• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN. pernah dapat hidup sendiri di dunia ini,sehingga akan selalu membutuhkan orang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN. pernah dapat hidup sendiri di dunia ini,sehingga akan selalu membutuhkan orang"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk sosial tentu saja memiliki hasrat dan keinginan untuk selalu berinteraksi dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Manusia tidak akan pernah dapat hidup sendiri di dunia ini,sehingga akan selalu membutuhkan orang lain. Manusia pada dasarnya dilahirkan seorang diri, namun di dalam proses kehidupan selanjutnya, manusia membutuhkan manusia lainnya. Seperti pendapat Susanto (1979:63) dengan mengutip ucapan dari Aristoteles bahwa manusia adalah zoon politikon, yaitu makhluk sosial yang menyukai hidup berkelompok atau setidaknya lebih suka mencari teman untuk hidup bersama daripada hidup sendiri.

Kehidupan manusia akan dapat berkembang apabila seseorang manusia dapat berhubungan dengan manusia lainnya, dengan kata lain manusia itu disamping hidup di tengah-tengah lingkungan alam, juga hidup di dalam lingkungan sosial, tidak hanya secara pasif, akan tetapi secara aktif juga.

Menurut pendapat Soekanto (1990:27), bahwa di dalam diri manusia pada dasarnya telah terdapat suatu keinginan untuk menjadi satu dengan alam sekitar lainnya berdasarkan atas keinginan untuk menjadi satu dengan lingkungannya.

(2)

Untuk mencapai keinginan tersebut, manusia melakukan interaksi dengan manusia lainnya atas dasar keinginan untuk hidup bersama. Akan tetapi, interaksi yang terjalin tidak hanya semata-mata didasari untuk mencari teman hidup saja, melainkan ada juga yang berdasarkan atas kepentingan-kepentingan yang hasilnya saling menguntungkan.

Pada umumnya interaksi sosial yang dibangun oleh seseorang lebih didasari atas berbagai kepentingan dengan maksud dan tujuan tertentu. Apabila interaksi yang dibangun tidak menghasilkan sesuatu yang menguntungkan, seseorang bisa memutuskan untuk tidak melanjutkan interaksi lagi. Hal itu tergantung dari kedalaman seseorang dalam melakukan interaksi sosial yang diwujudkan pada saat berinteraksi. Derajat interaksi atau kedalaman interaksi sosial umumnya diukur melalui simbol-simbol makna atau penafsiran maksud dan tujuan yang ingin disampaikan dan juga intensitas seseorang dalam melakukan interaksi. Intensitas interaksi sosial juga merupakan faktor yang menunjang terjadinya percampuran kebudayaan atau yang dikenal dengan istilah asimilasi. Adapun bentuk dari interaksi sosial meliputi kerjasama, persaingan, pertikaian, dan akomodasi.

Seperti diketahui, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, dalam arti memiliki keanekaragaman SARA. Keanekaragaman ini semakin bertambah manakala terjadi perpindahan penduduk antar provinsi/transmigrasi dan juga imigrasi asing masuk ke wilayah Indonesia dan kemudian menetap di Indonesia. Keanekaragaman SARA yang berbeda-beda, hendaknya tidak dijadikan jurang

(3)

pemisah, yakni dengan pengkotak-kotakan etnis yang satu dengan etnis yang lainnya, karena hal itu akan menyebabkan disintegrasi.

Provinsi Lampung merupakan salah satu wilayah yang dihuni oleh berbagai ragam suku bangsa. Keanekaragaman itu tidak lain karena Provinsi Lampung sebagai daerah perlintasan antara Pulau Sumatra dan Pulau Jawa sehingga memungkinkan Lampung sebagai daerah tujuan transmigrasi. Adapun etnis yang bermukim di Lampung di antaranya Bali, Jawa, Sunda, Tionghoa, Ogan, dan Semendo yang semuanya dengan karakteristik kesukuan dan latar budaya berbeda.

Masyarakat Bali di Lampung pada umumnya menganut agama Hindu. Agama Hindu banyak mengandung unsur lokal yang telah terjalin di dalamnya sejak dulu kala. Di berbagai daerah di Lampung, terdapat variasi lokal dari para penganut agama Hindu. Namun variasi tersebut mulai berkurang dengan adanya proses modernisasi dan pengaturan oleh Jawatan Agama Bagian Hindu serta Majelis agama yang disebut Parisada Hindu Dharma. Dalam kehidupan keagamaannya, orang Bali yang beragama Hindu percaya akan adanya satu Tuhan, dengan konsep Trimurti (simbolisasi TYE dalam tiga wujud), yaitu:

a. Wujud Brahmana, yakni yang menciptakan.

b. Wujud Wisnu, yakni yang melindungi serta memelihara.

c. Wujud Siwa, yakni mengembalikan segala yang ada ke asalnya.

Disamping itu, masyarakat etnis Bali yang beragama Hindu juga memiliki konsep yang mereka anggap penting yaitu:

(4)

1. Atman, yakni mengenai roh abadi.

2. Karmapala, yakni adanya buah dari setiap perbuatan. 3. Punarbawa, yakni kelahiran kembali dari jiwa.

4. Moksa, yakni kebebasan jiwa dari lingkaran kelahiran kembali.

Tempat melakukan ibadat bagi masyarakat etnis Bali yang beragama Hindu disebut Pura. Tempat ibadat ini berupa kompleks bangunan-bangunan suci yang sifatnya berbeda-beda, seperti:

1. Pura Besakih, sifatnya umum untuk semua golongan.

2. Pura desa, khusus untuk kelompok masyarakat setempat, organisasi-organisasi, dan kumpulan-kumpulan.

Selain itu, juga terdapat bangunan suci yang terdapat di masing-masing halaman rumah (dikenal dengan sanggah atau merajan). Di Bali ada beribu-ribu pura dan sanggah. Masing-masing pura dan sanggah ini memiliki hari-hari perayaan dengan tanggal sendiri-sendiri. Perhitungan tanggalan menurut Hindu didasarkan pada kedua bagian bulan, yaitu purnama dan panglong. Misalnya tahun baru Saka atau Nyepi yang jatuh pada tanggal satu bulan kesepuluh (sehari sebelum tahun saka lama berakhir), sedangkan perayaan dengan menggunakan perhitungan tanggalan Bali seperti Galungan dan Kuningan, jatuh pada hari Rabu dan Sabtu dari wuku Dungulan dan wuku Kuningan.

Masyarakat etnis Bali yang beragama Hindu memiliki lima macam upacara (Panca Yadnya), yakni:

a. Manusia Yadnya, yang terutama meliputi upacara siklus hidup manusia dari masa kanak-kanak sampai dewasa.

(5)

b. Pitra Yadnya, yang merupakan upacara-upacara yang ditujukan kepada roh-roh leluhur dan yang meliputi upacara-upacara kematian sampai pada upacara penyucian roh leluhur.

c. Dewa Yadnya, yang terutama berkenaan dengan upacara-upacara pada pura umum dan keluarga.

d. Resi Yadnya, yang merupakan upacara-upacara berkenaan dengan pentahbisan pendeta (mediksa).

e. Buta Yadnya, yang merupakan upacara-upacara yang ditujukan kepada kala dan buta yaitu roh-roh yang dapat mengganggu.

Berdasarkan pengamatan sementara yang penulis lakukan di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu, penduduk yang bermukim di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu terdiri dari beberapa suku bangsa. Hal ini dapat terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Penduduk RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu berdasarkan Asal Daerah, Tahun 2009

No Asal Daerah Jumlah/KK

1 Bali 5 2 Cina 1 3 Jawa 28 4 Lampung 63 5 Palembang 14 Total 111

Sumber: Ketua RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa penduduk yang tinggal di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu lebih didominasi oleh etnis Lampung yang berjumlah 63 KK, kemudian diikuti oleh etnis Jawa berjumlah 28 KK, lalu etnis Palembang 14 KK, etnis Bali 5 KK, dan etnis Cina 1 KK.

(6)

Adapun nama-nama Penduduk etnis Bali yang bermukim di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Daftar Nama Penduduk Etnis Bali Di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu, Tahun 2009

No Nama Status Usia

(tahun)

Pekerjaan

1 I Ketut Lindih KK 52 Brimob

2 Nengah Sukardiani Istri 52 Guru

3 I Wayan Lastikayasa Anak 28 Wiraswasta 4 I Made Yoga Setiawan Anak 25 Wiraswasta 5 Ni Nyoman Tirto Arysanty Anak 18 Pelajar

6 Mahda Sari Menantu 24 Ibu RumahTangga

7 I Nyoman Merdana KK 54 Wiraswasta

8 Putu Oka Lestari Anak 25 Mahasiswa

9 Made Dwity M Anak 21 Mahasiswa

10 Nyoman Sumantra KK 47 Wiraswasta

11 Nyoman Senati Istri 46 Wiraswasta

12 Wayan Oka Putra Anak 21 Mahasiswa

13 Rd Sayu Dwi Yani Anak 12 Pelajar

14 I Putu Ardika KK 42 Wiraswasta

15 Sulasmi Istri 39 Ibu RumahTangga

16 I Putu Indra SG Anak 19 Pelajar

17 Ni Made Hapsari Anak 9 Pelajar

18 Ni Nyoman Sekar Anak 7 Pelajar

19 Nengah Priana KK 44 Wiraswasta

20 Made Ariani Istri 44 Ibu RumahTangga

21 Putu Eka Aditya Anak 20 Mahasiswa

Sumber: Ketua RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu

Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa jumlah penduduk etnis Bali yang bermukim di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu adalah sebanyak 21 orang dengan jenis pekerjaan yang beranekaragam mulai dari PNS, wiraswasta, pelajar, mahasiswa, hingga ibu rumahtangga.

(7)

Masyarakat etnis Bali yang tinggal RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu tetap menjalankan peribadatannya sesuai dengan ajaran yang ada dalam kitab Weda. Hal itu terlihat pada saat perayaan-perayaan keagamaan, seperti Tahun Baru Saka atau Nyepi, Galungan, dan Kuningan yang mana masyarakat etnis Bali yang tinggal di RT 04 Lingkungan III menyambut perayaan tersebut dengan penuh sukacita.

Perayaan Tahun Baru Saka atau Nyepi, Galungan, dan Kuningan merupakan upaya untuk melakukan refleksi diri dan mendekatkan manusia kepada Sang Pencipta. Dalam Tri Hita Karana yang merupakan falsafah hidup masyarakat Bali dijelaskan bahwa manusia terikat pada tiga hubungan, yakni hubungan dengan sesama manusia (pawongan), hubungan dengan alam sekelilingnya (palemahan), dan hubungan dengan ketuhanan (parahyangan). Perayaan tersebut di atas adalah wujud dari Tri Hita Karana dalam hubungan antara manusia dengan tuhan. Hubungan manusia dengan Tuhan hendaknya dilandasi oleh kesadaran bahwa ”Tuhan adalah kebenaran pengetahuan yang tak terbatas (Sat Citta Ananda Brahman) dan Ia adalah darimana semua ini berasal (Janmadhyasya Yatah)” (http://www.parisada.org.id).

Sedangkan hubungan manusia dengan sesama, disebutkan antara lain adanya karma pala (setiap tindakan ada pahalanya). Hubungan manusia dengan sesama manusia tidak lain merupakan bentuk interaksi manusia yang dituangkan dalam pola tingkahlaku, misalnya ikut acara gotong-royong, siskamling, dan lain sebagainya. Terkait dengan hubungan antara manusia dengan alam semesta, Tri Hita Karana mengajarkan seluruh isi alam semesta, termasuk manusia dan

(8)

lingkungan hidup, sama-sama tunduk pada hukum yang ditentukan Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Kuasa).

Praktik Tri Hita Karana dalam kehidupan sehari-hari dikontekstualkan dalam beberapa tindakan, diantaranya adalah Desa Kala Patra, yaitu melaksanakan hubungan sosial dan kultural sesuai dengan tempat, keadaan, dan waktu. Desa Kala Patra ini, tidak lain dimaksudkan agar masyarakat Bali dapat menyesuaikan diri dengan keadaan di sekitar tempatnya bermukim.

Dalam masyarakat Bali dikenal pula adanya ajaran Tat Twam Asi, yakni “kamu adalah aku dan aku adalah kamu”. Inti dari ajaran ini yakni menjaga keharmonisan dalam kehidupan terhadap segala bentuk ciptaan Tuhan, termasuk di dunia ini. Hal ini berarti apabila kamu menyakiti orang lain, berarti kamu menyakiti diri sendiri karena pada dasarnya setiap manusia adalah saudara dari manusia lainnya dan teman dari insan ciptaan-Nya. Tat Twam Asi juga dijadikan landasan etik dan moral bagi masyarakat Bali di dalam menjalani hidupnya sehingga ia dapat melaksanakan kewajibannya di dunia ini dengan harmonis (http://ekakj.blog.friendster.com/2008/02/).

Setiap masyarakat dan daerah sudah tentu memiliki budaya masing-masing yang tentu berbeda satu sama lain. Antara etnis Bali dan etnis Lampung misalnya, tentu mempunyai perbedaan budaya. Masyarakat Lampung pada umumnya menganut agama Islam dan hanya beberapa saja yang menganut agama lainnya. Selain itu masyarakat etnis Lampung juga memiliki falsafah hidup yang mengatur masyarakat etnis Lampung dalam bertingkahlaku dengan masyarakat etnis lainnya yang tertuang dalam Piil pesenggiri. Piil pesenggiri terdiri atas enam unsur yaitu:

(9)

a. Negah nyampur, yaitu tata pergaulan masyarakat etnis Lampung dengan cara membuka diri dalam pergaulan masyarakat.

b. Nemui nyimah, yaitu keharusan bermasyarakat.

c. Bejuluk buadek, yaitu keharusan berakhlak terpuji, berjiwa besar, dan berkepribadian mantap.

d. Mufakat, yakni keharusan bermusyawarah dalam menetapkan keputusan yang berlaku dalam masyarakat.

e. Sakai sambayan, yaitu kegiatan gotongroyong saling membantu satu sama lainnya.

f. Carem ceragem, yaitu keharusan menegakkan dan menjaga persatuan dan kesatuan.

Berbicara mengenai budaya Lampung, Lampung memiliki dua golongan adat, yaitu:

1. Adat Lampung Pepadun, yakni adat yang digunakan oleh penduduk Abung, Menggala/Tulang Bawang, Way Kanan, Sungkai, dan Pubiyan. Sistem adat pepadun ini meliputi:

a. Sistem Pepadun Mego, terdiri dari kebuaian Anak Tuho, Nunyai, Beliyuk, Selagai, dan Kunang.

b. Sistem Pepadun Bandar, terdiri dari Buai Subing Terbanggi, Subing Labuhan, Unyi Buyut/Gunung Sugih, Unyi Sukadana, Nuban Bumi Ratu, Nuban Bumi Tinggi, dan Nyerupa Komering.

c. Sistem Pepadun Sukeu, terdiri dari Buai Pubiyan Padang Ratu, Pubiyan Putih Doh, Pubiyan Bukeu Jadi, Pubiyan Ketibung, Pubiyan Balau, Nuban Bumi Tinggi, dan Nyerupa Komering.

(10)

d. Sistem Sumba, terdiri dari Buai Pemuka Way Kanan, Babuya, Nyerupa Komering, dan Aji Tulang Bawang.

2. Adat Lampung Saibatin (Lampung Pesisir Saibatin)

Masyarakat Lampung Saibatin adalah kelompok yang berusaha menjaga kemurnian darah dalam mendudukkan seseorang pada jabatan adat, yang oleh masyarakat Lampung lazim disebut kepenyimbangan. Seseorang tidak boleh menduduki jabatan kepenyimbangan walaupun ia sebenarnya memiliki potensi untuk itu, umpama memiliki kharisma, pandai, kreatif, dan sebagainya, kalau ia bukan memiliki darah aliran berdarah biru. Kedudukan yang dikenal dalam adat Saibatin adalah Dalem Raja, Batin, dan seterusnya. Seseorang tidak boleh menduduki jabatan sebagai Dalem selain anak keturunan seseorang yang berkedudukan sebagai Dalem juga, begitupun untuk jabatan Raja, Batin, dan seterusnya.

Antara adat Saibatin dan adat Pepadun, terdapat sedikit perbedaan, yakni adat Saibatin tetap mempertahankan kemurnian darah biru, sedangkan dalam adat Pepadun, setiap orang mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan status adat yang dimiliki yakni melalui cakak pepadun dengan syarat membayar uang yang disebut dau dan menyembelih kerbau. Makin tinggi tingkat adat yang akan dicapai, maka semakin banyak juga uang yang harus dibayar. Kalau seseorang menaikkan statusnya sebagai penyimbang atau pemimpin adat, maka harus terlebih dahulu disahkan dan diakui oleh penyimbang-penyimbang yang setingkat di lingkungan kekerabatannya.

(11)

Masyarakat etnis Lampung dilihat dari segi bahasanya dapat dibedakan menjadi dua bahasa atau dialek, yaitu:

a. Dialek “Api”: bahasa dialek api digunakan oleh masyarakat etnis Lampung Saibatin atau Peminggir. Adapun wilayah yang menggunakan bahasa Lampung Dialek Api yakni: Belalau, Peminggir, Teluk Semangka, Teluk Lampung Tulang Bawang Ulu (Way Kanan), Komering, Krui Melinting, dan Pubiyan.

b. Dialek “Nyow”: bahasa Dialek Nyow digunakan oleh masyarakat etnis Lampung Pepadun. Adapun wilayah yang menggunakan bahasa Lampung Dialek Nyow ini yakni Abung dan Tulang Bawang.

Masyarakat Lampung juga memiliki slogan “Sang Bumi Ruwa Jurai” yang kini berganti nama menjadi “Sai Bumi Ruwa Jurai”. Namun pada hakikatnya makna dari slogan tersebut di atas tetap sama walaupun kini telah berganti nama yakni mengenai kerukunan hidup penduduk asli dan pendatang dalam satu rumahtangga. Hal itu menandakan bahwa masyarakat Lampung menerima atau membuka diri terhadap masyarakat pendatang.

Kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat etnis Bali sudah tentu berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat etnis Lampung. Dilihat dari cara berbicaranya saja, masyarakat etnis Lampung dalam berbicara biasanya sedikit lantang. Sedangkan masyarakat etnis Bali dalam bertutur kata lebih sedikit lembut. Hal itu menunjukkan bahwa masing-masing etnis memiliki karakteristik atau pembawaan diri yang berbeda-beda.

(12)

Keinginan untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa menjadi penting di Indonesia mengingat masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk. Kenyataan tersebut di atas merupakan kekayaan bagi bangsa Indonesia dan sekaligus menciptakan tantangan. Tantangan-tantangan tersebut dimungkinkan hadir dalam pergaulan masyarakat karena kecenderungan dari setiap individu dan suku bangsa apapun juga, biasanya melihat kebudayaannya sebagai yang terbaik. Hal ini, dikenal sebagai etnosentrisme (Kartodirdjo, 1987:88).

Selain etnosentrisme, tantangan lainnya yang dapat menghambat kokohnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia adalah sikap prasangka dan diskriminasi yang sering muncul dalam diri anggota masyarakat. Prasangka dan diskriminasi biasanya ditandai dengan sikap negatif kepada anggota kelompok tertentu yang semata-mata didasarkan pada keanggotaan mereka dalam berkelompok. Prasangka dan diskriminasi tidak akan menimbulkan konflik sosial apabila didukung oleh pengendalian sosial yang tinggi dan upaya-upaya yang dapat mendorong terciptanya pembauran bangsa di segala bidang kehidupan, baik di bidang ekonomi maupun sosial budaya, dalam rangka memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa serta memantapkan ketahanan sosial.

Masyarakat Indonesia yang multikultur secara demografis maupun sosiologis, memiliki keragaman kultural dan sangat rentan sebagai pemicu konflik SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Pelbagai peristiwa konflik berbau SARA telah terjadi hampir di semua wilayah Indonesia dan beberapa diantaranya terjadi antarsuku. Seperti tragedi Sampit yang terjadi di Kalimantan Tengah. Pihak yang berkonflik yakni antara masyarakat suku Madura dan Dayak. Latar belakang

(13)

terjadinya konflik di antara dua suku ini yakni terbunuhnya perempuan Dayak oleh pria Madura hingga akhirnya konflik itu meluas ke berbagai daerah di Kalimantan.

Ini merupakan bukti bahwa persoalan interaksi sosial sangatlah berpengaruh terhadap proses pembangunan suatu bangsa. Interaksi sosial juga merupakan awal bagi masyarakat untuk melebur dengan masyarakat lain tanpa membeda-bedakan SARA sehingga terciptalah keadaan harmonis dan seimbang yang merupakan salah satu ciri terwujudnya masyarakat ideal tanpa perselisihan dan konflik yang menjurus kepada kehidupan rimba, dimana yang kuat bisa melecehkan yang lemah.

Permasalahan bentuk dan intensitas interaksi sosial antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung dalam pembauran etnis adalah masalah yang menarik untuk dilakukan penelitian. Ini persoalan latar budaya yang berbeda dapat menimbulkan prasangka dan kecemburuan sosial, kendatipun pada hakikatnya manusia sebagai makhluk Tuhan diciptakan dalam kodrat yang sama, namun perbedaan latar belakang budaya mampu melatarbelakangi terjadinya konflik.

Terkait dengan pemaparan di atas, maka penulis ingin melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui bentuk dan intensitas interkasi sosial masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung dalam pembauran etnis

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka yang akan diteliti adalah “Bagaimana bentuk dan intensitas interaksi sosial masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung dalam pembauran etnis”.

(14)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk dan intensitas interaksi sosial masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung dalam pembauran etnis.

D. Kegunaan Penelitian

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat berguna dengan memberikan informasi bagi masyarakat mengenai bentuk dan intensitas interaksi sosial masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung dalam pembauran etnis.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan dalam mengkaji lebih lanjut tentang bentuk dan intensitas interaksi sosial masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung dalam pembauran etnis.

(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Interaksi Sosial

Manusia senantiasa mempunyai naluri yang kuat untuk hidup bersama dengan sesamanya. Hal itu dikarenakan manusia adalah makhluk sosial yang tidak akan mungkin hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Gejala yang demikian menjadikan manusia cenderung hidup berkelompok, saling menyesuaikan diri satu sama lain dengan keadaan di sekitarnya.

Proses penyesuaian diri untuk mempertahankan kehidupan berkelompok ini dinyatakan sebagai suatu proses yang menjurus menjadi proses sosialisasi (Susanto, 1997:10). Sosialisasi menurut Buhler (dalam Susanto, 1997:23) adalah proses yang membantu individu melalui belajar dan penyesuaian diri, bagaimana cara hidup, dan bagaimana cara berpikir kelompoknya agar ia dapat berperan dan berfungsi dalam kelompoknya.

Proses ini dapat berjalan dengan serasi dan dapat pula terjadi melalui pertentangan, akan tetapi selama individu merasa memerlukan kelompoknya, maka ia bersedia untuk mengadakan beberapa kompromi terhadap tuntutan kelompok. Proses sosialisasi yang dimaksud di atas, terjadi melalui interaksi sosial yaitu hubungan-hubungan dinamis menyangkut hubungan antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, atau antara kelompok dengan

(16)

kelompok dalam bentuk kerjasama, persaingan, ataupun pertikaian (Soekanto, 1990:67).

Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial karena tanpa interaksi tidak mungkin ada kehidupan sosial. Interaksi sosial juga menyangkut pemenuhan berbagai kebutuhan, baik kebutuhan dasar (seperti sandang, pangan, dan papan), kebutuhan akan keselamatan jiwa dan harta benda (seperti ketertiban dan keamanan), kebutuhan akan harga diri (seperti martabat dan kehormatan), kebutuhan akan pengembangan potensi diri (seperti pendidikan dan kesehatan), dan kebutuhan akan kasih sayang. Untuk mencapai semua kebutuhan tersebut, maka manusia melakukan aktivitas-aktivitas sebagai bentuk interaksi.

Menurut Gillin dan Gillin (dalam Soekanto, 1990:77), terdapat empat bentuk interaksi sosial yang terjadi di dalam masyarakat yaitu:

1. Kerjasama (cooperation)

Kerjasama timbul karena orientasi orang perorangan terhadap kelompoknya (yaitu in-groupnya) dan kelompok lainnya (yang merupakan out-groupnya). Kerjasama mungkin akan bertambah kuat apabila ada bahaya luar yang mengancam atau ada tindakan-tindakan luar yang menyinggung kesetiaan yang secara tradisonal atau institusional telah tertanam di dalam kelompok, dalam diri seorang atau segolongan orang. Ada lima bentuk kerjasama, yaitu:

a. Kerukunan yang mencakup gotongroyong dan tolong-menolong. b. Bergaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran

(17)

c. Ko-optasi (co-optation), yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi (sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan.

d. Koalisi (coalition), yakni kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama.

e. Join-venture, yaitu kerjasama dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu, misalnya pemboran minyak, pertambangan, eksploitasi batubara, perfilman, perhotelan, dan seterusnya.

2. Persaingan (Competititon)

Persaingan dapat diartikan sebagai suatu proses sosial, dimana individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada, tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasaan.

3. Akomodasi (Accomodation)

Istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti, yaitu untuk menunjuk pada suatu keadaan dan untuk menunjuk pada suatu proses. Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan berarti adanya suatu keseimbangan dalam interaksi antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial

(18)

yang berlaku di dalam masyarakat, sedangkan sebagai suatu proses, akomodasi menunjuk pada usaha-usaha untuk mencapai kestabilan.

4. Pertentangan atau pertikaian (Conflict)

Adapun yang menjadi sebab-musabab atau akar-akar dari pertentangan yakni:

a. Perbedaan antara individu-individu, dalam hal ini yakni perbedaan pendirian dan perasaan mungkin akan melahirkan bentrokan di antara mereka.

b. Perbedaan kebudayaan, dalam hal ini perbedaan kepribadian dan orang-perorangan tergantung dari pola-pola kebudayaan yang menjadi latar belakang pembentukan serta perkembangan kepribadian tersebut. Secara sadar maupun tidak sadar, sedikit banyak juga akan terpengaruh oleh pola-pola pemikiran dan pola-pola pendirian dari kelompoknya sehingga menyebabkan terjadinya pertentangan antara kelompok manusia.

c. Perbedaan kepentingan, dalam hal ini perbedaan kepentingan antarindividu maupun kelompok merupakan sumber lain dari pertentangan. Wujud kepentingan dapat bermacam-macam ada kepentingan ekonomi, politik, dan lain sebagainya.

d. Perubahan sosial, dalam hal ini perubahan yang berlangsung dengan cepat dapat mengubah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan menyebabkan terjadinya golongan-golongan yang berbeda pendirian hingga akhirnya mengakibatkan terjadinya disorganisasi pada struktur.

(19)

Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu:

1. Adanya kontak sosial

Kata kontak berasal dari bahasa latin yaitu con atau cum (yang artinya bersama-sama) dan tango (yang artinya menyentuh). Jadi secara harfiah adalah bersama-sama menyentuh. Kontak sosial adalah hubungan antara satu orang atau lebih melalui percakapan dengan saling mengerti maksud dan tujuan masing-masing dalam kehidupan masyarakat. Kontak sosial yang terjadi secara langsung adalah kontak sosial melalui suatu pertemuan dengan tatap muka dan dialog di antara kedua belah pihak. Kontak sosial secara tidak langsung adalah kontak sosial yang menggunakan alat atau perantara, misalnya melalui telepon, radio, dan surat.

2. Adanya komunikasi sosial

Kata komunikasi berasal dari bahasa latin, yaitu communis yang berarti “sama”, commmunico, communication atau communicare yang berarti “membuat sama”. Jadi secara harfiah adalah membuat kesamaan atau membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih. Komunikasi sosial menurut Roger dan D Lawrence Kincaisd (dalam Hafied Cangara, 2007), bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam.

(20)

Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada pelbagai faktor, antara lain yaitu:

a. Imitasi, yakni suatu proses belajar dengan cara meniru atau mengikuti perilaku orang lain.

b. Sugesti, merupakan cara pemberian suatu pandangan atau pengaruh oleh seseorang kepada orang lain dengan cara tertentu.

c. Identifikasi, adalah kecenderungan-kecenderungan atau keinginan-keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. d. Simpati, merupakan perasaan “tertarik” yang timbul dalam diri seseorang

dan membuatnya merasa seolah-olah berada dalam keadaan orang lain. e. Empati, yakni sesuatu yang bisa dirasakan oleh hati atau hal yang

dimasuki dalam jiwa.

Menurut Santoso (2004:12), ada beberapa faktor yang menentukan berhasil atau tidaknya seseorang dalam berinteraksi, yakni:

a. The nature of social situation

Yakni situasi sosial yang memberi bentuk tingkahlaku terhadap individu yang berada dalam situasi tertentu.

b. The norms prevailing in any given social group

Yakni norma-norma kelompok yang berpengaruh terhadap terjadinya interaksi sosial antar individu.

c. Their own personality trends

Yakni masing-masing individu memiliki tujuan kepribadian sehingga berpengaruh terhadap tingkahlaku.

d. A person transitory tendencies

Yakni setiap individu berinteraksi dengan kedudukan dan kondisinya yang bersifat sementara.

e. The process of perceiving and interpreting a situation

Yakni setiap situasi mengandung arti bagi setiap individu sehingga hal ini mempengaruhi individu untuk melihat dan menafsirkan situasi tersebut.

(21)

Dari pendapat-pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan interaksi sosial adalah kontak antara individu yang menghasilkan adanya hubungan saling pengaruh mempengaruhi dan nampak dalam hubungan aksi reaksi. Interaksi sosial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah interaksi antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung

B. Pengertian Etnis

Berbicara mengenai konsep etnis, maka akan berbeda dengan konsep etnik maupun suku bangsa. Menurut Barth (dalam Suparlan, 2002:4), sukubangsa merupakan sebuah kategori atau golongan sosial, maka sukubangsa adalah sebuah pengorganisasian sosial mengenai jatidiri yang deskriptif dimana anggota sukubangsa mengaku sebagai anggota sukubangsa tertentu atau dilahirkan di dan berasal dari suatu daerah tertentu. Berbeda dari berbagai jatidiri lainnya yang diperoleh dalam berbagai struktur sosial yang sewaktu-waktu dapat dibuang atau diganti. Jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan ini tetap melekat dalam diri seseorang sejak kelahirannya. Jatidiri sukubangsa atau kebangsaan dapat disimpan atau digunakan dalam interaksi tetapi tidak dapat dibuang atau dihilangkan.

Lebih lanjut, Barth mendefinisikan etnik yang pada dasarnya adalah sama dengan suku bangsa, dipergunakan untuk menunjuk pada suatu kelompok tertentu karena kesamaan SARA ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya. Kelompok etnik adalah kelompok orang-orang sebagai suatu populasi yang:

a. Dalam populasi kelompok mereka mampu melestarikan kelangsungan kelompok dengan berkembang biak.

(22)

b. Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya.

c. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.

d. Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.

Sementara definisi etnik menurut Koentjaraningrat, etnik tentu berbeda dengan sukubangsa. Istilah etnografi untuk suatu kebudayaan dengan corak khas adalah sukubangsa atau dalam bahasa Inggris ethnic group (kelompok etnik). Konsep yang tercakup dalam istilah sukubangsa adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas tadi, serta seringkali (tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga. Pada kenyataannya, sukubangsa lebih kompleks daripada apa yang diuraikan di atas, ini disebabkan karena dalam kenyataan, batas dari kesatuan manusia yang merasakan diri serikat oleh keseragaman kebudayaan itu dapat meluas atau menyempit tergantung pada kesatuan teritorial.

Apabila mereka menetap di suatu kawasan dalam jangka waktu cukup lama, maka karena alasan tertentu, misalnya konflik, sebagian komunitas akan mengadakan kontak dengan suku lain. Seiring dengan berjalannya waktu, proses komunikasi ini menyebabkan persebaran yang cukup luas ke segala penjuru dunia. Pada kondisi modern ini, batas-batas teritorial kenegaraan kemudian terbentuk. Komunitas yang berhijrah tidak akan dibatasi oleh sekat-sekat kenegaraan. Dari latarbelakang tersebutlah, suku kemudian beralih menjadi etnik.

(23)

Menurut Koentjaraningrat (dalam Made Saputra, 2001:1), identitas etnis yang dituangkan dalam kesatuan kebudayaan bukan suatu hal yang ditentukan oleh pihak luar, melainkan oleh etnis bersangkutan sebagai pendukung kebudayaan itu sendiri. Dengan demikian, konsep yang tercakup dalam istilah etnis atau sukubangsa berarti kesatuan manusia atau kolektiva-kolektiva yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan kebudayaan, kesadaran-kesadaran itu sering dikuatkan (tetapi tidak selalu) oleh kesatuan bahasa (http://smartpsikologi.com). Etnis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah antara etnis Bali dengan etnis Lampung.

C. Pengertian Asimilasi atau Pembauran

Istilah pembauran adalah istilah yang sama dengan apa yang disebut dengan asimilasi. Kata asimilasi berasal dari similas (Inggris: similar) atau sama, jadi asimilasi itu berarti sama, menjadi serupa dan dalam sosiologi dimaksudkan sebagai proses atau perkembangan ke arah menjadi sama (Desiree, 1974:149).

Asimilasi merupakan proses sosial dalam taraf lanjut. Ia ditandai dengan adanya usaha-usaha untuk mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap, dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama. Apabila orang-orang melakukan asimilasi ke dalam suatu kelompok manusia atau masyarakat, maka kelompok manusia atau masyarakat tersebut tidak lagi membedakan dirinya dengan kelompok tersebut yang mengakibatkan bahwa mereka dianggap sebagai orang asing.

(24)

Menurut Yahya (1983:18), asimilasi mempunyai dua pengertian yaitu:

a. Umum, yakni dengan asimilasi dimaksudkan sebagai proses penyatuan, atau gabungan golongan yang mempunyai sikap mental, adat istiadat, dan kebudayaan yang berbeda-beda menjadi satu kebulatan sosiologis yang harmonis, dalam hal ini berarti Bangsa Indonesia.

b. Khusus, yakni untuk masyarakat etnis Bali, asimilasi dalam hal ini berarti masuk dan diterimanya masyarakat etnis Bali ke dalam masyarakat etnis Lampung sehingga menjadi satu dalam rangka Building Indonesia.

Dalam proses asimilasi, seseorang mengidentifikasikan dirinya dengan kepentingan-kepentingan serta tujuan kelompok. Apabila dua kelompok manusia mengadakan asimilasi, batas-batas antara kelompok-kelompok tadi akan hilang dan keduanya lebur menjadi satu kelompok. Proses asimilasi tersebut timbul bila ada:

1. Kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaan.

2. Orang perorangan sebagai warga kelompok tadi saling bergaul secara langsung dan intensif untuk waktu yang lama.

3. Kebudayaan-kebudayan dari tiap kelompok manusia tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri.

Pada dasarnya asimilasi merupakan bentuk dari interaksi sosial, dalam hal ini interaksi yang bersifat asimilatif. Menurut Soekanto (1990:89), ada beberapa bentuk interaksi sosial yang memberikan arah ke suatu proses asimilasi, yakni:

1. Interaksi tersebut bersifat suatu pendekatan terhadap pihak lain, dimana pihak yang lain juga berlaku sama. Misalnya seorang mahasiswa yang jujur dan baik tata lakunya tidak akan mungkin hidup bersama-sama dengan rekannya yang licik dalam satu kamar di asrama mahasiswa. Mahasiswa yang jujur dan baik tersebut walaupun berusaha untuk bersikap toleran terhadap rekannya, akan tetapi tidak akan terjadi suatu persahabatan karena pihak yang lain bersikap sebagai musuh.

2. Interaksi tersebut tidak mengalami halangan-halangan atau pembatasan-pembatasan. Proses interaksi sosial yang asimilatif akan berhenti apabila mengalami halangan-halangan yang mematikan atau apabila ada

(25)

pembatasan-pembatasan, seperti halangan untuk melakukan perkawinan campuran, pembatasan-pembatasan untuk memasuki lembaga pendidikan tertentu, dan sebagainya.

3. Interaksi tersebut bersifat langsung dan primer. Misalnya upaya untuk membentuk sebuah organisasi multilateral atau bilateral, akan terhalang oleh adanya kesukaran melakukan interaksi langsung dan primer antar negara bersangkutan. Bisa saja masalahnya menyangkut keamanan, kepentingan ekonomi atau kedaulatan. Sebagai langkah pertama, biasanya sering diusahakan pertukaran wisatawan, mahasiswa, sarjana, dan ahli-ahli lain.

4. Frekuensi interaksi sosial tinggi dan tetap, serta ada keseimbangan antara pola-pola asimilasi tersebut. Artinya stimulans dan tanggapan-tanggapan dari pihak-pihak yang mengadakan asimilasi harus sering dilakukan dan suatu keseimbangan tertentu harus dicapai dan dikembangkan. Interaksi sosial asimilatif sangat sulit diadakan pada masyarakat-masyarakat tradisional Indonesia yang masih terasing, karena masyarakatnya kurang mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi dengan masyarakat lain seperti masyarakat di daerah perkotaan.

Di Indonesia, asimilasi sering dihubungkan dengan soal perkawinan antara golongan etnis. Hal sedemikian hanyalah salah satu aspek dari konsep asimilasi, yakni adanya perkawinan campuran dan dikenal dengan amalgamasi. Amalgamasi atau perkawinan campuran merupakan salah satu faktor yang mempermudah terjadinya suatu asimilasi. Adapun faktor lain yang mempermudah terjadinya asimilasi adalah:

1. Toleransi terhadap kelompok-kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan sendiri hanya mungkin tercapai dalam suatu akomodasi. Apabila toleransi tersebut mendorong terjadinya komunikasi, maka faktor tersebut mempercepat asimilasi.

2. Adanya kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang ekonomi bagi pelbagai golongan masyarakat dengan latarbelakang kebudayaan yang berbeda dapat mempercepat proses asimilasi.

(26)

3. Sikap saling menghargai terhadap kebudayaan yang didukung oleh masyarakat yang lain dimana masing-masing mengakui kelemahan-kelemahan, atau kelebihan-kelebihannya akan mendekatkan masyarakat-masyarakat yang menjadi pendukung kebudayaan-kebudayaan tersebut, apabila ada prasangka, maka hal demikian akan menjadi penghambat bagi berlangsungnya proses asimilasi.

4. Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa di dalam masyarakat juga mempercepat proses asimilasi. Hal ini misalnya dapat diwujudkan dengan memberikan kesempatan yang sama bagi golongan minoritas untuk memperoleh pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penggunaan tempat-tempat rekreasi, dan seterusnya.

5. Pengetahuan akan persamaan-persamaan unsur pada kebudayaan-kebudayaan yang berlainan juga akan lebih mendekatkan masyarakat untuk mendukung kebudayaan yang satu dengan yang lainnya.

6. Adanya musuh bersama dari luar cenderung memperkuat kesatuan atau golongan masyarakat yang mengalami ancaman musuh tersebut. Bersama-sama dalam hal ini antara golongan minoritas dengan golongan mayoritas menghadapi ancaman-ancaman luar yang membahayakan seluruh masyarakat.

Untuk memperkuat konsep ini menurut Soekanto (1981:113) terdapat tujuh macam asimilasi, yaitu sebagai berikut:

1. Asimilasi kebudayaan atau perilaku yang bertalian dengan perubahan dalam pola-pola kebudayaan guna penyesuaian diri dengan kelompok mayoritas. 2. Asimilasi struktural yang bertalian dengan masuknya golongan-golongan

minoritas secara besar-besaran dalam perkumpulan-perkumpulan pada kelompok primer dari mayoritas.

(27)

3. Asimilasi perkawinan yang bertalian dengan perkawinan antargolongan secara besar-besaran.

4. Asimilasi identifikasi yang bertalian dengan perasaan nasional berdasarkan mayoritas.

5. Asimilasi sikap yang bertalian dengan tidak adanya prasangka. 6. Asimilasi perilaku yang bertalian dengan tidak adanya diskriminasi.

7. Asimilasi civic yang bertalian dengan adanya bentrokan mengenai nilai dengan pengertian kekuasaan.

Seperti yang telah dikemukakan di atas, asimilasi bisa saja terjadi oleh faktor-faktor tersebut, namun asimilasi juga akan sulit terjadi apabila terdapat penghalang, seperti terisolasinya kehidupan suatu golongan tertentu dalam masyarakat (biasanya golongan minoritas). Contohnya adalah orang Indian di Amerika Serikat yang diharuskan bertempat tinggal di wilayah-wilayah tertentu (reservation). Mereka seolah-olah disimpan dalam kotak tertutup, sehingga hampir tidak mungkin melakukan hubungan bebas yang intensif dengan orang-orang kulit putih, sebaliknya orang-orang kulit putihpun kurang mengetahui tentang seluk beluk masyarakat Indian, sehingga antara kedua belah pihak timbul prasangka-prasangka.

Prasangka tersebut timbul dikarenakan kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan yang dihadapi dan sehubungan dengan itu juga ada perasaan takut terhadap kekuatan kebudayaan yang lain. Selain itu, perbedaan kepentingan yang kemudian ditambah dengan pertentangan-pertentangan pribadi juga ikut andil dan menghalangi terjadinya asimilasi.

Dikaitkan dengan penelitian yang dibahas, asimilasi yang dimaksudkan adalah proses penyatuan masyarakat etnis Bali yang mempunyai sikap, mental, adat istiadat dan kebudayaan yang berbeda, menjadi satu dan harmonis dengan

(28)

masyarakat etnis Lampung tanpa menghilangkan ciri khas budaya daerah masing-masing. Asimilasi dalam penelitian ini merujuk pada interaksi sosial yang bersifat asimilatif yaitu dilihat dari frekuensi interaksi sosial.

(29)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif. Menurut Moleong (2003:3), penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data berupa kata-kata, tulisan dari orang-orang, dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan kualitatif juga dapat menggali informasi sebanyak mungkin dan sedalam mungkin sehingga akan didapatkan informasi yang sejelas-jelasnya tentang apa yang diteliti.

Penelitian kualitatif merupakan cara mengkaji dan melihat gejala sosial dan kemanusian dengan memahaminya, yaitu dengan cara membangun suatu gambaran yang utuh dan holistik yang kompleks, dimana gejala-gejala yang tercakup dalam kajian itu dilihat sebagai sesuatu yang terkait satu dengan yang lainnya dalam hubungan-hubungan fungsional sebagai suatu sistem (Suparlan, 2001:1).

B. Fokus Penelitian

Pada penelitian kualitatif hal yang perlu diperhatikan adalah fokus penelitian. Menurut Moleong (2003:63), tujuan membuat fokus penelitian adalah:

1. Untuk membatasi studi sehingga tidak melebar.

(30)

Adapun yang menjadi fokus penelitian ini yakni mengenai intensitas interaksi sosial dan bentuk-bentuk interaksi sosial masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung.

1. Aspek-aspek interaksi sosial yang akan diamati dalam penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut:

c. Cara berinteraksi, yang meliputi

 Media berinteraksi

Yakni sarana atau alat yang dipergunakan sebagai perantara dalam melakukan interaksi sosial.

 Tatacara berinteraksi

Yakni aturan yang mengandung nilai dan norma dalam melakukan interaksi sosial.

b. Tempat berinteraksi

Tempat berinteraksi yang dimaksud adalah forum atau wadah tempat biasanya masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung melakukan interaksi.

c. Frekuensi Interaksi a) Kualitas pertemuan

Yakni rata-rata lamanya pertemuan yang dilakukan antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung.

b) Kualitas pesan

(31)

2. Bentuk-bentuk interaksi sosial

 Kerjasama a. Segi ekonomi

Bentuk interaksi dari segi ekonomi antara lain dilihat dari transaksi jual beli dalam hal pembelian barang untuk kebutuhan rumahtangga antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung. Selain itu ada juga dalam bentuk penggunaan tenaga kerja, seperti tenaga pengelola kebersihan, membangun rumah, mengolah, merawat dan mengelola usaha, baik di sektor pertanian atau non pertanian.

b. Segi sosial

Bentuk interaksi dari segi sosial antara lain dilihat dari keikutsertaan atau partisipasi masyarakat etnis Bali dan Lampung pada saat acara gotongroyong, siskamling (kerjasama), mengundang atau diundang dalam hajatan, dan lain sebagainya.

C. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu. Pemilihan lokasi ini berdasarkan pertimbangan bahwa jalinan sosial antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung berlangsung harmonis dalam kehidupan bermasyarakat, serta atas pertimbangan efisiensi waktu dan biaya.

D. Penentuan Informan

Teknik penentuan informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive, yaitu teknik penentuan sampel (informan) yang disesuaikan dengan

(32)

kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian. Adapun kriteria-kriteria pemilihan informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Masyarakat asli etnis Bali yang bermukim di RT 04 Lingkungan III.

2. Masyarakat asli etnis Lampung yang bermukim di RT 04 Lingkungan III. 3. Lamanya bermukim atau menetap di RT 04 Lingkungan III.

4. Kepala rumahtangga.

Mengacu pada kriteria di atas, maka jumlah informan yang diambil adalah 10 orang, yakni 5 kepala keluarga masyarakat etnis Bali dan 5 kepala keluarga masyarakat etnis Lampung.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Data Primer

1. Wawancara mendalam (indepth interview)

Yaitu melakukan wawancara langsung dengan informan mengenai pokok bahasan penelitian. Wawancara mendalam ini dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara dengan tujuan mendapatkan keterangan secara mendalam dari permasalahan yang diteliti. Hal ini dimaksudkan agar pertanyaan yang diajukan dapat terarah tanpa mengurangi kebebasan dalam mengembangkan pertanyaan, serta suasana tetap terjaga agar terkesan dialogis dan tampak informal. Peneliti juga mempersiapkan segala sesuatu yang akan diperlukan untuk melakukan

(33)

wawancara, diantaranya pena, buku, perekam gambar, perekam suara, dan lain-lain.

Wawancara dalam penelitian ini bersifat terbuka sehingga informan tahu bahwa mereka sedang diwawancarai dan juga tahu pula maksud wawancara. Sebelum mengajukan pertanyaan-pertanyaan wawancara, peneliti terlebih dahulu memulai wawancara dengan obrolan ringan agar tercipta suasana akrab dengan informan.

2. Observasi

Yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan secara langsung, seksama, dan sistematis melalui pengamatan terhadap obyek penelitian. Teknik observasi ini berguna untuk menjelaskan gejala yang terjadi dan berhubungan dengan masalah yang dikaji. Observasi dalam hal ini yakni mengamati bentuk dan intensitas interaksi sosial masyarakat etnis Bali dalam membaur dengan masyarakat etnis Lampung, yakni melalui aktivitas yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Observasi ini dilakukan pada saat kegiatan gotongroyong, rapat-rapat, aktivitas ekonomi antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung, acara keagamaan seperti perayaan hari raya Idul Fitri, Idul Adha, Galungan, Kuningan, Nyepi, dan lain-lain. Observasi ini juga dimaksudkan untuk melihat keadaan yang sesungguhnya apakah telah sesuai dengan hasil wawancara, sehingga dapat teruji kebenarannya.

(34)

b) Data sekunder

1. Studi Kepustakaan

Yaitu suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara menghimpun dan menelaah sumber-sumber atau bahan-bahan pustaka, seperti dokumen, buku, jurnal, modul, makalah, dan hal yang sifatnya tertulis yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

2. Dokumentasi

Yaitu cara mengumpulkan data dengan melakukan pencatatan terhadap dokumen-dokumen, seperti arsip-arsip, peraturan-peraturan, dan dokumen lain yang berkenaan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini.

F. Teknik Pengolahan data

Setelah data terkumpul, maka tahap selanjutnya adalah berupa pengolahan data yang dilakukan melalui beberapa tahap yaitu:

a. Tahap pemeriksaan data atau editing, yakni proses pemeriksaan kembali terhadap data yang diperoleh dan yang sesuai dengan penelitian. Data tersebut berhubungan dengan bentuk dan intensitas interaksi sosial antara masyarakat etnis Bali dengan masyyarakat etnis Lampung. Tahap pemeriksaan data dilakukan dari data hasil wawancara, observasi, maupun yang diperoleh melalui studi pustaka.

b. Klasifikasi data atau koding yakni pengelompokan data menurut kerangka bahasan yang telah ditentukan dalam penelitian ini.

(35)

c. Interpretasi data, yakni melakukan penafsiran atau pandangan teoritis terhadap data yang diperoleh dari hasil penelitian setelah diklasifikasikan secara sistematis untuk mempermudah pemahaman.

G. Teknik Analisis Data

M. Nasir (1983:405) mengartikan analisa data sebagai kegiatan mengelompokkan, membuat suatu ukuran, dan memanipulasi data sehingga mudah dibaca. Proses analisa data kualitatif menurut Matthew B. Millies dan A. Michael Huberman (1992:17) akan melaui proses sebagai berikut:

1. Reduksi Data

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian, dan penyederhanaan data yang diperoleh dari catatan-catatan di lapangan kemudian direduksi untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisir data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan finalnya bisa ditarik.

2. Display/Penyajian Data

Dsplay merupakan kumpulan informasi yang tersusun rapih dan biasanya disajikan dalam bentuk matrik, tabel, atau bagan. Pada penelitian ini, penyajian data dilakukan melalui cara penampilan tabel dan juga narasi berdasarkan hasil wawancara yang kemudian disajikan atas dasar penggolongan jawaban atas pertanyaan sejenis sehingga memungkinkan penarikan kesimpulan secara menyeluruh untuk setiap topik yang menjadi tema pertanyaan dari penelitian ini.

(36)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Sejarah Kelurahan Labuhan Ratu

Pada tahun 1876 yang lalu, beberapa keluarga penduduk asli Lampung Abung datang ke suatu tempat yang belum ramai dihuni oleh penduduk campuran, dan hanya terdapat penduduk keturunan Buay Tegak yang berasal dari sebuah kampung yang bernama Pulau Jwo yang terletak di pinggir Way Sekampung di sebelah hilir (lebih kurang 12 km) dari kampung Rulung Hellok Tegineneng Negeri Buku. Tujuan kedatangan penduduk asli Lampung Abung ini tidak lain adalah ingin mendirikan suatu perkampungan baru dan menetap untuk selamanya hingga ke anak cucu. Kini perkampungan baru tersebut diberi nama Kelurahan Labuhan Ratu.

Pemberian nama Kelurahan Labuhan Ratu menurut cerita para tetua adat adalah untuk mengenang sejarah di masa lampau sewaktu Sultan Banten berkunjung ke Lampung menuju Buyut melalui Way Sekampung dan singgah di Pulau Jwo di sekitar abad ke 17. Peristiwa kunjungan Sultan Banten itu, menurut cerita sangat meriah karena mengundang para tetua adat Kampung Pulau Jwo untuk menyambut tamu dari kesultanan Banten tersebut. Atas kesepakatan penduduk setempat, maka tetua adat dan penyimbang sepakat memberi nama daerah tersebut dengan Labuhan Ratu. Kelurahan Labuhan Ratu merupakan wilayah yang

(37)

termasuk ke dalam Kecamatan Kedaton Bandar Lampung. Kelurahan Labuhan Ratu terbagi menjadi dua yaitu Kelurahan Labuhan Ratu dan Kelurahan Labuhan Dalam.

B. Letak dan Kondisi Geografis

Secara geografis, Kelurahan Labuhan Ratu terletak di bagian Barat dari Kecamatan Kedaton, memiliki luas wilayah 317 Ha dengan ketinggian 122 M dari permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 2000-3000 mm. Kondisi geografis di Kelurahan Labuhan Ratu akan dijelaskan secara lebih terperinci sebagai berikut:

1. Tata Guna Lahan

Kelurahan Labuhan Ratu yang memiliki permukaan tanah sedikit tinggi dengan warna tanah yang kehitam-hitaman menunjukkan bahwa tanah di daerah tersebut subur. Adapun penggunaan lahan di Kelurahan Labuhan Ratu dapat terlihat pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel. 3 Penggunaan Lahan di Kelurahan Labuhan Ratu, Tahun 2008

No Penggunaan Luas

1. Tanah untuk jalan 8 Km

2. Pemukiman/perumahan 213,8 Ha 3. Sekolah 1 Ha 4. Rumah ibadah 1 Ha 5. Kuburan 4 Ha 6 Pertokoan 2,2 Ha 7 Sawah/ladang 87 Ha Jumlah Jumlah 317 Ha

Sumber: Monografi Kelurahan Labuhan Ratu Tahun 2008

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar lahan di Kelurahan Labuhan Ratu dipergunakan untuk perumahan penduduk, di samping

(38)

itu, ada pula yang dipergunakan untuk sawah tadah hujan, tegalan, kebun, peruntukan rumah ibadah, dan sebagain kecil untuk kuburan dan perguruan tinggi/sekolah.

2. Batas Wilayah

Adapun batas-batas wilayah Kelurahan Labuhan Ratu Kecamatan Kedaton Kota Bandar Lampung adalah sebagai berikut:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan jalan By Pass (Soekarno Hatta).

b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Gunung Terang dan Segala Mider.

c. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Gedung Meneng (Raja Basa). d. Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Kedaton dan Sepang Jaya.

3. Jenis Tanaman dan Hewan

Jenis tanaman pertanian di Kelurahan Labuhan Ratu ini masih banyak karena masih terdapat lahan kosongnya, baik buah-buahan maupun jenis sayuran atau palawija. Hewan yang dipelihara di wilayah Kelurahan Labuhan Ratu, antara lain kambing, ayam, dan sapi.

4. Jarak Orbitrasi

a. Jarak dari Pemerintahan Kecamatan : 1, 25 km. b. Jarak dari Ibukota Bandar Lampung : 5 km. c. Jarak dari Ibukota Provinsi Lampung : 8, 25 km.

(39)

5. Jumlah Penduduk

a. Jumlah Penduduk berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin

Adapun jumlah penduduk Kelurahan Labuhan Ratu berdasarkan umur dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah Penduduk Kelurahan Labuhan Ratu berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin, Tahun 2008

No Umur (tahun) Laki-Laki Perempuan Jumlah %

1 0-4 453 504 957 6,34 2 5-6 518 697 1.215 8,05 3 7-13 787 840 1.627 10,79 4 14-16 821 907 1.728 11,45 5 17-24 1.893 1.905 3.798 25,20 6 25-54 2087 2.103 4.190 27,77 7 > 55 762 807 1.569 10,40 Total 7.321 7.763 15084 100

Sumber: Monografi Kelurahan Labuhan Ratu Tahun 2008

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah penduduk Kelurahan Labuhan Ratu adalah 15.084 Jiwa, dengan jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 7.321 dan penduduk yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 7.763. Berdasarkan data di atas dapat diketahui juga bahwa penduduk Kelurahan Labuhan Ratu memiliki angkatan kerja yang produktif yaitu pada usia (25-54) tahun dengan persentase 27,77% lebih tinggi dibandingkan dengan angkatan kerja belum produktif yaitu pada usia (0-13) tahun dan angkatan kerja tidak produktif (>55 tahun).

(40)

b. Jumlah Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian

Jumlah penduduk Kelurahan Labuhan Ratu berdasarkan matapencahariannya disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Jumlah Penduduk Kelurahan Labuhan Ratu berdasarkan Mata Pencaharian, Tahun 2008

No Jenis Mata Pencaharian

Laki-Laki Perempuan Jumlah %

1 PNS 1.067 745 1.812 12,01 2 TNI/Polri 97 9 106 0,70 3 Pedagang 867 971 1.838 12,2 4 Petani 543 219 762 5,05 5 Pertukangan 314 - 314 2,08 6 Buruh 1.642 978 2.620 17,36 7 Pensiunan 129 98 227 1,50 8 Lain-lain 2.510 4.895 7.405 49,1 Total 7.169 7.915 15.084 100

Sumber: Monografi Kelurahan Labuhan Ratu Tahun 2008

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa penduduk Kelurahan Labuhan Ratu yang bekerja sebagai PNS sebesar 12,01%, TNI/Polri sebesar 0,70%, pedagang sebesar 12,2%, petani sebesar 5,05%, pertukangan sebesar 2,08%, buruh sebesar 17,36%, pensiunan sebesar 1,5%, serta lain-lain sebesar 49,1%. Berdasarkan tabel di atas juga dapat diketahui bahwa perempuan di Kelurahan Labuhan Ratu memiliki andil yang besar dalam membantu perekonomian rumahtangga, hal itu terlihat dari banyaknya jumlah penduduk berjenis kelamin perempuan yang bekerja, baik di sektor formal maupun informal.

c. Jumlah Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan

Adapun jumlah penduduk Kelurahan Labuhan Ratu berdasarkan tingkat pendidikan disajikan pada Tabel 6.

(41)

Tabel 6. Jumlah Penduduk Kelurahan Labuhan Ratu berdasarkan Tingkat Pendidikan, Tahun 2008

No Tingkat Pendidikan Laki-Laki Perempuan Jumlah % 1 Sarjana 971 932 1.903 12,61 2 Sarjana Muda 866 915 1.781 11.80 3 SMA 2.022 2.151 4.173 27,66 4 SMP 1.806 2.047 3.853 25,54 5 SD 772 783 1.555 10,30 6 TK 430 439 869 5,76 7 Belum Sekolah 464 504 968 6,41 Total 7.313 7.771 15.084 100

Sumber: Monografi Kelurahan Labuhan Ratu Tahun 2008

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa penduduk Kelurahan Labuhan Ratu yang bergelar pendidikan sarjana adalah sebesar 12,61 %, sarjana muda sebesar 11,8%, berpendidikan SMA sebesar 27,66%, berpendidikan SMP 25,54%, dan berpendidikan SD sebesar 10,30%. Berdasarkan tabel di atas juga dapat diketahui bahwa kesadaran penduduk akan arti pentingnya pendidikan sudah cukup tinggi, hal ini terlihat dari besarnya persentase penduduk yang mengenyam pendidikan hingga SMA ke atas lebih dari 50% dan juga tidak ada penduduk Kelurahan Labuhan Ratu yang buta huruf.

d. Jumlah Penduduk berdasarkan Agama

Adapun jumlah penduduk Kelurahan Labuhan Ratu berdasarkan agama yang dianut disajikan pada Tabel 7.

(42)

Tabel 7. Jumlah Penduduk Kelurahan Labuhan Ratu berdasarkan Agama, Tahun 2008

No Agama yang dianut Jumlah %

1 Islam 14.839 98,37 2 Kristen 182 1,20 3 Katolik 25 0,17 4 Hindu 29 0,19 5 Budha 9 0,07 Total 15.084 100

Sumber:Monografi Kelurahan Labuhan Ratu Tahun 2008

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa penduduk Kelurahan Labuhan Ratu mayoritas memeluk agama Islam dengan persentase sebesar 98,37%, kemudian diikuti oleh penganut agama Kristen (1,20%), Katolik (0,17%), Hindu (0,19%), dan Budha (0.07%).

C. Stuktur Pamong

Kelurahan Labuhan Ratu pada saat ini dipimpin oleh seorang Lurah yang bernama Afiansyah Noor, SH. Kelurahan Labuhan Ratu terdiri dari 3 (tiga) Lingkungan yang masing-masing dipimpin oleh seorang Kepala Lingkungan. Lingkungan I dipimpin oleh Muhindar A. Roni, SH, Lingkungan II dipimpin oleh Khermansyah, dan Lingkungan III dipimpin oleh Irwansyah Thohir. Masing-masing Lingkungan tersebut terdiri dari beberapa RT. Lingkungan I terdiri dari 8 (delapan) RT, Lingkungan II terdiri dari 8 (delapan) RT, dan Lingkungan III terdiri dari 16 (enam belas) RT.

Adapun struktur pamong yang terdapat di Kelurahan Labuhan Ratu adalah sebagai berikut:

(43)

Struktur Pamong Kelurahan Labuhan Ratu

D. Struktur Organisasi Pemerintahan Kelurahan Labuhan Ratu

Lurah dalam kepemimipinannya memiliki tanggungjawab langsung terhadap Camat atas semua Lingkungan yang ada dalam naungannya. Lurah dalam beraktifitas dibantu oleh seorang Sekretaris dan empat orang Kasi, yaitu Kasi Pemerintahan dan Pelayanan Umum, Pemberdayaan Masyarakat, Trantib, dan Pembangunan.

Adapun struktur organisasi Pemerintahan Kelurahan Labuhan Ratu adalah sebagai berikut: Lingkungan I Muhidar A. Roni, SH Lingkungan II Khermansyah Lingkungan III Irwansyah Thohir RT RT RT Lurah Afiansyah Noor, SH

(44)

Struktur Organisasi Pemerintahan Kelurahan Labuhan Ratu

E. Gambaran Umum Etnis Pendatang

1. Sejarah Awal Kehadiran Etnis Pendatang di Bandar Lampung

Etnis Banten merupakan etnis luar pertama yang masuk Lampung sejak zaman Sultan Agung Tirtayasa pada abad ke 17 dengan menempatkan wakil-wakil Sultan Banten di Lampung yang disebut Jenang atau Gubernur (sebutan sekarang). Keberadaan wakil Sultan Banten di Lampung adalah untuk menguasai dan memonopoli hasil-hasil bumi terutama lada.

Kasi Pemerintahan dan Pelayanan Umum Kasi Pemberdayaan Masyarakat Kasi Trantib Kasi Pem bangunan Camat Kedaton Lurah Sekretaris

(45)

Selain etnis Banten, adapula etnis Bugis yang masuk ke Lampung pada abad ke 19. Salah satu buktinya adalah berdirinya Mesjid Jami Al-Anwar di Teluk Betung yang dibangun oleh keturunan etnis Bugis pada tahun 1883. Pada mulanya, mesjid ini berupa surau, namun hancur karena Gunung Krakatau meletus dan kemudian dibangun kembali pada tahun 1888.

Pada abad ke 19, diperkirakan etnis Bengkulu juga telah masuk ke wilayah Bandar Lampung. Hal itu terlihat dari adanya Mesjid Jami Al-Yaqin di Jalan Raden Intan yang dibangun etnis Bengkulu. Semula mesjid tersebut terletak di dekat pos polisi pasar bawah, namun kemudian dipindahkan di depan BRI Jalan Raden Intan (www.kongesbud.budsar.go.id).

Sementara itu, kedatangan etnis Jawa di Lampung pertamakali terjadi pada tahun 1905 melalui program kolonisasi dan dilanjutkan dengan program transmigrasi, sedangkan etnis Bali berada di Lampung dilatarbelakangi oleh meletusnya Gunung Agung pada tahun 1963.

2. Sejarah Awal Kehadiran Etnis Pendatang di Kelurahan Labuhan Ratu

Penduduk Kelurahan Labuhan Ratu, khususnya di RT 04 Lingkungan III, didomonasi oleh etnis Lampung yang merupakan masyarakat asli di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu. Adapun etnis lainnya yang menetap di RT 04 Kelurahan Labuhan Ratu adalah etnis Jawa, Palembang, Bali, dan Cina.

Kedatangan masyarakat etnis Bali di Kelurahan Labuhan Ratu pertamakali di pelopori oleh I Ketut Lindih, kemudian diikuti oleh I Nyoman Merdana. Masyarakat etnis Bali di RT 04 Lingkungan III terdiri dari lima keluarga.

(46)

Walaupun hanya lima keluarga, akan tetapi keberadaan masyarakat etnis Bali di RT 04 memberikan nuansa yang cukup berbeda bagi masyarakat etnis Lampung di daerah tersebut.

3. Gambaran Kehidupan Masyarakat Etnis Lampung dengan Masyarakat Etnis Bali dalam Kehidupan Sehari-Hari

Hidup rukun antar sesama manusia merupakan salah satu gambaran bahwa manusia tersebut dapat hidup berdampingan dengan manusia lainnya yang memiliki latarbelakang suku, agama, dan ras yang berbeda. Gambaran tersebut nampak juga pada masyarakat etnis Lampung yang hidup rukun berdampingan dengan masyarakat etnis Bali.

Kehidupan bermasyarakat antara masyarakat etnis Lampung dan masyarakat etnis Bali terlihat dari keterlibatan seluruh masyarakat dalam kegiatan-kegiatan sosial seperti acara gotong-royong, kegiatan ronda malam, kegiatan memperingati perayaan HUT kemerdekaan RI, maupun kegiatan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa telah muncul kesadaran masyarakat terhadap kehidupan bersama dan keperdulian terhadap lingkungan sekitar. Kerjasama antara masyarakat etnis Lampung dengan masyarakat etnis Bali di Kelurahan Labuhan Ratu merupakan hasil dari relasi pertemanan yang dibangun atas dasar sikap saling menghormati dan menghargai antara satu sama lainnya, serta tidak mencampuradukan antara kepentingan kemasyarakatan dengan kepentingan keagamaan. Dengan demikian kerjasama yang terbangun antara masyarakat etnis Lampung dengan masyarakat etnis Bali sangat bermanfaat bagi kedua belah pihak.

(47)

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat etnis Lampung dalam berkomunikasi dengan masyarakat etnis Bali umumnya menggunakan bahasa Indonesia agar lebih mudah dipahami, akan tetapi ada juga masyarakat etnis Bali yang dapat berbicara menggunakan bahasa Lampung pada saat berinteraksi dengan masyarakat etnis Lampung.

Dasar utama bagi seseorang agar tidak terasing bahkan terasingkan di dalam suatu masyarakat adalah kepekaan serta keperdulian mereka terhadap lingkungan sekitar, terlebih bagi mereka yang merupakan masyarakat pendatang, sudah tentu memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru. Begitupula dengan masyarakat etnis Bali yang mampu beradaptasi dan berinteraksi dengan masyarakat etnis Lampung yang merupakan masyarakat asli di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu. Hubungan masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung serta dengan masyarakat lainnya, terjalin atas dasar bahwa hidup membutuhkan orang lain. Hingga sampai saat ini, apabila masyarakat Bali sedang mengadakan kegiatan atau acara, masyarakat etnis Lampung juga ikut membantu, begitupun sebaliknya.

(48)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Profil Informan

Setelah dilakukan penelitian (wawancara) terhadap sepuluh orang informan, berikut ini akan dipaparkan hasil penelitian yang menunjukkan profil informan serta pembahasan tentang bentuk dan intensitas interaksi sosial masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung yang bermukim di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu.

Informan I

Informan pertama bernama I Ketut Lindih, berusia 52 tahun. Informan merupakan masyarakat asli etnis Bali dan beragama Hindu. Informan menyelesaikan pendidikan terakhir hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) dan saat ini bekerja sebagai Polisi (Brimob).

Informan II

Informan kedua bernama I Nyoman Merdana, berusia 54 tahun. Informan merupakan masyarakat asli etnis Bali dan beragama Hindu. Informan menyelesaikan pendidikan terakhir hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) dan saat ini bekerja sebagai wiraswasta di perusahaan Farmasi serta membuka usaha dagang di rumah.

(49)

Informan III

Informan ketiga bernama I Putu Ardike, berusia 42 tahun. Informan merupakan masyarakat asli etnis Bali dan beragama Hindu. Informan menyelesaikan pendidikan terakhir hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) dan saat ini bekerja sebagai wiraswasta.

Informan IV

Informan keempat bernama Nengah Priana, berusia 44 tahun. Informan merupakan masyarakat asli etnis Bali dan beragama Hindu. Informan menyelesaikan pendidikan terakhir hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) dan saat ini bekerja sebagai wiraswasta.

Informan V

Informan kelima bernama Nyoman Sumantra, berusia 47 tahun. Informan merupakan masyarakat asli etnis Bali dan beragama Hindu. Informan menyelesaikan pendidikan terakhir hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) dan saat ini bekerja sebagai wiraswasta serta membuka usaha dagang di rumahnya.

Informan VI

Informan keenam bernama Usman, berusia 40 tahun. Informan merupakan masyarakat asli etnis Lampung dan beragama Islam. Informan menyelesaikan pendidikan terakhir hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) dan saat ini bekerja sebagai tukang ojek dan sesekali juga sebagai buruh (membersihkan rumput).

(50)

Informan VII

Informan ketujuh bernama Soni, berusia 45 tahun. Informan merupakan masyarakat asli etnis Lampung dan beragama Islam. Informan menyelesaikan pendidikan terakhir hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) dan saat ini bekerja sebagai tukang ojek dan sesekali juga bekerja sebagai buruh bangunan.

Informan VIII

Informan kedelapan bernama Deni Saputra, berusia 50 tahun. Informan merupakan masyarakat asli etnis Lampung dan beragama Islam. Informan menyelesaikan pendidikan terakhir hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) dan saat ini bekerja sebagai buruh bangunan.

Informan IX

Informan kesembilan bernama Busroni, berusia 52 tahun. Informan merupakan masyarakat asli etnis Lampung dan beragama Islam. Informan menyelesaikan pendidikan terakhir hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) dan saat ini bekerja sebagai buruh bangunan.

Informan X

Informan kesepuluh bernama Rustam Efendi berusia 52 tahun. Informan merupakan masyarakat asli etnis Lampung dan beragama Islam. Informan menyelesaikan pendidikan terakhir hingga Sekolah Menegah Atas, dan saat ini bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Gambar

Tabel  1.  Penduduk RT 04 Lingkungan III  Labuhan Ratu berdasarkan Asal  Daerah, Tahun 2009
Tabel 2. Daftar Nama Penduduk Etnis Bali Di RT 04 Lingkungan III                 Labuhan Ratu, Tahun 2009
Tabel 4.  Jumlah Penduduk Kelurahan Labuhan Ratu berdasarkan Umur      dan Jenis Kelamin, Tahun 2008
Tabel 5. Jumlah Penduduk Kelurahan Labuhan Ratu berdasarkan Mata     Pencaharian, Tahun 2008
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini ditemukan bahwa sustainability report tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan, hasil yang sama ditunjukkan pula oleh variabel kinerja lingkungan

Hasil dari penelitian ini adalah penerapan standar nasional perpustakaan perguruan tinggi (SNP 010:2011) di Utsman Bin Affan universitas muslim Indonesia sudah mampu terpenuhi

Hal ini berarti rerata kadar progesteron pada kedua kelompok setelah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna ( P <0,05) yang mengindikasikan bahwa pemberian

Penelitian ini dapat membantu masyarakat Desa Racang mengetahui sikap dari masyarakat sehinga dapat melakukan cara pendekatan yang lebih efektif. Dan memeberikan

Aplikasi ini di develop berbasis desktop dan berjalan di sistem operasi windows, sehingga dapat memudahkan user dalam penggunaannya, Applikasi ini juga sudah di design

Rencana Penarikan Dana dan Perkiraan Penerimaan yang tercantum dalam Halaman III DIPA diisi sesuai dengan rencana pelaksanaan kegiatan.. Tanggung jawab terhadap penggunaan anggaran

Mata ikan pada semua perlakuan datar kecuali pada perlakuan P1Q3 (Ikan nila + ekstrak daun kecombrang 40 % dan P2Q3 (Ikan kakap merah + ekstrak daun kecombrang 40 %)

Pelaku yang dibekuk aparat Polsek sawah besar merupakan warga Kebay- oran baru, Jaksel yang selama ini kerap mengedarkan shabu di sejumlah wilayah di Jakarta.. Kapolsek sawah