• Tidak ada hasil yang ditemukan

commit to user BAB I PENDAHULUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "commit to user BAB I PENDAHULUAN"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kota merupakan daerah pemukiman yang sifatnya sangat dinamis. Dari sifat awal yang sederhana hingga kompleks, menunjukkan bahwa kota terbentuk melalui suatu proses dinamika kota yang selalu menunjukkan karakteristiknya sendiri. Sejarah perkembangan kota dapat diamati oleh rajutan bentuk dan langgam bangunan yang berdiri pada tempat dan lingkungan tertentu. Bentuk bangunan tertentu dapat mencerminkan satu masa tertentu dari perkembangan perilaku politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang dianut oleh masyarakat kota.

Bentuk kota sebagai wujud akumulasi peningkatan jumlah penduduk, perilaku, kegiatan, serta kebijakan-kebijakan pembangunan yang dibuat warganya. Pada tahun 2025 diperkirakan jumlah penduduk dunia yang menetap di wilayah kota meningkat menjadi 60%. Setiap bulan kota-kota di dunia ketiga menyumbang 500.000 jiwa atau 95%. Menurut Asian Development Bank dalam masa 20 tahun 1,1 milyar penduduk akan menetap di wilayah kota selama 20 tahun. Selama tahun 2005-2020 kota-kota di Asia rata-rata jumlah penduduknya meningkat menjadi 44 juta setiap tahun, seperti halnya dengan Indonesia (Heryanto, 2011: 5).

Kota Yogyakarta berkedudukan sebagai ibukota Propinsi DIY dan merupakan satu-satunya daerah tingkat II yang berstatus kota disamping 4 daerah tingkat II lainnya yang berstatus kabupaten. Wilayah Kota Yogyakarta terbentang antara 110o 24I 19II sampai 110o 28I 53II Bujur Timur dan 7o 15I 24II sampai 7o 49I 26II Lintang Selatan dengan ketinggian rata-rata 114 m diatas permukaan laut. Kota Yogyakarta terletak ditengah-tengah Propinsi DIY, dengan batas-batas wilayah yaitu berbatasan dengan Kabupaten Sleman di sebelah utara, Kabupaten Bantul di sebelah selatan, Kabupaten Bantul dan Sleman di sebelah timur, dan

Kabupaten Bantul dan Sleman di sebelah barat

(http://www.jogjakota.go.id/index/extra.detail/22, diakses pada 1 Februari 2013 pukul 21.15 WIB).

(2)

Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah tersempit dibandingkan dengan daerah tingkat II lainnya, yaitu 32,5 km² yang berarti 1,025% dari luas wilayah Propinsi DIY. Dengan luas 3.250 hektar tersebut terbagi menjadi 14 Kecamatan, 45 Kelurahan, 617 RW, dan 2.531 RT, serta dihuni oleh 428.282 jiwa (sumber data dari SIAK per tanggal 28 Februari 2013) dengan kepadatan rata-rata 13.177 jiwa/km² (http://www.jogjakota.go.id/index/extra.detail/22, diakses pada 1 Februari 2013 pukul 21.15 WIB). Kota ini mengalami pertambahan penduduk kota yang terus-menerus akan membawa konsekuensi serius bagi kehidupan kota yaitu tuntutan akan space yang terus-menerus dimanfaatkan sebagai tempat hunian maupun dengan sistem transportasi.

Transportasi mencakup bidang yang sangat luas, karena hampir seluruh kehidupan manusia tidak terlepas dari kebutuhan akan transportasi. Transportasi tumbuh dan berkembang sejalan dengan majunya tingkat kehidupan dan budaya manusia. Pada dasarnya transportasi merupakan kegiatan yang menghubungkan antara dua lokasi yang berbeda, baik itu berupa barang maupun manusia dari lokasi satu ke lokasi yang lain. Pesatnya pembangunan di wilayah Kota Yogyakarta mengarahkan masyarakatnya pada tingkat kehidupan yang lebih maju. Kondisi tersebut bisa ditandai dengan mobilitas yang tinggi yang menuntut tersedianya fasilitas transportasi yang memadai. Hal ini mengakibatkan laju pertumbuhan kendaraan bermotor di Kota Yogyakarta mencapai 1,5 juta unit per tahun (kedaulatan rakyat, 2012). Hal ini dikarenakan rekomendasi yang diberikan oleh penyusun rencana transportasi selalu dalam bentuk kapasitas penambahan jalan, baik dengan pelebaran jalan maupun pembangunan jalan baru. Rekomendasi ini justru malah merangsang peningkatan penggunaan kendaraan bermotor pribadi dan mengakibatkan permasalahan lingkungan.

Kenyataan yang terjadi pada saat ini adalah Kota Yogyakarta semakin panas, terampasnya ruang publik termasuk diantaranya penyalahgunaan fungsi trotoar, kemacetan dibeberapa jalan utama, kota yang semakin semrawut sehingga kurang nyaman lagi untuk dihuni, dan mengurangi area yang seharusnya dapat dipergunakan sebagai ruang terbuka hijau. Beberapa masalah transportasi di Kota Yogyakarta antara lain (1) masalah tingginya jumlah kendaraan pribadi (65%), (2)

(3)

rendahnya berdisipilin lalu lintas, terutama sepeda motor dan bus yang berhenti secara mendadak, (3) pemakaian ruas jalan sebagai area parkir, (4) jalan raya yang relatif sempit, sementara ragam moda alat transportasi terlalu banyak, seperti bus kota, becak, andong, taksi, bus trans Yogyakarta. Ragam moda angkutan pribadi juga cukup banyak seperti sepeda, sepeda motor, maupun mobil (Hariyono, 2010: 247). Selain itu, permasalahan transportasi juga tidak hanya terletak pada ketersediaan sarana transportasi publik yang belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang efektif dan efisien, prasarana pendukung seperti trotoar bagi pejalan kaki juga belum berfungsi sebagaimana mestinya, disamping akses kaum diffabel yang terabaikan.

Jalan menjadi salah satu faktor penting yang membentuk unsur kota. Jalan merupakan tempat dinamika kota diwujudkan. Kemacetan lalu lintas, derap kaki pejalan kaki, deretan lapak pedagang kaki lima, keberadaan penjual koran, teriakan penjual asongan, deru alat perbaikan jalan, peristiwa kecelakaan lalu lintas adalah peristiwa sehari-hari yang mencerminkan kesibukan kehidupan kota. Jalan juga berisi aneka ragam dan warna perabotan kota yang berada di atas permukaannya. Selain sebagai sarana penunjang pergerakan masyarakat, jalan adalah tempat petunjuk arah, tempat perabotan kota maupun tempat memberi informasi yang semuanya menggambarkan situasi kota yang dinamis. Tempat duduk, reklame-reklame, bilbor-bilbor, tanda lalu lintas, halte bis, tiang listrik, telepon umum, dan pohon-pohon adalah unsur-unsur kota yang ditampilkan pada suatu jalan.

Peran jalan terhadap perkembangan kota sangat penting bagi suatu kota. Jalan adalah salah satu unsur yang memberi roh suatu kota. Karena pentingnya demikian, berbagai nama jalan berasal dari nama orang atau tokoh masyarakat, tempat, tanaman, atau binatang dan peristiwa penting. Keberadaan jalan di kota selain melayani kegiatan ekonomi kota-kota awal sampai dengan kota-kota kontemporer juga melayani kegiatan lainnya seperti pertahanan, politik, dan sosial. Pola tata ruang sangat dipengaruhi oleh keanekaragaman bentuk jalan selain akibat dari pengaruh lingkungan alam juga akibat kepentingan dan kebutuhan warganya (Heryanto, 2011: 27).

(4)

Berjalan kaki merupakan moda transportasi tertua di dunia yang memiliki keunikan tersendiri. Tetapi pada saat ini sebagian besar masyarakat Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta sudah tidak terbiasa dengan berjalan kaki. Mereka terbiasa menggunakan kendaraan bermotor seperti sepada motor maupun mobil pribadi. Bahkan ada anggapan bahwa pejalan kaki itu identik dengan golongan bawah atau miskin dan hanya dilakukan oleh pengemis, pemulung, dan hak-hak mereka sering terabaikan. Stigma masyarakat bahwa menggunakan kendaraan pribadi adalah sebagai lambang kesuksesan ekonomi. Masyarakat menganggap bahwa orang yang berjalan kaki adalah orang miskin yang tidak mampu membeli kendaraan bermotor. Stigma masyarakat juga membuat budaya gengsi semakin merajalela. Sehingga menyebabkan trend penggunaan kendaraan akan berpengaruh pada trend kepemilikan kendaraan. Kepemilikan kendaraan dan angka penggunaan kendaraan diperkirakan akan terus meningkat yang menyebabkan polusi yang tinggi serta mengabaikan hak pejalan kaki.

Hal ini perlu ditinjau kembali karena bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Hak Pejalan Kaki diatur didalam Pasal 131 yaitu (1) Pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain, (2) Pejalan kaki berhak mendapatkan prioritas pada saat menyeberang jalan di tempat penyeberangan, (3) Dalam hal belum tersedia fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejalan kaki berhak menyeberang di tempat yang dipilih dengan memperhatikan keselamatan dirinya.

Sehubungan dengan hal tersebut terdapat sebuah jaringan kerja atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk mengadvokasikan penghapusan bensin bertimbal. Jaringan kerja ini dinamakan Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB). Jaringan kerja KPBB dipelopori oleh 3 organisasi non-pemerintah, yaitu Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Lembaga Konsumen Hijau Indonesia (LEMKOHI) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). KPBB melahirkan sebuah gagasan untuk mengadakan gerakan walkability city dengan bermitra dengan WALHI-Yogyakarta.

(5)

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI-Yogyakarta) merupakan LSM lingkungan hidup yang independen dan non-profit. Program kerjanya didasari oleh pemikiran bahwa dengan dialog dan argumen dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang memihak rakyat. Selalu berusaha meningkatkan keswadayaan masyarakat dan memperhatikan tentang pelestarian lingkungan mempunyai sifat komunikatif dan tidak birokratis. Sehingga lebih cepat memfasilitasi proses pemecahan masalah perkotaan dalam masyarakat.

Gerakan yang dilakukan oleh WALHI-Yogyakarta merupakan gerakan cinta damai yang dilakukan tidak anarkis tetapi selalu mengedepankan aturan dan selalu mengajak banyak pihak untuk peduli pada persoalan walkability city.

Dengan melibatkan banyak pihak, baik unsur kampus maupun akademisi dengan non akademisi untuk memperoleh legitimasi baik akademisi maupun non akademis. Berupaya untuk melakukan suatu perubahan dan mencapai tujuan bersama. Gerakan lingkungan hidup sendiri merupakan gerakan sosial baru yang berorintasi kepada keselamatan bumi, mendukung pelestarian alam dimana manusia merupakan bagian darinya.

Kecamatan Umbulharjo yang berada di Kota Yogyakarta merupakan kawasan sub pusat pelayanan kota yang diarahkan dan diprioritaskan untuk dikembangkan sebagai kawasan yang tumbuh cepat. Kecamatan Umbulharjo merupakan salah satu kecamatan yang sudah mendeklarasikan gerakan

walkability city dengan tagline Jogja Istimewa Bagi Pejalan Kaki . Kota

Yogyakarta sendiri mengklaim sebagai salah satu kota yang menjadi pionir kota yang ramah bagi pejalan kaki baik di Indonesia maupun di Asia. Dalam melahirkan budaya jalan kaki di Kecamatan Umbulharjo diperlukan proses sosialisasi gerakan walkability city. Pada dasarnya gerakan walkability city lahir sebagai gerakan sosial yakni suatu upaya kelompok orang yang tidak puas terhadap keadaan. Hal ini dikarenakan oleh minimnya fasilitas untuk pejalan kaki yang menimbulkan masalah-masalah sosial seperti pengabaian hak-hak pejalan kaki atas trotoar, kenyamanan pejalan kaki, maupun marjinalisasi pejalan kaki.

(6)

Gerakan sosial baru (GSB) atau new sosial movement yang menunjuk pada fenomena gerakan sosial yang berkembang semenjak pertengahan 1960-an. GSB sendiri sebagai perkembangan terkini dari konsep gerakan sosial untuk mengoreksi prinsip-prinsip, strategi, aksi ataupun pilihan ideologis yang digunakan. Gerakan ini merupakan upaya kolektif dalam melakukan suatu perubahan melalui interaksi dan sosialisasi. Gerakan ini tidak hanya muncul dengan kesadaran kelas dan ideologi tertentu, namun kelompok ini muncul dengan identitas dan kesadaran serta perhatian terhadap persoalan, masalah dan atau fenomena yang sedang dihadapi oleh masyarakat luas. Gerakan ini berupaya untuk menyatukan komponen-komponen dalam masyarakat penyatuan untuk melakukan suatu perubahan dan mencapai tujuan bersama. Dengan demikian GSB bisa diartikan sebagai dinamika gerakan sosial itu sendiri. Kalau gerakan sosial tradisional biasanya dicirikan dengan tujuan ekonomis-material sebagaimana tercermin dari kaum buruh, GSB justru sering menghindari pilihan ini dan menetapkan tujuan-tujuan non ekonomis-material dan menekankan pada adanya perubahan (Putra, 2006: 63).

Berbicara mengenai perubahan, perubahan merupakan suatu hal yang wajar terjadi. Pada umunya masyarakat yang mengalami perubahan yang dinamis yang disebut dengan perubahan sosial. Dalam perubahan sosial termuat perubahan nilai serta ideologi, perubahan kebiasaan, dan perubahan budaya. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, pada intinya merupakan suatu proses yang terjadi terus menerus, ini artinya bahwa masyarakat pada kenyataannya akan mengalami perubahan-perubahan. Tetapi perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat dengan masyarakat yang lain tidaklah sama.

Perubahan sendiri didefinisikan sebagai suatu proses yang mengakibatkan keadaan sekarang berbeda dengan keadaan sebelumnya. Perubahan sendiri bisa berupa kemunduran dan bisa juga berupa kemajuan. Fragmen perubahan sosial terjadi pada berbagai tingkat kehidupan manusia, mulai dari tingkat indvidual hingga kolektivitas individu. Berbagai tingkat perubahan yang mewakili kawasan analisis dan satuan analisis yang mewakili setiap tingkat perubahan. Individu-individu didalamnya saling berhubungan untuk mencapai tujuan tertentu secara

(7)

bersama-sama. Sehingga perubahan dalam kerangka masyarakat secara umum menyangkut perubahan pada elemen-elemen yang terdapat didalam masyarakat (Abdul Syani, 1995: 83). Selain itu juga setiap perubahan sosial yang ditempatkan sebagai realitas sosial mau tidak mau akan menyentuh tiga aspek unsur dasar yaitu manusia, waktu, dan tempat. Ini berarti setiap kajian perubahan tidak bisa terlepas dari ketiga aspek itu.

Dengan adanya gerakan walkability city berdampak pada perubahan lingkungan yang menyebabkan perubahan sosial di Kecamatan Umbulharjo. Perubahan sosial dalam masyarakat bukan merupakan sebuah hasil atau produk tetapi merupakan sebuah proses. Perubahan sosial merupakan sebuah keputusan bersama yang diambil oleh anggota masyarakat. Masyarakat bukanlah sebuah keadaan yang tetap, tetapi sebuah proses. Proses dimana terdapat serangkaian peristiwa yang terus-menerus tanpa henti yang terangkai sebagai kehidupan sosial.

Dalam penelitian ini, akan dibahas potret strategi WALHI-Yogyakarta gerakan walkability city sebagai gerakan sosial baru. Hal ini dikarenakan minimnya fasilitas untuk pejalan kaki serta pencemaran udara yang kian meningkat di Kecamatan Umbulharjo. Maka WALHI-Yogyakarta melakukan gerakan walkability city sebagai sebuah action perubahan sosial dan menjadikan lingkungan hidup sebagai permasalahan sosial yang ditransformasikan menjadi suatu gerakan sosial. WALHI-Yogyakarta sebagai LSM penggerak yang memperjuangkan isu berbasis lingkungan menjadikan gerakan walkability city

sebagai langkah yang dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya berjalan kaki. Gerakan ini membutuhkan kerjasama dari semua komponen yaitu pemerintah kota, LSM, maupun masyarakat.

(8)

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut:

1. Mengapa WALHI-Yogyakarta melakukan gerakan walkability city?

2. Bagaimanakah strategi WALHI-Yogyakarta dalam mewujudkan gerakan

walkability city sebagai gerakan sosial baru di Kecamatan Umbulharjo,

KotaYogyakarta?

3. Faktor-faktor apa yang mendorong dan menghambat gerakan walkability city di Kecamatan Umbulharjo, KotaYogyakarta?

4. Bagaimanakah perubahan sosial yang terjadi pasca diadakannya gerakan

walkability city di Kecamatan Umbulharjo, KotaYogyakarta?

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk menggambarkan alasan WALHI-Yogyakarta melakukan gerakan

walkability city.

2. Untuk menggambarkan strategi WALHI-Yogyakarta dalam rangka mewujudkan gerakan walkability city sebagai gerakan sosial baru di Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta.

3. Untuk menggambarkan faktor pendorong dan penghambat dalam strategi gerakan walkability city di Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta. 4. Untuk menggambarkan perubahan sosial yang terjadi pasca diadakannya

gerakan walkability city di Kecamatan Umbulharjo, KotaYogyakarta

1.4Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1.4.1 Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan pada bidang sosiologi perubahan sosial pada khususnya.

(9)

b. Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran yang jelas tentang mengenai strategi untuk mewujudkan gerakan walkability city

sebagai Gerakan Sosial Baru yang dilakukan WALHI-Yogyakarta. Dimana dalam Gerakan Sosial Baru mengedepankan terjadinya dialog dan menghindarkan aspek kekerasan dan orientasinya terciptanya tatanan yang lebih berkeadilan sosial. Gerakan sosial baru dengan sosiologi saling berhubungan karena setiap riset Gerakan Sosial Baru selalu bertolak pada masyarakat.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi LSM WALHI-Yogyakarta dan pemerintah Kota Yogyakarta sebagai bahan rekomendasi dalam rangka mewujudkan Kota Yogyakarta istimewa bagi pejalan kaki.

Referensi

Dokumen terkait

2. Uraian lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2. Menu, terdiri dari pengaturan layer, analisis pendugaan erosi dan AIO Report. a) Menu pengaturan layer, berfungsi

Kemudian kaitannya dengan gerakan yang dilakukan WALHI dan keterkaitan strategi WALHI sebagai aktor gerakan lingkungan hidup dan sekaligus sebagai representasi dari

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan studi penelitian mengenai efektivitas pelayanan publik khususnya Dinas Kependudukan dan

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi dan sebagai rujukan bagi universitas dalam melakukan perbaikan iklim pembelajaran serta melakukan pencegahan dan

Variabel budaya etis diukur dengan indikator yang dikembangkan dari Svanberg and Ohman (2013), Shafer and Wang (2010), dan TrevinO (1998) yang dikutip oleh

Dari hasil aransemen ulang ( remake ) tersebut Hanin menguploadnya pada platform Youtube dan menuai jutaan Viewers, karena keberhasilnya Hanin lantas tertarik

Analisis materi dilakukan untuk mengidentifikasi, merinci, dan menyusun secara sistematis konsep-konsep yang relevan yang akan diajarakan berdasarkan analisis

• Penilaian Acuan Patokan adalah penilaian yang dilakukan dengan membandingkan hasil belajar siswa terhadap suatu patokan yang telah.