GDP) turun mencapai angka 5,4%. Namun kembali meningkat secara signifikan pada paruh kedua tahun 1980-an, pemulihan ekonominya dimulai pada akhir tahun 1986 dan terus berlanjut sampai dengan tahun 1995. Pertumbuhan Gross Domestict Product (GDP) Thailand menyentuh angka 10,3% dari tahun 1985-1990, kemudian mencapai 8,6% dalam lima tahun kedepannya. Terbukanya pasar Thailand secara internasional memiliki kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Thailand melalui pertumbuhan laju ekspor, investasi langsung, dan investasi portofolio atau tidak langsung (Warr, 2005).

Ekonomi Thailand juga telah mendapatkan keuntungan sendiri dari ekspor, berkat melimpahnya kekayaan alam yang dimilikinya. Beras mendominasi ekspor Thailand sampai dengan tahun 1980-an. Sumber kekayaan alam lainnya adalah jagung, tapioka, dan karet. Kemudian produk industri padat karya seperti mainan, perhiasan, garmen, dan tekstil telah mendominasi ekspor Thailand di tahun 1980-an. Basis produksi industri manufaktur lainnya adalah produk buah kalengan dan gula. Ekspor Thailand dapat diklasifikasikan menjadi dua produk utama yaitu produk industri manufaktur dan produk berbasis sumber daya alam. Sumber daya melalui kekayaan alam hanya memberikan 18.39% nilai ekspor pada tahun 1993 termasuk produk pertanian, produk perikanan, dan

(4)

produk hasil tambang. Di tahun yang sama, industri manufaktur mendominasi ekspor dengan nilai total sebesar 80.42%. Pada tahun 2000, produk berbasis sumber daya alam tetap berada di tingkatan yang rendah yaitu sekitar 11.53%, sedangkan nilai hasil dari industri manufaktur terus mengalami peningkatan dan mencapai 85,54%. Peningkatan ini terus terjadi selama beberapa dekade terakhir yang juga mencapai 50% dari nilai total ekspor Thailand yang tercatat di tahun 1998, serta mencapai 57,28% di tahun 2000 (Thongpakde, 2010).

Adapun arah pembangunan ekonomi nasional yang dilakukan dari tahun 1961-2000 telah menyebabkan kesenjangan pendapatan antar daerah, ketimpangan dalam pemanfaatan sumber daya alam, dan ekonomi makro. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan yang diberikan oleh Warr (2005: 48), bahwa tingkat kemiskinan di Thailand telah mengalami penurunan yang signifikan dari tahun 1961-2000, namun ketidakmerataan pendapatan di Thailand juga mengalami peningkatan secara signifikan pada waktu itu. Kemiskinan terkonsentrasikan di daerah pedesaan dengan tingkat pendidikan rendah yang daerahnya tidak terlalu luas. Tingkat pendapatan yang rendah, pendidikan serta akumulasi kapital yang kurang, menyebabkan penduduk pedesaan tidak dapat mensejajarkan diri dengan mayoritas masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan.

Pembangunan ekonomi nasional Thailand yang terlalu difokuskan pada pertumbuhan sektor manufaktur telah membuat ketidakseimbangan dan ketidakadilan dalam kehidupan sosial di Thailand. Hal ini dapat dilihat dari penurunan nilai pangsa pasar dari sektor pertanian yang ada di Thailand pada

(5)

tahun 2001 yang mengalami penurunan sebesar 10% dari jumlah total Gross

Domestict Product (GDP), sedangkan jumlah tenaga kerja dalam sektor ini

mencapai 50% dari total angkatan kerja di Thailand. Selain itu, Bangkok dan kota-kota besar lainnya di Thailand merupakan basis produksi dari sektor manufaktur dan kegiatan terkait. Hal ini menyebabkan Bangkok dan kota-kota besar lainnya mengalami perkembangan lebih cepat dari kota-kota lainnya yang ada di Thailand. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pendapatan per kapita di Bangkok yang empat kali lebih tinggi dari jumlah pendapatan rata-rata negara yang menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan yang besar dalam pembangunan daerah di Thailand.

Sussangkarn (2000: 32), menyebutkan bahwa ketidakseimbangan ekonomi makro terjadi dalam pembangunan ekonomi nasional di Thailand yang menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari adanya kesenjangan investasi tabungan dari masyarakat Thailand yang menyebabkan defisit pada anggaran pemerintahan. Jika dikaitkan dengan daya saing internasional, produktivitas Thailand masih sangat rendah yang ditandai dengan pertumbuhan total faktor produksi yang masih belum bisa dimaksimalkan. Kurang maksimalnya faktor produksi yang ada di Thailand ini dapat dilihat dari jumlah tenaga kerja di Thailand yang sebagian besar hanya menempuh pendidikan sekolah dasar yang membuat lebih susah untuk memproduksi kualitas produk yang lebih tinggi.

Pada akhirnya jalur dan kebijakan pembangunan yang lemah di Thailand ini menyebabkan terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997. Krisis

(6)

ekonomi ini bukanlah hasil dari satu peristiwa tertentu, tetapi lebih kepada hasil dari suatu proses yang terkait dalam pembangunan yang dilakukan dengan kebijakan-kebijakan yang lemah, institusi dan manajemen yang lemah yang menyebabkan pembangunan yang dilakukan menjadi tidak seimbang. Dengan kata lain, krisis ini disebabkan oleh banyak faktor, termasuk tingkat volatilitas pasar keuangan internasional, tata kelola perusahaan yang lemah, kegagalan kebijakan domestik, serta korupsi yang terjadi dalam pemerintahan (Thongpakde, 2010). Adapun Peter Warr (2005: 57) memberikan ringkasan mengenai penyebab terjadinya krisis ekonomi di Thailand pada tahun 1997, sebagai berikut:

“It is vital to recognize that Thailand’s crisis was a collapse of a boom. It was not cause primarily by vicious speculators or by corrupt politicians, although both of these play a role, but by errors of macroeconomic policy. These policy errors occurred during the boom period and arose from the complacency, and to some extent, arrogance, produced by a decade of unprecedented economic growth. Central among these policy mistakes was the insistence on retaining a fixed exchanges rate when circumstances no longer suited it. The extended boom also produced a euphoria-some would say greed- which led business decision-makers and other to take risks they would not ordinarily have accepted”.

Penjelasan di atas menunjukkan terjadinya krisis ekonomi di Thailand pada tahun 1997 merupakan akibat dari kesalahan dalam pengambilan kebijakan ekonomi makro di Thailand pada saat terjadinya ledakan pertumbuhan ekonomi. Adapun terjadinya krisis ekonomi di Thailand ini diawali oleh pembentukan Bangkok International Banking Facillities (BIBIF) pada tahun 1993. Selain itu, krisis ini merupakan hasil yang diperoleh dari sikap pengabaian terhadap berbagai gejala krisis ekonomi yang telah terjadi sejak awal 1997.

(7)

Berbagai kelemahan kebijakan ekonomi yang memicu timbulnya banyak masalah seperti semakin berkurangnya pemasukan dari sektor ekspor,

booming sektor properti, dan semakin tingginya hutang luar negeri dari pihak

swasta dan domestik. Tidak hanya itu saja, timbul juga masalah semakin tingginya nilai riil mata uang Bath terhadap dollar Amerika Serikat, masalah defisit neraca perdagangan serta banyaknya non performing loans (NPLs) di sektor perbankan.

Adanya krisis ekonomi dan politik menyebabkan suatu perubahan mendasar di Thailand. Berbagai indikator makro ekonomi menunjukkan angka negatif setelah menikmati pertumbuhan pesat dalam hampir satu dekade. Secara ekonomi, pemerintahan yang sedang berkuasa menjadi tidak lagi memiliki legitimasi. Akibatnya, pemerintahan Thailand menjadi tidak mampu untuk mengambil kebijakan ekonomi yang efektif dan tegas dalam rangka memperbaiki kepercayaan investor yang sudah terlanjur menarik keluar investasi asing mereka. Ketidakmampuan pemerintah yang sedang berkuasa untuk mengambil berbagai langkah mengatasi krisis ekonomi juga semakin meningkatkan tuntutan berbagai lapisan masyarakat kepada pemerintah (NESDB, 2002).

Adapun pihak yang memiliki pengaruh dan peran dalam menyebabkan krisis ekonomi 1997 secara politik adalah teknokrat atau birokrasi. Para teknokrat bertanggung jawab terhadap kebijakan-kebijakan makro ekonomi di Thailand. Sebagai aparatur penting dalam pemerintahan, teknokrat dipandang sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dan dipersalahkan atas terjadinya

(8)

krisis ekonomi, khususnya mereka yang berada di Bank of Thailand (BoT). Krisis ekonomi 1997 menunjukkan lemahnya kemampuan Bank of Thailand (BoT) dalam mengantisipasi apresiasi nilai tukar riil mata uang Bath terhadap dollar Amerika Serikat (Warr, 2005).

Krisis tahun 1997 juga telah mengakibatkan terjadinya pertumbuhan negatif dalam perekonomian Thailand sebesar 1,4%. Resesi ini berlanjut di tahun 1998 dengan pertumbuhan negatif sebesar 10,5%. Hal ini juga tidak terlalu banyak mengalami perubahan pada masa pemulihan perekonomian di tahun 1999, yang mana target pertumbuhan positif dari perekonomian Thailand bahkan belum mencapai angka 5% sampai dengan tahun 2001. Krisis ini menggambarkan bahwa adanya ketidakmampuan para pengambil kebijakan ekonomi Thailand dalam menjaga keberlanjutan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam perekonomian Thailand (Jansen, 2001).

Dampak sosial dari krisis ini sendiri mencakup berbagai masalah. Salah satu masalah utama yang muncul dari adanya krisis ini adalah tingkat pengangguran yang tinggi di berbagai daerah di Thailand. Pengangguran sendiri mencerminkan adanya penderitaan sosial masyarakat yang berkaitan dengan berkurangnya pendapatan, ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar serta menurunnya kualitas hidup seseorang. Berdasarkan data dari Department of Labor Protection and Welfare di Thailand (1999), menunjukkan bahwa sekitar 4.900 perusahaan di Thailand yang bangkrut akibat terjadinya krisis pada tahun 1997, yang menyebabkan mereka merumahkan sekitar 408.967 pekerjanya. Sementara antara Januari-Agustus tahun 1998 sekitar 2.600

(9)

perusahaan yang ditutup dan sekitar 222.950 pekerja yang diberhentikan. Masalah sosial lainnya yang muncul pada saat terjadinya krisis adalah semakin berkurangnya anggaran pemerintah Thailand yang disebabkan adanya penurunan pendapatan pemerintah. Hal ini menyebabkan pemerintah Thailand mengurangi anggaran dari beberapa program sosial yang telah dijalankan sebelumnya. Program sosial pemerintah dalam bidang transportasi dan komunikasi merupakan program-program yang mengalami pengurangan paling banyak pada saat terjadinya krisis tahun 1997 (Siamwalla A. & Sopchokchai O, 1998).

Berkurangnya anggaran pemerintah ini menimbulkan kekhawatiran pada masalah pengembangan sumber daya manusia di Thailand. Hal ini juga diperjelas dengan data yang menunjukkan semakin meningkatnya jumlah siswa yang mengeluarkan diri dari sekolah dan universitas di Thailand sejak terjadinya krisis pada tahun 1997. Peningkatan ini juga dapat dilihat sebagai salah satu dampak yang diberikan oleh adanya pengurangan pendapatan orang tua siswa yang menyebabkan anak-anak mereka berhenti dari sekolah dan universitas untuk mencari pekerjaan agar bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Sebuah

survey yang dilakukan Ministry of Education menunjukkan bahwa terdapat lebih

dari 45.000 siswa telah terpengaruh akibat banyaknya orang tua mereka yang kehilangan pekerjaan (UNDP, 1998).

Selain itu, pemerintah juga memotong pengeluaran biaya mereka dalam bentuk beasiswa pemerintah, yang membuat semakin melemahnya pengembangan sumber daya manusia di sektor ini. Krisis ini juga tidak hanya

(10)

mempengaruhi siswa. Sekolah swasta dan negeri juga terkena dampak dari adanya pengurangan anggaran dan semakin meningkatnya biaya pendidikan. Sekolah-sekolah swasta di Thailand tercatat belum melunasi gaji para pengajarnya yang mencapai angka 932 juta pada semester kedua tahun 1997. Sedangkan sekolah-sekolah negeri di Thailand mengalami pengurangan anggaran untuk alat tulis, gaji pengajar, dan makanan. Adanya pertumbuhan negatif yang menyebabkan terjadinya pengurangan pendapatan dan anggaran dalam bidang jasa kemasyarakatan inilah yang pada akhirnya melemahkan pengembangan sumber daya manusia di Thailand (Warr, 2005).

Sejarah pembangunan ekonomi nasional Thailand yang telah dijelaskan di atas dapat dilihat bahwa meskipun arah pembangunan ekonomi nasional Thailand telah menciptakan pertumbuhan ekonomi dan juga telah berhasil dalam berbagai aspek, namun hal ini menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan yang juga menghasilkan pembangunan yang tidak berkelanjutan dan krisis ekonomi. Krisis ekonomi yang terjadi di Thailand ini juga pada akhirnya memaksa Thailand untuk mulai mengevaluasi kembali nilai-nilai individu dan nasional, serta kebijakan dan praktek pembangunan ekonomi nasional yang telah dijalankan sebelumnya untuk bisa keluar dari keadaan krisis dan beralih ke pembangunan sosial, ekonomi, dan manusia yang berkelanjutan. Hal ini perlu untuk dilakukan karena arah pembangunan ekonomi nasional Thailand yang lama tidak sepenuhnya dapat diandalkan, sehingga diperlukan suatu paradigma baru dalam pembangunan ekonomi nasional Thailand kedepannya (Thongpakde, 2010).

(11)

2.2. ASEAN Economic Community (AEC) Tahun 2015

Thailand sebagai salah satu negara yang memiliki peran penting di kawasan Asia Tenggara tentunya harus menyesuaikan arah pembangunan ekonomi nasionalnya agar bisa memberikan dampak bagi kesejahteraan masyarakat Thailand. Thailand merupakan salah satu pendiri organisasi regional ASEAN bersama dengan Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Filipina. Peran vital Thailand di kawasan Asia Tenggara juga dapat dilihat dari lokasinya yang berada di tengah dan juga merupakan penghubung antara negara-negara kawasan Asia Tenggara dengan Cina dan India sebagai salah satu negara tujuan ekspor barang dan jasa negara-negara ASEAN.

Krisis ekonomi 1997 yang berawal dari Thailand juga memberikan pengaruh bagi stabilitas nilai tukar mata uang negara ASEAN lainnya. Krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia Tenggara pada tahun 1997 ini juga membangkitkan kesadaran ASEAN akan pentingnya peningkatan dan penguatan kerjasama antar negara anggota. Di samping itu, munculnya isu-isu global seperti masalah terorisme, lingkungan hidup, senjata nuklir, dan lain-lain, serta munculnya Cina dan India sebagai kekuatan ekonomi baru di Asia, telah menyadarkan ASEAN untuk lebih terintegrasi dan lebih kohesif. Oleh karena itu, kerjasama ASEAN kini memasuki tahapan yang lebih integratif, yaitu dengan dibentuknya ASEAN Community yang akan dimulai 2015.

Cita-cita untuk membentuk suatu ASEAN Community ini pertama kali dicetuskan oleh para pemimpin ASEAN dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Informal ASEAN kedua di Kuala Lumpur tahun 1997, dengan

(12)

disepakatinya Visi ASEAN 2020 (ASEAN Vision 2020). Disepakatinya Visi ASEAN 2020 pada bulan Desember 1997 di Kuala Lumpur ini juga menandai sebuah babak baru dalam sejarah integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Pemimpin negara-negara ASEAN dalam deklarasi tersebut sepakat untuk mentransformasikan kawasan Asia Tenggara menjadi sebuah kawasan yang stabil, sejahtera dan kompetitif, didukung oleh pembangunan ekonomi yang seimbang, pengurangan angka kemiskinan dan kesenjangan sosio-ekonomi di antara negara-negara anggotanya (ASEAN Secretariat, 2014).

Selanjutnya pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang kesembilan di Bali tahun 2003 menyepakati pembentukan ASEAN Community yang salah satu pilarnya adalah ASEAN Economic Community (AEC). ASEAN

Economic Community (AEC) bertujuan untuk menciptakan pasar tunggal dan

basis produksi yang ditandai dengan bebasnya aliran barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil, serta perpindahan barang dan modal secara lebih bebas. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ini juga menetapkan sektor-sektor prioritas yang akan diintegrasikan dalam ASEAN Economic Community (AEC), yaitu produk-produk pertanian, otomotif, elektronik, perikanan, produk-produk turunan dari karet, tekstil dan pakaian, produk-produk turunan dari kayu, transportasi udara, e-ASEAN (internet technology centre), kesehatan, dan pariwisata. Pada tahun 2006 jasa logistik dijadikan sektor prioritas yang ke-12 (Luhulima et al, 2008).

Pada Koferensi Tingkat Tinggi (KTT) kesepuluh ASEAN di Vientiene tahun 2004 menyepakati Vientiane Action Program (VAP) yang

(13)

merupakan panduan untuk mendukung implementasi pencapaian ASEAN

Economic Community (AEC) di tahun 2015 serta ASEAN Economic Ministers Meeting (AEM) di Kuala Lumpur pada bulan Agustus 2006 yang menyetujui

untuk membuat suatu cetak biru (blueprint) untuk menindaklanjuti pembentukan

ASEAN Economic Community (AEC) dengan mengindentifikasi sifat-sifat dan

elemen-elemen ASEAN Economic Community (AEC) pada tahun 2015 yang konsisten dengan Bali Concord II dan dengan target-target dan timelines yang jelas serta pre-agreed flexibility untuk mengakomodir kepentingan negara-negara anggota ASEAN. Blueprint ASEAN Economic Community (AEC) ini sendiri mulai dikeluarkan pada KTT ASEAN yang ke-13 di Singapura tanggal 20 November 2007 (Soesastro, 2008: 33).

Blueprint ASEAN Economic Community (AEC) adalah titik awal bagi

ASEAN. ASEAN telah bergerak dari proses integrasi menuju pelaksanaan integrasi dengan batas waktu dan tujuan akhir yang didefinisikan secara jelas.

Blueprint ASEAN Economic Community (AEC) juga merupakan dokumen yang

mengikat komitmen seluruh anggota. Terdapat empat karakteristik utama dalam

Blueprint ASEAN Economic Community (AEC), yaitu pasar tunggal dan basis

produksi, kawasan ekonomi yang sangat kompetitif, kawasan pengembangan ekonomi yang seimbang, dan kawasan yang terintegrasi ke dalam ekonomi global. Ciri keempat menunjukkan sifat terbuka ASEAN yang ingin mengejar integrasi ekonomi regional (regionalisme terbuka). Blueprint ASEAN Economic

Community (AEC) ini merupakan sebuah paket kebijakan yang dirancang untuk

(14)

integrasi ekonomi yang lebih mendalam dan mempersempit kesenjangan pembangunan di kawasan Asia Tenggara. Blueprint ini juga mengidentifikasi 17 unsur inti dari ASEAN Economic Community (AEC) dan menggambarkan 176 tindakan prioritas yang harus dilakukan dalam jadwal strategis pelaksanaan empat periode (2008-2009, 2010-2011, 2012-2013, dan 2014-2015) (Maulana, 2005).

2.3. Peluang dan Tantangan Thailand Dalam Penerapan ASEAN Economic Community (AEC)

Sebagai salah satu negara pendiri ASEAN, komitmen Thailand untuk

ASEAN Economic Community (AEC) ditunjukkan dengan penerapan National Single Window (NSW) bersama dengan lima negara anggota ASEAN lainnya

(Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Singapura). Thailand juga telah meratifikasi Persetujuan Kerangka Kerja ASEAN di Mutual

Recognition Arrangement (MRA) pada Mei 2002, yang mulai berlaku pada

bulan Desember 2002. Sampai saat ini, tujuh Mutual Recognition Arrangement (MRA) yang telah ditandatangani, terdiri dari tenaga medis dan praktisi gigi, jasa mekanik, pelayanan keperawatan, pelayanan arsitektur, survei kualifikasi, dan jasa akuntansi (Thailand Ministry of Foreign Affairs, 2014). Para professional dalam bidang-bidang yang disebutkan di atas dapat bekerja di semua negara ASEAN asalkan memenuhi sertifikasi karir dan persyaratan ijin kerja di setiap negara tujuan (ASEAN Secretariat, 2014).

(15)

Realisasi ASEAN Economic Community (AEC) diharapkan mampu memberikan perubahan bagi kesejahteraan masyarakat Thailand, terutama bagi kalangan pekerja yang belum memiliki keterampilan khusus (unskilled labour). Melalui tabel 1 juga dapat dilihat bahwa Thailand memiliki kemampuan dalam memaksimalkan integrasi ekonomi ASEAN yang akan terjadi di tahun 2015, sehingga besar kemungkinan Thailand untuk mempertahankan ataupun meningkatkan daya saing negaranya di antara negara-negara ASEAN lainnya.

Tabel 1. Peringkat Daya Saing Negara-Negara ASEAN Periode Tahun 2007-2008 Negara Secara Menyelu- ruh Lingkungan Ekonomi Lingkungan Politik Lingkungan Usaha Lingkungan Sosial Singapura 1 1 1 1 1 Malaysia 2 2 3 2 2 Brunei - - - - - Thailand 3 3 2 3 3 Filipina 4 4 4 4 4 Vietnam 5 6 6 5 5 Indonesia 6 5 5 6 8 Kamboja 7 7 8 8 6 Myanmar 8 8 7 7 9 Laos 9 9 9 9 6

(16)

Proses liberalisasi di bawah ASEAN Economic Community (AEC) ini juga memberikan Thailand peluang besar untuk perluasan pasar dan produksi. Hal ini dapat dilihat dari adanya peningkatan pangsa pasar Thailand yang mengalami peningkatan menjadi 35,8% dalam jangka waktu satu tahun setelah pembukaan perjanjian Free Trade Area (FTA) di antara negara-negara ASEAN pada awal tahun 2007. Adapun tingkat pertumbuhan ekspor Thailand dalam periode tahun 2007-2008, mencapai angka 60% dan merupakan yang tertinggi di antara negara-negara ASEAN lainnya pada tahun yang sama seperti yang dapat dilihat melalui grafik 2 (UTCC, 2011).

Grafik 2. Tingkat Pertumbuhan Ekspor Negara-Negara ASEAN Periode Tahun 2007-2008

Sumber: UTCC (University of the Thai Chamber of Commerce), 2011

0 1 2 3 4 5 6 7

(17)

Penerapan ASEAN Economic Community (AEC) juga memberikan tantangan tersendiri dalam pembangunan ekonomi nasional Thailand. Salah satu tantangan yang akan dihadapi Thailand adalah dalam sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang merupakan salah satu sektor yang akan mendapatkan persaingan yang sangat ketat. Data yang dikeluarkan oleh Economic Research

Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) di tahun 2008, menyatakan bahwa

peringkat daya saing Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang ada di Thailand masih berada di bawah negara-negara ASEAN lainnya, walaupun masih tetap berada di atas Laos, Myanmar dan Kamboja seperti yang dapat dilihat dalam grafik berikut:

Grafik 3. Peringkat Daya Saing UKM Negara-Negara ASEAN

Sumber: ERIA SME Research Working Group, 2008

0 1 2 3 4 5 6

(18)

Sektor pendidikan di Thailand juga merupakan sektor yang perlu dibenahi dalam rangka menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) 2015. Hal ini dikarenakan masih banyaknya tenaga kerja dan juga para pelajar di Thailand yang belum menguasai bahasa Inggris yang nantinya akan digunakan sebagai bahasa resmi ASEAN dalam penerapan ASEAN Economic Community (AEC) 2015. Data yang ada dalam Educational Testing Service di tahun 2007 juga menyatakan bahwa kemampuan menggunakan bahasa Inggris masyarakat Thailand masih lebih rendah dibandingkan dengan sebagian besar negara ASEAN lainnya seperti yang dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

Tabel 2. TOEFL iBT Total and Section Score Means - Non native English-Speaking Examinees

Native Country

Reading Listening Speaking Writing Total

Singapore 25 26 24 26 100 Malaysia 21 23 20 23 87 Philiphines 21 22 22 22 88 Indonesia 19 20 19 21 78 Vietnam 17 16 17 19 70 Thailand 17 18 17 19 72 Brunei - - - - - Cambodia 13 15 17 18 63 Laos 13 15 18 18 65 Myanmar 18 18 19 20 75

(19)

Realisasi ASEAN Economic Community (AEC) di tahun 2015 juga mengharuskan negara-negara ASEAN untuk meningkatkan dan juga memperbaiki infrastruktur dan logistik di masing-masing negara anggota ASEAN. Thailand sebagai negara ASEAN yang merupakan pusat perpindahan barang negara-negara ASEAN tentunya diharapkan untuk lebih memusatkan pembangunan ekonomi nasionalnya dalam sektor infrastruktur. Adapun berdasarkan data yang ada dalam Global Competitiveness Report yang dikeluarkan oleh World Economic Forum di tahun 2008 seperti yang ada dalam grafik 4, dapat dilihat bahwa kualitas infrastruktur Thailand masih berada di bawah Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Grafik 4. Kualitas Keseluruhan Infrastruktur Negara-Negara ASEAN

Sumber: The Global Competitiveness Report 2007-2008

0 1 2 3 4 5 6 7 8

(20)

Adanya peluang dan tantangan yang dimiliki oleh Thailand, menjadikan Thailand dalam rangka meningkatkan daya saing nasional dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di ASEAN Economic

Community (AEC) perlu untuk memperkuat produktivitas seluruh ekonominya.

Pekerja Thailand juga harus mampu melakukan berbagai pekerjaan yang lebih besar dan mengambil lebih banyak tanggung jawab. Realisasi ASEAN Economic

Community (AEC) yang semakin dekat tentunya membuat Thailand harus

mempersiapkan ekonominya untuk dapat bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya serta memperoleh keuntungan yang maksimal dari terselenggaranya ASEAN Economic Community (AEC) di tahun 2015.

Gambar

Grafik 1. Pertumbuhan Ekonomi Thailand Dari Tahun 1960-1990
Tabel 1. Peringkat Daya Saing Negara-Negara ASEAN   Periode Tahun 2007-2008  Negara  Secara  Menyelu-  ruh  Lingkungan Ekonomi  Lingkungan Politik  Lingkungan Usaha  Lingkungan Sosial  Singapura  1  1  1  1  1  Malaysia  2  2  3  2  2  Brunei  -  -  -  -
Grafik 2. Tingkat Pertumbuhan Ekspor Negara-Negara ASEAN  Periode Tahun 2007-2008
Grafik 3. Peringkat Daya Saing UKM Negara-Negara ASEAN
+3

Referensi

Dokumen terkait

Setelah layout desain pembelajaran selesai di tentukan selanjutnya adalah meembuat software media pembelajan jaringan komputer berdasarkan data yang didapat

Setiap tahun spesies penyebab kandidemia didominasi oleh Candida tropicalis, Candida albicans, dan Candida parapsilosis dengan kecenderungan peningkatan kasus Candida

b. harga penawaran terkoreksi yang melebihi nilai total.. HPS, dinyatakan gugur. Apabila tidak ada penyedia yang lulus dalam evaluasi harga, Pejabat Pengadaan

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Perbedaan Return Saham , Trading

Dari hasil identifikasi risiko berdasarkan karakteristik sistem yang dibuat, teridentifikasi ada 11 risiko dan karena ada beberapa risiko menjadi agen risiko yang lain, maka

Oleh karena hasil penelitian menunjukkan efek dari faktor waktu adalah tidak bermakna, maka untuk menghasilkan ekspresi MMP-9 yang paling rendah dapat dilakukan

Sentralisasi kekuasaan yang terjadi selama ini terbukti tidak memuaskan masyarakat, bahkan berdampak terhadap timbulnya berbagai pelanggaran hak asasi manusia, untuk itu

Jika ditambah dengan pengolahan kayu (4 hari) dan penyaradan kayu ke luar kawasan (6 hari) maka hanya dalam waktu 14 hari, 10 orang pekerja kayu dapat menghabiskan 1 hektar