• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI EKOHIDROLOGI EMBUNG SIRANI HALIWEN BAGI PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KABUPATEN BELU - NTT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI EKOHIDROLOGI EMBUNG SIRANI HALIWEN BAGI PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KABUPATEN BELU - NTT"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

STUDI EKOHIDROLOGI ’EMBUNG’ SIRANI HALIWEN

BAGI PENGEMBANGAN EKOWISATA

DI KABUPATEN BELU - NTT

Wahyu Widiyono Peneliti Puslit Biologi – LIPI JL. Raya Jakarta-Bogor, Km. 46, Cibinong

e-mail: wahyu_widiyono@yahoo.com Abstract

‘Embung’ Sirani, located 10 km from the capital city of Belu District, East Nusa Tenggara Province, is the biggest of the 27 ‘embungs’ in this area. The ‘embung’ has 211.2 of watershed area, 20 m of water depth and 1.860.000 m3 of water storage capacity to irigate rice field. To promote the unic and strategic ‘embung’ as an ecotorism object, an ecohydrologic study was conducted in 2008. Ecotourism objects which can be developed around the Sirani ‘embung’ in Belu Districts are the lake tourism, canoe ride around the ‘embung’; agro-tourism of horticulture plant and fishing pond at the ‘embung’ downstream; and agroforestry-tourism at the watershed area. ‘Embung’ ecotourism as an integrated conservation by participation of the local people is needed to develop.

Key Words: ‘embung’, Sirani-Belu, ecotourism, integrated ecosystem, local people participation.

1. PENDAHULUAN

1.1. Ruang lingkup ekowisata

Ekowisata (ecotourism) merupakan salah satu bentuk pariwisata dengan cara ‘menjual’ keindahan lingkungan alam seperti ’embung’, lembah, sungai, panorama pegunungan yang udaranya sejuk, pantai, air terjun dan keindahan fauna terumbu karang di laut kepada para wisatawan. Ekowisata bermanfaat untuk mendorong perekonomian masyarakat lokal sekaligus mempertahankan kelestarian lingkungan.

‘Embung’ Sirani merupakan ‘embung’ terbesar di antara 27 ‘embung’ yang terdapat di Kabupaten Belu. ‘Embung’ Sirani memiliki luas ‘embung’ 23,46 ha; luas daerah tangkapan air 211,2 ha; kedalaman 20 m dan daya tampung 1.860.000 m3.

Air ‘embung’ dapat dimanfaatkan untuk irigasi lahan sawah masyarakat sebanyak 300 KK dan pemeliharaan ternak sebanyak 1.400 ekor sapi. Hal ini berbeda dengan 26 ‘embung’ yang lain, yang memiliki daya tampung sekitar 11.700 – 96.830 m3, pemanfaatannya untuk memenuhi kebutuhan air bersih penduduk, minum ternak dan pertanian dalam skala kecil. ‘Embung’ Sirani berada pada wilayah administratif Kecamatan Tasifeto Timur, tepatnya berjarak lebih kurang 10 km sebelah Timur Kota Atambua, atau dapat ditempuh dengan kendaraan sekitar 15-20 menit.

Pada Brosur Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Belu (2007) disebutkan ‘embung’ Sirani (‘embung’ ’Sirane’) merupakan salah satu obyek wisata di wilayah ini. Meskipun

(2)

2

demikian kondisi sarana dan prasarana

sebagai lokasi wisata masih perlu ditingkatkan. Hal ini, disampaikan oleh Kasubdin Pengembangan Pariwisata dan Produk Wisata, Kab. Belu, pada tahun anggaran 2007 sedang disiapkan beberapa sarana dan fasilitas pariwisata, yaitu: pembangunan 2 (dua) buah pondok rumah adat sebagai wisata budaya dilengkapi sarana MCK, pengadaan 4 (empat) buah sampan untuk menambah 2 (dua) buah sampan milik masyarakat, dan pembangunan pintu gerbang masuk lokasi wisata. Selain itu akan dikembangkan budidaya tanaman hortikultura dan tambak ikan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar yang tergabung dalam Kelompok Masyarakat Sadar Wisata. Prasarana jalan menuju lokasi juga sedang diupayakan untuk diperbaiki oleh Dinas Kompraswil.

Sebagaimana sebuah bangunan dam air, permasalahan ‘embung’ sirani sebagai obyek ekowisata yang perlu mendapat perhatian ialah pengelolaan daerah tangkapan air di bagian hulu, pengelolaan badan air di bagian tengah, dan pengelolaan pemanfaatan air di bagian hilir.

1.2. Tujuan dan sasaran

Tujuan penelitian ialah (1) mengkaji kondisi vegetasi dan tataguna lahan daerah tangkapan air dalam kaitannya dengan rencana pengembangan sebagai kawasan agroforestry wisata dan peranannya sebagai pengendali aliran permukaan (runoff) dan erosi; (2) mengkaji badan air ‘embung’ dalam kaitannya dengan rencana pengembangan sebagai kawasan tirta wisata dan resiko pendangkalan serta ketersediaan air sebagai sumber irigasi di bagian hulu; (3) mengkaji kondisi agroekosistem di bagian hilir ‘embung’ dalam kaitannya dengan rencana pengembangan sebagai kawasan wisata budaya dan agrowisata.

Sasaran penelitian ialah (1) memberikan rekomendasi dan percontohan pengelolaan daerah tangkapan air sebagai upaya konservasi dan peningkatan produktivitas lahan; (2) memberikan rekomendasi pengelolaan badan air sebagai obyek ekowisata; (3) memberikan rekomendasi dan percontohan pengelolaan sumberdaya tumbuhan, tanah dan air sebagai obyek agrowisata.

Hasil yang akan dicapai a. Peta spasial dan konsep

pengelolaan ekowisata

Untuk pengelolaan daerah tangkapan air (watershed) sebagai obyek ekowisata diperlukan konsep penataan ruang agar kawasan tersebut berfungsi sebagai kawasan konservasi, bernilai ekonomi, dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Untuk mencapai hasil tersebut perlu dilakukan penelitian dan pengembangan daerah tangkapan air agar mendapatkan data, peta dan informasi penutupan vegetasi dan tataguna lahan untuk pengembangan jenis-jenis tumbuhan bernilai ekonomi dan konservasi lingkungan.

b. Rekomendasi pengelolaan tirta wisata

Badan air ‘embung’ amat berpotensi sebagai obyek tirta wisata. Agar ketersediaan air ‘embung’ terpelihara secara lestari sebagai obyek tirta wisata maka diperlukan penelitian dan pengembangan badan air.

c. Percontohan tanaman pinggir jalan sebagai obyek agrowisata

Obyek agrowisata yang dapat disajikan di hilir kaki ‘embung’ ialah wisata teknik agronomi budidaya pertanian lahan kering yang dapat disajikan dalam bentuk saung rumah paranet untuk pelatihan budidaya hortikultura semusim, contohnya cabai, tahunan (buah-buahan), sawah, dan

(3)

3

pemancingan pada kolam-kolam ikan.

Di tepi jalan menuju ‘embung’ akan ditanam tanaman tahunan khas Belu yang bernilai ekonomi dan bernilai keindahan lingkungan.

2. METODOLOGI

2.1. Penelitian dan pengembangan daerah tangkapan air

a. Survei kesesuaian lahan untuk pengembangan jenis-jenis tumbuhan bernilai ekonomi dan konservasi lingkungan.

b. Survei sosial-ekonomi berkaitan dengan kepemilikan lahan dan pengelolaan lahan oleh masyarakat sekitar.

c. Survei topografi dan penutupan lahan spasial dalam kaitannya dengan rencana pengelolaan, runoff dan erosi daerah tangkapan.

d. Pemulihan ekosistem daerah tangkapan dengan jenis-jenis tanaman bernilai ekonomi dan jenis-jenis tumbuhan bernilai konservasi dengan mengutamakan jenis-jenis tumbuhan lokal di Kabupaten Belu.

2.2. Penelitian dan pengembangan badan air

a. Survey topografi untuk

mengetahui ketersediaan air dan pedangkalan air ‘embung’.

b. Diusulkan pengadaan alat pengukur tinggi permukaan air (automatic water level recorder/AWLR), dan alat pengukur

cuaca (automatic weather station/AWLR) untuk memonitor ketersediaan air ‘embung’.

2.3. Penelitian dan pengembangan daerah pemanfaatan air

a. Survei pemanfaatan air untuk kegiatan agrowisata di dekat dam air.

b. Survei pemanfaatan air untuk irigasi persawahan.

c. Pemanfaatan air untuk budidaya tanaman semusim dan tanaman tahunan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsep pengelolaan ‘embung’ Sirani bagi pengembangan ekowisata sejalan dengan konsep konservasi sumberdaya alam dan lingkungan yang meliputi konservasi tumbuh-tumbuhan (flora), tanah dan sumberdaya air(1). Paradigma baru pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan meliputi (1) pemanfaatan secara optimal; (2) perlindungan untuk kelestarian; dan (3) penelitian untuk pemanfaatan secara berkelanjutan(2). Pengelolaan flora, tanah dan sumberdaya air ‘embung’ harus dilakukan secara terpadu meliputi daerah tangkapan air (di bagian hulu), badan air (di bagian tengah) dan areal pemanfatan air (di bagian hilir)(3) dan (4).

3.1. Konsep ekowisata daerah tangkapan air

Kondisi fisik di daratan Pulau Timor Bagian Barat berupa topografi, hidrologi, geomorfologi, kesuburan tanah, iklim dan vegetasi telah disampaikan oleh peneliti terdahulu(5), (6) dan (7). Kondisi fisik di

sekitar ’embung’ Sirani-Belu adalah sebagai berikut:

a. Topografi dan hidrologi

‘Embung’ Sirani Kecamatan Tasifeto Timur-Belu yang terletak pada ketinggian 345 m di atas permukaan laut, memiliki 2 inlet anak sungai utama yang mengalir dari arah Selatan, dan 4 inlet anak sungai berukuran kecil, masing-masing 3 anak sungai dari arah Timur dan 1 anak dari arah Barat Daya (Gbr. 1).

Gbr. 1. Peta situasi ‘embung’ Sirani Kecamatan Tasifeto Timur- Belu

(4)

4

b. Geomorfologi

Lokasi ‘embung’ Sirani secara geomorfologi merupakan bagian dari dataran tinggi Weluli dengan perbukitan bergelombak tinggi dan rendah. Puncak tertinggi terdapat pada Gunung Lakaan (1.578 dpl.) berada di bagian paling Selatan dan bagian rendah terletak di dataran Haekesak (173 m dpl.), Gbr. 2.

Gbr. 2. Peta tiga dimensi daerah sekitar ‘embung’ Sirani

c. Kesuburan tanah

Untuk mengetahui tingkat kesuburan tanah diambil 10 sampel tanah pada kedalaman efektif 20-30 cm kemudian dicampur secara komposit dan dianalisis di Laboratorium Pusat Penelitian Tanah, Bogor. Dalam penelitian ini dipertimbangkan cukup dianalisis tanah secara komposit, karena dari hasil pengamatan di lapangan terlihat keseragaman warna maupun sifat fisik tanah. Tanah bersifat liat, struktur menggumpal dan berwarna keabuan. Pada saat survei musim kemarau tanah terlihat keras dan kokoh (solid). Hasil analisis tanah sampaikan pada Tabel 3.

Dari hasil analisis tanah, diketahui tanah di daerah tangkapan air ‘embung’ Sirani memiliki tektur tanah liat berdebu yang bersifat lambat menyerap air karena butiran tanahnya yang berukuran kecil. Akibatnya banyak air yang menjadi aliran permukaan di musim hujan. Kandungan bahan organik rendah sehingga ikatan antar

agregat tanah dan tata udara tanah (aerasi) kurang. Unsur nitrogen rendah mengakibatkan tanaman pada fase pertumbuhan (vegetatif) kurang subur. Tanah banyak mengandung kapur dengan derajat kemasaman tanah netral. Tanah tidak mengandung zat beracun yang berbahaya bagi makhluk hidup ditunjukkan oleh unsur aluminium yang rendah. Kondisi tanah yang kurang subur dan sedikit mengandung bahan organik ini perlu dilakukan pemupukan untuk memperkaya kandungan bahan organik menggunakan pupuk kandang dan pupuk kompos.

d. Iklim

Kondisi iklim mikro di sekitar ‘embung’ Sirani Kecamatan Tasifeto Timur seperti kondisi iklim di Kabupaten Belu pada umumnya (Gbr. 3). Digunakan kriteria bulan basah memiliki curah hujan (lebih besar dari 100 mm) dan bulan kering memiliki curah hujan (kurang dari 100 mm) di Kabupaten Belu terdapat bulan kering sepanjang 7 bulan (Juni-Desember) dan bulan basah (Januari-Mei).

e. Vegetasi

Daerah tangkapan air ‘embung’ Sirani di bagian Utara dan Timur didominasi oleh pohon kayu putih (Eucalyptus alba), dan di bagian Selatan oleh pohon jati (Tectona

grandis). Di bagian Timur lahan yang

berdekatan dengan ‘embung’ merupakan lahan gundul. Pada lahan tersebut saat ini sedang dilaksanakan kegiatan sengkedan-sengkedan, pembalikan lahan yang dikerjakan oleh kelompok tani dengan bimbingan LSM (Care). Kondisi lahan daerah tangkapan air pada survei, awal September 2007 terlihat lebih terdegradasi dibandingkan kondisi lahan pada pada survei penlis pertengahan Agustus 2005. Hanya terlihat satu-dua pohon Acaccia

(5)

5

auriculiformis yang tersisa, tampak

tumbuh di bagian lereng daerah tangkapan air ‘embung’. Tumbuhan yang lain tampak telah hilang mungkin karena ditebang atau terbakar (Gbr. 4).

Dari hasil survei di daerah tangkapan air ‘embung’ dijumpai 21 jenis tanaman terdiri dari 12 pohon dewasa, 3 jenis anakan pohon, 1 perdu dewasa, 2 jenis semak tumbuhan liar dan 2 jenis tanaman pangan.

Gbr. 4. Peta tutupan lahan daerah tangkapan air ‘embung’ Sirani

f. Konsep pengelolaan daerah tangkapan air

Wisata ‘embung’ Sirani merupakan bagian dari wisata ‘embung’-’embung’ yang ada di seluruh Kabupaten Belu. Oleh karena itu promosi ekowisata ‘embung’ Sirani haruslah menjadi bagian dari promosi ekowisata 27 ‘embung’-’embung’ yang ada di Kabupaten Belu. Bentang alam (lansekap) daerah tangkapan air ‘embung’ merupakan suatu yang khas, unik dan menarik. Lekuk-lekuk topografi yang mencerminkan geomorfologi memiliki daya tarik yang kuat. Susunan anak-anak sungai membentuk inlet menuju ke ‘embung’ dengan penampakan dalam peta spasial seperti kaki gurita yang indah.

Konsep pengelolaan daerah tangkapan air haruslah (1) dapat memenuhi kebutuhan dan menyejahterakan masyarakat petani di sekitar ‘embung’; (2) memenuhi kegiatan budidaya pertanian tanaman pangan; (3) memenuhi kebutuhan

pakan ternak; dan (4) memenuhi kebutuhan penghijauan dan pelestarian lingkungan. Untuk dapat memenuhi keempat unsur tersebut, daerah tangkapan air ‘embung’ perlu diatur dengan membentuk zona-zona pertanian dan peternakan dan penghijauan dengan pemagaran yang jelas. Di kanan-kiri anak-anak sungai yang membentuk inlet menuju ‘embung’ dapat dibuatkan pagar untuk jalan ternak menuju ke ‘embung’ agar tidak mengganggu tanaman budidaya. Injakan-injakan ternak juga dapat menghancurkan tanah, dan tanah yang gembur tanpa berpenutup vegetasi akan mudah tererosi menuju ke ‘embung’.

Di daerah tangkapan air ‘embung’ seyogyanya tidak didirikan atau dilarang mendirikan bangunan permanen dari bahan tembok. Hal ini karena bangunan tembok di daerah tangkapan air ‘embung’ akan mengurangi resapan air kedalam tanah dan sebaliknya meningkatkan aliran permukaan (runoff). Aliran permukaan yang deras akan meningkatkan erosi dan pendangkalan (sedimentasi) ‘embung’ yang tinggi seperti studi yang telah dilakukan penulis pada ’embung’ Oemasi dan Oelomin-Kupang(8) dan ’embung’ Leosama-Belu(9) dan (10). Bangunan yang diijinkan adalah bangunan pondok dari bahan yang mudah terurai ke dalam tanah bila lapuk. Bangunan inipun jumlahnya harus dikendalikan.

Sejalan dengan berkembangnya ekowisata ‘embung’ Sirani di masa depan perlu segera disusun rambu-rambu Peraturan Daerah (Perda) agar masyarakat tidak mudah menjualbelikan lahan di daerah tangkapan air. Dikhawatirkan lahan-lahan di daerah tangkapan air akan segera beralih hak kepemilikannya kepada ’orang-orang’ yang memiliki modal lebih kuat. Pertimbangan kesulitan ekonomi dan penawaran

(6)

6

harga yang menggiurkan maka

penjualbelian lahan sering kali tidak dapat dihindari.

‘Embung’ Sirani Kecamatan Tasifeto Timur seperti halnya kondisi alam di wilayah Belu pada umumnya memiliki kondisi sumberdaya alam berupa tanah, iklim dan vegetasi yang khas yaitu vegetasi savana. Ekosistem savana kering yang unik di Belu Pulau Timor dan Nusa Tenggara Timur pada umumnya merupakan suatu yang unik, khas dan mempunyai nilai jual tinggi. Untuk meningkatkan keanekaragaman (biodiversitas) jenis-jenis tumbuhan, di daerah tangkapan air ‘embung’ perlu ditanam berbagai jenis tumbuhan lokal bernilai ekonomi dan khas lahan kering. Penanaman berbagai jenis tumbuhan lokal telah mulai dirintis di daerah tangkapan air ‘embung’ Leosama Kecamatan Kakuluk Mesak-Belu. Tidak kurang dari 20 jenis tumbuhan dengan jumlah 4000 tanaman pada lahan seluas 5 ha telah ditanam di daerah tangkapan air ‘embung’ Leosama sejak tahun 2006-2008. Pemeliharaan lanjutan oleh masyarakat setempat dengan bantuan pengawasan dari Pemda Kabupaten Belu amat diperlukan untuk mempertahankan keberlanjutan kegiatan yang telah dirintis tersebut.

Penanaman berbagai jenis tanaman di daerah tangkapan air ‘embung’ Sirani selain bertujuan untuk ekowisata juga dapat ditingkatkan peranannya sebagai reforestasi dalam rangka adaptasi terhadap perubahan iklim global(11). Apabila berhasil menghutankan daerah tangkapan air ‘embung’ dapat digunakan untuk memperoleh dana jasa lingkungan guna pemeliharaan hutan dan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Mekanisme kelembagaan

untuk mendapatkan dana dari jasa lingkungan dalam rangka pembangunan bersih ini dapat disiapkan dengan partisipasi

masyarakat lokal, Pemerintah Daerah dan lembaga penelitian terkait sebagai fasilitator. Prinsip pengelolaan daerah tangkapan air ‘embung’ ialah konservasi sumberdaya alam secara berkelanjutan. Seiring dengan berbagai kegiatan penataan lingkungan ’embung’, masyarakat sekaligus mendapat manfaat yang bernilai ekologis berupa lingkungan yang ’segar’ dan manfaat ekonomis berupa hasil panen tanaman agroforestry.

3.2. Konsep ekowisata badan air

Konsep pengelolaan badan air ‘embung’ sirani pada prinsipnya perlu memperhatikan neraca air embung dengan memperhatikan input air dari hujan dan aliran permukaan, air yang hilang melalui evaporasi dan infiltrasi, dan output air untuk dimanfaatkan(12). Air embung juga perlu diperhatiakn dari dampak dari dampak pencemaran (eutrofikasi) Sumber pencemaran lingkungan air ‘embung’ dapat berasal dari kegiatan di daerah tangkapan air seperti kotoran ternak sapi, pupuk pertanian, limbah pakan ikan, bahan sampah plastik dan detergen serta tumbuhan liar yang disebarkan oleh pengunjung, ternak maupun burung. Budidaya ikan di dalam ‘embung’ perlu dilakukan secara bijaksana, karena dampak penggunaan pakan ikan lambat laun akan berpengaruh terhadap lingkungan air ‘embung’. Bekas injakan pengunjung pada kegiatan pemancingan di pinggir ‘embung’ dan penumpang yang naik-turun sampan menuju dan dari atas sampan juga dapat mengakibatkan tanah di pinggir ‘embung’ mudah longsor.

Di dalam ‘embung’ Sirani terlihat dua keramba apung untuk memelihara ikan (karper dan mas) yang dikerjakan oleh kelompok tani atas bantuan Dinas Perikanan. Sebuah keramba telah ditebar ikan bulan Mei 2007 yang lalu dan diperkirakan ikan akan dipanen

(7)

7

bulan November 2007. Pada sebuah

keramba yang lain belum dibudidayakan ikan.

Permasalahan pendangkalan ‘embung’ terlihat gundukan tanah akibat erosi dan tanah longsor pada bagian ‘embung’ di dekat lereng daerah tangkapan air. Menurut informasi masyarakat sekitar, pada awal September 2007 kedalaman air ‘embung’ bagian pinggir mencapai 7 m, sedangkan di bagian tengah (paling dalam) mencapai lebih dari 10 m.

3.3. Konsep agrowisata hilir ‘embung’

Konsep pengelolaan lahan untuk agrowisata di bagian hilir ‘embung’ baik yang ’di kaki ‘embung’’ maupun di areal persawahan haruslah menjadi satu kesatuan. Di bagian hilir ‘embung’ paling sesuai dikembangkan agrowisata pertanian organik dengan menjual ’proses produksi dan produksi’ berbagai jenis tanaman pangan, kacang-kacangan dan hortikultura. Pertanian organik ialah kegiatan budidaya pertanian dengan sesedikit mungkin atau bahkan sama sekali tidak menggunakan bahan berupa pestisida dan pupuk buatan. Pertanian ini dikenal sebagai pertanian ramah lingkungan, karena dampak kegiatan pertanian tidak mencemari lingkungan dan dihasilkan peoduksi pertanian yang sehat. Lahan pertanian yang terhampar luas di hilir ‘embung’ Sirani merupakan potensi dan peluang yang besar untuk kegiatan agrowisata pertanian organik.

Bagian hilir ’di kaki ‘embung’’ Sirani terdapat potensi lahan pertanian seluas 2 ha berupa lahan sawah dan lahan kering. Pada lahan tersebut sesuai digunakan untuk agrowisata dengan kegiatan wisata hortikultura (tanaman buah dan tanaman hias) dan budidaya ikan. Pada lahan tersebut, saat ini tersedia sebuah bangunan permanen berukuran 5 m x 6 m untuk penjaga ‘embung’; sebuah saung; 10 buah

kolam ikan milik masyarakat berukuran 2 m x 6 m. Direncanakan oleh Dinas Pariwisata akan dibangun dua buah Saung Rumah Adat, dan pintu masuk kawasan wisata. Jalan menuju lokasi ‘embung’ saat ini masih berupa jalan tanah, sedang diusulkan diperbaiki oleh Dinas Kimpraswil.

Untuk mendorong pengembangan agrowisata dan ekowisata di bagian hilir ‘embung’ telah ditanam tanaman bernilai ekonomi yaitu cendana dengan tanaman inang akasia dan beluntas, tanaman hias dan buah, tanaman obat serta penghasil kayu bakar.

Kendala yang dihadapi untuk pelaksanaan kegiatan percontohan budidaya tanaman hortikultura ’di kaki ‘embung’’ ialah adanya kerusakan alat pengatur pembuka dan penutup air dari

outlet ‘embung’. Dari wawancara

dengan petani, disampaikan bahwa alat untuk mengatur aliran air dari ‘embung’ ke persawahan tersebut rusak, sehingga air mengalir terus-menerus sepanjang 24 jam. Kerusakan alat dan bangunan pelindungnya tersebut sedang diperbaiki, sejak Juli 2008 sehingga percontohan budidaya tanaman hortikultura ’di kaki ‘embung’’ tidak dapat dilaksanakan. Kegiatan selanjutnya dimasimalkan untuk penanaman tanaman di pinggir jalan menuju ‘embung’ yaitu dengan cara memberi pagar bibit tanaman cendana per individu tanam dengan pagar yang dilapisi paranet.

Untuk mendorong kegiatan pertanian organik telah diujicoba pembuatan kompos dengan bahan jerami padi dan pupuk kandang. Volume bahan yang digunakan ialah cacahan jerami dicampur dengan 10 karung pupuk kandang sehingga mencapai ukuran 1,2 x 1 x 1 m3. Bahan kompos ditutup dengan lembaran plastik polibag warna hitam untuk mempercepat fermentasi. Agar fermentasi merata, bahan kompos

(8)

8

diaduk secara periodik. Setelah

difermentasi selama 2 bulan hasil kompos sudah dapat digunakan. Hasil kompos halus dipisahkan dengan hasil kompos kasar. Hasil kompos halus sebanyak 20 karung @ 10 kg atau lebih kurang 2 kuintal. Pembuatan kompos ini perlu terus dilanjutnya untuk menuju kegiatan pertanian organik .

3.4. Pendukung kegiatan ekowisata dan sosial

Faktor pendukung kegiatan ekowisata ialah ketersediaan air bersih, sarana jalan dan penerangan (listrik). Ketersediaan air bersih sebagai salah satu kebutuhan manusia yang utama merupakan suatu yang mendesak pengadaannya. Ketersediaan air bersih dapat disediakan dengan cara mengalirkan air dari Sumber air terdekat atau mengangkat air dari ‘embung’ ke perkampungan dengan tenaga energi angin dan surya serta mengangkat air tanah dalam. Untuk pengadaan air bersih ini diperlukan survei yang dan dapat dilakukan oleh instansi terkait. Secara teknis lokasi ‘embung’ Sirani berada di sebuah cekungan, sedangkan perkampungan berada di bagian yang lebih tinggi. Akibatnya, masyarakat yang berada di dekat lokasi ‘embung’ kurang dapat menikmati air ‘embung’. Dari wawancara dengan 3 (tiga) orang petani yang kebetulan berada di lokasi ‘embung’, terungkap sekitar 20-30 KK petani yang tanahnya tenggelam saat pembangunan ‘embung’ dan hingga saat ini belum mendapat perhatian kompensasinya. Keluhan masyarakat tersebut sudah sering disampaikan oleh masyarakat kepada Pemerintah Daerah, namun hasilnya belum memuaskan masyarakat. Tanggapan dari Pemda ialah diberikannya 2 (dua) buah keramba apung melalui Dinas Perikanan. Tampaknya, ketersediaan air bersih untuk masyarakat di sekitar ‘embung’ Haliwen perlu segera

direalisasi agar tidak menimbulkan permasalahan sosial di kemudian hari. Kegiatan ekowisata dan pengelolaan ‘embung’ secara terpadu harus dilakukan dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal. Sarana jalan dan penerangan perlu dilakukan oleh instansi terkait di Kabupaten Belu.

Kegiatan ekowisata selain menjual ekosistem juga menjual sikap moral, keramah-tamahan dan kearifan budaya lokal masyarakat di sekitar ‘embung’ dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan(13). Oleh karena itu diperlukan sikap kerjasama masyarakat dengan Pemda setempat sejak perencanaan, pelaksanaan kegiatan, pemasaran produk (promosi) hingga pelayanan wisatawan. Suasana sosial yang tenteram tidak ada gejolak sosial (kondusif) akan mendorong wisatawan hadir menikmati ekowisata dengan rasa aman dan sebaliknya bila keadaan kurang kondusif.

4. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

1. Lingkungan ‘embung’ Sirani, Desa Umaklaran, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu memiliki potensi yang amat besar untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata. Obyek ekowisata yang dapat dikembangkan meliputi agroforestry wisata di daerah tangkapan air ‘embung’, tirta wisata di badan air ‘embung’ dan agrowisata di bagian hilir ‘embung’, baik yang berlokasi ’di kaki ‘embung’’ maupun di hamparan persawahan yang luas serta lingkungan perkampungan penduduk. Dari hasil pemetaan spasial tampak jelas, bahwa obyek ekowisata di bagian hilir, di bagian tengah dan di bagian hulu ‘embung’ merupakan satu kesatuan ekosistem yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. .

2. Pada daerah tangkapan air ‘embung’ Sirani dan daerah tangkapan

(9)

9

air ‘embung’-’embung’ di Kabupaten

Belu dapat dikembangkan sebagai ’Kebun Raya mini’ yaitu penanaman penghijauan untuk koleksi berbagai jenis tanaman unggul lokal bernilai ekonomis, ekologis dan sosial. Ekosistem savana yang dibentuk oleh kondisi iklim kering, tanah marginal dan menyatu dengan kebudayan bertani masyarakat di Kabupaten Belu dan Nusa Tenggara Timur pada umumnya mempunyai keunikan dan nilai jual yang tinggi sebagai obyek ekowisata. Agroforestry yang dapat dikembangkan ialah agroforestry untuk memenuhi kebutuhan ekonomis masyarakat, kebutuhan pakan ternak dan kegiatan pertanian.

3. Tirta wisata di badan air ‘embung’ dengan perahu dan sampan dapat dilakukan dengan tetap mempertahankan kebersihan lingkungan air dari pencemaran dan

memperhatikan potensi terjadinya tanah longsor dari pinggir ‘embung’. Pencemaran air ‘embung’ dari pakan ikan tetap harus mendapat perhatian bila pengembangan ikan akan dilakukan.

4. Agrowisata yang dapat dilakukan ’di kaki ‘embung’’ ialah pembibitan tanaman hortikultura tahunan, tanaman hias dan budidaya sayuran, serta pemancingan di kolam ikan seperti yang saat ini telah mulai dirintis. Pada hamparan lahan sawah yang luas dapat dilakukan percontohan budidaya pertanian organik yang akan mempromosikan dan menjual proses dan produksi pertanian. Dalam pertanian organik tersebut juga dilakukan pembuatan kompos sebagai pupuk organik.

4.2. Saran

1. Mengingat pengembangan ekowisata ‘embung’ Sirani memiliki cakupan yang luas diperlukan koordinasi dengan otoritas yang kuat, yaitu Bappeda Kabupaten Belu yang

dapat memantau seluruh aktivitas yang berkaitan dengan kegiatan ekowisata baik Instansi Pemerintah, Swasta, Masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

2. Kegiatan pengembangan ekowisata perlu dilakukan secara bertahap, yakni:

a. Di daerah tangkapan air perlu dilakukan penghijauan berbagai jenis tanaman dan pemagaran untuk zonasi wilayah pertanian, ternak dengan mempertimbangkan inlet anak-anak sungai dan tetap memberikan kesempatan untuk ekowisata.

b. Diperlukan perangkat hukum berupa peraturan daerah (Perda) yang mengatur konservasi lingkungan meliputi pengelolaan, pendirian bangunan, penjual-belian lahan, perlindungan dan pelestarian ligkungan ‘embung’ Sirani.

c. Diperlukan penelitian eko- hidrologis untuk memantau laju aliran permukaan dari daerah tangkapan air dan sedimentasi ‘embung’. Untuk itu diperlukan pengadaan alat pemantau

tinggi permukaan air ‘embung’/Automatic Water Level

Recorder (AWLR) dan alat pemantau

cuaca/Automatic Weather Station (AWS). Diperlukan pendampingan dan penelitian agroforestri untuk pengembangan tanaman penghijauan di daerah tangkapan air ‘embung’. Diperlukan pendampingan dan penelitian agronomi untuk pengembangan agrowisata pertanian organik.

d. Diperlukan pengadaan air bersih sebagai kebutuhan dasar utama masyarakat yang dapat dilakukan dengan cara mengalirkan air dari Sumber air, mengangkat air ‘embung’ dengan tenaga surya atau tenaga angin maupun Sumur air tanah dalam; Diperlukan sarana jalan diperkampungan di sekitar ‘embung’; Diperlukan sarana penerangan (listrik).

(10)

10

tangkapan air ‘embung’ Sirani dan

‘embung’-’embung’ di Kabupaten Belu dapat ditingkatkan peranannya sebagai kegiatan aforestasi/reforestasi dalam rangka adaptasi perubahan iklim global di kawasan beriklim kering melalui Mekanisme Pembangunan Bersih. Melalui mekanisme ini hutan kemasyarakatan yang ditanam dapat memperoleh jasa lingkungan berupa dana bantuan dari negara maju untuk pemeliharaan tanaman.

UCAPAN TERIMA KASIH

Karya tulis ini terlaksana atas kerjasama Puslit Biologi-LIPI dan Bappeda Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Bpk. Kepala Bappeda Kabupaten Belu, Kepala Bid. Penelitian dan Staf (Ir. Rine B. Baria) dan Kapuslit Biologi-LIPI, Cibinong atas segala dukungan dan kepercayaannya sehingga terlaksana penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Owen, O.S.1985. Natural Resources Conservation: An Ecological Approach. Macmillan Publishing Company, New York & Collier Macmillan Publishers, London. 657hal.

2. Indrawan, M., R.B. Primack dan J. Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Yayasan Obor, Indonesia. 625 hal.

3. Widiyono, W. 2002. Konservasi ‘embung’ di Nusa Tenggara Timur melalui analisis tutupan vegetasi dan sumber daya air. Tesis Magister Sains, Jurusan Biologi, F-MIPA, UI. Bag. I. 68 hal. dan Bag. II. 101 hal.

4. Widiyono, W. 2007. Relationship between vegetation and runoff-erosion: consequences on ‘embung’ water balance in West Timor East Nusa Tenggara

Province. Disertasi Bidang Biologi Konservasi, FMIPA, UI. 176 hal. 5. CIDA. 1981. Timor Island Water

Resources Development Study.

Canadian International Development Agency. CRIPPEN

International Ltd. Canada.

6. Monk, K.A., Y. de Fretes dan G. Reksodihardjo-Lilley. 2000. Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku. Seri Ekologi Indonesia, Buku V. Prenhallindo, Jakarta. 966 hal..

7. Ormeling, FJ. 1955. The Timor Problem: A geographical

interpretation of an underdeveloped Island. J.B. Wolters, Groningen. 284 hal.

8. Wahyu, W., B. Lidon, R. Abdulhadi and S. Somadikarta. 2007. Sustainability of the water supply for rural people in West Timor: Overcoming high sedimentation rate (Case study of a man made dam in Oemasi Village). Proceedings of Integrated Water and Soil Management: Resources, Infrastructures and Risks in Rural and urban areas. Hanoi, 5-9 November 2007. D. Orange, E. Roose, P. Vermande, J-P. Gastellu-Etchegorry and et Pham Quang Hua (Eds.). AUF & IRD: 193-198.

9. Widiyono, W., R. Abdulhadi dan B. Lidon. 2006. Erosi dan pendangkalan ‘embung’ di Pulau Timor – NTT (Studi Kasus: ‘embung’ Oemasi – Kupang dan ‘embung’ Leosama - Belu). LIMNOTEK, Perairan Darat Tropis di Indonesia. Puslit Limnologi-LIPI 13(2): 21-28.

10. Widiyono, W. 2008. Konservasi flora, tanah dan sumberdaya air ‘embung’-’embung’ di Timor Barat Provinsi Nusa Tenggara Timur (Studi Kasus ‘embung’ Oemasi Kupang dan ‘embung’ Leosama Belu). Jurnal Teknologi

(11)

11

Lingkungan, Pusat Teknologi

Lingkungan, BPPT 7(3): 193-200. 11. Widiyono, W. 2008. Konservasi

daerah tangkapan air ‘embung’ sebagai model adaptasi terhadap perubahan iklim global di kawasan beriklim kering NTT. Seminar Nasional Limnologi IV, IPB International Convention Center. Puslit Limnologi-LIPI: 512-523. 12. Widiyono, W, and B. Lidon , R.

Abdulhadi. 2005. Water balance simulation model and watershed vegetation analysis of ‘‘embung’’, a man made water reservoir in Timor Island – East Nusa Tenggara Province (A case study of ‘embung’s in Oemasi, Oelomin, and Oeltua, Kupang District). Proceedings of International Symposium on Ecohydrology. Hehanussa, P.E. et al. (Editors). Denpasar, Bali, 21-26 November 2005. IHP and UNESCO: 183-190. 13. Widiyono, W. 2009. Kearifan

budaya lokal masyarakat peladang dalam konservasi dan manegemen sumberdaya alam di Pul;au Timor-NTT. Abstract. Seminar Nasional Etnobotani IV, Puslit Biologi-LIPI,

Perhimpunan Masyarakat Etnobiologi dan Komnas Program

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu konsep pariwisata yang sedang marak ialah ekowisata, dengan berbagai teknik pengelolaan seperti pengelolaan sumber daya pesisir yang berbasiskan masyarakat

Penelitian ini didasarkan pada fenomena yang terjadi yaitu adanya penurunan jumlah kunjungan wisatawan pada tahun 2011 ke kawasan obyek wisata ekowisata yang

Penelitian ini didasarkan pada fenomena yang terjadi yaitu adanya penurunan jumlah kunjungan wisatawan pada tahun 2011 ke kawasan obyek wisata ekowisata yang

Dengan dibangunnya embung tersebut, maka tinggi muka air tanah di sekitar. bangunan embung dapat ikut menyesuaikan dengan tinggi muka

Pengembangan objek wisata yang ada di Tual untuk kegiatan ekowisata mendapat respons yang tinggi dari masyarakat sekitar lokasi yaitu sebesar 75,7% mereka setuju, dengan

Gagasan yang melatarbelakangi penulis mengambil judul “Strategi Pengembangan Ekowisata di Kecamatan Sesean Suloara, Kabupaten Toraja Utara” yaitu keberadaan obyek dan

Untuk arahan dalam pengembangan konsep Ekowisata dengan menyediakan kapal cepat yang murah, perawatan dan pemeliharaan bangunan yang rusak di Pulau Biawak, peningkatan

Penelitian ini didasarkan pada fenomena yang terjadi yaitu adanya penurunan jumlah kunjungan wisatawan pada tahun 2011 ke kawasan obyek wisata ekowisata yang