• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN SANKSI PIDANA MATI DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF RESTORATIF JUSTICE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN SANKSI PIDANA MATI DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF RESTORATIF JUSTICE"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

NEW RATU ADIL UNSA (NRAU) | https://journalfhunsa.com.index.php/newratuadilunsa VOLUME 5 NOMOR 1, 1 MARET 2021, ISSN PRINT : 2549-1350, Journal Fakultas Hukum Universitas Surakarta,

LOA : 003/NRAU/I/III/2021

https://journalfhunsa.com.index.php/newratuadilunsa

TINJAUAN SANKSI PIDANA MATI DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF RESTORATIF JUSTICE

Agustaf Yunastianto

Kepolisian Republik Indonesia Resort Ponorogo Email: highwaypatrol91@gmail.com

Abstrak

Pidana mati merupakan topik yang selalu menjadi kontroversi untuk dibahas. Kontroversi ini disebabkan oleh permasalahan yang sangat kompleks dalam pendasaran pelaksanaan hukuman mati tersebut. Perdebatan tentang hukuman mati, hingga kini masih menarik perhatian banyak kalangan yang menuai pro dan kontra di kalangan para akademisi maupun di kalangan praktisi. Setidaknya ada dua mainstream dalam hal ini, yaitu kelompok yang setuju hukuman mati dan kelompok yang menolak diberlakukan hukuman mati. Permasalahan dalam penelitian ini: Bagaimana pengaturan pidana mati di Indonesia dan Apakah pidana mati masih relevan diterapkan di Indonesia ditinjau dari perspektif pemidanaan. Tipe penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Hasil diperoleh: Pengaturan pidana mati di Indonesia. Penerapan pidana mati dalam Pasal 10 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) harus memperhatikan/ melihat kepada kasus-kasus yang akan diberlakukan, dalam arti termasuk dalam kejahatan berat. KUHP Indonesia membatasi kemungkinan dijatuhkannya pidana mati atas beberapa kejahatan berat seperti: Pasal 104 (makar terhadap Presiden dan wakil Presiden)., Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang), Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang), Pasal 140 ayat 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut), Pasal 340 (pembunuhan berencana), Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati), Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati), Pasal 444 (pembajakan di laut, pesisir dan sungai yang mengakibatkan kematian). Beberapa peraturan di luar KUHP juga mengancam kan pidana mati bagi pelanggarnya antara lain: Pasal 2 Undang-undang No.5 (PNPS) Tahun 1959 tentang wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan, Pasal 2 Undang-Undang No. 21 (Prp) Tahun 1959 tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi, Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951 tentang senjata api, amunisi atau bahan peledak, Pasal 13 Undang-Undang No. 11 (PNPS) Tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi, Pasal 23 Undang-Undang no. 31 T ahun 1964 tentang ketentuan pokok tenaga atom, Pasal 36 ayat 4 sub b Undang-Undang no. 9 tahun 1976

(2)

NEW RATU ADIL UNSA (NRAU) | https://journalfhunsa.com.index.php/newratuadilunsa

tentang Narkotika, Undang-Undang No.4 Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan.

Kata Kunci:Sanksi, Pidana Mati, Restoratif Justice

A. PENDAHULUAN

Pidana mati merupakan topik yang selalu menjadi kontroversi untuk dibahas. Kontroversi ini disebabkan oleh permasalahan yang sangat kompleks dalam pendasaran pelaksanaan hukuman mati tersebut. Perdebatan tentang hukuman mati, hingga kini masih menarik perhatian banyak kalangan yang menuai pro dan kontra dikalangan para akademisi maupun dikalangan praktisi. Setidaknya ada dua mainstream dalam hal ini, yaitu kelompok yang setuju hukuman mati dan kelompok yang menolak diberlakukan hukuman mati.

Bagi kelompok yang setuju hukuman mati beralasan bahwa pelanggaran berat terhadap hak hidup, harus diancam hukuman mati sehingga bisa menjadi efek jera. Sementara itu, kelompok yang menolak dilaksanakannya hukuman mati berpendapat bahwa hukuman mati merupakan pengingkaran terhadap hak asasi manusia, yaitu berupa hak hidup. Hakekat hukuman mati bukanlah pelanggaran hukum, karena penerapan hukuman mati justru ditegakkan dalam rangka melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) itu sendiri.1

Terkait dengan pro kontra pidana mati, Bagir Manan berpendapat bahwa dasar pembenaran ancaman dan penerapan pidana mati yaitu:

Pertama, alasan keagamaan yaitu kaidah agama yang memungkinkan mengenakan hukuman mati seperti adanya asas “siapa membunuh dibunuh kecuali dimaafkan keluarga korban” atau dalam kriminologi disebut teori taliansi. Kedua, dasar politik hukum. Politik hukum kolonial dapat berbeda dengan politik hukum dalam negara merdeka.WvS Belanda tidak memuat pemidanaan mati, sehingga tidak ada ancaman, apalagi penerapan pidana mati. Namun KUHPidana memuat pidana mati. Ini semata-mata berdasarkan politik hukum kolonial terhadap rakyat Indonesia. Ketiga, dasar sosiologis yaitu didapati perbuatan menghilangkan nyawa orang atau orang-orang lain dengan kekejian luar biasa seperti dengan sengaja membunuh dengan alasan yang sepele, dengan sengaja membunuh satu keluarga atau berpuluh-puluh anak sekolah di sekolah atau kerumunan orang yang sedang duduk-duduk bersama atau dengan kata lain yaitu suatu perbuatan anti kemanusiaan yang luar biasa. Sudah pasti pembunuh-pembunuh ini tidak pernah mendapat kuasa dari Tuhan untuk mencabut nyawa orang lain dengan keji. Suatu kontradiksi berpikir luar biasa sebagaimana dikemukakan pejuang HAM bahwa hukuman mati melanggar HAM dikarenakan korban yang dibunuh juga memiliki HAM seperti the right to life.2

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ilmiah dapat dipercaya kebenarannya apabila disusun dengan menggunakan suatu metode yang tepat. Metode adalah pedoman-pedoman, cara seseorang ilmuwan mempelajari dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapi.3 1. Jenis Penelitian

1 Imam Yahya, Eksekusi Hukuman Mati Tinjauan Maqāṣid al-Sharī’ah dan Keadilan, Al-Ahkam

Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. 23 Nomor 1 April 2013, hlm. 81

2 Bagir Manan, Menurut Majelis Mahkamah Agung Hukuman Mati Bertentangan dengan UUD 1945,

Majalah Varia Peradilan Tahun XXVII No. 328 Maret 2013, hlm. 19.

3 Soekanto, Soerjono. 2008. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas. Indonesia (UI Press).

(3)

NEW RATU ADIL UNSA (NRAU) | https://journalfhunsa.com.index.php/newratuadilunsa

Penelitian ini adalah merupakan jenis penelitian Ilmu Hukum dengan Aspek Empiris atau jenis penelitian hukum non doktrinal atau jenis penelitian sosio legal research dengan pendekatan penelitian yang bersifat kualitatif deskriptif.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini adalah merupakan penelitian yang bersifat deskriptif yaitu bertujuan menggambarkan apa adanya secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran sutau gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. 4

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam rangka mengumpulkan data lapangan, agar didapatkan keterangan lebih jelas, detil, dan rinci maka peneliti menggunakan teknik-teknik sebagai berikut: a. Pendekatan perundang-undangan (Statute approach).

Dalam penelitian normatif harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, hal ini karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi focus sekaligus tema sentral suatu penelitian.5 Pendekatan perundang-undangan digunakan oleh peneliti untuk meneliti dan menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pidana mati di Indonesia.

b. Pendekatan Konseptual (conceptual approach).

Pendekatan konseptual (conceptual approach) digunakan oleh penulis dalam penelitian ini untuk meneliti dan menganalisis apa yang dimaksud dengan konsep pidana mati. Pendalaman ini diperlukan untuk memberikan pemahaman mengenai eksistensi pidana mati di Indonesia ditinjau dari perspektif teori pemidanaan. Oleh karena itu penulis perlu menelaah pandangan-pandangan sarjana hukum dari berbagai negara mengenai hal pidana mati.

c. Pendekatan Kasus (Case Approach).

Dalam penelitian hukum normatif, pendekatan kasus (case approach) dipergunakan untuk penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus kajian.6 Dengan demikian, pendekatan kasus (case approach) dalam penelitian ini digunakan oleh penulis untuk melihat putusan pidana mati di Indonesia.

d. Pendekatan Perbandingan.

Pendekatan perbandingan dalam penelitian digunakan untuk mengadakan studi perbandingan. Studi perbandingan hukum merupakan suatu kegiatan untuk membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain atau hukum suatu negara dari suatu waktu tertentu dengan hukum dari waktu yang lain. Selain itu juga membandingkan suatu putusan pengadilan yang satu dengan

4 ibid. hal 19

5. Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang,

2010, Hal. 302.

(4)

NEW RATU ADIL UNSA (NRAU) | https://journalfhunsa.com.index.php/newratuadilunsa

putusan pengadilan lainnya untuk masalah yang sama.7 Dengan asumsi yang demikian, pendekatan perbandingan dalam penelitian ini digunakan untuk membandingkan hukuman mati di Indonesia dengan negara Belanda, Malaysia dan Amerika Serikat.

4. Jenis Data

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan kajian yang dilakukan oleh peneliti mengenai pelaksanaan pidana mati di Indonesia. Bahan-bahan hukum tersebut adalah:

a. Bahan hukum primer.

Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma dasar atau kaidah dasar yaitu pembukaan UUD 1945, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasi, yurisprudensi dan traktat.8 Sehingga disini difokuskan penelitian pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

b. Bahan hukum sekunder.

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitan, hasil-hasil karya dari kalangan hukum, pendapat para sarjana hukum.9

Dalam penelitian mengenai eksistensi hukuman mati di Indonesia dalam Perspektif Teori pemidanaan, bahan hukum sekunder diperoleh dari buku-buku teks yang membahas mengenai hukum pidana, terutama buku-buku yang membahas mengenai pidana mati serta buku-buku yang terkait dengan pidana mati. Serta pendapat-pendapat atau doktrin para ahli hukum baik dalam negeri maupun luar negeri mengenai pidana mati.

c. Bahan Hukum Tertier.

Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Misalnya kamus, ensiklopedia, website dan lain-lain.10

5. Teknik Analisis Data

Dari bahan hukum yang diperoleh dalam studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan, maka penulis menguraikan dan menghubungkan sedemikian rupa sehingga tersaji dalam tulisan yang tersistematisasi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah tersebut diatas. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari penerapan pidana mati dalam perspektif teori pemidanaan. Selanjutnya bahan hukum yang ada tersebut di analisis untuk melihat pengaturan pidana mati di Indonesia serta eksistensi penerapan pidana mati di Indonesia dalam perspektif teori pemidanaan.

7 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Cet. Kesepuluh, Kencana, Jakarta, 2015,

hlm. 172-173.

8 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op Cit, hal. 13.

9 Ibid. 10 Ibid.

(5)

NEW RATU ADIL UNSA (NRAU) | https://journalfhunsa.com.index.php/newratuadilunsa C. PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dikemukakan dalam hasil tersebut maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Sebagaimana diketahui bahwa eksistensi pidana pidana mati dituangkan dalam KUHP, yang secara terperinci diatur di dalam Pasal 10. Menurut Pasal 10 KUHP Pidana terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari: (1) Pidana Mati; (2) Pidana Penjara; (3). Kurungan; dan (4). Denda. Sedangkan Pidana tambahan terdiri dari: (1). Pencabutan Hak-hak Tertentu; (2). Perampasan Barang-barang Tertentu, dan (3). Pengumuman Putusan Hakim.11

Berdasarkan uraian Pasal 10 KUHP tersebut dapatlah diketahui bahwa sanksi pidana mati merupakan salah satu hukuman yang masih jelas keberadaannya sebagai bagian dari hukuman (pidana) yang dapat dijatuhkan. Dan dalam pasal 11 KUHP menyatakan bahwa : “

hukuman mati dijalankan oleh algojo di tempat penggantungan, dengan menggunakan sebuah jerat dileher terhukum dan dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri”.

Dalam prakteknya setelah tahun 1918 tersebut telah mengalami beberapa perubahan pada saat Jepang menjajah Indonesia. “pada waktu itu ada 2 peraturan dijalankan, yaitu peratuan pasal 11 KUHP dan satu lagi praturan baru yang di undangkan olrh pemerintah Jepang yang menghendaki pidana mati dilaksanakan dengan tembak mati namun kemudian setelah kesatuan RI tercapai dimulai dengan proklamasi kemerdekaan indinesia, maka pidana mati dilakukan kembali dengan cara pidana gantung seperti yang telah tercantumkan didalam pasal 11 KUHP.

2. Pidana mati dan pidana penjara merupakan bagian dari jenis-jenis pidana yang berlaku berdasarkan hukum pidana positif Indonesia. Sebagaimana diketahui kedua bentuk pidana tidaklah dapat dikumulasikan. Hanya saja dalam tataran das sein hal ini sering terjadi terhadap terpidana mati. Oleh karena keganjilan tersebut penulis akan mencoba menguraikan pidana mati dan pidana penjara secara terpisah serta korelasi kedua jenis pidana dalam permasalahan pidana mati guna mempermudah memahami hasil penelitian penulis yang akan diuraikan pada bab berikutnya.

a. Pidana Penjara

Pidana penjara merupakan jenis hukuman yang berdasarkan pelakasanaannya mempunyai kemiripan pelaksanaan pidana kurungan. Hal ini dapat dilihat dari pendapat Satochid Kartanegara yang menyatakan kedua bentuk hukuman ini sama-sama dilakukan dengan cara merampas kemerdekaan orang-orang yang melanggar undang-undang. Hanya saja, pada pidana kurungan si narapidana mempunyai beberapa hak istimewa yang tidak dipunyai oleh narapidana hukuman penjara dan begitu juga sebaliknya. Adapun hak yang tidak dimiliki oleh narapidana hukuman penjara ialah hak pistole, sebaliknya narapidana pidana kurungan tidak berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.

Berdasarkan sejarah, pelaksanaan pidana penjara sebagai bentuk hukuman yang merampas kemerdekaan barulah dikenal pada awal abad ke-18. Pada saat itu pidana pejara lahir sebagai pidana baru yang berbentuk membatasi kebebasan bergerak, merampas kemerdekaan, menghilangkan kemerdekaan yang harus dirasakan sebagai derita selama menjalani pidana penjara bagi

(6)

NEW RATU ADIL UNSA (NRAU) | https://journalfhunsa.com.index.php/newratuadilunsa

narapidana.12 Indonesia sendiri mengenal pidana penjara secara normatif sejak diberlakukan berdasarkan ordonantie10 Desember 1917 Staatsblad tahun 1917 No. 708 yang dikenal dengan Gestichtenreglement13 yang berinduk pada WvS.

Pada saat ini, pelaksanaan pidana penjara di Indonesia dilaksanakan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dan dan berbagai peraturan dibawahnya. Dalam hal itu, pelaksanaan pidana penjara disesuaikan dengan fungi pokok Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat narapidana dibina selama menjalani pidana yang dijatuhkan padanya dan dalam hal ini narapidana juga dikategorikan sebagai warga binaan Lembaga Pemasyarakata. Adapun fungsi pokok Lembaga Pemasyarakatan yaitu membina serta mempersiapkan para narapidana supaya dapat hidup bermasyarakat tanpa menggangu dan merugikan anggota masyarakat yang lain.14

Berdasarkan pasal 12 ayat (1) KUHP, pidana penjara dibagi menjadi dua yaitu seumur hidup dan selama waktu tertentu. Dilihat dari sudut penjatuhan pidana dan juga sudut terpidana, pidana seumur hidup bersifat pasti (definite sentence) karena si terpidana dikenakan jangka waktu yang pasti (a definite periode of time), yaitu menjalani pidana sepanjang hidup di dunia ini15. Selain itu, pidana seumur hidup juga dianggap sebagai bentuk hukuman yang berlebihan bagi beberapa ahli hukum dan masyarakat pemerhati hak asasi manusia. Bahkan ada pendapat seorang terpidana mati (Doris Ann Foster) di salah satu Negara bagian Amerika Serikat yang secara frontal menolak pidana penjara seumur hidup. Ia menyatakan, bahwa ia hanya mau mati atau dibebaskan (lebih baik mati dari pada pidana seumur hidup. I want to die or to be free, katanya.16

Menurut penulis, apa yang disampaikan Foster sangatlah menarik untuk dicermati, dikarenakan hampir sebagia besar terpidana mati memiliki pandangan yang berbeda sengan Foster. Namun, Pada pidana penjara selama waktu tertentu ukuran pemidanaan (strafmaat) paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut. Pidana penjara selama waktu tertentu dapat pula dijatuhkan dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang diancam dengan pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu atau apabila terdapat perbarengan (concursus), pengulangan (recidive) ataupun ditentukan lain oleh aturan perundang-undangan di luar KUHP.

Selain pidana penjara seumur hidup, bentuk pidana penjara selama waktu tertentu berdasarkan fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial warga binaan pemasyarakatan yang telah melahirakan suatu sistem pembinaan.17

12 Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung,

2006, hlm. 88.

13 Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Op.cit., hlm. 61.

14 Dalil Adisubroto, Pembinaan Narapidana sebagai Sarana Merealisasikan Tujuan Pidana Lembaga

Pemasyarakatan (Disampaikan dalam Seminar Nasional Tentang Pemasyarakatan : Pengintegrasian

Tujuan Pemidanaan dengan Sistem Pemasyarakatan Mendatang. Fakultas Hukum UII 24 Juli 1995.

15 Dwidja Priyatno, Op.cit., hlm. 1.

16 A. Hamzah & A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan,

Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hlm. 74.

(7)

NEW RATU ADIL UNSA (NRAU) | https://journalfhunsa.com.index.php/newratuadilunsa

Berdasarkan penjelasan di atas, timbullah kontradiksi yang mencolok antara pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu berdasarkan aspek tujuan pemidanaan. Dalam hal ini, Barda Nawawi arief berpendapat : Mengingat sifat/karakterisitik pidana seumur hidup yang demikian, maka sebenarnya ada kontradiksi ide antara pidana seumur hidup dengan sistem pemasyarakatan ini. Pidana penjara seumur hidup lebih berorientasi pad aide perlindungan kepentingan masyarakat, sedangkan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan lebih berorientasi pada ide perlindungan kepentingan masyarakat, sedangkan pidana penjara denagn sistem pemasyarakatan lebih berorientasi pada ide perlindungan/pembinaan dan perbaikan (rehabilitasi) si terpidana untuk dikembalikan kepada masyarakat.18

Jadi dapat penulis simpulkan bahwa ada ketidak singkronan pada sistem pemasyarakatan dengan bentuk pidana seumur hidup. Oleh karena itu, sudah sepatutnya diadakan perbaikan-perbaikan pada pidana penjara sebagai sarana penal yang paling “laris” untuk menghindari kekeliruan yang dapat muncul di kemudian hari.

b. Pidana Mati

Bentuk pidana ini merupakan hukuman yang dilaksanakan dengan merampas jiwa seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang. Pidana ini juga merupakan hukuman tertua dan paling kontroversial dari berbagai bentuk pidana lainnya. Tujuan diadakan dan dilaksanakannya hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan terhadap ketentaraman yang sangat ditakuti oleh umum.19

Berdasarkan sejarah pidana mati bukanlah bentuk hukuman yang relatif baru di Indonesia. Pidana ini telah dikenal sejak zaman kerajaan-kerajaan. Hal ini dapat dibuktkan dengan memperhatikan jenis-jenis pidana menurut hukum adat atau huum para raja dahulu, umpamanya :

a. mencuri dihukum potong tangan ;

b. pidana mati dilakukan dengan jalan memotong-motong daging dari badan (sayab), kepala ditumbuk (sroh), dipenggal dan kemudian kepalanya ditusuk dengan gantar (tanjir), dan sebagainya.20

D. PENUTUP

Pengaturan pidana mati di Indonesia. Penerapan pidana mati dalam Pasal 10 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) harus memperhatikan/ melihat kepada kasus-kasus yang akan diberlakukan, dalam arti termasuk dalam kejahatan berat. KUHP Indonesia membatasi kemungkinan dijatuhkannya pidana mati atas beberapa kejahatan berat seperti: Pasal 104 (makar terhadap Presiden dan wakil Presiden)., Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang), Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang), Pasal

18 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

2005, hlm. 238.

19 R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia (Edisi Revisi), Rajawali Pers, Jakarta, 2005, hlm.

187.

20 R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Politea, Bogor,hlm

(8)

NEW RATU ADIL UNSA (NRAU) | https://journalfhunsa.com.index.php/newratuadilunsa

140 ayat 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut), Pasal 340 (pembunuhan berencana).

Pidana mati dalam perspektif pemidanaan. Eksistensi pidana mati dalam perspektif hukum pidana adalah bahwa pidana mati tetap dipertahankan dalam peraturan hukum di Indonesia, karena dianggap tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, dan hal ini diperkuat dengan serta keputusan Mahkamah Konstitusi.

DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi, Pradya Paramita. Jakarta, 1986.

Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1983.

Bagir Manan, Menurut Majelis Mahkamah Agung Hukuman Mati Bertentangan dengan UUD 1945, Majalah Varia Peradilan Tahun XXVII No. 328 Maret 2013.

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

_____________, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Prenada Media Group, Jakarta, 2011.

Djisman Samosir, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1992.

Dvannes, Restorative Justice Briefing Paper-2, Centre for Justice & Reconciliation, November. 2008

Elmar I. Lubis, Perkembangan Isu Hukuman Mati Di Indonesia, Opinio Juris, Volume 04, Januari - April 2012.

Imam Yahya, Eksekusi Hukuman Mati Tinjauan Maqāṣid al-Sharī’ah dan Keadilan, Al-Ahkam Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. 23 Nomor 1 April 2013.

J.E Sahetapy. 2007. Pidana Mati Dalam Negara Pancasila, Citra aditya, Bandung Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia

Publishing, Malang, 2010.

Karl O Chistiansen, Some Consideration on the Posibility of a Rational Criminal Policy, Resource Material Series No. 7, UNAFEI, Tokyo, 1974.

Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoritis, dan Praktik, Almuni, Bandung, 2008.

Mac Iver, The Web of Goverrment, The Macmillan Company, New York, 1967

M. Lawrence Friedman, The Legal System; A Social Science Perspective, Rusell Sage Fundation, New York, 1975

Referensi

Dokumen terkait

1) Kuadran I (Prioritas Utama) menunjukkan tidak ada hasil atau tidak ada atribut yang masuk kedalam kuadran I. 2) Kuadran II (Pertahankan Kinerja) menunjukkan

Bentuk pengelolaan ekosistem terumbu karang dan ikan ekor kuning di perairan Kepulauan Seribu secara terpadu dan berkelanjutan yang diusulkan dalam penelitian ini

Selama kurun waktu tahun 1979 -1984, seba- gian besar rumah tangga di perkotaan mengkon- sumsi jagung lebih tinggi dari tahun sebelumnya, sebaliknya untuk tahun 1984 -1987,

Fenomena ini semakin menguatkan bahwa metode usulan lebih kuat dalam menghadapi tingkat noise yang lebih tinggii dibandingkan metode AntShrink, selain itu muncul kondisi

BIOS menyediakan antarmuka komunikasi tingkat rendah, dan dapat mengendalikan banyak jenis perangkat keras (seperti keyboard). ).Karena kedekatannya dengan perangkat keras,

Selain itu, dari hasil percobaan pada proses kompresi dihasilkan sebuah pesan teks yang berbeda dengan pesan teks yang asli dengan kata lain kompresi dengan