• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSISTENSI HAK PREROGATIF PRESIDEN PASCA AMANDEMEN UUD 1945

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EKSISTENSI HAK PREROGATIF PRESIDEN PASCA AMANDEMEN UUD 1945"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

AMANDEMEN UUD 1945

Oksep Adhayanto

1

Abstract

In accordance with the principles of the 1945 changes to reinforce the presidential system and was followed by separation of the branches of the main state power with the principle of checks and balances, then by the 1945 changes also result in changes in the field of executive power (President). Discussion about the president and vice president under the spotlight sharply from the members of the ad hoc committee of BP MPR III. Starting from the rights of the presidency, presidential term, the charging system presidency / vice president, until the problem of presidential accountability is a debate that is long enough. When examined again, there is no clear limit presidential authority in carrying out its functions also lead to misunderstandings in recognizing the existence of certain rights held by the president under the 1945 Constitution, because the president functions as head of state. Actually, the 1945 Constitution does not mention explicitly the right to pre ¬ rogatif. However, in practice it is widely recognized and even become a major argument in justifying the use of certain rights by the president independently (without any oversight mechanism from other institutions).

Keyword : Prerogative Right, President, Presidential System

A. Latar Belakang

Sistem Konstitusi merupakan landasan hukum dari setiap bangsa dan negara. Sistem hukumnya, sistem sosialnya, sistem ekono-minya dipengaruhi oleh sistem konstitusi. (Sukarna, 1992)

Perubahan atau amandemen Undang-Undang Dasar mempunyai banyak arti. Amandemen tidak saja berarti “menjadi lain isi serta bunyi” ketentuan dalam Undang-Undang Dasar tetapi juga “mengandung sesuatu yang

merupakan tambahan pada ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Dasar yang sebelumnya tidak terdapat di dalamnya”. (Sri Soemantri, 1984)

Sri Soemantri (1994), mengatakan bahwa dengan memperhatikan pengalaman-peng-alaman dalam mengubah konstitusi di Kera-jaan Belanda, Amerika Serikat, dan Uni Sovyet, mengubah Undang-Undang Dasar tidak hanya mengandung arti menambah, mengurangi, atau mengubah kata-kata dan istilah ataupun

1 Penulis adalah Dosen pada Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja

(2)

kalimat dalam Undang-Undang Dasar meng-ubah konstitusi berarti membuat isi ketentuan Undang-undang Dasar menjadi lain dari semula melalui penafsiran.

Sebelum memetakan ciri konstitusiona-lisme di Indonesia dari Undang-Undang Dasar yang satu ke Undang-Undang Dasar yang lain, perlu sekali lagi dikemukakan bahwa secara teoritis konstitusionalisme pada intinya adalah bagian dari penegakan konstitusi. Hakikat atau filosofi penegakan konstitusi itu adalah “an

institutionalised system of effective, regularised restrains upon governmental action” (suatu

sistem yang terlembagakan, menyangkut pembatasan yang efektif dan teratur terhadap tindakan-tindakan pemerintah). (Sri Soemantri, 1988;2)

Perubahan UUD 1945 meliputi sistem pelembagaan dan hubungan tiga cabang kekuasaan negara yang utama (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), sistem pemerintahan lokal, pengaturan jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang lebih rinci, dan berbagai sistem dalam penyelenggaraan negara (pemilihan umum, pendidikan dan kebudayaan, perekonomian dan kesejah-teraan sosial, pertahanan dan keamanan, dan lain-lain. Latar belakang dilakukannya perubahan UUD 1945 antara lain:

1. Sistem ketatanegaraan yang bertumpu pada MPR sebagai pemegang kekuasaan negara tertinggi dan pelaksana sepe-nuhnya kedaulatan rakyat berakibat pada tiadanya checks and balance pada institusi-institusi ketatanegaraan

2. Kekuasaan Presiden yang terlalu dominan

(executive heavy) yaitu selain sebagai

pemegang kekuasaan pemerintahan (chief

executive) juga sebagai kepala negara

dengan hak-hak konstitusionalnya yang lazim disebut hak prerogatif, serta sekaligus memiliki kekuasaan untuk membentuk undang-undang (kekuasaan legislatif) telah menyebabkan kecenderungan lahirnya kekuasaan otoriter.

3. Terdapat pasal-pasal yang luwes dalam UUD 1945 yang menimbulkan multi tafsir, misalnya rumusan Pasal 7 dan Pasal 6 ayat (1) yang lama;

4. Banyaknya kewenangan Presiden untuk mengatur hal-hal yang penting dengan undang-undang sebagai konsekuensi bahwa Presiden adalah juga pemegang kekuasaan legislatif, sehingga inisiatif pengajuan RUU selalu berasal dari Presiden;

5. Konstitusi belum cukup memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan HAM, dan otonomi daerah, sehingga praktik penyelenggaraan negara tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945.

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan untuk:

1. Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara agar lebih mampu untuk mencapai tujuan nasional yang telah dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;

2. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai perkembangan paham demokrasi;

3. Menyempurkan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan Hak Asasi Manusia yang merupakan salah satu syarat bagi sebuah negara hukum;

4. Menyempurnakan aturan dasar mengenai penyelenggaraan negara secara demo-kratis dan modern melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas dengan sistem

checks and balances dan pembentukan

lembaga-lembaga negara yang baru sesuai dengan kebutuhan dan perkem-bangan zaman

5. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban bagi

(3)

negara untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan mencerdaskan kehidupan bangsa;

6. Melengkapi aturan dasar yang berkaitan dengan eksistensi negara dan perwujudan negara yang demokratis, seperti pengatur-an mengenai wilayah negara dpengatur-an pemi-lihan umum (Pemilu);

7. Menyempurnakan dan melengkapi aturan dasar mengenai berbagai hal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan kini, serta mengantisipasi perkembangan mendatang.

Lima prinsip dasar kesepakatan MPR dalam Perubahan UUD 1945:

1. Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945; 2. Tetap mempertahankan bentuk negara

kesatuan (NKRI);

3. Mempertegas sistem pemerintahan presi-densial;

4. Meniadakan Penjelasan UUD 1945 dan memasukkan hal-hal normatif dalam Pembukaan ke dalam pasal-pasal UUD; 5. Perubahan UUD 1945 dilakukan dengan

cara adendum.

Struktur UUD 1945 memberikan peng-aturan yang dominan terhadap lembaga kepresidenan, baik jumlah pasal maupun kekuasaannya. Tiga belas dari tiga puluh tujuh pasal UUD 1945 mengatur langsung me-ngenai jabatan ke-presidenan (Pasal 4 sampai dengan Pasal 15 dan Pasal 22). Selain itu terdapat pula ketentuan-ketentuan lain yang tidak mungkin terlepas dari Presiden, seperti ketentuan tentang APBN, ketentuan yang mengatur wewenang MPR, DPR, DPA, BE-PEKA, undang-undang organik, dan lain sebagainya.

Undang-Undang Dasar 1945 juga mem-berikan kedudukan yang kuat kepada lemba-ga kepresidenan. Presiden adalah penyeleng-gara pemerintahan (UUD 1945, Pasal 4 ayat

(1)). Selain menjalankan kekuasaan eksekutif, Presiden juga menjalankan kekuasaan mem-bentuk peraturan perundang-undangan, kekuasaan yang berkaitan dengan penegakan hukum (grasi, amnesti, dan abolisi) dan lain sebagainya. Struktur UUD yang memberikan kedudukan kuat pada jabatan atau lembaga kepresidenan tidak hanya ada pada sistem UUD 1945, tetapi terdapat juga pada negara lain seperti Amerika Serikat.

Sesuai dengan prinsip perubahan UUD 1945 untuk mempertegas sistem presidensial dan dianutnya pemisahan cabang-cabang kekuasaan negara yang utama dengan prinsip

checks and balances, maka dengan perubahan

UUD 1945 berakibat pula perubahan di bidang kekuasaan eksekutif (Presiden), sebagai berikut:

1. Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif [Pasal 4 ayat (1)] tidak lagi memegang kekuasaan membentuk UU yang telah bergeser ke tangan DPR [Pasal 20 ayat (1)], melainkan hanya berhak mengajukan RUU ke DPR [Pasal 5 ayat (1)], memberikan persetujuan bersama dengan DPR dan mengesahkan RUU menjadi UU [Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4)]; 2. Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, melainkan dipilih oleh rakyat secara langsung secara berpa-sangan dari calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik (Pasal 6A);

3. Masa jabatan Presiden selama 5 (lima) tahun secara tegas dibatasi untuk dua periode (Pasal 7);

4. Ditentukannya syarat-syarat yang lebih rinci untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6);

5. Ditentukannya mekanisme impeachment terhadap Presiden dan atau Wakil Presiden yang melibatkan DPR, Mahkamah Konstitusi, dan MPR (Pasal 7A dan 7B); 6. Penegasan bahwa Presiden tidak dapat

(4)

7. Pelaksanaan Hak-hak prerogatif Presiden sebagai kepala negara harus dengan persetujuan atau Pertimbangan DPR, 8. Pengangkatan pejabat-pejabat publik,

seperti anggota BPK (Pasal 23F), Hakim Agung [Pasal 24A ayat (3)], anggota Komisi Yudisial [Pasal 24B ayat (3)] harus dengan persetujuan DPR

9. Presiden berwenang membentuk dewan pertimbangan (Pasal 16) sebagai peng-ganti DPA yang dihapuskan

10. Dalam pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian harus diatur dengan UU [Pasal 17 ayat (4)], tidak bebas seperti sebelumnya.

Pembahasan menyangkut presiden dan wakil presiden mendapat sorotan tajam dari para anggota panitia ad hoc III BP MPR. Mulai dari hak-hak presiden, masa jabatan presiden, sistem pengisian jabatan presiden/wakil pres-iden, sampai dengan masalah pertanggung-jawaban presiden merupakan perdebatan yang cukup panjang. Jika ditelaah lagi, tidak jelasnya batas kewenangan presiden dalam menjalankan fungsinya juga mengakibatkan adanya salah pengertian dalam mengenali hak-hak tertentu yang dimiliki oleh presiden berdasarkan UUD 1945, karena adanya fung-si prefung-siden sebagai kepala negara. (Suharial dan Firdaus Arifin, 2007;103)

Hak-hak tersebut sering disalahpahami oleh banyak pihak sebagai hak prerogatif presiden, yang berarti hak istimewa yang dimiliki oleh lembaga-lembaga tertentu yang bersifat mandiri dan mutlak, dalam arti tidak dapat digugat oleh lembaga negara yang lain. Sebenarnya, UUD 1945 tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai hak pre-rogatif. Akan tetapi, dalam praktiknya hal ini dikenal luas dan bahkan menjadi argumentasi utama dalam membenarkan penggunaan hak-hak tertentu oleh presiden secara mandiri (tanpa adanya mekanisme pengawasan dari lembaga lainnya). Dalam upaya mengurangi dominasi

presiden (executive heavy), Asnawi Latief (dalam Suharial dan Firdaus Arifin, 2007;104) memunculkan ide sistem parlementer di mana presiden. hanya menjadi kepala negara saja, sedangkan kepala pemerintahan adalah perdana menteri. Hal itu menurutnya karena Indonesia menganut sistem multipartai, ia mengutarakan gagasannya:

Kita mengikuti sistem parlementer. Jadi, presiden itu cuma kepala negara, lalu ada kepala pemerintahan. Jadi, konsekuensinya ada perdana menteri. Karena itu, perdana menteri menjadi power sharing. Sebab, dengan sistem presidensil akan terjadi tawar-menawar. Partai yang menang itulah yang berhak menyusun kabinet dan seluruh rangkai pembangunan atau programnya.

B. Pokok Permasalahan

Adapun yang menjadi fokus masalah tu-lisan ini adalah tentang bagaimana eksistensi hak prerogratif presiden dalam sistem pemer-intahan presidensial setelah amandemen UUD 1945.

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari dilakukannya penulisan atas penelitian ini adalah untuk mengkaji lebih dalam tentang eksistensi hak prerogratif presiden dalam sistem pemerintahan presidensial setelah amandemen UUD 1945.

D. Kerangka Teori

Landasan teoritik akan pemisahan ke-kuasaan di dalam tulisan ini digunakan sebagai penuntun pemecahan permasalahan yang berkaitan dengan variabel fungsi lembaga eksekutif dalam sistem ketatanegaraan menu-rut UUD 1945 dan negara hukum Indonesia yang demokratis. Menurut C.F. Strong (dalam Sri Soemantri, 1971) kekuasaan eksekutif dalam suatu negara demokrasi mempunyai suatu hakekat (nature). Hakekatnya adalah bahwa kekuasaan eksekutif itu harus diper-tanggungjawabkan kepada rakyat atas

(5)

tin-dakan eksekutif untuk merumuskan policy (ke-bijakan) dan untuk melaksanakan atau men-gadministrasikan kebijakan di mana kese-muanya itu diatur dengan aturan hukum dan dapat diberi sanksi oleh badan legislatif.

Pemusatan kekuasaan yang terletak di ta-ngan presiden berdasarkan Aturan Peralihan pasal IV ternyata menimbulkan masalah yang berkaitan dengan opini publik. AG Pringgodig-do (t.t) menyatakan, di kalangan orang-orang yang tidak senang dengan berdirinya negara Republik Indonesia dikembangkan opini bah-wa negara Indonesia bukanlah negara demo-krasi, melainkan negara fasis atau nazi yang dipimpin oleh seorang Fuhrer atau Duce.

Sebagaimana diketahui pada awal penye-lenggaraan pemerintahan berdasarkan Un-dang-Undang Dasar 1945 dianut sistem Pre-sidensial di mana Presiden memegang ke-kuasaan sebagai Kepala Pemerintahan dan juga sebagai kepala negara, hal ini dapat dili-hat dari ketentuan pasal 4 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen bahwa Presiden Re-publik Indonesia memegang kekuasaan pe-merintahan dan menurut ketentuan pasal 17 ayat (1), (2) dan ayat (3) UUD 1945 sebelum amandemen menentukan bahwa Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden; menteri-menteri itu memimpin de-partemen pemerintahan.

Pada periode Reformasi, kekuasaan Pres-iden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif sudah mulai berkurang, yaitu sehubungan de-ngan telah dirubahnya UUD 1945 yang ber-kaitan dengan kekuasaan membentuk un-dang-undang yang sebelum perubahan UUD 1945 dalam pasal 5 ayat (1) ditentukan bahwa “Presiden memegang kekuasaan membentuk

undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, dirubah menjadi pasal 5

ayat (1) setelah perubahan menentukan bah-wa “Presiden berhak mengajukan rancangan

undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Dan pasal 20 ayat (1) UUD 1945

sete-lah perubahan memberikan kewenangan ke-pada DPR untuk membentuk undang-undang, yaitu bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat

me-megang kekuasaan membentuk undang-un-dang”, jadi pada periode ini kekuasaan

mem-bentuk undang-undang sudah bergeser dari semula berada pada Presiden dan setelah perubahan UUD 1945 maka kekuasaan mem-bentuk undang-undang itu berada pada DPR. Dalam fungsinya selaku figur can do not

wrong kepala negara memiliki hak khusus atau

hak istimewa yang tidak dimiliki oleh fungsi jabatan kenegaraan lain yakni hak prerogratif. Dalam bidang hukum, kepala negara, a.n. negara, berhak mengeluarkan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Sebagai fungsi jabatan yang “terbebas dari kesalahan” maka terhadap penggunaan hak atas pemberian grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi, diatur di dalam ketentuan negara yang khusus ditujukan untuk hal tersebut (yang dimaksud adalah Undang-Undang Dasar). (Hendarmin Ranadireksa, 2007;198)

Di bidang politik hak prerogatif kepala negara adalah a.n. negara mengeluarkan

Dekrit atau Maklumat.

Negara dalam keadaan darurat menyirat-kan satu hal bahwa negara atau wilayah ter-tentu harus ditangani secara khusus (darurat). Penduduk negara dalam wilayah yang sudah dinyatakan Dalam Kea-daan Darurat harus tun-duk pada hukum militer (misal, tembak ditem-pat bagi perusuh atau penjarah, dll). Prosedur yang biasa berlaku adalah segera setelah ke-pala negara menyatakan negara dalam keadaan darurat, kepala negara menyampai-kan keputusannya tersebut di lembaga per-wakilan rakyat atau parlemen untuk memper-oleh kekuatan legitimasi. Keadaan darurat ha-nya mempuha-nyai satu pengertian tunggal yakni

darurat militer (istilah-istilah kenegaraan yang

dikenal umum dalam dunia internasional tidak mengenal istilah “darurat sipil” atau ‘tanggap darurat’). Hukum dan tatacara sipil untuk se-mentara (masa darurat) diganti oleh hukum

(6)

dan tatacara militer yang bersifat top-down, di bawah koordinasi militer. Untuk suatu waktu yang sangat terbatas militer berada di domain sipil mengganti sementara fungsi sipil.

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan jenis dan sifatnya adalah penelitian normatif (Doctrinal Reseach) . Penelitian norma-tif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan data sekunder belaka. 2. Obyek Penelitian

Obyek penelitian ini ialah tentang pergeseran hak prerogratif presiden setelah amandemen UUD 1945 3. Sifat dan Pendekatan

Penelitian ini adalah penelitian hukum, dan pendekatan (approach) yang digunakan di dalam penulisan ini ada tiga pendekatan, Enid Campbell (1996;274) mengatakan, bahwa satu pendekatan saja tidaklah memadai untuk menganalisa banyak kasus. Adapun pendekatan yang digunakan adalah :

a. Pendekatan

Perundang-Undangan (Statute Approach), pendekatan perundang-undan-gan adalah merupakan

condi-tio sine quanom bagi seseorang

dalam mengkaji hukum norma-tif. Menurut Peter Mahmud (2005;94), bahwa manfaat penggunaan pendekatan pe-rundang-undangan adalah un-tuk mencari ratio logis dan dasar ontologis lahirnya pera-turan perundang-undangan.

b. Pendekatan historis (Historical Approach), yaitu Pendekatan

yang dilakukan dengan mene-laah, menganalisis sejarah ke-tatanegaraan khususnya

fase-fase pemberlakuan konstitusi yang pernah berlaku. Menurut Peter Mahmud (2005), telaah latar belakang apa yang dipela-jari dan perkembangan peng-aturan mengenai isu yang di-hadapi diperlukan oleh sese-orang manakala ia memang in-gin mengungkapkan filosofis dan pola pikir yang melahirkan sesuatu yang sedang dipelajari. Melalui pendekatan Historis akan dapat diketemukan ada-nya perkembangan atas eksis-tensi hak prerogatif Presiden dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang sejalan dengan dinamika perkembangan sist-em ketatanegaraan modern.

c. Pendekatan Perbandingan

(Comparative Approach), pen-dekatan ini digunakan untuk menelusuri keberadaan hak prerogatif Presiden dalam sis-tem ketatanegaraan pada be-berapa negara dan keberadaan-nya dalam beberapa konstitusi yang pernah berlaku dalam sistem ketatanegaraan Indone-sia itu sendiri.

4. Jenis dan Sumber Data

Seperti dikatakan Soerjono Soekanto (1984;11-12), “bahan-bahan yang dapat dijadikan obyek studi ada tiga golongan, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.”dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka :

a. Bahan hukum primer adalah bahan-bahan ilmu hukum yang berhubungan erat dengan perma-salahan yang akan diteliti, yaitu : 1. Undang-Undang Dasar 1945. 2. Undang-Undang Dasar 1945

(7)

3. Konstitusi Republik Indonesia Serikat

4. Undang-Undang Dasar Se-mentara 1950

5. Peraturan Perundang-un-dangan lain yang sekiranya terkait dengan permasalahan yang akan diteliti

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan huium yang berikan penjelasan atau mem-bahas lebih lanjut hal-hal yang te-lah diteliti pada bahan-bahan hu-kum primer yaitu :

1. Berbagai buku mengenai undang-undang dasar, lemba-ga-lembaga negara serta data-data tertulis terkait dengan pene-litian.

2. Berbagai makalah, jurnal-jurnal, surat kabar, majalah dan doku-men yang berkaitan dengan penelitian.

c. Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer dan sekunder, yaitu kamus hukum, ensiklopedia dan berbagai kamus lain yang relevan 2. Analisa Data

Data mentah yang telah dikumpulkan akan tidak berarti dan tidak ada guna-nya, apabila tidak dilakukan analisa. Analisa data merupakan bagian yang amat penting dalam metode penelitian ilmiah karena dengan analisa data tersebut diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian. Data mentah yang telah di-kumpulkan perlu dipecahkan dalam kelompok-kelompok, data tersebut se-lanjutnya diseleksi, diklasifikasi secara sistematis, logis dan yuridis sehingga data tersebut mempunyai makna un-tuk menjawab masalah dan

berman-faat untuk menguji hipotesis. ( Moh. Nasir, hlm. 405)

3. Penarikan Kesimpulan

Secara eksplisit penulis menggunakan analisa data dalam penelitian yang ber-sifat normatif ini yaitu dengan cara di-mana data yang telah penulis peroleh dari bahan hukum sekunder, berupa buku-buku atau literatur-literatur mela-lui penelusuran kepustakaan serta ba-han hukum tersier dan baba-han-baba-han yang penulis peroleh dari internet, me-dia massa, majalah, buletin, makalah-makalah seminar yang ada hubunga-nnya dengan penelitian ini. Kemudian data tersebut dirangkum dengan mela-kukan pengelompokkan yang didasar-kan atas jenis dari masing-masing ba-han tersebut dengan maksud agar da-pat memberikan kemudahan bagi penulis dalam menulis penelitian ini yang tersusun secara rapi, selanjutnya barulah disajikan dalam bentuk kalimat-kalimat yang tersusun secara siste-matis. Tahapan berikutnya, dari kali-mat demi kalikali-mat yang telah tersusun secara sistematis tersebut, penulis akan melakukan proses pengolahan data, penganalisaan data dan membahas-nya serta melakukan perbandingan antara teori-teori, pendapat-pendapat para ahli. Kemudian barulah penulis melakukan penarikan kesimpulan dari apa yang penulis peroleh, untuk selan-jutnya penulis kumpulkan ke dalam suatu tulisan ilmiah yang tersusun se-cara sistematis dari pembahasan yang berpedoman pada tujuan penelitian.

G. Pembahasan

Beberapa pendapat mengatakan bahwa istilah hak prerogatif itu tidak ada dan yang ada hanyalah kekuasaan presiden selaku kepala negara. Dan kalau pun presiden memiliki hak-hak yang dijalankannya itu hanya sebagai

(8)

implementasi dari kewenangannya sebagai kepala negara dalam menjalankan roda pemerintahan.

Guna tidak terjadi kesalahpahaman dalam pembahasan ini, penulis memberikan batasan lebih lanjut tentang hak prerogatif yang penulis maksudkan di dalam penelitian ini. Hak pre-rogatif menurut analisa penulis adalah hak yang dimiliki oleh seorang kepala pemerin-tahan atau kepala negara tanpa ada intervensi dari pihak manapun dalam menggunakan hak tersebut. Oleh karenanya, hak prerogatif itu dikatakan sebagai hak privilege atau hak is-timewa seorang kepala negara dalam men-jalankan tugas kenegaraannya.

Penulis beranggapan bahwa jika hak tersebut istimewa sudah barang tentulah si pengguna hak bebas untuk berbuat atas hak yang dimilikinya tersebut, karena memang demikianlah sesungguhnya konsep hak tersebut. Hanya saja penggunaan hak tersebut harus tetap senantiasa dibatasi dengan aturan-aturan yang berlaku. Sehingga jika si pengguna hak tersebut ingin menggunakan haknya sebagaimana mestinya penggunaan hak dapat digunakan tanpa harus ada intervensi dari pihak mana pun dari konsekuensi atas penggunaan hak tersebut. Akan tetapi jika sebaliknya yang terjadi, apabila penggunaan hak yang sifatnya istimewa tersebut dalam penggunaannya harus mendapat persetujuan dari pihak lain, maka hak itu tidak dapat dikategorikan sebagai suatu hak yang istimewa. Ini kiranya menurut hemat penulis, sifat istimewanya akan hilang dengan serta merta ketika bagi si pengguna hak istimewa tersebut dalam menggunakan haknya harus mendapat intervensi dari pihak yang lain. Kekhususan tersebut akan hilang, oleh karenanya ia tidak dapat lagi di katakan sebagai suatu hak yang istimewa.

Terlepas dari itu semua, dalam tulisan ini penulis berpegang pada pendapat Mahfud MD (dalam Ni’matul Huda, 2003 ; 121) yang menyatakan bahwa, ada atau tidaknya hak

prerogatif dalam konstitusi tidak menjadi masalah, tergantung bagaimana memaknai hak prerogatif itu. Sebab hak prerogatif itu ada jika Presiden berhak melakukan sesuatu tanpa meminta persetujuan orang atau lembaga lain. Selain itu juga, penegasan yang dikatakan oleh Bagir Manan (Republika, 27 Mei 2000), bahwa salah satu karakter dari kekuasaan Prerogatif itu adalah tidak ada dalam hukum tertulis. Sehingga dengan demikian peng-aturan tentang hak Prerogatif itu tidak akan kita jumpai di dalam perundang-undangan. Hanya tergantung dari pemaknaan kita semua.

Ciri paling menonjol dalam sistem presi-densial adalah, sesuai dengan namanya, obyek utama yang diperebutkan, adalah Presiden. Peran dan karakter individu Presiden lebih menonjol dibanding dengan peran kelompok, organisasi, atau partai.

Pada tulisan ini penulis batasi dengan hanya meneliti dan membahas beberapa hak prerogatif presiden yang tertuang di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang selanjutnya penulis bandingkan dengan konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia. Adapun per-geseran hak-hak prerogatif yang menyebabkan bagaimana sebenarnya eksistensi hak prerogatif itu sendiri di dalam sistem peme-rintahan presidensial yang akan penulis bahas di dalam bab ini adalah sebagai berikut, hak prerogatif Presiden untuk mengangkat menteri-menterinya, hak prerogatif Presiden untuk mengangkat duta/konsul, hak prerogatif Presiden untuk memberikan amnesti, grasi, abolisi dan rehabilitasi.

Sebagaimana diketahui bahwa menteri-menteri adalah pembantu presiden dalam menjalankan roda pemerintahan. Untuk itulah, penunjukkan menteri-menteri yang akan bertugas tersebut haruslah orang yang dapat bekerjasama dan mendukung Presiden. UUD 1945 mengamanatkan bahwa pada bab V tentang Kementrian Negara Pasal 17 ayat (2) menyatakan bahwa ; menteri-menteri itu

(9)

diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Sehingga dengan demikian menteri-menteri harus bertanggungjawab kepada Presiden.

Sebagaimana juga pendapat Jhon J.Wuest dan Shepard Leonard Witman (dalam Krisna Harahap, 2004 ; 207-208)yang mengatakan bahwa salah satu ciri sistem presidensial adalah tidak ada pertanggungjawaban ber-sama antara kepala eksekutif dengan anggota kabinetnya (para menteri). Dimana para menteri bertanggungjawab secara penuh kepada kepala eksekutif.

Berdasarkan gambaran di atas dapat dijelaskan bahwa dengan adanya kekuasaan yang dimiliki oleh seorang Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan maka Pre-siden dapat mengangkat dan memberhentikan orang-orang (baca; menteri) yang dianggapnya layak atau tidak layak untuk membantunya di dalam kabinet yang disusunnya berdasarkan pertimbangan oleh Presiden itu sendiri. Dengan ini juga, menjelaskan bahwa Presiden tersebut memiliki kekuasaan yang tidak boleh di campuri oleh pihak lain dan mutlak berasal dari haknya selaku presiden.

Jika dikaitkan dengan ketentuan bahwa kekuasaan pemerintahan dipegang oleh Presiden, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa berlaku sistem pemerintahan Presi-densial bukan parlementer. Dengan demikian maka eksistensi akan hak prerogatif Presiden tersebut akan tampak dari penjelasan pasal di atas.

Bertolak belakang dengan apa yang disampaikan oleh Herman Sihombing (Kom-pas, 8 Juli 1982), bahwa dengan kalimat yang kurang memerlukan prerogatif seperti digam-barkan di atas dikatakan “ concentration of

power and responsibility upon the President”

oleh karena Presiden bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, kekuasaan yang demikian dan bertang-gungjawab pula, maka arti prerogatif dalam hukum tata negara Indonesia, setidak-tidaknya tidak sama dengan prerogatif yang

dikemu-kakan seperti yang dimiliki oleh Raja Inggris. Hal tersebut dikarenakan ukuran yang digunakan oleh Herman Sihombing adalah ada atau tidaknya pertanggungjawaban dari Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (baca; Parlemen). Jika Presiden dalam menggunakan hak atau kekuasaannya harus dipertanggungjawabkan kepada parlemen maka hak tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hak prerogatif murni lagi. Asumsi ini berdasarkan kepada hak prerogatif yang diberikan oleh parlemen yang ada di Inggris kepada Raja sebagai residu dari kekuasaan Raja yang telah diambil alih oleh Parlemen. Hak prerogatif Raja dalam memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, hak dalam memberikan tanda kehormatan, maupun hak untuk memberikan gelar tidak perlu diper-tanggungjawabkan kepada parlemen pada waktu itu, sehingga hak tersebut memang mutlak berasal dari Raja.

Berbeda dengan yang diatur di dalam UUD RIS, dalam hal pengangkatan menteri-menteri Presiden terlebih dahulu melakukan kesepa-katan dengan orang-orang yang dikuasakan oleh daerah-daerah bagian sebagai konse-kuensi dari Presiden itu dipilih oleh orang-orang yang dikuasakan oleh pemerintah daerah-daerah bagian. Kemudian menunjuk tiga pembentuk kabinet.

Sesuai dengan hal tersebut di atas, maka tiga pembentuk kabinet tersebut memiliki kewenangan untuk memberikan saran dan masukan kepada Presiden. Presiden selan-jutnya mengangkat seorang dari padanya menjadi perdana menteri dan mengangkat menteri-menteri yang lainnya untuk men-jalankan roda pemerintahan.

Sesuai dengan paparan di atas maka kekuasaan presiden untuk mengangkat menteri-menteri tidak lagi dapat dikatakan sebagai hak prerogatif Presiden. Hal ini dikarenakan juga karena pada waktu Konstitusi Republik Indonesia Serikat diberlakukan negara Indonesia menganut sistem

(10)

Parlemen-ter bukan Presidensial. Dan untuk itu juga dikenal dengan adanya perdana menteri selaku kepala pemerintahan dan fungsi presiden hanya selaku kepala negara. Se-hingga dalam hal pengangkatan menteri-menteri yang bertugas Presiden harus terlebih dahulu menerima setiap masukan dari ketiga pembentuk kabinet.

Sebagaimana konsep hak prerogatif yang disampaikan di atas, Presiden dalam meng-gunakan hak tersebut tidaklah perlu harus terlebih dahulu berkonsultasi dengan lembaga negara lainnya, karena hak tersebut adalah hak yang diberikan konstitusi kepada Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan. Di sini tampak jelas pergeseran yang terjadi akan makna hak prerogatif Presiden dari UUD 1945 dan Konstitusi RIS, hal tersebut juga di-pengaruhi oleh sistem pemerintahan yang berlaku pada saat itu, di mana di dalam UUD 1945 menganut sistem pemerintahan Presi-densial, yang mana presiden tidak saja sebagai kepala pemerintahan akan tetapi juga sebagai kepala negara sedangkan dalan Konstitusi RIS menganut sistem pemerintahan Parlementer di mana mengenal adanya perdana menteri dalam mengurus pemerintahan dan presiden hanyalah sebagai kepala negara.

Selanjutnya pada UUDS tahun 1950, dalam pasal 50 UUDS tahun 1950 dikatakan bahwa Presiden membentuk kementrian negara, akan tetapi sebelum Presiden mela-kukan pengangkatan atas menteri-menteri yang akan memimpin kementrian terlebih dahulu presiden menunjuk seorang atau beberapa orang pembentuk kabinet. Hampir sama dengan Undang-Undang Republik Indonesia Serikat, di dalam UUDS tahun 1950, Presiden mengangkat seorang daripadanya menjadi perdana menteri dan mengangkat menteri-menteri yang lain. Barulah setelah itu, berdasarkan anjuran pembentuk menteri tersebut, Presiden menetapkan siapa-siapa dari menteri-menteri itu diwajibkan memimpin kementerian masing-masing.

Perbedaan yang mendasar antara Un-dang-Undang Republik Indonesia Serikat dan UUDS tahun 1950, adalah dimana di dalam Konstitusi RIS pembentuk kabinet ditentukan sebanyak 3 orang sedangkan di dalam UUDS tahun 1950 jumlah pembentuk menteri tidak ditentukan di dalam pembentukan kabinet.

Hak Prerogatif Kepala Negara pada waktu ini juga besar dan banyak, meskipun Presiden Republik Indonesia Serikat itu ditentukan sebagai Kepala Pemerintah bersama-sama dengan Menteri, hanya tidak dapat diganggu gugat dalam menjalankan kekuasaannya, disebabkan masa peralihan/pancaroba.

Di sisi lainnya juga dalam UUDS 1950, dengan jelas disebutkan Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat, menteri-menteri bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan Pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bahagian sendiri-sendiri. Dan juga hak prerogatif Presiden membubarkan DPR, dan sebagai imbangannya hak DPR dapat memaksa kabinet/ Menteri untuk berhenti.

Hal tersebut di ataslah yang membuat Presiden tidak bertanggungjawab, dan yang bertanggungjawab adalah Menteri/Kabinet seluruhnya atau salah seorang dalam baha-giannya. Oleh karenanya pulalah, menurut Herman Sihombing, hal-hal ini adalah preroga-tif Kepala Negara dalam arti yang amat terbatas dan dalam arti sempit, tidak sama arti dan isinya dengan pengertian hak prerogatif seperti pada Raja yang ada di Inggris.

Perubahan besar terjadi dalam ketatane-garaan Indonesia setelah dilakukan perubahan Ketiga UUD 1945, yang merubah mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang sebelumnya dilakukan oleh MPR, sekarang akan dilakukan secara langsung oleh rakyat, sehingga Presiden tidak lagi perlu menyam-paikan pertanggungjawaban kepada MPR. Hal ini merupakan konsekuensi logis pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung

(11)

oleh rakyat. MPR tidak lagi berwenang meminta pertanggungjawaban Presiden, kecuali kalau ada usul dari DPR.

Sedangkan UUD 1945 setelah aman-demen dijelaskan bahwa menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Hanya saja setelah dilakukan amandemen tepatnya pada perubahan ketiga dijelaskan bahwa penambahan terhadap pembentukan, pengubahan dan pembubaran kementrian negara diatur dalam undang-undang.

Eksistensi hak prerogatif Presiden yang terjadi dalam hal pengangkatan menteri-menteri di dalam empat konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia sebagaimana dipaparkan, dapat penulis jelaskan bahwa kekuasaan Presiden dalam hal penggunaan hak prerogatif dalam pengangkatan menteri sesungguhnya telah bergeser dari mulai berdirinya Republik ini, di mana untuk pertama kalinya di dalam UUD 1945 sebelum amandemen, Presiden dapat menggunakan hak prerogatifnya tanpa ada intervensi dari mana pun. Sedangkan memasuki dua konstitusi selanjutnya Presiden dalam mengangkat atau menunjuk menteri-menteri yang akan membantunya harus terlebih dahulu menerima saran dan anjuran dari pembentuk kabinet. Ini dipengaruhi juga karena sistem pemerintahan yang sedikit bergeser dari sistem pemerintahan presiden-sial menuju sistem pemerintahan parlementer. Lebih lanjut, setelah dilakukannya amandemen UUD 1945 kekuasaan Presiden (baca; hak prerogatif presiden) kembali seperti semula, di mana Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentiaan menteri-menterinya sebagai konsekuensinya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tidak perlu terlebih dahulu mendapat persetujuan dari DPR.

Setelah Amandemen pasal 17 ayat (4) yang menyatakan bahwa kementrian negara diatur di dalam Undang-Undang. Kendati demikian masih ada “wilayah” di mana Presiden dengan wewenang penuh yang dimiliki olehnya dalam mengangkat menteri-menterinya. Dalam

konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia juga, eksistensi hak prerogatif Presiden untuk mengangkat duta/konsul juga mengalami pergeseran. Di dalam UUD 1945 sebelum amandemen Pasal 13 dijelaskan bahwa “Presiden mengangkat duta dan konsul” sebagai akibat yang timbul dari pengangkatan tersebut maka Presiden juga menerima duta dari negara lain.

Undang-Undang Dasar Republik Indone-sia Serikat menejelaskan bahwa pemerintah memegang pengurusan perhubungan luar negeri yang dimaksud disini adalah dalam melakukan kegiatan saling berhubungan dengan negara lain dilaksanakan oleh pemerintah yang dapat dikatakan Presidenlah yang berperan dalam hal ini. Sehingga implikasi dalam menjalin hubungan dengan negara lain ini Presiden memiliki kekuasaan untuk mengadakan dan men-sah-kan segala perjanjian (traktat) dan persetujuan-persetujuan lainnya dengan negara-negara lain. Kekuasa-an ini dimiliki Presiden dalam otoritasnya sebagai kepala negara.

Akan tetapi dalam melakukan perjanjian maupun persetujuan tersebut hanya dapat Presiden jikalau undang-undang federal menghendaki demikian. Artinya jika di dalam undang-undang federal tidak mengatur dan memberikan kekuasaan kepada Presiden untuk membuat persetujuan maupun perjan-jian dengan negara-negara lain maka Presiden tidak dapat melakukan hal tersebut.

Dalam hal pengangkatan duta atau konsul, Presiden memiliki kewenangan penuh seba-gaimana dijelaskan di dalam pasal 178 Undang-Undang Republik Indonesia Serikat yang menyatakan bahwa Presiden mengang-kat wakil-wakil Republik Indonesia Serimengang-kat pada negara-negara lain dan menerima wakil negara-negara lain pada Republik Indonesia Serikat. Tidak dijelaskan di dalam pasal ini Presiden harus memperoleh persetujuan dari tiga pembentuk kabinet sebelumnya maupun lembaga legislatif yang ada. Artinya mutlak

(12)

kekuasaan tersebut dimiliki oleh Presiden. Sedangkan di dalam UUDS tahun 1950 dijelaskan dalam pengangkatan duta/konsul sama halnya dengan Undang-Undang Dasar sebelumnya. Dengan demikian tidak terjadi pergeseran dalam pengangkatan duta/konsul antara Konstitusi RIS dengan UUDS tahun 1950. Setelah amandemen UUD 1945, Pasal 13 ayat (1), (2) dan (3) menyatakan bahwa Presiden mengangkat duta dan konsul dan dalam hal mengangkat duta, Presiden mem-perhatikan pertimbangan DPR serta dalam menerima penempatan duta negara lain Presiden juga harus memperhatikan pertim-bangan DPR. Menurut Ni’matul Huda (2006 ; 187), perubahan terhadap pasal-pasal ini dapat dikatakan sebagai pengurangan kekuasaan Presiden yang selama ini dipandang sebagai hak prerogatif.

Tampak pergeseran pendulum kekuasaan Presiden yang diatur di dalam UUD 1945 setelah amandemen dengan UUD sebelum-nya yang mana pihak legislatif mencoba memasuki ranah eksekutif dengan ikut mempengaruhi wewenang Presiden. Ke-kuasaan Presiden dalam mengangkat duta dan konsul yang di atur di dalam UUD 1945 setelah amandemen mengalami pergeseran yang cukup bermakna dari sebelumnya. Ini menunjukkan indikasi menguatnya parlemen di dalam menjalankan roda pemerintahan. Sehingga kekuasaan-kekuasaan Presiden yang sebelumnya dimiliki secara konstitusional oleh Presiden harus “berbagi” dengan legislatif atau parlemen.

Akan tetapi patut dicatat juga, menurut I Made Leo Wiratma (CSIS, 2000 ; 410), makna kalimat “ memperhatikan pertimbangan DPR” ini tidak jelas. Bagaimana caranya menilai atau apa yang menjadi ukuran bahwa Presiden telah sungguh-sungguh memperhatikan pertimbangan DPR. Lalu apa konsekuensinya jika Presiden tidak secara sunguh-sungguh memperhatikan pertimbangan yang diberikan oleh DPR, juga tidak jelas. Hal itu kiranya akan

lebih jelas dan pasti jika kalimat itu diganti “harus mendapat persetujuan DPR”

Sejalan dengan pendapat di atas, Naswar (2004 ; 284), mengatakan selain maknanya tidak jelas, kalimat itu juga secara hukum kurang berarti. Semestinya pengangkatan duta dilakukan “by and with the advice and consent

of Dewan Perwakilan Rakyat”. Demikian pula

pengangkatan pejabat-pejabat kenegaraan tertentu seperti Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Kehakiman, Menteri Keuangan dan Jaksa Agung, hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Sehingga dengan demikian, eksistensi hak prerogatif Presiden sudah mulai berkurang di dalam UUD 1945 setelah amandemen.

Eksistensi hak prerogatif Presiden untuk memberikan amnesti, grasi, abolisi dan rehabilitasi dalam UUD 1945 sebelum aman-demen dinyatakan bahwa “Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi”. Sebagaimana dijelaskan di dalam UUD 1945 sebelum amandemen bahwa kekuasaan Presiden ini ialah konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara dan kepala pemerintahan. Kekuasan tersebut melekat dalam diri Presiden dan dalam menggunakan kekuasaan tersebut selanjutnya tidak dijelas-kan bahwa Presiden harus berkonsultasi atau menerima masukan, saran serta pendapat dari lembaga negara lainnya. Dari indikasi pasal ini dapat penulis simpulkan sistem presidensial pada waktu itu sangat memberikan ruang gerak bagi presiden untuk bertindak dan berbuat sesuai dengan yang diamanatkan dengan konstitusi.

Sistem pada waktu itu jugalah yang sesungguhnya memberikan kekuasaan yang besar kepada presiden, sehingga checks and

balances tidak dapat berjalan sebagaimana

mestinya.

Berbeda dengan Konstitusi RIS, dalam pasal 160 dinyatakan bahwa Presiden mem-punyai hak memberi ampun dari

(13)

hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman. Hak itu dilakukannya sesudah meminta nasehat dari Mahkamah Agung, sekedar dengan undang-undang federal tidak ditunjuk pengadilan yang lain untuk memberi nasehat. Amnesti sendiri hanya dapat diberikan dengan undang-undang federal ataupun, atas kuasa undang-undang federal, oleh Presiden sesudah meminta nasehat dari Mahkamah Agung.

Berbeda dengan UUD sebelumnya, di dalam Konstitusi RIS asas pembagian ke-kuasaan sudah mulai terlihat dengan dima-sukkannya Mahkamah Agung sebagai lem-baga pertimbangan bagi Presiden dalam memberikan ampun dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman. Amnesti juga hanya dapat diberikan oleh Presiden atas kuasa undang-undang sesudah Presiden meminta nasehat dari Mahkamah Agung.

Dengan demikian, fungsi checks and

balances sudah dapat diijalankan antara

lembaga eksekutif dengan lembaga yudikatif pada waktu itu.

Dalam uuds tahun 1950, dinyatakan bahwa Presiden mempunyai hak memberi grasi dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan pengadilan. Untuk amnesti dan abolisi hanya dapat diberikan dengan undang-undang atau pun atas kuasa undang-undang-undang-undang, oleh Presiden sesudah meminta nasehat dari Mahkamah Agung.

Di dalam UUDS pun juga kekuasaan Presiden sudah mulai dibatasi dengan menguatnya peran lembaga yudikatif dalam memberikan pertimbangan serta masukan kepada presiden dalam memberikan grasi, amnesti dan abolisi. Sedangkan di dalam UUD 1945 setelah amandemen menyatakan bahwa Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan pertimbangan Mahkamah Agung, untuk amnesti dan abolisi Presiden terlebih dahulu memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pergeseran yang terjadi di dalam empat

konstitusi ini terlihat dengan mulai “hilang”nya eksistensi pada hak prerogatif yang dimiliki oleh Presiden itu sendiri. Jika di dalam UUD 1945 sebelum amandemen secara jelas dinyatakan bahwa Presiden berhak untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi tanpa perlu terlebih dahulu berkonsultasi kepada lembaga yudikatif yang ada. Ini dapat dimaknai dengan begitu besarnya kekuasaan Presiden sehingga dengan besarnya eksecutive heavy tersebut mengalahkan dominasi dari lembaga supra negara lainnya. Sistem presidensial pada waktu itu menimbulkan kekuasaan yang begitu besar atas diri Presiden. Berbeda dengan Konstitusi RIS dan UUDS, di mana dapat penulis katakan bahwa kedua konstitusi ini sudah mulai menganut asas pembagian kekuasaan atas lembaga negara yang ada. Ini tercermin dari adanya intervensi dari Mahka-mah Agung dalam memberikan masukan kepada Presiden dalam menggunakan hak prerogatifnya. Dan hal tersebut juga sebagai salah satu ciri pokok dari sistem pemerintahan parlementer yang mana hubungan antar lembaga parlemen dan pemerintah tidak murni terpisahkan.

Kondisi ini tidak berlangsung lama ketika diberlakukan kembali UUD 1945 sebelum amandemen, yang memberikan porsi yang besar atas kekuasaan Presiden. Barulah setelah diamandemennya UUD 1945 ke-kuasaan Presiden tersebut dibatasi dengan masuknya lembaga legislatif dan yudikatif kedalam ranah kekuasaan yang sebelumnya dipegang mutlak oleh Presiden. Di sini dapat penulis jelaskan kembali bahwa penguatan atas kedua lembaga tersebut (baca; legislatif dan yudikatif) memberikan dampak yang begitu luas bagi kekuasaan presiden sebelumnya. Dengan kondisi ini, keseimbangan antar lembaga utama negara dapat terjaga sebagai-mana mestinya, antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya saling memainkan peran pengawasan atau

(14)

Meskipun sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem presidensial, akan tetapi dalam pelaksanaannya tidak memberikan kekuasaan yang cukup besar lagi kepada Presiden sebagaimana UUD 1945 sebelum amandemen. Yang menurut banyak pihak salah satu penyebab terjadinya penyimpangan yang dilakukan oleh presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan pada waktu itu adalah begitu besarnya kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden.

Kendati demikian, di dalam Konstirusi RIS maupun UUDS juga terdapat pengurangan hak yang sebelumnya diatur di dalam UUD 1945 sebelum amandemen. Di dalam Konsti-tusi RIS hanya mengatur tentang ketentuan akan hak presiden dalam memberikan grasi dan amnesti, sedangkan hak seperti abolisi dan rehabilitasi tidak diatur di dalam kontitusi tersebut. Begitu pula dengan UUDS hanya mengatur tentang hak grasi, amnesti dan abolisi sedangkan rehabilitasi tidak diatur di dalam UUDS tersebut.

Menurut Mahfud MD (dalam Ni’matul Huda), jika ditinjau dari sudut hukum tata

negara, pengorganisasian suatu negara tidak harus mengikuti atau tidak mengikuti teori tertentu. Hukum tata negara di suatu negara adalah ketentuan konstitusi negara yang bersangkutan yang tidak harus mengikuti atau tidak mengikuti suatu teori tertentu. Artinya, materi hukum bisa dibuat berdasarkan kreasi sendiri dari negara yang bersangkutan. Apapun yang ditulis di dalam konstitusi maka ia harus diterima sebagai hukum tata negara, terlepas dari cocok atau tidak cocok dengan teori tertentu atau dengan negara lain serta sesuai atau tidak sesuai dengan selera.

Artinya, kegagalan maupun keberhasilan sistem (sistem presidensial maupun sistem parlementer) dapat disimpulkan berpotensi menjadi sistem yang baik maupun buruk, karena semuanya memiliki kelemahan utama yakni tidak mampu untuk mencegah terjadinya penyalahagunaan kekuasaan.

Untuk lebih jelasnya tentang pergeseran eksistensi hak prerogatif Presiden berdasarkan konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, berikut penulis sampaikan dalam bentuk tabel di bawah ini :

Tabel IV.1

(15)

DAFTAR PUSTAKA

AG. Pringgodigdo, Perubahan Kabinet

Presidentil Menjadi Kabinet Parlementer, Yayasan Fonds

Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, t.t Bagir Manan, Republika, 27 Mei 2000 Ellydar Chaidir, 2007, Hukum dan Teori

Konstitusi, Kreasi Total Media,

Yogyakarta.

Enid Campbell, (et.all), 1996, Legal Reserach, The Law Book Company Ltd, Ford Edition, Sidney.

Hendarmin Ranadireksa, 2007, Visi Bernegara

: Arsitektur Konstitusi Demokratik (mengapa ada negara yang gagal melaksanakan demokratik), Fokus

media, Bandung.

Herman Sihombing, 1982, Lembaga Prerogatif

Dalam Negara Republik Indonesia,

Kompas, 8 Juli.

I Made Leo Wiratma, 2000, Reformasi

Konstitusi ; Potret Demokrasi Dalam Proses Pembelajaran, Analisis CSIS,

Jakarta, No.4 Tahun XXIX-2000 Krisna Harahap, 2004, Konstitusi Republik Eksistensi hak prerogatif Presiden didalam

sistem pemerintahan presidensial setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana terlihat di dalam tabel di atas telah mengalami pergeseran.

H. Kesimpulan

Eksistensi hak prerogratif presiden dalam sistem pemerintahan presidensial setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami pergeseran yang cukup banyak. Di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, eksistensi hak prerogatif presiden sudah semakin berkurang dengan ditandainya penggunaan hak prerogatif tersebut oleh Presiden tidak secara mutlak lagi. Ini dikarena-kan implikasi dari menguatnya prinsip checks

and balances dan sharing of power antar

lembaga negara serta penerapan dari konsep pemisahan kekuasaan dari lembaga-lembaga negara yang ada. Sehingga menyebabkan

kewenangan yang semulanya berada ditangan Presiden kini harus mendapat persetujuan dari lembaga negara yang lainnya (legislatif dan yudikatif). Hak prerogatif presiden didalam sistem presidensial tidak selamanya mutlak harus ada, dan ini membuktikan bahwa suatu sistem pemerintahan yang diterapkan di dalam suatu negara tidak membawa pengaruh untuk kekuasaan yang besar bagi salah satu lembaga negara. Meskipun suatu negara menganut sistem pemerintahan presidensial tidak semestinya juga kekuasaan Presiden menjadi besar didalam pemerintahan. Ini tergantung dari keinginan setiap lembaga negara yang ada apakah ingin menerapkan konsep pemisahan kekuasaan secara baik dan benar serta menerapkan prinsip checks

and balances secara konsekuen antar

lembaga negara atau tidak dan sesungguhnya dalam sistem pemerintahan presidensial hak prerogatif presiden haruslah lebih besar dalam menjalankan pemerintahan.

(16)

Indonesia ; Sejak Proklamasi hingga Reformasi, Grafitri Budi Utami, Bandung.

Moh. Nasir, Metode Penelitian, Ghalia, Indonesia

Naswar, 2004, Hubungan Kekuasaan Presiden

Dengan DPR Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Jurnal

Mahkamah, UIR Press, Pekanbaru, Volume 15, Oktober 2004

Ni’matul Huda, 2006, Hukum Tata Negara

Indonesia, Rajawali Press, Jakarta.

Peter Mahmud M, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta.

Sukarna, 1992, Sistem Politik Indonesia, Mandar Maju, Bandung.

Suharial dan Firdaus Arifin, 2007, Refleksi

Reformasi Konstitusi 1998-2002; Beberapa Gagasan Menuju Amandemen Kelima UUD 1945, Citra

Aditya Bakti, Bandung.

Sri Soemantri, 1984, Prosedur dan Sistem

Perubahan Konstitusi, Alumni,

Bandung.

______ , 1988, Ketetapan MPR(S) Sebagai

Salah Satu Sumber Hukum Tata Negara, Remaja Karya, Bandung.

______, 1971, Perbandingan Hukum Tata

Negara, Alumni, Bandung.

Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Ilmu

Gambar

Tabel IV.1

Referensi

Dokumen terkait

Koefisien determinasi yang ditunjukkan dengan R square sebesar 0,57 angka tersebut mengandung pengertian bahwa kontrol diri memiliki hubungan sebesar 57% terhadap gaya hidup

Keterampilan adalah kemampuan untuk menggunakan akal, fikiran, ide, dan kreatifitas dalam mengerjakan, mengubah ataupun membuat sesuatu menjadi lebih bermakna

Beberapa hari kemudian bapak itu datang lagi ke bar dan memesan 20 botol bir, bartender itu bertanya lagi, "Ada apa lagi pak?" Lalu bapak itu berkata, "Ternyata anak

Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Maulana (2012) tentang hubungan pengetahuan gizi seimbang dengan status gizi pada anak SD menunjukkan bahwa

Cаbаng Bаndаrа Juаndа аdаlаh Humаn Cаpitаl Sеction. Unit kеrjа ini bеrtugаs sеbаgаi poros utаmа pеlаksаnа аktivitаs tаlеnt mаnаgеmеnt dаlаm prosеs

Namun pada kenyataannya dalam penelitian ini tingkat pengetahuan tentang pestisida pada petani sayur di kelurahan Rurukan Satu tidak ada hubungan dimana persentase

Wakil dari Angkutan Laut, yang ditunjuk oleh Kepala Staf Angkatan Laut, sebagai Wakil Ketua I merangkap anggota;.. Wakil dari Angkatan Darat, yang ditunjuk oleh Kepala

Peneliti memilih informan sebagai sumber data karena menurut peneliti siswa tersebut tidak pemalu karena kebetulan siswa tersebut teman adik saya yang kebetulan baru saja tamat