• Tidak ada hasil yang ditemukan

TASAWUF IRFANI BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN RA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TASAWUF IRFANI BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN RA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

TASAWUF IRFANI

(BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN RABI’AH ADAWIYAH)

Dr, H, Dahlan Thamrin M,Ag

Didin Chonytha

Abstract

Full name Rabi'a al-Adawiyah was Umm Al-Khair Binti Ismail Al-Rabi'a Adawiyah Al-Qissiyah. He was born in Basrah in 96 H / 713 M died in 185 H (796 M). the creation of Rabi'a al-Adawiyah is Mahabbah or al-hubb related challenge of love. Some of the creation created by Rabi'a al-Adawiyah either rows or speech-related poems about his love for God is very indicated and proved that love is only for Allah.

Keywords: Rabi’ah Adawiyah, Mahabbah, Sufism

A. Pendahuluan

Islam kaffah adalah Islam yang di dalamnya terpadu aspek akidah,

syariah dan hakikat. Dari akidah akan lahir ilmu tauhid, dari syariah lahir

ilmu fikih dan dari hakikat lahir ilmu tasawuf. Tasawuf tidak bisa diamalkan

sendirian tanpa syariah seperti halnya syariah tidak bisa diamalkan tanpa

landasan akidah. Menurut Imam Malik, sebagaimana dikutip oleh al-Ghazali “Mengamalkan tasawuf tanpa fikih adalah kezindikan, juga sebaliknya berfikih tanpa tasawuf adalah kehampaan spritual yang didapatkan,

memadukan antara keduanya adalah pencapaian hakikat kebenaran”.

(2)

lewat belajar dan Ilmu akan tetapi dengan dzauq (sense)1, hȃl dan kebersihan

hati.2

Dalam tasawuf ada tahapan-tahapan supaya bisa dekat dengan Allah

(taqarrub ilallah), dikenal dengan istilah maqamat (stasiun-stasiun) dan

ahwal yang mesti ditempuh dan diraih seorang sufi. Maqamat merupakan

usaha seorang sufi untuk berada dalam tingkatan tertentu, sedangkan ahwal

adalah suatu pemberian (karunia) Allah yang diberikan kepada seseorang

sebagai hasil usahanya dalam maqamat tadi. Konsep seorang sufi dengan

sufi yang lain tidak selalu sama tentang sistematika maqamat.

Maqam-maqam tersebut antara lain: taubah, wara’, zuhud, faqr, sabar, syukur,

tawakkal, ridha dan makrifat. Demikian juga ahwal bertingkat-tingkat, pada

umumnya sepuluh tingkatan yaitu: Muraqabah Qurb, Mahabbah,

Khauf, ar-Raja, as-Syauq, Uns, Tumakninah, Musyahadah dan

al-Yaqin.

Pembagian tasawuf dikategorikan sesuai dengan tokoh-tokohnya

serta menurut pemikiran dan konsep ajarannya. Pertama, tasawuf akhlaki

(tasawuf sunni) adalah tasawuf yang berusaha mewujudkan akhlak mulia

dalam diri seorang sufi, sekaligus menghindarkan diri dari akhlak tercela.

Tokoh-tokohnya antara lain: Hasan al-Basri, al-Muhasibi, al-Qusyairi, Abdul

Qadir al-Jailani, al-Ghazali dan lain-lain. Kedua, tasawuf falsafi adalah

tasawuf yang didasarkan kepada keterpaduan teori-teori tasawuf dan filsafat.

Tokoh-tokohnya antara lain: al-Hallaj, Ibn ’Arabi, al-Jili, Ibn Sab’in, as

-Sukhrawardi dan lain-lain. Ketiga, tasawuf ’irfani adalah tasawuf yang

1 Dzauq adalah kesengsem yang amat sangat akibat dan untuk bertemu yang

(3)

berusaha menyingkap hakikat kebenaran atau makrifat yang diperoleh

dengan tidak melalui logika atau pembelajaran, tetapi melalui pemberian

tuhan (mauhibah). Tokoh-tokohnya antara lain: Rabiah al-Adawiyah,

Dzunnun al-Misri, Junaid al-Baghdadi, Abu Yazid al-Bustami, Jalaluddin

Rumi dan lain lain.3

Dalam pembahasan makalah ini, Penulis mengambil judul Tasawuf ‘Irfani; (Biografi dan Pemikiran Rabi’ah Adawiyah). Penulis mencoba mengurai latar-belakang pemikiran salah satu tokoh sufi ‘irfani yakni Rabi’ah Adawiyah, dimulai dari latar belakang historis serta pemikiran pemikiran yang dihasilkan oleh Rabi’ah Adawiyah.

B. Biografi Rabi’ah Adawiyah 1. Latar Belakang Keluarga

Rabiah Al-Adawiyah (

ل ةةة واعلةةا ةعواعلةةةعبار

) dikenal juga dengan nama

Rabi'ah Basri adalah seorang sufi wanita yang dikenal karena kesucian

dan kecintaannya terhadap Allah. Rabi'ah merupakan klien (Mawlat) dari

klan Al-Atik suku Qays bin 'Adi, dimana ia terkenal dengan sebutan

al-Qaysyah. Ia dikenal sebagai seorang sufi wanita yang zuhud, yaitu tidak

tertarik kepada kehidupan duniawi, sehingga ia mengabdikan hidupnya

hanya untuk beribadah kepada Allah. Rabiah diperkirakan lahir antara

tahun 713-717 Masehi, atau 95-99 Hijriah, di kota Basrah Irak dan

meninggal sekitar tahun 801 M /185 H.4 Nama lengkapnya adalah

Ummu al-Khair Rabî’ah binti Ismâ’îl al-Adawiyyah al-Qishiyyah.5

Rabiah merupakan sufi wanita beraliran Sunni pada masa dinasti

3 Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat (Dimensi Esoteris Ajaran Islam), (Tt, PT

Remaja Rosdakarya, Tth,) resensi buku lihat Qor’ah Seregar, dijurnal Jurnal Sosioteknologi

Edisi 27 Tahun 11, Desember 2012, hal, 245-6

4 Rosihon Anwar dan mukhtar solihin, Ilmu tasawuf, (Bandung; Pustaka Setia,

2007), hal, 119

5 Margaret Smith, Rabi’ah Al-Adawiya Al-kassiya, dalam The ensiklopedia of Islam

(4)

Umayyah. Rabi’ah Adawiyah menjadi pemimpin dari murid-murid

perempuan dan zahidah, yang mengabdikan dirinya untuk Tuhan. Rabi'ah

Al-Adawiyah dijuluki sebagai The Mother of the Grand Master atau Ibu

Para Sufi Besar karena kezuhudannya. Ia juga menjadi panutan para ahli

sufi lain seperti Ibnu al-Faridh dan Dhun Nun Al-misri.

Dia dilahirkan dalam keluarga yang saleh dari kalangan orang

miskin, dalam suasana kacau akibat terjadinya kelaparan di Bashrah.

Menurut riwayat, prosesi kelahiran anak keempatnya6 di malam hari

berlangsung dalam suasana yang sangat gelap lantaran ketidakmampuan

sang Ayah membeli minyak untuk menyalakan lampu, sementara dia merasa “malu” untuk mengadu kepada sesama manusia. Untungnya, disebutkan bahwa orangtua Rabi’ah mendapatkan hadiah secara mendadak dari Gubernur Bashrah sehingga dapat memenuhi hajat hidup

mereka kala itu.

Rabi’ah berkembang dan tumbuh dalam lingkungan keluarga saleh dan penuh zuhud, sejak kecil beliau sudah tampak kecerdasannya,

sesuatu yang tak biasa tampak pada anak kecil seusianya. Oleh karena itu

beliau amat sangat menyadari panderitaan dan keadaan yang dihadapi

orang tuanya, kendatipun demikian tidak mengurangi ketaqwaan dan

pengabdian beliau dan keluarga kepada Allah SWT. semasa kecil beliau

cendrung pendiam dan tidak banyak menuntut kepada orang tuanya

seperti gadis yang lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari beliau selalu

memperhatikan bagaimana Ayahnya beribadah kepada Allah, seperti

berzikir, membaca Al-qur’an dan ibadah yang lainnya yang beliau

teladani dari Ayahnya.

Dalam memilih makanan yang halal, suatu ketika Rabi’ah kecil

berdiri di samping Ayahnya yang hendak makan di meja makan, kemudian Rabi’ah terdiam seolah meminta penjelasan dari Ayahnya

6 Syed ahmad Semait, 100 tokoh wanita terbilang, (Singapore; Pustaka Nasional

(5)

tentang makanan yang telah disajikan, kemudian Rabi’ah berkata: ”Ayah, aku tidak ingin Ayah menyediakan makanan yang tidak halal”, dengan wajah penuh heran Ayahnya menatap wajah Rabi’ah kecil itu sambil

bertanya balik: ”bagaimana pendapatmu jika tidak ada yang diperoleh selain yang tidak halal?”, beliau menjawab: ”biar saja kita menahan lapar di dunia, lebih baik kita menahan pedihnya api neraka”, ini membuktikan

bahwa sejak kecil beliau sudah menunjukkan kematangn pemikiran dan

memiliki akhlak yang baik.

Beliau ditinggal pergi oleh kedua orang tuanya ke rahmatullah di

usianya yang masih kecil bersama ketiga orang saudara perempaunnya

tanpa diwarisi sepeser uang pun, hanya perahu yang sehari-hari

digunakan Ayahnya untuk menyebrangi orang ke tepi sungai Dajlah.

Semenjak itulah beliau selalu merasakan kesedihan yang amat sangat

mendalam yang hanya bisa terobati ketika beliau beribadah dan

bernmunajat kepada Allah SWT,

2. Pendidikan Non-Formal

Rabi’ah Adawiyah menyelesaikan hafalan al-Qur’an pada umur 10 tahun. Kecepatan dalam menghafal al-Qur’an dapat dimaklumi karena ia suka menghafal sejak kecil. Rabi’ah tumbuh dikalangan keluarga saleh dan zuhud. Ayahnya menghendaki rabia’ah untuk menjadi anak yang

shalehah dan zuhud terhindar dari sifat tercela yang dapat menjadi

penghalang bagi pertumbuhan jiwanya. Maka ia dibawa ke mushola dipinggiran kota Basrah. Ditempat inilah rabi’ah sering bermunajat dan berdialog dengan tuhan-Nya.7

Ia adalah orang pertama yang mengenalkan konsep Mahabbah

dalam Tasawuf. Seorang penyair Attar menulis “posisi Rabi’ah sangat

unik, sebab dalam kaitanya dengan tuhan dan pengalamanya tentang ilmu

ketuhanan tiada bandinganya, ia sangat dimuliakan oleh pelaku sufi besar

pada masanya, dan otoritas kesufianya juga tidak diragukan lagi

7

(6)

dikalangan sahabat-sahabatnya”. Rabi’ah juga tidak belajar dibawah bimbingan syekh atau pembimbing spiritual manapaun, namun rabi’ah mencari langsung dengan pengalaman langsung pada tuhanya.8 Ia tidak

pula meninggalkan ajaran secara tertulis langsung dari tanganya sendiri,

melalui ajaranya dikenal melalui para muridnya dan baru ditulis setelah

beberapa tahun kewafatanya.

Rabi’ah juga tidak pernah mengecap pendidikan manisnya

disekolah ataupun pergi kerumah guru untuk belajar menjadi seorang

Sufi, akan tetapi, kemasyhuranya telah sampai menjangkau Eropa. Para

sarjana Barat seprti Margaret Smith, Masignon, dan Nicholson sangat

kagum akan sejarah hidup wanita shaleh ini. Buah renungan Rabi’ah

yang kaya akan ilmu mendalam sehingga para sarjana sangat minat untuk

meniliti buah pikiranya.

3. Karya-karya Rabi’ah al-Adawiyah

Karya-karya Rabi’ah al-Adawiyah merupakan aliran Muhabbah

atau al-hubb yang berhubungan tantang cinta. Beberapa karya yang diciptakan oleh Rabi’ah al-Adawiyah baik berupa larik syair ataupun ucapannya yang berhubungan tentang rasa cintanya kepada Allah

memang sangat menunjukan dan membuktikan bahwa cintanya hanya

untuk Allah. Selain itu ia juga betul-betul hidup dalam zuhud, diantara

ucapannya yang terkenal tentang zuhud adalah, sebagaiman diriwayatkan

oleh al-Hujwiri dalam kitabnya Kasyf al-Mahjub:

suatu ketika aku membaca cerita bahwa seorang hartawan berkata

kepada Rabi’ah: “mintalah kepadaku segala kebutuhanmu!” Rabi’ah menjawab: “aku ini begitu malu meminta hal-hal duniawi kepada Pemiliknya. Maka bagaimana bisa aku meminta hal itu kepada orang

yang bukan pemiliknya.”9

8Margaret Smith, Mistisme Islam dan Kristen Sejarah Awal dan Pertumbuhanya,

Penerjemah Amroeni Drajat (Jakarta; Gaya Media Pratama, 2007), h, 277

9 Asmaran, Pengantar Tasawuf edisi Revisi”, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,

(7)

Selain ucapannya diatas, dia juga pernah berucap tentang cintanya

kepada Allah, baginya Allah merupakan zat yang dicintai, bukan sesuatu

yang harus dicintai, adapun ucapannya adalah sebagai berikut:

“Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena aku takut masuk neraka, bukan pula karena ingin masuk surga tetapi aku mengabdi karena cintaku kepada-Nya. Tuhanku, jika ku puja Engkau, karena takut neraka, bakarlah aku didalamnya; dan jika kupuja Engkau karena mengharap surga, jauhkanlah aku dari padanya; tetapi jika Engkau

kupuja semata-mata karena Engkau, maka janganlah sembunyikan

kecantikan-Mu yang kekal itu dariku”10

Diantara ucapan-ucapannya yang menggambarkan tentang konsep

zuhud yang dimotivasi rasa cinta adalah:

Wahai Tuhan! Apa pun bagiku dunia yang Engkau karuniakan

kepadaku, berikanlah semua kepada musuh-musuhMu. Dan apapun

yang akan Engkau berikan kepada ku kelak di akhirat, berikanlah

semua kepada teman-temanMu. Bagiku, Engkau pribadi sudah cukup”

Tampak jelas bahwa rasa cinta Rabi’ah al-Adawiyah kepada Allah

begitu penuh meliputi dirinya, sehingga sering membuat tidak sadarkan

diri karena hadir bersama Allah, seperti terungkap dalam larik syairnya:

Kujadikan Kau teman berbincang dalam kalbu, Tubuhku pun biar

berbincang dengan temanku Dengan temanku tubuhku berbincang

selalu Dalam kalbu terpancang selalu Kekasih cintaku

Dalam lariknya yang lain, lebih tampak lagi cintanya Rabi’ah al -Adawiyah terhadap Allah. Dalam mengungkapkan rasa cintanya ini, dia

bersenandung:

“Aku cinta Kau dengan dua model cinta Cinta rindu dan cinta karena

Kau layak dicinta Adapun inta rindu, karena hanya Kau kukenang selau, Bukan selainMu Adapun karena Kau layak dicinta, karena kau

10

(8)

singkapkan tirai sampai Kau nyata bagiku Bagiku, tidak ada puji untuk

ini dan itu. Tapi sekalian puji hanya bagiMu selalu.”

Selanjautnya, dalam lirik syairnya yang lain, dia mengungkapkan

isi hatinya sebagai berukut:

Buah hatiku, cintaku hanya padaMu, Beri ampunlah para pembuat

dosa yang datang ke hadiratMu Engkaulah harapanku, kebahadiaan

dan kesenanganku Hatiku telah enggan mencintai selain dari diriMu11

Serta fatwa beliau yang berbunyi:

Engkau durhaka kepada Tuhan didalam batin Tetapi dilidah engkau

menyebut taat kepanya Demi umurku. Ini buatan yang ganjil amat Jika

cinta sejati, tentu kau turut apa perintah Karena pecinta, ke yang

dicintai taat dan patuh”

Itu lah kiranya beberapa karya beliau yang seakan menjelaskan

kecintaannya kepada Allah SWT.

C. Pengertian Konsep Mahabbah Menurut Rabi’ah Adawiyah

Secaara etimologi, mahabbah adalah bentuk masdar dari kata: ببح

Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara

harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang

mendalam.12 Dalam mu’jam al-falsafi, jamil shabila mengatakan Mahabbah

adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci.13 Al-Mahabbah

dapat pula berarti al-wudud, yakni yang sangat kecil atau penyayang yang

mempunyai arti: a) membiasakan dan tetap, b) menyukai sesuatu karena

punya rasa cinta. Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa

mahabbah (cinta) merupakan keinginan yang sangat kuat terhadap sesuatu

melebihi kepada yang lain atau ada perhatian khusus, sehingga menimbulkan

11 http://hadibesc.blogspot.com/2013/06/rabiah-al-adawiyah-a.html diakses tanggal

20-04-2015

12 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, ( jakarta: Hidakarya, 1990), hal. 96.

13

(9)

usaha untuk memiliki dan bersatu dengannya, sekalipun dengan

pengorbanan.

Sedangkan secara terminologi, terdapat perbedaan defenisi di

kalangan ulama. Pendapat kaum Teologi yang dikemukakan oleh Webster

bahwa mahabbah berarti; a) keredaan Tuhan yang diberikan kepada manusia,

b) keinginan manusia menyatu dengan Tuhan, dan c) perasaan berbakti dan

bersahabat seseorang kepada yang lainnya. Pengertian tersebut bersifat

umum, sebagaimana yang dipahami masyarakat bahwa ada mahabbah

Tuhan kepada manusia dan sebaliknya, ada mahabbah manusia kepada

Tuhan dan sesamanya.

Imam al-Ghazāli mengatakan bahwa mahabbah adalah

kecenderungan hati kepada sesuatu. Kecenderungan yang dimaksud oleh

al-Ghazali adalah kecenderungan kepada Tuhan karena bagi kaum sufi

mahabbah yang sebenarnya bagi mereka hanya mahabbah kepada Tuhan. Hal ini dapat dilihat dari ucapannya, “Barangsiapa yang mencintai sesuatu tanpa ada kaitannya dengan mahabbah kepada Tuhan adalah suatu kebodohan dan kesalahan karena hanya Allah yang berhak dicintai.” Al -Ghazali berkata, “Cinta adalah inti keberagamaan. Ia adalah awal dan juga

akhir dari perjalanan kita. Kalau pun ada maqam yang harus dilewati seorang

sufi sebelum cinta, maqam itu hanyalah pengantar ke arah cinta, maqam itu akibat dari cinta saja.”

Kata Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukan

pada suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah

objeknya lebih ditujukan pada Tuhan.14 Selanjutnya Harun Nasution

mengatakan bahwa mahabbah cinta dan yang dimaksud ialah cinta kepada

Allah. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan, pengertian yang diberikan

kepada mahabbah antara lain:15

14 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta; Pt Grafindo persada, 2006), Hal,

15 Harun Nasution, falsafah dan mistisisme dalam Islam, (Jakarta Bulan Bintang,

(10)

1. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan

kepada-Nya.

2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.

3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu

Tuhan.

Yang dimaksud dengan kekasih ialah Allah. Pengertian tersebut di

atas sesuai dengan tingkatan kaum muslimin dalam pengalamannya terhadap

ajaran agama, tidak semuanya mampu menjalani hidup kesufian, bahkan

hanya sedikit saja yang menjalaninya, yang terbanyak adalah kelompok

awam mahabbah-nya termasuk pada pengertian yang pertama. Sejalan

dengan itu, al-Sarraj (w. 377 H) membagi mahabbah kepada tiga tingkatan

yaitu:

1. Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan zikir, senantiasa

menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalm berdialog

dengan Tuhan.

2. Cinta orang siddiq, yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada

kebesaran-Nya tabir yang memsahkan diri seseorang dari Tuhan dan

dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia pada Tuhan

3. Cinta orang ‘arif, yaitu mengetahui betul Tuhan, yang dilihat dan yang

dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang

dicintai masuk ke dalam ciri yang mencintai.

Terlepas dari banyaknya penjelasan mengenai defenisi dan “seluk -beluk” cinta atau mahabbah tersebut, namun yang pasti, mahabbah pada dasarnya merupakan sebuah sikap operasional. Dengan kata lain, konsep

mahabbah adalah salah satu ajaran pokok yang memungkinkan Islam

membawa rahmat bagi seluruh isi alam. Cinta pada hakikatnya bukanlah

sebutan untuk emosi semata-mata yang hanya dipupuk di dalam batin saja,

akan tetapi ia adalah cinta yang memiliki kecenderungan pada kegiatan nyata

(11)

Hanya saja dalam perjalanan sejarah umat Islam, term “cinta” atau

“mahabbah” telah menjadi salah satu pokok pembicaraan orang-orang sufi.

Mereka menggeser penekanan cinta kearah idealism emosional yang

dibatinkan secara murni. Sehingga di kalangan sufi, mahabbah adalah satu

istilah yang hampir selalu berdampingan dengan makrifat, baik dalam

penempatannya maupun dalam pengertiannya. Kalau makrifat merupakan

tingkat pengetahuan tentang Tuhan melalui hati, sedang mahabbah adalah

merupakan perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta. Seluruh jiwa

terisi oleh rasa kasih dan kasih dan cinta kepada Tuhan. Rasa cinta yang

tumbuh dari pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan, sudah sangat jelas

dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan cinta, tetapi diri yang

dicintai.

D. Konsep Falsafah Hub al-IllahRabi’ah

Rabi’ah Al Adawiyah tergolong dalam kelompok sufi periode awal. Ia memperkaya literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknya

dalam sajak-sajak berkualitas tinggi. Rabi’ah dipandang sebagai pelopor

tasawuf mahabbah, yaitu penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah) dan

ia pun dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The Grand

Master). Hakikat tasawufnya adalah habbul-ilāh (mencintai Allah SWT).

Ibadah yang ia lakukan bukan terdorong oleh rasa takut akan siksa neraka

atau rasa penuh harap akan pahala atau surga, melainkan semata-mata

terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan untuk menyelami keindahan–Nya yang

azali.16

Mahabbah Rabi’ah merupakan versi baru dalam masalah ubudiyah kedekatan pada Tuhan. Rabi’ah adalah seorang zahidah sejati. Memeluk erat

kemiskinan demi cintanya pada Allah. Lebih memilih hidup dalam kesederhanaan. Definisi cinta menurut Rabi’ah adalah cinta seorang hamba kepada Allah Tuhannya. Ia mengajarakan bahwa yang pertama, cinta itu

16 Abdul Halim, Cinta Ilahi, Studi perbandingan antara al-Ghazali dan Rabi’ah al

(12)

harus menutup yang lain, selain Sang Kekasih atau Yang Dicinta, yaitu

bahwa seorang sufi harus memalingkan punggungnya dari masalah dunia

serta segala daya tariknya. Sedangkan yang kedua, ia mengajarkan bahwa

cinta tersebut yang langsung ditujukan kepada Allah dimana

mengesampingkan yang lainnya, harus tidak ada pamrih sama sekali. Ia

harus tidak mengharapkan balasan apa-apa. Dengan Cinta yang demikian itu,

setelah melewati tahap-tahap sebelumnya, seorang sufi mampu meraih ma’rifat sufistik dari “hati yang telah dipenuhi oleh rahmat-Nya”. Pengetahuan itu datang langsung sebagai pemberian dari Allah dan dari ma’rifat inilah akan mendahului perenungan terhadap Esensi Allah tanpa hijab.

Rabi’ah merupakan orang pertama yang membawa ajaran cinta sebagai sumber keberagamaan dalam sejarah tradisi sufi Islam. Cinta Rabi’ah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah perjalan mencapai ketulusan. Sesuatu yang diangap sebagai

ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali

tersebut. Lewat sebuah doa yang mirip syair, ia berujar:

“Wahai Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah

aku di neraka. Jika aku menyembah-Mu karena surga, jangan masukkan

ke dalamnya. Tapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, jangan

sembunyikan dariku keindahan abadi-Mu.”

Dalam fase selanjutnya, hidup Rabia'ah hanya diisi dengan dzikir,

tilawah, dan wirid. Duduknya hanya untuk menerima kedatangan muridnya

yang terdiri dari kaum sufi yang memohon restu dan fatwanya. Rabi'ah

berusaha mengajarkan generasi Muslim sesudahnya sehingga mereka

mampu mengangkat derajat mereka dari nafsu rendah. Sebab kondisi

masyarakat Basrah pada waktu itu terlena dalam kehidupan duniawi,

berpaling dari Allah Swt dan menjauhi orang-orang yang mencintai Allah

serta segala sesuatu yang dapat mendekatkan diri pada Allah Swt.

(13)

akhlaq yang mulia sehingga mendapatkan kedudukan tinggi. Hidup Rabi'ah

penuh untuk beribadah kepada Tuhan hingga akhir hayatnya.

Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki

nilai tertinggi. Mahbbah yang dicapai oleh Rabi’ah tidak hanya melalui Ilmu

akan tetapi dengan penggemblengan jiwa dan watak.17 Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa

ada maksud dan tujuan apa pun.

Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbahNya, sebenarnya tak

berbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf

(takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi

kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk

masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi

kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan

surga, namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata. Sikap cinta kepada dan karena Allah semata ini misalnya tergambar dalam sya’ir Rabi’ah sebagai berikut:

Ya Allah, jika aku menyembah-Mu, karena takut pada neraka, maka

bakarlah aku di dalam neraka. Dan jika aku menyembah-Mu karena

mengharapkan surga, campakkanlah aku dari dalam surga. Tetapi jika

aku menyembah-Mu demi Engkau, janganlah Engkau enggan

memperlihatkan keindahan wajah-Mu, yang Abadi kepadaku.”

Cinta Rabi’ah kepada Allah sebegitu kuat membelenggu hatinya, sehingga hatinya pun tak mampu untuk berpaling kepada selain Allah. Pernah suatu ketika Rabi’ah ditanya, “Apakah Rabi’ah tidak mencintai

17Sururin, Rabi’ah Adawiyah Hub Al

-Illahi, Evolusi jiwa Manusia Menuju

(14)

Rasul?” Ia menjawab, “Ya, aku sangat mencintainya, tetapi cintaku kepada Pencipta membuat aku berpaling dari mencintai makhluknya.” Rabi’ah juga ditanya tentang eksistensi syetan dan apakah ia membencinya? Ia menjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong sedikit pun dalam diriku untuk rasa membenci syetan.” Allah adalah teman sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke mana saja Rabi’ah pergi, hanya Allah saja yang ada dalam hatinya. Ia mencintai Allah dengan sesungguh hati dan keimanan.

Karena itu, ia sering jadikan Kekasihnya itu sebagai teman bercakap dalam hidup. Dalam salah satu sya’ir berikut jelas tergambar bagaimana Cinta Rabi’ah kepada Teman dan Kekasihnya itu:

Kujadikan Engkau teman bercakap dalam hatiku, Tubuh kasarku biar

bercakap dengan yang duduk. Jisimku biar bercengkerama dengan

Tuhanku, Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri.

Menurut kaum sufi, proses perjalanan ruhani Rabi’ah telah sampai kepada maqam mahabbah dan ma’rifat. Namun begitu, sebelum sampai ke tahapan maqam tersebut, Rabi’ah terlebih dahulu melampaui tahapan -tahapan lain, antara lain tobat, sabar dan syukur. Tahapan--tahapan ini ia

lampaui seiring dengan perwujudan Cintanya kepada Tuhan. Tapi pada tahap

tertentu, Cinta Rabi’ah kepada Tuhannya seakan masih belum terpuaskan,

meski hijab penyaksian telah disibakkan. Dalam kegamangannya itu, Rabi’ah tak putus-putusnya berdoa dan bermunajat kepada Allah. Bahkan dalam doanya itu ia berharap agar tetap mencintai Allah hingga Allah

memenuhi ruang hatinya. Doanya:

Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera menampakkan diri.

Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima, hingga aku merasa bahagia, ataukah Engkau tolak hingga sehingga aku merasa bersedih,

Demi ke-Maha Kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan. Selama

Engkau beri aku hayat, sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu,

aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu, telah memenuhi hatiku.

(15)

sehingga Dia ridla kepada hamba yang mencintai-Nya. Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridla kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari Cintanya kepada

Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan kemudian Tuhan

sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan juga di akhirat kelak.

Ia mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinya berharap Tuhan

memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya. Dalam sya’irnya Rabi’ah

mengatakan:

Aku mencintai-Mu dengan dua macam Cinta, Cinta rindu dan Cinta

karena Engkau layak dicinta, Dengan Cinta rindu, kusibukan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu, Dan bukan selain-Mu. Sedangkan Cinta karena Engkau layak dicinta, di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu,agar aku dapat memandangmu. Namun, tak ada pujian dalam ini

atau itu, segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu.

Abu Thalib al-Makki dalam mengomentari sya’ir di atas mengatakan, dalam Cinta rindu itu, Rabi’ah telah melihat Allah dan mencintai-Nya dengan merenungi esensi kepastian, dan tidak melalui cerita orang lain. Ia

telah mendapat kepastian (jaminan) berupa rahmat dan kebaikan Allah

kepadanya. Cintanya telah menyatu melalui hubungan pribadi, dan ia telah

berada dekat sekali dengan-Nya dan terbang meninggalkan dunia ini serta

menyibukkan dirinya hanya dengan-Nya, menanggalkan duniawi kecuali

hanya kepada-Nya. Sebelumnya ia masih memiliki nafsu keduniawian, tetapi

setelah menatap Allah, ia tanggalkan nafsu-nafsu tersebut dan Dia menjadi

keseluruhan di dalam hatinya dan Dia satu-satunya yang ia cintai. Allah telah

memebaskan hatinya dari keinginan duniawi, kecuali hanya diri-Nya, dan

dengan ini meskipun ia masih belum pantas memiliki Cinta itu dan masih

belum sesuai untuk dianggap menatap Allah pada akhirnya, hijab tersingkap

sudah dan ia berada di tempat yang mulia.

Cintanya kepada Allah tidak memerlukan balasan dari-Nya,

meskipun ia merasa harus mencintai-Nya. Al-Makki melanjutkan, bagi

(16)

karena doa-doa Rabi’ah (yaitu pada saat ia melintasi Jalan itu) dan rahmat

Allah itu akan tampak juga di akhirat nanti (yaitu pada saat Tujuan akhir itu

telah dicapainya dan ia akan melihat wajah Allah tanpa ada hijab,

berhadap-hadapan). Tak ada lagi pujian yang layak bagi-Nya di sini atau di sana nanti,

sebab Allah sendiri yang telah membawanya di antara dua tingkatan itu

(dunia dan akhirat).18

Dalam shahih Bukhari-Muslim, sebuah hadis diriwayatkan oleh Anas

bin Malik menyatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Kamu belum beriman

sebelum Allah dan RasulNya lebih kamu cintai daripada selain keduanya.”

Tirmidzi pun meriwayatkan bahwa Rasullullah bersabda, “Cintailah Allah

karena nikmat yang dianugerahkanNya kepadamu. Cintailah aku karena

kecintaanmu kepada Allah. Dan Cintailah keluargaku karena kecintaanmu kepadaku.”

E. Kesimpulan

Rabi'ah al-Adawiyah adalah sufi wanita yang memberi nuansa

tersendiri dalam dunia tasawuf dengan pengenalan konsep mahabbah.

Sebuah konsep pendekatan diri kepada Tuhan atas dasar kecintaan, bukan

karena takut akan siksa neraka ataupun mengharap surga. Cinta Rabiah

merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Rabiah adalah seorang

zahidah sejati. Beliau merupakan pelopor tasawuf mahabbah, yaitu penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah) dan ia pun dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The Grand Master).

Hakikat tasawufnya adalah hubbul-ilāh (mencintai Allah SWT).

Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai

tertinggi. Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan.

18 Abu Thalib al-Makki, Qut al-Qulub, 1310 H, dalam Margaret Smith, Mistisme

(17)

Daftar Pustaka

Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta; Pt Grafindo persada, 2006).

Al-Qusyairi, Al-Risalah, (Beirut, Dar al-Khair, Tt).

Asmaran, “Pengantar Tasawuf edisi Revisi”, (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2002).

Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat (Dimensi Esoteris Ajaran Islam),

(Tt, PT Remaja Rosdakarya, Tth,).

Harun Nasution, falsafah dan mistisisme dalam Islam, (Jakarta Bulan

Bintang, 1983).

Jamil Shabila, al-mu’jam al-falsafy, jilid II, (Mesir: Dar al-Kitab,

1978).

Khudori soleh, Skeptisme al-Ghazali, (Malang; UIN Press, 2009).

Margaret Smith, Rabi’ah Al-Adawiya Al-kassiya, dalam The

ensiklopedia of Islam the new edition, (Leiden; ej Brill, 1995).

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, ( jakarta: Hidakarya, 1990)

Margaret Smith, Mistisme Islam dan Kristen Sejarah Awal dan

Pertumbuhanya, Penerjemah Amroeni Drajat (Jakarta; Gaya Media Pratama,

2007)

Rosihon Anwar dan mukhtar solihin, Ilmu tasawuf, (Bandung;

Pustaka Setia, 2007).

Sururin, Rabi’ah Adawiyah Hub Al-Illahi, Evolusi jiwa Manusia

Menuju Mahabbah dan Makrifat, (Jakarta; Pt Raja Grafindo Persada, 2002).

Siti Rihannah, Biografi dan pemikiran Rabi’ah Adawiyah, (Skripsi,

UIN Syarif Hidayatullah, 2011).

Syed ahmad Semait, 100 tokoh wanita terbilang, (Singapore; Pustaka

Nasional Pte Ltd, 1993).

Referensi

Dokumen terkait

Dari pengolahan data minyak sawit mentah (CPO) diperoleh kesimpulan yaitu pengendalian persediaan minyak sawit mentah (CPO) dengan metode EOQ tahun 2011 sebanyak 1.138 ton dengan

Dalam mengaplikasikan metode usulan tersebut, peneliti menggunakan studi kasus penjadwalan 3 mata kuliah semester 1 untuk kelas A, B dan C yang dilakukan secara bertahap

Bahwa untuk kelancaran penyelesaian perkara gugatan dan permohonan yang diajukan ke Pengadilan Negeri Dompu, danpenyelesaian perkara yang diajukan banding, kasasi,

Selain itu kami juga membahas mengenai kunjungan pertama kami, tidak ada hambatan yang berarti ketika kunjungan pertama karena Kakek Made Adha sangat terbuka

Ipteks bagi Masyarakat (IbM) yang dilakukan pada UMKM pembibitan dan penggemukan sapi potong di kecamatan Kedungpring kabupaten Lamongan untuk menjawab permasalahan belum

Kerapatan relatif suatu jenis (KR) =.. Jenis dengan INP paling tinggi menjadi prioritas untuk dipilih sebagai pohon yang akan ditebang. Selain keterwakilan jenis atau kelompok

Erti juga memahami, sebagai guru yang sudah memiliki banyak pengalaman dalam mengurusi studi pascasekolah siswa, UNAIR merupakan salah satu kampus favorit yang diidamkan

Dengan bukti kejadian itu akal menerima dan berkata: Mesti adanya yang menjadikan dan mengadakan seluruh alam itu, tidak lain hanya pencipta yang sempurna dan berkuasa iaitu