• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dekonstruksi Uang Kepeng Aksara Bali dalam Masyarakat Hindu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dekonstruksi Uang Kepeng Aksara Bali dalam Masyarakat Hindu"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Dekonstruksi Uang Kepeng Aksara Bali dalam Masyarakat Hindu

Oleh: I Made Dian Saputra*)

Abstract

Uang kepeng or which is in Bali society more knowledgeable by pis bolong is perforated represent one of medium of ceremony (yadnya) owning role which important so. Uang kepeng or pis bolong initially represent the money kartal from country China of taken as appliance convert in course of commerce. Process entry of this money to Bali effect of existence of commerce with the merchant from China at a period of empire Jayapangus. The making of uang kepeng from this China as ceremony medium cannot be discharged from existence of process of nuptials of king Jayapangus with the merchant child from China the name is Kang Chi Wie. In its growth uang kepeng experience of the good dekonstruksi from motif facet and also also use. From motif facet, uang kepeng experience of the change, from uang kepeng which have motif of article China, but now blessing innovate from artist from countryside Kamasan, regency Klungkung, uang kepeng have been printed with the motif of Bali letter. Not only that furthermore growth of uang kepeng at the moment have been made upon which to make assorted of decoration in the form of tamiang, bokoran, and statue.

Key word: dekontruction , Uang kepeng, Bali letter, Hindu society

I. PENDAHULUAN

Masyarakat Hindu di Bali hingga kini masih akrab dengan pis bolong. Sebutan lain dari pis bolong adalah uang kepeng. Uniknya, kendati tidak berfungsi sebagai alat tukar lagi, uang kepeng masih berfungsi sebagai sarana upakara. Dahulu di Bali, uang kepeng difungsikan sebagai uang kartal (alat tukar yang sah). Bahkan sempat berfungsi ganda sebagai alat tukar dan sarana budaya dan sekarang, uang kepeng juga dipakai sebagai media seni. Banyak sekarang patung dibuat dengan media uang kepeng seperti patung Cili, orang menari, dan patung garuda.

Sesungguhnya sebagian besar upakara agama Hindu di Bali menggunakan uang kepeng. Dalam jenis-jenis upakara tertentu, peranan uang kepeng menjadi sangat mencolok. Misalnya digunakan sebagai sesari, singgel, ukur atau preraga, bekal kubur

(galeng watangan dan buku-buku penyolasan), cegceg, sekarura dan lain-lain. Uang kepeng juga kerap digunakan sebagai arca pemujaan yang disebut rambut sedana. Tak hanya itu, uang kepeng juga digunakan sebagai seni hias, terutama hiasan pura atau pemerajan seperti lamak, tamiang, kolem, salang, payung pagut dan lontek.

*) I Made Dian Saputra, SS., adalah Dosen di Fakultas Dharma Acarya IHDN Denpasar

Ketika di Bali muncul wacana ajeg Bali, banyak masyarakat yang berorientasi, ajeg Bali sebagai upaya melestarikan seluruh aspek budaya, nilai, norma dan adat ke-Bali-an. Ada pula sebagian masyarakat yang menafsirkan wacana ajeg Bali mengajak semua warga Bali untuk

(2)

kembali kepada prilaku budaya orang Bali yang dahulu. Wacana mengembalikan Bali seperti Bali terdahulu melahirkan upaya pelestarian seluruh aspek yang berkaitan dengan Bali yang dirasa sudah memudar. Salah satu upaya pelestarian tampak pada upaya pencetakan kembali uang kepeng di Bali.

Di Bali kemudian muncul uang kepeng dengan memakai aksara Bali. Uang ini dikenal dengan nama uang kepeng aksara Bali yang terbuat dari 5 unsur (panca datu). Kerajinan pembuatan uang kepeng aksara Bali hadir tepatnya di Desa Kamasan Kabupaten Klungkung. Made Swecita berusaha merintis kerajinan uang kepeng aksara Bali sehingga tumbuh menjadi sebuah industri rumah tangga dan berbadan hukum dengan ijin usaha : 28999/IK.189/715.1.6/0146. Made Suecita berupaya berkreasi dengan mengkonstruksi uang kepeng yang dapat menunjukkan identitas Bali. Uang kepeng yang lazimnya dalam bentuk fisik memakai hurup China, kini dibuat bertuliskan aksara Bali dari bahan panca datu. Proses produksi yang dilakukan di Desa Kamasan, Klungkung sejak 29 April 1994, hingga kini telah berhasil mencetak 87.000 biji, dengan harga sampai di masyarakat Rp 700 per biji. Harga itu masih jauh lebih murah dibanding uang kepeng asli yang mencapai 2000 rupiah per biji.

Berkat kreatifitasnya menyebabkan Pemkab Klungkung menuai prestasi penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (Muri) sebagai pemrakarsa pembuatan uang kepeng (uang bolong) terbesar. Berdiameter 77 sentimeter dengan ketebalan 1,5 sentimeter. Penghargaan Muri diterima Bupati Klungkung Wayan Candra dari Manajer Muri Paulus Pangka, S.H. di wantilan gedung Balai Budaya, Klungkung (Bali Post edisi 7 mei 2007).

Kehadiran uang kepeng aksara Bali rupanya menimbulkan beragam reaksi dari

masyarakat. Uang kepeng ini ditanggapi positif oleh bapak Bupati Klungkung karena telah mampu menimbulkan bentuk usaha baru sehingga mampu meraih penghargaan. Ditambah juga uang kepeng ini banyak direkomendasikan oleh para pemuka agama karena dianggap sesuai dengan nilai agama dan dan mampu menunjukkan simbol identitas Bali yang kental dengan Hindunya. Namun disisi lain ternyata masyarakat menanggapinya lain. Masyarakat lebih cenderung berupaya memilih untuk tetap memakai uang kepeng asli China, alternatif kedua yang dipakai yaitu masyarakat ternyata lebih meilih memakai uang kepeng tiruan dari seng dibandingkan uang kepeng aksara Bali. Fenomena di atas tentunya bukan permasalahan yang kecil. Ketika masyarakat Bali sudah nyaman memakai uang kepeng China kemudian muncul uang kepeng aksara Bali yang lebih menonjolkan identitas Hindu sebagai rekontruksi uang kepeng China. Pemuka agama ikut juga merekomendasikan masyarakat Bali untuk memakai uang kepeng aksara Bali sebagai sarana upakara dengan himbauan di pasupati (diupacarai) terlebih dahulu. Hal ini merupakan fenomena yang sangat menarik untuk diteliti. Kiranya sangat menarik untuk dikupas mengenai kelahiran uang kepeng aksara Bali di Bali. Apakah keberadaan uang kepeng aksara Bali dengan memakai simbol-simbol Bali merupakan bentuk pelestarian uang kepeng guna mendukung segala ritual di Bali, atau justru ada maksud lain dari pembuatan uang kepeng yang menempatkan simbol Hindu di dalamnya. Dasar pemikiran ini kiranya menjadi landasan masalah dipilihnya uang kepeng aksara Bali sebagai bahan pemikiran dalam tulisan ini.

II. PEMBAHASAN

(3)

Dekonstruksi dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan intensitas bentuk yang sudah tersusun sebagai bentuk yang sudah baku. Dalam teori kontemporer dekonstruksi sering diartikan sebagai pembongkaran, pelucutan, penghancuran, penolakan dan berbagai istilah dalam kaitannya penyempurnaan arti semula. Dalam mendekonstruksi dilakukan pengurangan intensitas oposisi biner, sehingga unsur-unsur yang dominan tidak selalu mendominasi unsur-unsur yang lain. Sebaliknya unsur-unsur yang semula selalu terlupakan, terdegredasikan dan termarginalisasikan, seperti kelompok minoritas, kelompok yang lemah dapat memberi perhatian yang memadai bahkan secara seimbang dan proposional.

Dalam dekonstruksi dilakukan semacam pembongkaran, tetapi tujuan akhir yang hendak dicapai adalah penyusunan kembali dalam tatanan dan tataran yang signifikan sesuai dengan hakikat objek sehingga aspek-aspek yang dianalisis dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Teori dekonstruksi dimanfaatkan untuk menganalisis gejala-gejala kontemporer, khususnya melalui cara kerjanya yang dikenal dengan ‘membongkar’ dianggap sebagai salah satu cara yang tepat untuk memahami plurarisme budaya. Untuk membangun kembali, maka pembongkaran harus diikuti oleh pembangunan kembali, sekaligus menggantikannya dengan cara-cara yang baru sehingga dapat memperoleh temuan yang baru (Ratna, 2005:250-270)

Dekontrsuksi dalam hubungan pelestarian uang kepeng aksara Bali adalah berusaha untuk membongkar secara menyeluruh mengenai keberadaan uang kepeng aksara Bali dalam aplikasinya di masyarakat. Sejauh mana pelaksanaan atau fungsi uang kepeng tersebut, apakah

pelestarian yang dikatakan memang untuk kelangsungan sarana keagamaan atau ada tujuan lain dibalik pelestarian tersebut. Dalam hal ini juga berusaha membongkar pemakaian simbol-simbol Hindu dalam wujud fisik uang kepeng aksara Bali.

Berdasarkan sumber sumber-sumber sejarah yang berkaitan dengan uang kepeng, bahwa pada awalnya adalah uang logam (coine), yaitu sekeping logarn (emas, perak, tembaga, atau timah) yang ditandai dengan gambar (image) dan huruf atau angka (superscription) dari stempel penguasa di atas permukaannya. Yang dimaksud penguasa adalah negara atau kerajaan, dan karena itu hubungan antara kerajaan atau negara dengan sistem keuangannya sangat dekat. Kedekatan ini berlaku sepanjang sejarahnya berabad-abad. Akan tetapi sulit untuk disangkal bahwa uang tidak selamanya muncul atas kreasi negara atau kerajaan, karena ada juga uang yang lebih dahulu ada sebelum munculnya sebuah negara atau kerajaan (Sidemen, 2002: 37-38).

Dalam buku Nilai Historis Uang Kepeng karangan Ida Bagus Sidemen (2002) di ungkapkan bahwa uang kepeng sudah beredar sebagai alat pembayaran yang utama di pulau Bali untuk paling tidak 1.100 tahun yang lalu. Jenis yang beragam dari uang logam ini, terbuat dari berbagai macam logam dan dengan tulisan yang berbeda, yang menjadi kesamaan adalah semua jenis uang logam ini mempunyai lubang di tengah, mirip ring untuk baut, yang membolehkan mereka untuk di renteng atau di ikat bersama untuk menjadi kesatuan-kesatuan mata uang yang lebih besar.

Dalam perjalanannya, sejak awal abad masehi, di Asia telah terjadi kontak dagang yang sangat ramai antara India dengan China. Kontak dagang ini dilaksanakan melalui jalur darat dan laut. Jalur laut tampaknya lebih membawa

(4)

implikasi terhadap daerah - daerah yang dilaluinya termasuk Indonesia. Indonesia yang terletak dipersilangan lalu lintas dagang ini, telah menempatkan Indonesia sebagai jalur perdagangan internasional. Melalui kontak dagang tersebut Indonesia mulai mendapatkan pengaruh kebudayaan India dan China. Dari India diperoleh agama dan budaya Hindu, sedangkan dari China mendapatkan pengaruh kesenian dan uang kepeng.

Uang kepeng yang pernah menjadi alat perdagangan yang sah sulit diungkapkan sejak kapan mulai dipergunakan di wilayah nusantara. Penggunaan uang kepeng baru terungkap ketika nusantara berada dalam kekuasaan kerajaan Majapahit. Arjan Vas, (1995: 357-359) menjelaskan bahwa pemerintahan Majapahit sengaja mengimpor uang kepeng untuk mempermudah transaksi perdagangan di seluruh wilayah Indonesia.

Uang kepeng yang dimpor memiliki tanda - tanda yang sangat mencolok yaitu bentuk bulat dengan sebuah lubang persegi empat di tengahnya dan pada bagian permukaannya ditulisi huruf China dan bernama Chineesche coins (Lifrinck, 1917: 103). Sedangkan pada masyarakat Bali dikenal dengan nama pipis bolong.

Pengaruh China tampaknya terus menyusup mengikuti perkembangan Majapahit terhadap wilayah nusantara termasuk Bali. Bali sebagai salah satu kekuasaan Majapahit juga ikut terlibat dalam kontak dagang tersebut. Keterlibatan tersebut membawa dampak masuknya uang kepeng sebagai alat pembayaran yang sah di Bali.

Sudana dan Budiastra (1998: 14-15) mengungkapkan bahwa pada saat pemerintahan raja Jayapangus, Etnis China telah berdomisili dan melaksanakan perdagangan di Bali, seorang warga China bernama Subandar bersama putrinya Kang Chi Wie datang menghadap Raja dan

memohon untuk mengijinkan warga China untuk melakukan perdagangan di Kintamani. Subandar sangat senang karena permohonan tersebut disetujui sang Raja. Kemudian agar para warga China lebih leluasa untuk melakukan perdagangan maka timbul niat Subandar untuk menikahkan putrinya dengan dengan raja. Sebelum pernikahan dilaksanakan Kang Chi Wie memohon kepada raja agar uang kepeng yang selama ini digunakan sebagai alat pembayaran, juga harus dihadirkan dalam setiap upacara di Bali. Hal ini dimaksudkan untuk lebih memperkuat persatuan masyarakat China dengan masyarakat Bali.

Ketika Belanda datang ke Bali melalui proses penaklukan (1846-1908), pemerintah kolonial Belanda memperlakukan uang kepeng dan uang Hindia Belanda sebagai alat pembayaran yang sah di Bali. Dalam peredarannya, nilai tukar uang kepeng lebih rendah dibanding uang Belanda. Satuan uang Belanda yang disebut sen nilai tukarnya sama dengan 5 keteng uang kepeng, namun pemerintah Belanda cukup toleran kepada eksistensi uang kepeng yang sudah melekat dalam kehidupan masyarakat Bali baik sebagai uang kartal maupun sarana upacara. Untuk itulah uang kepeng masih diperkenankan hadir bersama uang Belanda.

Setelah kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1945, dan bahkan sesudah disahkannya undang-undang keuangan pada tahun 1951 yang menyatakan rupiah adalah satu-satunya mata uang Indonesia, uang kepeng terus beredar sebagai media yang dapat ditukar sebagai keragaman media yang mudah ditukarkan untuk melakukan kegiatan perdagangan atau tukar-menukar barang dan jasa lokal untuk memenuhi kebutuhan lokal sampai awal tahun 1970an. Dengan begitu peredaran uang kepeng sebagai alat pertukaran

(5)

dihentikan hanya 38 tahunan yang lalu, dan masih menjadi kenangan pada sebagian besar orang Bali. Kebanyakan orang Bali yang berusia di atas 60 tahun mengingat kembali bahwa orang-tua mereka memberi mereka uang saku dalam bentuk uang kepeng, yang dengan uang kepeng tersebut, mereka bisa membeli makan siang dan makanan kecil di sekolah atau membayar untuk hiburan. Orang dewasa yang lebih tua mengingat bahwa di dalam banjar mereka, pemerintahan tradisional kuno yang demokratis, memungut denda untuk dibayarkan dalam bentuk uang kepeng untuk kesalahan karena tidak mematuhi peraturan desa atau mengikuti pertemuan tepat pada waktunya. Orang lain, terutama para wanita, mengingat bahwa mereka memakai uang kepeng untuk membeli hampir semua kebutuhan sehari-hari rumah tangga di pasar. Tetapi bagaimanapun tanpa melihat usia atau jenis kelamin, setiap orang Bali mengenal uang Kepeng sebagai media upacara dalam agama Hindu.

Kendati sejak tahun 1951 pemerintah RI telah mengeluarkan undang-undang tentang uang RI sebagai alat pembayaran yang sah, tetapi uang kepeng masih saja berlaku di Bali terutama sebagai sarana upakara. Keadaan ini berlanjut hingga sekarang. Hingga kini uang kepeng di Bali berfungsi religius dan budaya. Penggunaan uang kepeng sebagai sarana upacara panca yadnya antara lain dalam lis, orti, pedagingan, rambut sedana, pakelem, kwangen, tamiang dan lain-lain. Dalam seni budaya uang kepeng dijadikan berbagai bentuk hiasan. Karena semakin langkanya uang kepeng asli China, belakangan beredar uang kepeng dari seng yang dibolongkan (dilubangi). Uang kepeng ini dirasa sebagai alternatif lain yang mampu menggantikan posisi uang kepeng China. Keberadaan uang kepeng seng semakin banyak ditemui di

masyarakat, hal ini sejalan dengan pelaksaan upacara umat Hindu yang selalu menghadirkan uang kepeng di dalamnya.

Dalam penelitian di perpustakaan Nasional Rl di Jakarta dalam tahun 1993 dan 1998, juga telah dibaca dengan teliti sekitar 33 lembar naskah lontar yang bertuliskan huruf Bali berbahasa Bali menggunakan cap stempel dari penguasa. Hampir semua dari naskah ini menyebutkan satuan keteng atau kepeng di belakang atau di depan angka menyebutkan angka huruf Bali. Di samping itu ditemukan pula bahwa ada beberapa di antara naskah-naskah itu yang memuat informasi tentang peranan orang China sebagai pedagang candu dan pelepas uang kepeng Sekitar abad XIX di Bali telah ada perkampungan orang-orang China dengan jumlah penghuni lebih banyak yang kebanyakan berprofesi sebagai pedagang.

Setelah jaman kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia memberlakukan uang rupiah sebagai alat pembayaran yang sah. Sedangkan uang Hindia Belanda dan uang kepeng yang beredar sebelumnya ditarik dari peredarannya sebagai uang kartal. Ketika uang Hindia Belanda dan uang kepeng ditarik sebagai uang kartal, uang kepeng masih tetap terjaga hingga sekarang terutama dalam fungsinya sebagai sarana upacara.

Dengan perkembangan Pariwisata di daerah Bali, kreativitas seni masyarakat Bali yang dijiwai oleh budaya dan agama Hindu telah melahirkan beberapa bentuk dan ragam kesenian yang bahan ada terbuat dari uang kepeng. Kreativitas seni yang menggunakan uang kepeng antara lain seperti kolose dan sarana permainan. Kolose merupakan salah satu hasil karya seni dari uang kepeng yang dibuat dengan tehnik menempel. Dewasa ini di Bali hasil karya seni ini masih dipajangkan di musium Bali berupa tiga buah patung yakni

(6)

sebuah patung Oleg dan dua buah patung Rambut Sedana. Disamping itu uang kepeng juga dimanfaatkan sebagai sarana permainan. Beberapa permainan rakyat yang mempergunakan uang kepeng diantaranya permainan pelinceran, matotog dan makeles. Permainan rakyat tersebut sering dengan perkembangan jaman sudah ditinggalkan.

Mengingat seringnya masyarakat Hindu di Bali melaksanakan upacara dan banyaknya kreativitas seni masyarakat yang menggunakan uang kepeng, keperluan atas uang kepeng semakin meningkat yang berdampak pada makin menyusut dan langkanya peredaran jumlah uang tersebut. Selain itu kelangkaan juga dipicu oleh banyaknya pengunaan uang kepeng sebagai souvenir atau koleksi yang banyak dikirim keluar negeri. Oleh karena uang kepeng semakin langka, sementara masyarakat Bali masih menganggap uang tersebut memiliki peranan penting dalam upacara, menimbulkan niat sebagian masyarakat Bali untuk mencetak uang kepeng tiruan secara informal.

Dewasa ini uang kepeng tiruan banyak beredar di Bali terutama dipasar-pasar tradisional. Disetiap dipasar-pasar tradisional hampir semuanya akan ditemukan lokasi khusus sebagai tempat transaksi jual beli uang kepeng. Dalam transaksi tersebut, uang kepeng tiruan harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan uang kepeng asli. Transaksi dalam jumlah besar terjadi setiap tahun yakni pada bulan-bulan tertentu seperti : Juli, Maret, April, Agustus dan September. Bulan-bulan tersebut bagi umat Hindu di Bali sangat baik untuk melangsungkan upacara keagamaan terutama Manusia Yadnya dan Pitra Yadnya. Dalam setatus sebagai benda yang diperdagangkan, uang kepeng dikaitkan sebagai benda yang dibutuhkan untuk pelengkap upacara misalnya penebaran uang kepeng pada upacara sekarura dalam

upacara ngaben, menenggelamkan uang kepeng ke dalam laut dalam upacara mapakelem dan lain sebagainya (Sudarma, 2008: 13-15).

2.1 Komodifikasi Seni Kerajinan Uang Kepeng Aksara Bali di Desa Kamasan

Masyarakat Hindu di Bali hingga kini masih akrab dengan uang kepeng. Kendati sejak tahun 1951 pemerintah Rl telah mengeluarkan undang-undang tentang uang Rl sebagai alat pembayaran yang sah, uang kepeng masih saja berlaku di Bali, terutama sebagai sarana upakara. Peranan uang kepeng menjadi sesuatu yang penting. Penggunaan uang kepeng sebagai bagian sarana upakara yang berlangsung hingga sekarang, menjadikan jumlah uang kepeng asli di Bali sernakin berkurang, karena tak dicetak dan tak diekspor lagi oleh negara China.

Untuk memenuhi permintaan masyarakat akan uang kepeng semakin meningkat, maka dilakukan dengan rnencetak uang kepeng tiruan. Bahkan, ada uang kepeng berbahan baku seng yang hanya dibuatkan lubang tanpa disertai huruf pada kedua sisinya. Namun, uang ini pun laku di pasaran. Dari segi ekonomi pencetakan uang kepeng baru (tiruan) tentu sangat menjanjikan. Karena itu, banyak yang berupaya mencetak uang kepeng. Keinginan untuk mencetak uang kepeng baru dengan menggunakan bahan baku panca datu pun muncul belakangan. Bahkan, upaya itu sudah terwujud dengan dicetaknya uang kepeng beraksara Bali yang diprakarsai oleh Lembaga Pelestarian Warisan Budaya Bali. Uang kepeng itu

dibernama jinah upakara

(Www.Balipost.com 2004/11/02).

Munculnya usaha-usaha pencetakan uang kepeng ini sebagai upaya penyediaan kebutuhan masyarakat Hindu Bali dari kelangkaan uang kepeng dan melestarikan penggunaan uang kepeng pada upakara

(7)

yadnya. Ada rasa keprihatinan yang sama dari kedua pendiri usaha ini sehingga mereka mendirikan usaha pencetakan uang kepeng ini. Keprihatinan tersebut adalah dalam pelaksanaan upacara keagamaan di Bali ditemukan masyarakat yang penggunaan uang kepeng tanpa tulisan yang terbuat dari seng. Masyarakat menyebut uang kepeng jenis ini dengan nama uang kepeng palsu, yang terdiri dari satu unsur logam. Menurut mereka uang kepeng tersebut jelas tidak memenuhi unsur Panca Datu, sehingga tidak layak dipergunakan sebagai benda upakara di Bali.

Rasa fanatisme bisa dimaklumi karena uang kepeng dalam Agama Hindu memiliki makna mendalam yang dapat dipertanggung jawabkan secara fiiosofis dan ilmiah. Disisi yang lain masyarakat yang menggunakan uang kepeng tersebut tidak dapat disalahkan, karena beragama adalah masalah kebebasan, masalah kepercayaan dan rasa yaitu rasa nyaman. Karena bagi mereka penggunaan tersebut memberikan rasa nyaman dilihat dan harga yang relatif lebih murah dan mudah mendapatkannya, walaupun uang tersebut dianggap tidak memenuhi persyaratan sebagai perlengkapan upakara karena tidak mengandung unsur panca datu (besi, perak, tembaga dan perunggu) yang diartikan sebagai lima kekuatan hidup yang dipengaruhi oleh kekuatan panca dewata yaitu Wisnu, Iswara, Brahma, Mahadewa, dan Siwa Dan sisi yang lain pula penggunaan uang kepeng ini dapat mengaburkan nilai-nilai makna yang semestinya ada pada uang kepeng yang dipakai upakara yadnya.

Dari dasar keperihatinan itulah salah satu perajin atau bisa digolongkan pelaku industri yang mengembangkan uang kepeng menjadi banyak ragam produk kerajinan dan perhiasan tersebut adalah I Made Sukma Swacita. Pria yang

berdomisili di Desa Tojan Klungkung, Bali ini sudah menggeluti produksi uang kepeng sejak 2004. Produk yang digunakan untuk keperluan upacara adat dan aneka produk kerajinan serta perhiasan itu digarap Sukma Swacita bersama sekitar 50 karyawannya di suatu tempat usaha bernama UD Kamasan Bali.

Uniknya, produksi uang kepeng tersebut dilakukan Sukma Swacita juga menggunakan logam dari barang bekas (limbah), sebut saja dari panci, kandungan logam dalam peralatan elektoronik dan listrik bekas serta barang-barang lainnya bahan uang kepeng meliputi, antara lain dalam perbandingan unsur-unsur kuningan 50 %, tembaga 25 %, timah 15 %, dan aluminium 10 %. Sebaliknya, unsur-unsur panca datu, seperti emas, perak, dan besi, hanya sebagai pelengkap. Dan produk uang kepengnya kini sudah banyak dikenal oleh pembeli-pembeli serta kolektor baik di dalam maupun luar negeri. Selain unik, produksi uang kepeng Sukma Swacita juga bermotif atau berlambang layaknya uang kepeng kuno yang biasa digunakan di era kerajaan dari Hindu. Jadi meski merupakan produksi baru, uang kepeng Sukma Swacita tetap bercirikan produk kuno yang sudah langka. Hal inilah yang membuat produk kerajinan dan hiasan berbahan baku uang kepeng UD Kamasan Bali yang merupakan salah satu binaan Ditjen Industri Kecil dan Menengah (IKM) Departemen Perindustrian (Depperin) ini banyak diminati para pembeli. Alasannya unik dan antik serta memiliki motif dengan lambang-lambang yang indah dari warisan nenek moyang. Sukma Swacita dan para karyawannya kini bisa memproduksi ribuan uang kepeng atau dengan berat total mencapai 401,5 kilogram per bulan. Dengan tersedianya produksi uang kepeng di Kamasan tercipta ide-ide kreatifitas masyarakat Kamasan sebagai benda kerajinan dengan melihat peluang -

(8)

peluang pengembangan industri kerajinan ini, Hal ini pula menjadikan Desa Kamasan terkenal dengan pengrajin uang kepeng.

2.3 Pembuatan Benda-Benda Kerajinan dari Uang Kepeng

Seniman tidak menentukan dengan pasti jenis uang kepeng yang peruntukannya sebagai benda kerajinan. Penggunaan ini lebih disebabkan faktor ketersediaan uang kepeng tersebut. UD Kamasan di Kabupaten Klungkung dan perajin disekitarnya, untuk membuat kerajinan patung yang akan disakralkan maupun tidak adalah uang kepeng untuk perlengkapan upakara keagamaan di Bali yang disebut dengan jinah upakara.

Sanjaya (39 tahun) sebagai seorang pengrajin uang kepeng memaparkan bahwa uang kepeng jenis ini permukaannya yang pertama terdiri dari jenis huruf dan dibaliknya terdiri dari dua huruf Bali. jenis uang kepeng ini lebih banyak dicetak, karena permintaan masyarakat lebih banyak dari jenis yang lainnya. Munculnya penggunaan uang kepeng adanya pencetakan uang kepeng di Bali. Karena setelah adanya pencetaan uang ini, ketersediaannya menjadi lebih banyak. Di samping itu disebabkan oleh faktor kreatifitas masyarakat Bali cukup tinggi dalam melihat peluang - peluang pengembangan industri kerajinan ini.

Berbeda dengan sebelumnya penggunaan uang kepeng China tidak banyak dimanfaatkan sebagai kerajinan, karena sangat terbatas. Sehingga pemanfaatannya difokuskan untuk kepentingan upacara agama. Kelangkaan uang kepeng China di Bali saat ini (2007) disebabkan uang tersebut tidak diproduksi lagi di China sedangkan penggunaannya di Bali semakin banyak dibutuhkan karena pelaksanaan upacara keagamaan belakangan ini frekuensinya semakin

meningkat. Sehingga harganya menjadi lebih mahal dari uang cetakan Bali. Menurut beberapa perajin uang kepeng cetakan Bali lebih mudah digunakan sebagai benda kerajinan dibandingkan dengan uang kepeng China. Karena lebih mudah dibuat sedikit melengkung yang diperlukan dalam membuat bagian-bagian bunciar dari sebuah benda kerajinan uang kepeng seperti membuat bulatan lengan, badan dan sebagainya. Namun beberapa perajin patung uang kepeng masih bertahan untuk menggunakan uang kepeng buatan China sehingga harganya relatif lebih mahal dari patung yang dibuat dengan bahan uang kepeng cetakan. Teknik pembuatan produk seni kerajinan yang menggunakan uang kepeng ini, uang kepeng dapat dikatakan hanya sebagai media penghias dari produk yang akan dibuat, bukan sebagai bentuk dasar. Proses menghiasnya dilakukan dengan cara merangkai atau menyusun uang kepeng secara teratur dan terukur, serta diikat dengan benang berwarna seperti ditunjkan pada gambar sebagai berikut.

(9)

Gambar 1. Rangkaian uang kepeng disusun secara teratur

Dokumen: Dian, 2011

Susunan uang kepeng yang teratur dan terukur membuat wujud visual dari benda kerajinan yang dibuat menjadi indah. Susunan uang kepeng yang dirangkai dengan benang nilon tersebut hasilnya menyerupai anyaman, karena terlihat saling tumpang. Di samping itu penggunaan uang kepeng ini dapat memberikan kesan kuno dan antik. Bagi orang Bali yang mempergunakan untuk benda-benda keagamaan dapat membangun rasa kesakralannya.

Produk-produk kerajinan yang terbuat dari uang kepeng ini terdiri dari bentuk patung, tamiang/lamak yang berbentuk lingkaran atau persegi lainnya dan barang berfungsi lainnya. Dengan demikian teknik pembuatan dari masing-masing tersebut sedikit berbeda antara benda yang satu dengan yang lainnya tergantung dari bentuk dan fungsinya. Tamiang/lamak bermacam-rnacarn, diantaranya lingkaran, segi empat atau

persegi lainnya, bahannya terbuat dari bahan bambu atau kawat. Pada bagian-bagian tertentu diisi rangkaian uang kepeng dengan cara disusun dengan jarak dan ukuran yang sama. Untuk keragamanan dan keindahan, beberapa bentuk tamiang dipadukan dengan unsur-unsur penghias lainnya seperti hiasan dari benang dengan aneka warna, ukiran. dan kayu, topeng, dan sebagainya. Fungsi tamiang hanya sebagai media hias kaitannya dengan upacara keagamaan, tetapi bukan untuk disakralkan. Masing-masing perajin memiliki desain-desain yang berbeda-beda terutama dalam pengembangan dengan unsur tambahan lainnya. Namun bentuk dasarnya hampir sama pada setiap perajin. Karena pengembangan variasi-variasi ini. memberikan pilihan yang lebih banyak kepada konsumen dilihat dari bentuk, ukuran dan harga seperti dalam gambar berikut:

Gambar 2. Rangkaian uang kepeng disusun membentuk sebuah patung

Dokumen: Dian, 2011

Barang-barang berfungsi yang terbuat dari uang kepeng lebih banyak terkait dengan kebutuhan masyarakat

(10)

Hindu di Bali, karena banyak dimanfaatkan untuk kepentingan ritual. Benda-benda tersebut misalnya tempat daksina, bokoran, kotak perhiasan, tempat tisu, tempat cermin dan sebagainya. Pembuatan benda ini juga diawali dengan pembuatan kerangka sesuai bentuk dasar benda tersebut, Kerangka tersebut dapat dibuat dengan kawat ataupun bambu, kemudian dirangkaikan dengan uang kepeng sehingga terbentuk wujud yang diinginkan. Untuk rangka yang lebih kuat dipergunakan potongan aluminun yang dirangkai dengan las. Namun akibatnya benda yang akan dibuat menjadi lebih berat dibandingkan dengan menggunakan kawat.

III. PENUTUP

Keberadaan uang kepeng aksara Bali merupakan upaya penyediaan kebutuhan masyarakat Hindu Bali dari kelangkaan uang kepeng dan melestarikan penggunaan uang kepeng pada upakara yadnya. Ada rasa keprihatinan yang sama dari kedua pendiri usaha ini sehingga mereka mendirikan usaha pencetakan uang kepeng ini. Keprihatinan tersebut adalah dalam pelaksanaan upacara keagamaan di Baii ditemukan masyarakat yang penggunaan uang kepeng tanpa tulisan yang terbuat dari seng. Masyarakat menyebut uang kepeng jenis ini dengan nama uang kepeng palsu, yang terdiri dari satu unsur logam. Menurut mereka uang kepeng tersebut jelas tidak memenuhi unsur panca datu, sehingga tidak layak dipergunakan sebagai benda upakara di Bali. Penggunaan unsur panca datu (besi, perak, tembaga dan perunggu) yang diartikan sebagai lima kekuatan hidup yang dipengaruhi oleh kekuatan panca dewata yaitu Wisnu, Iswara, Brahma, Mahadewa, dan Siwa. Sisi yang lain pula penggunaan uang kepeng ini dapat menyiratkan nilai-nilai makna yang semestinya ada pada uang kepeng yang dipakai upakara yadnya.

DAFTAR PUSTAKA

Arjan, Van Aelst. 1995. Batavia Cas Coin, Dalam Oriental Numismatic News

LetterBarker, Chris.2005. Cultural Studies, Teori dan Praktek. Jogjakarta: Bandung Covarrubias, M. (1937) Island of Bali,

Edisi pertama, Knopff, New york; dipublikasikan kembali pada 1998 oleh Periplus, Singapore. Djelantik, A.A.M. 1990. Pengantar Dasar

Ilmu Estetika Jilid I Estetika Instrumental. Denpasar: STSI

Eco, Umberto. 1979. Ateory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Pers

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.

Liefrich, F.A. 1917. Landesverordeningen Van Inlandsche of Bali. S Graravenhagen: Martinus Nijhofl. Poerwadarminta,W.J.S.1982. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sairin, Sjafri, 2002. Perubahan Sosial masyarakat Indonesia, Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka pelajar

Setyaprana, Jessica. 2006. Inkulturasi Budaya jawa dalam Interior Gereja Mundi di Surabaya. Surabaya : Universitas Kristen Petra.

Sidemen, Ida Bagus. (2002) Nilai Historis Uang Kepeng (Historical Value of Uang Kepeng). Denpasar, Bali: Larasan-Sejarah.

(11)

Sobur Alex. 2001. Analisis Teks Media. Bnadung. PT. Remaja Rosdakarya.

Sudana, I Nengah dan Made Budiastra. 1998. Aktualisasi Uang Kepeng Pada Masyarakat Bali. Tanpa Penerbit: Denpasar.

Sutrisno, Mudji dan Christ Vwerhaak. 1993. Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta.

Swellengrebel, J.L. 1984. Bali Studies in Life, Though and Ritual. Dordrecgt: Foris Publications. Warren, C. (1993), Adat and Dinas:

Balinese Communities in the Indonesian State, Oxford

Gambar

Gambar 1. Rangkaian uang kepeng disusun  secara teratur

Referensi

Dokumen terkait

misalnya penulisan modul. Model Derek Rowntree memiliki tiga tahap dalam proses pengembangan yaitu: tahapan perencanaan, tahapan persiapan penulisan dan tahapan

kerja guru SD Negeri se gugus IV Kecamatan Banjar. Terdapat determinasi yang signifikan antara kompetensi pedagogik dengan komitmen kerja guru SD Negeri se gugus IV

Dari hasil wawancara dengan R1, R2, R3, menyatakan bahwa “kurikulum yang selama ini di laksanakan Dayah Raudhatuth Thalibah berbentuk kitab-kitab, bukan berbentuk

1) Sahih, berarti penilaian didasarkan pada data yang mencerminkan kemampuan yang diukur. 2) Objektif, berarti penilaian didasarkan pada prosedur dan kriteria yang

Valtioneuvoston asetus orgaanisten liuottimien käytöstä eräissä maaleissa ja lakois- sa sekä ajoneuvojen korjausmaalaustuotteissa aiheutuvien haihtuvien orgaanisten

Menurut Hariadi (2003, p34), strategi bisnis merupakan rencana strategi yang terjadi pada tingkat divisi dan dimaksudkan bagaimana membangun dan memperkuat posisi

Merupakan teknik pengumpulan data dengan cara menyebarkan kuesioner yang berisikan butir-butir pertanyaan berkaitan dengan masalah-masalah yang akan dibahas kepada

Beritahukan mereka bahwa latihan ini akan melibatkan setiap tim dalam pembuatan sebuah prototype pesawat kertas untuk evaluasi melawan pesawat tim lain, pemilihan model yang