• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENDEKATAN TEORITIS. 2.1 Tinjauan Pustaka Kebijakan Pemerintah dalam Hal Gender dalam Pembangunan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENDEKATAN TEORITIS. 2.1 Tinjauan Pustaka Kebijakan Pemerintah dalam Hal Gender dalam Pembangunan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Kebijakan Pemerintah dalam Hal Gender dalam Pembangunan

INPRES No. 9 Tahun 2000 menetapkan Pengarusutamaan Gender (PUG) sebagai strategi mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan nasional dan semua sektor pembangunan, baik di pusat maupun daerah. Konsep PUG tersebut dinyatakan sebagai suatu strategi untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender (KKG) melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan laki-laki dan perempuan ke dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan sektor pembangunan.

Pemerintah mempertegas pentingnya PUG tersebut dalam pelaksanaan RPJMN 2010-2014, bahwa PUG menjadi salah satu dari tiga pengarusutamaan bersamaan dengan pembangunan berkelanjutan dan tata kelola pemerintahan yang baik. Sebagaimana diketahui, pemerintah menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan yang berprinsip untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Tata kelola pemerintahan yang baik merupakan tatanan pengelolaan manajemen yang ditandai dengan penerapan prinsip-prinsip tertentu, antara lain: keterbukaan, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi, supremasi hukum, keadilan, dan partisipasi.

PUG dalam pembangunan dinyatakan sebagai strategi yang digunakan untuk mengurangi kesenjangan antara penduduk laki-laki dan perempuan Indonesia dalam mengakses dan mendapatkan manfaat pembangunan, serta meningkatkan partisipasi dan mengontrol proses pembangunan. PUG dilakukan dengan mengintegrasikan perspektif (sudut pandang) gender ke dalam proses pembangunan di setiap bidang, sehingga akan menghasilkan kebijakan publik yang lebih efektif untuk mewujudkan pembangunan yang lebih adil dan merata bagi seluruh penduduk Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan.

(2)

2.1.2 Konsep dan Pendekatan Gender 2.1.2.1 Perbedaan Gender dan Jenis Kelamin

Menurut Fakih (1996), konsep gender berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin (seks) adalah penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia, yang ditentukan secara biologis dan melekat pada jenis kelamin tertentu, sementara gender diartikan sebagai berbagai sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan, yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Adapun menurut Woods (2001) dalam Mugniesyah (2007), pengertian jenis kelamin yang dibedakan ke dalam laki-laki dan perempuan merujuk pada perbedaan biologis diantara mereka baik dalam aspek genital eksternal maupun internal (khususnya kromosom dan hormon); sementara gender diartikan sebagai suatu konstruksi sosial yang bervariasi lintas budaya, berubah sejalan perjalanan waktu dalam suatu kebudayaan tertentu, serta bersifat relasional, karena maskulinitas dan feminitas memperoleh maknanya dari fakta dimana masyarakat kitalah yang menjadikan mereka berbeda. Hal tersebut menegaskan bahwa gender bukan jenis kelamin dan bukan perempuan, namun merujuk pada diferensiasi (pembedaan) peranan dan posisi (status) antara laki-laki dengan perempuan yang tidak didasarkan atas perbedaan biologis, tetapi dibentuk secara sosial dan budaya di dalam suatu masyarakat.

2.1.2.2 Peranan Gender

Menurut Moser (1993) dalam Mugniesyah (2007) peranan gender dibedakan ke dalam tiga kategori peranan gender (triple roles), yaitu:

1) Peranan produktif, yakni peranan yang dikerjakan laki-laki dan perempuan untuk memperoleh bayaran/upah secara tunai atau sejenisnya; di dalamnya meliputi produksi pasar dengan suatu nilai tukar, produksi rumahtangga/subsisten dengan suatu nilai guna, serta juga suatu nilai tukar potensial. Contohnya, kegiatan bekerja baik di sektor formal maupun informal.

2) Peranan reproduktif, yakni peranan yang berhubungan dengan tanggung jawab pengasuhan anak dan tugas-tugas domestik yang dibutuhkan untuk menjamin pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja yang menyangkut

(3)

kelangsungan keluarga; seperti aktivitas melahirkan, memelihara dan mengasuh anak, mengambil air, memasak, mencuci, membersihkan rumah, memperbaiki baju, dan lainnya.

3) Peranan pengelolaan masyarakat dan politik, yang dibedakan ke dalam dua kategori:

a. Peranan pengelolaan masyarakat (kegiatan sosial), yang mencakup semua aktivitas yang dilakukan pada tingkat komunitas sebagai kepanjangan peranan reproduktif, bersifat volunter dan tanpa upah.

b. Pengelolaan masyarakat politik (kegiatan politik), mencakup peranan yang dilakukan pada tingkat pengorganisasian komunitas pada tingkat formal secara politik, biasanya dibayar (langsung atau tidak langsung), dan meningkatkan kekuasaan atau status.

2.1.2.3 Teknik Analisis Gender

Teknik analisis gender diartikan sebagai alat untuk melakukan pengujian secara sistematis terhadap peranan-peranan, hubungan-hubungan dan proses-proses yang memusatkan perhatiannya pada ketidakseimbangan kekuasaan, kesejahteraan dan beban kerja antara laki-laki dan perempuan di semua masyarakat. Analisis gender dapat dilakukan dengan menggunakan kerangka analisis Harvard. Kerangka analisis Harvard digunakan dengan tujuan, antara lain untuk memetakan kerja laki-laki dan perempuan dalam komunitas dan menemukenali perbedaan di antara mereka. Kerangka Harvard ini digunakan untuk mengumpulkan informasi pada tingkat mikro, khususnya pada tingkat rumahtangga, yang meliputi empat aspek penting, yaitu: (1) Profil Aktivitas Sosial Ekonomi, untuk mengetahui siapa melakukan apa, dimana dan untuk berapa lama); (2) Profil akses dan kontrol, untuk mengetahui siapa yang akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat), dan (3) Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kedua aspek di atas, serta untuk melihat faktor lain yang mempengaruhi diferensiasi gender (Wigna, 2003; NZAID, 2006)

Seperti telah dikemukakan di depan, Surbakti dkk (2001) dalam Mugniesyah, Puspitawati, dan Windarti (2003) menyatakan adanya empat faktor utama untuk mengidentifikasi ada tidaknya kesenjangan gender: akses, kontrol,

(4)

partisipasi dan manfaat. Menurut mereka, aspek akses mempertanyakan apakah laki-laki dan perempuan memperoleh akses yang sama terhadap sumberdaya-sumberdaya pembangunan; aspek kontrol mempertanyakan apakah laki-laki dan perempuan memiliki kontrol atau kekuasaan yang sama terhadap sumberdaya-sumberdaya pembangunan tersebut; aspek partisipasi mempertanyakan apakah dan bagaimana laki-laki dan perempuan berpartisipasi dalam program-program pembangunan; dan aspek manfaat mempertanyakan apakah laki-laki dan perempuan menikmati manfaat yang sama dari hasil pembangunan.

Berkenaan dengan alokasi kekuasaan atau kontrol, Sajogyo P (1990) menyatakan adanya lima pola pengambilan keputusan dalam keluarga (rumahtangga), yaitu keputusan yang diambil oleh: (a) suami sendiri, (b) isteri sendiri, (c) suami dan isteri, namun suami dominan, (d) suami dan isteri, namun isteri dominan, dan (e) suami dan isteri, setara.

2.1.3 Pengelolaan Repong Damar 2.1.3.1 Riwayat Singkat Repong Damar

Resin merupakan cairan getah lengket yang dipanen dari beberapa jenis pohon hutan, merupakan produk dagang tertua dari hutan alam Asia Tenggara (Michon dkk, 2000). Selanjutnya Michon dkk menyatakan bahwa hutan-hutan alam Indonesia menghasilkan berbagai jenis resin, yang dikenal sebagai terpentin, kopal dan damar. Damar merupakan istilah umum yang digunakan di Indonesia untuk menamakan resin dari pohon-pohon yang termasuk suku Dipterocarpaceae. Damar terdiri dari dua macam, yaitu damar batu dan damar mata kucing. Damar batu adalah damar bermutu rendah berwarna coklat kehitaman, yang keluar sendirinya dari pohon yang terluka. Adapun damar mata kucing adalah damar bening atau kekuningan yang bermutu tinggi, sebanding dengan kopal, yang dipanen dengan cara melukai kulit pohon dari genus Shorea javanica.

Menurut Michon dkk (2000), repong damar di Pesisir Krui merupakan contoh keberhasilan sistem yang dirancang dan dilaksanakan sendiri oleh penduduk setempat dalam mengelola hutan secara lestari dan menguntungkan. Secara umum proses pembuatan kebun damar, meliputi sejumlah tahapan. Pada tahun pertama, berlangsung pembukaan dan pembakaran vegetasi petak lahan

(5)

(rimba, belukar, atau alang-alang) yang dilanjutkan dengan penanaman padi, sayuran, dan buah-buahan seperti pisang dan pepaya. Pada tahun kedua dilakukan penanaman padi kedua dan penanaman kopi diantara padi. Pada tahun ketiga sampai tahun ketujuh atau kedelapan, dilakukan penanaman bibit damar di sela-sela tanaman kopi, serta penanaman tanaman kayu dan buah-buahan. Panen kopi berlangsung sejak tahun keempat sampai dengan tiga atau empat tahun berikutnya. Mulai tahun ke delapan sampai dengan 20 tahun, pohon-pohon damar berkembang di antara kopi yang mulai rusak, buah-buahan (nangka, durian, duku) dan kayu (kayu bakar, kayu perkakas, kayu bangunan) yang dipanen seperlunya. Setelah repong berumur di atas 20 tahun, penyadapan getah pohon damar mulai dilakukan. Kebun damar dikembangkan terus menerus melalui penanaman kembali rumpang dan penganekaragaman alami.

Lubis (1997) melaporkan bahwa jumlah dan sebaran jenis-jenis tanaman poduktif pada fase repong sangat variatif antara satu bidang dengan bidang lainnya atau antara satu atar dengan atar lainnya. Atar adalah terminologi lokal untuk menyebutkan suatu hamparan lahan yang terletak di suatu lokasi tertentu dan dibuka pada kurun waktu yang sama. Setiap atar mempunyai nama khusus yang menjadi tanda pengenal bagi penduduk, biasanya menggunakan nama tumbuhan, bukit, sungai, atau gejala alam lainnya. Adapun bidang adalah istilah lokal yang mengacu kepada luasan lahan yang menjadi bagian dari satu atar, yang dibuka dan kemudian dimiliki oleh sebuah keluarga, dengan rata-rata luasan sekitar satu hektar.

Michon dkk (2000) menegaskan bahwa repong damar merupakan salah satu contoh pelaksanaan usahatani yang bersifat berkelanjutan, baik dari segi ekonomi, sosial-budaya, maupun ekologi. Secara ekonomis, dengan mengambil alih peranan hutan alam dalam perekonomian desa, repong berjasa mengurangi gangguan manusia terhadap sisa hutan alam. Pada gilirannya, kegiatan produktif yang berlangsung secara bertahap itu akan memberikan kontribusi ekonomi bagi petani secara terus-menerus dalam jangka panjang. Resin damar yang dipanen secara berkala memberi pendapatan tunai secara rutin untuk nafkah keluarga. Dari repong juga bisa dipetik hasil tanaman lain seperti disebutkan di atas, ditambah kayu bakar, bahan bangunan dan juga beragam jenis tumbuhan obat.

(6)

Pengelolaan repong damar oleh masyarakat petani di Pesisir Krui, Lampung Barat ini diakui pemerintah Indonesia sebagai suatu sistem usahatani yang dibangun masyarakat setempat sebagai sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari (berkelanjutan). Itu sebabnya, kepada mereka pemerintah Indonesia pada tahun 1997 menganugerahkan penghargaan Kalpataru, suatu penghargaan bagi penyelamat lingkungan (Michon dkk, 2000).

2.1.3.2 Sistem Penguasaan Repong Damar

Terdapat dua sistem penguasaan lahan repong damar, yaitu : hak milik dan hak waris (Michon dkk, 2000). Lahan hak milik menunjuk pada lahan repong yang dibangun sendiri oleh pemiliknya sehingga ia dapat menjual, menggadaikan, membagi-bagikan, menebang pohon-pohon damar dan mengganti dengan tanaman cengkeh atau tanaman lain sesukanya. Pemilik memiliki hak mutlak atas lahan milik. Dalam hak waris, pewaris memiliki hak permanen khusus untuk memakai dan mengelola lahan yang diwarisinya, namun hak khusus ini dibatasi oleh ketentuan-ketentuan resmi dan tidak resmi, dan mengandung kewajiban sosial.

Hampir semua peneliti repong damar sebagaimana tersebut di atas melaporkan sistem penguasaan lahan repong pada masyarakat Krui. Menurut Lubis (1997) dan Michon dkk (2000), adat orang Krui menentukan bahwa harta orang tua harus diwariskan kepada anak laki-laki tertua dalam keluarga itu (generasi kedua); dan selanjutnya harta itu akan diwariskan pula kepada anak lelaki sulung pada generasi ketiga; demikian seterusnya. Harta pusaka yang demikian tidak bisa dimiliki, melainkan hanya dikuasai, dan pengalihan hak milik kepada orang lain di luar anggota keluarga harus seizin anggota-anggota keluarga luas. Dengan demikian, sebidang lahan yang tadinya berupa unit produktif yang menjadi hak eksklusif sebuah rumah tangga, secara perlahan berubah menjadi harta milik bersama keluarga luas.

Hasil studi terdahulu, seperti Fikarwin (1996), Lubis (1997), dan Michon dkk (2000), juga melaporkan bahwa akumulasi penguasaan harta pusaka pada anak lelaki sulung tersebut menyebabkan ekonomi rumah tangga mereka relatif lebih mapan dibandingkan dengan adik-adik mereka. Posisi yang elitis sesuai adat

(7)

itu mendorong adik-adik mereka untuk membangun ekonomi rumah tangganya dengan daya kekuatan mereka sendiri, sehingga gerak ekspansi pembukaan lahan baru biasanya dimotori oleh kalangan ini. Alternatif lain bagi mereka adalah menjadi pedagang pengumpul di tingkat desa, yang kemudian memungkinkan mereka melakukan akumulasi keuntungan yang mereka investasikan untuk membeli atau menerima gadaian lahan repong damar.

Pada kasus sebuah keluarga tidak memiliki repong damar dari warisan, ia dapat membuat sendiri repong damar dengan cara membuka hutan. Selain itu dia juga bisa: (a) mengusahakan repong damar milik orang lain dengan cara ngandan (serah-kelola) atau mendapatkan kepercayaan dari pemilik repong tersebut; (b) menerima gadaian repong damar orang lain, (c) mengelola repong orang lain dengan cara bagi hasil (paroan); atau upahan ngunduh; atau (d) menyewa repong orang lain. Bagi kaum perempuan di dalam sebuah rumah tangga bisa juga pergi

ngelahang di lahan repong orang lain; atau menjadi buruh angkut dan sortir; atau

melakukan kombinasi dari berbagai kegiatan tersebut. Berdasar penjelasan di atas, seseorang pada masyarakat Krui, bisa mendapatkan hak kepemilikan atas bidang repong damar melalui tiga cara, yaitu: (1) membuat sendiri, (2) menerima warisan, dan (3) membeli. Adapun melalui hak untuk menguasai dan mengusahakan repong damar dimungkinkan melalui enam cara yakni melalui: (1) warisan, (2) gadai/sanggal, (3) serahkelola/ ngandan, (4) bagi-hasil/ paroan, (5) upahan, dan (6) menyewa/pak (Lubis, 1997).

2.1.3.3 Pengelolaan Repong Damar

Menurut fase produktifnya, Lubis (1996) dan Michon dkk (2000) menyatakan bahwa tradisi pembukaan lahan hutan yang dilakukan masyarakat Krui di Lampung Barat mencakup tiga fase produktif: darak, kebun, dan repong. Perbedaan fase tersebut dimanifestasikan ke dalam bentuk tindakan pengelolaan lahan. Fase produktif pertama dimulai ketika petani sudah selesai mempersiapkan lahan siap tanam (pangrula/darak) yang lazimnya membutuhkan waktu sekitar 2-3 bulan. Fase ini ditandai oleh kegiatan pengelolaan tanaman subsistensi berupa padi ladang dan palawija. Kegiatan menanam padi ladang dan palawija dilakukan terutama untuk menyediakan pasokan pangan bagi petani selama pengelolaan

(8)

lahan pada fase produktif kedua. Pada fase pertama ini, padi dan palawija hanya ditanam satu sampai dengan dua kali di lahan yang sama, setelah itu mereka mengalihkan kegiatannya pada perawatan tanaman komersial seperti kopi, lada, cengkeh.

Fase kebun, dimulai ketika tanaman komersial seperti lada, kopi, atau cengkeh, sudah mendominasi tegakan di lahan bekas ladang, yaitu sekitar tahun ketiga sejak pembukaan lahan. Pohon buah-buahan, petai, jengkol, sudah menghasilkan mulai tahun kelima, sehingga petani pemiliknya secara berkala (ketika musim buah) sudah memanen buah-buahan sebelum memasuki fase produktif repong. Fase repong dinyatakan berlaku apabila bidang sudah dipenuhi oleh beragam jenis tanaman keras seperti damar, duku, durian, petai, jengkol, melinjo, dan nangka. Namun demikian, repong damar baru benar-benar produktif setelah berusia di atas 20 tahun, ketika pohon damar sudah siap ditakik untuk mendapatkan resin. Selanjutnya, frekuensi kunjungan petani ke repong damar semakin sering dan berlangsung terus-menerus sepanjang pohon damar masih produktif (Lubis, 1997). Gambar tahapan pembuatan repong damar selengkapnya disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Tahapan Pembuatan Repong Damar (CIFOR, Watala dan Universitas Indonesia, 1999; Michon dkk, 2000) Darak (0-2 tahun) Kebun Tanaman Muda (3-8 tahun) Kebun Campuran (9-15 tahun) Kebun Damar Muda ( < 20 tahun) Repong Produktif ( > 20 tahun) Tipe Lahan

(9)

CIFOR, Watala, dan Universitas Indonesia (1999) menyatakan bahwa dalam pengelolaan damar terdapat lima tipe/bentuk bidang repong, yakni darak, kebun tanaman muda, kebun campuran, kebun damar muda, dan repong produktif. Darak adalah bentuk bidang repong yang didominasi tanaman padi dan palawija. Kebun tanaman muda adalah kebun yang didominasi oleh tanaman tahunan jangka pendek: kopi dan lada. Kebun campuran adalah bentuk bidang repong yang berisi bermacam pohon: damar, tanaman muda, dan sayuran. Selanjutnya, kebun damar muda adalah bentuk bidang repong yang didominasi pohon damar muda (usia kurang dari 20 tahun). Sementara, repong produktif adalah bentuk bidang repong yang berisi pohon damar produktif (usia lebih dari 20 tahun).

Michon dkk (2000) menyebutkan bahwa kegiatan pengelolaan repong damar menciptakan rangkaian kegiatan ekonomi lain, selain yang berpusat pada budidaya repong damar, yaitu pemanenan, pengangkutan dari kebun ke desa, penyimpanan, sortasi, dan pengangkutan ke para pedagang besar di Pasar Krui. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan oleh pemilik kebun dan keluarga, pekerja upahan, dan oleh pedagang pengumpul baik yang beroperasi dalam perjalanan antara kebun dan desa, ataupun tingkat desa.

Selain itu, dilihat dari jenis pekerjaan yang bisa memberikan penghasilan dari repong damar, Lubis (1997) melaporkan bahwa seseorang bisa mendapatkan hasil dari repong damar dengan cara: (a) ikut memanen getah damar (ngunduh), (b) bekerja upahan membuat pepat di batang damar (mepat), dan (c) mengumpulkan biji damar yang jatuh berserakan di bawah batang damar (ngelahang). Pekerjaan terakhir ini biasanya dilakukan oleh ibu-ibu rumahtangga sambil mereka mengumpulkan kayu api dan meramu sayuran di dalam repong damar (tandang midang). Ketika resin damar dibawa petani ke pasar (pedagang pengumpul atau cecingkau di tingkat desa), perolehan tidak langsung dari repong damar juga didapatkan penduduk melalui pekerjaan-pekerjan, yaitu: (a) ngambica, yakni menjadi buruh angkut damar, dan (b) mileh, yaitu bekerja menyortir damar di gudang. Dengan demikian, hampir semua rumah tangga, baik pemilik repong damar maupun yang tidak berlahan bisa memperoleh peluang untuk mendapatkan pendapatan dari repong damar.

(10)

2.2 Kerangka Pemikiran

Penelitian yang berjudul “Analisis Gender dalam Rumahtangga Petani Repong Damar di Pemangku 3, Pekon Penengahan, Lampung Barat” ini merujuk pada beberapa konsep, teori dan pendekatan tentang gender dan pembangunan dari sejumlah ahli, khusunya Sajogyo P (1990), serta Moser (1993) dalam Mugniesyah, Puspitawati, dan Windarti (2003) dan Wigna (2003), serta Surbakti dkk (2001) dalam Mugniesyah, Puspitawati, dan Windarti (2003). Penelitian ini juga merujuk pada sejumlah hasil penelitian empiris dalam pengelolaan repong damar oleh masyarakat Krui, Lampung Barat yang dilakukan Fikarwin (1996), Lubis (1997), CIFOR, Watala, Universitas Indonesia (1999), Michon dkk (2000), dan Pramono (2000).

Dengan merujuk pada pendapat para ahli gender tersebut di atas, penelitian ini akan menganalisis empat dimensi gender dalam rumahtangga petani pengelola repong damar pada masyarakat Krui yang meliputi: akses, kontrol, partisipasi dan manfaat. Aspek akses akan diukur melalui kesempatan yang diperoleh anggota rumahtangga petani (ART), laki-laki dan perempuan, terhadap sumberdaya repong damar, dan dalam aktivitas pengelolaan repong damar. Dalam hal kontrol, akan diukur melalui peran serta ART, laki-laki dan perempuan, dalam pengambilan keputusan berkenaan aktivitas pengelolaan repong damar. Dalam hal aspek partisipasi, akan diukur melalui peran serta ART, laki-laki dan perempuan, dalam semua sejumlah kegiatan/program pembangunan (atas inisiatif pemerintah) yang diintroduksikan kepada mereka. Adapun aspek manfaat, akan diukur melalui keuntungan, baik yang bersifat ekonomis maupun sosial, yang diperoleh ART, laki-laki dan perempuan, dari akses dan kontrol mereka atas pengelolaan repong damar, maupun atas partisipasi mereka dalam program pembangunan, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan SDA dan lingkungan. Dengan demikian, dalam penelitian ini terdapat empat variabel terpengaruh tentang gender dalam rumahtangga pengelola repong damar, yaitu: Tingkat Akses ART Laki-laki dan Perempuan dalam Pengelolaan Repong Damar (Y1), Tingkat Kontrol ART Laki-laki dan Perempuan dalam Pengelolaan Repong Damar (Y2), Tingkat Partisipasi ART Laki-laki dan Perempuan dalam Program Pembangunan berkenaan Repong

(11)

Damar (Y3), dan Tingkat Manfaat Yang Diperoleh ART Laki-laki dan Perempuan dalam Pengelolaan Repong Damar (Y4).

Merujuk pada metode dan hasil empiris penelitian Mugniesyah, Puspitawati, dan Windarti (2003), Tingkat Akses ART Laki-laki dan Perempuan dalam Pengelolaan Repong Damar (Y1) akan diukur dari curahan waktu yang digunakan mereka dalam semua aktivitas pengelolaan repong damar dalam setahun terakhir. Adapun Tingkat Kontrol ART Laki-laki dan Perempuan dalam Pengelolaan Repong Damar (Y2) akan diukur oleh pola pengambilan keputusan yang dilakukan ART berkenaan semua kegiatan dalam pengelolaan repong. Variabel Tingkat Partisipasi ART Laki-laki dan Perempuan dalam Program Pembangunan berkenaan Repong Damar (Y3) akan diukur melalui jumlah (frekuensi) keikutsertaan mereka dalam kegiatan-kegiatan program pembangunan (dari pemerintah) yang terkait dengan pengelolaan Repong Damar. Adapun Tingkat Manfaat yang Diperoleh ART Laki-laki dan Perempuan dalam Pengelolaan Repong Damar (Y4), akan diukur melalui manfaat ekonomis baik berupa hasil yang dikonsumsi langsung maupun pendapatan (rupiah) yang diterima dari hasil penjualan komoditi pada bidang repong dalam setahun terakhir.

Sebagaimana telah dilaporkan para peneliti repong di atas, menurut fase produktifnya, repong damar dibedakan ke dalam tiga fase yang meliputi: darak, kebun, dan repong; adapun menurut tipe lahannya repong dibedakan ke dalam lima kategori: darak, kebun tanaman muda, kebun campuran, kebun damar muda, dan repong produktif. Sehubungan dengan itu, terdapat dua variabel pengaruh pada karakteristik fisik repong damar, yaitu Fase Produktif Repong (X1) dan Tipe Lahan Repong (X2).

Umum diketahui bahwa pengelolaan usahatani dilakukan oleh anggota rumahtangga petani, dengan demikian dalam penelitian ini diduga terdapat sejumlah variabel pada karakteristik rumahtangga petani yang juga memengaruhi dimensi gender dalam rumahtangga pengelola repong damar. Untuk menentukan variabel pengaruh tersebut, penelitian ini merujuk pada beberapa temuan para peneliti terdahulu. Hasil studi Fikarwin (1996), Lubis (1997) dan Michon dkk (2000) melaporkan adanya keragaman dalam hal pola pemilikan lahan di kalangan rumahtangga pengelola repong damar. Mereka juga mengemukakan bahwa

(12)

pengelolaan repong damar dilakukan oleh rumahtangga, baik berbentuk keluarga inti maupun keluarga luas; dan bahwa hampir semua ART usia kerja terlibat dalam pengelolaan repong damar. Hasil studi CIFOR, Watala, dan Universitas Indonesia (1999) serta Pramono (2000) mengemukakan bahwa pada rumahtangga petani di Pesisir Krui dijumpai adanya ART yang bekerja di sektor non pertanian, yang secara langsung mempengaruhi pendapatan rumahtangga. Adapun dari hasil studi Sajogyo P (1990) ditemukan bahwa peranan perempuan dalam kegiatan produktif sangat berhubungan dengan kehadiran anak balita dalam rumahtangga petani tersebut.

Merujuk pada sejumlah temuan para peneliti tersebut di atas, terdapat lima variabel pengaruh pada karakteristik sumberdaya rumahtangga petani yang diduga berhubungan dengan dimensi gender dalam rumahtagga pengelola repong damar. Kelima variabel pengaruh tersebut adalah: Status Penguasaan Lahan Repong (X3), Bentuk Keluarga (X4), Jumlah Anak Balita dalam Rumahtangga (X5), Jumlah Tenaga Kerja Perempuan dalam Rumahtangga (X6), dan Jumlah Anggota Rumahtangga Perempuan yang Bekerja di Luar Sektor Pertanian (X7) yang diduga berhubungan dengan semua variabel terpengaruh pada gender dalam rumahtangga pengelola repong damar. Berdasar pada kerangka pemikiran tersebut di atas, hubungan antara variabel pengaruh dan variabel terpengaruh dalam penelitian dapat dilihat dalam Gambar 2.

2.3 Hipotesis Penelitian

1. Semakin tinggi semua variabel pada karakteristik fisik repong damar semakin rendah tingkat akses, kontrol, partisipasi, dan manfaat anggota rumahtangga petani perempuan dibanding laki-laki dalam pengelolaan Repong Damar.

2. Semakin tinggi semua variabel pada karakteristik rumahtangga pengelola repong damar kecuali variabel jumlah tenaga kerja perempuan dalam rumahtangga yang bekerja di repong, semakin rendah tingkat akses, kontrol, partisipasi, dan manfaat anggota rumahtangga petani perempuan dibanding laki-laki dalam pengelolaan repong damar.

(13)

3. Semakin rendah tingkat akses, kontrol, dan partisipasi anggota rumahtangga petani (perempuan) dalam pengelolaan repong damar, maka semakin rendah tingkat manfaat yang diperoleh anggota rumahtangga petani perempuan dibanding laki-laki dalam pengelolaan repong damar.

2.4 Definisi Operasional

1. Tingkat Akses ART Laki-laki dan Perempuan dalam Pengelolaan Repong Damar (Y1) adalah total waktu (jam) yang dialokasikan anggota rumahtangga laki-laki (ARL) dan anggota rumahtangga perempuan (ARP) dalam kegiatan produktif pengelolaan repong damar dalam setahun terakhir dibedakan dalam dua kategori, yakni: (1) rendah, jika total waktu yang dialokasikan ARL dan ARP kurang dari atau sama dengan 261 jam; (b) tinggi, jika total waktu (jam) yang dialokasikan ARL dan ARP sebanyak 262 - 2844 jam.

2. Tingkat Kontrol ART Laki-laki dan Perempuan dalam Pengelolaan Repong Damar (Y2) adalah total skor yang diperoleh ARL dan ARP dalam pengambilan keputusan yang berlangsung pada semua kegiatan pengelolaan repong damar. Variabel ini diukur dengan merujuk Sajogyo P (1990) tentang lima pola pengambilan keputusan dalam rumahtangga dan konsep kesetaraan gender, yakni: (a) suami sendiri; (b) isteri sendiri; (c) suami dan isteri, suami dominan; (d) suami dan isteri, isteri dominan; dan (e) suami dan isteri, secara setara.

3. Tingkat Partisipasi ART Laki-laki dan Perempuan dalam Program Pembangunan berkenaan Pengelolaan Repong Damar (Y3) adalah total frekuensi keikutsertaan ARL dan ARP dalam kegiatan-kegiatan program pembangunan berkenaan pertanian, kebutuhan sosial dan program pengelolaan SDA (termasuk repong damar).

4. Tingkat Manfaat yang Diperoleh ART Laki-laki dan Perempuan dalam Pengelolaan Repong Damar (Y4) adalah jumlah pendapatan dalam bentuk rupiah yang diperoleh ARL dan ARP dari kegiatan produktif pada pengelolaan repong damar dalam setahun terakhir.

(14)

5. Fase Produktif Bidang Repong (X1) adalah tahapan produktif dari bidang repong damar yang sedang dikelola rumahtangga. Merujuk pada temuan Lubis (1997) dan Michon dkk (2000), berkenaan tiga fase produktif bidang repong, variabel ini dibedakan ke dalam: (a) darak; (b) kebun; dan (c) repong.

6. Tipe Lahan Repong (X2) adalah bentuk bidang repong yang sedang dikelola rumahtangga. Penelitian CIFOR, Watala, dan Universitas Indonesia (1999) menyatakan adanya lima bentuk bidang repong, karenanya variabel ini dibedakan ke dalam: (a) darak; (b) kebun tanaman muda; (c) kebun campuran; (d) kebun damar muda; dan (e) repong produktif.

7. Status Penguasaaan Lahan Repong (X3) adalah total skor dari jenis hak penguasaan lahan repong damar di kalangan rumahtangga petani repong damar. Merujuk pada Lubis (1997), dibedakan ke dalam: (a) skor 1, jika hak penguasaan lahan repong termasuk dalam jenis bukan milik (gadai/sanggal, serah kelola/ngandan, bagi hasil/paroan, dan menyewa/ pak); (b) skor 2, jika hak penguasaan lahan repong termasuk dalam jenis milik (membuat sendiri, warisan, dan membeli). Selanjutnya, oleh karena ditemukan adanya keragaman dalam hal lahan yang dikuasai rumahtangga petani repong damar, maka variabel ini dikategorikan ke dalam: (1) rendah, jika total skor terhadap jenis hak penguasaan adalah kurang dari atau sama dengan enam; dan (2) tinggi, jika total skor terhadap jenis hak penguasaan lahan antara tujuh sampai dengan 11.

8. Bentuk Keluarga (X4) adalah tipe keluarga pada rumahtangga pengelola repong damar yang dengan merujuk pada Fikarwin (1996) dan Michon dkk (2000) dibedakan dalam dua kategori, yaitu: (a) rendah, jika terdiri dari hanya keluarga inti; dan (b) tinggi, jika terdiri atas keluarga luas. 9. Jumlah Anak Balita dalam Rumahtangga (X5) adalah banyaknya anak

perempuan dan/atau anak laki-laki dalam rumahtangga petani pengelola repong damar yang berumur di bawah lima tahun, dibedakan dalam dua kategori: (a) rendah, jika tidak ada seorangpun anak balita; (b) tinggi, jika jumlah anak balita adalah seorang dan dua orang.

(15)

10. Jumlah Tenaga Kerja Perempuan dalam Rumahtangga (X6) adalah banyaknya ARPP pada rumahtangga petani pengelola repong damar. Merujuk pada CIFOR, Watala, dan Universitas Indonesia (1999), dibedakan dalam dua kategori, yakni: (a) rendah, jika jumlah tenaga kerja perempuannya adalah seorang; dan (b) tinggi, jika jumlah jumlah tenaga kerja perempuannya adalah dua dan tiga orang.

11. Jumlah Anggota Rumahtangga Perempuan Yang Bekerja Di Luar Sektor Pertanian (X7) adalah banyaknya individu ARPP yang bekerja di luar sektor pertanian (seperti pedagang, pengrajin bebalang, penjahit, buruh pabrik, dan tenaga kesehatan); dibedakan dalam dua kategori: (a) rendah, jika tidak ada seorangpun ARPP yang bekerja di luar sektor pertanian; (b) tinggi, jika jumlah ARPP yang bekerja di luar sektor pertanian sebanyak seorang.

(16)

22

Gambar 2 Hubungan antara Variabel Pengaruh dengan Variabel Terpengaruh pada Penelitian Analisis Gender dalam Rumahtangga Petani Repong Damar di Pemangku 3, Pekon Penengahan, Lampung Barat

Keterangan:

: Berhubungan

Karakteristik Rumahtangga Petani Repong Damar 1. Status Penguasaaan

Lahan Repong (X3) 2. Bentuk Keluarga (X4) 3. Jumlah Anak Balita

dalam Rumahtangga (X5) 4. Jumlah Tenaga Kerja

Perempuan dalam Rumahtangga (X6) 5. Jumlah ART Perempuan

yang Bekerja Di Luar Sektor Pertanian(X7) Karakteristik Repong Damar

1. Fase Produktif Bidang Repong (X1)

2. Tipe Lahan Repong (X2)

ANALISIS GENDER DALAM

RUMAHTANGGA PETANI REPONG DAMAR 1. Tingkat Akses ART Laki-laki dan Perempuan

dalam Pengelolaan Repong Damar (Y1)

2. Tingkat Kontrol ART Laki-laki dan Perempuan dalam Pengelolaan Repong Damar (Y2)

3. Tingkat Partisipasi ART Laki-laki dan Perempuan dalam Program Pembangunan berkenaan Pengelolaan Repong Damar (Y3)

4. Tingkat Manfaat yang Diperoleh ART Laki-laki dan Perempuan dalam Pengelolaan Repong Damar (Y4)

Gambar

Gambar 1 Tahapan Pembuatan Repong Damar (CIFOR, Watala dan Universitas  Indonesia, 1999; Michon dkk, 2000)  Darak (0-2 tahun)  Kebun Tanaman Muda (3-8 tahun) Kebun Campuran (9-15 tahun) Kebun Damar Muda ( &lt; 20 tahun) Repong Produktif ( &gt; 20 tahun) Ti
Gambar 2 Hubungan antara Variabel Pengaruh dengan Variabel Terpengaruh pada Penelitian Analisis Gender dalam  Rumahtangga Petani Repong Damar di Pemangku 3, Pekon Penengahan, Lampung Barat

Referensi

Dokumen terkait

Sebutkan tujuan dari Program Ekonomi Gerakan Benteng yang dipelopori oleh Dr. Dalam rangka upaya pembebasan Irian barat, dikeluarkan Trikora yang dilaksanakan dalam 3 fase,

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui teknik- teknik yang diterapkan dalam usaha budidaya ikan badut, mencakup aspek pemeliharaan induk dan pemijahan,

Dari latar belakang diatas, penulis melakukan penelitian berupa pengenalan gender berdasarkan parameter fitur atau matriks ( features-based ) pada wajah dengan menggunakan

Berdasarkan análisis data dari pembahasan pada penelitian tindakan kelas ini, dapat disimpulkan bahwa penerapan Model Blended Learning dapat meningkatkan kreativitas siwa

Manfaat yang diharapkan dari penelitian eksperimen tentang efektivitas penggunaan media gambar seri untukmeningkatkan keterampilan bercerita siswa pada pembelajaran Tematik

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan sistem tanam dan dosis pupuk kandang sapi serta interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata

Model terbaik adalah hasil pemodelan dari metode RKU yang ditambahkan peubah boneka pada data presipitasi GCM dengan time lag berdasarkan bentuk model yang lebih

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, segala puji dan syukur yang sedalam-dalamnya kepada Allah SWT Tuhan semesta alam, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, serta