• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 7 Pemerintah Dorong Kawasan Hortikultura Terpadu. [April, 2010]

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA. 7 Pemerintah Dorong Kawasan Hortikultura Terpadu. [April, 2010]"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

14

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konteks, Ruang Lingkup, dan Faktor-faktor Penting dalam

Pembangunan dan Pengembangan Pertanian Terpadu

Pembangunan dan pengembangan pertanian terpadu di suatu daerah memiliki makna yang berbeda. Pembangunan pertanian terpadu diidentikan dengan aktivitas memulai sebuah pertanian terpadu dimana sebelumnya sama sekali masih belum ada pertanian terpadu di lokasi tersebut. Pada aktivitas pengembangan pertanian terpadu lebih ditekankan pada pembenahan pola pengusahaan atau penambahan aktivitas produksi pada pertanian terpadu yang telah diterapkan .

Pengelolaan kebun kelapa sawit plasma merupakan salah satu contoh pengelolaan pertanian terpadu secara vertikal. Perkebunan kelapa sawit plasma melibatkan perkebunan rakyat dimana pengembangannya diintegrasikan ke perkebunan besar swasta nasional maupun negeri yang berfungsi sebagai unit pengolahan sawit sekaligus pemasaran produk olahan kelapa sawit (CPO). Model pengembangan pertanian terpadu terbaik yang diperoleh adalah dengan pemberdayaan kelompok tani, pemerintah daerah, dan LSM sehingga sehingga dapat dikatakan bahwa model integrasi terbaik dibangun pada skala wilayah (Wigena 2009). Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Perkebunan PIR-TRANS PTPN V Provinsi Riau yang dibangun oleh Wigena (2009) dapat menunjukkan bahwa harga produk, tingkat produksi, serta ruang lingkup pengembangan integrasi vertikal memegang peranan penting dalam kesuksesan model integrasi vertikal ini.

Program pembanguan pertanian terpadu secara vertikal juga cukup banyak yang dilakukan pemerintah. Pertanian terpadu secara vertikal biasanya dilakukan pada skala wilayah karena melibatkan berbagai pihak yang memiliki fungsi berbeda. Dirjen Hortikultura pada tahun 2009 berencana mengembangkan 16 kawasan terpadu yang tersebar di seluruh Indonesia7. Daerah-daerah yang akan dikembangkan antara lain kawasan hortikultura mangga di kawasan Cirebon, Indramayu, Majalengka, Probolinggo, Pasuruan, Situbondo, Bondowoso; bawang

7 Pemerintah Dorong Kawasan Hortikultura Terpadu.

(2)

15

merah di Brebes, Cirebon, Kuningan; jamur di Karawang dan Subang; cabai Ciamis dan Tasikmalaya; manggis di Purwakarta, Subang, Tasikmalaya dan Bogor; melon di Pekalongan, Karanganyar, Sragen; temulawak di Semarang; salak di(11) Sleman, Banjarnegara, Magelang; nanas di Kuburaya, Pontianak (Kalimantan barat); kentang di Modoinding; kawasan tanaman hias daun potong di Magelang, Semarang, Wonosobo dan Boyolali, tanaman taman di Sumatera Barat (Padang, Padang Panjang, Bukittinggi), Riau (Pekanbaru) dan Kepulauan Riau, Batam dan Bintan; bunga dan daun potong di Jawa Barat (Bandung, Bandung Barat, Cianjur dan Sukabumi, Anggrek, bunga dan daun potong di Jabodetabek dan Bunga Potong di Tomohon (Sulawesi Utara). Pengembangan kawasan pertanian terpadu tersebut akan melibatkan aktivitas pasca panen, sortasi, pengemasan, dan pengembangan rantai pasokan sampai dengan ke konsumen.

Berbeda halnya pada pertanian terpadu secara horisontal dimana dapat dibangun atau dikembangan pada skala terkecil yakni rumah tangga petani. Pertanian terpadu secara horisontal ditunjukkan dengan diversifikasi usaha yang dikelola secara bersama dengan adanya hubungan sinergis antara aktivitas yang dipadukan. Penerapan pertanian terpadu di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa memiliki corak pengusahaan yang berbeda. Meskipun sebagian besar aktivitas yang diusahakan dipadukan secara horizontal namum sebagian besar usahatani terpadu di Pulau Jawa mayoritas ditunjukkan dengan integrasi antara tanaman pangan maupun hortikultura dengan hewan ternak .

Misalnya adalah program introduksi ternak domba usahatani sayuran di Desa Canggal, Kabupaten Temanggung, Propinsi Jawa Tengah. Penelitian Kusnadi et al. ( 2006) di lokasi tersebut menunjukkan bahwasanya terdapat perbedaan cara pengelolaan pertanian terpadu antara ternak domba dengan usahatani sayuran. Petani-petani yang tidak diintroduksikan pola pertanian integrasi mengusahakan usahatani sayuran dan ternak domba pada skala rumah tangga petani. Berbeda halnya pada petani yang diintroduksikan pola pengelolaan pertanian secara terpadu, dimana setiap petani mengusahakan sayuran organik pada skala rumah tangga dengan pengelolaan ternak domba secara berkelompok. Dengan demikian pengelolaan terpadu tersebut dilakukan pada skala wilayah. Petani-petani yang diintroduksikan usahatani terpadu sayuran-domba yang

(3)

16

dikelola secara kelompok memberikan peningkatan pendapatan yang lebih tinggi (50,53 persen) daripada pengelolaan domba dalam skala rumah tangga petani (26 persen). Adanya pengelolaan domba secara berkelompok mampu meningkatkan angka kelahiran anakan, menurunkan persentase kematian, dan meningkatkan pertambahan bobot badan domba per bulannya.

Penerapan pertanian terpadu secara horizontal di luar Pulau Jawa sebagian diusahakan dengan pengelolaan terpadu antara tanaman perkebunan-tanaman pangan-hewan ternak. Kondisi tersebut dapat ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Rosyid (1990) di Sumatera Selatan maupun oleh Handayani (2009) di Sulawesi Tengah, dan Elly et al. (2008) di Sulawesi Utara. Pola pengusahaan aktivitas usahatani terpadu di luar Pulau Jawa tersebut diidentikan dengan pengusahaan bersama tanaman pangan baik palawija maupun padi, tanaman perkebunan misalnya kakao, kelapa, karet, dan hewan ternak misalnya sapi atau domba, dalam satu rumah tangga petani. Seringkali pola pengusahaan ketiga kegiatan usahatani tani tersebut memiliki hubungan yang kompetitif dalam hal penggunaan tenaga kerja. Misalnya adalah pada saat tanaman perkebunan tidak berada pada masa menghasilkan atau tidak berbuah maka sebagian besar curahan tenaga kerja akan dialokasikan untuk kegiatan usahatani tanaman pangan sehingga keberadaan usahatani tanaman perkebunan dan ternak adalah sebagai usahatani pendukung. Berbeda halnya pada saat tanaman perkebunan berada pada masa berbuah atau menghasilkan maka sebagian besar curahan tenaga kerja akan dialokasikan untuk kegiatan perkebunan sehingga keberadaan usahatani tanaman pangan dan ternak adalah sebagai pendukung (Rosyid 1990). Maka dapat dikatakan bahwasanya posisi sebuah aktivitas usahatani pada usahatani terpadu di luar Pulau Jawa senantiasa berubah tergantung pada masa produksi tanaman. Posisi hewan ternak adalah sama saja dari waktu ke waktu yakni sebagai aktivitas usaha pendukung usahatani tanaman.

Penerapan pertanian terpadu secara horizontal juga cukup banyak diterapkan di dunia. Misalnya dapat ditunjukkan oleh aktivitas usahatani terpadu antara usaha perikanan, tebu, usahatani daun mulberi dan ulat sutera di delta Sungai Zhujian, Cina (Ruddle dan Zhong 1988). Adanya keterpaduan antara keempat aktivitas tersebut dapat memproduksi berbagai jenis komoditas dalam

(4)

17

jumlah yang jauh lebih banyak dan memiliki areal produksi yang luas. Areal produksi yang luas dan jumlah produksi yang melimpah tidak menjamin adanya potensi keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan daerah lain yang notabene aktivitas pertaniannya belum terintegrasi. Total keuntungan wilayah akibat penerapan pertanian terpadu di delta Sungai Zhujian menunjukkan hasil yang lebih rendah daripada daerah lain yang tidak terintegrasi. Penyebabnya adalah faktor harga komoditas sutera yang dihasilkan oleh petani memiliki harga yang lebih rendah dibanding daerah lain karena kualitasnya sutera yang dihasilkan memang lebih rendah.

Adanya pasar input produksi usahatani yang berasal dari luar daerah Zhujian dapat menjadi ancaman tersendiri bagi aktivitas pertanian terpadu di daerah tersebut. Ancaman yang dimaksud adalah adanya penurunan total keuntungan wilayah akibat pengggunaan input dari luar Zhujian dengan harga lebih mahal pada tingkat produksi dan harga produk yang sama sehingga keuntungan yang dihasilkan akan lebih kecil. Apabila produk antara yang dihasilkan di dalam sistem terpadu Zhujian tidak mampu mampu memenuhi kebutuhan input di dalam sistem maka kekurangan tersebut akan dipenuhi dengan membeli dari luar sistem. Jumlah kekurangan input yang cukup besar tentu saja akan meningkatkan penggunaan input dari luar sistem yang lebih mahal sehingga keuntungan yang diperoleh akan jauh lebih kecil. Pada kondisi aktual, sistem pertanian terpadu di Zhujian relatif mampu memenuhi kebutuhan produk antara (intermediate product) di dalam sistem sehingga jumlah input produksi yang dibeli dari luar sistem cukup rendah.Pemilihan aktivitas yang diintegrasikan di Delta Zhujian tentu saja didasari oleh adanya pemahaman terhadap hubungan sinergis yang dapat diciptakan oleh aktivitas-aktivitas tersebut.

Kondisi serupa juga terjadi di Desa Karehkel, dimana aktivitas yang diintegrasikan merupakan aktivitas-aktivitas yang memungkinkan untuk bersinergi satu sama lain dalam meningkatkan produksi maupun total keuntungan. Rencana penerapan pertanian terpadu di Desa Karehkel yang melibatkan beberapa kelompok tani yang memiliki aktivitas produksi secara spesifik menunjukkan bahwa keterpaduan yang akan diterapkan adalah secara horisontal. Keberadaan pertanian terpadu di Desa Karehkel yang masih dalam tahap perencanaan

(5)

18

memposisikan penelitian ini pada perencanaan pembangunan pertanian terpadu yang melibatkan aktivitas usahatani sayuran organik, ternak domba, ternak kelinci, aktivitas produksi silase dan pupuk bokashi.

Adanya faktor harga produk dan ketersediaan pasar input (pasar produk antara) dari luar sistem yang menjadi faktor penting dalam menentukan total keuntungan wilayah, menyebabkan kedua faktor tersebut perlu diperhatikan saat merencanakan pertanian terpadu di Desa Karehkel. Dengan memperhatikan kedua faktor tersebut maka pertanian terpadu yang direncanakan di Desa Karehkel dapat memberikan insentif ekonomi yang lebih tinggi daripada penyelenggaraan pertanian secara tidak terpadu. Daya tarik ekonomi tersebut dapat menjadi informasi bagi petani sehingga mampu mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi teknologi pengelolaan pertanian secara terpadu.

2.2. Dampak Penerapan Pertanian Terpadu

Sebagai pelaku ekonomi, seorang petani senantiasa berupaya untuk meningkatkan pendapatan usahataninya. Upaya yang dapat dilakukan petani untuk meningkatkan pendapatannya adalah dengan cara meningkatkan produksi dan melakukan penghematan terhadap biaya-biaya usahatani. Melalui penyelenggaraan pertanian terpadu, khususnya usahatani tanaman-hewan ternak terpadu, petani sekaligus dapat meningkatkan produksi (jumlah maupun jenis produk) dan melakukan penghematan biaya usahatani. Penghematan terhadap biaya pupuk dan pakan ternak menjadi hal yang sangat penting karena kedua komponen biaya tersebut merupakan salah satu komponen biaya terbesar.

Hanifah (2008) membuktikan bahwa dengan adanya penerapan pertanian terpadu di Pondok Pesantren Al Ittifaq, Kampung Ciburial, Desa Alam Endah, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung, dapat menghemat biaya pakan ternak dan biaya pupuk yakni masing-masing sampai dengan 36,2 persen dan 24,5 persen. Terjadinya penghematan akibat penyelenggaraan pertanian secara terpadu dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Kariyasa dan Pasandaran (2005) pada beberapa lokasi integrasi usahtani tanaman-ternak yakni padi dan sapi di Jawa Tengah. Penggunaan pupuk kandang pada usahatani terintegrasi tanaman ternak dapat menghemat pengeluaran biaya pupuk sekitar 18,14%-19,48% atau 8,8% dari total biaya. Pada kondisi usahaternak maupun usahatani tanaman yang

(6)

19

dilakukan secara tidak terintegrasi, komponen biaya pakan ternak rata-rata dapat mencapai 48,77 persen (Agustina 2007; Febriliany 2008; Widagdho 2008; Stani 2009) sedangkan biaya pupuk rata-rata dapat mencapai 22 persen dari total pengeluaran yakni komponen biaya terbesar kedua setelah biaya tenaga kerja (Wahyuni 2007; Maimun 2009; Surbakti 2009).

Analisis pendapatan usahatani yang dilakukan oleh Noor (1996) , Kariyasan dan Pasandaran (2005), dan Hanifah (2008) memberikan hasil yang bervariasi terhadap peningkatan pendapatan usahatani saat dilakukan secara terpadu. Namun secara keseluruhan hasil analisis pendapatan usahatani menunjukkan bahwa adanya penerapan pertanian terpadu dapat memberikan pendapatan usahatani yang lebih tinggi daripada penyelenggaraan usahatani tidak terpadu. Kariyasa dan Pasandaran (2005) bahkan menyebutkan pengelolaan usahatani secara terpadu dapat memberikan pendapatan bersih hingga 21 persen lebih tinggi dari pengusahaan usahatani tidak terpadu.

Penerapan pertanian terpadu ternyata tidak selamanya memberikan dampak positif terhadap aktivitas usahatani yang dilakukan. Efisiensi tenaga kerja dan efisiensi penggunaan modal pada aktivitas usahatani terpadu lebih rendah daripada usahatani tidak terpadu. Cukup beragamnya aktivitas dalam usahatani terpadu, misalnya pengelolaan dua atau lebih kegiatan usahatani secara bersamaan, memerlukan modal dan curahan tenaga kerja yang lebih tinggi. Apabila curahan tenaga kerja dan modal yang lebih tinggi tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan penerimaan usahatani yang lebih tinggi pula akan menyebabkan pada efisiensi tenaga kerja dan efisiensi modal yang lebih rendah daripada aktivitas usahatani monokultur atau tidak terintegrasi. Dwiyana dan Mendoza (2002) menguatkan kondisi tersebut, dimana efisiensi penggunaan tenaga kerja dan efisiensi penggunaan modal pada sistem usahatani minapadi adalah lebih rendah daripada usahatani padi monokultur. Meskipun demikian, secara keseluruhan pendapatan usahatani minapadi adalah lebih tinggi daripada usahatani padi monokultur.

Agar penyelenggaraan pertanian terpadu dapat menguntungkan maka selain perlu memperhatikan aspek kompatibilitas antara komoditas utama pada suatu daerah dengan aktivitas pendukung dalam pertanian terpadu, petani juga

(7)

20

perlu untuk memperhatikan daya dukung lingkungan terhadap aktivitas usahatani yang dilakukan. Studi literatur yang dilakukan oleh Kusnadi (2008) terhadap berbagai penelitian di agroekosistem lahan kering dataran tinggi, lahan kering dataran rendah, lahan sawah, lahan pasang surut, lahan perkebunan, dan lahan kering beriklim kering menunjukkan bahwa adanya perbedaan jenis komoditas yang diintegrasikan, perbedaan jumlah pengusahaan masing-masing aktivitas, dan dampak ekonomi yang dihasilkan. Misalnya pengembangan pertanian terpadu di daerah dataran tinggi, tepatnya di hulu sungai yang harus memperhatikan kemiringan lahan, kedalaman tanah, erodibilitas, persepsi petani, dan permintaan pasar. Jumlah ternak yang dipelihara sebaiknya berjumlah 11-12 ekor domba atau 2 ekor sapi yakni sesuai dengan kapasitas lahan teras bangku. Pemeliharaan ternak domba sebanyak 11-12 ekor atau dua ekor sapi mampu menyumbang 36 persen kebutuhan pupuk kandang dalam setahun. Pengintegrasian aktivitas usahatani yang kurang tepat dapat berdampak pada kerugian di tingkat petani dan kegagalan program pertanian terpadu di daerah tersebut.

Rencana penerapan pertanian terpadu di Desa Karehkel juga harus memperhatikan hubungan sinergis yang dapat dibangun pada aktivitas yang diintegrasikan. Adanya pertanian terpadu di Desa Karehkel diharapkan dapat mengoptimalkan pemanfatan limbah yang dihasilkan sehingga dapat menciptakan penghematan dan meningkatkan total keuntungan wilayah Desa Karehkel. Sangat pentingnya daya tarik ekonomi teknologi pengelolaan pertanian terpadu yang ditujukan untuk memperbaiki teknologi pengelolaan usahatani yang sudah ada (tidak terpadu) di Desa Karehkel, membuat analisis dalam penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai aktivitas usaha yang sebaiknya diintegrasikan sehingga dapat memaksimumkan total keuntungan wilayah.

2.3. Permodelan Pertanian Terpadu

Perencaan pembangunan pertanian terpadu maupun perbaikan pola pengusahaan pertanian terpadu kurang tepat jika hanya menggunakan pendekatan analisis usahatani. Analisis melalui pendekatan pendapatan usahatani tidak dapat memberikan informasi yang lengkap mengenai alokasi sumberdaya dan pola pengusahaan usahatani yang optimal sehingga dapat memaksimumkan keuntungan. Oleh karena itu perencanaan pertanian terpadu di suatu daerah

(8)

21

maupun perbaikan pola pengusahan terpadu di suatu daerah seringkali menggunakan permodelan linear programming (LP).

Penggunaan LP dalam perencanaan pertanian terpadu di suatu lokasi sangat cocok untuk digunakan karena LP dapat menggambarkan alokasi sumberdaya yang optimal yang disertai dengan adanya berbagai kendala sumberdaya yang dimiliki petani (Schiere et al. 2002). Analisa program linear juga dapat digunakan untuk menyusun kebijakan informasi mengenai struktur hubungan yang salin terkait, keuntungan komparatif, potensi produksi, kesempatan kerja, dan pola produksi pertanian (Kasryno 1979, diacu dalam Amareko 1983). Oleh karena itu LP cukup banyak digunakan untuk membangun maupun memperbaiki pola pengusahaan pertanian terpadu di suatu lokasi sehingga dapat memberikan keuntungan yang maksimum jika dibandingkan dengan pola pengusahaan yang dilakukan petani.

Penggunaan LP untuk membenahi pola usaha pertanian terpadu dilakukan oleh Panggabean (1982) di dua desa di Kabupaten Magelang dan satu desa Kabupaten Wonosobo dengan tipe daerah yang berbeda-beda. Desa Sewukan mewakili lahan sawah di Kabupaten Magelang, Desa Kapuhan mewakili daerah lahan sawah dan lahan kering, dan Desa Tambi mewakili lahan kering di Kabupaten Wonosobo. Hasil analisis LP dapat memberikan informasi mengenai realokasi sumberdaya yang perlu dilakukan oleh petani, perbaikan pola tanam, dan perbaikan pola panen sehingga petani dapat memaksimumkan keuntungannya. Adanya karakteristik pengusahaan tanaman-hewan ternak di ketiga desa tersebut yang dikelola dalam satu rumah tangga petani menyebabkan unit analisis usahatani terpadu dilakukan pada skala rumah tangga petani. Selain itu Panggabean (1982) juga melibatkan adanya berbagai kendala dalam penyusunan LP yakni diantaranya sumberdaya lahan, tenaga kerja keluarga, modal kerja, dan konsumsi keluarga.

Penerapan pertanian terpadu di lokasi lainnya tentu saja akan melibatkan jenis kendala yang berbeda serta perlu memperhatikan karakteristik pengusahaan usahatani terpadu yang dilakukan oleh petani. Amareko (1983) menambahkan kendala kepemilikan ternak dalam model pertanian terpadu yang dibangun di dua kecamatan daerah kerja PDP II ( Provincial Areal Development Program),

(9)

22

Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Petani di dua kecamatan tersebut telah mengusahakan pertanian terpadu dengan jumlah lahan, jumlah ternak, jumlah tenaga kerja keluarga, modal kerja, dan konsumsi keluarga dengan jumlah tertentu sehingga model usahatani terpadu yang dibangun ditujukan untuk memperbaiki pola pengusahaan petani sesuai dengan kondisi aktual kedua kecamatan tersebut.

Model pertanian terpadu yang dibangun secara spesifik di Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah, selain melibatkan kendala sumberdaya lahan, tenaga kerja keluarga, modal, dan konsumsi keluarga, juga dilibatkan pula kendala ketersediaan hijauan lapang, ketersediaan kredit yang dapat diakses petani, dan kendala transfer pemanfaatan produk antara sebagai input produksi kegiatan usahatani lainnya (Handayani 2009). Pengusahaan ternak di Kabupaten Donggala memang seringkali menghadapai kendala pemenuhan kebutuhan pakan pada musim kemarau sehingga model yang dibangun melibatkan kendala ketersediaan hijauan lapang. Dalam kaitannya dengan modal petani di Kabupaten Donggala, petani juga biasanya meminjam ke toko pertanian, koperasi, maupun ke bank. Pada model usahatani terpadu yang dibangun oleh Howara (2004) di lokasi program P3T (Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu) di tiga desa yakni Desa Pasirmuncang, Desa Jatiserang, dan Desa Cijurey, Kecamatan Panyingkiran, Kabupaten Majalengkan Provinsi Jawa Barat, melibatkan kendala yang lebih banyak. Adanya keterbatasan benih dan pakan ternak membuat model yang dibangun juga melibatkan kendala ketersediaan benih dan pakan ternak.

Model usahatani terpadu yang dibangun oleh Panggabean (1982), Amareko (1983), Howara (2004) dan Handayani (2009) dapat menunjukkan bahwasanya dengan melakukan realokasi sumberdaya dan memperbaiki pola pengusahaan, pertanian terpadu dapat memberikan pendapatan usahatani yang lebih tinggi daripada pengusahaan secara tidak terpadu. Namun di sisi lain, pembenahan pola usahatani terpadu melalui pendekatan LP dapat merugikan petani. Penelitian Veysset et al. (2005) terhadap pembenahan sistem peternakan pembibitan sapi untuk menghadapi Reformasi Kebijakan Pertanian (CAP:Common Agricultural Policy) tahun 1992 di Perancis menunjukkan bahwa penerapapan model usahatani memberikan keuntungan yang lebih rendah sebesar

(10)

23

2-5 persen daripada pola pengusahaan aktual peternak. Secara ekonomi, hasil permodelan ini tentu saja tidak menarik bagi petani untuk menerapkan model optimal pengusahaan ternak secara terpadu maupun secara tidak terpadu karena potensi keuntungan yang dihasilkan adalah lebih rendah daripada pola usaha yang dilakukan petani pada kondisi aktual.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwasanya LP dapat menjadi salah satu alat analisis untuk merencanakan pertanian terpadu di suatu lokasi. Oleh karena itu untuk merumuskan MUSOT Desa Karekel, pada penelitian ini digunakan LP. MUSOT yang dibangun disesuaikan dengan rencana GPW dimana setiap aktivitas usaha akan dilakukan oleh kelompok-kelompok secara spesifik sehingga keterpaduan usahatani dibangun pada skala wilayah Desa Karehkel. Cukup banyaknya variasi kendala yang ditetapkan pada model integrasi yang dibangun pada berbagai lokasi menunjukkan bahwasanya dalam penyusunan model integrasi harus dibangun secara spesifik lokasi. Artinya dalam perancangan model integrasi di suatu lokasi harus memperhatikan berbagai kendala ketersediaan sumberdaya di lokasi yang bersangkutan sehingga model yang dibangun mungkin untuk diterapkan sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki oleh petani.

Dengan demikian, model usahatani terpadu sayuran organik-hewan ternak yang dirancang di Desa Karehkel harus memperhatikan ketersediaan sumberdaya dalam setiap aktivitas usahatani maupun ternak di Desa Karehkel. Model pertanian terpadu Desa Karehkel yang dirancang diharapkan dapat memberikan informasi kepada GPW mengenai aktivitas usaha apa yang sebaiknya diintegrasikan, banyaknya pengusahaan masing-masing aktivitas usaha, pengalokasian sumberdaya yang tepat berdasarkan kendala yang dibangun dalam MUSOT.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan melihat gambar tersebut diatas kita mempunyai gambaran berfikir bahwa sekurang – kurangnya dalam tahapan perkembangan perpustakaan, ada empat fase

™ Dr. Irwan Adi Ekaputra, selaku pembimbing skripsi dan dosen Manajemen Portofolio penulis. Penulis tidak hanya berterimakasih atas semua bimbingan dan kritikannya, tetapi juga

Pekerjaan lain yang tidak kalah pentingnya adalah sampling, yaitu pengambilan conto material yang sesedikit mungkin namun dapat mewakili material keseluruhan. Sampling

Oleh itu, objektif kajian ini adalah untuk mengenalpasti tahap penglibatan para pelajar Kolej Komuniti Kota Marudu (KKKMS) terhadap aktiviti kesukarelawanan, mengenalpasti

Pendidikan kebidanan memiliki kurikulum wajib seperti mata kuliah Askeb hamil dan Askeb persalinan yang setiap mahasiswi mempelajari mengenai kelainan yang terjadi

1. Keputusan Gubernur tentang Penetapan Status Siaga Darurat Penanganan Bencana Asap Akibat Kebakaran Hutan dan/Atau Lahan di Kalimantan Selatan. Penetapan Status Siaga

Keluarga peternak sapi (Ayah, Ibu, Anak) di Kabupaten Tanjung Jabung Barat berperan sebagai tenaga kerja keluarga dalam pemeliharaan ternak sapi secara

alat kelamin betina pada burung Saat kawin, kloaka jantan dan betina saling mendekat sehingga ketika sperma keluar dari kloaka jantan akan langsung masuk ke kloaka betina sehingga