• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Persepsi Masyarakat 2.1.1 Pengertian persepsi

Persepsi dalam psikologi diartikan sebagai salah satu perangkat psikologis yang menandai kemampuan seseorang untuk mengenal dan memaknakan sesuatu objek yang ada di lingkungannya. Menurut Robbins (2001), mengungkapkan bahwa persepsi dapat didefinisikan sebagai proses dengan mana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka. Dalam persepsi dibutuhkan adanya objek atau stimulus yang mengenai alat indera dengan perantaraan syaraf sensorik, kemudian diteruskan ke otak sebagai pusat kesadaran (proses psikologis). Selanjutnya, dalam otak terjadilah sesuatu proses hingga individu itu dapat mengalami persepsi (proses-proses psikologis) Robbins (2001).

Persepsi merupakan suatu proses seseorang mengorganisasikan dalam pikirannya, menafsirkannya, mengalami, dan mengelola pertanda atas segala sesuatu yang terjadi di lingkungannya (Hammer dan Morgan dalam Ibrahim, 2003). Menurut Thoha (2008), persepsi berkaitan dengan peta kognitif individu bukanlah penyajian fotografik dari suatu kenyataan fisik, melainkan agak bersifat konstruksi pribadi yang kurang sempurna mengenai objek tertentu, diseleksi sesuai dengan kepentingan utamanya dan dipahami menurut kebiasaan-kebiasaannya. Intinya persepsi adalah

(2)

suatu proses kognitif yang kompleks dan yang menghasilkan suatu gambar unik tentang kenyataan yang barangkali sangat berbeda dari kenyataannya.

Persepsi, menurut Jalaludin (2009), adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Menurut Ruch (2007), persepsi adalah suatu proses tentang petunjuk petunjuk inderawi (sensory) dan pengalaman masa lampau yang relevan diorganisasikan untuk memberikan kepada kita gambaran yang terstruktur dan bermakna pada suatu situasi tertentu.

Atkinson dan Hilgard (2004), mengemukakan bahwa persepsi adalah proses dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan pola stimulus dalam lingkungan. Gibson dan Donely (1994), menjelaskan bahwa persepsi adalah proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang individu. Dikarenakan persepsi bertautan dengan cara mendapatkan pengetahuan khusus tentang kejadian pada saat tertentu, maka persepsi terjadi kapan saja stimulus menggerakkan indera. Dalam hal ini persepsi diartikan sebagai proses mengetahui atau mengenali obyek dan kejadian obyektif dengan bantuan indera.

Persepsi timbul karena adanya respon terhadap stimulus. Stimulus yang diterima seseorang sangat kompleks, stimulus masuk ke dalam otak, kemudian diartikan, ditafsirkan serta diberi makna melalui proses yang rumit baru kemudian dihasilkan persepsi (Atkinson dan Hilgard, 2004). Dalam hal ini, persepsi mencakup penerimaan stimulus (inputs), pengorganisasian stimulus dan penerjemahan atau penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara yang dapat memengaruhi

(3)

perilaku dan membentuk sikap, sehingga orang dapat cenderung menafsirkan perilaku.

2.1.2 Pembentukan persepsi

Proses pembentukan persepsi sebagai pemaknaan hasil pengamatan yang diawali dengan adanya stimuli. Setelah mendapat stimuli, pada tahap selanjutnya terjadi seleksi yang berinteraksi dengan" interpretation", begitu juga berinteraksi dengan "closure". Proses seleksi terjadi pada saat seseorang memperoleh informasi, maka akan berlangsung proses penyeleksian pesan tentang mana pesan yang dianggap penting dan tidak penting. Proses closure terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan disusun menjadi satu kesatuan yang berurutan dan bermakna, sedangkan interpretasi berlangsung ketika yang bersangkutan memberi tafsiran atau makna terhadap informasi tersebut secara menyeluruh.

2.1.3 Bentuk-bentuk persepsi

Persepsi secara umum merupakan suatu tanggapan berdasarkan suatu evaluasi yang ditujukan terhadap suatu obyek dan dinyatakan secara verbal, sedangkan bentuk-bentuk persepsi merupakan pandangan yang berdasarkan penilaian terhadap suatu obyek yang terjadi, kapan saja, dimana saja, jika stimulus memengaruhinya. Persepsi yang meliputi proses kognitif mencakup proses penafsiran obyek, tanda dan orang dari sudut pengalaman yang bersangkutan.

Kemampuan manusia sangatlah terbatas, sehingga manusia tidak mampu memproses seluruh stimulus yang ditangkapnya. Artinya meskipun sering disadari,

(4)

stimulus yang akan dipersepsi selalu dipilih suatu stimulus yang mempunyai relevansi dan bermakna baginya. Dengan demikian dapat diketahui ada dua bentuk persepsi yaitu yang bersifat positif dan negatif:

1. Persepsi Positif

Persepsi positif, yaitu persepsi atau pandangan terhadap suatu obyek dan menuju pada suatu keadaan dimana subyek yang mempersepsikan cenderung menerima obyek yang ditangkap karena sesuai dengan pribadinya.

2. Persepsi Negatif

Persepsi negatif, yaitu persepsi atau pandangan terhadap suatu obyek dan menunjuk pada keadaan dimana subyek yang mempersepsi cenderung menolak obyek yang ditangkap karena tidak sesuai dengan pribadinya.

Pengertian masyarakat dalam kamus Bahasa Inggris, masyarakat disebut

society asal katanya socius yang berarti kawan. Arti yang lebih khusus, bahwa

masyarakat adalah kesatuan sosial yang mempunyai kehidupan jiwa seperti adanya ungkapan-ungkapan jiwa rakyat, kehendak rakyat, kesadaran masyarakat dan sebagainya. Sedangkan jiwa masyarakat ini merupakan potensi yang berasal dari unsur-unsur masyarakat meliputi pranata, status dan peranan sosial. Sehingga para pakar sosiologi seperti Maclver, J.L Gillin memberikan pengertian bahwa masyarakat adalah kumpulan individu-individu yang saling bergaul berinteraksi karena mempunyai nilai-nilai, norma-norma, cara-cara dan prosedur yang merupakan

(5)

kebutuhan bersama berupa suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu identitas bersama (Soelaiman dalam Mussadun, 2000).

Jadi pengertian persepsi masyarakat dapat disimpulkan sebagai tanggapan melalui pengetahuan lingkungan dari kumpulan individu-individu yang saling bergaul dan berinteraksi karena mempunyai nilai-nilai, norma-norma, cara-cara dan prosedur merupakan kebutuhan bersama berupa suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu identitas bersama yang diperoleh melalui interpretasi data indera.

2.1.4 Skema persepsi

Persepsi terhadap lingkungan (environmental perception) merupakan persepsi spasial yakni sebagai interpretasi tentang suatu setting (ruang) oleh individu yang didasarkan atas latar belakang, budaya, nalar dan pengalaman individu tersebut. Dengan demikian setiap individu dapat mempunyai persepsi lingkungan yang berbeda terhadap objek yang sama karena tergantung dari latar belakang yang dimiliki. Persepsi lingkungan yang menyangkut persepsi spasial sangat berperan dalam pengambilan keputusan dalam rangka migrasi, komunikasi dan transportasi.

Respon manusia terhadap lingkungannya tergantung pada bagaimana individu tersebut mempersepsikan lingkungannya (Sarwono, dalam Boedojo, 1986). Persepsi terhadap lingkungan mempengaruhi hubungan individu dengan lingkungannya. Menurut Walgito (2003), sikap individu terhadap lingkungannya dapat berupa: (1) Individu menolak lingkungannya, yaitu bila individu tidak sesuai dengan keadaan lingkungannya; (2) Individu menerima lingkungan, yaitu bila keadaan lingkungan

(6)

cocok dengan keadaan individu; (3) Individu bersikap netral atau status quo, apabila individu tidak mendapat kecocokan dengan keadaan lingkungan, tetapi dalam hal ini individu tidak mengambil langkah-langkah yang lebih lanjut, yaitu bagaimana sebaiknya bersikap.

Ada dua jenis lingkungan dalam kaitannya antara manusia dengan kondisi fisik lingkungannya (Sarwono, dalam Boedojo, 1986). Pertama adalah lingkungan yang telah akrab dengan manusia yang bersangkutan. Lingkungan seperti ini cenderung dipertahankan. Kedua adalah lingkungan yang masih asing, dimana manusia terpaksa melakukan penyesuaian diri atau sama sekali menghindarinya. Setelah manusia menginderakan objek di lingkungannya, ia memproses hasil penginderaannya dan timbul makna tentang objek pada diri manusia yang dinamakan persepsi dan selanjutnya menimbulkan reaksi. Untuk memahami proses yang terjadi sejak individu bersentuhan melalui inderanya dengan objek di lingkungannya sampai terjadi reaksi. Skema persepsi dapat dilhat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Skema Persepsi

(7)

Menurut skema tersebut tahap paling awal dari hubungan manusia dengan lingkungannya adalah kontak fisik antara individu dengan objek-objek di lingkungannya. Objek tampil dengan kemanfaatannya masing-masing, sedangkan individu datang dengan sifat-sifat individualnya, pengalaman masa lalunya, bakat, minat, sikap dan ciri kepribadiannya masing-masing.

Hasil interaksi individu dengan objek menghasilkan persepsi individu tentang objek itu. Jika persepsi itu berada dalam batas-batas optimal maka individu dikatakan dalam keadaan homeo statis yaitu keadaan yang serba seimbang. Keadaan ini biasanya dipertahankan oleh individu karena menimbulkan perasaan-perasaan yang paling menyenangkan. Sebaliknya, jika objek dipersepsikan sebagai di luar batas-batas optimal (terlalu besar, terlalu kuat, kurang keras, kurang dingin, terlalu aneh dan sebagainya) maka individu itu akan mengalami stres dalam dirinya. Tekanan-tekanan energi dalam dirinya meningkat sehingga orang itu harus melakukan copying untuk menyesuaikan dirinya atau menyesuaikan lingkungan pada kondisi dirinya. Sebagai hasil coping ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, tingkah laku coping ini menyebabkan stres berlanjut dan dampaknya bisa berpengaruh pada kondisi individu dan persepsi individu. Kemungkinan kedua, tingkah laku coping yang berhasil. Dalam hal ini terjadi penyesuaian antara diri individu dengan lingkungannya (adaptasi) atau penyesuaian keadaan lingkungan pada diri individu (adjusment).

Dampak dari keberhasilan ini juga mengenai individu maupun persepsinya. Jika dampak dari tingkah laku coping yang berhasil terjadi berulang-ulang maka kemungkinan terjadi penurunan tingkat toleransi terhadap kegagalan atau kejenuhan.

(8)

Disamping itu, terjadi peningkatan kemampuan untuk menghadapi stimulus berikutnya. Kalau efek dari kegagalan yang terjadi berulang-ulang, kewaspadaan akan meningkat. Namun pada suatu titik akan terjadi gangguan mental yang lebih serius seperti keputusasaan, kebosanan, perasaan tidak berdaya, dan menurunnya prestasi sampai pada titik terendah.

2.2 Tata Ruang dan Tata Guna Lahan

undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Tata Ruang (sekarang Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang) menyebutkan “Perencanaan tata ruang, struktur dan pola tata ruang yang meliputi tata guna tanah, tata guna air dan tata guna sumber daya lainnya”. Sehubungan dengan hal tersebut maka penatagunaan tanah adalah bagian yang tak terpisahkan dari penataan ruang, atau subsistem dari penataan ruang. Pada saat ini penatagunaan tanah merupakan unsur yang paling dominan dalam proses penataan ruang.

Selain itu penatagunaan tanah diselenggarakan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, dan diselenggarakan sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. Di dalam pelaksanaannya, kegiatan penatagunaan tanah meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian perlu dikoordinasikan dengan instansi-instansi terkait di pusat dan di daerah agar penatagunaan tanah dapat diserasikan dengan rencana tata ruang.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Tata Guna Tanah dengan Tata Ruang saling terkait satu dengan lainnya sehingga apabila rencana tata ruang

(9)

berubah, maka rencana tata guna tanah pun berubah disesuaikan dengan perubahan rencana tata ruang.

2.2.1 Tata ruang

Penataan Ruang diatur dengan Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang jo. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan penyelenggaraannya diatur dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Sedangkan tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak.

Berdasarkan pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan tata ruang merupakan pemanfaatan daratan, lautan dan udara bagi manusia dan makhluk lainnya untuk hidup dan melakukan kegiatan bagi kelangsungan hidupnya, dimana pemanfaatan ruang yang dimaksudkan tersebut di atas, dalam hal ini lebih ditekankan pada pemanfaatan akan tanah. Dalam tata ruang terdapat suatu sistim proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang disebut sebagai penataan ruang, yang penyelenggaraannya dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.

Penyelenggaraan penataan ruang merupakan kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. Penataan ruang terdiri dari 3 (tiga) yaitu: (1) Proses utama yakni proses perencanaan tata ruang

(10)

wilayah, yang menghasilkan rencana tata ruang wilayah (RTRW); (2) Disamping sebagai pedoman untuk pelaksanaan kedepan, RTRW pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan. Proses yang kedua adalah proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri; (3) Proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya. Dengan demikian, selain merupakan proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan, penataan ruang sekaligus juga merupakan produk yang memiliki landasan hukum (legal instrument) untuk mewujudkan tujuan pengembangan wilayah.

2.3 Perubahan Tata Guna Lahan 2.3.1 Definisi

Tata guna lahan (land use) merupakan pengaturan pemanfaatan lahan/aktifitas pada suatu lingkup wilayah (baik tingkat nasional, regional, maupun kawasan) untuk kegiatan-kegiatan tertentu. Kegiatan manusia seperti bekerja, berbelanja, belajar, dan berekreasi, semuanya dilakukan pada kapling-kapling tanah yang diwujudkan sebagai kantor, pabrik, gedung sekolah, pasar, pertokoan, perumahan, objek wisata, hotel, dan lain sebagainya. Aktivitas di kapling tanah (lahan) tersebut dinamakan tata guna lahan (Miro dalam Wismadi, dkk, 2008).

(11)

Pengertian konversi lahan atau perubahan tata guna lahan adalah alih fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lain (Tjahjati dalam Yusran, 2006). Sedangkan gejala perubahan pemanfaatan lahan sendiri menjadi gejala alamiah dalam suatu evolusi kota. Bentuk perubahan ini tidak terjadi di setiap lokasi secara seragam, karena setiap lahan memiliki tingkat kestrategisan dan potensi yang berbeda (Legawa dalam Harjanti, 2002).

Evolusi kota sendiri terbentuk dari faktor-faktor internal seperti keputusan-keputusan yang diambil oleh berbagai institusi dan individu, penyebab eksternal (konteks ekonomi internasional) dan perkembangan sosial. Proses-proses dasar dapat berjalan lambat ataupun cepat, dan berlaku dalam lingkup lokal maupun global. Pada level yang berbeda, seperti yang terjadi dibeberapa kota besar di Eropa, evolusi tersebut menjadi daya tarik bagi para imigran seperti di negara-negara yang memiliki permasalahan utama ekonomi dan politik dimana sering memunculkan gejala marginalisasi dan segregasi. Kondisi tersebut juga menjadi lahan subur untuk munculnya aktivitas ekonomi, politik dan budaya, sehingga menimbulkan diantaranya perubahan dan konversi industri, penilaian lahan kembali dan pengembangan pusat pelayanan baru. Gejala di atas disebut dengan perubahan kualitatif yang bertolak belakang dengan proses-proses pertumbuhan kuantitatif yang murni (Albeverio,dkk, 2007).

Struktur dan bentuk kota-kota saat ini adalah hasil dari dinamika berbagai faktor sosial, ekonomi, budaya, dan fisik baik secara umum maupun lokal (Lambin dalam Hagoort, dkk, 2004). Oleh karenanya, dalam rangka efisiensi alokasi

(12)

pemanfaatan lahan diperlukan rencana yang merangkum kebutuhan seluruh sektor kegiatan masyarakat, baik kebutuhan saat ini maupun kegiatan di masa mendatang. Rencana tata ruang merupakan bentuk rencana yang telah mempertimbangkan kepentingan berbagai sektor kegiatan masyarakat dalam mengalokasikan lahan/ruang beserta sumber daya yang terkandung di dalamnya (bersifat komprehensif). Rencana tata ruang sendiri merupakan pedoman pemanfaatan ruang/lahan atas pembagian berbagai sektor kegiatan masyarakat tersebut (Dardak, 2005).

Sedangkan proses penataan ruang merupakan proses yang dilakukan dalam rangka mencapai sebuah kestabilan dalam konteks keruangan. Sehingga setiap aktifitas yang ada di dalamnya merupakan sebuah usaha yang dilakukan dan memiliki titik fokus untuk mencapai sebuah kondisi keruangan dalam konteks problem solving,

future oriented dan resource allocation (Hardiansah, 2008).

Pada akhirnya perubahan tata guna lahan dapat didefinisikan sebagai upaya manusia dalam merencanakan arahan perubahan penggunaan lahan dalam suatu kawasan yang meliputi pembagian wilayah untuk pengkhususan fungsi-fungsi tertentu yang merupakan rangkuman kebutuhan seluruh sektor kegiatan masyarakat kedepan yang ditikberatkan pada pencapaian sebuah kondisi keruangan dalam konteks problem solving, future oriented dan resource allocation.

2.3.2 Model perubahan tata guna lahan

Perubahan pemanfaatan lahan tidak terlepas dari perkembangan suatu daerah menuju ke keadaan yang lebih padat yang sering diidentifikasikan sebagai perubahan menuju ke arah perkotaan (urbanised area). Secara umum, kebalikan dari perkotaaan

(13)

disebut dengan pedesaan (rural area). Diakui atau tidak, tidak ada satu daerahpun yang tertutup akan perubahan. Terlebih lagi memasuki era abad ke-21, dimana interaksi dan komunikasi antar komponen-komponen pendukung wilayah satu dengan yang lainnya tidak lagi dibatasi jarak dan waktu. Batas-batas keruangan wilayah memudar seiring inovasi-inovasi teknologi dan sistem regulasi pendukung yang memungkinkan terjadinya percampuran sistem budaya yang tidak pernah terjadi sebelumnya, pemanfaatan berbagai penemuan baru, pemindahan modal, dan pergerakan sumber daya manusia (tenaga kerja) (Suartika, 2007).

Oleh karenanya, di dalam rencana tata ruang kawasan perkotaan perlu diatur alokasi pemanfaatan ruang/lahan untuk berbagai penggunaan (perumahan, perkantoran, perdagangan, ruang terbuka hijau, industri, sempadan sungai, dan sebagainya) berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, keseimbangan, keserasian, keterbukaan (transparansi) dan efisiensi, agar tercipta kualitas permukiman yang layak huni (livable environment) (Algamar, 2003). Sedangkan dalam lingkup perkotaan, pengelolaan kawasan dilaksanakan dengan mendayagunakan segenap asset yang ada secara efektif, efisien dan berkelanjutan. Adapun aset yang tercakup dalam pengelolaan kawasan perkotaan adalah keuangan (pembiayaan pembangunan), penduduk (sumberdaya manusia), sosial (termasuk institusi publik), lahan, lingkungan, serta unsur fisik (seperti bangunan termasuk rumah, prasarana dan sarana perkotaan).

Sedangkan pembedaan pola keruangan ini disebabkan oleh luas daerah kota, unsur topografi, faktor sosial, faktor budaya, faktor politik dan faktor ekonomi yang secara garis besar dibagi atas inti kota (core the city) dan selaput kota

(14)

(intergruments), dimana pada kedua daerah tersebut masih dapat dijumpai daerah-daerah kosong (interstices) (Bintarto dalam Yusran, 2006).

Menurut Bourne dalam Yusran (2006), ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan, yaitu: perluasan batas kota, peremajaan di pusat kota, perluasan jaringan infrastruktur terutama jaringan transportasi serta tumbuh dan hilangnya pemusatan aktifitas tertentu yang secara garis besar berjalan dan berkembang secara dinamis dan natural terhadap alam yang dipengaruhi antara lain:

1. Faktor manusia, yang terdiri dari kebutuhan manusia akan tempat tinggal, potensi manusia, finansial, sosial budaya serta teknologi;

2. Faktor fisik kota, meliputi pusat kegiatan sebagai pusat-pusat pertumbuhan kota dan jaringan transportasi sebagai aksesibilitas kemudahan pencapaian;

3. Faktor bentang alam yang berupa kemiringan lereng dan ketinggian lahan.

Adapun dalam mengatur dan mengkontrol terjadinya perubahan tata guna lahan diperlukan suatu perangkat sistem pengelolaan. Keiser, Godschalk dan Chapin dalam Suartika (2007) menawarkan dua model manajemen perubahan tata guna lahan, yaitu:

1. Model yang merangkul kepentingan struktur lingkungan kehidupan hidup manusia (human ecology) dan politikal ekonomi dalam suatu konsep yang menggabungkan proses pengaturan pemanfaatan lahan dengan konsep pembangunan berkelanjutan.

(15)

2. Model yang merangkul konsep partisipasi dan pemecahan masalah (discourse planning model). Model ini tidak hanya mengakui kepentingan-kepentingan kelompok dominan yang telah disebutkan dalam game

theory, tetapi juga memberi peluang kepada pihak perencana, tenaga ahli

teknis dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya untuk berpartisipasi.

Menurut Gibson dalam Markvart (2009), konsep esensial dari pembangunan berkelanjutan sendiri antara lain:

1. Suatu tantangan untuk berfikir dan berbuat secara konvensional;

2. Melakukan sesuatu untuk kesejahteraan jangka panjang maupun jangka pendek;

3. Menyeluruh, meliputi semua permasalahan inti di dalam hal pengambilan keputusan;

4. Suatu pengenalan tentang hubungan keterkaitan dan saling ketergantungan, terutama antara manusia dan fondasi biofisik untuk kehidupan;

5. Pentingnya melakukan pendekatan-pendekatan terhadap tindakan pencegahan;

6. Suatu pengenalan terhadap batasan yang tidak dapat diganggu gugat serta tidak habisnya peluang didalam menciptakan inovasi kreatifitas;

7. Suatu proses akhir yang selalu terbuka dan bukan merupakan suatu pernyataan;

(16)

8. Suatu pemahaman yang baik antara budaya dan pemerintahan seperti yang terjalin dengan ekologi, sosial dan ekonomi;

9. Seluruh ketergantungan yang bersifat universal dan kontekstual.

Menurut Camagni dalam Capello dan Nijkamp (2004), teori dan model ekonomi perkotaan secara efisien diatur dalam 5 (lima) prinsip utama antara lain:

1. Prinsip Pengelompokkan: Kepadatan penduduk yang tinggi dan kegiatan yang produksi mempercepat kemunculan seluruh gejala positif dan negatif yang berasal dari kedekatan fisik, ekonomi kelompok, baik dalam bentuk urbanisasi dan lokalisasi ekonomi yang dikenal sebagai elemen genetik dalam keberadaan suatu kota;

2. Prinsip Aksesibilitas: Pemahaman interaksi saling menguntungkan antara biaya transportasi dan penggunaan lahan langsung dan lebih banyak kepada aplikasi yang rasional secara cepat di tingkat kota;

3. Prinsip Interaksi Spasial: Tingkat kepadatan yang tinggi di permukiman dan kegiatan produksi yang hadir disetiap kota memfasilitasi kebutuhan kontak, dan berakibat terhadap mekanisme interaksi spasial, dengan segala dampak positif dan negatif yang terkait dengan mereka;

4. Prinsip Hirarki Perkotaan: Pembagian ruang bagi para pekerja jelas tercermin dalam perbedaan pola sosio-ekonomi antar kota;

5. Prinsip Persaingan: Dalam kondisi kota sebagai lokasi utama kegiatan produksi, prinsip persaingan menjadi sangat penting ditingkat perkotaan

(17)

serta membutuhkan ketentuan spesifik guna mendukung mekanisme efisiensi perkotaan.

Sedangkan konsep dari partisipasi sendiri adalah berdasarkan pengalaman dan wawasan yang berkembang harus diakui bahwa masyarakat lokal yang sebelumnya selalu dipandang sebagai subjek, klien atau penerima yang pasif, secara jelas telah banyak berkontribusi pada proses penelitian dan pengembangan. Menurut Chamber, pendekatan partisipatif yang diterapkan saat ini dalam berbagai konteks sosial dan ekologi, telah membentuk dan mempengaruhi program maupun kebijakan nasional, penelitian regional dan internasional serta pembangunan diseluruh dunia (Byambaa, 2007).

Partisipasi tidak meningkatkan kinerja proyek akan tetapi merupakan komponen utama pemberdayaan masyarakat dan membuat mereka mandiri untuk belajar bertanggung jawab atas kehidupan dan mengambil kendali atas keadaan untuk selanjutnya mengembangkan kapasitas untuk menolong dirinya sendiri dalam suatu proses. Menurut Rolly, partisipasi menciptakan rasa percaya diri yang kuat dan mampu meyakinkan diri mereka untuk dapat berhasil menggunakan sumber daya yang tersedia untuk meningkatkan kualitas hidup mereka (Byambaa, 2007).

Pendekatan partisipatif merupakan hasil dari ketidakpuasan terhadap pendekatan top-down di dalam proses perencanaan dan manajemen. Ketika masyarakat tidak dilibatkan di dalam proses pengambilan keputusan ataupun pemilihan metode pemecahan masalah sosial budaya yang sesuai dengan kebutuhan mereka maka hasilnya adalah suatu kegagalan proyek (Rolly dalam Byambaa, 2007).

(18)

Menurut (Burke dalam Byambaa, 2007), proses perencanaan tidak lagi merupakan domain eksklusif para ahli teknis, melainkan perlu dipikirkan siapa saja yang harus terlibat, bagaimana bentuk keterlibatannya, fungsi masyarakat apa sajakah yang harus dilayani dan bagaimana mengadaptasikan metode perencanaan ke proses yang melibatkan berbagai kepentingan dan kelompok lebih luas.

2.3.3 Perubahan guna lahan mikro

Sebagaimana yang telah diuraikan bahwa tata guna lahan (landuse) merupakan pengaturan pemanfaatan atau lahan/aktifitas pada suatu lingkup wilayah (baik tingkat nasional, regional maupun kawasan untuk kegiatan-kegiatan tertentu).

Perubahan guna lahan mikro dimaksudkan terhadap perubahan lahan yang lebih sempit dari bagian suatu kota, dapat berupa suatu blok area, taman kota ataupun suatu ruas jalan tertentu dari bagian kota.

Perubahan guna lahan mikro terjadi pada area ruang yang lebih sempit dan dalam skala manusia, membuat dampak yang ditimbulkannya langsung bisa diserap dan ditanggapi oleh pengguna. Oleh karena itu perlu alat kendali seperti RTBL (Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan) sehingga perubahan yang terjadi tidak menimbulkan ketidaknyamanan bagi masyarakat pengguna dan sistem perkotaan yang ada.

Perencanaan ruang-ruang publik kota akan muncul pada produk Tata Ruang Kota yang lebih detail, misalnya pada Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) yang merupakan bagian dari rencana yang lebih makro seperti RDTRK dan RUTRK. Perencanaan ruang publik biasanya tidak akan didesain selama perencanaan

(19)

yang lebih makro belum ada. Hal inilah yang perlu dipahami oleh pengelola Kota dan masyarakat pada umumnya (Anggriani N, 2010).

2.4 Persepsi Masyarakat Terhadap Perubahan Tata Guna Lahan

Menurut Sari (2009), pertumbuhan penduduk yang terus meningkat menjadikan kebutuhan ruang semakin tidak terbatas. Aktifitas masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial, maupun yang lainnya dari waktu ke waktu berdampak pada meningkatnya kebutuhan penggunaan lahan. Fenomena ini berkembang di wilayah perkotaan dan menjadikan eksplorasi ruang yang kurang terkendali. Meskipun banyak ruang yang sudah diatur dalam berbagai bentuk kebijakan, namun tidak semua bentuk perkembangan keruangan terwadahi, apalagi dengan keberadaan lahan yang bersifat statis dan harga lahan yang semakin tinggi memicu persaingan dan konflik dalam memanfaatkan ruang.

Salah satu studi kasus terjadinya perubahan tata guna lahan disuatu lokasi adalah Lapangan Merdeka Kota Medan. Dulunya taman ini adalah merupakan kebun tembakau serta rawa-rawa.

Lapangan Merdeka (dulu bernama Medan Esplanade) adalah ruang terbuka publik yang memiliki sejarah yang menyertai permulaan Kota Medan dari awal hingga saat sekarang ini. Dimulai dari perpindahan ibukota (pada saat itu Sumatra Timur) dari Labuhan Deli ke tanah konsesi Kesultanan Deli di Kesawan, Belanda mulai mengembangkan infrastruktur untuk menunjang seluruh aktivitas perkebunan yang mereka kembangkan (Gambar 2.2).

(20)

Gambar 2.2 Kondisi Lapangan Merdeka Sebelum Kemerdekaan Sumber: http://www.medanmagazine.com/medan-esplanade/

Kota Medan sebagai cikal bakal kota perkebunan memiliki hasil tembakau yang sangat bagus kualitasnya di pasar perdagangan Eropa. Banyaknya permintaan mendorong para investor untuk datang dan memiliki hak perkebunan di Tanah Deli.

Merunut pada pola perencanaan wilayah dunia Barat, Belanda membuat satu distrik yaitu Esplanade, sebagai titik sumbu seluruh bangunan disekelilingnya. Disekitarnya Belanda mulai membangun De Javasche Bank (Bank Indonesia), stasiun kereta api, kantor perhubungan udara (Kantor Pos), Hotel De Boer (Hotel Dharma Deli) dan balai kota (Old City Hall).

Belanda sering mengadakan pertunjukan pawai di lapangan ini, pawai miniatur perahu dalam skala menengah, pasar malam, dan liga sepak bola.

Esplanade mulai berganti nama menjadi Lapangan Merdeka, sejak

diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia. Di lapangan tersebut dengan penaikan bendera merah putih, dan diabadikan dengan monumen yang sampai sekarang masih

(21)

ada, yang terletak pada sisi barat lapangan merdeka dan berhadapan dengan stasiun kereta api.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Lapangan Merdeka tetap dipertahankan sebagai ruang terbuka Kota Medan. Berbagai kegiatan seperti upacara kenegaraan, olahraga, pertunjukan, pameran, dan kegiatan rekreasi lainnya tetap dilaksanakan sampai saat ini.

Dalam perkembangan berikutnya, sesuai kebutuhan disamping monumen yang ada telah dibangun juga podium atau pendopo tempat upacara resmi, di sisi Barat ada Kantor Informasi Pariwisata dan Kantor Pembantu Lantas di sisi Utara.

Sejak tahun 2002, terlihat tekanan-tekanan berbagai kepentingan baik dari pihak swasta maupun pihak pemerintah daerah yang hendak memanfaatkan ruang di Lapangan Merdeka. Dibangunnya Merdeka Walk dan pemindahan kios-kios buku bekas ex-Titi Gantung ke sisi Timur Lapangan Merdeka menunjukkan hal itu.

2.5 Ruang Publik

Istilah ruang publik (public space) pernah dilontarkan Lynch dengan menyebutkan bahwa ruang publik adalah nodes dan landmark yang menjadi alat navigasi di dalam kota (Lynch, 1960). Gagasan tentang ruang publik kemudian berkembang secara khusus seiring dengan munculnya kekuatan civil society. Dalam hal ini filsuf Jerman, Jurgen Habermas, dipandang sebagai penggagas munculnya ide ruang publik (Sulfikar, 2010). Jurgen Habermas memperkenalkan gagasan ruang publik pertama kali melalui bukunya yang berjudul The Structural Transformation of

(22)

the Public Sphere: an Inquire Into a Category of Bourjuis Society yang diterbitkan

sekitar tahun 1989.

Ruang publik diartikan sebagai ruang bagi diskusi kritis yang terbuka bagi semua orang. Pada ruang publik ini, warga privat (private person) berkumpul untuk membentuk sebuah publik dimana nalar publik ini akan diarahkan untuk mengawasi kekuasaan pemerintah dan kekuasaan negara. Ruang publik mengasumsikan adanya kebebasan berbicara dan berkumpul, pers bebas, dan hak secara bebas berpartisipasi dalam perdebatan politik dan pengambilan keputusan. Lebih lanjut, ruang publik dalam hal ini terdiri dari media informasi seperti surat kabar dan jurnal. Disamping itu, juga termasuk dalam ruang publik adalah tempat minum dan kedai kopi, balai pertemuan, serta ruang publik lain dimana diskusi sosio-politik berlangsung.

Secara sederhana, yang dimaksud ruang publik adalah ruang yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum sepanjang waktu, tanpa dipungut bayaran (Danisworo, 2004). Lebih lanjut Danisworo mengatakan bahwa ruang publik tidak selalu berupa ruang terbuka hijau, akan tetapi suatu ruang dengan perkerasan seperti jalan raya maupun pelataran parkir, dapat menjalankan fungsi publik karena ruang tersebut dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum setiap waktu tanpa dipungut bayaran.

Menurut Carr dkk (1992) terdapat 3 (tiga) kualitas utama sebuah ruang publik, yaitu: tanggap (responsive), demokratis (democratic), dan bermakna (meaningful). Yang dimaksud tanggap (responsive) berarti bahwa ruang tersebut dirancang dan dikelola dengan mempertimbangkan kepentingan para penggunanya. Sedangkan demokratis (democratic) berarti bahwa hak para pengguna ruang publik tersebut

(23)

terlindungi, pengguna ruang publik bebas berekspresi dalam ruang tersebut, namun tetap memiliki batasan tertentu karena dalam penggunaan ruang bersama perlu ada toleransi diantara para pengguna ruang. Pengertian bermakna (meaningful) mencakup adanya ikatan emosional antara ruang tersebut dengan kehidupan para penggunanya.

Sementara itu, secara spasial ruang publik didefinisikan sebagai tempat dimana setiap orang memiliki hak untuk memasukinya tanpa harus membayar uang masuk atau uang lainnya. Ruang publik dapat berupa jalan (termasuk pedestrian), tanah perkerasan (pavement), public squares, dan taman (park). Hal ini berarti bahwa ruang terbuka hijau (open space) publik seperti jalan dan taman serta ruang terbuka non-hijau publik seperti tanah perkerasan (plaza) dan public squares dapat difungsikan sebagai ruang publik

Sejak tahun 1960-an di Amerika dan Eropa telah tumbuh gerakan menentang pendekatan perencanaan dan perancangan teknis-rasional yang dominan pada masa itu, serta juga memperjuangkan terbentuknya praktek pofesional baru yang memiliki unsur moral dan politik, berkeadilan sosial, dan memberi kekuasaan pengambilan keputusan pada masyarakat (citizen empowerment). Gerakan ini kemudian menghasilkan beberapa paradigma perencanaan dan perancangan partisipatif seperti

Community Architecure (Christopher dan Rossi, 2003).

Arsitektur merupakan produk budaya yang tidak terlepas dari manusia/masyarakat yang membuat dan menggunakannya. Perancangan arsitektur baik dalam skala bangunan/rumah tinggal maupun skala lingkungan/kawasan kota sudah seharusnya berorientasi pada kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat yang akan menggunakannya. Community architecture dalam proses perancangan maupun

(24)

pembangunan sebuah lingkungan/kawasan kota menjadi dasar dalam menggerakkan dan mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Karena masyarakat dan kehidupannya merupakan realita sosial yang tidak boleh diabaikan, mereka merupakan potensi sekaligus pengguna setiap karya arsitektur, sehingga antara masyarakat dan rancangan arsitektur seharusnya memiliki kesesuaian. Dengan demikian program

community based development merupakan bagian penting dari tugas seorang

arsitek/perancang kota agar dalam setiap memulai rancangan memiliki dimensi sosiologi yang mampu menganalisis secara kritis pola perilaku masyarakat serta bagaimana menterjemahkannya menjadi sebuah produk arsitektur.

Community based development mengisyaratkan pentingnya pembangunan

yang didasarkan pada kebutuhan masyarakat. Di sisi lain pola seperti itu memungkinkan partisipasi masyarakat dapat dikembangkan secara optimal. Partisipasi merupakan pemberdayaan (engagement) dari kelompok sasaran (affected group) dalam satu atau lebih siklus project/program/kegiatan: desain, implementasi, monitoring, dan evaluasi.

Masyarakat diajak untuk berperan dan didorong untuk berpartisipasi karena masyarakat dianggap: (1) Mereka mengetahui sepenuhnya tentang permasalahan dan kepentingannya/kebutuhan mereka; (2) Mereka memahami sesungguhnya tentang keadaan lingkungan sosial dan ekonomi masyarakatnya; (3) Mereka mampu menganalisis sebab akibat dari berbagai kejadian di masyarakat; (4) Mereka mampu merumuskan solusi unuk mengatasi permasalahan dan kendala yang dihadapi; (5) Mereka mampu memanfaatkan sumberdaya pembangunan (SDA, SDM, dana, sarana dan teknologi) yang dimiliki untuk meningkatkan produksi dan produktivitas dalam

(25)

rangka mencapai sasaran pembangunan masyarakatnya yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat; (6) Anggota masyarakat dengan upaya meningkatkan kemauan dan kemampuan SDMnya sehingga berlandaskan pada kepercayaan diri dan keswadayaan yang kuat mampu mengurangi dan bahkan menghilangkan sebagian besar keterganungan terhadap pihak luar.

Disamping itu, penataan ruang kota yang disusun, sebagian besar masih berupa rencana umum (RUTRK) yang belum menyentuh secara detail tentang ruang publik, meskipun kita sering berdiskusi tentang ruang publik. Masih sedikit Pemerintah kota yang menyusun Rencana Teknis Ruang Kota (RTRK), atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) yang sudah mempertimbangkan tiga dimensional ruang publik (Anggriani, 2010).

Penanganan ruang publik membutuhkan biaya tinggi sehingga menjadi masalah dari segi pembiayaan, sehingga penerapannya boleh dikatakan setengah hati. Sekarang ini penanggung jawab pengelolaan ruang publik seolah-olah hanya dipundak Pemerintah Kota, sementara beban yang harus ditanggung masih sangat banyak. Ruang publik, kualitas ruang kota dan tingkat sosial masyarakat merupakan benang merah yang tidak bisa putus. Hildebrand Frey dalam Anggriani (1999) mengaitkan kebutuhan kota dengan kebutuhan dasar manusia dan hirarki A.Maslow sebagai berikut:

1. Pada tingkatan dasar (basic level), fasilitas kota yang disediakan adalah semua kebutuhan fisik masyarakat antara lain: tempat tinggal dan tempat kerja, pendapatan yang memadai, pendidikan dan kursus, transportasi dan

(26)

memungkinkan untuk mengadakan komunikasi dengan fasilitas-fasilitas dan pelayanan-pelayanan kota.

2. Pada tingkatan kedua, hal-hal yang harus diperhatikan oleh kota adalah keselamatan (safety), keamanan (security) dan perlindungan (protection), unsur visual, fungsi, susunan dan kontrol terhadap lingkungan yang harus bebas dari polusi, kebisingan, kecelakaan, dan krimininalitas.

3. Tingkatan yang ketiga adalah menciptakan lingkungan sosial yang kondusif. Suatu tempat yang penghuninya mempunyai pertumbuhan yang baik, anak-anak mereka bisa saling mengadakan sosialisasi, mereka merasa sebagai bagian dari komunitas dan merasa memiliki terhadap lingkungannya.

4. Tingkatan yang keempat, bahwa fasilitas kota harus memberikan kesan yang cocok (appropriate image), reputasi yang baik serta gengsi yang dapat menggambarkan penghuninya. Disamping dapat memberikan rasa percaya diri yang kuat, status dan martabat yang tinggi bagi mereka. 5. Pada tingkat diatasnya (kelima), fasilitas kota harus dapat memberi

kesempatan penghuninya untuk berkreasi sendiri, membentuk ruang pribadi yang mengekspresikan pribadi mereka. Disamping itu, secara bersama-sama mereka juga dapat menciptakan daerah dan lingkungannya sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka sendiri.

6. Tingkat yang terakhir, bahwa fasilitas kota harus berupa karya desain yang bagus, sebagai tempat yang estetis, secara fisik dapat memberi kesan yang mendalam, merupakan suatu tempat budaya dan karya seni yang bermutu.

(27)

2.5.1 Pengertian ruang terbuka publik di pusat kota

Ruang Terbuka Publik di Pusat Kota dalam istilah Inggris disebut "place" berasal dari kata latin "platea" yang berarti ruang terbuka publik atau jalan yang diperlebar seperti pada "plaza" di Spanyol atau "piazza" di Italia atau kata yang lebih khusus seperti "square". Paul Zucker (1959) menyatakan bahwa square adalah tempat orang-orang berkumpul untuk bersosialisasi, melindungi mereka dari hiruk-pikik lalu-lintas, membebaskan mereka dari tekanan kesibukan di pusat kota.

Kualitas hidup di dalam kota merupakan hasil interaksi antara manusia dan lingkungan kota mereka (Das, 2008). Penelitian terkini di berbagai kota di dunia telah melihat suatu masalah yang sama bagi ruang terbuka publik di dalam kota, yaitu meningkatnya perubahan lingkungan dan fungsi ruang terbuka publik. Termasuk di dalamnya privatisasi, komersialisasi dan pembatasan ruang terbuka publik, menimbulkan dampak meningkatnya segregasi, isu keamanan, terbentuknya kelompok eksklusif dan berbagai masalah sosial lainnya (Turner, 2002; Atkinson, 2003).

Mengacu pada (Miethe dikutip dari Williams & Green, 2001), alasan terbesar orang enggan ke ruang publik adalah ketakutan akan tindak kejahatan. Selain itu, beberapa faktor penyebab sebuah ruang publik gagal adalah ketiadaan tempat berkumpul atau istirahat, akses masuk yang jelek atau tak terjangkau, sarana pendukung tidak berfungsi, dan ketiadaan „nilai kebersamaan‟ pada ruang publik. Karena itu, sebuah ruang publik harus dikelola dengan tepat, baik dari proses penyediaan, desain, hingga perawatan.

(28)

Michael Webb (1990) beranggapan bahwa square adalah mikrokosmos dari kehidupan, menawarkan daya tarik, peristirahatan, pasar dan upacara rakyat, tempat untuk berjumpa teman dan menghabiskan waktu. Moughtin (1992) menemukan bahwa square adalah areal yang dibingkai oleh bangunan-bangunan untuk memamerkan bangunan tersebut sebagai karya agung. Selanjutnya dinyatakan bahwa sebuah kota harus memilki ruang untuk penempatan bangunan umum, tempat bertemu yang utama, tempat untuk perayaan atau upacara umum yang besar, tempat untuk pertunjukan, restoran dan cafe, tempat untuk berbelanja, pasar dan etalase, tempat dimana bangunan kantor mengelompok, tempat akomodasi rumah tinggal, tempat yang berhubungan dengan simpul-simpul transportasi.

Krier (1992) menyatakan bahwa suatu square harus dapat berfungsi sebagai tempat aktifitas komersial seperti pasar, kegiatan budaya, tempat berdirinya kantor pelayanan umum, balai kota, gelanggang remaja, perpustakaan, teater, balai konser,

cafe, bar, dan lain-lain. Jika memungkinkan square di pusat kota harus dapat

berfungsi 24 jam sehari.

Di samping itu budaya populer merambah masyarakat perkotaan dimana proses ekonomi mereka didorong oleh media massa yang bermain dengan citra (image) dan penampilan. Proses kapitalisasi menjadi salah satu pendorong bagi konsumsi kota yang terkesan terus meningkat.

Karena itu, budaya populer adalah alat untuk memanipulasi tidak saja sekedar memediasi dan mendefinisikan realitas, tetapi juga secara implisit menyediakan serangkaian nilai (Bigsby, 1976). Nilai-nilai tradisional masyarakat diadopsi dalam kebudayaan pop dalam masyarakat kota yang haus akan citra yang lebih modern.

(29)

Dari beberapa pengertian tentang square dapat disimpulkan bahwa square bukanlah suatu ruang terbuka publik biasa yang ada di daerah urban, melainkan suatu ruang terbuka publik di pusat kota dengan suatu ciri khas tersendiri. Tidak semua ruang terbuka publik di daerah urban dapat digolongkan kepada square. Dalam tesis ini pengertian square diterjemahkan menjadi Ruang Terbuka Publik di Pusat Kota, yaitu ruang terbuka yang mempunyai ciri antara lain, sebagai berikut:

1. Berada di pusat kota;

2. Berupa ruang terbuka yang cukup luas (Kostof, 1992), merujuk Laws of

Indies yang mengatur ukuran minimum square (61 x 91 m);

3. Menjadi pusat kegiatan publik di pusat kota (Moughtin, 1992);

4. Pilihan utama masyarakat kota untuk tempat berkumpul, disekitarnya terdapat bangunan-bangunan publik dan atau bangunan religius, merupakan bagian dari bentukan arsitektur yang ada disekelilingnya (Kostof, 1992);

5. Mempunyai signifikansi sejarah, dapat mengakomodasi parkir, dimungkinkan;

6. Melakukan kegiatan komersial non-formal, kadangkala ia berisi suatu monumen utama, patung atau air mancur (Marcus,1998).

2.5.2 Arti penting ruang publik

Karakteristik ruang publik sebagai tempat interaksi warga masyarakat sangat penting dalam menjaga dan meningkatkan kualitas kawasan perkotaan. Ruang publik di Indonesia memiliki arti yang sangat penting dan strategis secara hukum, yaitu

(30)

dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Sedangkan dalam Pasal 28 ditegaskan perlunya penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH) di dalam suatu kota.

Ruang Terbuka Hijau adalah ruang terbuka yang pemanfaatannya lebih bersifat pengisian hijauan tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah atau budidaya tanaman. Ruang Terbuka Hijau dinyatakan sebagai ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk taman kota, taman kampus, taman rumah, jalur hijau, hutan kota dan bantaran sungai (Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 2008).

Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang disi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi guna mendukung manfaat langsung dan/tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan dan keindahan wilayah perkotaan tersebut (Sumarmi, 2006).

Secara umum ruang terbuka publik di perkotaan terdiri dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang terbuka Non Hijau (RTNH), Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi guna mendukung fungsi ekologis, sosial budaya dan arsitektural yang dapat memberi manfaat ekonomi dan kesejahteraan bagi masyarakatnya, seperti antara lain (Gambar 2.3): (1) Fungsi Ekologis, RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara dan pengatur iklim mikro; (2) Fungsi Sosial Budaya, keberadaan RTH dapat memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi dan sebagai tetenger (landmark)

(31)

kota; (3) Fungsi Arsitektural, RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota dan jalur hijau jalan; (4) Fungsi Ekonomi, RTH sebagai pengembangan sarana wisata hijau perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan.

Gambar 2.3 Tipologi RTH

Sumber: PERMEN PU No. 05/PRT/M/2008

Gambar 2.4 menjelaskan bagaimana bentuk RTNH yang dapat digunakan sebagai ruang publik.

Gambar 2.4 Penyediaan RTNH di Kawasan Perkotaan Sumber: PERMEN PU No.12/PRT/M/2009

(32)

Ruang terbuka non-hijau merupakan ruang yang secara fisik bukan berbentuk gedung dan tidak dominan ditumbuhi tanaman ataupun permukaan berpori, dapat berupa perkerasan atau badan air ataupun kondisi tertentu lainnya (misalnya :Badan lumpur, pasir, gurun, cadas, kapur, dan lain sebagainya). Secara defenitif, ruang terbuka non-hijau dapat dibagi menjadi ruang terbuka perkerasan (paved), ruang terbuka biru (badan air) serta Ruang terbuka kondisi tertentu lainnya (Permen-PU Nomor 12/PRT/M/2009).

Ruang terbuka hijau (RTH) kota dari tahun ke tahun mengalami kesan yang sangat negatif, karena luas RTH dari tahun ke tahun yang semakin menurun. Selama 30 tahun terakhir terbuka hijau di kota-kota besar Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya dan Semarang cenderung terus menyusut

Lebih jauh perancangan dan pengembangan ruang publik merupakan hal yang signifikan untuk kota maupun perkotaan karena:

1. Ruang publik merupakan konstruksi sosial dari ruang.

Ruang disekitar kita baik ruang tempat bermukim hingga ruang yang kita kunjungi ketika berpergian, merupakan bagian dari realitas sosial. Perilaku spasial yang ditentukan dan menentukan ruang sekitar kita merupakan bagian yang terintegrasi dengan eksistensi sosial kita.

2. Ruang publik menciptakan batasan spasial.

Pembentukan batasan spasial menjadi prasyarat utama dalam perancangan kota (Cullen, 1971). Sebagai nodal dan landmark, ruang publik berguna untuk menavigasi kota (Lynch, 1960). Jalan dan ruang terbuka seperti lapangan menjadi huruf-huruf yang akan digunakan untuk membaca dan

(33)

merancang ruang perkotaan (Krier, 1979). Menciptakan batasan ruang-ruang yang hidup dan aktif dilihat sebagai kondisi yang penting untuk keberhasilan penyediaan ruang publik. Hal ini menjadi sangat penting bagi perancangan kota untuk menciptakan ruang publik positif, dimana ruang dibatasi oleh bangunan, bukan dibatasi oleh apa yang tertinggal dari suatu pembangunan (Alexander et al, 1987).

3. Adanya reintegrasi dari pembagian sosio-spasial.

Ruang publik menjadi mediator antara ruang privat yang mendominasi wilayah kota dan memainkan peran penting dalam pembagian sosiospasial. Tanpa adanya proses mediasi, maka pergerakan spasial di dalam kota menjadi sangat terbatas. Sama seperti kondisi yang berkembang di abad pertengahan di kota-kota Mediterania dimana permukiman dipisahkan oleh dinding dan gerbang. Kondisi saat ini pun memperlihatkan banyaknya permukiman yang dijaga keamanannya serta jaringan jalan yang ada banyak dikotak-kotakkan dan dibatasi aksesnya. 4. Adanya integrasi kota menuju fragmentasi fungsional.

Pada jaman modern, integrasi fungsional kota cenderung menghilang dan memudar. Perkembangan ukuran ruang kota telah membawa pada spesialisasi ruang, dimana terjadi pemisahan hubungan simbolis dan fungsional dari lingkungan publik dan privat. Teknologi transportasi telah memungkinkan masyarakat untuk hidup dan bekerja di luar kota serta ruang pusat kota dapat dihindari dari tingginya jumlah penduduk. Kemampuan untuk menjangkau seluruh ruang perkotaan telah mengurangi

(34)

kontak fisik antara penduduk kota dan lingkungan terbangunnya, seperti yang telah berlangsung sepanjang sejarah (Sennett, 1994). Ruang publik kota cenderung menjadi ruang residual yang digunakan untuk parkir kendaraan atau untuk kegiatan pariwisata dan perdagangan. Lebih lanjut, sejumlah tempat di kota dibuka untuk publik dan dilihat sebagai milik publik, seperti restoran, museum, perpustakaan, dan bioskop. Tempat-tempat ini memegang peranan yang penting dan signifikan. Dengan cara yang sama seperti pusat perbelanjaan berfokus pada perdagangan dan restoran memiliki fungsi tertentu serta jam operasional yang dibatasi oleh aturan tersendiri.

2.6 Kaitan Kajian Teori terhadap Kegiatan Penelitian

Pemerintah Kota Medan baru saja menyelesaikan suatu proses penataan ruang sebagai upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap keberadaan ruang publik, salah satu diantaranya adalah kawasan Lapangan Merdeka Medan.

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2011-2031 sebagai hasil dari kegiatan tersebut seharusnya sudah mengelola ruang wilayah secara serasi, selaras, seimbang, berdaya guna, berhasil guna, berbudaya dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dan menjaga semua kepentingan secara terpadu yang dilaksanakan secara bersama oleh pemerintah, masyarakat dan dunia usaha. Pandangan mengenai aspek strategis penataan ruang kawasan perkotaan yang pada dasarnya mengacu pada pemberdayaan manusia dan masyarakat serta peningkatan kualitas lingkungan perkotaan akan memberikan daya

(35)

dorong dan daya dukung yang berkesinambungan terhadap pembangunan nasional baik pada masa dan masa mendatang.

Berbekal dari hasil studi literatur, kajian studi kasus sejenis dan hasil observasi lapangan awal yang dilakukan, peneliti mengidentifikasikan beberapa indikator utama yang perlu diperhatikan dalam melakukan kajian persepsi masyarakat terhadap perubahan tata guna lahan Lapangan Merdeka sebagai ruang terbuka publik. dengan menggunakan variabel utama penelitian yang bersifat kuantitatif terkait aspek ekonomi, sosial, lingkungan dan budaya sebagai berikut:

1. Persepsi masyarakat terhadap aktivitas di Lapangan Merdeka Medan selama ini;

2. Persepsi masyarakat terhadap terjadinya degradasi sosial akibat perubahan tata guna lahan;

3. Persepsi masyarakat terhadap keamanan di Lapangan Merdeka sebagai ruang publik akibat perubahan tata guna lahan;

4. Persepsi masyarakat akan kelangsungan Lapangan Merdeka sebagai ruang publik beserta fasilitasnya akibat perubahan tata guna lahan;

5. Persepsi masyarakat tentang kualitas dan kenyamanan lingkungan akibat perubahan tata guna lahan;

6. Persepsi masyarakat terhadap hilangnya identitas Lapangan Merdeka akibat perubahan tata guna lahan;

(36)

Pertanyaan-pertanyaan kuesioner akan disusun berdasarkan ketujurh variabel penelitian yang disebutkan di atas untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap perubahan tata guna lahan di Lapangan Merdeka Medan.

Gambar

Gambar 2.1 Skema Persepsi
Gambar 2.2 Kondisi Lapangan Merdeka Sebelum Kemerdekaan  Sumber: http://www.medanmagazine.com/medan-esplanade/
Gambar  2.4  menjelaskan  bagaimana  bentuk  RTNH  yang  dapat  digunakan  sebagai ruang publik

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Permohonan ujian susulan ditujukan kepada Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Pertanian UNSOED dengan dilampiri surat keterangan/Surat Tugas masing-masing rangkap satu,

Jika kita membaca sebuah riwayat dari salah seorang imam, maka kita tidak tahu apakah sang imam mengucapkan sabdanya dalam keadaan taqiyah atau tidak hal ini penting

Penelitian lain yang dilakukan Munandar (2008) pada 90 orang tenaga kerja bagian produksi PT.Kresna Duta Agroindo Jambi juga menyatakan bahwa terdapat hubungan

Banyaknya jenis material yang dapat diterapkan baik pada elemen pembentuk ruang yaitu dinding, lantai,dan langit-langit dan perabotan, juga banyaknya café yang terdapat di

Penelitian ini bertujuan untuk (1) identifikasi varietas beras japonica dan indica premium yang mempunyai palatabilitas tinggi; (2) menguji marka STS terpaut palatabilitas

Proses pengelompokkan data dilakukan untuk mengelompokkan data dan menggunakan fungsi and dan or dari fuzzy, dimana bertujuan untuk memilih nilai yang nantinya

Hasil penelitian menunjukan bahwa pelaksanaan rekrutmen, seleksi dan penempatan tenaga kerja di koperasi BMT-UGT Sidogiri Pasuruan lebih memprioritaskan para alumni

0,003 a .Hal ini menunjukan p value< α 0,05 pada tingkat kepercayaan 95%, sehingga dapat disimpulkan secara bersama-sama (simultan) bahwa faktor produksi (tenaga