• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASALAH DAN BIAYA KEAGENAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MASALAH DAN BIAYA KEAGENAN"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

8

MASALAH DAN BIAYA KEAGENAN

NICKEN DESTRIANA

STIE TRISAKTI ndestriana@stietrisakti.ac.id PENDAHULUAN

alam mengelola suatu perusahaan telah lama dikenal suatu istilah yang disebut agency theory. Agency theory (teori keagenan) seperti yang dikemukakan oleh Jensen dan Meckling (1976) adalah suatu teori yang menge-mukakan bahwa, pemisahan antara pemilik (prinsipal) dan pengelola (agen) suatu perusa-haan dapat menimbulkan masalah keagenan (agency problem). Agency problem yang dimak-sud antara lain adalah terjadinya informasi yang asimetri (tidak sama) antara yang dimiliki oleh pemilik dan pengelola. Dengan adanya kepe-milikan informasi yang tidak setara itu maka manajemen (agen) perusahaan cenderung me-lakukan moral hazard dan adverse selection. Manajer memang mempunyai kewajiban untuk memaksimumkan kesejahteraan para pemegang saham. Namun disisi lain manajer juga mem-punyai kepentingan untuk memaksimumkan kesejahteraan mereka. Penyatuan kepentingan pihak-pihak ini seringkali menimbulkan masalah yang disebut dengan masalah keagenan. Mem-buruknya kondisi dari agency problem juga disebabkan, walaupun manajer mendapatkan kompensasi dari pekerjaannya, namun pada kenyataannya perubahan kemakmuran manajer jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan peru-bahan kemakmuran pemegang saham atau pemilik (Jensen dan Meckling 1976).

Konflik kepentingan yang dikarenakan kemungkinan bahwa agen tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal memicu terjadinya biaya keagenan. Biaya keagenan (agency cost) dikeluarkan untuk mengurangi kerugian yang timbul karena ketidakpatuhan.

Agency costs ini mencakup biaya untuk pe-ngawasan oleh pemegang saham, biaya yang dikeluarkan oleh manajemen untuk menghasil-kan laporan yang transparan, termasuk biaya audit yang independen dan pengendalian inter-nal, serta biaya yang disebabkan karena me-nurunnya nilai kepemilikan pemegang saham sebagai bentuk ‘bonding expenditures’ yang diberikan kepada manajemen dalam bentuk opsi dan berbagai manfaat untuk tujuan menyela-raskan kepentingan manajemen dengan pe-megang saham. Meskipun demikian, potensi untuk munculnya agency problem tetap ada karena adanya pemisahan antara kepengurusan dengan kepemilikan perusahaan, khususnya di perusahaan-perusahaan publik.

Agency problem akan mempengaruhi kinerja perusahaan dalam kegiatan usahanya dan dapat merugikan kedua belah pihak. Oleh karena itu, salah satu cara untuk mencegah hal tersebut adalah dengan melakukan pengawasan. Sistem pengawasan ini bertujuan untuk men-cegah terjadinya masalah keagenan antara pihak manajer yang menjalankan operasional perusahaan dengan pemegang saham yang merupakan pemilik perusahaan. Sistem penga-wasan ini merupakan sistem yang sangat pen-ting untuk digunakan dalam perusahaan. Hal ini dikarenakan fungsinya yang telah terbukti untuk mencegah terjadinya agency problem. Sistem pengawasan ini dikenal dengan nama corporate governance.

Mekanisme dalam penerapan corporate governance merupakan suatu cara yang dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik agensi yang terjadi di dalam perusahaan (Prasetyo 2009). Salah satu mekanisme ini yaitu

meka-D

(2)

9 nisme Intern. Mekanisme intern merupakan

mekanisme yang digunakan oleh perusahaan untuk menyelesaikan konflik agensi dengan memanfaatkan pengendalian yang berasal dari intern perusahaan. Jenis pengendalian intern tersebut dapat berasal dari dewan direksi, dewan komisaris, komite audit, pengungkapan keuangan (financial disclosure), struktur kepemilikan dan kompensasi eksekutif. Pengendalian dari dalam perusahaan seperti dewan komisaris dan de-wan direksi yang baik terbukti telah memberi pengaruh positif terhadap penciptaan good corporate governance.

AGENCY PROBLEM (MASALAH KEAGENAN) Agency theory memandang bahwa manajemen perusahaan sebagai ’agents’ bagi para pemegang saham, akan bertindak dengan penuh kesadaran bagi kepentingannya sendiri, bukan sebagai pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap pemegang saham. Teori ke-agenan dalam perkembangannya terbagi men-jadi dua aliran (Eisenhardt 1989) yaitu positivist teori dan principal-agent research. Positivist memfokuskan pada identifikasi situasi ketika prinsipal dan agen mengalami konflik dan meka-nisme governance yang membatasi self-serving dari agen. Principal-agent research memfokus-kan pada kontrak optimal, antara perilaku dan hasilnya, secara garis besar penekanan pada hubungan prinsipal dan agen. Principal-agent research merupakan perluasan teori dari kea-genan karena sudah merambah konflik antara rekan kerja, bawahan, dan atasan (manajemen puncak).

Menurut Jensen dan Meckling (1976), mendefinisikan hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak dimana satu atau lebih prinsipal (pemilik) menyewa orang lain (agen) untuk melakukan beberapa jasa untuk kepentingan mereka dengan mendelegasikan beberapa we-wenang untuk membuat keputusan kepada agen. Pemisahan kepemilikan dan pengendalian menyebabkan manajemen (agen) bertindak ti-dak sesuai dengan keinginan prinsipal (pemilik). Dalam melaksanakan tugas manajerial,

mana-jemen memiliki tujuan pribadi yang bersaing dengan tujuan prinsipal (pemilik) didalam me-maksimalkan kemakmuran pemegang saham. Pemisahan kepemilikan dan pengendalian perusahaan disebut konflik keagenan (agency conflict).

Menurut Gitman (2009) agency problem adalah masalah yang timbul akibat tindakan manajer yang lebih mengutamakan pemenuhan tujuan pribadinya bila disbanding-kan dengan tujuan perusahaan. Masalah agensi dapat diatasi atau diminimalisasi dengan 2 cara yaitu: (1). Market Forces. Market forces meru-pakan pemegang saham yang memiliki saham mayoritas, seperti investor institusional. Inves-tor institusional mempunyai hak suara mayoritas, diyakini akan dapat mengatasi masalah agensi. Hal tersebut dilakukan dengan cara memberi tekanan kepada manajer untuk bekerja dengan lebih baik atau mengganti manajemen yang dianggap tidak dapat memenuhi kesejahteraan pemegang saham atau pemilik perusahaan. Hal lain yang dapat dilakukan adalah mengancam dengan mengatakan perusahaan lain akan melakukan takeover yang dapat merestruk-turisasi manajemen. Tujuannya adalah untuk memotivasi manajemen agar bertindak sesuai dengan kepentingan pemilik perusahaan. (2). Agency Cost. Agency cost merupakan biaya yang akan dikeluarkan untuk mengurangi agency problem sekaligus untuk pemenuhan kesejahteraan para pemegang saham. Biaya yang dikeluarkan antara lain, berasal dari biaya insentif yang akan diberikan kepada manajer untuk memaksimalkan harga saham. Selain itu, biaya keagenan juga timbul karena adanya pengawasan terhadap setiap tindakan manajer, dimana sistem pengawasan tersebut dikenal dengan corporate governance. Berdasarkan studi-studi yang dilakukan maka dapat dika-takan bahwa corporate governance memiliki peran untuk mengatasi masalah keagenan. Hal ini terbukti dari literature-literatur yang menya-takan bahwa dengan menggunakan sistem pengawasan (CG) akan dapat mencegah terja-dinya masalah keagenan.

(3)

10

AGENCY COST (BIAYA KEAGENAN)

Konflik kepentingan antara prinsipal dan agen mendasari adanya biaya keagenan. Teori keagenan mengatakan bahwa sulit untuk mempercayai bahwa manajemen (agen) akan selalu bertindak berdasarkan kepentingan pe-megang saham (prinsipal), sehingga diperlukan monitoring dari pemegang saham (Copeland dan Weston 1992). Konflik menciptakan masalah (agency cost) sehingga masing-masing pihak akan berusaha mengurangi agency cost ini. Selain terdapat konflik eksternal ada pula kon-flik internal di dalam diri agen maupun prinsipal sendiri (orang cenderung tidak konsisten).

Jensen dan Meckling (1976) menye-butkan ada tiga jenis biaya keagenan. Prinsipal dapat membatasi divergensi dari kepenting-annya dengan menetapkan insentif yang layak dan dengan mengeluarkan biaya monitoring (monitoring cost) yang dirancang untuk memba-tasi aktivitas-aktivitas yang menyimpang yang dilakukan oleh agen. Dalam beberapa situasi tertentu, agen memungkinkan untuk membelan-jakan sumber daya perusahaan (bonding cost) untuk menjamin bahwa agen tidak akan bertin-dak yang dapat merugikan prinsipal atau untuk meyakinkan bahwa prinsipal akan memberikan kompensasi jika dia benar-benar melakukan tindakan tersebut. Namun demikian, masih bisa terjadi divergensi antara keputusan-keputusan agen dengan keputusan-keputusan yang dapat memaksimalkan kesejahteraan agen. Nilai uang yang ekuivalen dengan pengurangan kesejah-teraan yang dialami oleh prinsipal juga merupa-kan biaya yang timbul dari hubungan keagen-an. Biaya sejenis ini disebut kerugian residual (residual loss). Jadi bisa disimpulkan bahwa terdapat tiga biaya keagenan yaitu (1) Monitoring expenditure by the principal adalah kos penga-wasan yang harus dikeluarkan oleh pemilik; (2) The bonding cost adalah kos yang harus luarkan akibat pemonitoran yang harus dike-luarkan prinsipal (pemilik) kepada agen; dan (3) The residual cost adalah pengorbanan akibat berkurangnya kemakmuran prinsipal (pemilik)

karena perbedaan keputusan antara prinsipal (pemilik) dan agen.

Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) salah satu keuntungan yang akan diperoleh perusahaan jika dapat menerapkan tata kelola perusahaan dengan baik (GCG), yaitu meminimalkan biaya keagensian (agency cost). Biaya yang ditim-bulkan dari pendelegasian wewenang kepada manajemen dari para pemegang saham dapat menimbulkan kerugian. Hal ini dikarenakan manajemen menggunakan kekayaan perusahaan untuk kepentingan pribadi. Selain itu, adanya pengawasan yang dilakukan akan mencegah manajemen untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan pemegang saham sehingga biaya ataupun kerugian akibat dari manajemen dapat berkurang

DEWAN DIREKSI DAN KOMISARIS

Dewan komisaris merupakan seke-lompok individual yang dipilih dengan tanggung jawab utama bertindak atas kepentingan pe-milik dengan secara formal memonitor dan mengendalikan eksekutif puncak perusahaan. Direksi bertanggung jawab penuh atas peru-sahaan. Direksi yang independen dapat me-ngurangi perbedaan tujuan antara manajemen dengan pemegang saham. Midiastuty dan Machfoed (2003) mengemukakan bahwa kepe-milikan institusional, kepekepe-milikan manajerial, dan jumlah dewan komisaris mampu mengu-rangi konflik kepentingan yang timbul dari hu-bungan keagenan antara manajemen dan pemegang saham.

Berdasarkan UU Nomor 40 tahun 2007 dewan komisaris adalah organ perusahaan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan ang-garan dasar serta memberi nasehat kepada direksi yang sesuai dengan pedoman umum dari tata kelola perusahaan yang baik di Indo-nesia. Tugas dari dewan komisaris ini adalah memastikan good corporate governance telah

(4)

11 dilaksanakan dengan baik dan sesuai dengan

pedoman serta aturan yang berlaku.

Berdasarkan FCGI, struktur dewan di Indonesia ada dua yaitu dewan pengawas atau dewan komisaris (Board of Commissioners) dan dewan direksi (Board of Directors). Pem-bentukan struktur dewan ini mengacu pada system hukum Indonesia yang berasal dari Belanda, sehingga dapat dikatakan bahwa struktur dewan Indonesia mengacu pada sis-tem two-tier. Sedangkan sissis-tem one-tier adalah sistem yang hanya memiliki satu dewan (Board of Directors) yang terdiri dari dua organ yaitu Chief Executive Officer (CEO) yang bertang-gung jawab untuk mengelola perusahaan dan Chairman yang merupakan direksi noneksekutif yang bertanggung jawab untuk mengawasi pelaksanaan kegiatan perusahaan. Undang – Undang (UU) Nomor 40 tahun 2007 dikatakan bahwa perusahaan merupakan entitas hukum yang terpisah dari direksi dan komisaris yang merepresentasikan perusahaan. Dewan direksi dan komisaris akan diangkat dan diberhentikan berdasarkan keputusan Rapat Umum Peme-gang Saham (RUPS) yang menjadikan baik direksi ataupun komisaris bertanggung jawab langsung kepada RUPS tersebut.

Para pemegang saham, dewan di-reksi, dan dewan komisaris merupakan organ perusahaan yang mempunyai peran penting terhadap penciptaan tata kelola perusahaan yang baik jika kewajibannya dapat dilakukan secara efektif dan benar. Berdasarkan Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007, RUPS atau para pemegang saham mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada dewan direksi dan komisaris dalam batas yang ditentukan (Pra-setyo 2009). RUPS merupakan wadah yang dapat digunakan oleh para pemegang saham untuk mengambil keputusan penting yang berkaitan dengan modal yang ditanam dalam perusahaan dengan memperhatikan ketentuan anggaran dasar dan peraturan perundang – undangan. Sedangkan dewan direksi dapat menentukan kebijakan – kebijakan yang akan diambil atau strategi perusahaan baik untuk

jangka pendek ataupun jangka panjang. Dalam menentukan strategi serta pengambilan ke-putusan tersebut direksi tidak boleh memiliki conflict of interest. Selain itu, dalam menentu-kan kebijamenentu-kan dewan direksi juga harus mem-perhatikan kepentingan perusahaan dengan pemegang saham secara seimbang.

Pembentukan dewan komisaris ber-fungsi untuk mengawasi dan memonitor pihak manajemen agar bekerja sesuai dengan aturan-nya. Dewan komisaris merupakan pihak yang mewakili para pemegang saham dalam meng-awasi dewan direksi dalam bekerja. Dewan direksi merupakan bagian dari corporate governance yang bertanggung jawab atas kegi-atan operasional perusahaan dengan melakukan tindakan - tindakan yang tidak akan merugikan pemegang saham. Berdasarkan IICG (2004) peran dari dewan komisaris dalam penciptaan tata kelola perusahaan yang baik adalah seba-gai organ yang menjalankan fungsi supervisi terhadap direksi dalam perusahaan yang ter-cermin dari sIstem rekruitmen dan seleksi, pe-mantauan kinerja, dan balas jasa. Sedangkan peran dewan direksi adalah sebagai organ yang menjalankan fungsi pengelolaan perusa-haan dengan tujuan menciptakan nilai tambah bagi pemegang saham dan pihak – pihak lain yang berkepentingan.

Disamping itu fungsi dari dewan komisaris adalah bertanggung jawab untuk menetapkan tujuan dan sasaran perusahaan, melakukan pengembangan kebijakan secara luas dan memilih orang–orang tingkat atas untuk melaksanakan sasaran serta kebijakan tersebut dan mengawasi kinerja manajemen untuk memastikan bahwa perusahaan diope-rasikan dengan baik. Fungsi dari dewan komi-saris ini lebih di fokuskan kepada pengawasan terhadap kerja direksi dan manajemen perusa-haan sehingga dapat memenuhi kepentingan para pemegang saham (Prasetyo 2009). Fama (1980) menyatakan bahwa dewan direksi merupakan mekanisme internal utama yang memonitor manajer. Tiga karakteristik yang mempengaruhi monitoring adalah ukuran dewan

(5)

12

direksi, komposisi dewan direksi dan struktur kepemimpinan direksi (Jensen 1983). Menurut Yenmack (1996) ukuran dewan direksi yang besar akan mengganggu kepentingan peme-gang saham. Dewan direksi yang besar akan mengurangi efisiensi pemanfaatan aktiva.

Keberadaan komisaris independen diatur dalam ketentuan Peraturan Pencatatan Efek Jakarta (BEI) no.1-A tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas di Bursa yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 2000. Menurut Alijoyo dan Zaini (2004), untuk me-mantapkan efektivitas komisaris independen maka komposisi komisaris independen paling sedikit sebesar 30% dari jumlah seluruh komi-saris atau paling sedikit 1 (satu) orang. Bebe-rapa kriteria formal yang harus dipenuhi oleh komisaris independen antara lain mampu melakukan perbuatan hokum, tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota direksi atau dewan komisaris yang bersalah menye-babkan perusahaan keuangan Negara, tidak pernah dipidana karena merugikan keuangan negara, tidak mempunyai hubungan afiliasi de-ngan pemegang saham pengendali perusahaan yang bersangkutan, tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan direktur dan/atau komisaris lainnya pada perusahaan yang bersangkutan, tidak bekerja rangkap sebagai direktur di peru-sahaan lainnya yang terafiliasi dengan perusa-haan yang bersangkutan, tidak menduduki jabatan eksekutif atau mempunyai hubungan bisnis dengan perusahaan yang bersangkutan dan perusahaan-perusahaan lainnya yang terafiliasi dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun terakhir, tidak menjadi partner atau prinsipal di perusahaan konsultan yang memberikan jasa pelayanan profesional pada perusahaan dan perusahaan lainnya yang terafiliasi, tidak men-jadi pemasok atau pelanggan signifikan pada perusahaan atau menduduki jabatan eksekutif dan dewan komisaris pemasok dan pelanggan signifikan dari perusahaan yang bersangkutan atau perusahaan lainnya yang terafiliasi, bebas dari segala kepentingan dan kegiatan bisnis atau hubungan yang lain yang dapat

diinter-pretasikan akan menghalangi atau mengurangi kemampuan komisaris independen untuk ber-tindak dan berpikir independen demi kepentingan perusahaan, dan memahami peraturan per-undang-undangan PT, perper-undang-undangan pasar modal, dan undang-undang serta pera-turan-peraturan lain yang terkait.

Beberapa studi/ penelitian mempunyai argumen yang berbeda, jumlah dewan direksi yang besar kurang efektif dalam memonitor manajemen. Yenmack (1996) dan Eisenberg et al. (1998) yang menyatakan bahwa jumlah dewan direksi yang kecil meningkatkan kinerja perusahaan. Komposisi dewan direksi telah sering digunakan untuk mengkarakteristikkan keberadaan kolusi dan dominasi dari direksi. Lalu menurut Hermalin dan Weisbach (1988) menyatakan bahwa outsider director selain lebih efektif dalam memonitor manajemen juga merupakan sarana untuk mendisiplinkan para manajer. Ukuran dan komposisi dewan direksi dapat mempengaruhi efektif tidaknya aktivitas monitoring. Ukuran dan komposisi dewan direksi juga mempengaruhi hubungan kepemi-likan manajerial dan kepemikepemi-likan institusional terhadap kinerja perusahaan. Sehingga pening-katan ukuran dan diversitas dari dewan direksi akan memberikan manfaat bagi perusahaan karena terciptanya network dengan pihak luar perusahaan dan menjamin ketersediaan sum-berdaya.

Yenmack (1996) menyatakan bahwa ukuran dewan direksi yang kecil secara positif dan signifikan mempengaruhi efisiensi peman-faatan aktiva namun tidak mempunyai penga-ruh yang signifikan terhadap pengurangan biaya keagenan yang diukur dengan beban operasi. Semakin besar ukuran dewan direksi semakin besar beban diskresi manajerial yang terjadi. Dengan demikian ukuran dewan direksi tidak menunjukkan pengurangan biaya kea-genan.

Menurut Midiastuty dan Machfoed (2003) yang menyatakan bahwa jumlah dewan komisaris mampu mengurangi konflik kepen-tingan yang timbul dari hubungan antara

(6)

ma-13 najemen dan pemegang saham. Komisaris

independen bertanggung jawab dan mempunyai kewenangan untuk mengawasi kebijakan-kebi-jakan yang dilakukan direksi dan memberikan nasihat bilamana diperlukan. Dewan komisaris independen dapat mengurangi perbedaan tujuan antara manajemen dengan pemegang saham dalam hal memaksimalkan nilai perusa-haan dengan mengawasi keputusan-keputusan manajerial yang utama. Meskipun bukti empiris masih menunjukkan hasil yang masih berbeda tentang ukuran dan komposisi dewan direksi terhadap kinerja perusahaan, namun yang perlu ditekankan bahwa outsider director dapat memberikan kontribusi terhadap nilai perusa-haan melalui aktivitas evaluasi dan keputusan strategik. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa ukuran dan komposisi dewan direksi secara signifikan berpengaruh terhadap kinerja dengan adanya penurunan biaya keagenan.

KEPEMILIKAN MANAJERIAL DAN INSTITU-SIONAL

Besar kecil jumlah kepemilikan saham manajerial dalam perusahaan dapat mengin-dikasikan adanya kesamaan (congruence) ke-pentingan antara manajemen dengan pemegang saham (Faisal 2005). Dengan adanya kepe-milikan saham manajerial yang besar dalam perusahaan, maka akan mendorong manajemen untuk ikut merasa memiliki perusahaan sehingga setiap keputusan yang mereka ambil sehu-bungan dengan perusahaan akan berdampak langsung pada mereka.

Kepemilikan saham manajerial dapat membantu penyatuan kepentingan antara peme-gang saham dengan manajer, semakin mening-kat proporsi kepemilikan saham manajerial maka semakin baik kinerja perusahaan. (Jensen, 1983). Kepemilikan manajerial mempunyai pengaruh yang berbeda pada perusahaan kecil dengan perusahaan besar. Dengan demikian penting untuk menentukan apakah kepemilikan manajerial mempengaruhi biaya keagenan pada berbagai ukuran perusahaan.

Perusahaan dengan jumlah kepemi-likan saham yang besar seharusnya mempunyai konflik keagenan yang rendah dan biaya kea-genan yang rendah pula. Konflik keakea-genan yang rendah dapat direfleksikan dari tingginya tingkat perputaran aktiva perusahaan dan rendahnya beban operasi terhadap penjualan. Biaya keagenan diukur dengan tingkat perpu-taran aktiva yang mengukur kemampuan mana-jer untuk menggunakan aktiva secara efisien. Tingkat perputaran aktiva yang tinggi menun-jukkan jumlah penjualan dan kas yang diha-silkan dari penggunaan aktiva tersebut tinggi. Sebaliknya, tingkat perputaran aktiva yang rendah mengindikasikan bahwa manajer lebih banyak menggunakan aktiva tersebut untuk aktivitas yang tidak menghasilkan aliran kas. Tingkat perputaran yang tinggi merupakan in-dikasi bahwa manajer melakukan praktek yang efisien dalam manajemen aktiva dengan de-mikian akan meningkatkan nilai perusahaan. Rasio beban operasi terhadap penjualan ren-dah menunjukkan bahwa manajer lebih banyak menggunakan aktiva untuk kegiatan yang tidak produktif (Faisal 2005).

Kepemilikan manajerial mempengaruhi masalah keagenan dimana menurut Rozeff (1982) menyatakan bahwa kepemilikan dan kebijakan deviden digunakan sebagai substitusi untuk mengurangi masalah keagenan. Kepemi-likan manajerial yang tinggi menyebabkan de-viden yang dibayarkan ke pemegang saham rendah. Penetapan deviden yang rendah dise-babkan manajer memiliki harapan-harapan investasi di masa mendatang yang dibiayai dari sumber internal. Sehingga apabila sebagian pemegang saham menyukai dividen tinggi maka menimbulkan perbedaan kepentingan antara pemegang saham dengan manajer. Lalu menu-rut Bathala et al. (1994) menyimpulkan bahwa level kepemilikan manajerial yang lebih tinggi dapat digunakan untuk mengurangi masalah keagenan. Hal tersebut didasarkan pada logika bahwa peningkatan proporsi saham yang dimi-liki manajer akan menurunkan kecenderungan manajer untuk melakukan tindakan

(7)

mengkon-14

sumsi perquisites yang berlebihan, dengan demikian akan menyatukan kepentingan antara manajer dengan pemegang saham.

Morck et al. (1988) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kepemilikan manajerial dengan nilai perusa-haan (Tobin’s Q) pada level antara 0% - 5%, dan berhubungan negatif pada level 5% - 25%. Ia mengatakan bahwa pemusatan kepentingan akan terus terjadi ketika level kepemilikan ma-najerial lebih kecil dari 5% dan lebih besar dari 25%. Pada saat level kepemilikan manajerial lebih besar dari 5% - 25% manfaat privat yang diperoleh manajer (agen) melebihi kos yang dikeluarkan akibat kerugian dari keputusan-keputusan yang tidak memaksimalkan nilai perusahaan.

Kepemilikan institusional dalam peru-sahaan bertindak sebagai pihak yang memonitor perusahaan. Semakin besar kepemilikan insti-tusional maka semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan. Sehingga kepemilikan insti-tusional bertindak sebagai pencegahan terhadap pemborosan yan dilakukan oleh manajemen (Faisal 2005). Persentase kepemilikan institu-sional dalam suatu perusahaan mendorong manajer untuk memfokuskan pada tujuan jangka panjang daripada jangka pendek, sehingga pada akhirnya akan dapat mengurangi konflik antara prinsipal dan agen (mengurangi masalah keagenan).

Fungsi kepemilikan institusional mem-punyai peran yang sama dengan dewan direksi. Semakin besar kepemilikan saham institusional dan dewan direksi mengindikasikan semakin besar insentif dan kapabilitas mereka untuk memonitor manajemen dari tindakan pembo-rosan. Berdasarkan uraian diatas maka dieks-pektasikan hubungan antara ukuran dewan direksi dengan efisiensi pemanfaatan aktiva adalah positif dan berhubungan negatif dengan biaya keagenan yang diproksikan dengan beban operasi (selling and general administrative) (Faisal, 2005).

Beberapa penelitian memberikan buk-ti empiris bahwa terdapat peningkatan turnover

manajemen dan gains akibat pembelian saham oleh pihak luar dan menyatakan bahwa kinerja keuangan perusahaan mengikuti pembelian saham oleh outside block ownership. Cai et.al. (2001) menemukan hubungan yang berlawanan antara kinerja saham dengan kepemilikan saham institusional. Perusahaan dengan kepemilikan institusional yang besar (lebih dari 5%) meng-indikasikan kemampuannya untuk memonitor manajemen. Semakin besar kepemilikan insti-tusional maka semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan. Dengan demikian proporsi kepemilikan institusional bertindak sebagai pen-cegahan terhadap pemborosan yang dilakukan manajemen (Faisal 2005).

DEBT TO EQUITY RATIO

Rasio utang atau debt ratio adalah rasio keuangan yang ingin mengetahui proporsi dari total aset yang dibiayai oleh para kreditor (Gitman 2009). Dari rasio utang ini maka dapat diketahui seberapa besar jumlah uang atau modal dari kreditor yang digunakan untuk mem-peroleh keuntungan atau profit perusahaan. Semakin besar nilai dari rasio ini maka peng-gunaan atas utang semakin tinggi. Pengelolaan rasio utang yang baik akan memberikan manfaat kepada perusahaan. Besarnya penggunakan utang belum mengindikasikan hal tersebut tidak baik bagi perusahaan. Hal ini dikarenakan tujuan dari penggunaan utang adalah untuk investasi. Jika investasi yang dilakukan berhasil maka dapat dikatakan pengelolaan atas utang telah baik karena memberikan dampak yang positif bagi perusahaan. Ketika salah satu in-vestasi yang dilakukan oleh perusahaan adalah untuk biaya pengawasan maka akan dapat menghasilkan corporate governance perusaha-an yperusaha-ang baik. Dari pernyataperusaha-an tersebut maka dapat dikatakan bahwa rasio utang memiliki pengaruh positif terhadap CG perusahaan.

Jensen (1986) menyatakan hutang perusahaan merupakan salah satu mekanisme untuk menyatukan kepentingan manajer de-ngan pemegang saham. Hutang memberikan

(8)

15 sinyal tentang status kondisi keuangan

peru-sahaan untuk memenuhi kewajibannya. Hasil dari penelitian Faisal (2005) menunjukkan bahwa leverage berhubungan negatif dengan biaya keagenan namun tidak signifikan. Hal ini menunjukkan leverage yang tinggi dapat mem-pengaruhi efisiensi penggunaan aktiva.

Hasil tersebut Fuad (2006) yang telah membuktikan bahwa hutang dapat menurunkan biaya keagenan. Hutang memberikan sinyal tentang status kondisi keuangan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya. Menurut Jensen (1986), hutang perusahaan merupakan salah satu mekanisme untuk menyatukan kepenting-an mkepenting-anajer dengkepenting-an pemegkepenting-ang saham. Hasil dari penelitian Faisal (2005) menunjukkan bahwa leverage berhubungan negatif dengan biaya keagenan namun tidak signifikan. Hal ini menunjukkan leverage yang tinggi dapat mem-pengaruhi efisiensi penggunaan aktiva.

PENUTUP

Konflik kepentingan antara agen dan prinsipal memicu terjadinya biaya keagenan dan masing-masing pihak akan berusaha meng-urangi biaya tersebut. Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari penjelasan diatas adalah pe-ngawasan yang dilakukan oleh dewan komisaris dan direksi akan mencegah manajemen untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan pemegang saham sehingga biaya/ kerugian akibat dari manajemen dapat berkurang. Selain itu kepemilikan manajerial dan hutang dapat berfungsi sebagai penyatu kepentingan antara pemegang saham dengan manajer. Serta ke-pemilikan institusional akan mengindikasikan insentif dan kapabilitas mereka untuk memonitor manajemen dari tindakan pemborosan.

REFERENSI

Alijoyo, Antonius dan Subarto Zaini. 2004. Komisaris Independen, Penggerak Praktik GCG di Perusahaan. Penerbit PT Indeks. Jakarta.

Bathala, C.T. Moon, K.P. dan Rao. 1994. Managerial Ownership, Debt Policy, and The Impact of Institutional Holdings: An Agency Perspective Financial Management, Vol 23, No 3, P38-50.

Copeland T.E dan J.F Weston. 1992. Financial Theory and Corporate Policy. Third Edition. Wesley Publishing Company

Eisenhardt, K.M. 1989. Agency Theory: An Assessment and Review. Academy of Management Review. Vol. 14, no. 1, pp. 57-74.

Eisenberg, T.; S. Sundgren; and M. Wells. 1998. Larger Board Size and Decreasing Firm Value in Small Firms.

Journal of Financial Economics 48: 35–54.

Faisal. 2005. Analisis Agency Cost, Struktur Kepemilikan dan Mekanisme Corporate Governance. Jurnal Riset

Akuntansi Indonesia. Jakarta. pp. 175-190.

Fama, E. 1980. Agency Problem and the Theory of the Firm. Journal of Political Economy 88: 288-308

Fuad. 2006. Simultanitas dan Trade off Pengambilan Keputusan Finansial dalam Mengurangi Konflik Agensi: Pe`ran dari Corporate Ownership. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol 9 No 3 September. pp. 327 – 345.

Gitman L.J. 2009. Principles of Managerial Finance. 12th edition. Prentice Hall.

Hermalin, B. and M. S. Weisbach. 1988. The Determinants of Board Composition. Rand Journal of Economics 19, pp.589-606.

Jensen, M. dan W. Meckling, 1976. Theory of The Firm: Managerial Behavior, Agency and Ownership Structure.

Journal of Financial Economics.

Jensen, MC. 1983.Organization Theory and Methodology’. Accounting Review. vol. 58, no. 2, pp. 319-39. Jensen, M.C. 1986. Agency Cost of Free Cash Flow, Corporate Finance, and Takeovers. American Economics

(9)

16

Mahadwartha, P.A. 2003. Proporsi Teori Keagenan dan Teori Equity pada kebijakan Kompensasi. Manajemen

Usahawan Indonesia, Vol 32 no 11.

Midiastuty, P. Puspa dan Mas’ud Machfoedz. 2003. Analisis Hubungan Mekanisme Corporate Governance dan Indikasi manajemen Laba. Simposium Nasional Akuntansi VI. pp. 176 – 186, Surabaya.

Morck, R., A. Shleifer, and R. Vishny. 1988. Management ownership and market valuation. Journal of Financial

Economics, 20, 293-315.

Prasetyo, Arief. 2009. Corporate Governance, Kebijakan Dividen dan Nilai Perusahaan. Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti.

Rozeff, M.S. 1982. Growth, beta and agency costs as determinants of dividend-payout ratios.Journal of Financial

Research, 249-259

Yermack, D. 1996. Higher market valuation of companies with a small board of directors. Journal of Financial

Referensi

Dokumen terkait

Intan Suar Kartika merupakan perusahaan swasta nasional yang bergerak dalam industri yang memproduksi bahan bangunan yaitu paku dan kawat.. Intan Suar Kartika

Dalam kondisi tertentu, Alat Kesehatan wajib diuji dan/atau dikalibrasi sebelum jangka waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1).. Kondisi tertentu

Proses anodizing dengan rapat arus yang semakin besar ternyata juga memberikan hasil memiliki kecenderungan yang sama, yaitu semakin besar rapat arus yang

Dari talang,air kita salurkan kesumur resapan dengan menggunakan pipa (biasanya menggunakan pipa paralon).Sedangkan air hujan yang turun selain diarea genteng atap rumah, dapat

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa : (1) terdapat pengaruh yang signifikan antara sikap masyarakat terhadap partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan siskamling di

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (4) Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 13 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah,

Keadaan ini dapat terjadi karena dosis yang diberikan memang besar, atau karena adanya perbedaan respons kinetik atau dinamik pada kelompok-kelompok tertentu, misalnya pada

Dihubungkan dengan perilaku disiplin maka tujuan layanan bimbingan dan konseling sesuai dengan pengertian disiplin seperti yang telah dijelaskan oleh Rachman, disiplin adalah