• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRINSIP KAUSALITAS MUHAMMAD BAQIR AL-SHADR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRINSIP KAUSALITAS MUHAMMAD BAQIR AL-SHADR"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

MUHAMMAD BAQIR AL-SHADR

Fuad Mahbub Siraj, Ph.D Abstract

Causality and its aspects is one of the fundamental issues in Islamic and western philosophy. This problem is not finishing yet until now even in Islam and in the West. In this paper, author will concentrate to the discussion to the principles of causality Muhammad Baqir al-sadr. Muhammad Baqir al-sadr is a character who was born in Baghdad in 1350 H/1931 M. The principle of causality expressed by Muhammad Baqir al-Sadr is more perfect than the previous philosophers. The principle of causality is a principle which says that every event needs for longer necessarily rational. Even further it was revealed that the principle of causality in detail is in human nature and number of animal species. The principle of causality is also a basic cornerstone of all business exposure in all areas of human thought and causality is also a necessity in scientific research and observation.

Pendahuluan

Dewasa ini perhatian umat Islam lebih tertuju kepada hal-hal yang berkenan dengan apa yang lazim disebut “fundamentalis” atau “revivalis” Islam. Mereka terfokus kepada figur-figur dan gerakan-gerakan yang didasarkan pada reaksi-reaksi emosional yang sentimental dalam melawan keburukan-keburukan dan kezaliman. Sedikit sekali untuk memberikan perhatian kepada respon intelektual terhadap tantangan-tantangan modernisme yang berusaha memberikan jawaban Islami bukan dengan semata-mata memekikkan slogan-slogan, tetapi dengan menggali kekayaan tradisi inteletual Islam dengan menggunakan nalar dan logika seperti diperintahkan al-Qur’an. Kategori yang terakhir ini banyak lahir dari dunia “Syi’ah”, karena cahaya rasionalisme tidak pernah redup di sana sebagaimana yang dialami di “dunia Sunni”. Salah seorang tokoh Syi’ah tersebut adalah Muhammad Baqir al-Shadr.

Muhammad Baqir al-Shadr menekankan pentingnya logika dan perlunya kausalitas dan peran pemikiran filosofis serta teologi yang tangguh, untuk memerangi kekuatan-kekuatan sekularisme, materialisme dan agnotisisme. Dalam makalah ini penulis akan mengkhususkan pembahasan kepada prinsip-prinsip kausalitas Muhammad Baqir al-Shadr. Penulis melihat, prinsip-prinsip kausalitas yang dikemukakan Muhammad Baqir al-Shadr jauh lebih sempurna dibandingkan filosof sebelumnya. Riwayat Hidup

Muhammad Baqir al-Shadr Haidar Ibn Ismail al-Shadr yang biasa disingkat dengan Muhammad Baqir al-Shadr lahir di Kazimain, Baghdad pada tahun 1350 H/1931 M. ia adalah seorang sarjana, ulama, guru dan tokoh politik yang dibesarkan dalam lingkungan yang religius. Pada usia

(2)

305

empat tahun, ayah Muhammad Baqir al-Shadr meninggal dan kemudian di asuh oleh ibunya dan kakak laki-lakinya Isma’il yang merupakan seorang mujtahid 1 kenamaan di Irak. Sejak usia kanak-kanak kejeniusan Muhammad Baqir al-Shadr telah terlihat. Ketika berusia sepuluh tahun, dia berceramah tentang sejarah Islam, dan juga tentang beberapa aspek lain tentang kultur Islam. Dia mampu menangkap isu-isu teologis tanpa bantuan seorang guru. Pada usia sebelas tahun, dia mengambil studi logika, dan menulis sebuah buku yang mengkritik para filosof. Pada usia tiga belas tahun ia telah belajar tentang “Ushul al-’lim al-Fiqh” asas-asas ilmu tentang prinsip-prinsip hukum Islam dari kakaknya. Pada usia 16 tahun, ia pergi ke Najaf untuk mempelajari berbagai cabang ilmu keislaman. empat tahun kemudia ia menulis ensiklopedi tentang “Ushul, Ghayat al-Fiki fi al- Ushul- Pemikiran puncak dalam Ushul. Pada usia tiga puluh tahun ia telah menjadi seorang mujtahid2

Sebagai seorang tokoh politik ia mengajarkan bahwa politik adalah bagian dari Islam. Ia menyerukan kepada umat Islam supaya mengenali kekayaan khazanah asli Islam dan melepaskan diri dari pengaruh Marxisme. Ia juga berusaha menyadarkan umat Islam-bahwa pada dasarnya kaum imperialisme berupaya untuk membunuh ideologi Islam dengan cara menyebarkan ideologi mereka di dunia Muslim. Dengan demikian menurutnya kaum muslimin harus bersatu untuk melawan intervensi semacam itu dalam sistem sosial, ekonomi dan politik mereka.3

Dalam perpolitikan ia mengutuk rezim Ba’ats di Irak, karena menurutnya rezim tersebut melanggar HAM dan Islam. Karena pandangannya ini ia di tahan dan dipindahkan dari Najaf ke Baghdad. Pemenjaraan atas diri al-Shadr menimbulkan protes yang terorganisasi dari beberapa golongan yang menjadikan ia dibebaskan dari penjara. Tidak beberapa lama setelah itu ia pun mengeluarkan fatwa bahwasanya haram bagi seseorang muslim bergabung dengan partai Ba’ats dan pada tanggal 5 April 1980 dia ditahan lagi dan dipindahkan ke Baghdad. Dia dipenjarakan dan dieksekusi tiga hari kemudian.4

Baqir al-Shad banyak meninggalkan karya-karyanya, yang mana ia menulis sejumlah buku, terutama tentang ekonomi, sosiologi, teologi dan filsafat. Di antara buku-buku yang paling terkenal adalah:

1. Al Fatwa al-Wadhihah (Fatwa yang jelas).

2. Manhaj Ash-Shalihin (Jalan orang-orang shaleh). 3. Iqhishaduna (Ekonomi kita).

4. Al-Madrasah al-Islamiyyah (Mazhab Islam).

5. Ghayat al-Fiki fi al-Ushul (Pemikiran Puncak Dalam ‘Ushul).

1 Mujtahid yang dimaksud di sini adalah seorang yang sangat alim yang mencapai tingkat tertinggi di kalangan teolog muslim.

2 Muhammad Baqir al-Shadr, Falsafatuna, pent. M. Nur Mufid bin Ali, (Bandung: Mizan,

1999), h. 11 3 Ibid., h. 12 4 Ibid.

(3)

306

6. Ta’liqat ‘ala al-Asfar (ulasan tentang empat kitab perjalanan Mulla Shadra).

7. Manabi’al Qudrah fi Dawlat al-Islam (Sumber-sumber kekuasaan dalam negara Islam).

8. Falsafatuna (Filsafat kita dan lain-lain sebagainya). Kausalitas

Kata sebab berasal dari bahasa Arab al-sabab yang berarti karena (asal), mula, lantaran; hal yang mengakibatkan sesuatu. Misalnya segala sesuatu tentu ada sebabnya.5 Akibat juga berasal dari bahasa Arab ‘aqibah yang berarti kesudahan atau hasil dari sesuatu peristiwa. Misalnya demikianlah akibat dari perang dunia itu.6 Istilah lain dari sebab dan akibat adalah al-sabab wa al-musabab. Dalam istilah filsafat sebab itu adalah apa yang tergantung atasnya wujud sesuatu dan berada di luar serta memberi bekas kepada wujud tersebut.7 Jadi sebab sesuatu berarti ketergantungan sesuatu itu kepada sebab tertentu.

Aristoteles membagi sebab ini kepada empat bagian yaitu sebab materi (material cause), sebab bentuk (formal cause), sebab efisien (efficient cause), dan terakhir adalah sebab tujuan (final cause). Menurut Aristoteles segala yang ada di alam fisik ini tidak terlepas dari empat sebab ini. Hukum empat sebab ini berlaku bagi alam yang di bawah bulan, yakni alam yang terdiri dari empat anasir yaitu anasir api, udara, air dan tanah. Untuk memperjelas keempat sebab ini Aristoteles memberikan contoh sebuah sepatu. Sepatu terdiri dari dari empat sebab, pertama sebab materi yaitu kulit untuk membikin sepatu sebagai asal. Kedua adalah sebab bentuk yaitu bentuk dari sepatu itu sendiri yang berpedoman kepada bentuk sepatu yang telah ada, sehingga berdasarkan bentuk itu materi yang ada bisa dibuat. Ketiga adalah sebab pembuat (efisien), yaitu pembuat sepatu, dalam hal ini adalah tukang sepatu. Keempat adalah sebab final, yaitu tujuan dibuat sepatu itu, dalam hal ini tujuan semua sepatu adalah untuk alas kaki.8

Keempat sebab ini bisa dibagi kepada dua kategori, yaitu yang berasal dari dalam benda itu sendiri seperti sebab materi dan sebab bentuk, adapun sebab efisien dan final berada di luar benda itu. Dalam menentukan sebab ini Aristoteles tidak lepas dari konsep gerak. Menurutnya gerak bukan hanya sekedar perpindahan saja, tapi lebih luas artinya dari itu. Dalam hal ini dia membagi gerak kepada gerak aksidental dan substantial. Gerak aksidental yaitu perpindahan dari potensi kepada aktual, seperti air

5 W.J. S. Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN, Balai Pustaka, 1976,

Jakarta, hal. 880. 6 Ibid., hal. 25.

7 Jamil Shulaiba, al-Mu’kam al-Falsafi, jilid II, Dar al-Kitab, Beirut, 1973, hal. 95.

8 Robert Maynard Hutchins, The Great Ideas A Syntopicon of Great Books of Western World, Encyklopedia Britanica, inc, Chicago, 1952, hal. 165.

(4)

307

dari dingin menjadi panas. Gerak substantial adalah perubahan yang terjadi dalam benda itu sendiri seperti berubahnya air menjadi uap.9

Sebab ini juga bisa dibagi kepada sebab utama (prima cause) dan sebab kedua (second cause).10 Sebab utama adalah sebab yang tidak ada penyebab dia adalah sebab bagi segala wujud. Aristoteles menamakannya penggerak yang tidak bergerak.11 Ibn Sina menyebutnya sebagai zat yang wajib wujud12, yaitu zat yang wajib adanya karena diri sendiri dan mustahil tidak adanya. Sebab kedua dalah sebab yang adanya karena sebab utama dan sebab ini dalam istilah Ibn Sina adalah mumkin al-wujud, yakni alam planet.13

Pengertian akibat adalah setiap zat adanya secara aktual dari wujud selain dirinya dan wujud lain itu bukan dari wujudnya. Artinya zat itu tidak akan ada secara aktual kecuali dari zat lain yang wujud secara aktual.14 Dengan demikian adanya sebab mengharuskan adanya akibat, tidak adanya sebab juga meniadakan akibat. Kadang-kadang ada sebab tapi akibat tidak ada karena ada beberapa hambatan untuk terwujudnya akibat, adapun adanya akibat tanpa sebab adalah sesuatu hal yang mustahil.

Para filosof muslim memakai kata sabab dan ‘illat15 dalam makna yang sama. Ibn Sina dan Ibn Rusyd lebih sering memakai kata ‘illat dibandingkan dengan kata sebab, sedangkan al-Ghazali lebih sering memakai kata sabab dibandingkan dengan kata ‘illat. Begitu juga dalam pembagian sabab Ibn Sina dan Ibn Rusyd mengikuti pembagian yang telah dikemukakan oleh Aristoteles. Hanya saja Ibn Sina lebih membatasi pengertian hubungan sebab akibat (sabibiyah) ini dalam benda-benda fisik saja, yakni alam yang di bawah falak bulan.16

Pengertian sebab dan akibat ini bisa dijelaskan secara komprehensif, kalau dua kata tersebut tidak diartikan secara terpisah. Artinya pengertian sebab tidak bisa timbul kalau tidak dimengerti apa itu pengertian akibat, begitu juga kebalikannya pengertian akibat tidak bisa dimengerti tanpa mengetahui apa itu sebab. Maka istilah sebab akibat adalah suatu peristilahan telah menjadi landasan dalam bidang ilmu pengetahuan, terutama ilmu fisika. Dari kenyataan fisik ini pulalah muncul suatu teori tentang sebab akibat.

9 K. Bartens, Sejarah Filsafat Yunani,Kenisiu, Yogyakarta, 1981, hal. 139. 10 Jamil Shulaiba, al-Mu’kam….., hal. 97.

11 K. Bartens, Sejarah Filsafat…...,hal. 155.

12 Ahmad Daudy, Segi-Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1984, hal. 41.

13 Jamil shulaiba, al-Mu’kam……., hal 97. 14 Ibid., hal. 397.

15 Harun Nasution membedakan antara sebab dengan ‘illat. Sebab adalah sesuatu yang tidak bisa diketahui oleh manusia, sedangkan ‘illat bisa diketahui oleh manusia. Dalam hal ini dia lebih menitiktekankan perbedaan dalam segi hukum. Umpamanya hukum daging babi haram. Sebab haram tidak bisa diketahui, adapun ‘illatnya bias diketahui.

16 Muhammad ‘Atif Iraqi, Tajîid al-Mazhab al-Falsafiyyah wa al-Kalâmiyyah, Dar al-Ma’arif, Mesir, 1974, hal. 88.

(5)

308

Teori dalam hal ini adalah asas-asas dan hukum-hukum umum yang menjadi dasar bagi suatu kesenian atau ilmu pengetahuan, contoh teori melukis, teori evolusi dan lain-lain.17 Dalam pengertian lain bisa juga disebutkan bahwa teori adalah abstraksi dari konsep-konsep yang ada

Teori sebab akibat bisa diartikan sebagai hukum-hukum umum yang terdapat dalam hubungan antara sebab dan akibat, terutama sebab akibat yang berhubungan dengan alam fisik. Istilah lain yang bisa disejajarkan dengan ini adalah hukum alam, teori kausalitas atau sunatullah. Penulis memberikan istilah hukum alam, karena setiap benda di alam ini mempunyai hukum-hukum dan tabi’at-tabi’at yang khusus, seperti api umpamanya,adalah hukumnya atau sifatnya membakar. Teori kausalitas adalah ungkapan lain dari teori sebab akibat. Adapun sunatullah diberikan oleh Ibn Rusyd dalam buku al-Naz’ah al-‘Aqliah, bahwa hukum sesuatu benda itu tidak akan berubah, hal ini diperkuat dengan ayat al-Qur’an yang artinya: “Kamu tidak akan mendapatkan perubahan bagi sunnah Allah” (al-Fath/48:23).18

Bagi determinisme materialis, teori sebab akibat merupakan hukum alam yang sudah pasti dan tidak akan berubah-ubah. Sebab itu tidak terbatas kepada suatu sebab, dia merupakan lingkaran yang berjalan terus tanpa batas. Semua peristiwa bermula dari materi dan akan kembali kepada materi lagi, tanpa campur tangan zat yang di luar materi tersebut. Aliran ini juga disebut dengan kausalitas tertutup atau determinismus. Akal menurut aliran ini adalah satu-satunya kebenaran dalam meneliti alam fisik ini.19

Ibn Rusyd memberikan batasan tentang teori sebab akibat ini sebagai suatu hubungan yang mesti, tanpa adanya suatu ketetapan bagi suatu benda tidak akan bisa dibedakan antara suatu benda dengan benda yang lain.20 Untuk memastikan adanya hubungan yang pasti antara sebab dan akibat Ibn Rusyd memberikan beberapa syarat, yaitu peranan akal dalam menentukan ciri-ciri khas dalam suatu benda yang membedakan antara satu materi dengan materi yang lain. Maka dengan demikian suatu akibat pasti ada sebabnya, tanpa ada sebab berarti dia telah mengingkari adanya akal.21 Syarat yang lain adalah adanya batasan yang jelas dalam suatu benda itu, batasan ini menunjukkan hakekat sesuatu dan dengan batasan ini juga akan jelas beda antara satu benda dengan benda yang lain.22

17 WJS. Poerwadarminta,Kamus Umum……., hal. 1054.

18 Muhammad ‘Atif Iraqi, Al-Naz’ah al-‘Aqliah fi Falasaft Ibn Rusyd, Dar al-Ma’arif, Mesir, 1968.

19 MJ. Langeveld, Menuju ke Pemikiran Filsafat, ter. G.J. Claessen, PT. Pembangunan, Jakarta, tt, hal, 158.

20 Muhammmad ‘Atif Iraqi, Al-Naz’ah……., hal. 166. 21 Ibid.,hal 171.

(6)

309

Ketetapan adanya penjelasan yang tetap merupakan syarat yang perlu dipenuhi juga, sebab tanpa adanya pembedaan antara penjelasan yang tetap dan universal dengan keadaan yang hanya kebetulan tidak akan didapati ilmu yang tetap dalam menentukan sebab. Oleh sebab itu perlu adanya hubungan yang pasti dan tetap bahwa akibat itu benar-benar karena sebab yang pasti, seperti mati yang didahului oleh penyembelihan. Adapun berjalan kemudian timbul petir bukanlah suatu hubungan yang pasti, itu hanyalah kebetulan saja dan tidak termasuk dalam konteks hubungan yang pasti.23 Dalam ilmu pengetahuan harus mencakup penjelasan yang universal dan pasti, tanpa itu maka tidak akan didapati suatu teori ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu mencari sebab dari suatu akibat merupakan tugas akal, untuk menetapkan kaidah-kaidah yang universal.

Dari beberapa pengertian dan penjelasan oleh para filosof di atas, dapat diberikan batasan yang lebih mendekati kepada masalah yang dibahas, sehingga dengan batasan dan pengertian yang ini bisa menjadi pegangan dalam teori sebab akibat. Teori sebab akibat atau yang kita sebut dengan kausalitas ini pada dasarnya terbagi kepada dua pembahasan pokok, pertama adalah mencari sebab yang tidak bersebab, yaitu Tuhan Pencipta alam, yang disebut juga dengan argumen kosmologis. Kedua adalah mencari sebab sekunder yang terjadi di alam fisik, yakni hubungan satu peristiwa dengan peristiwa lain yang erat kaitannya. Ibn Sina menyebutnya alam ini bawah falak bulan (planet). Hubungan antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain itu saling berkaitan dan serba teratur, katerkaitan dan keteraturan itulah yang kemudian menimbulkan teori dalam alam ini. Pengertian dan batasan yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah pengertian dalam hal yang kedua, yaitu teori sebab akibat yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa di alam fisik yang serba teratur dan pasti.

Prinsip Kausalitas dan Pembuktian Adanya Tuhan Prinsip-Prinsip Kausalitas

Baqir al-Shadr membahas secara rinci tentang prinsip-prinsip kausalitas dalam bukunya Falsafatuna. Prinsip kausalitas merupakan sebuah prinsip yang mengatakan bahwa setiap kejadian memerlukan sebab24 niscaya lagi rasional. Bahkan lebih jauh ia mengungkapkan bahwa prinsip kausalitas tersebut secara rinci dalam watak manusia dan beberapa jenis hewan.25

23 Ibid., hal. 187.

24 Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut al-Qur’an, terj, (Bandung: Mizan, 1988), h. 125

25 Hewan seperti itu terlihat ketika ia memperhatikan sumber gerak secara instinktif, untuk mengetahui sumber gerak tersebut atau akan mencari sumber suara untuk mengetahui sebabnya.

(7)

310

Ada beberapa hal yang sangat terkait dengan prinsip kausalitas, pertama, pembuktian realitas objektif persepsi indrawi; kedua, semua teori dan hukum ilmiah yang bersandarkan eksperimen; ketiga, kemungkinan penyimpulan dan kesimpulan-kesimpulannya dalam pemaparan ketiga hal tersebut.26

Berbicara tentang objektivitas inderawi, Shadr mengungkapkan bahwa realitas objektif setiap persepsi inderawi tidak diketahui secara niscaya, tetapi membutuhkan bukti. Bukti merupakan prinsip hukum kausalitas, terjadinya dalam indera. Bentuk sesuatu tertentu dalam kondisi dan keadaan tertentu mengungkapkan adanya sebab luar sesuatu hal. Hal ini mengindikasikan bahwa realitas objektif persepsi inderawi didapat berdasarkan prinsip kausalitas, bukan persepsi inderawi itu sendiri yang mengungkapkan realitas objektif.

Teori-teori ilmiah dalam berbagai lapangan eksperimen dan observasional, secara umum bergantung pada prinsip dan hukum-hukum kausalitas. Ada beberapa hukum kausal yang menjadi sandaran ilmu pengetahuan. Hukum-hukum tersebut adalah :

1. Prinsip kausalitas yang mengatakan bahwa setiap peristiwa mempunyai sebab (determinisme).

2. Hukum keselarasan antara sebab dan akibat yang mengatakan bahwa setiap himpunan alam yang secara esensial selaras mestipula selaras dengan sebab dan akibatnya (prinsip keselarasan alam).

Antara determinisme, keseragaman alam dan hukum kausalitas bukanlah sesuatu yang bertentangan karena antara determinisme dan keseragaman alam merupakan bagian dari hukum kausalitas itu sendiri. Dalam determinisme setiap kejadian atau tindakan, baik jasmani ataupun rohani, merupakan konsekuensi dari kejadian sebelumnya. Pemahaman determinisme klasik ini sejalan dengan hukum kausalitas. Setiap akibat pasti ada sebabnya, jika tidak ada sebab maka semua adalah akibat saja dan hal ini adalah tidak rasional. Jadi keterkaitan antara hukum kausalitas dengan determinisme berada pada dogma bahwa setiap akibat pasti berawal dari sebab yang menyebabkan akibat itu muncul.

Dalam prinsip keseragaman alam disebutkan bahwa sebab-sebab yang sama akan diikuti oleh akibat yang sama juga. Hal ini merupakan salah satu dogma juga yang terdapat di dalam hukum kausalitas bahwa sebab akan menghasilkan akibat dan tidak akan keluar dari karakteristik masing-masingnya. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Allah memberikan karakteristik tersendiri atau ciri khas tersendiri terhadap sesuatu di alam ini dan karakteristik atau sifat khusus tersebut tidak akan pernah berubah sampai kapan pun. Sebagai contoh sifat api yang panas akan selalu seperti itu dan ketika bertemu dengan materi yang sifatnya bisa terbakar maka api akan membakar materi tersebut dan hal itu akan terjadi terus menerus dan

(8)

311

tidak akan pernah berubah. Melempar batu ke atas sebagai sebab dan kemudian batu itu kembali jatuh ke tanah sebagai akibat juga merupakan sesuatu yang ketika dilakukan berulang-ulang akan menghasilkan yang sama. Jika tidak adanya keseragaman dalam alam, tidak adanya sebab yang sama akan menghasilkan keseragaman yang sama, maka dunia dan ilmu pengtetahuan tidak akan pernah berkembang, karena bagaimana mungkin akan dilakukan sebuah penelitian terhadap sesuatu jika sesuatu tersebut selalu berubah akibatnya dengan sebab yang sama. Oleh karena itu keseragaman alam menjadi dogma bagi hukum kausalitas dan ini merupakan keniscayaan. Jadi antara determinisme dan keseragaman alam merupakan dua hal yang menjadi dogma dalam hukum kausalitas dan keduanya merupakan bagian dari hukum kausalitas itu sendiri.

Prinsip kausalitas juga merupakan dasar tumpuan segala usaha pemaparan dalam segala bidang pemikiran manusia. Bahkan pemaparan untuk menolak prinsip kausalitas itu sendiri juga berdasarkan kausalitas. Karena mereka yang mencoba mengingkari prinsip tersebut dengan berdasarkan pada satu tujuan tertentu, tidaklah melakukan usaha itu, kalau mereka tidak mempercayai bahwa hujah mereka sandari itu adalah sebab yang memadai untuk mengetahui kepalsuan prinsip kausalitas.

Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa:

1. prinsip kausalitas tidak mungkin dibuktikan dan dipaparkan secara empirik. Karena indera tidak mendapatkan sifat objektif, pembuktian realitas objektif, persepsi inderawi didapatkan berdasarkan prinsip kausalitas. Jadi, tidaklah mungkin bahwa untuk pemaparannya prinsip kausalitas itu bergantung pada indera.

2. prinsip kausalitas bukanlah teori ilmiah eksperimental, tetapi merupakan hukum filsafat rasional di atas eksperimen.

3. prinsip kausalitas tidak mungkin ditolak dengan hujah apapun. Karena setiap usaha untuk melakukan penolakan tersebut justru menyebabkan pengakuan terhadap prinsip itu sendiri.27

Segala sesuatu membutuhkan sebab. Dalam menjelaskan hal ini, Shadr mengemukakan beberapa teori, pertama, teori wujud atau aksistensi.28 Teori ini mengatakan bahwa agar wujud itu maujud, ia membutuhkan sebab. Kebutuhan akan sebab itu adalah esensial bagi wujud. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap wujud mesti bersebab. Teori ini menolak adanya kebetulan, karena hal ini terlepas dari prinsip kausalitas. Kebetulan merupakan wujud tanpa sebab yang mana wujud dan non wujudnya sama saja. Segala sesuatu yang mengandung kemungkinan wujud dan kemungkinan tidak wujud secara seimbang, lalu maujud tanpa sebab adalah merupakan kebetulan.

27 Ibid., h. 211-222 28 Ibid., h. 217-218

(9)

312

Kedua, teori penciptaan.29 Teori ini beranggapan bahwa, kebutuhan sesuatu akan sebab berdasarkan kepada penciptaan hal-hal tersebut. Penciptaan yang dimaksud adalah adanya sesuatu tidak ada. Contohnya hangat pada air yang sebelumnya tidak hangat , menurut adanya sebab yang menjadikan air tersebut hangat.

Ketiga, teori kemungkinan eksistensial.30 Menurut teori ini, misteri butuhnya realitas-realitas eksternal akan bukanlah dalam mengadanya, bukan pula kemungkinan esensi (mahiyah) materi itu. Tetapi misteri itu tersembunyi di dalam struktur eksistensi materi itu sendiri dan di kedalaman wujudnya. Realitas luarnya adalah hubungan itu sendiri. Sedang hubungan mustahil tidak membutuhkan sesuatu yang dengannya ia berhubungan. Jika realitas luar bukan realitas hubungan, maka prinsip kausalitas tidak berlaku padanya. Tetapi, prinsip kausalitas menentukan wujud-wujud relasional yang realitas mereka mengungkapkan hubungan.

Kebutuhan sebab setiap yang maujud menjadikan adanya rangkaian sebab akibat yang akan berhenti pada sebab pertama (prima causa) yang tidak muncul dari sebab yang mendahuluinya. Tak mungkin rantai-rantai sebab tersebut tanpa hingga. Karena, setiap sebab seperti telah dijelaskan dalam teori kemungkinan eksistensial tak lain hanyalah hubungan dengan sebabnya. Jadi, semua akibat yang ada merupakan hubungan. Hubungan membutuhkan realitas yang berdiri sendiri, yang di sini hubungan berhenti. Kalau deretan sebab-sebab itu tidak memiliki awal, tentu semua bagian dari rantai itu adalah akibat. Jika akibat ia akan berhubungan dengan hal yang lainnya. Akhirnya kita akan sampai kepada kesimpulan ada hal yang segenap bagian tersebut berhubungan dengannya. Dengan kata lain, rantai sebab-sebab tersebut melibatkan satu sebab yang tidak tunduk pada prinsip kausalitas dan tidak membutuhkan sebab-inilah yang disebut dengan prima causa yang membentuk awal rantai. Penisbahan adanya segala sesuatu kepada prima causa itu, tidak memerlukan pertanyaan kenapa semua ini terjadi?. Karena, pertanyaan tersebut berkenaan dengan hal-hal yang tunduk kepada hukum kausalitas sedangkan, prima causa adanya merupakan sebuah keniscayaan.31

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa prinsip yang paling tinggi dan paling primer dalam alam semesta adalah sebab yang pada esensinya niscaya, yang rantai sebab-sebab berakhir padanya. Kemudian timbul persoalan baru tentang sebab efisiensi alam tersebut, apakah sumber pertama kemaujudan itu adalah materi itu sendiri atau sesuatu yang lain di luar batas-batas materi.

Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat contoh berikut, yaitu meja. Meja merupakan suatu kausalitas dan bentuk tertentu yang terjadi karena pengorganisasian sejumlah bagian material tertentu. Karena itu, meja tidak

29 Ibid., h. 218-219 30 Ibid., h. 219-221 31 Ibid., h. 226-228

(10)

313

mungkin maujud tanpa materi, seperti kayu, besi dan lain sebagainya. Kayu tak mungkin maujud tanpa kayu. Sebab material meja kayu, karena meja kayu tak mungkin maujud tanpa kayu. Tetapi sebab material bukanlah sebab hakiki yang bertanggung jawab atas terciptanya meja. Pembuat hakiki meja adalah sesuatu yang bukan materialnya, yaitu tukang kayu yang dalam istilah filsafat disebut dengan “sebab efisien”. Apabila contoh di atas dikaitkan dengan pencipta alam, maka akan timbul pertanyaan apakah pencipta alam (prima causa) adalah sesuatu yang bukan materi dan berbeda dengan materi, karena pembuat meja berbeda dengan materi kayunya, atau ia adalah materi itu sendiri yang darinya entitas-entitas di alam tersusun.

Untuk menjawab persoalan di atas, terlebih dahulu perlu dikemukakan sejumlah keterangan mengenai materi. Menurut fisika modern, materi asli alam merupakan satu realitas yang sama bagi seluruh maujud yang tampak dalam rupa dan bentuk yang bermacam-macam. Kemudian, semua kualitas senyawa material itu aksidental dalam kaitannya dengan materi primer. Dengan demikian,kualitas fluiditas air aksidental bagi materi yang darinya air tersusun. Tetapi, ia adalah kualitas aksidental. Hal itu dibuktikan oleh fakta bahwa air tersusun dari dua elemen sederhana yang dapat dipisahkan satu sama lain, dengan demikian kembali kepada kenyataan uapnya. Pada titik ini, kualitas air pun hilang sama sekali. Dapat dikatakan bahwa kualitas-kualitas yang bisa hilang dari sesuatu yang tidak mungkin esensial bagi sesuatu itu. Dan kualitas elemen-elemen sederhana pun tidaklah esensial bagi materi, arena dapat terjadinya transformasi sebagian elemen ke sebahagian yang lain dan sebahagian atom dari elemen-elemen ke atom-atom lain. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas-kualitas elemen hanyalah kualitas radium, timah hitam, oksigen, nitrogen, bukanlah esensial bagi materi, karena mengubah mereka menjadi satu sama lain adalah mungkin. Dan dapat pula dikatakan, kualitas materialitas itu sendiri menjadi aksidental juga. Ia tak lebih sejenis atau sebentuk energi, yang bisa berubah bentuk. Materi misalnya berubah menjadi energi dan elektron berubah menjadi listrik.32

Apabila kesimpulan ilmiah di atas kita pertimbangkan secara filosofis untuk menjawab pertanyaan mungkinkah materi sebagai sebab pertama (sebab efisien) alam?, maka tidak diragukan lagi jawabannya adalah tidak mungkin. Karena, materi primer alam adalah satu realitas tuggal yang umum bagi seluruh fenomena dan entitas-entitas alam. Tidaklah mungkin satu realitas memiliki efek dan aksi yang berbeda-beda. Analisis ilmiah terhadap air, kayu, besi tanah dan radium, pada akhirnya memandu kesatu materi yang kita temui di semua eleman tersebut dan di semua komposit itu. Jadi, materi masing-masing hal itu tak berbeda satu dengan yang lainnya. Karena itu, mengubah materi sesuatu ke materi lain adalah

(11)

314

mungkin. Bagaimana mungkin kita menisbahkan berbagai benda dan perbedaan geraknya ke materi primer yang terdapat pada segala sesuatu.

Selanjutnya dikemukakan pemahaman lain tentang materi, yaitu dari pemahaman filosofis. Paham filosofis tentang materi, menyatakan bahwa materi tersusun dari materi dan bentuk yang terkristalkan. Keberadaan masing-masing materi dan bentuk itu tidak mungkin saling terlepas antara satu dengan yang lain. Maka, harus ada satu hantaran yang mendahului proses penyusunan tersebut, yaitu yang merealisasikan keberadaan unit-unit materi tersebut. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa materi filosofi itu sendiri tidak mungkin menjadi penyebab pertama alam, karena masih membutuhkan sebab lain untuk merealisasikan keberadaan unit-unit material tersebut.33

Dengan kata lain, penyebab pertama adalah hal pertama dalam rantai keberadaan mesti bermula dengan yang pada esensinya niscaya. Jadi, sebab pertama adalah yang pada esensinya niscaya. Dengan demikian, sebab pertama harus tidak membutuhkan sesuatu yang lain dalam keberadaannya. Adapun unit primer materi membutuhkan sebab eksternal dalam keberadaannya, karena maujud mereka terdiri dari materi dan bentuk. Dengan demikian, dari kedua pandangan tentang materi tersebut, pandangan fisika modern dan paham filosofi mengindikasikan bahwa materi bukanlah penyebab atau bukan prima causa dari segala yang ada ini.

Kesimpulan

Prinsip kausalitas merupakan prinsip yang niscaya dan rasional. Prinsip ini mengatakan bahwa setiap kejadian, segala sesuatu yang maujud memerlukan sebab. Prinsip ini memiliki dua akibat penting.

A. Prinsip determinisme, setiap sebab memerlukan suatu akibat dan tanpa sebab tak mungkin terjadi suatu akibat.

B. Prinsip keseragaman alam, sebab-sebab yang sama diikuti akibat yang sama.

Dari prinsip determinisme akan hadir mata rantai sebab akibat dan tidak mungkin berhingga, pasti ada sebab yang tidak disebabkan adanya, tetapi menjadi penyebab adanya segala sesuatu yang ada di alam ini yaitu Tuhan.

__________ Daftar Pustaka

Al-Shadr, Muhammad Baqir, Falsafatuna, pent. M. Nur Mufid bin Ali, Bandung: Mizan, 1999.

(12)

315

Al-Ahwani, Ahmad Fuad, Filsafat Islam, Penyunting Sutardji Calzoum Bachri, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985

‘Atif Iraqi, Muhammad, Al-Naz’ah al-‘Aqliah fi Falsafi Ibn Rusyd, Dar al-Ma’arif, Mesir, 1968.

---, Tajûd al-Mazhab al-Falsafiyyah wa al-Kalâmiyyyah, Dar al-Ma’arif, Mesir, 1974.

An-Nadawy, Abu Hasan, Rijal al-Fikry wa ad-Da’wah fil Islam, Darul Qalam, Kuwait, 1969

Bartens, K, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta, Kenisius, 1981.

Daudy, Ahmad, Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1984.

Ghulsyani, Mahdi, Filsafat Sains Menurut al-Qur’an, terj, Bandung: Mizan, 1988. Hatta, Mohammad, Alam Pikiran Yunani, Tintamas, Jakarta, 1980.

Kattsof, Louis, et all, Pengantar Filsafat, Soedjono Sumargono, (terj), Tiara Wacana, Yogayakarta, 1986.

Leaman, Oliver, Averroes and His Philosophy, Oxford: Oxford University Press, 1988 Langeveld, MJ, Menuju ke Pemikiran Filsafat, ter. G.J. Claessen, Jakarta, PT.

Pembangunan, tt.

Nasr, Hossein, Sains dan Peradaban di dalam Islam, Penerjemah J. Wahyudir, judul asli “Science and Civilization in Islam”, Bandung: Pustaka, 1986, cet.I

Nasution, Harun, Falsafat Islam, Makalah Pasca Ibn Rusyd, Yayasan LSAF, 12-13 Agustus 1989.

---, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakrta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986, Cet. II

---, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986, cet. V

---, Filsafat dan Misticisme dalm Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, cet. VIII ---, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995

---, Islam Ditinjau dari Barbagai Aspeknya, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986, jilid II, cet. VI.

Poerwadarmita, W. J. S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN, Jakarta, Balai Pustaka, 1976.

(13)

316

Robert Maynard Hutchins, Robert Maynard, The Great Ideas A Syntopicon of Great Books of Western World, Encyklopedia Britanica, inc, Chicago, 1952.

Referensi

Dokumen terkait

bagang. Dengan demikian konservasi lingkungan laut guna perikanan yang lebih lestari belum mampu disadari dan dipatuhi oleh nelayan pengguna alat penangkapan ikan jogol, arad

Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor: 893.8/199.3/ SK/Badiklatda , tanggal 4 Pebruari 2015, tentang Tata Tertib Penyelenggaraan Bagi Peserta Pendidikan dan Pelatihan

Nilai Secara umum, pada penelitian ini ditemukan bahwa konsentrasi klorofil-a lebih tinggi pada lokasi-lokasi yang dekat dari pantai dibandingkan dengan lokasi-lokasi

Sekalipun PHK yang dilakukan atas inisiatif pengusaha telah sesuai dengan alasan, persyaratan dan prosedur sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang akan

• Riwayat obat yang rinci termasuk obat bebas & obat alternatif/tradisional harus ditanyakan pada setiap kunjungan kontrol. • Waspada terhadap interaksi obat pada pasien

suatu kewajiban oleh seorang pemimpin dan apabila tidak melayani hajat mereka, kebutuhan mereka dan keperluan mereka, maka Allah menutup diri darinya dan tidak melayani

25/POJK.03/2015 tentang Penyampaian Informasi Nasabah Asing terkait Perpajakan Kepada Negara Mitra atau Yuridiksi Mitra (POJK Informasi nasabah Asing) dan Surat

Aktivitas guru dalam pembelajaran menggunakan media grafis bagan, Aktivitas siswa dan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan media grafis bagan dalam