• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemampuan Pengolahan Warna Limbah Tekstil oleh Berbagai Jenis Fungi dalam Suatu Bioreaktor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kemampuan Pengolahan Warna Limbah Tekstil oleh Berbagai Jenis Fungi dalam Suatu Bioreaktor"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Kemampuan Pengolahan Warna Limbah Tekstil oleh Berbagai Jenis Fungi

dalam Suatu Bioreaktor

Handy Christian1, Edy Suwito1, Tomy A. Ferdian1Tjandra Setiadi1, Sri Harjati Suhardi2

1Program Studi Teknik Kimia, Institut Teknologi Bandung, Bandung

Jalan Ganesha 10, 40132

Telp : (022) 2500989, Fax : (022) 2501438, Email : tjandra@che.itb.ac.id

2Pusat Ilmu Hayati, Institut Teknologi Bandung, Bandung

Jalan Ganesha 10, 40132 Telp/Fax : (022) 2509165 Email : sharjati@sith.itb.ac.id

Abstrak

Pada industri tekstil, pengolahan limbah masih mengalami hambatan disebabkan sulitnya menangani kandungan pewarnanya. Penelitian pengolahan limbah tekstil menunjukkan adanya potensi pengolahan yang efektif dan ekonomis menggunakan jamur pelapuk putih. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi kemampuan empat jenis jamur dalam mendegradasi bromo

indigo serta mempelajari daya tahannya untuk digunakan dalam beberapa siklus. Metode yang

digunakan adalah pengambilan data melalui penelitian laboratorium menggunakan sistem bioreaktor termodifikasi yang bekerja secara intermiten. Analisis sampel dilakukan melalui pengukuran intensitas warna, konsentrasi protein, serta analisis aktivitas enzim lakase. Untuk medium pengimobilisasi jamur, digunakan luffa. Limbah yang digunakan adalah limbah sintetik berkonsentrasi 100 ppm. Hasil penelitian menunjukkan penghilangan warna tercepat terjadi pada proses pengolahan menggunakan Trametes hirsuta. Hasil analisis warna menunjukkan kemampuan penurunan absorban pada panjang gelombang maksimum (661 nm) dari 0,721 A ke 0,223 A. Secara keseluruhan, dipelajari bahwa Trametes hirsuta adalah spesies jamur pelapuk putih yang paling baik dalam mendegradasi warna bromo indigo.

Kata kunci: jamur lapuk putih; pengolahan limbah tekstil; mycotreatment; indigo

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah

Industri tekstil adalah salah satu industri yang berkembang dengan pesat dan memegang peranan yang cukup penting di Indonesia. Perkembangannya cukup menjanjikan, yaitu mencapai 0,85% per tahun. Hal ini juga menandai terjadinya peningkatan risiko kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh pembuangan limbah, terutama jika limbah tidak tertangani dengan baik.

Salah satu masalah yang paling mengganggu dari limbah industri tekstil adalah kandungan zat warna yang mengandung senyawa benzen. Dalam industri tekstil, zat warna merupakan salah satu bahan baku utama; sekitar 10-15% dari zat warna yang sudah digunakan tidak dapat dipakai ulang dan harus dibuang. Selain mencemari lingkungan, zat warna tersebut juga dapat membahayakan keanekaragaman hayati dan mengganggu kesehatan, misalnya iritasi kulit, iritasi mata, dan kanker. Bahkan, zat warna juga dapat menyebabkan terjadinya mutasi (Mathur dkk., 2005).

Mengingat semakin perlunya kelestarian alam untuk menunjang masyarakat berkelanjutan, tentunya pengolahan limbah tekstil menjadi sorotan kalangan luas. Namun, teknologi pengolahan limbah yang sekarang tersedia memakan biaya yang cukup tinggi, dengan hasil yang belum memadai, bahkan menghasilkan produk samping yang berbahaya.

1.2. Kajian Penelitian Sebelumnya

Topik penelitian ini merupakan topik yang cukup berprospek, sehingga telah dilakukan beberapa penelitian sebelumnya. Ringkasan penelitian-penelitian ini disajikan pada tabel 1 berikut.

(2)

Tabel 1 Ringkasan Penelitian Berkenaan dengan Jamur Lapuk Putih

Topik Riset Variabel Keterangan Hasil Referensi

Efektivitas jamur lapuk putih untuk dekolorasi

dye Jenis pewarna RBBR (Remazol Brilliant Blue R), Bromophenol blue, Cu-phthalocyanine, Methyl red, Congo red

Setelah dua minggu, dekolorasi mencapai RBBR 93%, Bromophenol blue 100%, Cu-phthalocyanine 98%, Methyl red 56%, Congo red 58% Novotny, 2001

Jamur lapuk putih paling efisien untuk

dekolorasi Strain jamur lapuk putih Phanerochaete chrysosporium, Pleurotus ostreatus, Trametes versicolor and Aureobasidium pullulans 1. Trametes versicolor 2. Phanerochaete chrysosporium Adosinda, 2003 Kontribusi mangan peroksidase dan laccase

(enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh jamur lapuk putih) terhadap dekolorasi dye

dyes

azo dyes (amaranth, CBY, congo red, RB5)

anthraquinone dye (RBBR)

Kerja enzim bergantung pada zat warna yang

dioksidasi: 1. mangan peroksidase

saja 2. laccase saja 3. laccase and mangan

peroksidase Champagne dan Ramsay, 2005 Beberapa konfigurasi bioreaktor untuk operasi jamur lapuk putih dalam kondisi keadaan padatan Konfigurasi bioreaktor Immersion bioreaktor; Expanded-bed tubular bioreaktor; Tray bioreaktor. Tray bioreaktor memberikan hasil yang

paling efektif. Couto dan Sanroman, 2002 Temporary Lift up Immersion of white – rot fungi to decolourize

reactive textile dyes

Siklus immersi

15 menit immersi per 1 jam

15 menit immersi per 3 jam

Siklus yang lebih baik adalah 15 menit immersi

per 3 jam

Böhmer dan Suhadi, 2006

Penghilangan zat warna limbah sintetik dengan

Marasmius sp.

Jenis pewarna dan waktu retensi

Indigo carmine, Indigo bromine, dengan waktu

retensi 15 dan 30 menit, 4 siklus

Penghilangan warna indigo carmine lebih baik daripada indigo bromine, dengan waktu retensi 15

menit lebih stabil.

Guswandhi dan Panjaitan

2007

1. 3. Tujuan Program

Tujuan program penelitian ini adalah mengevaluasi kemampuan empat spesies jamur untuk dapat digunakan dalam mengembangkan sistem pengolahan limbah industri tekstil yang ekonomis dan efektif.

2. Metode Pelaksanaan

Keempat spesies jamur pelapuk putih yang digunakan, yaitu Trametes hirsuta, Trametes versicolor,

Laetiporus sp., dan Phanerochaete chrysosporium . Keempat jamur ini pada awalnya ditumbuhkan pada suhu

ruangan pada potato dextrose agar (PDA) untuk dijadikan inokulum. Sebagai media pengimobilisasi jamur digunakan media luffa yang telah disterilisasi menggunakan autoklaf. Untuk memenuhi kebutuhan nutrien jamur, ke dalam media pengimobilisasi ditambahkan medium Kirk (Tjen dan Kirk,1988) yang merupakan medium spesifik untuk jamur lapuk putih.

Penelitian diawali dengan penyiapan biakan jamur dalam cawan Petri berisi medium padat PDA. Biakan kemudian dikultivasi ke spons luffa yang telah direndam dalam medium Kirk. Setelah biakan siap, spons dimasukkan ke dalam bioreaktor pengolahan limbah. Limbah yang digunakan adalah limbah sintetik yang dibuat dari pewarna indigo dengan konsentrasi 100 ppm. Perendaman limbah dilakukan selama 15 menit dengan selang waktu antar perendaman selama 6 jam. Setelah 6 hari, dilakukan penambahan pewarna dengan konsentrasi yang sama. Diagram sistem bioreaktor yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 1.

(3)

Bioreak tor unggun aliran limbah : aliran limbah Tangki limbah : pompa

Gambar 1 Diagram dan

gambar sistem bioreaktor unggun tetap termodifikasi untuk pengolahan limbah pewarna

Sampel awal diambil sesaat setelah setiap penambahan pewarna. Sampel selanjutnya diambil setiap hari setelah limbah mengalami 4 kali perendaman. Analisis sampel yang dilakukan adalah analisis intensitas warna, konsentrasi protein, dan aktivitas enzim lakase.

Analisis intensitas warna dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer seri Ultrospec 3000 pro UV/Visible. Analisis konsentrasi protein dilakukan dengan menggunakan uji Bradford sesuai prosedur yang dijelaskan Bradford (1976). Sementara itu, aktivitas enzim lakase diuji dengan bantuan reagen ABTS (2,2'-AZINO-bis [3-ethylbenziazoline-6-sulfonic acid]) (Bar, 2001).

3. Hasil dan Pembahasan

Analisis penurunan warna yang terjadi dilihat melalui penghilangan warna yang terjadi pada setiap variasi dan perbandingan antara variasi. Analisa dilakukan pada panjang gelombang maksimum zat warna bromo indigo. Penelusuran panjang gelombang menunjukkan panjang gelombang maksimum untuk bromo indigo adalah 661 nm (Guswandhi dan Panjaitan, 2007). Pada Gambar 3 ditunjukkan hasil penelusuran panjang gelombang untuk zat warna bromo indigo. Sementara itu, pada Gambar 4 ditunjukkan sampel proses pengolahan siklus pertama. Pada Gambar 5 ditunjukkan hasil penelusuran panjang gelombang sampel.

Gambar 2. Penelusuran panjang gelombang maksimum untuk bromo indigo

Gambar 3. Sampel proses pengolahan siklus pertama untuk: (a) Trametes hirsuta; (b) Trametes versicolor; (c)

Laetiporus sp.; dan (d) P. chrysosporium

(a) (b)

(4)

Gambar 4. Hasil penelusuran zat warna pada panjang gelombang sinar tampak pengolahan bromo indigo dengan fungi (a)Trametes hirsuta (b) Trametes versicolor (c) Laetiporus sp. (d) P. chrysosporium

Pada semua kondisi penelitian, dipelajari bahwa proses degradasi zat warna berlangsung dengan sangat baik. Secara visual, hasil pengolahan siklus pertama dari limbah dapat dilihat pada gambar 4. Dapat disimpulkan bahwa proses pengolahan menggunakan fungi Trametes hirsuta memberikan hasil yang terbaik, ditandai dengan warna air hasil siklus yang hampir bening. Fungi yang memberikan hasil pengolahan kedua terbaik ialah P.

chrysosporium, diikuti oleh Trametes versicolor, dan yang terakhir ialah Laetiporus sp.

Gambar 4 menunjukkan hasil penelusuran zat warna pada panjang gelombang antara 400-800 nm. Pada setiap awal pengolahan, ditemukan adanya sebuah puncak absorbansi di sekitar panjang gelombang 661 nm yang mengindikasikan bahwa terdapat zat warna bromo indigo pada sampel. Pada setiap akhir pengolahan, tidak ditemukan munculnya puncak absorbansi baru pada daerah panjang gelombang sinar tampak. Hal ini berarti tidak seperti pengolahan jenis lain yang masih memungkinkan terdegradasinya zat warna asal menjadi zat warna lain, proses pengolahan dengan memanfaatkan enzim ekstraseluler fungi mampu mendegradasi zat warna hingga memecah gugus aromatiknya (tidak menghasilkan zat warna baru).

Dari gambar 4 juga dapat terlihat bahwa penurunan puncak kurva bromo indigo yang paling signifikan dicapai oleh pengolahan air limbah menggunakan fungi Trametes hirsuta. Hasil yang kedua signifikan dicapai oleh pengolahan menggunakan P. chrysosporium, diikuti oleh Trametes versicolor, dan yang terakhir ialah

Laetiporus sp. Hasil ini sesuai dengan hasil pengamatan secara visual yang telah dibahas sebelumnya.

Penelitian terhadap jamur pelapuk putih menunjukkan bahwa penguraian zat warna terjadi karena adanya berbagai enzim ekstraseluler yang dikeluarkan oleh jamur pelapuk putih (Champagne dan Ramsay, 2005). Pada penelitian yang telah dilakukan terhadap jamur lapuk putih, diketahui bahwa enzim yang berperan cukup signifikan pada proses penghilangan zat warna adalah enzim lakase (Couto dkk., 2004). Dari Gambar 5, ditunjukkan absorbansi sampel dan aktivitas enzim oleh keempat spesies jamur.

Dari hasil pengolahan dengan menggunakan Trametes hirsuta dapat diperoleh aktivitas enzim tertinggi sebesar 40,83 U/L. Sementara itu, aktivitas enzim tertinggi oleh Trametes versicolor 21,66 U/L; Laetiporus sp. adalah 54,58 U/L; dan Phanerochaete chrysosporium sebesar 42,92 U/L. Dari hasil penelitian ini, dipelajari bahwa Laetiporus sp. adalah spesies yang paling banyak menghasilkan enzim lakase. Spesies lain yang juga baik dalam memproduksi lakase adalah Phanerochaete chrysosporium. Sementara itu, dari Gambar 9-12 juga terlihat bahwa produksi enzim lakase oleh keempat jamur berlangsung secara stabil kecuali pada produksi oleh Trametes

hirsuta.

Bila membandingkan aktivitas enzim dengan penghilangan warna, dapat dilihat bahwa aktivitas enzim lakase tidak berhubungan positif dengan penghilangan warna bromo indigo. Walaupun Trametes hirsuta termasuk spesies yang relatif tidak terlalu banyak menghasilkan enzim lakase, namun pengolahan dengan

Trametes hirsuta melakukan penghilangan warna paling baik. Sementara itu, Laetiporus sp. yang menghasilkan

enzim lakase terbanyak melakukan penghilangan warna paling buruk.

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 200 300 400 500 600 700 800 Panjang Gelombang (nm) A b so rb an si ( A )

Pre Hari ke-3 Hari Ke-6

(a) 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 200 300 400 500 600 700 800 Panjang Gelombang (nm ) A b so rb an si ( A )

Pre Hari ke-3 Hari ke-6

(b) 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 200 300 400 500 600 700 800 Panjang Gelombang (nm) Ab s o rb a n s i ( A )

Pre Hari ke-3 Hari Ke-6

(d) 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 200 300 400 500 600 700 800 Panjang Gelombang (nm) A b so rb an si ( A )

Pre Hari ke-3 Hari ke-6

(5)

Berdasarkan fakta ini, dapat disimpulkan bahwa enzim lakase bukanlah enzim yang paling berperan dalam degradasi bromo indigo. Terdapat enzim ekstraseluler lain yang berperan dalam degradasi zat warna. Selain itu, dari hasil pengolahan dengan menggunakan jamur spesies Laetiporus sp. diduga bahwa lakase tidak terlalu berperan dalam degradasi bromo indigo.

Keberadaan enzim total di dalam cairan dalam biorektor dideteksi dengan menghitung kadar konsentrasi protein. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan menggunakan analisis Bradford. Bradford Assay diawali dengan membuat kurva standar protein yang memuat informasi mengenai absorbansi protein pada berbagai konsentrasi protein. Pengukuran menggunakan Bradford Assay menghasilkan data konsentrasi total protein.

Bradford Assay mendeteksi seluruh enzim yang ada dalam cairan limbah, baik yang masih aktif maupun yang

sudah terdeaktivasi. Namun, metoda ini tidak mengukur protein yang telah terurai. Hasil analisis yang dilakukan terhadap konsentasi protein di dalam bioreaktor ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Grafik konsentrasi protein selama waktu pengolahan bromo indigo (♦ : pengolahan oleh Trametes

hirsuta, ■ : pengolahan oleh Laetiporus sp., ▲:

pengolahan oleh Trametes versicolor, ● : Phanerochaete

chrysosporium )

Dari Gambar 6 terlihat bahwa secara umum terjadi peningkatan konsentrasi protein dalam sampel. Konsentrasi protein tertinggi dicapai oleh Trametes versicolor dengan nilai 94 g/L. Sementara itu, konsentrasi protein terendah dihasilkan oleh Phanerochaete chrysosporium. Bila kita membandingkan antara aktivitas enzim dan konsentrasi protein total, terlihat bahwa tidak terdapat hubungan langsung di antara keduanya. Hal ini dapat terlihat secara jelas pada pengolahan dengan Trametes hirsuta dan Laetiporus sp. Pada pengolahan dengan

Trametes hirsuta, sekalipun nilai aktivitas lakase yang dihasilkannya jauh lebih rendah dari pengolahan dengan Laetiporus sp., konsentrasi protein total kedua jenis jamur relatif sama. Hal ini menunjukkan adanya indikasi

bahwa Trametes hirsuta menghasilkan enzim ekstraseluler lain selain lakase dalam jumlah yang cukup banyak sementara Laetiporus sp. tidak terlalu banyak memproduksi enzim ekstraseluler jenis lain sehingga konsentrasi total proteinnya relatif sama.

Pada Gambar 7 ditunjukkan hasil SEM dari luffa sebelum diinokulasi dan luffa yang telah diinokulasi

jamur. Dari Gambar tersebut, terlihat bahwa keempat spesies jamur tumbuh dengan baik di seluruh permukaan luffa. Spesies jamur yang paling sesuai untuk ditumbuhkan pada media luffa adalah Trametes hirsuta dan Phanerochaete chrysosporium. Hal ini dapat dilihat dari kepadatan jamur pada luffa pada Gambar 6.

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 5. Grafik absorbansi sampel dan aktivitas enzim selama waktu pengolahan bromo indigo oleh (a)Trametes

hirsuta, (b)Trametes versicolor, (c)Laetiporus sp. , (d)Phanerochaete chrysosporium (■ : absorbansi warna; ♦ : aktivitas enzim)

(6)

4. Kesimpulan

Dari penelitian, dapat diambil kesimpulan bahwa penghilangan warna dalam limbah tekstil terutama disebabkan oleh enzim, namun enzim ekstraseluler bukanlah satu-satunya agen penghilang warna. Di antara keempat spesies jamur yang digunakan, Trametes hirsuta merupakan spesies yang terbaik dalam penguraian

bromo indigo.Selama proses penghilangan warna, juga teramati konsentrasi protein yang meningkat.

5. Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini, yaitu Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas dana penelitian melalui Program Kreativitas Mahasiswa, Guswandhi dan Panjaitan atas kerja samanya dalam proses pelaksanaan penelitian ini.

Daftar Pustaka

[1] Adosinda, A., (2003), “Comparative studies of fungal degradation of single or mixed bioaccessible reactive azo dyes”, Chemosphere 52, hal. 967–973

[2] Bar, M., (2001),“Kinetics and Physico-Chemical Properties Of White-Rot Fungal Laccases”, Department of Microbiology and Biochemistry, University of the Free State, Bloemfontein

[3] Böhmer, U.; Suhardi, S.H., (2006), “Temporary Lift up Immersion of white–rot fungi on palm oil fibre and

pine wood chips to decolourize reactive textile dyes”

[4] Couto, S. R., Sanroman, M.A., (2002), “Application of solid-state fermentation to food industry—A review”, University of Vigo

[5] Couto, R. S, Sanroman, M.A., Hofer, D., dan Gűbitz, G.M., (2003),“Investigation of Several Bioreactor Configuration for Laccase Production by Trametes Versicolor Operating in Solid-State Conditions”,

Biochemical Engineering Journal 15, hal 21–26

[6] Couto, R. S., Sanroman, M.A., Hofer, D., dan Gűbitz, G.M., (2004), “Production of Laccase by Trametes hirsuta Grown in an Immersion Bioreactor and its Application in the Decolorization of Dyes from a Leather Factory”, Eng Life Sci 4, No. 3, hal 233–238

[7] Bradford, M. M., (1976), “A rapid and sensitive for the quantitation of microgram quantities of protein

utilizing the principle of protein dye binding, Analytical Biochemistry”, hal 48-254

[8] Champagne, P. P.; Ramsay, Juliana A., (2005), “Contribution of manganese peroxidase and laccase to dye decoloration by Trametes versicolor”, Appl Microbiol Biotechnol 69, hal 276–285

[9] Guswandhi; Panjaitan, J.S.P., (2007), “Penghilangan Warna Limbah Tekstil Dengan Marasmius sp. Dalam

Bioreaktor Unggun Tetap Termodifikasi (Modified Packed Bed Bioreactor)”, ITB

[10] Mathur, N.; Bhatnagar, P. ; Bakre, P., (2005), “Assessing Mutagenicity of Textile Dyes From Pali (Rajasthan) Using Ames Bioassay”, Applied ecology and environmental research 4(1), hal 111-118

[11] Novotny, A., (2001), “Capacity of Irpex lacteus and Pleurotus ostreatus for decolorization of chemically different dyes”, Journal of Biotechnology 89, hal. 113–122

[12] Tjen,M; Kirk, T.K., (1988), “Lignin Peroxidase of Phanerochaete chrysosporium”, In : Methods in Gambar 7. Gambar scanning

electron microscopy dari: (a) luffa

sebelum diinokulasi; luffa yang telah diinokulasi (b) Trametes

hirsuta; (c) Laetiporus sp.; (d)

Trametes versicolor; dan (e)

Phanerochaete crysosporium.

(a) (b) (c)

Gambar

Tabel 1 Ringkasan Penelitian Berkenaan dengan Jamur Lapuk Putih
Gambar 1 Diagram dan  gambar sistem bioreaktor  unggun tetap termodifikasi  untuk pengolahan limbah  pewarna
Gambar 4. Hasil penelusuran zat warna pada panjang gelombang sinar tampak pengolahan bromo indigo dengan  fungi  (a)Trametes hirsuta (b) Trametes versicolor (c) Laetiporus sp
Gambar 6. Grafik konsentrasi protein selama waktu  pengolahan bromo indigo (♦ : pengolahan oleh Trametes  hirsuta,  ■ : pengolahan oleh Laetiporus sp., ▲:

Referensi

Dokumen terkait

Tuhan Yesus Kristus sebagai bentuk pertangung jawaban saya terhadap talenta yang diberikanNya. Serta kepada kedua orang tua saya yang selalu menyebutkan nama saya dalam

*$lusi dari permasalahan yang terakhir yaitu dengan )ara mengadakan kegiatan umat bersih. "al ini bertujuan agar mush$la disini kembali terawat dan dapat dimanfaatkan

“ Tidak semua mata pelajaran menggunakan bahan ajar ketika proses pembelajaran berlangsung, tetapi pada mata pelajaran Aqidah Ahlak pada bab perilaku terpuji, ibu

Hasil penelitian ini adalah variabel inflasi, suku bunga SBI, nilai tukar rupiah terhadap dollar, dan cadangan devisa secara bersamaan berpengaruh signifikan terhadap Penanaman Modal

Namun penelitian yang dilakukan oleh Yokoyama dkk (2005) terhadap 30 pasien elektif yang akan menjalani pembedahan esofagektomi radikal mendapatkan hasil yang

Anugrah yang merupakan mitra toko penjualan pupuk dari PT Sepuluh Sempurna Blimbing mempunyai strategi pemasaran yang bagus dalam memperoleh kepuasan pelanggannya serta

Secara visual katak panah beracun memiliki kulit yang halus dan warna yang mencolok. Tidak seperti kebanyakan katak lainnya, spesies ini aktif pada siang hari dan sering

(3) Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah dana yang diperuntukkan untuk pelayanan kesehatan peserta Program Pelayanan Karawang Sehat di fasilitas kesehatan