• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PENETAPAN UPAH MINIMUM PROVINSI SUMATERA BARAT DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV PENETAPAN UPAH MINIMUM PROVINSI SUMATERA BARAT DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

PENETAPAN UPAH MINIMUM PROVINSI SUMATERA BARAT DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

4.1. Latar Belakang Penetapan Upah Minimum Provinsi Sumatera Barat

Penetapan Upah Minimum Provinsi Sumatera Barat berdasarkan Peraturan Pemerintah No 78 tahun 2015 yang dipakai untuk mengatur penetapan upah minimum provinsi Sumatera Barat telah di pakai 2 tahun belakangan yaitu sejak penetapan UMP 2016 dan UMP 2017 sebagai jaring pengaman, termasuk di Sumatera Barat (PP No 78, 2015).PP ini menegaskan, bahwa upah minimum sebagaimana dimaksud hanya berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 tahun pada perusahaan yang bersangkutan.Sementara upah bagi pekerja/buruh dengan masa kerja 1 tahun atau lebih dirundingkan secara bipartit antara pekerja/buruh dengan pengusaha di perusahaan yang bersangkutan.

Sumatera barat merupakan salah satu provinsi yang mempunyai tingkat perekonomian yang berkembang.Apalagi orang-orang disumatera barat dikenal dengan pandai berdagang dan berusaha. Dalam data badan pusat statistik Sumatera Barat tahun 2014 struktur ekonomi lapangan usaha Sumatera Barat masih di dominasi oleh lapangan usaha Pertanian, Kehutanan dan perikanan. Hal ini terlihat dari besarnya peranan lapangan usaha ini terhadap pertumbuhan PDRB Sumatera Barat, kemudian diikuti lapangan usaha perdagangan besar dan eceran seperti reparasi mobil dan motor, lapangan usaha transportasi pergudangan, lapangan usaha industry pengolahan, dan lapangan usaha pengadaan air, pengelolaan sampah,

(2)

limbah dan daur ulang. Sementara lapangan usaha lainnya di bawah 8%.

Dengan adanya banyak lapangan usaha ini tentu pemerintah harus memberikan perhatian khusus salah satunya kepada kesejahteraan buruh yang merupakan salah satu faktor penggerak perekonomian di Sumatera Barat.Yaitu dengan memperhatian penetapan Upah Minimum di Provinsi Sumatera Barat.

Penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud dilakukan setiap tahun berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.Kebutuhan hidup layak merupakan standar kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik untuk kebutuhan 1 bulan, yang terdiri atas beberapa komponen jenis kebutuhan hidup (Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2012).

Untuk di Sumatera Barat Komponen sebagaimana dimaksud dan jenis kebutuhan hidup sebagaimana dimaksud ditinjau dalam jangka waktu 5 tahun. Peninjauan komponen dan jenis kebutuhan hidup dilakukan oleh Menteri Tenaga Kerja, dengan mempertimbangkan hasil kajian yang dilaksanakan oleh Dewan Pengupahan Nasional, yang menggunakan data dan informasi yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik di Sumatera Barat.

Penetapan upah minimum dihitung dengan menggunakan formula perhitungan upah minimum, yaitu: UMn = UMt + {UMt x (Inflasit + % ∆ PDBt)}. Gubernur Sumatera Barat wajib menetapkan upah minimum provinsi, yang dihitung berdasarkan formula perhitungan upah minimum sebagaimana dimaksud.Dalam hal telah dilakukan peninjauan kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud, gubernur menetapkan upah minimum Provinsi Sumatera Barat dengan memperhatikan rekomendasi dewan pengupahan Provinsi di Sumatera Barat.

(3)

Adapun hasil dari formula perhitungan yang dipakai adalah: UMn = UMt + {UMt x (Inflasit + % ∆ PDBt)}

UMP Tahun 2017 = Rp.1.800.725 + (Rp1.800.725 x (3,07% + 5,18%)

Rp.1.800.725 + (Rp1.800.725 x 8,25%) Rp.1.800.725 + Rp.148.559,81

= Rp.1.949.284,81

Rekomendasi dewan pengupahan provinsi Sumatera Barat sebagaimana dimaksud didasarkan pada hasil peninjauan kebutuhan hidup layak yang komponen dan jenisnya ditetapkan oleh Menteri dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat.Gubernur Sumatera Barat dapat menetapkan upah minimum Kabupaten/Kota yang ada di Sumbar, yang nilainya harus lebih besar dari tahun sebelumnya jika inflasi lebih tinggi pada tahun inidenganmempertimbangkan hasil kajian yang dilaksanakan oleh Dewan PengupahanNasional, yang menggunakan data dan informasi yang bersumber dari lembaga statistik Provinsi Sumatera Barat. (Nota Dinas Usulan Penetapan Upah Minimum Provinsi Sumater Barat, 2017)

Gubernur Sumbar dapat menetapkan upah minimum sektoral provinsi dan/atau kabupaten/kota yang ada di Sumbar berdasarkan hasil kesepakatan asosiasi pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh pada sektor yang bersangkutan.Penetapan upah minimum sektoral sebagaimana dimaksud ini dilakukan setelah mendapat saran dan pertimbangan mengenai sektor unggulan dari dewan pengupahan provinsi Sumbar atau dewan pengupahan kabupaten/kota di Sumbar sesuai dengan tugas dan kewenangannya.Selain itu, upah minimum

(4)

sektoral juga harus lebih besar dari upah minimum kabupaten/kota di kabupaten/kota yang ada di Sumbar (Agusmindah, 2012:17).

Gubernur wajib menetapkan Upah minimumprovinsi, yang dihitung berdasarkan formula perhitungan Upah minimum. Dalam hal tersebut harus dilakukan dengan peninjauan kebutuhan hiduplayak sebagaimana dimaksud, gubernur menetapkan Upah minimum provinsidengan memperhatikan rekomendasi dewan pengupahan provinsi. Rekomendasidewan pengupahan provinsi sebagaimana dimaksud didasarkan pada hasilpeninjauan kebutuhan hidup layak yang komponen dan jenisnya ditetapkan olehMenteri dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi di Sumatera Barat.

Adapun isi rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi Sumatera Barat No. 01/Rek/Deppeprov/2016 yaitu mengenai hasil pertemuan pada tanggal 27 oktober 2016 telah menyepakati hal-hal sebagai berikut:

1. Penetapan Upah Minimum Provinsi Sumatera Barat Tahub 2017 mengacu pada pasal 44 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 20115 tentang pengupahan

2. Besaran Upah Minimum Provinsi Tahun 2016 dengan mempedomani Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 562-777-2015, tanggal 30 oktober 2015, tentang Upah Minimum Provinsi Sumatra Barat Tahun 2016 sebesar Rp.1.800.725,00 Surat Kementrerian Ketenaga kerjaan Nomor B.175/MEN/PHIJSK/UPAH/X/2016, tanggal 17 Oktober 2016, perihal penyampain Data Tingkat 2016, dengan Inflasi Tingkat Nasional sebesar 3,07 % dan PBD sebesar 5,18 %

3. Berdasarkan hal tersebut pada point 2, maka dewan Pengupahan Provinsi mengusulkan pada Gubernur Sumatra Barat, Upah Minimum Provinsi (UMP) Tahun 2017 sebesar Rp. 1.949.284,81

(5)

(Satu juta Sembilan ratus empat puluh Sembilan ribu dua ratus delapan puluh empat koma delapan puluh satu rupiah atau bulan).

4. Perusahaan yang telah memberikan upah lebih tinggi dari ketetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) Sumatera Barat Tahun 2017, dilarang mengurangi atau menurunkan upahnya

5. Pengaturan Kenaikan upah pekerja yang sudah di atas Upah Minimum Provinsi (UMP)NTahun 2017 sesuai ketetapan Gubernur, agar dimusyawarahkan secara Bipartit anatara pekerja dan pengusaha dimasing-masing perusahaan;

6. Hasil musyawarah yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada point 4 diatas agar dibuat secara tertulis dan dilaporkan ke Dinas Kantor yang menangani masalah ketenagakerjaan di Kabupaten kota setempat dengan tembusan ke dinas Tenaga kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatra Barat;

7. Tunjangan kesejahteraan yang selama ini diberikan kepada karyawaan selanjutnya harus tetap diberikan;

8. Bagi perusahaan yang tidak atau belum melaksanakan Ketetapan Gubernur tenteng besarnya Upah Minimum Provinsi (UMP) Sumatera Barat Tahun 2017 dapat mengajukan penagguhan sesuai peraturan yang berlaku;

9. Upah Minimum Provinsi (UMP) Sumatera Barat Tahun2017 mulai berlaku 01 Januari 2017, agar semua perusahaan dalam mengatur pengupahannya menyesuaikan dengan ketentuan ini (Rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi Sumbar, 2016)

4.2. Penetapan Upah Minimum Provinsi Sumatera Barat ditinjau dari perspektif hukum islam

Dalam islam sendiri sebenarnya tidak ada ketentuan baku tentang bagaimana menetapkan suatu tingakat upah. Namun islam

(6)

sangat menekankan tentang prinsip keadilan dalam suatu hal. Contohnya pada suatu penetapan upah, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa konsep adil pada hakikatnya telah ada dan digunakan sejak awal kehadiran islam. Alquran sendiri sangat menekankan keadilan dalam setiap aspek kehidupan umat manusia.Oleh karena itu adalah hal yang wajar jika keadilan juga diwujudkan dalam aktifitas pasar khususnya pada upah.

Dalam penetapan upah di Provinsi Sumatera Barat, diketahui bahwa penetapan tersebut tidak terlepas pada hukum pasar yang implementasinya akan berpengaruh pada harga pasar. Dalam hal ini juga islam telah mengatur konsep harga adil yang prospeknya nanti untuk menentukan suatu upah yang adil di Provinsi Sumatera Barat.

Istilah harga yang adil telah disebutkan dalam beberapa hadis nabi dalam konteks kompensasi seorang pemilik, misalnya dalam kasus seorang majikan yang memebebaskan budaknya.Dalam hal ini budak tersebut menjadi manusia yang merdeka dan pemiliknya memperoleh sebuah kompensasi dengan harga yang adil (qimah al adl). Istilah yang sama juga pernah digunakan oleh dua orang sahabat nabi, yakni Umar bin Khattab ketika menetapkan nilai baru untuk diyat setelah daya beli dirham mengalami penurunan yang mengakibatkan kenaikan harga (Karim, 2012:353).

Para fuqaha yang telah menyusun berbagai aturan transaksi bisnis juga mempergunakan konsep harga yang adil dalam kasus penjualan barang-barang cacat, penjualan yang terlalu mahal, penjualan barang-barang hasil timbunan, dan sebagainya. Secara umum, para fuqaha ini berfikir bahwa harga yang adil adalah harga yang di bayar untuk objek yang serupa. Oleh karena itu, mereka lebih mengenalnya sebagai harga yang setara (tsaman al-mitsil).

Sekalipun penggunaan istilah tersebut sudah ada sejak awal kehadiran islam, Ibnu Taimiyah tampaknya merupakan orang yang

(7)

pertama kali menaruh perhatian khusus terhadap permasalahan harga yang adil. Dalam membahas persoalan yang berkaitan dengan harga, ia seringkali menggunakan dua istilah yakni kompensasi yang setara (‘iwadh al mitsil) dan harga yang setara (tsaman al-mitsil). Ia menyatakan:Kompensasi yang setara akan di ukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara dan inilah esensi keadilan (nafs al-‘adl)(Karim, 2012:355).

Di tempat yang lain, ia membedakan antara dua jenis harga akni harga yang tidak adil dan dilarang serta harga yang adil dan disukai. Ibnu Taimiyah menganggap yang setara sebagai harga yang adil. Oleh karena itu, ia menggunakan kedua istilah ini secra bergantian.

Konsep Ibnu Taimiyah mengenai kompensasi yang setara (‘iwadh mitsil) tidak sama dengan harga yang adil (tsaman

mitsil). Persoalan tentang kompensasi yang adil atau setara (‘iwadh al-mitsil) muncul ketika mengupas persoalan kewajiban moral dan

hukum. Menurutnya, prinsip-prinsip ini tergantung dalam beberapa kasus berikut:

a) Ketika seseorang harus bertanggung jawab karena membahayakan orang lain atau merusak harta atau keuntungan. b) Ketika seseorang mempunyai kewajiban untuk membayar

kemabali sejumlah barang atau keuntungan yang setara atau membayar ganti rugi terhadap luka-luka sebagian orang lain. c) Ketika seseorang diminta untuk menentukan akad yang rusak

(al-‘uqud al-fasidah) dan akad yang shahih (al-‘uqud al-ashihah) dalam suatu peristiwa yang menyimpang dalam kehidupan dan hak milik.

Prinsip umum yang sama berlaku pada pembayaran iuran, kompensasi dan kewajiban finansial lainnya. Misalnya:

a) Hadiah yang diberikan gubernur oleh orang-orang Muslim, anak yatim dan wakaf.

(8)

b) Kompensasi oleh agen bisnis yang menjadi wakil untuk melakukan pembayaran kompensasi

c) Pemberian upah oleh atau kepada rekanan bisnis

(al-musyawarik wa al-mudharib) (Chamid, 2010:230).

Dalam mendefinisikan kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsil), Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kesetaraan adalah jumlah yang sama dari objek khusus dimaksud dalam pemakaian yang umum (urf). Hal ini juga terkait dengan tingkat harga (si’r) dan kebiasaan (‘adah). Lebih jauh ia mengemukakan bahwa evaluasi yang benar terhadap kompensasi yang adil didasarkan atas analogi dan taksiran dari barang tersebut dengan barang lain yang setara.

Berkaitan dengan bentuk kerja dalam akad Ijarah yang mentransaksikan seorang pekerja atau buruh, maka harus terpenuhi beberapa persyaratan seperti yang diungkapkan Ghufron A. Mas’adi Pertama, perbuatan tersebut harus jelas batas waktu pekerjaan, misalnya bekerja menjaga rumah satu malam, atau satu bulan. Dan harus jelas jenis pekerjaannya, misalnya pekerjaan menjahit baju, memasak, mencuci dan lain sebagainya. Dalam hal yang disebutkan terakhir ini tidak disyaratkan adanya batas waktu pengerjaannya. Pendek kata, dalam hal ijarah pekerjaan, diperlukan adanya job discription (uraian pekerjaan). Tidak dibenarkan mengupah seorang dalam periode waktu tertentu dengan ketidakjelasan pekerjaan. Sebab ini cenderung menimbulkan tindakan kesewenangan yang memberatkan pihak pekerja. Seperti yang dialami oleh pembantu rumah tangga dan pekerja harian. Pekerja yang harus mereka laksanakan bersifat tidak jelas dan tidak terbatas. Seringkali mereka harus mengerjakan apa saja yang diperintahkan bos atau juragan. Kedua, pekerjaan yang menjadi obyek ijarah tidak berupa pekerjaan yang telah menjadi kewajiban

(9)

pihak musta’jir (pekerja) sebelum berlangsung akad ijarah, seperti kewajiban membayar hutang, mengembalikan pinjaman, menyusui anak dan lain-lain. (Masadi, 2002:56)

Tampaknya, konsep kompensasi yang adil tersebut merupakan sebuah pedoman bagi masyarakat yang adil dan para hakim.Perlu dicatat, tujuan dari harga yang adil adalah juga untuk memberikan panduan bagi para penguasa dalam mengembangkan kehidupan ekonomi di Sumatera Barat.

Ibnu Taimiyah membedakan antara legal-etik dengan aspek ekonomi dari suatu harga yang adil.Ia menggunakan istilah kompensasi yang setara ketika menelaah dari sisi legal etik dan harga yang setara ketika meninjau dari aspek ekonomi. Ia menyatakan, “seringkali terjadi ambiguitas di kalangan para fuqaha dan mereka saling berdebat tentang karakteristik dari suatu harga yang setara, terutama yang berkaitan dengan jenis (jins) dan kuantitas (miqdar).”

Karena merupakan sebuah konsep hukum dan moral, konsep kompensasi yang setara berdasarkan aturan hukum yang minimal harus dipenuhi dan aturan moral yang sangat tinggi. mengkompensasikan suatu barang dengan yang lain yang setara merupakan keadilan yang wajib (‘adl wajib) dan apabila pembayaran yang dilakukan secra sukarela itu dinaikkan, hal tersebut adalah jauh lebih baik dan merupakan perbuatan baik yang diharapkan (ihsan mustahab). Namun jika menurangi kompensasi tersebut, maka hal tersebut adalah kedzaliman yang diharamkan (zhulm muharram). Begitu pula halnya menukar barang yang setara merupakan keadilan yang diperbolehkan (‘adl jaiz).Meningkatkan kerusakannya justru melanggar hukum (muharram) dan menguranginya merupakan perbuatan baik yang diharapkan (ihsan mustahab).”

(10)

Tentang perbedaan antara kompensasi yang setara dengan harga yang adil, ia menjelaskan,“jumlah yang tertera dalam suatu aka dada dua macam. Pertama jumlah yang telah dikenal dengan baik di kalangan masyarakat.Jenis ini telah dapat diterima secara umum.Kedua, jenis yang tidak lazim sevagai akibat dari adanya peningkatan atau penurunan kemauan (rugbah) atau faktor lainnya.Hal ini dinyaakan sebagai harta yang setara.”

Kompensasi yang setara itu relative merupakan sebuah fenomena yang dapat bertahan lama akibat terbentuknya kebiasaan, sedangkan harga yang setara itu bervariasi, ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran serta dipengaruhi oleh kebutuhan dan keinginan masyarakat.

Berbeda halnya dengan konsep kompensasi yang setara, persoalan harga yang adil muncul ketika menghadapi harga yang sebenarnya, pembelian dan pertukaran barang, dalam mendefinisikan hal ini menyatakan:“Harga yang setara adalah haraga standara yang berlaku ketika masyarakat menjual barang dagangannya dan secara umum dapat diterima sebagai suatu yang setara bagi barang-barang tersebut atau barang-barang yang serupa pada waktu dan tempat yang khusus.”

Harga yang setara adalah harga yang dibentuk oleh kekuatan pasar yang berjalan secara bebas, yakni pertemuan antara kekuatan permintaan dan penawaran. perubahan harga pasar sebagai berikut:“Jika penduduk menjual barang-barangnya secara normal (al-wajh al-ma’ruf) tanpa menggunakan cara-cara yang tidak adil, kemudian harga tersebut meningkat karena pengaruh kelangkaan barang (yakni penurunan supplay) atau karena peningkatan jumlah penduduk (yakni peningkatan demand), kenaikan harga-harga tersebut merupakan kehendak Allah SWT. Dalam kasus ini memaksa penjual untuk menjual barang-barang

(11)

mereka pada harga tertentu adalah pemaksaan yang salah (ikrah bi ghairi haq).”

Ungkapan “dengan jalan yang normal tanpa menggunakan cara-cara yang tidak adil” mengindikasikan bahwa harga yang setara itu harus merupakan harga yang kompetitif di Sumatera Barat yang tidak disertai penipuan, karena harga yang wajar terjadi pada pasar kompetitif dan hanya praktik yang penuh dengan penipuan yang dapat menyebabkan kenaikan harga-harga(Chamid, 2010:237).

Berbicara konsep harga yang adil, maka indikasi yang di dapat adalah bagaimana menentukan upah yanga dil di Sumatera Barat.Pada abad pertengahan, konsep upah yang adil dimaksudkan sebagai tingkat upah yang wajib diberikan kepada para pekerja sehingga mereka dapat hidup secara layak ditengah-tengah masyarakat. Berkenaan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengacu pada tingkat harag yang berlaku di pasar tenaga kerja (tas’ir fil

a’mal) dan menggunakan istilah upah yang setara (ujrah al-mitsil).

Seperti halnya harga, prinsip dasar yang menjadi objek observasi dalam menentukan suatu tingkat upah di Sumatera Bart adalah definisi menyeluruh tentang kualitas dan kuantitas. Harga dan upah, ketika keduanya tidak pasti dan tidak ditentukan atau tidak dispesifikasikan dan tidak diketahui jenisnya, merupakan hal yang samar dan penuh dengan spekulasi.

Upah yang setara diatur dengan menggunakan aturan yang sama dengan harga yang setara. Seperti jika di Sumatera Bart maka hal tersebut di atur melalui SK (Surat Keputusan) Gubernur tentang Upah Minimum Provinsi.Tingkat upah ditentukan oleh tawar menawar antara pekerja dengan pemberi kerja. Dengan kata lain, pekerja diperlakukan sebagai barang dagangan yang harus tunduk pada hukum ekonomi tentang permintaan dan penawaran. Dalam

(12)

kasus pasar yang tidak sempurna upah yang setara ditentukan dengan menggunakan cara yang sama sebagai harga yang setara. Sebagai contoh, apabila masyarakat sedang membutuhkan jasa para pekerja, tetapi para pekerja tersebut tidak ingin memberikan jasa mereka, dalam kasus ini penguasa dapat menetapkan harga yang setara, sehingga pihak pemberi kerja tidak dapat mengurangi upah para pekerja dan begitu pula para pekerja tidak dapat meminta upah yang lebih tinggi dari pada harga yang telah ditetapkan. Tentang bagaimana upah setara itu ditentukan, Ibnu Taimiyah menjelaskan,“Upah yang setara akan ditentukan oleh upah yang telah diketahui (musamma) jika ada, yang dapat menjadi acuan bagi kedua belah pihak.Seperti halnya dalam kasus jual atau sewa, harga yang telah diketahui (tsaman musamma) akan diperlakukan sebagai harga yang setara”.

Prinsip tersebut berlaku, baik bagi pemerintah maupun individu.Oleh karena itu apabila pemerintah ingin menetapkan upah atau apabila kedua belah pihak tidak mempunyai acuan tentang tingkat upah, mereka harus menyetujui atau menentukan sebuah tingkat upah yang dalam keadaan normal dikenal dan diterima sebagai upah jenis pekerjaan tertentu tersebut.

Namun jika dilihat efektifitas dari penetapan upah minimum provinsi sumatera barat iu sendiri tiap tahunnya tentu tergantung dari kerjasama pemerintah, pengusaha dan masyarakat itu sendiri untuk bisa menciptakan upah yang adil. Bagi pengusaha-pengusaha besar tentu upah minimum provinsi yang telah di tetapkan di Sumatera Barat bukanlah hal yang sulit yang memang seharusnya wajib dijalankan untuk kesejahteraan para buruh atau karyawannya. Namun jika dilihat untuk usaha-usaha kesil yang omsetnya perhari tidak terlalu besar maka ini tentu akan

(13)

memberatkan para pengusaha tersebut. Hal ini seharusnya menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintah.Karena melihat pelaksanaan upah minimum itu sendiri ditujukan kepada seluruh badan usaha. Maka dari itu seharusnya pemerintah bisa dengan tegas memberikan aturan dengan persoalan ini, seperti misalnya meninjau kembali setiap omset atau keuntungan perusahaan yang ada di Sumatera Barat yang sebenarnya mampu untuk memberikan kompensasi atau gaji sesuai atau lebih dari penetapan upah minimum di badan usaha tersebut. Dan bagi pengusaha kecil yang jika tidak mampu memberikan gaji sesuai dengan penetapan upah minimum Provinsi Sumatera Barat ini seharusnya menjadi perhatian khusus bagi pemerintah, karena kesejahteraan masyarakat suatu Negara adalah suatu usaha yang harus diwujudkan.Maka kembali lagi pada konsep yang di papakan oleh ibnu taimiyah bahwa menentukan upah yang adil harus dimulai dengan konsep harga yang adil. Tidak hanya semata pada apa yang di tetapkan dalam PP no 78 tahun 2015, karena inflasi suatu daerah tiap tahunnya tidak bersifat stagnan dan bisa berubah-ubah.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menggambarkan strategi WALHI-Yogyakarta dalam rangka mewujudkan gerakan walkability city sebagai gerakan sosial baru di Kecamatan Umbulharjo, Kota

Dari data prosentase kemandirian belajar mahasiswa pada tabel 6 dalam penerapan metode pembelajaran e -learning pada siklus II mahasiswa yang memiliki kemandirian dan

[r]

Berdasarkan hasil tes unjuk kerja yang telah dilaksanakan di kelas XII SMAN 2 Ciamis kemampuan menulis cerpen setelah menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think

Ini artinya kualitas layanan yang diberikan oleh pihak hotel akan dinilai terlebih dulu oleh pelanggan, apabila telah sesuai dengan harapan maka pelanggan akan puas, dan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi komunikasi adalah kemampuan seorang individu untuk berkomunikasi secara tepat dan efektif sesuai

Dalam tahap awal penelitian di LAZ Rumah Zakat Malang yaitu dengan melakukan wawancara mengenai penerapan akuntansi zakat, infaq/shadaqah kepada staf

1. Pengadilan Militer Pertempuran.. Tempat kedudukan Pengadilan Militer Utama berada di Ibukota Negara RI, sementara Pengadilan Militer yang lainnya tempat kedudukannya