• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLUASAN YURISDIKSI HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK. Oleh: Alfons Zakaria

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERLUASAN YURISDIKSI HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK. Oleh: Alfons Zakaria"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PERLUASAN YURISDIKSI HUKUM PIDANA

DALAM UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Oleh: Alfons Zakaria

Perkembangan teknologi telah memberikan peluang terhadap terciptanya suatu bentuk kejahatan modern yang memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan kejahaan konvensional. Salah satu kejahatan modern tersebut adalah kejahatan dalam dunia maya. Kejahatan ini memiliki ruang lingkup yang sangat luas, melampaui batas-batas geografis, sulit dikontrol dan tanpa batas-batas. Pelampauan terhadap batas-batas greografis tersebut telah membuat kejahatan ini menjadi kejahatan lintas negara. Kewenangan wilayah hukum atau yurisdiksi suatu negara dalam penanganan kasus ini otomatis berubah. Kewenangan tersebut harus mampu menjangkau sampai ke luar dari wilayah hukum suatu negara. Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah memberikan kewenangan Indonesia untuk menangani kasus kejahatan di dunia maya yang baik dilakukan di dalam negeri maupun yang dilakukan di luar negeri. Tulisan ini akan membahas tentang pengaturan yurisdiksi hukum pidana Indonesia dalam menangani kejahatan di dunia maya dalam undang-undang tersebut.

The advancement of technology provides more space for a modern crime which differs from the conventional one and called as cyber crime. Such crime has a sophisticated character such as borderless geographically and difficult to be controlled. Therefore, cyber crime is considered as transnational crime which to some extent changes the paradigm of jurisdiction on that crime by State authorities. The jurisdiction of state should not only cover the crime domestically but also across its border or internationally. The Act No.11/2008 on the Electronic Information and Commerce gives possibility for the goverment to apply its jurisdiction across the border. This article will investigate the scope of the Act No.11/2008 in dealing with the issues of jurisdiction on the cyber crime.

The technological advance have provided much room for a kind of modern crime with different characteristics from the conventional one. One kind of modern crime is widely known as cyber crime. This kind of crime has a complex characteristic, beyond the geographical border, difficult to control and borderless. The geographical cross border makes this crime viewed as transnational crime. Therefore, the state juridiction to managed cyber crime is change. It is argued that state jurisdiction should be able to cover and reach over its border. The Information and Electronic Transaction Act No 11/2008 constitute that state have an authority to extend its jurisdiction to deal with cyber crime both in domestic or international terms. This article will focus on how criminal jurisdiction regulates its authority to deal with cyber crime according to the national act.

(2)

PENDAHULUAN

Fenomena cyber crime di Indonesia mulai tidak asing lagi untuk diperbincangkan. Banyak istilah yang digunakan untuk mengistilahkan cyber crime di Indoesia, misalnya kejahatan mayantara, kejahatan siber, kejahatan komputer, kejahatan dunia maya, kejahatan virtual, dan sebagainya. Awalnya terjadi perdebatan antar ahli hukum tentang pengaturan cyber crime di Indonesia. Setidaknya ada dua pendapat tentang keberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap kejahatan mayantara ini. (M. Arsyad Sanusi, 2007:41) Pendapat pertama mengatakan bahwa KUHP mampu menangani kejahatan mayantara. Alasannya adalah bahwa kejahatan mayantara sebenarnya bukanlah kejahatan baru, sehingga masih terjangkau oleh KUHP untuk menanganinya. Pendapat kedua menyatakan bahwa kejahatan mayantara memerlukan ketentuan khusus atau undang-undang tersendiri. Pendapat ini beralasan bahwa kejahatan mayantara memiliki cara, lingkuangan, waktu dan letak yang berbeda dengan kejahatan yang lain, sehingga KUHP yang sekarang berlaku tidak siap untuk menangani kejahatan tersebut.

Perdebatan tersebut akhirnya terjawab sudah. Munculnya Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah menjadi jawaban atas perdebatan para ahli hukum sekaligus juga memenuhi tuntutan masyarakat akan peraturan yang melindungi masyarakat dalam melakukan aktifitas di dunia maya.

Pihak-pihak yang terlibat dalam kejahatan mayantara tidak selalu berada dalam satu negara namun sering kali mereka berada berlainan negara. Penulis akan memberikan contoh tentang cyberporn melalui pembuatan situs (website) yang bermuatan pornografi. Pembuatan suatu website yang bermuatan pornografi melibatkan banyak pihak. Jika dipersamakan antara website dengan suatu barang, maka kita akan mengetahui pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan website tersebut dapat digolongkan dalam tiga

(3)

kelompok, yaitu produsen yang menghasilkan suatu website, distributor yang menyebarkan website dan konsumen yang memanfaatkan website. Kelompok produsen terdiri dari: Pemilik website, Penyedia web domain name, Penyedia web hosting, Penyedia web design dan Sponsor. Kelompok distributor terdiri dari: Internet Service Provider (ISP) dan Warung internet (warnet). Sedangkan konsumen adalah pengguna atau user.

Akhir-akhir ini banyak sekali muncul website yang berisikan materi pornografi yang disajikan dalam nuansa Indonesia. Website tersebut berpengantar Bahasa Indonesia dengan menyajikan foto orang Indonesia dalam keadaan telanjang, cerita panas yang menggambarkan tenang kegiatan seksual dan video porno yang dilakukan oleh orang Indonesia. Website tersebut oleh pemiliknya didaftarkan dengan menggunakan domain name dan webhosting pada pihak penyedia domain name dan webhosting yang berada di luar Indonesia. Website tersebut jelas telah merugikan harkat dan martabat bangsa Indonesia serta merusak generasi mudah Indonesia, namun aparat penegak hukum kita selama ini tidak mampu berbuat apapun terhadap para pihak yang terlibat dalam pembuatan website tersebut. Salah satu yang menjadi hambatan adalah tentang kewenangan negara Indonesia untuk melakukan pemeriksaan terhadap warga negara lain. Sebelumnya tidak ada suatu aturan pun di Indonesia yang memberikan kewenangan terhadap aparat penegak hukum untuk melakukan pemeriksaan terhadap warga negara lain yang melakukan kejahatan mayantara.

Keterlibatan pelaku suatu kejahatan yang berasal dari beberapa negara dan dampak yang ditimbulkan dirasakan oleh beberapa negara menjadikan kejahatan mayantara menjadi katagori kejahatan lintas negara atau transnasional crime. Dalam penanganan kejahatan mayantara ini Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah melakukan langkah efektif dengan melakukan perubahan

(4)

terhadap kewenangan atau yurisdiksi undang-undang tersebut yang sebelumnya diatur terlalu sempit dalam KUHP. Kewenangan atau yurisdiksi inilah yang akan menjadi tema utama dari penulis.

PERMASALAHAN

Berlakunya Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memberikan kewenangan yang tanpa batas teritori terhadap hukum Indonesia untuk menjangkau pelaku kejahatan mayantara yang ada di luar wilayah Indonesia. Penulis mengambil permasalahan yang akan dibahas adalah bagaimanakah pengaturan tentang kewenangan atau yurisdiksi hukum pidana Indonesia dalam menangani kejahatan mayantara dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

PEMBAHASAN

A. Internet dan Kejahatan Mayantara

Seperti yang telah dikemukakan diatas, kejahatan mayantara memiliki karakteristik yang berbeda dengan kejahatan konvensional yang lain. Hal ini tidak lepas dari sifat internet yang menjadi media utama dalam melakukan kejahatan mayantara. Menurut Dan Jekker B. Svantesson internet mempunyai karakteristik antara lain sebagai berikut (Svantesson, Dan Jekker B., 2005:44-59):

1. borderless (tanpa batas)

Internet tidak mengenal batas-batas secara geografis. Kemampuan internet dapat menjangkau bebas seluruh negara tanpa ada pemeriksaan di batas setiap negara. Seperti halnya telepon, orang dapat menggunakannya untuk berhubungan dengan orang lain yang berada jauh jaraknya.

(5)

2. geographical independence (kebebasan wilayah)

Karakter ini hampir sama dengan borderless, namun perbedaannya teletak pada aspek persamaan informasi yang didapat tanpa membedahkan wilayah pengguna internet. Informasi yang ada di website yang didapat oleh pengguna yang berada di belahan dunia yang lain, akan sama persis dengan informasi yang didapat oleh pengguna yang berada di sebelah ruang pembuat website tersebut. Aspek berikutnya adalah virtually instantaneous, yaitu tentang tidak adanya perbedaan besar antara waktu yang dibutuh untuk menggunakan website antara orang yang berada di belahan dunia lain dengan orang yang berada di samping server website tersebut.

3. limited language dependence (batasan penggunaan bahasa)

Karakteristik internet saat ini masih adanya keterbatasan penggunaan bahasa yang digunakan. Umumnya bahasa yang digunakan adalah dalam Bahasa Inggris. Namun akhir-akhir ini telah bermunculan website-website yang telah menggunakan beberapa bahasa dalam website yang sama, contohnya adalah website yang berfungsi sebagai the search engine (mesin pencari).

4. one to many (satu untuk banyak)

Suatu website yang telah dibuat dapat diakses oleh orang yang berada di seluruh dunia dalam waktu yang bersamaan. Karakteristik ini yang membedakan dengan telepon dan faximile yang hanya one to one, hal ini adalah konsekuensi dari karakteristik internet yang borderless dan geographical independenc. Sehingga dengan sifat yang borderless, geographical independenc dan one to many inilah yang menjadikan internet sebagai media komunikasi pertama yang sangat sulit dikontrol (extremely difficult to control).

(6)

Setiap orang yang ingin mendapatkan informasi yang diharapkan melalui internet, tidak akan mendapati banyak tahapan untuk dilalui agar memperoleh informasi tersebut. Informasi tersebut dapat langsung diperoleh pada website yang yang tersedia.

6. widely used (penggunaan yang luas)

Karakter ini merupakan konsekuensi dari semua karakteristik yang ada di atas. Orang dapat menggunakan internet dimanapun mereka berada, tanpa ada perbedaan waktu untuk mencapainya serta dapat mendapatkan informasi yang sama dan bersamaan dengan banyak orang lain.

7. lack of central control (kuranganya pengawasan terpusat)

Tidak ada satupun lembaga yang berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap internet secara internasional. Penyalagunaan internet hanya ditanggulangi oleh otoritas local, walaupun karakteristik internet yang tidak mengenal batas. Hal ini menyebabkan antisipasi dan penanganan penyalagunaan internet tidak mampu berjalan secara efektif dan komprehansif.

Secara garis besar, kejahatan-kejahatan mayantara dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu kejahatan yang menjadikan komputer sebagai tujuan dan kejahatan yang menggunakan komputer atau internet sabagai sarana. Kejahatan yang menjadikan komputer sebagai tujuan contohnya adalah cracker. Sedangkan kejahatan yang menggunakan komputer atau internet sabagai sarana contohnya adalah cyber gambling, cyber fraud, cyber narcotism, cyber smuggling, cyber attacks on critical infrastructure, cyber balckmail, cyber threatening, cyber terrorism dan cyber pornography/sex. Jenis-jenis kejahatan yang dikatagorikan sebagai kejahatan mayantara diantaranya adalah (Didik M. Arief Mansur, Elisatris Gultom, 2005: 26-27):

(7)

a. Cyber terorism, National Police Agency of Japan (NPA) mendefinisikan cyber terorism electronic attack through computer networks against critical infrastructures that have potential critical effects on social and economic activities of the nation.

b. Cyber pornography, penyebarluasan obscene materials termasuk termasuk pornography, indecent exposure dan child pornography

c. Cyber harassment, pelecehan seksual melalui email, website atau chat programs d. Cyber stalking, crimes of stalking melalui penggunaan komputer dan internet e. Hacking, penggunaan programming abilities dengan bertentangan dengan hukum.

Sedanggkan hacker adalah orang yang memasuki atau mengakses jaringan komputer secara tidak sah (tanpa ijin) dengan suatu alat atau program tertentu, dengan tujuan untuk merusak, merubah data dengan menambah atau mengurangi. (Sutarman, 2007:68)

f. Carding (credit card fraud), melibatkan berbagai macam aktivitas yang melibatkan kartu kredit. Carding muncul ketika sesorang yang bukan pemilik kartu kredit menggunakan kartu kredit tersebut secara melawan hukum.

Ada juga yam membedakan kejahatan mayantara dalam tiga kelompok, yaitu a. Cyber crimes against property (kejahatan mayantara terhadap hak milik) b. Cyber crimes against persons (kejahatan mayantara terhadap orang) c. Cyber terorism (kejahatan berdimensi luas)

Dengan memperhatikan jenis-jenis kejahtan sebagaimana dikemukakan diatas dapat digambarkan kejahatan mayantara mempunyai ciri-ciri khusus, yaitu:

a. Non violence (tanpa kekerasan)

b. Minimize of physical contact (sedikit melibatkan kontak fisik); c. Menggunakan peralatan dan teknologi;

(8)

d. Memanfaatkan jaringan telekomunikasi global.

B. Yurisdiksi Hukum Pidana dalam KUHP a. Azas teritorialitet

Azas ini terdapat dalam ketentuan pasal 2 KUHP: “Aturan pidana dalam perundang-undangan pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam wilayah Indonesia”. Azas territorial ini diperluas lingkupnya dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 3 KUHP: “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang diluar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”. Sedangkan penafsiran resmi perahu Indonesia dirumuskan dalam pasal 95 KUHP, yang berbunyi “Yang di maksud prahu Indonesia adalah perahu yang mempunyai surat laut atau pas kapal, atau surat izin sebagai pengantinya sementara, meurut aturan-aturan hukum mengenai surat laut dan pas kapal di Indonsia.

Azas ini berlandaskan kedaulatan negara di wilayahnya sendiri. Hukum pidana berlaku bagi siapa pun juga yang melakukan delik di wilayah negara tersebut. Kewajiban suatu negara untuk menegakkan hukum dan menjaga ketertiban hukum di wilayahnya sendiri terhadap siapa pun. (Andi Hamzah, 2000:64)

b. Azas Personalitet atau Asas Nasional Aktif

Berlakunya hukum pidana menurut azas personalitet adalah tergantung atau mengikuti subyek hukum atau orangnya, yakni warga negara di manapun keberadaanya. (Adami Chazawi, 2005:209) Dalam KUHP Indonesia asas

(9)

personalitet tidak dapat di terapkan terhadap semua tindak pidana, melainkan hanya tindak pidana oleh pasal 5 KUHP dinyatakan dapat diberlakukan asas personalitet. Isi pasal 5 ayat (1) KUHP.

Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi warga negara, yang di luar wilayah Indonesia melakukan:

Ke 1: salah satu kejahatan tersebut dalam bab 1 dan 11 buku ke dua dan pasal-pasal 160,161,240,279,450,dan pasal 451

Ke 2: perbutan yang menurut undang-undang Indonesia di kategorikan sebagai kejahatan dan di tempatkan tindak pidana itu di lakukan di ancam pidana.

c. Asas perlindungan atau Asas Nasional Pasif

Asas perlindungan atau asas nasional pasif adalah asas berlakunya hukum pidana menurut atau berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi dari suatu negara yang dilanggar di luar wilayah Indonesia. Kepentingan hukum yang dilindungi ini bukan didasarkan pada kepentingan hukum pribadi, tetapi pada kepentingan hukum negara dan bangsa atau kepentingan nasional dari negara Indonesia. (Adami Chazawi, 2005:219) Asas ini terdapat pada Pasal 4 KUHP. d. Asas Universal

Asas ini diberlakukan terhadap kejahatan yang bersifat merugikan kepentingan internasional dan terjadi dalam suatu wilayah yang tidak termasuk kedaulatan suatu negara manapun, seperti di lautan terbuka atau di daerah kutub. (C.S.T. Kansil, Chrisine S.T. Kansil, 2004:25) Dalam KUHP asas in terdapat pada Pasal 4 khususnya ayat (2), (3) dn (4).

C. Yurisdiksi Hukum Pidana dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)

(10)

Membicarakan masalah yurisdiksi di dunia maya (cyberspace) tidak lepas dari pembahasan yurisdiksi dalam prinsip-prinsip tradisional. Ada tiga katagori yurisdiksi tradisional dalam hukum internasional, yaitu yurisdiksi untuk menetapkan undang-undang (the jurisdiction to prescribe), yurisdiksi untuk menegakkan hukum (the jurisdiction to enforce) dan yurisdiksi untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate). (Ahmad M. Ramli, 2004:20) Ketiga yurisdiksi tradisional yang mempunyai batas-batas tertentu saat ini sering dipermasalahkan sehubungan dengan online activity di dunia masya. Sehingga bermunculan beberapa pembahasan yang berkaitan dengan masalah cyber jurisdiction. (Barda Nawawi Arief, 2006:29)

Di Indonesia, yurisdiksi dalam dunia maya telah diatur dalam Pasal 2 Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyebutkan:

Undang-undang ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

Pasal tersebut menyebutkan bahwa undang-undang tersebut berlaku bagi beberapa kelompok orang, yaitu:

a. berada di wilayah hukum Indonesia dan perbuatannya memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia saja.

Syarat yang terdapat dalam kelompok pertama ini adalah:

1) setiap orang, baik yang berkewarganegaraan Indonesia maupun berkewarganegaraaan asing;

2) orang tersebut berada di wilayah hukum Indonesia;

3) melakukan kejahatan sebagaimana yang telah tercantum dalam undang-undang tersebut;

(11)

4) kejahatan yang dilakukan memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia; dan

5) merugikan kepentingan Indonesia.

Kelompok pertama ini adalah orang yang melakukan perbuatan hukum yang tidak hanya dilakukan dalam wilayah hukum Indonesia tetapi juga berdampak di Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. Ketentuan ini sama persis dengan penggunaan asas teritorialitet. Contoh dari kasus ini adalah kasus pemakaian nama domain Mustika Ratu.com di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan terdakwa warga negara Indonesia bernama Tjandra Sugijono. (Sutarman, 2007:6) Sedangkan dalam Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik salah satu contoh perbuatan ini dicantumkan dalam ayat (1) Pasal 28 yang menyatakan: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.

Pengertian setiap orang tersebut tetap berpedoman pada KUHP yang mengatur tentang kemampuan bertanggung jawab dan Undang-undang tentang Pengadilan Anak yang mengatur tentang usia orang yang digolongkan sebagai anak. Sedangkan pasal 1 butir 21 Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut hanya mengatur tentang pengertian orang, yaitu orang perseorangan baik warga negara Indonesia, warga negara asing maupun badan hukum. Berdasarkan pasal tersebut dapat diketahui bahwa undang-undang ini telah mengakui bahwa subyek hukum pidana tidak hanya orang (natuurlijke person) tetapi juga badan hukum (recht person).

b. berada di wilayah hukum Indonesia dan perbuatannya memiliki akibat hukum di luar wilayah hukum Indonesia saja

(12)

1) setiap orang, baik yang berkewarganegaraan Indonesia maupun berkewarganegaraaan asing;

2) orang tersebut berada di wilayah hukum Indonesia;

3) melakukan kejahatan sebagaimana yang telah tercantum dalam undang-undang tersebut;

4) kejahatan yang dilakukan memiliki akibat hukum di luar wilayah hukum Indonesia; dan

5) merugikan kepentingan Indonesia.

Perbuatan hukum yang dilakukan oleh kelompok ini dilakukan di Indonesia namun dampak ditimbulkan hanya terjadi di luar wilayah Indonesia. Contoh kasus kelompok ini adalah carding yang dilakukan oleh orang Indonesia yang menggunakan nomor kartu kredit warga negara asing untuk membeli sesuatu di internet. Ketentuan ini merupakan suatu ketentuan yang sebelumnya tidak perna ada dalam hukum pidana di Indonesia. Hal ini dikarenakan karena sifat akibat kajahatan mayantara yang mampu melampaui batas wilayah suatu negara. Sedangkan dalam Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik salah satu contoh perbuatan ini dicantumkan dalam ayat (1) Pasal 31 yang menyatakan: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.

Orang yang melakukan perbuatan hukum berada di wilayah hukum Indonesia maksudnya adalah bahwa orang tersebut berada dalam wilayah teretori atau secara geografis di negara Indonesia. Wilayah negara Indonesia tetap berpedoman kepada KUHP yang menyatakan bahwa wilayah Indonesia meliputi daerah Indonesia,

(13)

perairan laut Indonesia yang lebarnya 12 mil diukur terhitung dari garis pangkal lurus dan udara di atas wilayah Indonesia serta di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.

c. berada di wilayah hukum Indonesia dan perbuatannya memiliki akibat hukum di wilayah dan di luar wilayah hukum Indonesia

Sedangkan syarat yang terdapat dalam kelompok ketiga ini adalah:

1) setiap orang, baik yang berkewarganegaraan Indonesia maupun berkewarganegaraaan asing;

2) orang tersebut berada di wilayah hukum Indonesia;

3) melakukan kejahatan sebagaimana yang telah tercantum dalam undang-undang tersebut;

4) kejahatan yang dilakukan memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia 5) kejahatan yang dilakukan memiliki akibat hukum di luar wilayah hukum

Indonesia; dan

6) merugikan kepentingan Indonesia.

Perbuatan hukum yang dilakukan oleh kelompok ini dilakukan di Indonesia namun dampak yang ditimbulkan tidak hanya terjadi di wilayah Indonesia saja tetapi juga di luar wilayah Indonesia. Contoh kasus kelompok ini adalah pembuatan website pornografi yang bernuansa Indonesia yang dilakukan oleh orang Indonesia yang dapat diakses oleh orang dimana saja berada. Ketentuan ini juga merupakan suatu ketentuan yang sebelumnya tidak perna ada dalam hukum pidana di Indonesia. Alasannya karena sifat akibat kajahatan mayantara yang mampu melampaui batas wilayah suatu negara. Sedangkan dalam Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik salah satu contoh perbuatan ini dicantumkan dalam ayat (1) dan (2) Pasal 27 yang menyatakan:

(14)

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.

d. berada di luar wilayah hukum Indonesia dan perbuatannya memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia saja

Syarat yang terdapat dalam kelompok keempat ini adalah:

1) setiap orang, baik yang berkewarganegaraan Indonesia maupun berkewarganegaraaan asing;

2) orang tersebut berada di luar wilayah hukum Indonesia;

3) melakukan kejahatan sebagaimana yang telah tercantum dalam undang-undang tersebut;

4) kejahatan yang dilakukan memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia; dan

5) merugikan kepentingan Indonesia.

Kelompok keempat ini adalah orang melakukan perbuatan hukum yang dilakukan di luar wilayah hukum Indonesia tetapi berdampak di wilayah hukum Indonesia dan merugikan Indonesia. Contoh dari kasus ini adalah pengrusakan terhadap jaringan keamanan suatu bank yang berada di Indonesia yang dilakukan oleh warga negara asing yang berada di luar wilayah hukum Indonesia. Ketentuan ini sama dengan asas perlindungan atau asas nasional pasif. Salah satu contoh perbuatan ini yang tercantum dalam Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalah terdapat pada ayat (3) Pasal 30 yang menyebutkan: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses

(15)

Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan. Sedankan Pasal 37 menyebutkan: Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap Sistem Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia. Dalam penjelesan pasal 2, yang dimaksud dengan “merugikan kepentingan Indonesia” adalah meliputi tetapi tidak terbatas pada merugikan kepentingan ekonomi nasional, perlindungan data strategis, harkat dan martabat bangsa, pertahanan dan keamanan negara, kedaulatan negara, warga negara serta badan hukum Indonesia.

e. berada di luar wilayah hukum Indonesia dan perbuatannya memiliki akibat hukum di luar wilayah hukum Indonesia saja

Sedangkan syarat yang terdapat dalam kelompok kelima ini adalah:

1) setiap orang, baik yang berkewarganegaraan Indonesia maupun berkewarganegaraaan asing;

2) orang tersebut berada di luar wilayah hukum Indonesia;

3) melakukan kejahatan sebagaimana yang telah tercantum dalam undang-undang tersebut;

4) kejahatan yang dilakukan memiliki akibat hukum di luar wilayah hukum Indonesia; dan

5) merugikan kepentingan Indonesia.

Termasuk dalam kelompok kelima ini adalah orang WNI maupu WNA yang melakukan perbuatan hukum yang dilakukan di luar wilayah hukum Indonesia dan juga hanya berdampak di luar wilayah hukum Indonesia. Membaca pengertian tersebut menyiratkan dalam benak kita seolah-olah bahwa jangkauan

(16)

undang-undang ini sangat luas sekali, karena dapat menjangkau semua kejahatan WNI atau WNA yang berada di luar negeri. Namun sebenarnya adanya pembatasan yang sangat jelas terhadap kejahatan yang mana saja yang dapat dijangkau undang-undang ini, yaitu harus adanya kerugian di pihak Indonesia. Sehingga hanya kejahatan yang merugikan kepentingan Indonesia yang dijangkau undang-undang ini, sedangkan kejahatan yang dilakukan oleh WNI atau WNA yang dilakukan di luar negeri dan hanya merugikan negara lain tidak dapat dijangkau oleh undang-undang ini.

Salah satu kasus yang dapat dijadikan contoh dalam ketentuan ini adalah kasus pengrusakan terhadap jaringan keamanan suatu bank yang berada di negara lain yang dilakukan oleh warga negara asing yang berada di luar wilayah hukum Indonesia, namun pengrusakan terhadap jaringan keamanan tersebut mengakibatkan kerugian terhadap ekonomi Indonesia. Ketentuan ini dalam Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalah terdapat pada Pasal 36: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain.

f. berada di luar wilayah hukum Indonesia dan perbuatannya memiliki akibat hukum di wilayah dan di luar wilayah hukum Indonesia

Sedangkan syarat yang terdapat dalam kelompok keenam ini adalah:

1) setiap orang, baik yang berkewarganegaraan Indonesia maupun berkewarganegaraaan asing;

2) orang tersebut berada di luar wilayah hukum Indonesia;

3) melakukan kejahatan sebagaimana yang telah tercantum dalam undang-undang tersebut;

(17)

4) kejahatan yang dilakukan memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia 5) kejahatan yang dilakukan memiliki akibat hukum di luar wilayah hukum

Indonesia; dan

6) merugikan kepentingan Indonesia.

Perbuatan hukum yang dilakukan oleh kelompok ini dilakukan di luar wilayah Indonesia namun dampak ditimbulkan tidak hanya terjadi di wilayah Indonesia saja tetapi juga di luar wilayah Indonesia. Contoh kasus kelompok ini adalah pemuatan website yang berisikan tentang penghinaan terhadap suatu agama yang dianut oleh banyak negara. Salah satu contoh perbuatan ini yang tercantum dalam Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terdapat pada ayat (2) Pasal 28 yang menyebutkan: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Menurut the Theory of International Space yang dianut di Amerika Serikat, setiap negara mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan suatu kasus kejahatan mayantara yang dilakukan siapapun dan wilayah negara manapun. Menurut teori ini cyberspace adalah suatu lingkungan hukum yang terpisah dengan hukum konvensional dimana setiap negara memiliki kedaulatan yang sama. (Dikdik M. Arief Mansur, Elisatris Gultom, 2005:39)

PENUTUP Kesimpulan

Pasal 2 Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa undang-undang tersebut menjangkau kepada:

(18)

a. Setiap orang orang yang berada di wilayah hukum Indonesia yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut dan perbuatannya memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia saja dan merugikan kepentingan Indonesia.

b. Setiap orang orang yang berada di wilayah hukum Indonesia yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut dan perbuatannya memiliki akibat hukum di luar wilayah hukum Indonesia saja dan merugikan kepentingan Indonesia.

c. Setiap orang orang yang berada di wilayah hukum Indonesia yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut dan perbuatannya memiliki akibat hukum di wilayah dan di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

d. Setiap orang orang yang berada di luar wilayah hukum Indonesia yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut dan perbuatannya memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia saja dan merugikan kepentingan Indonesia.

e. Setiap orang orang yang berada di luar wilayah hukum Indonesia yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut dan perbuatannya memiliki akibat hukum di luar wilayah hukum Indonesia saja dan merugikan kepentingan Indonesia.

f. Setiap orang orang yang berada di luar wilayah hukum Indonesia yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut dan perbuatannya memiliki akibat hukum di wilayah dan di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

(19)

a. Pelaksanaan Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap seluruh kejahatan dalam dunia maya agar efektif harus disertai dengan adanya perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan negara-negara lain.

b. Diperlukan berperan aktif masyarakat dalam menanggulangi dan menangani kejahatan di dunia maya ini, mengingat perkembangan teknologi yang semakin cepat.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahid, Mohammad Labib, 2005, Kejahatan Mayantara, PT. Refika Aditama, Bandung

Adami Chazawi, 2005. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Penerbit PT Rajagrafindo Persada, Jakarta

Ade Ary Sam Indradi, 2006, Carding: Modus Operandi, Penyidikan dan Penindakan, Pensil-324, Jakarta

Ahmad M. Ramli, 2004, Cyber Law dan HAKI, PT. Refika Aditama, Bandung Andi Hamzah, 2000, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta

Agus Raharjo, 2002, Cybercrime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Barda Nawawi Arief, 2006, Tindak Pidana Mayantara, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta

Budi Agus Riswandi, 2006, Hukum Cyberspace, Gitanagiri, Yogyakarta

C.S.T. Kansil, Chrisine S.T. Kansil, 2004, Pokok-Pokok Hukum Pidana, PT. Pradnya Paramita, Jakarta

Dikdik M. Arief Mansur, Elisatris Gultom, 2005, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, PT. Refika Aditama, Bandung

M. Arsyad Sanusi, Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun Ke XXII No. 261 Agustus 2007

Svantesson, Dan Jekker B., 2005,The Characteristics Making Internet Communication Challenge Traditional Models of Regulation – What every international jurist should know about the Internet, International Journal of Law and Information Technology Vol. 13 No. 1, Oxford University Press

Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hal di atas maka permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah apa sajakah perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana

ketentuan yang berlaku di Indonesia untuk menemukan perlindungan hukum bagi pengguna jasa rekening bersama dan dari perjanjian antara pembeli maupun penjual dengan

Penegakan hukum terhadap prostitusi cyber dalam anatomi kejahatan transnasional ini baru dapat dilakukan jika antara negara yang satu dengan negara yang lain

a) UU ITE mempunyai kelebihan salah satunya dapat mengantisipasi kemungkinan penyalahgunaan internet yang merugikan contohnya pembobolan situs-situs tertentu milik

Hukum positif dalam kejahatan tindak pidana Illegal contents pada dasarnya merupakan kejahatan dunia mayantara ( cybercrime ) yang semakin menyebar luas, perbuatan

ketentuan tersebut, maka suatu kontrak elektronik dapat dianggap sebagai suatu bentuk perjanjian yang memenuhi unsur dari ketentuan KUH Perdata tersebut. Transaksi Elektronik

"perbuatan" merupakan kata kerja. Kemudian dengan cara penafsiran hukum. Pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti sempit, hanya meliputi hak orang lain,

Perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata ini dapat pula digunakan sebagai dasar untuk mengajukan ganti kerugian atas perbuatan yang dianggap