POLA SEBARAN JENIS KERUING (Dipterocarpus spp.) DI AREAL
KONSESI HUTAN PT. SALAKI SUMMA SEJAHTERA,
PULAU SIBERUT, SUMATERA BARAT
ABDUL KAFI ASSIDIQ
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pola Sebaran Jenis Keruing (Dipterocarpus spp.) di Areal Konsesi Hutan PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Sumatera Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi.Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2013
Abdul Kafi Assidiq
ABSTRAK
ABDUL KAFI ASSIDIQ. Pola Sebaran Jenis Keruing (Dipterocarpus spp.) di Areal Konsesi Hutan PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Sumatera Barat. Dibimbing oleh TEDDY RUSOLONO dan AGUS PRIYONO KARTONO.
Keruing (Dipterocarpus elongatus, Dipterocarpus retusus, dan
Dipterocarpus hasseltii) termasuk jenis kayu komersil yang memiliki status
terancam punah menurut IUCN. Keruing merupakan jenis yang dimanfaatkan oleh PT. Salaki Summa Sejahtera. Kelestarian jenis keruing dapat diindikasikan oleh pola sebaran dan faktor - faktor yang mempengaruhinya. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi pola sebaran jenis keruing (Dipterocarpus spp.), kesamaan komunitas antara hutan primer dan berbagai kondisi hutan bekas penebangan, hubungan asosiasi dan disosiasi antar jenis keruing dengan beberapa jenis dominan. Data dikumpulkan dari tegakan hutan yang mewakili kondisi hutan primer dan berbagai kondisi hutan bekas penebangan (1 tahun, 4 tahun dan 20 tahun). Setiap kondisi tegakan dibuat petak ukur berbentuk jalur 20 m x 500 m, identifikasi jenis pohon dan pengukuran pohon berdiameter lebih dari 10 cm. Pola sebaran D. elongates dan D. hasseltii adalah seragam, D.retusus tidak dapat dianalisis pola sebarannya karena hanya ditemukan 1 individu. Jenis D. hasseltii berasosiasi dengan H. merrillianus, H. woodii dan H. grandiflorum. Jenis D.
elongates memiliki asosiasi dengan H. woodii dan S. ovalis.
Kata kunci : keruing, pola sebaran, asosiasi.
ABSTRACT
ABDUL KAFI ASSIDIQ. Distribution Pattern of Keruing (Dipterocarpus spp.) in PT Salaki Summa Sejahtera’s Forest Concessions, Siberut Island, West Sumatera. Supervised by TEDDY RUSOLONO and AGUS PRIYONO KARTONO.
Keruing (Dipterocarpus elongatus, Dipterocarpus retusus, and
Dipterocarpus hasseltii) are categorized as commercial timber which has
endangered status according to the IUCN. Keruing has been utilized by PT. Salaki Summa Sejahtera. Sustainability of Keruing can be indicate by the distribution pattern and it factors. The purpose of this study is to identify Keruing’s (Dipterocarpus spp.) distribution pattern, community similarity between primary forest and various former condition of logged over areas, the association and disassociation between Keruing and the other dominant species. Data was collected from tree stands that represent the condition of primary forest and various logged over areas (1 year, 4 year and 20 year). Lines plot with 20 m x 500 m, identifying tree species and measuring tree which has diameter for more than 10 cm was made for each condition of tree stands. Distribution pattern of D.
elongatus and D. hasseltii is same. Distribution pattern of D. retusus can not be
analyzed because it’s found only one tree. Species of D. hasseltii associate with H.
merrillianus, H. woodii and H. grandiflorum. Species of D. elongates associate
with H. woodii and S. ovalis.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Manajemen Hutan
POLA SEBARAN JENIS KERUING (Dipterocarpus spp.) DI AREAL
KONSESI HUTAN PT. SALAKI SUMMA SEJAHTERA,
PULAU SIBERUT, SUMATERA BARAT
ABDUL KAFI ASSIDIQ
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
Judul Skripsi : Pola Sebaran Jenis Keruing (Dipterocarpus spp.) di Areal Konsesi Hutan PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Sumatera Barat Nama : Abdul Kafi Assidiq
NIM : E14080077
Disetujui oleh
Dr. Ir. Teddy Rusolono, MS Pembimbing I
Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr. Ir. Didik Suharjito, MS Ketua Departemen
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2012 sampai Mei 2012 ini ialah ekologi keruing, dengan judul Pola Sebaran Jenis Keruing (Dipterocarpus spp.) di Areal Konsesi Hutan PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Sumatera Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Teddy Rusolono, MS dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada manajemen dan karyawan PT. Salaki Summa Sejahtera yang telah membantu akomodasi selama PKL dan penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. .
Bogor, Februari 2013
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR ix PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 1 Manfaat Penelitian 1 METODE 2Kondisi Umum Wilayah Penelitian 2
Pengumpulan Data 3
Bahan 3
Alat 3
Prosedur Analisis Data 4
Pola Sebaran Spasial 4
Kesamaan Komunitas 5
Penentuan Hubungan Antara Dua Spesies 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 6
Pola Sebaran Spasial Keruing 6
Kesamaan Komunitas Vegetasi Habitus Pohon 10
Hubungan Asosiasi antar Jenis Keruing dan Asosiasi Keruing dengan Jenis
Dominan Lainnya 11
SIMPULAN DAN SARAN 12
Simpulan 12
Saran 12
DAFTAR PUSTAKA 13
DAFTAR TABEL
1 Pembagian lokasi penelitian 3
2 Desain matriks asosiasi antara dua spesies 5
3 Kondisi fisik lingkungan pada masing-masing lokasi penelitian 7 4 Hasil uji t berpasangan untuk ketinggian tempat keempat kondisi hutan 7 5 Hasil uji t berpasangan untuk suhu rata-rata harian keempat kondisi hutan 8 6 Hasil uji t berpasangan untuk kelembaban relatif keempat kondisi hutan 8 7 Hasil uji t berpasangan untuk kandungan pasir keempat kondisi hutan 8 8 Hasil uji t berpasangan untuk kandungan debu keempat kondisi hutan 9 9 Hasil uji t berpasangan untuk kandungan liat keempat kondisi hutan 9 10 Pola sebaran spasial kedua jenis keruing pada empat kondisi hutan 10 11 Indeks Kesamaan Komunitas pada berbagai kondisi hutan yang
diperbandingkan 11
12 Pola hubungan Asosiasi antara D. hasseltii dan D. elongatus 11
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar BelakangPola sebaran tumbuhan maupun satwa merupakan salah satu karakteristik penting dalam komunitas ekologi. Hal ini merupakan kegiatan awal yang dilakukan untuk meneliti suatu komunitas dan merupakan hal yang sangat mendasar dari kehidupan suatu organisme (Connel 1963, diacu dalam Ludwig & Reynolds 1988). Suatu jenis tumbuhan memiliki hubungan dengan keadaan lingkungan dari suatu ekosistem yang akan membentuk sistem fungsi tertentu. Setiap individu jenis tersebut mempunyai toleransi yang berbeda dalam beradaptasi dengan lingkungan dan setiap individu tersebut mempunyai kondisi lingkungan tertentu dimana dia dapat tumbuh secara optimal. Oleh karena itu pada umumnya penyebaran jenis tumbuhan akan berbeda terutama dalam hal kehadiran dan kelimpahannya (Poole 1974). Hal lain yang mempengaruhi ketersebaran suatu jenis di alam yaitu adanya asosiasi jenis tersebut dengan jenis lain yang ada disekitarnya. Mengacu hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai pola sebaran untuk mengetahui sebaran suatu jenis dalam hutan. Menurut Susanti (2000) pengetahuan tentang pola sebaran suatu jenis dapat digunakan untuk bahan pertimbangan dalam merencanakan strategi pengelolaan hutan produksi dengan memperhatikan aspek ekologi.
Pada areal kerja PT. Salaki Summa Sejahtera terdapat 3 jenis keruing yaitu
Dipterocarpus elongatus Korth, Dipterocarpus retusus Blume, dan Dipterocarpus hasseltii Blume. Berdasarkan data dari The World Conservation Union (IUCN)
setiap jenis di atas memiliki status kepunahan yang berbeda – beda, adapun status tiap jenis tersebut antara lain D. elongatus dan D.hasseltii memiliki status kritis (Critically Endangered/CR), sedangkan D.retusus berstatus rawan (Vulnerable/VU).
Berdasarkan beberapa faktor di atas maka penelitian tentang pola sebaran keruing di Sumatera perlu dilakukan. Penelitian ini dilakukan pada hutan primer, hutan bekas tebangan, dan blok tebangan sehingga dapat diidentifikasi pola sebaran keruing pada berbagai kondisi hutan tersebut agar bisa mengetahui perlakuan yang tepat dalam pengelolaan jenis ini.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ialah mengidentifikasi pola sebaran jenis keruing (Dipterocarpus spp.), kesamaan komunitas antara hutan primer, dan berbagai kondisi hutan bekas penebangan, dan hubungan asosiasi antar jenis keruing dengan beberapa jenis dominan di areal IUPHHK-HA PT. Salaki Summa Sejahtera.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang ekologi keruing karena literatur mengenai jenis ini masih sangat terbatas. Selain itu hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dan bahan pertimbangan dalam menentukan strategi pengelolaan hutan dengan memperhatikan aspek kelestarian ekologis.
2
METODE
Kondisi Umum Wilayah Penelitian
Penelitian ini dilakukan di areal konsesi hutan PT. Salaki Summa Sejahtera termasuk kedalam Fungsi Hutan Produksi Tetap (HP) seluas 48,420 hektar (100%) yang terletak dikelompok Hutan Sungai Sigep dan Hutan Sungai Sikabaluan Kabupaten Kepulauan Mentawai Provinsi Sumatera Barat. Kawasan Hutan Produksi Tetap (HP) tersebut memiliki luasan 43% dari luas total Pulau Siberut + 403.300 ha, sedang Kawasn Lindung yang sebagian besar merupakan kawasan lindung yang terdiri Hutan Suaka Alam Wisata (HSAW) dan Kawasan Suaka Alam (KSA), sedangkan yang lainnya merupakan kawasan budidaya non kehutanan seluas 6%.
Jenis tanah pada lokasi penelitian adalah podsolik merah kuning/ultisol, latosol/oxisol dan alluvial. Berdasarkan klasifikasi iklim secara umum menurut Schmidt & Ferguson atau Af-Am Koppen areal IUPHHK PT. Salaki Summa Sejahtera beriklim basah (tipe A), yaitu iklim tropis dengan curah hujan tanpa bulan kering (< 60.00 mm) merata sepanjang tahun. Dari data yang diperoleh dari stasiun Metereologi Sicincin, Padang Pariaman (data pengukuran Sikakap) diperoleh nilai Q =2.65% dan Intensitas Hujan = 18.24 mm/hh, dengan curah hujan rata-rata adalah sebesar 4394.7 mm pertahun dan tingkat minimum yang terjadi pada bulan Juni 269.4 mm perbulan, maximum pada bulan November 478.3 mm perbulan ( PT. Salaki Summa Sejahtera 2008). Adapun peta lokasi penelitian disajikan dalam Gambar 1.
3 Pengumpulan Data
Lokasi pengambilan data primer dibagi menjadi 4 klasifikasi areal. Klasifikasi tersebut berdasarkan pada pernah tidaknya dilakukan penebangan, dan umur lokasi penebangan. Pembagian lokasi penelitian disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Pembagian lokasi penelitian.
Jenis areal Lokasi Jumlah Jalur Luas (ha)
Areal Hutan Primer LOA 1 tahun LOA 4 tahun LOA 20 tahun Blok RKT 2013 Blok RKT 2011 Blok RKT 2008 Blok RKT 2012 3 3 3 3 3 3 3 3 Total 12 12
Pada setiap areal penelitian dibuat 3 jalur untuk melakukan pengamatan. Masing- masing jalur berukuran 20 m x 500 m yang terbagi kedalam petak-petak pengamatan berukuran 20 m x 20 m sehingga setiap satu jalur terdapat 25 petak ukur dan jarak antar jalur 500 m. Jalur pertama pada masing-masing areal ditentukan secara purposive berdasarkan keterjangkauan dan keterwakilan kondisi fisik lingkungan dan jalur selanjutnya dibuat secara sistematis. Menurut Soerianegara & Indrawan (1982) dalam mempelajari suatu kelompok hutan yang luas dan belum diketahui keadaan sebelumnya, paling baik menggunakan cara jalur atau transek. Rambe & Nasoetion (1992) menyatakan bahwa teknik penarikan contoh sistematis merupakan alternatif yang tepat jika ukuran populasi yang kita hadapi tidak diketahui, metode ini baik dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis vegetasi atau analisis struktur hutan di dalam suatu kawasan hutan tertentu.
Pada lokasi pengamatan data yang diambil sebagai berikut ini:
1. Data vegetasi yang berupa nama jenis dan diameter semua jenis pohon berdiameter > 10 cm yang ditemukan pada petak pengamatan. Jika terdapat jenis yang belum dikenal maka dibuat herbarium daun dengan cara kering. 2. Data kondisi fisik lingkungan antara lain: tinggi tempat, kelerengan, arah
menghadap lereng (aspek kemiringan lereng), posisi petak pengamatan dalam bentang lahan, suhu udara, kelembaban udara relatif, fisik tanah, penggenangan.
Bahan
Untuk penelitian yang memerlukan bahan berupa tanah diareal hutan primer, LOA berumur 1 tahun, 4 tahun, 20 tahun. serta daun untuk bahan herbarium.
Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain: phi band, GPS, kompas,
Suunto clinometer, tali tambang, thermohygrometer, peralatan untuk membuat
herbarium (alkohol 70%, kertas koran, kantong plastik, label), peralatan untuk mengumpulkan contoh tanah (bor tanah), kamera digital, spidol, crayon, serta
4
perangkat lunak MS. Excel, SPSS 16.0, Map Source, Global Mapper 11 dan ArcGIS 10.
Prosedur Analisis Data
Pola Sebaran Spasial
Pola sebaran jenis keruing dihitung menggunakan indeks Morisita yang telah distandarisasi (Jongjitvimol et al. 2005):
( ) ( ) Id : Indeks Morisita
n : jumlah seluruh petak ukur
Xi : jumlah individu jenis tertentu pada unit contoh ke-i
Pola sebarannya ditunjukkan melalui perhitungan Mu dan Mc sebagai berikut:
( )
( )
Mu : Indeks Morisita untuk pola sebaran seragam
: nilai Khi-kuadrat tabel dengan derajat bebas n-1 dan selang kepercayaan 97.5%
Mc : Indeks Morisita untuk pola sebaran mengelompok
: nilai Khi-kuadrat tabel dengan derajat bebas n-1 dan selang
kepercayaan 2.5%
Indeks Morisita dihitung dengan rumus:
( ) ; jika Id > Mc > 1 ( ) ; jika Mc > Id > 1 ( ) ; jika 1 > Id > Mu ( ) ; jika 1 > Mu > Id
Berdasarkan nilai indeks penyebaran (Ip) maka dapat diklasifikasikan pola sebaran sebagai berikut:
Seragam : Ip < 0
Acak : Ip = 0
Mengelompok : Ip > 0
Analisis antar faktor lingkungan menggunakan uji beda nyata dengan data yang berpasangan. Data yang sudah berpasangan tersebut tidak dapat dipisahkan untuk membentuk pasangan baru. Misal, data ketinggian tempat pada LOA 1 tahun dan LOA 4 tahun sekaligus sebagai variabel yang dimasukkan. Hal yang sama juga dilakukan untuk faktor fisik lingkungan lainnya.
Faktor-faktor lingkungan fisik yang penting terhadap keberadaan jenis keruing dilakukan perhitungan dengan menggunakan model regresi linear
5 berganda melalui prosedur multikolinieritas. Variabel tidak bebas adalah jumlah
D. hasseltii dan D.elongatus, sedangkan variabel bebas yang diukur adalah
faktor-faktor lingkungan fisik (suhu, kelembaban relatif, ketinggian, kelerengan tempat, pasir, debu, dan liat). Setelah dilakukan perhitungan maka didapatkan nilai VIF>10 pada variabel bebas. Hal ini berarti bahwa diantara variabel bebas ada faktor yang mempengaruhi variabel tidak bebas, sehingga perlu dianalisis lagi dengan metode korelasi bivariate untuk mengetahui faktor yang berhubungan nilai VIF.
Kesamaan Komunitas
Index of Similarity Bray-Curtis digunakan dalam menghitung kesamaan
komunitas antara hutan primer dan LOA di berbagai umur. Kesamaan komunitas tersebut menggambarkan tingkat kesamaan komposisi spesies dan struktur dari dua komunitas atau tegakan (Indriyanto 2008). Nilai penting yang digunakan adalah nilai luas bidang dasar atau basal area, karena menurut Sutarahardja (1982) luas bidang dasar adalah suatu bidang yang umumnya merupakan penampang melintang pada jarak tertentu dari ujung suatu benda yang digunakan sebagai dasar perhitungan volume benda tersebut. Kesamaan komunitas antara hutan primer, Logged Over Area (LOA) berumur 1 tahun, 4 tahun, dan 20 tahun dihitung menggunakan indeks kesamaan menurut Krebs (1978) sebagai berikut:
IS : Index of similarity
W : Jumlah dari nilai penting yang lebih kecil atau sama dari spesies berpasangan, yang ditemukan pada dua komunitas
a : total nilai penting pada komunitas A b : total nilai penting pada komunitas B
Nilai IS berkisar antara 0% hingga 100% dimana dua komunitas yang dibandingkan akan benar-benar sama jika nilai IS = 100% dan sama sekali berbeda jika nilai IS = 0% (Ludwig & Reynolds 1988).
Penentuan Hubungan Antara Dua Spesies
Pendugaan hubungan asosiasi antar spesies Dipterocarpus spp. dan antara jenis Dipterocarpus spp. dengan spesies lain yang dominan. Dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Tabel kontingensi masing-masing spesies dominan:
Tabel 2 Desain matriks asosiasi antara dua spesies Spesies A Spesies B Present Absent Present a b m = a+b Absent c d n = c+d r = a+c s = b+d N = a+b+c+d
6
Dimana:
a : Frekuensi ditemukan kedua spesies dalam unit contoh
b : Frekuensi ditemukan spesies A namun tidak terdapat spesies B dalam unit contoh
c : Frekuensi ditemukan spesies B namun tidak terdapat spesies A dalam unit contoh
d : Frekuensi dimana tidak ditemukan kedua spesies dalam unit contoh b. Koefisien asosiasi (CoA) dihitung berdasarkan persamaan Cairns &
Schwager (1987) sebagai berikut:
⁄ ( ) c. Uji asosiasi antar spesies
Asosiasi antar spesies diuji dengan menggunakan Uji Khi Kuadrat (Cairns & Schwager 1987):
Oi : Frekuensi observ
Ei : Nilai harapan
Nilai harapan (Ei) dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai
berikut:
( ) ( ) ( ) ( )
Dimana:
m : Penjumlahan nilai a dengan b pada tabel kontingensi n : Penjumlahan nilai c dengan d pada tabel kontingensi r : Penjumlahan nilai a dengan c pada tabel kontingensi s : Penjumlahan nilai b dengan d pada tabel kontingensi N : Total nilai a, b, c, dan d pada tabel kontingensi
Hipotesis yang digunakan adalah H0: tidak terdapat asosiasi antar dua
spesies, dan H1: terdapat asosiasi antar dua spesies dengan kriteria uji: jika χ2hitung
≤ χ2
0.05 maka terima H0 dan jika χ2hitung > χ20.05 maka terima H1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola Sebaran Spasial KeruingFaktor fisik lingkungan dianalisis untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pola sebaran pada lokasi penelitian dan untuk mengetahui faktor-faktor yang berbeda nyata atau tidak berbeda nyata pada masing-masing lokasi penelitian. Quinn & Dunham (1983) menyatakan bahwa alam adalah multifaktor, banyak proses-proses saling berinteraksi (biotik dan abiotik) yang mungkin berkontribusi terhadap pola-pola yang tercipta. Perbedaan faktor fisik lingkungan pada keempat lokasi penelitian dapat menyebabkan pola sebaran keruing yang berbeda. Adapun faktor fisik dan lingkungan disajikan pada tabel 3.
i i i hitung E E O 2 2 7 Tabel 3 Kondisi fisik lingkungan pada masing-masing lokasi penelitian
Kondisi Fisik Hutan Primer LOA 20 tahun LOA 4 tahun LOA 1 tahun
Kelas Kelerengan datar-sangat
curam datar-sangat curam datar-sangat curam datar-sangat curam
Arah kelerangan Utara-Barat Utara-Barat Utara-Barat Utara-Barat
Posisi bentang lahan lembah,
punggung bukit dan puncak lembah, punggung bukit dan puncak lembah, punggung bukit dan puncak lembah, punggung bukit dan puncak Tinggi tempat (mdpl) 48 - 197 40 – 159 84 - 167 45 – 125 Suhu rata-rata (0C) 23.4 24.2 25.0 26.5 Kelembaban relatif (%) 87 85 84 74 Tekstur tanah (%) 1. Pasir 52.67 ± 2.33 61.67 ± 5.33 50 ± 10 53 ± 2 2. Debu 66 ± 14 81 ± 4 55 ± 15 69.33 ± 15.67 3. Liat 30 ± 10 14.67 ± 5.33 45 ± 20 29.33 ± 10.67
Kelas tekstur tanah lempung liat
berpasir
lempung
berpasir liat berpasir
lempung liat berpasir
Penggenangan - - - -
LOA : logged Over Area.
Berdasarkan Tabel 3, topografi pada keempat lokasi relatif sama, yaitu datar hingga sangat curam dengan persen kelerengan terendah adalah 0% dan tertinggi 95%. Konfigurasi keempat lokasi bergelombang dengan posisi bentang lahan setiap jalur pengamatan melewati lembah, punggung bukit dan puncak. Kondisi di atas menunjukkan bahwa pembuatan jalur pengamatan telah mewakili semua kelas kelerengan atau memotong garis kontur sesuai dengan yang diharapkan. Keterwakilan data lokasi penelitian diambil dari hutan dengan masa tebang muda (LOA 1 tahun), masa tebang sedang (LOA 4 tahun), dan masa tebang tua (LOA 20 tahun). Untuk kontrol kondisi hutan yang belum ditebang dilakukan pada hutan primer.
Tabel 4 Uji beda nyata ketinggian tempat antar tipe hutan
Tipe Hutan Hutan Primer LOA 20 tahun LOA 4 tahun LOA 1 tahun
Hutan Primer 0.004** 0.736ns 0.000**
LOA 20 tahun 0.008** 0.267ns
LOA 4 tahun 0.000**
LOA 1 tahun
ns : tidak berbeda nyata pada (α > 0.05), * : berbeda nyata pada (α < 0.05) ** : berbeda sangat nyata pada (α < 0.01), LOA : logged Over Area.
Berdasarkan Tabel 4, tinggi tempat pada hutan primer berbeda sangat nyata dengan LOA berumur 20 tahun, dan 1 tahun, serta tidak berbeda nyata dengan LOA berumur 4 tahun. Hal ini berarti bahwa pada LOA berumur 20 tahun, dan 1 tahun memiliki ketinggian tempat yang berbeda dengan hutan primer, sedangkan LOA berumur 4 tahun memiliki kesamaan tinggi tempat dengan hutan primer.
8
Tabel 5 Uji beda nyata suhu rata-rata harian antar tipe hutan
Tipe Hutan Hutan Primer LOA 20 tahun LOA 4 tahun LOA 1 tahun
Hutan Primer 0.317ns 0.47 ns 0.110 ns
LOA 20 tahun 0.035* 0.094 ns
LOA 4 tahun 0.282 ns
LOA 1 tahun
ns : tidak berbeda nyata pada (α > 0.05), * : berbeda nyata pada (α < 0.05) ** : berbeda sangat nyata pada (α < 0.01), LOA : logged Over Area.
Suhu udara rata-rata harian pada keempat lokasi memiliki nilai terendah 23.4 0C pada hutan primer dan tertinggi 26.5 0C pada LOA berumur 1 tahun. Suhu harian rata-rata menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 5) hanya pada lokasi LOA berumur 20 tahun dengan 4 tahun. Hal ini berarti bahwa suhu udara rata-rata harian tidak dipengaruhi oleh umur penebangan melainkan kerapatan penutupan tajuk, dimana semakin rapat tajuk suatu tegakan maka intensitas cahaya yang masuk semakin kecil sehingga suhu akan semakin rendah.
Tabel 6 Uji beda nyata kelembaban relatif antar tipe hutan
Tipe Hutan Hutan Primer LOA 20 tahun LOA 4 tahun LOA 1 tahun
Hutan Primer 0.843 ns 0.555 ns 0.135 ns
LOA 20 tahun 0.852 ns 0.311 ns
LOA 4 tahun 0.187 ns
LOA 1 tahun
ns : tidak berbeda nyata pada (α > 0.05), * : berbeda nyata pada (α < 0.05) ** : berbeda sangat nyata pada (α < 0.01), LOA : logged Over Area.
Nilai kelembaban relatif (RH%) pada keempat lokasi bervariasi dengan nilai terendah 74% pada LOA berumur 1 tahun dan tertinggi pada hutan primer dengan nilai sebesar 87%. Berdasarkan Tabel 6, semua lokasi memiliki nilai kelembaban relatif yang tidak berbeda nyata. Hal ini berarti bahwa kelembaban relatif tidak dipengaruhi oleh umur penebangan melainkan kerapatan penutupan tajuk, dimana semakin rapat tajuk suatu tegakan maka akan memiliki nilai RH% yang semakin tinggi.
Tabel 7 Uji beda nyata kandungan pasir antar tipe hutan
Tipe Hutan Hutan Primer LOA 20 tahun LOA 4 tahun LOA 1 tahun
Hutan Primer 0.254 ns 0.710 ns 0.885 ns
LOA 20 tahun 0.410 ns 0.248 ns
LOA 4 tahun 0.744 ns
LOA 1 tahun
ns : tidak berbeda nyata pada (α > 0.05), * : berbeda nyata pada (α < 0.05) ** : berbeda sangat nyata pada (α < 0.01), LOA : logged Over Area.
Tekstur tanah pada hutan primer dan LOA berumur 1 tahun memiliki tekstur yang sama yaitu berupa lempung liat berpasir, LOA berumur 4 tahun berupa liat berpasir, sedangkan pada LOA berumur 20 tahun memiliki tekstur tanah berupa lempung berpasir. Kandungan pasir pada semua lokasi tidak berbeda nyata sehingga dapat disimpulkan bahwa kandungan pasir pada keempat kondisi hutan relatif sama besarnya.
9 Tabel 8 Uji beda nyata kandungan debu antar tipe hutan
Tipe Hutan Hutan Primer LOA 20 tahun LOA 4 tahun LOA 1 tahun
Hutan Primer 0.374 ns 0.623 ns 0.877 ns
LOA 20 tahun 0.047* 0.315 ns
LOA 4 tahun 0.209 ns
LOA 1 tahun
ns : tidak berbeda nyata pada (α > 0.05), * : berbeda nyata pada (α < 0.05) ** : berbeda sangat nyata pada (α < 0.01), LOA : logged Over Area.
Tabel 9 Uji beda nyata kandungan liat antar tipe hutan
Tipe Hutan Hutan Primer LOA 20 tahun LOA 4 tahun LOA 1 tahun
Hutan Primer 0.028* 0.493 ns 0.949 ns
LOA 20 tahun 0.231 ns 0.208 ns
LOA 4 tahun 0.235 ns
LOA 1 tahun
ns : tidak berbeda nyata pada (α > 0.05), * : berbeda nyata pada (α < 0.05) ** : berbeda sangat nyata pada (α < 0.01), LOA : logged Over Area.
Kandungan debu pada keempat lokasi (Tabel 8) menunjukkan perbedaaan yang nyata hanya pada LOA 4 tahun dengan LOA 20 tahun. Hal ini juga terdapat pada kandungan liat (Tabel 9) antara hutan primer dengan LOA 20 tahun yang berbeda nyata. Oleh karena itu, ketiga fraksi tekstur tanah yang berbeda nyata antara masing-masing lokasi adalah fraksi debu dan liat.
Faktor lingkungan fisik yang penting terhadap keberadaan jenis keruing adalah debu dengan nilai VIF sebesar 16.274. Kandungan debu memiliki hubungan yang sangat erat dengan kandungan liat (r = -0.83; ρ = 0.001) dan kolinear sehingga dikeluarkan dari kondisi fisik dan lingkungan. Hal ini berarti bahwa faktor lingkungan yang mempengaruhi kehadiran D. hasseltii dan D.
elongatus adalah liat dan debu. Menurut Sembiring (2008) faktor-faktor yang
dapat meningkatkan kandungan debu adalah batang, ranting, daun mati yang hancur bersatu dengan tanah sehingga dapat terjadi dekomposisi secara alami yang bisa meningkatkan kesuburan tanah. Hal ini berarti bahwa keruing dapat ditemukan ditanah yang memiliki kesuburan tanah yang tinggi. Menurut Sembiring (2008) bahwa kandungan tanah liat yang tinggi umumnya mempunyai pori-pori lebih sedikit sehingga sedikit menyimpan air dan pada waktu musim kemarau tanah menjadi retak, pecah, hal ini dapat memutuskan akar tanaman sehingga bisa mematikan tanaman. Hal ini berarti bahwa kandungan liat yang tinggi dapat mempengaruhi regenerasi alami dari keruing. Kandungan liat dan debu sama-sama memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan keruing, hal ini berdampak positif bagi keruing karena akan ada kontrol regenerasi alami agar jumlahnya tidak berlebihan dialam sehingga dapat memperkecil persaingan antar individu dalam memperoleh cahaya matahari dan unsur hara.
Kartawinata (1983) menyatakan bahwa tempat tumbuh jenis D. hasseltii adalah hutan alam yang masih asli pada tanah yang subur dan drainase baik di lembah dan lereng bukit bahkan tanah berkapur pada ketinggian sampai 600 mdpl bahkan 1000 mdpl. D. elongatus pada tanah berpasir dengan drainase baik, tetapi kadang dapat ditemui di hutan air tawar pada ketinggian kurang dari 100 mdpl.
10
Perilaku suatu individu dalam komunitas dapat dilihat dari pola sebaran spasial. Keruing merupakan jenis komersil yang menjadi target utama dalam logging di Pulau Siberut. Hal ini akan mempengaruhi kemampuan regenerasi secara alami di alam.
Terdapat 3 jenis keruing yang ada di Pulau Siberut, tetapi dalam penelitian ini ditemukan dua jenis yang bisa dianalisis pola sebarannya yaitu D. hasseltii dan
D. elongatus. Jenis D. retusus hanya ditemukan satu individu pada satu plot
pengamatan sehingga pola sebarannya tidak dapat ditentukan. Pola sebaran kedua jenis keruing ini disajikan pada Tabel 9.
Tabel 10 Pola sebaran spasial kedua jenis keruing pada empat kondisi hutan
Tipe Hutan Ip Pola Sebaran
D.hasseltii D. elongatus D.hasseltii D. elongatus
Hutan Primer -0.94 -0.01 Seragam Seragam
LOA 20 tahun -0.02 -0.01 Seragam Seragam
LOA 4 tahun -0.02 -0.01 Seragam Seragam
LOA 1 tahun -0.03 -0.01 Seragam Seragam
LOA : logged Over Area, Ip : Indeks Penyebaran.
Jika pola sebaran spasial pada hutan primer dipakai sebagai acuan maka kedua jenis keruing memiliki pola sebaran yang sama yaitu pola seragam pada keempat kondisi hutan tersebut. Hal ini berarti bahwa keruing tumbuh pada habitat yang seragam. Pola tersebut terbentuk dari hasil adanya interaksi negatif antar individu, yaitu adanya kompetisi atas makanan dan tempat tumbuh (Ludwig & Reynolds 1988). Menurut Kartawinata (1983) menyatakan bahwa D. elongatus tumbuh secara mengelompok dan menurut hasil eksplorasi dan identifikasi herbarium yang dilakukan oleh Kalima (2008) di Taman Nasional Meru Betiri, D.
hasseltii tumbuh menyebar secara berkelompok pada tempat yang relatif miring.
Namun pada penelitian ini kedua jenis keruing di semua kondisi hutan pola sebarannya adalah seragam. Menurut Odum (1993), Pola sebaran seragam terjadi apabila kondisi lingkungan cukup seragam di seluruh area dan ada kompetisi yang kuat antar individu anggota populasi. Kompetisi yang kuat antarindividu anggota populasi akan mendorong terjadinya pembagian ruang yang sama. Heddy et al. (1986) menyatakan bahwa pada hutan yang lebat dengan pohon-pohon tinggi mempunyai distribusi seragam, karena pohon-pohon dominan di hutan memiliki jarak yang teratur dan mempunyai kompetisi yang sangat kuat untuk mendapatkan cahaya dan unsur hara.
Kesamaan Komunitas Vegetasi Habitus Pohon
Pola kesamaan komunitas ditunjukkan oleh IS, yang menggambarkan tingkat kesamaan struktur dan komposisi jenis yang dibandingkan. Nilai IS berkisar antara 0% hingga 100% dimana dua komunitas yang dibandingkan akan benar-benar sama jika nilai IS = 100% dan sama sekali berbeda jika nilai IS = 0% (Ludwig & Reynolds 1988). Adapun nilai indeks kesamaan komunitas vegetasi habitus pohon pada berbagai tipe hutan disajikan pada Tabel 11.
11 Tabel 11 Indeks kesamaan komunitas vegetasi habitus pohon
IS (%) Hutan Primer LOA 20 tahun LOA 4 tahun LOA 1 tahun
Hutan Primer 100 74.30 60.55 68.23
LOA 20 tahun 100 56.83 64.61
LOA 4 tahun 100 61.93
LOA 1 tahun 100
LOA : logged Over Area, IS : Indeks Kesamaan.
Berdasarkan indeks kesamaan komunitas yang disajikan pada Tabel 11, lokasi bekas tebangan yang paling mirip dengan hutan primer adalah LOA berumur 20 tahun (74.30%), disusul dengan LOA berumur 1 tahun (68.23%) dan LOA berumur 4 tahun (60.55%). Nilai IS yang tinggi yaitu antara hutan primer dan LOA berumur 20 tahun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wibowo (1995), semakin tua umur tegakan hutan bekas tebangan maka komunitasnya akan semakin menyerupai hutan primer. Namun pada LOA 1 tahun dengan hutan primer nilai IS lebih tinggi dibandingkan dengan LOA 4 tahun. Hal ini terjadi akibat dari perbedaan kerusakan tegakan tinggal setelah pemanenan meliputi kerapatan tegakan sebelum pemanenan, perebahan dan kedudukan pohon yang ditebang dalam tegakan (Heriyanto et al. 2010). LOA 4 tahun memiliki kerusakan tegakan tinggal yang lebih tinggi daripada LOA 1 tahun sehingga dapat mempengaruhi nilai IS.
Hubungan Asosiasi antar Jenis Keruing dan Asosiasi Keruing dengan Jenis Dominan Lainnya
Keberadaan suatu spesies di alam dapat saja bersifat bebas terhadap kehadiran atau ketidakhadiran jenis lain, namun dapat juga terjadi interaksi antara dua atau lebih spesies (Krebs 1978). Menurut Hubalek (1982) diacu dalam Ludwig & Reynolds (1988) menyatakan bahwa hubungan antara kedua spesies terjadi karena kedua spesies memilih atau menghindari habitat yang sama, kedua spesies memiliki kebutuhan biotik dan abiotik yang sama, atau salah satu atau kedua spesie memiliki kesamaan satu sama lain baik itu berupa suatu ketertarikan maupun penolakan.
Tabel 12 Pola hubungan asosiasi antara D. hasseltii dan D. elongatus
Tipe Hutan CoA X2hitung X20.05 Pola Hubungan Asosiasi
Hutan Primer 0.23 0.93 3.84 Tidak Berasosiasi LOA 20 tahun 0.40 0.38 3.84 Tidak Berasosiasi LOA 4 tahun 0.45 0.75 3.84 Tidak Berasosiasi LOA 1 tahun 0.20 0.14 3.84 Tidak Berasosiasi
LOA : logged Over Area, CoA : Koefisien Asosiasi.
Berdasarkan perhitungan dengan metode presence-absence atau matriks kontingensi didapatkan hasil bahwa tidak ada asosiasi antara D. hasseltii dengan
D. elongates pada semua tipe hutan.
Selain asosiasi antara kedua jenis keruing, juga dilakukan perhitungan hubungan asosiasi dengan jenis dominan lainnya yaitu 5 jenis yang memiliki INP terbesar pada masing-masing lokasi. Pada hutan primer D. hasseltii berasosiasi
12
dengan Hydnocarpus merrillianus (0.53) dan Hydnocarpus woodii (0.09) atau asosiasinya tinggi dan sangat rendah. Jenis D. elongatus cenderung hanya berasosiasi dengan H. woodii dengan koefisien asosiasi sebesar 0.54 sehingga asosiasi kedua jenis tersebut tergolong tinggi.
Jenis D. hasseltii pada LOA 20 tahun memiliki asosiasi dengan jenis
Hydnocarpus woodii nilai koefisien asosiasi sebesar 0.46 atau asosiasinya
tergolong rendah. Jenis D. elongatus tidak berasosiasi dengan jenis yang lain pada lokasi ini.
Pada LOA 4 tahun D. elongatus yang berasosiasi dengan Shorea ovalis nilai koefisien asosiasinya sebesar 0.52 atau tergolong tinggi. Ada kecenderungan
D. hasseltii tidak berasosiasi dengan jenis yang lain pada lokasi ini. Pada LOA 1
tahun D. hasseltii berasosiasi dengan Homalium grandiflorum adapun nilai koefisien asosiasinya sebesar 0.28 atau tergolong asosiasi rendah. Sedangkan D.
elongatus tidak berasosiasi dengan jenis yang lain pada lokasi ini.
Fakta di atas menunjukkan bahwa pada pada hutan primer begitu banyak jenis yang berasosiasi dengan D. hasseltii keberadaanya satu sama lain tidak saling bebas (tidak bebas). Pada area yang berada pada ketinggian tempat yang lebih rendah, D. hasseltii hanya berasosiasi dengan jenis H. grandiflorum dan H.
woodii sedangkan pada LOA 4 tahun tidak berasosiasi dengan jenis apapun. Hal
ini menunjukkan bahwa pada daerah yang lebih rendah altitudenya, jenis D.
hasseltii bersifat bebas terhadap jenis lain. Begitupun dengan jenis D. elongatus
yang hanya berasosiasi dengan H. woodii pada hutan primer dan Shorea ovalis pada LOA 4 tahun.
Kondisi ini dapat menjadi penciri suatu tapak yang disukai oleh keruing atau adanya saling ketertarikan antar jenis tersebut. Oleh karena itu, regenerasi buatan keruing dapat dilakukan dengan menanam terlebih dahulu jenis-jenis yang berasosiasi dengan keruing, dan menghindari penanaman jenis yang tidak berasosiasi. Untuk mempertahankan jenis lokal terutama yang endemik serta meningkatkan biodeversitas maka penanaman dapat diselingi dengan jenis lokal.
[[
SIMPULAN DAN SARAN
SimpulanPola sebaran D. elongatus dan D. hasseltii adalah seragam. Areal bekas tebangan (LOA 20 tahun) memiliki kesamaan komunitas sebesar 74.30% dengan areal hutan primer. Jenis D. hasseltii berasosiasi dengan H. merrillianus (CoA = 0.53), H. woodii (CoA = 0.09) dan H. grandiflorum (CoA = 0.28). D. elongatus memiliki asosiasi dengan H. woodii (CoA = 0.46) dan S. ovalis (CoA = 0.54).
Saran
Pemanenan jenis keruing menggunakan metode reduce impact logging agar regenerasi alami tidak terganggu dan mempertahankan pola sebaran seragam sehingga kelimpahan di alam masih terjaga. Regenerasi buatan keruing dapat dilakukan dengan menanam terlebih dahulu jenis-jenis yang berasosiasi dengan keruing untuk mempercepat terbentuknya kondisi hutan seperti hutan primer.
13 Keperluaan biodiversitas penanaman keruing dapat diselingi dengan tanaman lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Cairns SJ, Schwager SJ. 1987. A comparison of association indices. Animal
Behavior 35:1454–1469.
Connel JH. 1963. Territorial behavior and dispersion in some marine invertebrates. Research in Population Ecology (5): 87-101.
Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Heddy S, Soemitro SB, Soekartomo S. 1986. Pengantar Ekologi. Jakarta: Rajawali.
Heriyanto NM, Subiandono E, Bismark M. 2010. Potensi Jenis Dipterocarpaceae di Hutan Produksi Cagar Biosfer Pulau Siberut, Sumatera Barat. Buletin
Plasma Nutfah 16(1): 64-71.
Hubalek Z. 1982. Coefficients of association and similarity based on binary (presence-absence) data: an evaluation. Biological Reviews (57): 669-689. Indriyanto. 2008. Ekologi Hutan. Jakarta: PT. Bumi Aksara
[IUCN] The International Union for Conservation of Nature. 2012. The IUCN red list of threatened species. http://www.iucnredlist.org. [17 Februari 2012]. Jongjitvimol T, Boontawon K, Wandee W, Deowanish S. 2005. Nest dispersion of
a stingless bee species, Trigona collina Smith, 1857 (Apidae, Meliponinae) in a mixed deciduous forest in Thailand. The Natural
History Journal of Chulalongkon University 5(2):69-71.
Kalima T. 2008. Profil keragaman dan keberadaan spesies dari suku Dipterocarpaceae di Taman Nasional Meru Betiri, Jember. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 5(2):175-191.
Kartawinata K. 1983. Jenis – Jenis Keruing. Bogor: Lembaga Biologi Nasional LIPI.
Krebs CJ. 1978. Ecology, The Experimental Analysis of Distribution and
Abundance. New York: Harper and Row Publisher.
Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology: A primer on methods and
computing. New York: John Willey and Sons.
Odum E. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Tjahjono Samingan [terjemahan]. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Poole RW. 1974. An Introduction To Quantitative Ecology. New York: Mc-Graw Hill Book Company.
[PT SSS] PT Salaki Summa Sejahtera. 2008. Rencana Kerja Umum Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu PT Salaki Summa Sejahtera. Jakarta: PT Salaki Summa Sejahtera.
Quinn JF, Dunham AE. 1983. On hypothesis testing in ecology and evolution.
American Naturalist 122:602-617.
Rambe A, Nasoetion AH. 1992. Buku Kerja Teknik Penarikan Contoh. Bogor: PAU Ilmu Hayat , Institut Pertanian Bogor.
Sembiring S. 2008. Sifat kimia dan fisik tanah pada areal bekas tambang bauksit Di Pulau Bintan, Riau. Info hutan 5(2):123-134.
14
Soerianegara I, Indrawan A. 1982. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
Susanti AR. 2000. Pola sebaran jenis meranti merah (Shorea leprosula) di hutan hujan dataran rendah [Thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sutarahardja S. 1982. Inventarisasi Hutan. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
Wibowo H. 1995. Studi struktur tegakan dan komposisi jenis pohon pada hutan rawa gambut PT. National Timber and Forest Product Riau [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
15
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bojonegoro pada tanggal 3 Maret 1990 dari ayah Machfudz Sidik dan ibu Siti Nur Inayati. Penulis adalah putra pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2008 penulis lulu dari MAN 1 Bojonegoro dan tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai staf Departemen Kajian Strategis dan Advokasi BEM FAKULTAS KEHUTANAN, ketua Divisi Keprofesian FMSC IPB, ketua Organisasi Mahasiswa Daerah Bojonegoro, anggota badan pengawas organisasi di FMSC IPB dan Organisasi Mahasiswa Daerah Bojonegoro. Selain itu penulis juga aktif dalam berbagai kepanitian yang ada di Fakultas Kehutanan dan IPB. Bulan Juni 2010 penulis melaksanakan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) yang bertempat di Sancang Timur dan Gunung Papandayan, Jawa Barat. Bulan Juni-Juli 2011 penulis melaksanakan Praktik Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Jawa Barat. Bulan Februari-Mei 2012 penulis melakukan Praktik Lapangan dan dilanjut dengan penelitian di PT. Salaki Summa Sejahtera Pulau Siberut Sumatera Barat dengan judul Pola Sebaran Jenis Keruing (Dipterocarpus spp.) di Areal Konsesi Hutan PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Sumatera Barat.
Penulis juga aktif mengikuti kegiatan magang mandiri di KPH Parengan, Litbang Kehutanan, dan Hutan Pendidikan Gunung Walat. Selama masa kuliah penulis memperoleh beasiswa BMU dari DIKTI tahun 2008 sampai 2009 dan BBM pada tahun 2011 sampai 2012.