• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Degradasi lahan yang disebabkan oleh aktivitas manusia telah menjadi isu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Degradasi lahan yang disebabkan oleh aktivitas manusia telah menjadi isu"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Degradasi lahan yang disebabkan oleh aktivitas manusia telah menjadi isu global penting sejak abad ke-20. Pada abad ke-21 sekarang, isu ini masih tetap menjadi penting oleh karena dampak yang ditimbulkan terhadap produktivitas ekonomi dan lingkungan yang berarti mengancam keamanan pangan dunia dan kualitas kehidupan (Eswaran et al., 2001). Pertumbuhan penduduk yang mempunyai kecenderungan terus meningkat dari tahun ke tahun menyebabkan kebutuhan akan lahan baik secara kualitatif maupun kuantitatif juga meningkat. Konsekuensi dari hal tersebut ialah semakin terbatasnya sumberdaya lahan. Pertambahan penduduk dan peningkatan kebutuhan akan lahan yang tidak diimbangi dengan pemanfaatan lahan yang baik dan tepat sesuai dengan kaidah konservasi tanah dan air, maka akan mempercepat proses terjadinya degradasi lahan (Sitorus dkk., 2009).

Penelitian pada skala global terkait degradasi lahan menunjukkan bahwa kehilangan tanah tahunan di dunia mencapai 75 miliar ton, dengan biaya kerugian mencapai US $ 400 miliar per tahun atau sekitar US $ 70 per orang per tahun (Eswaran et al., 2001). Pada skala nasional, berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Kehutanan Republik Indonesia melalui Permenhut Nomor: P.14/Menhut-II/2012, disebutkan bahwa luas lahan kritis di Indonesia dengan kriteria lahan kritis dan lahan sangat kritis mencapai 29,9 juta hektar (Anonim, 2012a). Data tersebut belum termasuk lahan dengan kriteria agak kritis dan potensial kritis, yang tentunya akan lebih luas. Apabila hal itu dikaitkan dengan

(2)

kecenderungan perkembangan jumlah penduduk dari data sensus, maka luas lahan kritis tersebut dikhawatirkan akan meningkat. Data sensus dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 1971 menunjukkan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 119,2 juta jiwa, tahun 1979 meningkat tajam menjadi 179,4 juta jiwa, tahun 2000 menjadi 206,3 juta jiwa dan terakhir pada sensus tahun 2010 penduduk Indonesia telah mencapai 237,6 juta jiwa (Anonim, 2012b).

Gagasan mengenai keterkaitan antara penduduk dengan lahan dalam hubungannya dengan ketahanan pangan bukanlah hal yang baru, Thomas Robert Maltus sejak tahun 1798 telah menciptakan kesadaran yang luas dari masalah keamanan pangan dalam sebuah “Essay on Population” yang berpendapat bahwa “the power of population is indefinitely greater than the power in the earth to produce subsistence for man” (Beinroth et al., 2001). Di sisi lain, Marquis de Condorcet, filsuf terkemuka Perancis, secara optimis mengungkapkan bahwa “France was finite, but the potential number of French infinite”. Pendapat itu kemudian dipertegas ketika kelaparan mengancam penduduk Perancis, dengan statemen “new instruments, machines and looms will continue to appear, and a very small amount of ground will be able to produce a great quantity of supplies" (Mann, 1993 dalam Beinroth et al., 2001).

Konsep Maltus dan Condorcet merupakan dua konsep yang berlawanan. Maltus memberikan pandangan yang pesimis bahwa populasi penduduk yang terus meningkat akan menyebabkan sumberdaya di Bumi tidak mampu lagi mencukupi kebutuhannya. Sedangkan Condorset lebih optimis, bahwa manusia dengan akalnya akan selalu berinovasi, sehingga mampu mengatasi permasalahan

(3)

kelangkaan sumberdaya dengan membuat teknologi-teknologi yang tepat guna. Perbedaan pandangan tersebut dimungkinkan karena minimnya data empiris mengenai hubungan antara populasi dengan degradasi lahan (Beinroth et al., 2001).

Dalam rangka mewujudkan visi pembangunan yang berkelanjutan, maka prinsip dasar yang berhubungan dengan sumberdaya lahan ialah bagaimana memenuhi kebutuhan lahan secara memadai untuk penduduk dan seluruh sektor pembangunan di Indonesia dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip konservasi lahan dan aspek daya dukung lahan. Daya dukung lahan merupakan kemampuan suatu lahan untuk mendukung kebutuhan-kebutuhan hidup manusia (Moniaga, 2011). Meningkatnya pembangunan dan taraf hidup masyarakat dapat meningkatkan persaingan penggunaan ruang (lahan), sehingga sering terjadi konflik yang berujung pada penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya dapat menyebabkan kerusakan lahan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

Degradasi lahan merupakan penurunan atau pengurangan hingga hilangnya potensi yang dimiliki lahan bagi semua bentuk kehidupan. Degradasi lahan dapat meliputi satu atau beberapa komponen lahan, satu atau beberapa proses yang menyertainya serta dapat ditunjukkan melalui satu atau beberapa indikator lingkungan (Asikin, 2010). Lahan terdegradasi merupakan hasil dari interaksi antara kondisi biologis, keadaan iklim, kondisi fisik sumberdaya lahan, dan manusia sebagai pengelolanya (Prasetyo, 2004). Karena tingginya jumlah dan

(4)

intensitas curah hujan di Indonesia, maka degradasi lahan yang terjadi di Indonesia umumnya disebabkan oleh erosi air hujan (Dariah dkk., 2004).

Menurut Asdak (1995) daerah aliran sungai, yang seterusnya disingkat dengan DAS, diartikan sebagai daerah yang dibatasi punggung – punggung bukit/ pegunungan dimana air hujan yang jatuh di daerah tersebut akan ditampung dan kemudian dialirkan melalui sungai – sungai kecil ke sungai utama. Permasalahan degradasi lahan dalam suatu daerah aliran sungai telah menjadi perhatian pemerintah Indonesia sejak era pembangunan tahun 1970-an. Pemerintah menganggap DAS sebagai unit pembangunan, namun kondisinya menunjukkan adanya gejala kerusakan/ degradasi yang disebabkan oleh perubahan kondisi lingkungan sebagai akibat dari penggunaan sumberdaya alam yang berlebihan oleh manusia. DAS dianggap sebagai suatu ekositem, dengan demikian di dalam DAS terhampar suatu daratan dengan komponen topografi, batuan, tanah, vegetasi, air, sungai, iklim, hewan, manusia dan aktivitasnya yang berada pada, di atas, dan di bawah tanah (Asdak, 1995).

Degradasi lahan telah mengakibatkan menurunnya kualitas ekosistem dan fungsi DAS sebagai sistem penyangga kehidupan, sehingga berdampak negatif terhadap kondisi lingkungan, ekonomi, dan sosial (Anonim, 2012a). Dampak negatif tersebut tentunya tidak ingin terus dibiarkan yang kemudian berkembang menjadi semakin lebih luas. Untuk mengatasi dampak negatif dari degradasi lahan maka harus dilakukan diagnosa yang tepat terhadap faktor-faktor yang menyebabkan degradasi, letak dan luas lahan yang terdegradasi, dan berbagai upaya penanggulangannya. Selain itu, penting juga untuk dilakukan kajian

(5)

mengenai metode inventarisasi degradasi lahan yang mudah, cepat, dan akurat, sehingga dapat dimanfaatkan untuk menyusun perencanaan konservasi lahan secara luas.

DAS Samin merupakan bagian dari Bengawan Solo Hulu yang berada di Jawa Tengah. DAS tersebut berhulu di lereng barat Gunungapi Lawu di Kabupaten Karanganyar dan mengalir hingga ke Bengawan Solo di Kabupaten Sukoharjo. DAS Samin mempunyai potensi yang besar untuk mendukung pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. Potensi DAS Samin antara lain:

1. Keaneka ragaman hayati yang tinggi terutama di DAS Samin hulu yang lokasinya berada di Lareng Gunungapi Lawu. Gunungapi ini telah lama tidak menunjukkan aktivitas vulkanik dalam sekala besar seperti letusan atau muntahan magma, sehingga vegetasi dan fauna saat ini relatif mapan. Hal inilah yang menyebabkan diketemukannya spesies – spesies biota yang bersifat endemik, seperti Jalak Lawu dan Cemara Gunung (Casuarina Junghuniana) (Setyawan, 2001).

2. Variasi topografi dan bentang lahan DAS Samin yang sangat khas, yakni di wilayah Tawangmangu (Lereng Barat daya Gunungapi Lawu) yang merupakan daerah yang subur dengan pemandangan sangat menarik. Di beberapa tempat ditemukan air terjun yang cukup besar seperti Grojogan Sewu. Selain itu, Gunungapi Lawu secara alamiah menjadi penghalang angin tenggara yang bersifat lembab untuk kemudian terkondensasi hingga menimbulkan hujan pada lereng tersebut.

(6)

3. Keberlimpahan sumberdaya air di wilayah DAS Samin yakni ditemukannya sumber – sumber air alami dengan debit cukup besar sehingga dapat memenuhi kebutuhan air penduduk. Bahkan air dari lereng Gunungapi Lawu ada yang didistribusikan sampai Kota Surakarta untuk mencukupi kebutuhan air minum.

4. Adanya situs – situs purbakala peninggalan penguasa terakhir Majapahit yaitu Raja Brawijaya V yang tidak bersedia mengikuti putranya, Raden Fatah, ke Demak. Situs – situs itu tersebar dari mulai kaki gunung, seperti Candi Sukuh dan Candi Cetho yang berada tidak jauh di sebelah utara DAS Samin (wilayah DAS Grompol), hingga wilayah puncak Gunungapi Lawu seperti Petilasan Argo Dalem, Petilasan Argo Dumilah, Sendang Drajat, dan lain – lain (Setyawan, 2001).

5. Potensi pariwisata alam dan wisata religi karena kelebihan – kelebihan seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Potensi besar DAS Samin tersebut tentu mendapatkan tanggapan manusia sebagai pengguna lahan sehingga tekanan terhadap lahan semakin tinggi. Tanggapan yang dilakukan berupa perambahan hutan untuk kegiatan pertanian, pembangunan rumah pada lereng – lereng terjal, dan perubahan penggunanaan lahan kawasan non-terbangun menjadi terbangun. Secara keruangan perubahan penggunaan lahan ini dipercepat oleh adanya keinginan masyarakat Kota Surakarta dan sekitarnya untuk mencari tempat tinggal yang berudara sejuk dan mempunyai pemandangan indah seperti di Tawangmangu. Selain itu daya tarik lokasi wisata juga mendorong bagi penyedia jasa untuk menyiapkan fasilitas

(7)

pendukung pariwisata seperti villa, hotel, dan homestay. Belum lagi pada tahun 2005 pemerintah membangun jalan tembus anatara dua provinsi yang ada di perbatasan Tawangmangu (Jawa Tengah) dan Sarangan (Jawa Timur) sehingga mempercepat gerakan penduduk untuk menuju ke hulu DAS Samin.

Dampak yang kurang baik dari berbagai aktivitas manusia dalam merespon potensi lahan telah dirasakan. Berbagai macam bencana dan gejala – gejala adanya degradasi lahan telah terjadi di DAS Samin seperti yang telah dilaporkan oleh berbagai media massa baik cetak maupun online dan oleh para peneliti sebelumnya, di antaranya:

1. Bencana tanah longsor yang terjadi di Hulu DAS Samin di Kecamatan Tawangmangu dan sekitarnya dalam kurun waktu lima tahun terahir kejadiannya cukup sering, baik dalam skala kecil maupun besar yang menimbulkan kerugian harta benda hingga korban jiwa. Sebagai contoh adalah kejadian longsor tanggal 26 Desember 2007 di dusun Mogol, Desa Ledoksari, Tawangmangu yang menimbulkan 34 jiwa tertimbun material longsor. Pada hari tersebut total korban meninggal akibat longsor di Kabupaten Karanganyar mencapai 64 orang (http://news.detik.com; http://news.okezone.com).

2. Bencana banjir tanggal 18 Februari 2009 yang merendam rumah – rumah di bagian hilir DAS Samin di Desa Laban, Desa Tegalmade, Desa Gadingan, Desa Telukan, dan Desa Pranan.

(8)

3. Penelitian tentang erosi oleh Nugraha dkk. (2006) menyebutkan bahwa luas DAS Samin mencapai 32.378,79 hektar dengan erosi sebesar 11.483,53 Ton/Thn. Tingkat bahaya erosi sangat ringan seluas 5,409 Ha (70,13%), ringan seluas 3.935,364 Ha (12,51%), sedang seluas 2.187,831 Ha (6,76%), berat seluas 2.187,831 Ha (6,76%) dan sangat berat seluas 1.800,882 Ha (5,56%). 4. Luas lahan kritis berdasarkan review lahan kritis tahun 2009 oleh Balai

Penelitian DAS Solo menunjukkan bahwa lahan kritis di Kabupaten Karanganyar mencapai 80.441,19 Ha dan Kabupaten Sukoharjo mencapai 49.146, 91 Ha (Anonim, 2009b). Secara spasial lokasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.1 yang dapat diketahui bahwa di wilayah DAS Samin di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar termasuk dalam kelas lahan agak kritis, kritis, hingga sangat kritis, sedangkan di Kabupaten Sukoharjo didominasi oleh lahan agak kritis yang terdapat di Kecamatan Bendosari dan Polokarto (Anonim, 2009a).

(9)

Gambar 1.1. Luas lahan kritis sebagian kabupaten yang masuk ke dalam SWP DAS Solo Tahun 2009 beserta Peta Lahan Kritis

(Sumber: Anonim, 2009a; Anonim, 2009b)

1.2 Rumusan Masalah

Degradasi lahan masih merupakan isu penting dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya lahan secara berkelanjutan. Dalam upaya mencapai pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia, maka prinsip dasar yang berkaitan dengan sumberdaya lahan yang perlu dipahami adalah bagaimana memenuhi kebutuhan lahan secara memadai dengan mempertimbangkan aspek lingkungan dan konservasi lahan. Hal itu bertujuan untuk tetap menjaga keseimbangan ekosistem agar tidak terjadi degradasi lahan.

(10)

Laporan hasil penelitian baik skala global maupun nasional menunjukkan adanya gejala – gejala degradasi lahan yang berdampak terhadap produktivitas ekonomi dan lingkungan yang dikhawatirkan akan mengancam keamanan pangan dunia dan kualitas kehidupan. Isu degradasi lahan kemudian banyak dikaitkan dengan adanya pertumbuhan dan pertambahan penduduk yang berlebihan, yang dinilai akan tetap tergantung pada ketersediaan lahan sebagai penunjang kehidupan.

Mengingat degradasi lahan bukanlah kejadian tunggal, melainkan merupakan hasil dari suatu proses interaksi antara kondisi biologis, keadaan iklim, kondisi fisik sumberdaya lahan, dan manusia sebagai pengelolanya maka perlu kiranya untuk dikaji sedemikian rupa faktor – faktor tersebut untuk mendapatkan suatu hasil sesuai dengan yang diharapkan. Kondisi fisik dan biologi, sosial di DAS Samin berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebelumnya menunjukkan adanya potensi dan bahaya yang saling terkait satu dengan yang lain. Potensi yang dimiliki diantaranya adalah keanekaragaman hayati yang tinggi, variasi topografi dan bentang alam yang baik, kaya akan sumberdaya air, banyak situs – situs peninggalan kejayaan masa lalu, dan adanya potensi pariwisata alam dan religi.

Tanggapan manusia terhadap potensi yang dimiliki DAS Samin tentu bermacam – macam sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan. Pada sebagian masyarakat yang telah berkembang dimana kebutuhan ekonomi sudah sangat tinggi, perambahan hutan untuk kegiatan pertanian menjadi suatu hal yang tidak bisa dihindarkan. Pada sebagian masyarakat yang lain, yang mendambakan

(11)

kehidupan yang tenang dengan udara yang sejuk dan pemandangan yang menarik, mereka akan melakukan alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan terbangun atau mencari tempat – tempat dengan pemandangan yang menarik untuk dibangun tempat tinggal yang seringkali mengindahkan faktor bahaya dan kesesuaian lahan. Disinilah kemudian terjadi percepatan gerakan penduduk menuju ke hulu DAS yang seharusnya merupakan daerah konservasi.

DAS Samin sebagai sebuah sistem yang komprehensif, maka segala sesuatu yang terjadi selalu berkaitan antara satu dengan yang lain. Data lahan kritis, kejadian banjir, tanah longsor, dan erosi dari instansi terkait pengelolaan DAS pada beberapa tahun terahir, juga dari hasil penelitian, dan berita oleh media massa merupakan suatu bukti yang nyata adanya degradasi lahan. Teori degradasi lahan yang dikemukakan para peneliti sebelumnnya mengemukakan adanya keterkaiatan hubungan antara kondisi biologis, keadaan iklim, kondisi fisik sumberdaya lahan, dan manusia dalam mempengaruhi degradasi lahan.

Berdasarkan hal – hal tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Berapa besar laju erosi tanah di DAS Samin dengan pendekatan model USLE

(Universal Soil Loss Equation)?

2. Bagaimana kualitas lahan di DAS Samin jika didekati dengan model SISR (Storie Index Soil Rating)?

3. Berapa besar tekanan penduduk terhadap lahan di DAS Samin?

4. Bagaimana tingkat degradasi lahan berdasarkan intergrasi model USLE, model SISR dan tekanan penduduk terhadap lahan di DAS Samin?

(12)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mencari formula yang tepat dan mudah untuk dilakukan dalam menganalisis tingkat degradasi lahan. Berdasarkan tujuan tersebut, kemudian dirinci ke dalam tujuan yang lebih spesifik sebagai berikut:

1. Menganalisis laju erosi tanah dengan model USLE di DAS Samin.

2. Menganalisis kualitas lahan dengan model SISR di DAS Samin. 3. Menganalisis tekanan penduduk terhadap lahan di DAS Samin.

4. Mengintegrasikan model USLE, model SISR, dan tekanan penduduk terhadap lahan untuk menilai dan menganalis degradasi lahan di DAS Samin.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Pendugaan laju erosi tanah dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengelolaan lahan kering dan miring yang menempati sebagian besar DAS Samin hulu. 2. Model SISR merupakan model evaluasi lahan secara paramtrik untuk

mengetahui kualitas lahan guna keperluan budidaya tanaman pertanian secara lebih objektif, sehingga dapat bermanfaat bagi perencanaan budidaya tanaman pertanian di DAS Samin.

3. Perhitungan tekanan penduduk terhadap lahan bermanfaat bagi para pengambil kebijakan dalam membuat aturan – aturan yang berkaitan dengan

(13)

kependudukan agar tidak menimbulkan permasalahan lingkungan di DAS Samin.

4. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan manajemen sumberdaya manusia, kaitannya dengan peningkatan kapasitas masyarakat untuk melakukan pengelolaan lahan sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi. 5. Penelitian ini berusaha mengintegrasikan faktor fisik lahan dan faktor manusia

sebagai pengelola lahan dalam menilai degradasi lahan. Faktor fisik erosi dianalisis menggunakan model USLE, evaluasi lahan secara parametrik untuk menilai kualitas lahan dianalisis menggunakan model SISR dan faktor sosial berupa tekanan penduduk terhadap lahan dianalisis menggunakan model Tekanan Penduduk Soemarwoto. Integrasi dari ketiga model tersebut bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya pengembangan metode untuk menganalisis tingkat degradasi lahan yang ada di Indonesia.

1.5 Keaslian Penelitian

Penelitian yang secara spesifik mengkaji degradasi lahan di DAS Samin sampai saat ini belum penulis ditemukan. Namun demikian penelitian di lokasi yang lain baik di dalam maupun di luar negeri yang mengkaji degradasi lahan telah banyak dilakukan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian penelitian sebelumnya adalah sebagai berikut:

1. Perbedaan dengan penelitian degradasi yang dilakukan oleh Shrestha et al. (2004) terletak pada metode dan parameter yang dipakai. Penelitian yang

(14)

mereka lakukan adalah membuat model decision trees dengan operasi Raster-GIS untuk menilai degradasi lahan dari parameter bahaya longsoran debris, bahaya erosi, dan bahaya luncuran material, sedangkan penelitian ini mengintegrasikan beberapa model untuk menganalisis degradasi lahan yaitu model USLE untuk menilai erosi, model SISR untuk menilai kualitas lahan, dan tekanan penduduk terhadap lahan. Teknik analisis yang dipakai juga berbeda dimana pada penelitian ini berbasis vector-GIS dengan satuan lahan sebagai unit analisis.

2. Perbedaan dengan penelitian Thang et al. (2005) adalah pada salah satu parameter untuk menganalisis degradasi lahan, yakni parameter kepadatan penduduk, yang pada penelitian ini menggunakan tekanan penduduk terhadap lahan. Untuk parameter lainnya adalah sama yaitu parameter laju erosi yang dianalisis menggunakan model USLE dan kualitas lahan yang dianalisis menggunakan model SISR. Persamaan pada beberapa model yang dipakai, membuat peneliti tertarik untuk menerapkan model tersebut di daerah penelitian di Indonesia, dimana Thang et al. (2005) menerapkannya di Myanmar. Perbedaan juga terletak pada teknik analisis, yang mana Thang et al. (2005) memodelkan secara spasial yang berbasis Raster-GIS sedangkan penelitian ini menggunakan unit analisis satuan lahan yang berbasis vector-GIS.

3. Perbedaan dengan penelitian Nugraha dkk. (2007) terletak pada parameter untuk menilai tingkat kerusakan lahan yang merupakan titik berat dari penelitian. Penelitian ini menekankan pada pengintegrasian beberapa parameter

(15)

untuk menganalisis degradasi lahan dan menganalisis faktor – faktor yang berpengaruh sedangkan penelitian Nugraha dkk. (2007) lebih menekankan pada potensi kerusakan dan prioritas maupun alternatif penanganannya.

4. Perbedaan dengan penelitian La Bantase (2007) adalah pada parameter untuk menilai degradasi lahan. Penelitian yang dilakukan menggunakan parameter erosi dan longsor sedangkan penelitian ini menggunakan parameter erosi, kualitas lahan, dan tekanan penduduk. Perbedaan lain adalah pada wilayah penelitian yaitu hanya sebagian di daerah hulu DAS, sedangkan penelitian ini wilayahnya satu DAS dari hulu hingga ke hilir.

5. Perbedaan dengan penelitian Endriani (2008) yang paling nyata adalah pada parameter untuk menilai degradasi lahan. Penelitian yang dilakukan hanya mempertimbangkan parameter erosi untuk menilai tingkat degradasi lahan, sedangkan penelitian ini menggunakan tiga parameter yaitu laju erosi tanah, kualitas lahan, dan tekanan penduduk.

Secara ringkas perbandingan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya disajikan pada Tabel 1.1.

(16)

Tabel 1.1. Perbandingan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya

No. dan TahunPeneliti Judul Tujuan Metode Penelitian Hasil Penelitian

1 2 3 4 5 6 1. Shrestha etal. (2004) Modelling Land Degradation in The Nepalese Himalaya Mendeteksi, menginventa-risir dan memetakan degradasi lahan, menghitung besarnya erosi, menganalisis faktor – faktor penyebab, dan membuat pemodelan bahaya degradasi lahan. -Teknik Penginderaan jauh dan SIG berbasis raster -Pemodelan dengan Decision

trees

Peta Bahaya Longsoran Debris, Peta Bahaya Erosi, Peta bahaya Luncuran dan Decision Trees

Model untuk menilai

degradasi lahan. 2. Thang etal. (2005) Spatial Modeling for Land Degradation Assessment Using Remotely Sensed Data and Geographic Information System: A Case Study of Daungnay Watershed, Magway District, Myanmar Menganalisis degradasi lahan dengan mengintegra-sikan parameter biofisik dan sosial (kepadatan penduduk) - Pendekatan pemodelan spasial dengan SIG - besarnya laju erosi menggunakan USLE -klasifikasi kemampuan lahan dengan Storie

Indeks Soil Rating

- Kepadatan penduduk

Kelas erosi, kelas kemampuan lahan, kepadatan penduduk, dan Kelas degradasi lahan 3. Nugrahadkk. (2007) Potensi dan Tingkat Kerusakan Sumberdaya Lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Samin Kabupaten Karanganyar dan Sukoharjo Propinsi Jawa Tengah Tahun 2006 Mengetahui fungsi kawasan lahan, kemampuan lahan, tingkat bahaya erosi, tingkat bahaya longsor, kesesuaian lahan, tingkat kerusakan lahan, tingkat kerusakan sumberdaya air, prioritas dan alternatif penanganan -Deskriptif kualitatif - Pengharkatan - Satuan lahan Kelas Fungsi Kawasan Lahan, Kelas Kemampuan Lahan, Kelas Tingkat Bahaya Erosi, Peta Tingkat Bahaya Longsor, Kelas Kesesuaian Lahan, Analisis Tingkat Kerusakan Lahan, Tingkat Kerusakan Sumberdaya Air, membuat Prioritas dan Alternatif Penanganan

(17)

No. dan TahunPeneliti Judul Tujuan Metode Penelitian Hasil Penelitian 1 2 3 4 5 6 4. La Bantase(2007) Degradasi Lahan Sebagian Daerah Aliran Sungai (DAS) Laono Hulu Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah Mengetahui laju tingkat bahaya erosi permukaan, mengetahui tingkat bahaya gerakan massa, menentukan tingkat degradasi lahan atas dasar tingkat bahaya erosi dan tingkat bahaya gerakan massa - Longsor dengan Pegharkatan - Erosi dengan USLE (Universal

Soil Loss Equation) -Dgradasi dengan Crostab kedua variabel Tingkat Bahaya Erosi, Tingkat Bahaya Gerakan Massa, Tingkat Deradasi Lahan 5. Endriani(2008) Studi Degradasi Lahan Tanah Andisol Berlereng Melalui Pendekatan Beesar Erosi di Sub DAS Siulak Tenang Kabupaten Kerinci Mempelajari tingkat degradasi Tanah Andisol Berlereng Pendekatan bahaya erosi dengan USLE (Universal Soil Loss Equation) Tingkat degradsi lahan berdasarkan kelas erosi 4. AgungHidayat (2013) Integrasi Model Universal Soil Loss Equation (USLE), Model Storie Index Soil Rating (SISR) dan Tekanan Penduduk untuk Menilai Degradasi Lahan (Studi Kasus di DAS Samin Provinsi Jawa Tengah). Menganalisis laju erosi tanah dengan USLE, - Menganalisis kualitas lahan dengan Model SISR, dan - Menganalisis tekanan penduduk terhadap lahan -Menginte-grasikan ketiga faktor tersebut untuk menganalisis degradasi lahan - Model USLE untuk laju erosi tanah - Model SISR untuk menilai kualitas lahan - Model TP Soemarwoto I untuk menghitung tekanan penduduk - Analisis spasisl dengan SIG - Deskriptif spasial - Pembobotan dan pengharkatan - Satuan lahan - Laju erosi tanah - Kelas kualitas lahan - Tekanan penduduk - Tingkat degradasi lahan

Gambar

Gambar 1.1. Luas lahan kritis sebagian kabupaten yang masuk ke dalam SWP DAS Solo Tahun 2009 beserta Peta Lahan Kritis
Tabel 1.1. Perbandingan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri endofit berpengaruh postif dan nyata dalam meningkatkan pertumbuhan, produksi herba segar dan kering serta andrografolid pada

Pelaksanaan tindakan penelitian dilakukan dua siklus masing masing siklus terdiri dari empat kali pertemuan dengan penerapan model kooperatif tipe TGT untuk

Visual Basic merupakan bahasa pemrograman yang sangat mudah dipelajari, dengan teknik pemrograman visual yang memungkinkan penggunanya untuk berkreasi lebih baik dalam

“Pada akhir tahun 2013, UT diharapkan dapat melaksanakan 258 penelitian; mempublikasikan paling sedikit 30% dari jumlah penelitian dalam jurnal ilmiah nasional;

Retribusi daerah mempunyai sifat-sifat, yaitu pelaksanaannya bersifat ekonomis, ada imbalan lansung walau harus memenuhi persyaratan-persyaratan formil dan

Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada Staf Kepala Bagian Komersial PT Angkasa Pura II saat ini memiliki beberapa permasalahan yaitu sistem yang ada saat ini masih menggunakan

Karena perencanaan pembelajaran merupakan acuan guru untuk kegiatan pembelajaran agar lebih terarah dan berjalan efisien dan efektif; dan (2) untuk penelitian lanjutan,

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian mengenai pengaruh substitusi pakan komersial dengan tepung undur-undur laut (Emerita sp.) terhadap berat badan burung puyuh