• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN-EKONOMI PEREMPUAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN-EKONOMI PEREMPUAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN-EKONOMI PEREMPUAN DAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

Kondisi Kehidupan dan Permasalahan Ekonomi Keluarga yang Terkena PHK di Kelurahan Cigugur Tengah

Kondisi kehidupan keluarga PHK di Kelurahan Cigugur Tengah dapat diketahui diantaranya dari pekerjaan suami setelah terkena PHK, kondisi ekonomi keluarga, jumlah beban tanggungan, perempuan bekerja atau tidak dan pengeluaran keluarga, dan kesejahteraan keluarga setelah PHK. Dari kasus yang dikaji, pekerjaan sebelum di-PHK adalah sebagai buruh pabrik dan supir. Pekerjaan ini menjadi pilihan mereka karena tidak terlalu mementingkan tingkat pendidikan melainkan tenaga. Tingkat pendidikan suami paling rendah SLTP dan paling tinggi adalah SLTA sehingga mereka tidak mungkin dapat bekerja pada perusahaan yang memberikan upah yang lebih tinggi karena perusahaan menentukan persyaratan pendidikan minimal sarjana.

Pendapatan dari upah sebagai buruh kecil di pabrik dan supir berkisar antara Rp 450.000 per bulan sampai Rp 550.000 per bulan. Ini sangat rendah karena upah minimumnya saja untuk Kota Cimahi tahun 2002 adalah sebesar Rp 537.500 (Kompas, 20 November 2003). Jumlah upah tersebut tentunya sangat tidak memadai untuk mencukupi kebutuhan anggota keluarga dimana anak-anak masih memerlukan biaya untuk pendidikan. Kondisi tersebut bertambah parah setelah mereka terkena PHK yang mengakibatkan kehilangan sumber pendapatan.

Suami pada umumnya mengalami PHK pada tahun 1998 hingga tahun 2003 dimana untuk tahun 2002,. Rata-rata pesangon setelah di-PHK dari industri tekstil dan non tekstil hanya sebesar dua kali gaji tanpa uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Buruh dengan masa kerja satu sampai lima tahun hanya mendapat satu kali gaji sementara buruh dengan masa kerja enam sampai 10 (sepuluh) tahun mendapat dua kali gaji sedangkan tiga kali gaji diberikan kepada buruh dengan masa kerja di atas 10 (sepuluh) tahun. Pesangon yang kecil tersebut mereka gunakan untuk modal usaha atau menambah modal usaha.

(2)

Suami yang terkena PHK ada yang masih berusaha mencari pekerjaan walau serabutan seperti menjadi pekerja/buruh bangunan dan pengemudi ojek, ada yang tidak berusaha mencari kerja lagi karena sudah merasa putus asa tidak dapat mencari pekerjaan lain dan ada pula yang membantu usaha istrinya. Laki-laki yang benar-benar menganggur dan tidak berusaha mencari pekerjaan kembali terlihat lebih sering mengobrol dengan tetangga, atau kumpul bersama pengangguran dari pagi hingga malam hari.

Pendapatan setelah terkena PHK menjadi tidak menentu. Mereka sering mendapat tawaran pekerjaan borongan dengan upah yang sangat rendah, yaitu sebesar Rp 75.000 per bulan sudah termasuk makan dan minum bagi pekerja yang tergolong terampil bahkan ada yang mendapat Rp 60.000 per bulan tanpa makan dan minum untuk sekali borongan pekerjaan. Hal ini menjadi alasan bagi keluarga PHK untuk tidak menerima pekerjaan yang bersifat borongan karena upah yang didapat jauh lebih kecil dibandingkan dengan upah harian. Akan tetapi, kendala pada saat ini adalah sulit mendapatkan pekerjaan dengan upah harian. Pekerjaan dengan upah harian lebih banyak ditemui di luar daerah namun dengan konsekuensi biaya hidup yang dapat lebih mahal dari daerah asal. Sebagai pekerja kasar atau serabutan, upah yang diperoleh adalah sebesar Rp 15.000 per hari belum termasuk makan dan minum.

Kondisi suami terkena PHK mempengaruhi istri untuk tampil sebagai pencari nafkah dan bekerja semakin keras dengan melakukan kegiatan ekonomi seperti membuka usaha atau bekerja pada orang lain demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Tampilnya istri sebagai pencari nafkah belum sepenuhnya mendapat dukungan dari masyarakat karena masih ada anggapan bahwa perempuan tidak boleh keluar jauh dari rumah. Indikasinya adalah masyarakat setempat sering menyebut perempuan dengan kata-kata pondok lengkah (pendek langkah), yaitu menganggap bahwa perempuan tidak seharusnya bepergian jauh keluar rumah karena mempunyai kewajiban mengurus keluarga sehingga diibaratkan dengan pendeknya langkah perempuan. Di sisi lain, masyarakat menganggap bahwa laki-laki adalah pihak yang seharusnya bertugas mencari nafkah.

Masyarakat masih menganggap bahwa perempuan sudah seharusnya tinggal di rumah, menjaga dan merawat keluarganya serta membesarkan anak-anaknya seperti yang dikemukakan Bpk Iw (informan) sebagai berikut:

(3)

Masyarakat di sini masih beranggapan kuat bahwasanya perempuan itu sudah seyogianya tinggal di rumah untuk menjaga dan mengurus keluarga. Membesarkan anak-anak dan mendidik mereka. Jadi, kalau sekarang banyak ibu-ibu yang bekerja, masyarakat cemas dan takut kalau-kalau nantinya malah keluarganya jadi hancur karena ibu-ibunya terlalu sibuk bekerja. Kalau saya pribadi ya tidak melarang perempuan untuk bekerja di luar rumah tapi ya sebisa mungkin tetap bisa membagi waktu. Kalau boleh memilih mah, silakan saja mau bekerja tapi kalau bisa ya yang deket-deket aja biar rumah terkontrol.

Penuturan Bpk Iw tidak jauh berbeda dengan Ibu St yang merupakan kader PKK RW 10 sebagai berikut:

Ibu-ibu di RW ini gak jauh bedalah neng dengan ibu-ibu di RW lain. Susah mau usaha. Sedikit-sedikit anak minta digendong atau disuapi. Ya gimana mau bisa kerja. Belum lagi kalau anak-anak merengek minta jajan. Mau beli pake apa. Mau gak mau kan ibu-ibu mesti pinter-pinter nyari akal gimana caranya supaya bisa kerja. Tapi kerja juga gak gampang. Ibu-ibu kan urusannya di dapur jadi belum tentu bisa kerja nyari uang. Masyarakat di sini masih belum terbiasa melihat ibu-ibu bekerja jauh dari rumahnya. Di sini, mungkin Neng udah bisa lihat jarang kan ada ibu-ibu yang usahanya sampai keluar jauh dari rumah. Paling-paling usahanya dibuka di rumah atau di dekat rumah. Keinginan Ibu ya jangan sampai pandangan masyarakat yang begitu malah menghambat ibu-ibu untuk bekerja. Kan suaminya udah di-PHK jadi siapa lagi yang bisa mencari uang.

Penuturan Bpk Iw dan Ibu St semakin dikuatkan dengan penuturan dari informan lainnya, yaitu Ibu Slh sebagai berikut:

Mencari uang itu ya sudah jadi tugas laki-laki. Dari ibu lahir sampai sekarang taunya ya begitu. Perempuan ya masak, nyuci, nyetrika, bersih-bersih. Pokoknya urusan rumah itu bagian perempuan, urusan mencari uang itu laki-laki. Kalau laki-lakinya tidak bisa kerja lagi ya terpaksa perempuan harus ikut turun tangan.

Anggapan-anggapan tersebut berdampak pada ketidakleluasaan perempuan untuk bekerja ke luar rumah sehingga mempengaruhi pula pada jenis usaha yang dilakukan oleh perempuan. Lokasi usaha perempuan baik di rumah atau di dekat rumah bukan menjadi permasalahan dalam meningkatkan peran ekonomi perempuan. Yang menjadi masalah adalah ijin dari suami dan masyarakat bagi perempuan untuk bisa bekerja dan ketersediaan waktu bagi perempuan untuk melakukan kegiatan ekonominya. Jenis usaha yang dilakukan di rumah atau dekat rumah menghambat perempuan untuk berusaha mencari pekerjaan yang lebih baik sementara masalah ekonomi keluarga mendesak untuk dipecahkan.

(4)

Usaha-usaha yang dilakukan oleh perempuan di Kelurahan Cigugur Tengah adalah dalam bentuk kerajinan rumah tangga seperti makanan kecil getuk, comring, sumpia dan lontong isi. Ada juga yang menjahit, membuat penutup tempat tidur dan bantal, menitipkan masakan ke warung-warung dan menjadi buruh pabrik serta membuka warung. Jenis usaha yang dilakukan perempuan termasuk jenis usaha mandiri baik berkelompok atau tidak, kecuali buruh pabrik karena bekerja pada orang lain. Perempuan yang bekerja sebagai buruh pabrik memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap upah dari majikan. Hal ini menimbulkan tekanan lebih berat dibanding perempuan yang berusaha mandiri karena adanya tuntutan lembur, pembagian kerja (shifting) hingga larut malam dan tidak adanya kompensasi apapun bila suatu saat tidak dapat bekerja dengan alasan-alasan tertentu yang tidak dapat dihindari (misalnya sakit) disebabkan posisi mereka hanya sebagai buruh kontrak.

Kontrak dilakukan untuk jangka waktu satu tahun dan setelah itu harus dilakukan perpanjangan kontrak. Pada saat perpanjangan kontrak, buruh yang bekerja baik selama setahun tidak serta merta langsung mendapatkan pekerjaan yang sama untuk kontrak berikutnya. Kondisi ketidakpastian tersebut menambah persoalan bagi perempuan. Gejala stres mulai sering dirasakan oleh perempuan dan berakibat pada menurunnya kondisi kesehatannya padahal untuk dapat bekerja dengan baik perlu didukung oleh kondisi fisik yang baik. Hal ini perlu diatasi dengan pembagian kerja dalam keluarga yang lebih memberikan peluang bagi perempuan untuk mengatur waktu untuk dirinya, keluarga dan pekerjaan mencari nafkah.

Kondisi keluarga yang terkena PHK berkaitan pula dengan jumlah tanggungan. Keluarga PHK pada kasus yang dikaji, tidak memiliki beban tanggungan lain misalnya orang tua yang dapat memperberat beban yang ada. Dari kesepuluh kasus yang dikaji, tanggungan yang dimiliki adalah anak-anak sebanyak dua sampai tiga orang anak. Sekalipun ada beberapa kasus dimana suami dan istri bekerja tapi kondisi ekonomi keluarga mereka masih kesulitan karena pekerjaan suami adalah serabutan, misalnya yang terjadi pada keluarga Ibu Nni. Berikut penuturan Ibu Nni.

Ibu usaha kecil-kecilan, membuka warung untuk nambah-nambah pendapatan, suami Ibu ya masih bekerja tapi kerjanya kesana-kemari. Kalau ada yang butuh untuk bangun rumah biasanya suami Ibu dipanggil. Seringnya ke daerah selatan, ke Tangerang. Yang dekat sini sudah susah.

(5)

Keluarga Ibu Nni mempunyai tanggungan tiga orang anak yang bersekolah mulai dari SD hingga SLTA sehingga biaya yang diperlukan untuk pendidikan anak sangat besar. Adanya dua sumber pendapatan dapat meringankan beban keluarga meskipun pendapatan Ibu Nni dari usaha warung lebih kecil daripada suaminya. Pendapatan Ibu Nni dalam sebulan paling besar pernah mencapai Rp 500.000 sedangkan pendapatan suami dalam sebulan dari hasil bekerja sebagai pekerja bangunan di berbagai daerah mencapai Rp 750.000 dan pernah mencapai Rp 1.300.000 sewaktu ada proyek pembangunan rumah susun sewa di Kelurahan Cigugur Tengah ditambah dengan pembangunan perumahan di daerah Kabupaten Bandung Barat. Akan tetapi, jumlah tersebut masih belum memadai dibandingkan besarnya kebutuhan keluarga, yaitu lebih dari Rp 1.000.000 per bulan.

Lain halnya dengan keluarga yang mempunyai satu sumber pendapatan dikarenakan suami tidak bekerja lagi, yaitu suami termasuk beban tanggungan di samping anak-anak. Keluarga yang juga mempunyai satu sumber pendapatan namun suaminya masih bekerja, yaitu membantu usaha istri tidak mempunyai batasan yang jelas apakah suami menjadi tanggungan atau tidak karena pendapatan yang diperoleh dirasakan sebagai pendapatan bersama karena dihasilkan secara bersama-sama meskipun perempuan mempunyai bagian pekerjaan yang lebih banyak dibandingkan suami.

Keluarga yang terkena PHK mempunyai karakteristik mengubah pola makan dari tiga kali sehari menjadi dua kali sehari, mengurangi jumlah pengeluaran baik untuk konsumsi, pendidikan, transportasi maupun kesehatan. Untuk yang berusaha menjual makanan ke warung-warung, biasanya makanan yang dijual itu merupakan makanan mereka sehari-hari sehingga jumlah yang dapat dikonsumsi oleh keluarga menjadi sangat terbatas demi memperoleh pendapatan.

Sebelum suami mereka terkena PHK, pengeluaran untuk makan satu keluarga dengan jumlah anggota keluarga empat sampai lima orang adalah Rp 10.000 per hari dengan tiga jenis lauk. Namun, setelah mengalami PHK mereka mengurangi pengeluaran untuk makan menjadi kurang dari Rp 10.000 per hari dengan satu atau dua jenis lauk. Kurangnya ketersediaan makanan di rumah yang lebih diutamakan untuk mencari uang mendorong anak-anak untuk lebih tertarik jajan di sekolah dan tempat lainnya. Hal ini bila dibiarkan maka justru akan menambah beban keluarga karena pengeluaran tidak dapat dikendalikan.

(6)

Pengeluaran keluarga yang terpaksa harus dibatasi di samping konsumsi untuk makan adalah pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan. Pengeluaran untuk pendidikan, yaitu pendidikan bagi anak-anak mulai dari jenjang SD hingga SLTA adalah seperti membeli seragam sekolah, buku pelajaran wajib, sumbangan atau iuran pendidikan sampai kegiatan ekstrakurikuler sekolah seperti kegiatan Pramuka dan olah raga. Di bidang pendidikan, anak-anak mereka tidak dapat membeli buku-buku pelajaran seperti sebelumnya meskipun tetap bersekolah.

Sebelum suami di-PHK saja kebutuhan tersebut tidak dapat dicukupi seluruhnya. Ada prioritas yang dari waktu ke waktu ditentukan oleh perempuan selaku istri yang mengelola keuangan dalam keluarga, lebih-lebih setelah suami di-PHK banyak cara yang dilakukan untuk menyiasati terpenuhinya kebutuhan tersebut. Cara yang ditempuh adalah menyiasati dengan tidak membeli seragam sekolah yang baru untuk setiap kenaikan kelas dan tidak membeli baju seragam dengan jenis lain (batik dan seragam pramuka) seperti ketentuan sebagian besar pihak sekolah yang mengadakan setidaknya tiga jenis seragam (putih merah atau putih biru dan putih abu-abu, batik dan seragam pramuka).

Cara lain yang juga ditempuh adalah menekan pengeluaran untuk membeli buku-buku pelajaran dan buku tulis. Berdasarkan pengalaman responden diketahui bahwa untuk mendukung proses belajar maka buku-buku pelajaran didapat dengan cara belajar bersama teman dalam kelompok atau tetangga yang memiliki buku yang dimaksud serta meminjamnya di perpustakaan sekolah. Sedangkan untuk buku tulis digunakan seoptimal mungkin dengan memakai satu buah buku tulis untuk beberapa pelajaran.

Pengeluaran keluarga selain konsumsi dan pendidikan adalah dalam bidang kesehatan. Perempuan selalu mendahulukan kepentingan anggota keluarga lainnya, yaitu suami dan anak-anak saat terjadi sakit. Untuk mengatasinya, perempuan selalu mengusahakan memakai alternatif obat-obatan tradisional yang bahan-bahannya bisa dibeli di warung terdekat dan kalaupun terpaksa harus berobat ke dokter agar lebih hemat dan biasanya mereka akan mengusahakan biaya dari mana saja sekalipun harus berutang kepada kerabat, tetangga, dan teman.

Perempuan hanya akan berobat ke dokter bila telah merasa benar-benar tidak mampu berjalan dan tidak mampu diobati dengan obat-obatan tradisional. Hal itu hanya dilakukan jika perempuan merasa yakin telah mempunyai uang

(7)

yang cukup dari hasil keuntungan penjualan. Bila tidak mempunyai uang yang cukup maka mereka lebih memilih untuk mendiamkan penyakit hingga sembuh dengan sendirinya. Hal ini akan menghambat perempuan untuk berusaha.

Sementara itu, transportasi juga merupakan pengeluaran yang besar dari keseluruhan keluarga PHK yang dikaji. Apabila dibandingkan dengan pengeluaran untuk kesehatan, maka pengeluaran untuk transportasi menempati urutan prioritas ke-3 sebelum kesehatan bahkan menjadi prioritas ke-2 setelah konsumsi untuk makan. Hal ini disebabkan, pada umumnya keluarga PHK sudah berkeluarga dan mempunyai beberapa orang anak usia sekolah. Besarnya pengeluaran untuk transportasi sebelum suami di-PHK meningkat dua kali lipat setelah suami di-PHK dan terjadinya kenaikan harga BBM.

Keluarga yang terkena PHK mempunyai pengeluaran lain yang tidak dapat dihindari, yaitu k ebiasaan suami yang tidak dapat meninggalkan kebiasaan merokok. Kebiasaan tersebut berdampak pada pengeluaran keluarga. Menyikapi hal tersebut perempuan mengambil langkah semakin membatasi pengeluaran untuk konsumsi karena mereka menganggap konsumsi merupakan pengeluaran terbesar dari total pengeluaran keluarga. Indikasinya adalah lebih dari separuh pendapatan dicurahkan untuk keperluan konsumsi. Kondisi ini dialami oleh seluruh responden, misalnya keluarga Ibu Cc.

Keluarga Ibu Cc hanya mempunyai tanggungan dua orang anak yang bersekolah di SD, yaitu berusia 7 dan 9 tahun. Ibu Cc membuat lontong isi sayur dan daging untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Kebutuhan keluarga Ibu Cc berkisar antara Rp 500.000 sampai Rp 600.000 per bulan karena biaya untuk pendidikan anak belum terlalu besar namun kebutuhan untuk rokok mencapai Rp 240.000 per bulan. Pendapatan Ibu Cc hanya mampu memenuhi setengah dari kebutuhan keluarga sedangkan suaminya bekerja serabutan, menjadi tukang ojek atau supir angkutan umum yang penghasilannya paling besar hanya mencapai Rp 35.000 dalam sehari. Dengan demikian, dikarenakan pendapatan tidak mencukupi pengeluaran rumah tangga maka beban semakin besar akibat banyaknya utang yang belum atau tidak dapat dibayar.

Sebelum di-PHK, setiap harinya suami dapat menghabiskan dua hingga tiga bungkus rokok bahkan lebih bila mereka mengambil lembur. Setelah PHK kondisi tersebut tidak berubah. Tidak jarang suami mengambil rokok di warung-warung tetangga tapi tidak langsung dibayar. Alasan yang diutarakan adalah pembayaran akan dilaksanakan di bulan depan setelah usaha istrinya mendapat

(8)

keuntungan, yaitu mendapat borongan pesanan. Hal ini menimbulkan dampak perempuan berusaha melakukan penghematan. Berikut penuturan Ibu Enk yang bekerja bersama-sama suami membuat comring (makanan).

Kalau untuk bumbu dapur, ibu coba-coba menanam di rumah. Salam, sereh, cabe dan lain-lain. Kalau tidak cukup tanahnya, ya pakai pot dari ember bekas. Tetangga juga begitu. Saling bertukar bahan kalau mau memasak. Kalau tidak ada bahan yang diperlukan baru ibu ke warung. Lumayan juga untuk menghemat.

Contoh kasus Ibu Cc dan Ibu Enk tersebut terjadi hampir sama pada seluruh responden. Hal ini perlu diatasi dengan melakukan penyadaran terhadap pihak laki-laki karena terbukti mempunyai dampak yang cukup besar terhadap pengeluaran rumah tangga.

Keluarga Ibu Idr yang melakukan usaha pembuatan penutup tempat tidur memiliki keadaan ekonomi yang lebih baik karena jumlah tanggungan yang sedikit (dua orang anak). Tingkat pendidikannya (Ibu Idr) lebih tinggi dibandingkan responden lainnya, yaitu tamat SLTA. Suami yang juga berpendidikan SLTA pernah bekerja di sebuah pabrik tekstil selama 10 (sepuluh) tahun namun mengalami PHK pada tahun 2002. Sejak tahun 2004, suami membuka usaha pembuatan penutup tempat tidur. Pada awal usaha, bahan baku kain masih dinilai mahal karena belum ada penjualan bahan dalam bentuk kiloan. Pesanan baru berkembang pada satu tahun terakhir karena harga bahan baku kain mulai murah dan mudah diperoleh sehingga harga yang ditawarkan sangat kompetitif dan jumlah konsumen yang berminat untuk menggunakan penutup tempat tidur mulai bertambah.

Usaha ini mendapat keuntungan dari murahnya harga bahan sehingga dapat menekan harga jual sedangkan pada usaha menjahit meskipun harga bahan pada saat ini lebih murah karena semakin banyak produksi berasal dari luar negeri terutama dari Cina akan tetapi tidak sekompetitif usaha penutup tempat tidur. Hal ini disebabkan usaha menjahit terbentur oleh fenomena sandang murah yang semakin banyak tersedia seperti di kios-kios kaki lima dan pusat sandang murah Cibadak Mall (atau sering disebut Cimol) di Kota Bandung. Berikut penuturan Ibu Idr.

Bed cover ibu alhamdulillah masih bisa bertahan. Bahan baku ibu peroleh dari Pasar Cigondewa atau Pasar Baru di Bandung. Soalnya kalau di sini tidak terlalu bagus, motifnya tidak banyak. Hanya saja, ibu masih kesulitan untuk mendapatkan modal dan melakukan pemasaran. Kadang yang memesan ada yang dari luar kota yang datang ke sini kalau pulang kampung sehingga harus didahulukan tapi modal ibu tidak cukup. Kalau

(9)

ada yang memesan dalam motif sama juga susah karena ibu tidak punya contoh. Motif yang sudah keluar tidak mungkin keluar lagi. Sekarang kebetulan orang-orang sudah banyak yang pakai penutup tempat tidur tapi ibu takut kalau memasarkan di toko-toko besar. Takutnya gak laku malah harus bayar sewa stand yang mahal.

Daya beli masyarakat yang rendah akibat ketidakstabilan ekonomi secara nasional dirasakan juga di Kelurahan Cigugur Tengah. Di satu sisi, daya beli yang rendah memberikan peluang pasar bagi produk-produk dari negeri Cina yang murah masuk ke Indonesia, namun di sisi lain mematikan pasar untuk produk dalam negeri. Kekhawatiran dari keluarga PHK yang bergerak di bidang sandang (menjahit pakaian) sangat beralasan mengingat semakin membanjirnya produk dari Cina baik itu benang untuk menjahit, alat-alat menjahit maupun baju-baju. Ibu Hn menuturkan kekhawatirannya dalam pernyataan berikut:

Kumaha nya neng, jaman ayeuna mah sesah pisan. Hoyong nambut ka koperasi oge da isin ibu tos seueur pisan nunggak. Nya kitulah saaya-aya kangge barang tuang mah. Kapungkur mah nya kinten-kinten sataun langkung atawa dua taun ibu teh tiasa ngaput lima dugi sapuluh potong tiap sasihna. Alhamdulillah, pas Lebaran mah langkung seueur deui. Benten sareng ayeuna. Ayeuna mah syukur-syukur aya dua atawa tilu urang nu rek ngaputkeun di dieu. Ibu terangna ayeuna teh tos arasup produk-produk Cina nu leuwih sae bahana, leuwih mirah deuih.

(Bagaimana ya, jaman sekarang susah sekali. Ibu malu kalau meminjam ke koperasi karena sudah banyak sekali menunggak. Kalau untuk makan saja bisa seadanya. Dulu kira-kira setahun lebih atau dua tahun yang lalu Ibu bisa menjahit lima sampai sepuluh potong (baju) tiap bulan. Alhamdulillah, waktu Lebaran lebih banyak lagi. Sekarang keadaannya berbeda. Ibu bersyukur kalau masih ada yang mau menjahit di sini meski hanya dua atau tiga orang. Ibu mengetahui bahwa sekarang di sini sudah banyak dimasuki produk Cina dengan bahan yang lebih bagus dan lebih murah).

Penuturan Ibu Hn menggambarkan bahwa kondisi ekonomi keluarganya bertambah buruk setelah muncul persaingan produk dari luar negeri yang tidak dapat diimbangi oleh sektor usaha informal yang hanya berskala kecil seperti yang ia jalankan. Responden lainnya tidak terlalu terpengaruh oleh persaingan produk luar negeri karena bergerak di bidang konsumsi (pangan). Masalah yang perlu dipecahkan berkenaan dengan hal itu adalah pemasaran karena kendala pada saat ini adalah daya beli masyarakat rendah.

Kondisi ekonomi dapat dilihat juga dari bangunan fisik yang ditempati atau rumah. Kondisi rumah yang ditempati responden adalah permanen namun dalam kondisi seadanya dengan status kepemilikan adalah milik sendiri. Rumah yang ditempati sebagian besar diperoleh secara turun-temurun. Beberapa diantaranya

(10)

mendapatkan rumah dengan cara mencicil per bulan melalui pendapatan suami sebelum terkena PHK. Tolak ukur keadaan ekonomi tidak semata-mata dapat dilihat dari kondisi fisik rumah yang ditempati karena ada keluarga dengan kondisi rumah lebih baik akan tetapi pendapatannya lebih kecil dari keluarga PHK yang lain.

Keadaan keluarga PHK yang semakin memburuk sedikit tertanggulangi dengan adanya peran kerabat sebagai sumber pertolongan yang ekonominya lebih baik. Sampai saat ini, kerabat-kerabat seperti itu masih dapat diandalkan sebagai sumber pertolongan tapi tentunya hal ini tidak dapat berlaku terus-menerus sehingga yang harus dipikirkan keluarga PHK adalah meningkatkan sumber yang ada di dalam keluarga. Cara yang ditempuh adalah dengan meningkatkan ekonomi keluarga dengan meningkatkan peran anggota keluarga selain suami. Anggota keluarga yang paling berpotensi untuk mengatasi masalah ekonomi ini adalah istri atau perempuan sehingga istri atau perempuan perlu diberi peluang untuk bisa berperan dalam kegiatan pencarian nafkah.

Peran-Ekonomi Perempuan dalam Keluarga yang Terkena PHK

Peran-ekonomi perempuan dalam keluarga yang terkena PHK dilihat dari besarnya kontribusi ekonomi yang diukur melalui pendapatan yang dihasilkan istri/perempuan. Peran-ekonomi perempuan tersebut dinilai masih rendah karena pendapatan yang diperoleh perempuan masih belum dapat mencukupi kebutuhan keluarga. Pendapatan perempuan hanya berkisar Rp 250.000 sampai Rp 750.000 per bulan dan tidak dapat dipastikan karena jumlahnya selalu berubah-ubah bisa naik atau menurun sedangkan kebutuhan keluarga selalu bertambah untuk konsumsi, pendidikan dan transportasi secara umum berkisar antara Rp 500.000 sampai Rp 1.000.000 bahkan lebih terutama menjelang perayaan hari-hari besar.

Kebutuhan tersebut juga semakin besar jumlahnya bila keluarga mempunyai beban utang yang harus dibayar. Upaya yang dilakukan untuk mencukupi kebutuhan pada keluarga yang istrinya bekerja atau berusaha maupun tidak adalah dengan meminjam pada kerabat, tetangga yang lebih mampu maupun kepada tokoh masyarakat. Koperasi tidak dapat mereka pergunakan sebagai sumber modal karena pada saat ini kondisi koperasi mengalami kredit macet yang belum terselesaikan.

(11)

Rendahnya pendapatan perempuan di Kelurahan Cigugur Tengah dapat diklasifikasikan kedalam tiga penyebab, yaitu (1) perempuan hanya dianggap sebagai second citizen, hanya dianggap sebagai pengganti suami sehingga tidak bisa bekerja optimal, (2) perempuan kurang memiliki waktu dikarenakan beban ganda (double burden) yang secara budaya tidak dapat digantikan laki-laki, serta (3) rendahnya keterampilan.

Kenyataan perempuan dianggap hanya sebagai second citizen dapat diketahui dari kasus keluarga dimana istri bekerja sebagai buruh pabrik menggantikan suami yang terkena PHK. Alasan perusahaan untuk mempekerjakannya adalah karena perempuan mau dibayar dengan upah yang rendah dan murah. Laki-laki dalam posisi dan beban tugas yang sama menerima upah yang lebih tinggi dibanding perempuan.

Ibu Wt mengemukakan bahwa sejak suaminya di-PHK, ia terpaksa harus menjual satu persatu barang berharga yang ada di rumahnya. Jalan keluar lain dapat dilakukan adalah dengan menjadi buruh kontrak di pabrik tempat suaminya dulu bekerja. Berikut adalah penuturan Ibu Wt.

Pas suami di-PHK ibu bingung sekali mau buat apa. Terpaksa saja barang-barang yang ada di rumah teh dijual. Lama-lama tidak ada lagi yang bisa dijual. Mau minta ijin suami kerja di pabrik tidak gampang, katanya takutnya saya bernasib sama, di-PHK juga. Tapi karena ibu gak punya modal untuk membuat usaha akhirnya sama suami diijinkan. Syaratnya, mesti yang dekat rumah biar anak-anak terurus. Masalah upah ya gak seberapa Neng, yang penting masih bisa makan udah syukur. Paling dapat total tiga ratus ribu rupiah sebulan, tujuh puluh lima ribu rupiah tiap minggu. Dibayarnya tiap hari Sabtu. Itu juga gak cukup, belum buat ongkos, buat jajan anak, beli air. Kalau dulu suami Ibu bisa dapat empat ratus lima puluh ribu rupiah udah dikasih makan dari pabrik, uang lemburnya lima belas ribu rupiah sekarang Ibu cuma dapet sebesar itu. Kalau dipikir-pikir ya sama saja bekerjanya malah lebih repot Ibu karena pagi-pagi sebelum ke pabrik mesti masak dulu, nyuapin anak makan dulu. Kukituna abdi teh hoyong enggal-enggal dibantos ku pemerentah. Teu acan pernah ninggal Ibu mah aya bantosan sapertos BLT1.

(...karena itu saya ingin cepat dibantu oleh pemerintah. Ibu belum pernah mendapat bantuan seperti BLT).

Hal tersebut membuktikan bahwa bekerja bagi perempuan bukan perkara yang mudah dilakukan meski dihadapkan pada kondisi ekonomi tersulit sekalipun karena sangat berkaitan dengan anggapan bahwa perempuan itu tidak berkemampuan sehingga tidak mungkin dapat bekerja. Anggapan itu membuat perempuan hanya bisa memperoleh upah yang lebih rendah dibandingkan

laki-1

(12)

laki dengan beban pekerjaan atau tugas yang sama. Proporsi terbesar pendapatan Ibu Wt sebagai buruh adalah dari upah ditambah pendapatan lembur. Kegiatan lembur sering dilakukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan beban tanggungan tiga orang anak dan suami yang menganggur. Seringnya kegiatan lembur yang dilakukan Ibu Wt semakin menambah beban pekerjaan. Kenyataan ini bertambah berat dengan keadaan suami yang tidak mau mencari pekerjaan lagi karena sudah merasa putus asa.

Pekerjaan Ibu Wt tidak berkurang meskipun suami hanya berdiam diri di rumah atau menganggur. Pekerjaan rumah tangga yang sehari-hari dilakukan Ibu Wt seperti membersihkan rumah, mencuci pakaian, memasak dan mengurus anak-anak tetap merupakan bebannya seorang diri. Kasus Ibu Wt ini menggambarkan pula keadaan beban ganda dalam keluarga PHK.

Kasus lain yang menggambarkan perempuan kurang memiliki waktu dikarenakan beban ganda (double burden) karena harus mengerjakan pekerjaan mencari nafkah dan pekerjaan rumah tangga yang dapat diketahui dari kasus responden Ibu Id. Ibu Id adalah seorang ibu rumah tangga dengan tiga orang anak yang masih kecil. Anak-anaknya bersekolah di Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Suami dari Ibu Id adalah seorang buruh dengan penghasilan Rp 500.000 per bulan namun sejak tahun 2002 mengalami PHK. Ia tidak berkenan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti menyapu atau mencuci piring karena menurutnya itu adalah pekerjaan perempuan begitu pula halnya dengan pekerjaan mengurus anak.

Ibu Id memutuskan untuk membantu suami mencari nafkah dengan membuat makanan kecil sumpia. Hal ini dilakukannya atas seijin suami dengan pertimbangan suami belum mendapat pekerjaan setelah di-PHK dari sebuah pabrik sekitar tempat tinggalnya. Ibu Id sebelumnya pernah berusaha menambah pendapatan keluarga dengan menjadi buruh mencuci pakaian dari masyarakat sekitar tapi lama-kelamaan tidak diijinkan suami karena dianggap tidak pantas. Akhirnya Ibu Id membantu tetangga menjual kue mangkuk ke rumah-rumah namun hasil yang didapatnya tidak menentu dan tidak sebanding dengan jerih payahnya yang harus berkeliling dari gang ke gang tanpa menggunakan kendaraan agar lebih hemat. Dari pengalaman tersebut, Ibu Id memilih berhenti.

Sumpia yang dibuat oleh Ibu Id merupakan hasil dari mencoba sendiri. Ia melihat dari sumpia yang lebih dulu tersedia di pasar lalu memutuskan mencoba membuatnya sendiri. Hasil percobaan tersebut dibagikan kepada tetangga pada

(13)

saat acara arisan atau pengajian. Pada mulanya, usaha Ibu Id mendapat respon positif dari masyarakat sekitar bahkan ia pernah mendapat untung sebesar Rp 250.000, akan tetapi usaha tersebut kini hanya menunggu pesanan.

Pekerjaan membuat sumpia dilakukan di rumah akan tetapi waktu yang tersedia sangat terbatas karena pekerjaan rumah tangga dikerjakan seorang diri. Produk sumpia Ibu Id dipasarkan melalui koperasi dan sebagian kecil melalui warung-warung. Kondisi usaha yang kurang berhasil dan tanggungan anak sebanyak tiga orang membuat Ibu Id selalu aktif mencari peluang usaha lain seperti yang dilakukannya setiap Bulan Ramadhan dimana usaha pembuatan sumpia beralih menjadi membuat masakan jadi dan minuman untuk berbuka puasa. Perempuan yang bekerja meskipun di sektor informal, beralih-alih jenis usaha dan merasakan beban yang berat karena mengalami beban ganda akan tetapi di sisi lain merasa diri mereka lebih berarti dan lebih penting dari sebelumnya karena mempunyai kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya melalui bekerja.

Kasus kurangnya keterampilan dapat diketahui dari kasus Ibu Hn yang hanya mempunyai keterampilan menjahit. Ibu Hn adalah seorang tamatan SD yang memiliki keterampilan menjahit dari pelatihan P2WKSS yang diselenggarakan oleh Disperekop. Ia pernah mendapat bantuan dari program tersebut berupa uang sebesar Rp 300.000 dan satu buah mesin jahit pada Bulan Februari 2004. Pada awalnya, usaha Ibu Hn berkembang dengan pesat. Ia dan enam orang lainnya yang tergabung dalam satu kelompok usaha banyak mendapat pesanan. PKK dan pemerintah kelurahan memegang peranan penting dalam melakukan promosi. Usaha menjahit baru dimulainya beberapa bulan sebelum adanya program. Pada waktu itu, suami Ibu Hn sudah mengalami PHK. Menurut pengakuannya, pengetahuan keterampilan itu didapat dari seringnya membantu kerabat menjahit. Mesin jahit yang dapat dipergunakan oleh Ibu Hn adalah mesin jahit biasa atau manual sedangkan mesin jahit yang diberikan oleh program adalah mesin jahit bermesin sehingga ia tidak terbiasa dan lebih memilih untuk menyimpannya di dalam kamar. Berikut penuturan Ibu Hn.

Benar sekali ibu sudah diajarkan cara menjahit yang benar pakai mesin yang otomatis tapi ibu tidak bisa-bisa. Malah lebih bagus pakai mesin jahit yang biasa saja. Waktu awal-awal usaha ibu juga dapat bantuan dari pemerintah. Tidak disangka mulai dari situ banyak orang yang menanyakan untuk menjahit di saya. Seringnya minta dijahitkan seragam. Polanya ya lebih mudah karena hanya itu-itu saja. Sejak diberi pelatihan ibu mulai bisa jahit seragam yang ada modelnya. Tapi masih terbatas.

(14)

Usaha ibu Hn tidak mengalami perkembangan karena saat ini persaingan semakin ketat. Berikut pernyataan Ibu Hn.

Sesah pisan neng hoyong gentos usaha da Ibu ngan gaduh kabisa teh ngaput hungkul. Yen nu sejenna mah teu tiasa. Ayeuna teh seueur acuk nu marirah di pasar. Aya nu lima ribuan, opat puluh ribuan. Malah aya nu kenging dianjukkeun. Ibu mah ngantosan we nu bade ngaput... Bade nyumponan kanggo kulawargi.

(Susah sekali mau ganti usaha karena Ibu hanya bisa menjahit. Pekerjaan yang lain tidak bisa. Sekarang banyak baju murah di pasar. Ada yang lima ribuan, empat puluh ribuan. Malah ada yang bisa diutangkan. Kalau Ibu hanya menunggu yang mau menjahit. Ingin mencukupi kebutuhan keluarga).

Masyarakat saat ini lebih memilih untuk membeli pakaian jadi karena lebih murah dan praktis daripada harus membayar ongkos jahit dan membeli sendiri kainnya. Padahal, Ibu Hn sudah mengurangi ongkos produksi untuk menarik konsumen dari semula Rp 75.000 per potong menjadi Rp 50.000 per potong. Dengan harga yang sama atau bahkan lebih murah, konsumen lebih memilih untuk membeli pakaian jadi yang sangat mudah didapat di pasar murah di Kota Bandung dan pasar lain yang ada di pusat kecamatan walaupun harus menempuh jarak yang lebih jauh, dengan menggunakan angkutan kota yang hanya memerlukan ongkos Rp 4.000 untuk perjalanan pulang-pergi.

Adanya perbedaan kedudukan dan peran perempuan dengan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat akan berpengaruh kepada peran perempuan dalam kegiatan ekonomi. Peran perempuan dalam berkegiatan ekonomi itu dipengaruhi oleh beberapa kendala. Kendala-kendala tersebut dapat dibedakan menjadi kendala utama, kendala internal dan eksternal. Kendala utama yang berpengaruh kepada kendala lainnya (kendala internal dan eksternal)

Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Peningkatan Peran-Ekonomi Perempuan

Perempuan dalam berperan secara ekonomi dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut bisa berupa faktor utama, faktor internal dan faktor eksternal. Dari ketiga faktor tersebut, ada yang sifatnya menghambat dan ada pula yang mendukung bagi peran-ekonomi perempuan. Faktor utama adalah faktor yang mempengaruhi faktor-faktor internal dan eksternal. Yang dimaksud dengan faktor internal adalah faktor yang dimiliki oleh perempuan itu sendiri

(15)

dalam hal ini berupa faktor yang menghambat terhadap peran-ekonomi perempuan sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berada di luar diri perempuan yang bisa menjadi faktor penghambat dan pendukung.

Faktor Utama

Faktor utama adalah faktor yang mempengaruhi faktor lainnya (faktor internal dan eksternal). Faktor utama yang berpengaruh terhadap peran-ekonomi perempuan, berupa hubungan gender yang berkembang dalam masyarakat, khususnya tentang perempuan bekerja. Hubungan gender terlihat dari adanya anggapan masyarakat yang menempatkan perempuan pada kedudukan dan peran sebagai pengurus anak dan keluarga sedangkan laki-laki bekerja mencari nafkah. Anggapan ini menimbulkan dampak yang cukup besar terhadap perempuan karena dirasakan membatasi perempuan untuk keluar jauh dari rumah dan menyebabkan perempuan memiliki banyak tugas atau peran sehingga kurang memungkinkan mereka untuk bekerja di luar rumah.

Gender atau hubungan gender sebagai faktor utama, dalam hal ini berpengaruh terhadap faktor internal berupa potensi ekonomi yang dimiliki perempuan. Pengaruh hubungan gender terhadap faktor internal tersebut merupakan faktor penghambat bagi peningkatan peran-ekonomi perempuan. Faktor utama berupa hubungan gender juga mempengaruhi faktor eksternal berupa sumber daya dan modal sosial. Pengaruh hubungan gender terhadap faktor eksternal berupa sumber daya merupakan faktor penghambat sedangkan pengaruh hubungan gender terhadap faktor eksternal berupa modal sosial merupakan faktor pendukung bagi peningkatan peran-ekonomi perempuan. Sehingga faktor hubungan gender atau gender di sini bersifat sebagai move driver terhadap faktor lainnya yang berpengaruh bagi peningkatan peran-ekonomi perempuan.

Faktor Internal

Faktor internal yang mempengaruhi peningkatan peran-ekonomi perempuan adalah potensi ekonomi yang dimiliki perempuan. Potensi ekonomi tersebut, yaitu berupa pendidikan, keterampilan dan waktu yang dimiliki perempuan. Rendahnya potensi ekonomi perempuan merupakan faktor penghambat internal bagi perempuan yang dilihat dari tingkat pendidikan atau pengetahuan, keterampilan yang dimiliki dan ketersediaan waktu yang dapat

(16)

digunakan perempuan untuk beraktivitas ekonomi sehingga dapat memberikan kontribusi berupa pendapatan.

Dengan rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan mereka sangat tergantung kepada suami dalam pengambilan keputusan dalam keluarga, termasuk dalam menentukan boleh tidaknya perempuan bekerja dan dalam menentukan jenis usaha yang sebaiknya dilakukan. Hal ini juga mempengaruhi perempuan pada saat melakukan usaha. Kurangnya rasa percaya diri karena merasa berpendidikan rendah menyebabkan mereka sulit mengakses lembaga-lembaga yang ada. Kondisi dengan pendidikan yang rendah seperti ini merupakan gambaran umum pada keluarga PHK di Kelurahan Cigugur Tengah. Hanya sebagian kecil saja yang istrinya adalah tamatan SLTA. Perempuan tamatan SLTA tersebut nampak lebih mampu untuk mengambil keputusan sendiri dalam menjalankan usaha, umumnya mampu memberi masukan-masukan dalam keluarga dan jaringan pemasaran pun lebih berkembang karena tidak hanya bergantung pada suami.

Kenyataan PHK bertambah sulit karena masyarakat menganggap perempuan tidak perlu memperoleh pendidikan yang tinggi karena tugasnya lebih banyak di rumah atau di dapur, menjaga dan membersihkan rumah, mengurus anak-anak, memasak, mencuci dan menyetrika yang dapat diketahui dari tingkat pendidikan perempuan secara mayoritas hanya mampu menamatkan SD.

Responden menganggap pemerintah kelurahan belum mampu menangani persoalan rendahnya pendidikan. Saat dikonfirmasi dengan lurah, upaya untuk mengatasi hal tersebut telah diwujudkan, salah satunya dengan memberikan sarana atau tempat masyarakat untuk belajar melalui lembaga yang dinamakan Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) Al Fatimah. Lembaga ini diselenggarakan oleh pemerintah kelurahan bekerja sama dengan Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) dan cabang dinas pendidikan setempat, akan tetapi keberadaan lembaga ini tidak begitu eksis karena kurang dapat dimanfaatkan oleh ibu-ibu sehingga saat ini PKBM tersebut dimanfaatkan untuk anak-anak kurang mampu dan putus sekolah.

Alasan yang dikemukakan responden bermacam-macam, mulai dari semangat belajar yang sudah menurun dan lebih memilih untuk berupaya semaksimal mungkin untuk menyekolahkan anak-anaknya, waktu belajar yang tidak fleksibel karena dilaksanakan pada siang hari saat mereka justru sedang

(17)

mencari nafkah, kesulitan untuk memahami pelajaran yang diberikan dan tidak diijinkannya untuk mengikuti pelatihan.

Rendahnya pendidikan memerlukan waktu yang sangat lama untuk dipecahkan sehingga perlu diidentifikasi potensi ekonomi perempuan lainnya yang lebih memungkinkan untuk ditingkatkan. Potensi ekonomi perempuan tersebut adalah keterampilan. Keterampilan yang dimiliki mereka, terbatas pada keterampilan yang sederhana sehingga menurut mereka sangat mudah diduplikasi dan dipelajari oleh orang atau perempuan lain seperti membuat masakan, membuat makanan ringan dan menjahit.

Keterampilan yang dimiliki oleh perempuan adalah keterampilan tradisional yang diperoleh secara turun-temurun dan umumnya perempuan mempunyai lebih dari satu keterampilan tradisional tersebut. Namun demikian, keterampilan tersebut tidak dapat sepenuhnya diandalkan untuk memberi kontribusi pada pendapatan rumah tangga. Keterampilan lain yang memungkinkan perempuan untuk mencari nafkah adalah keterampilan yang diperoleh dari lembaga pelatihan, akan tetapi keterampilan seperti itu tidak dapat dijangkau perempuan karena untuk mengikuti pelatihan perlu ijin dari suami.

Dalam hal ini suami tidak memberikan ijin. Dengan keterampilan tradisional yang dimiliki secara turun-temurun tersebut, perempuan dapat mengembangkan usahanya salah satunya dengan membuat masakan. Namun mereka sulit mengembangkan usaha karena keterbatasan dalam hal modal seperti yang dialami oleh Ibu Mrc. Ibu Mrc berusaha dengan membuat masakan. Masakan dipasarkan dengan memasukkan ke beberapa warung yang ada di sekitar kantor kelurahan dengan anggapan dapat lebih cepat terjual karena banyak didatangi oleh orang-orang. Ia tidak mampu menerima pesanan lebih banyak karena tidak memiliki cukup modal dan tenaga yang terbatas.

Untuk menambah pendapatan dari hasil membuat masakan, setiap sore harinya Ibu Mrc membuat sulaman manik-manik untuk jilbab di rumah tetangga dimana ia mendapatkan upah sebesar Rp 2.000 untuk setiap sulaman jilbab yang diselesaikan. Upah ini dirasakan sangat kecil terutama mengingat manik-manik yang dipergunakan sebagai bahan baku fisiknya berbentuk sangat kecil sehingga harus dikerjakan dengan penuh ketelitian. Ia hanya dapat menyelesaikan enam sampai 10 (sepuluh) buah jilbab setiap harinya dari pukul 15.30 WIB hingga pukul 17.30 WIB. Jumlah tersebut tergolong sedikit karena biasanya perempuan lainnya yang juga mengerjakan sulaman tersebut dapat

(18)

menyelesaikan sekurang-kurangnya 12 (dua belas) buah jilbab. Hal ini dikarenakan Ibu Mrc mempunyai keharusan untuk pulang ke rumah sebelum pukul 18.00 WIB atau sebelum suaminya pulang ke rumah.

Kondisi Ibu Mrc berbeda dengan kondisi Ibu Up yang juga berusaha membuat masakan dengan cara dititipkan ke warung. Perbedaannya adalah Ibu Up hanya menitipkan masakan ke satu warung, yaitu milik Ibu Nni. Hal ini didasari karena adanya rasa percaya dan ikatan sosial yang lebih kuat dibandingkan menitipkan masakan ke warung lain yang lebih dekat. Warung Ibu Nni terletak di dalam gang yang sebetulnya lebih jauh untuk dijangkau daripada warung yang letaknya bersebelahan dengan rumah Ibu Up. Dengan demikian antar pengusaha informal dapat terjalin hubungan tidak saja secara sosial karena bertetangga akan tetapi juga hubungan ekonomi.

Ikatan sosial yang terjalin semakin memperkuat sikap saling menolong diantara mereka seperti halnya pada saat anak Ibu Up sakit, yang dikarenakan kedekatan sosialnya Bu Nni menjadi orang pertama yang dimintai tolong. Kepercayaan yang besar terhadap Ibu Nni dikarenakan adanya perasaan senasib, yaitu sama-sama merupakan istri dari suami yang terkena PHK. Bahan baku untuk membuat masakan didapat dari warung Ibu Nni dan dapat diperoleh dengan cara membayarnya dari hasil penjualan masakan.

Perempuan yang membuka usaha di bidang perdagangan telah mampu menentukan pasarnya masing-masing. Ada produk yang dipasarkan hanya di warung, sekolah dan pabrik terdekat maupun pasar lokal dan ada produk yang dipasarkan ke daerah lainnya seperti Kota Bandung dan Kabupaten Bandung. Produk tersebut dibedakan dari kemasannya. Produk untuk pasar lokal biasanya dibuat dalam bentuk kemasan kecil tanpa label nama sedangkan untuk pasar di luar daerah dibuat dalam bentuk kemasan lebih besar dan diberi label nama. Berbeda dengan perempuan yang bergerak di bidang jasa seperti menjahit pakaian dimana mereka tidak membedakan ongkos menjahit baik bagi pelanggan yang ada di dalam wilayah kelurahan maupun di luar kelurahan.

Perempuan yang kemudian tampil menjadi pencari nafkah memilih untuk berusaha di sektor informal dengan alasan sifatnya yang fleksibel sehingga sewaktu-waktu dapat beralih jenis usaha disesuaikan dengan pangsa pasar. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada waktu-waktu tertentu misalnya Bulan Ramadhan terdapat beberapa responden yang mencoba peluang lain, yaitu berusaha membuat makanan dengan jenis berbeda sesuai selera pasar

(19)

saat itu dengan menggunakan keterampilan yang diperoleh secara turun-temurun atau dari kebiasaan, seperti Ibu Id dan Ibu Enk.

Ibu Id yang tadinya membuat makanan kecil (sumpia) khusus pada Bulan Ramadhan beralih menjadi membuat masakan jadi dan minuman untuk buka puasa begitu pula dengan Ibu Enk yang tadinya membuat makanan kecil (comring) menjadi minuman buka puasa di Bulan Ramadhan. Hal ini terbukti dapat menambah pendapatan keluarga. Namun, tidak demikian halnya dengan Ibu Hn yang tidak dapat begitu saja berganti usaha karena hanya memiliki keterampilan menjahit, yaitu menjahit pakaian. Jenis usaha ini sangat tergantung kepada pesanan. Beralih jenis usaha tidak dapat dengan mudah dilakukan oleh perempuan yang hanya memiliki satu jenis keterampilan yang dapat diusahakan. Keterampilan usaha yang terbatas pada satu jenis saja tidak dapat mengikuti perkembangan jaman sehingga sulit berkembang.

Faktor penghambat internal lainnya adalah keterbatasan waktu yang dapat digunakan untuk melakukan aktivitas mencari nafkah. Adanya kewajiban untuk mengurus anak dan keluarga serta kebutuhan untuk mencari pendapatan melalui bekerja dapat berjalan dengan baik bila terdapat pembagian kerja yang fleksibel antara laki-laki dan perempuan. Kondisi ekonomi keluarga yang rendah juga tidak memungkinkan mereka untuk mengalihkan pekerjaan misalnya melalui jasa penyewaan pembantu rumah tangga. Sementara itu, sebagian besar laki-laki belum dapat menggantikan peran perempuan dalam mengurus keluarga di samping kurangnya pengalaman juga masih kurangnya kesadaran untuk menerima kondisi ini. Dampak yang ditimbulkan adalah perempuan disamping melakukan pekerjaan mencari nafkah juga tetap mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Selain faktor internal, juga terdapat faktor eksternal yang mempengaruhi peningkatan peran-ekonomi perempuan.

Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri perempuan. Faktor tersebut terdiri dari sumber daya lokal dan modal sosial. Sumber daya lokal yang dimaksud di sini adalah modal ekonomi berupa tenaga kerja. Di Kelurahan Cigugur Tengah tersedia tenaga perempuan usia produktif yang banyak (dapat dilihat pada peta sosial) namun tidak bisa dimanfaatkan karena ada hubungan gender yang menganggap perempuan tidak usah bekerja. Padahal modal tenaga

(20)

kerja ini sangat bisa dimanfaatkan untuk mengatasi masalah PHK itu. Sehingga yang diperlukan adalah kesadaran gender terutama pada suami dan masyarakat, yaitu dengan mengijinkan istrinya bekerja mencari nafkah.

Selain modal berupa tenaga kerja, pengembangan ekonomi harus pula ditunjang oleh modal ekonomi lainnya misalnya lahan. Di Kelurahan Cigugur Tengah, lahan sudah sangat terbatas sehingga lahan sulit untuk dimanfaatkan lagi untuk pengembangan ekonomi dalam mengatasi masalah-masalah ekonomi keluarga PHK. Terbatasnya lahan karena sudah dimanfaatkan secara optimal untuk permukiman dan itu pula relatif sempit. Lemahnya tenaga kerja sebagai modal ekonomi juga disebabkan pendidikan mereka yang kebanyakan SD, selain gender.

Faktor yang juga berpengaruh terhadap peran-ekonomi perempuan selain sumber daya lokal adalah modal sosial, seperti saling mengenal antar warga masyarakat, adanya sambatan atau tolong-menolong, hubungan kerjasama yang didasarkan atas kejujuran dan rasa saling percaya antar penduduk dan toleransi merupakan faktor yang dapat mendukung perempuan untuk meningkatkan peran ekonominya. Dengan modal sosial yang mereka miliki, mereka meluaskan jaringan atau membuat jaringan baru dengan kelembagaan lokal dalam mengatasi sulitnya memperoleh modal dan bahan baku.

Adanya rasa saling percaya antar warga masyarakat mendukung perempuan untuk membina jaringan-jaringan sosial dengan lembaga-lembaga dalam mengembangkan usaha ekonominya. Sebagai contoh, usaha membuat masakan yang dijalankan oleh Ibu Up telah memanfaatkan modal sosial berupa tolong-menolong yang didasarkan atas rasa saling percaya.

Ibu Up menitipkan masakan di warung Ibu Nni dengan bahan baku yang juga dibeli dari warung Ibu Nni. Jaringan yang semula merupakan jaringan ekonomi menumbuhkan rasa percaya satu sama lain sehingga mengembangkan pula jaringan sosial keduanya. Indikasinya adalah bahan baku yang diperoleh Ibu Up tidak perlu langsung dibayar melainkan dibayar kemudian dari hasil keuntungan penjualan masakan yang dititipkan. Modal sosial lebih banyak dimiliki oleh sifat perempuan sehingga dengan begitu rasa percaya dan tolong-menolong lebih mudah untuk dikembangkan.

Faktor eksternal selain kondisi jaringan dengan lembaga lokal pada saat ini lemah dikarenakan hubungan gender, terlihat dari rasa kurang percaya diri perempuan untuk berhubungan dengan lembaga-lembaga yang mayoritas beranggotakan laki-laki seperti pada kelembagaan kelurahan, dan merasa diri

(21)

adalah orang kecil dan tidak mempunyai kemampuan karena rendahnya potensi yang dimiliki padahal kelembagaan lokal yang ada merupakan potensi yang dapat berdaya guna untuk mendukung usaha peningkatan potensi ekonomi perempuan. jaringan-jaringan dengan lembaga yang dibentuk dari bawah seperti warung, pengajian dan arisan dapat dimanfaatkan karena sebagai lembaga yang tumbuh dalam masyarakat, lembaga itu dapat digunakan untuk menampung kegiatan ekonomi perempuan baik dalam hal pemasaran, bahan baku dan modal.

Sebagai contoh di sini ada arisan yang sudah mengarah ke pemenuhan kebutuhan rumah tangga, serta pengajian dimana ada rasa sebagai sesama kelompok yang bisa membantu mereka namun kelompok-kelompok ini kurang dimanfaatkan ke arah mengatasi masalah keluarga PHK. Lembaga-lembaga lokal yang dibentuk dari bawah merupakan lembaga yang bertahan hidup dalam masyarakata sehingga dapat dijadikan jaringan yang kuat untuk pemasaran, permodalan dan penyediaan bahan baku. Jaringan bersifat penghambat terhadap peran-ekonomi perempuan karena hubungan gender. Pemanfaatan jaringan yang ada dalam kelembagaan lokal merupakan pendayagunaan kelembagaan untuk meningkatkan potensi ekonomi perempuan.

Keuntungan dan Kerugian Sosial Bila Perempuan Bekerja Mencari Nafkah

Terdapat keuntungan dan kerugian sosial bila perempuan bekerja mencari nafkah. Keuntungan yang diperoleh keluarga bila perempuan bekerja mencari nafkah adalah terpenuhinya pendapatan rumah tangga PHK meskipun pendapatan yang dihasilkan juga belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan keluarga. Keuntungan lainnya adalah dapat menjadi kesempatan bagi perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya melalui pekerjaan yang dilakukan.

Selain keuntungan, juga terdapat kerugian sosial bila perempuan bekerja mencari nafkah, yaitu karena adanya anggapan bahwa keluarga akan rusak bila ditinggalkan perempuan untuk bekerja sebagai contoh yang dialami keluarga Ibu Wt yang bekerja sebagai buruh pabrik tekstil. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa Ibu Wt selain harus bekerja sebagai buruh juga harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga sehari-hari.

(22)

Ibu Wt sering melakukan kegiatan lembur demi menambah upah yang selama ini dirasakannya sangat kurang. Kegiatan lembur tersebut seringkali harus dilakukan hingga larut malam. Karena hal tersebut, suami dari Ibu Wt merasa tidak terurus dan anak-anak menjadi terbengkalai padahal Ibu Wt telah berusaha membagi waktu sebaik mungkin. Setelah digali informasi lebih dalam, diketahui bahwa suami Ibu Wt tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang menjadi tugas-tugas Ibu Wt karena menurutnya pekerjaan tersebut hanya pantas dilakukan oleh perempuan dan di saat Ibu Wt bekerja, suami tersebut lebih sering mengobrol dengan tetangga sehingga keadaan rumah terlihat kurang rapi.

Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa belum ada kesadaran laki-laki untuk bertukar peran dengan perempuan sehingga di saat perempuan mencari nafkah tugas perempuan tidak dirasakan suami menjadi tugasnya. Hal inilah yang menyebabkan kerugian-kerugian bila perempuan bekerja. Bila muncul kesadaran laki-laki bahwa jika mereka tidak berubah maka keadaan rumah tangga bisa lebih buruk maka sebetulnya kerugian sosial itu tidak akan terjadi. Dengan kata lain diperlukan perubahan pola pembagian kerja pada keluarga bila pencari nafkah utama (suami) tidak dapat menjalankan fungsinya.

Dalam hal ini dibutuhkan suatu pembagian kerja yang fleksibel antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga sehingga hubungan gender dimana perempuan seharusnya berada di rumah dan laki-laki mencari nafkah di luar bukan merupakan hal yang tidak bisa diubah demi terpecahkannya masalah ekonomi mereka.

Dari pembahasan-pembahasan di atas, maka dapat ditarik suatu garis besar kesimpulan bahwa (1) yang menjadi inti adalah faktor masalah gender yang berpengaruh terhadap semua faktor, (2) ada faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi peran-ekonomi perempuan yang bisa menjadi faktor penghambat dan pendukung, (3) ada benefit and social cost atau ada keuntungan dan kerugian sosial dikarenakan kurangnya kesadaran laki-laki untuk mau mengubah pola pembagian kerja dalam rumah tangga. Sedangkan bila memberikan peluang kerja bagi perempuan dan mengubah pola pembagian kerja maka berguna untuk keluarga itu sendiri karena kebutuhan keluarga bisa terpenuhi.

Referensi

Dokumen terkait

Streptococcus thermophilus dapat memanfaatkan sumber karbon lain pada susu kacang hijau, namun untuk menghasilkan yoghurt dengan kandungan asam laktat yang tinggi laktosa tetap

Sedangkan pada pernyataan kedua tentang kemampuan membangun kerja sama yang baik dengan karyawan yang lainnya mendapatkan respon sebesar 64 responden (64%) menjawab sangat

Berdasarkan hasil penelitian dari data angket yang disebarkan kepada nasabah BSGPS sebagai responden, ditemukan bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa

Dari pernyataan tersebut, dapat pula disimpulkan pada umpan campuran terdapat senyawa PAH yang berkurang kelarutannya pada kondisi pH<5 akibat pembentukan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji kerentanan empat strain ikan nila, yaitu: Sultana, Red NIFI, Srikandi, dan Aureus terhadap infeksi bakteri Streptococcus agalactiae.. Ikan

Secara teknis, pengunaan faktor produksi benih, pupuk kandang, pupuk NPK dan tenaga kerja sudah efisien, sedangkan penggunaan faktor produksi lahan belum efisien

[r]

(4) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah..