HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lahan Pertanaman Jambu Biji
Desa Bantarsari dan Bantarjaya merupakan dua dari tujuh desa yang termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Rancabungur, Bogor, Jawa Barat. Kedua desa tersebut berbatasan langsung sehingga beberapa petani responden dari Desa Bantarsari berusaha tani jambu biji di Desa Bantarsari sendiri dan sebagian besar di lahan pertanian Desa Bantarjaya.
Kecamatan Rancabungur secara umum berada pada ketinggian 165 m dpl, dengan curah hujan rata-rata 257,57 mm/tahun dan suhu udara rata-rata yaitu 30 sampai 34 °C. Data curah hujan harian selama penelitian diperoleh dari Badan Metereologi dan Geofisika, Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor (Lampiran 1). Bentuk wilayah Desa Bantarsari dan Bantarjaya rata-rata datar.
Jambu biji merupakan salah satu tanaman tahunan yang banyak ditanam petani selain komoditas lainnya yaitu padi, terong, pepaya, kangkung, bayam, mentimun, pare, oyong, jagung, ubi jalar, ubi kayu, katuk, bengkuang, kacang tanah, kacang panjang, talas dan jati.
Ketiga lahan pertanaman jambu biji yang diamati setiap minggu terletak di Desa Bantarjaya dengan jarak yang agak berjauhan antara lahan satu dengan yang lainnya. Luas lahan pertanaman jambu biji dengan umur tanaman 4,5 bulan (lahan 1), 1,5 tahun (lahan 2), dan 4,5 tahun (lahan 3) berturut-turut sekitar 3000, 3000, dan 1800 m2 dengan populasi tanaman jambu biji berturut-turut 82, 70 dan 55 tanaman serta jarak tanam berturut-turut 6 x 5 m, 6 x 6 m, dan 6 x 5 m. Pada ketiga lahan tersebut jambu biji yang dibudidayakan adalah jambu biji merah.
Pada lahan dengan umur tanaman 4,5 bulan (Gambar 1A), tanaman jambu biji ditanam dengan pola tumpang sari dengan tanaman bengkuang, setelah bengkuang dipanen diganti dengan kacang tanah. Lahan tersebut cukup terawat karena dengan pergantian tanaman yang berlanjut, tanah beberapa kali diolah dan gulma selalu dibersihkan kecuali tanaman tumpang sari sudah mendekati masa panen. Di sekitar lahan jambu biji muda terdapat lahan lain yang ditanami jagung, ketela pohon, terong, katuk, dan jambu biji.
A
B
C
Gambar 1 Pertanaman jambu biji di Desa Bantarjaya Kecamatan Rancabungur: (A) lahan pertanaman jambu biji 1 tahun (lahan 1), (B) lahan pertanaman jambu biji 2 tahun (lahan 1), dan (C) lahan pertanaman jambu biji 5 tahun (lahan 3).
Pada lahan dengan umur tanaman 1,5 tahun (Gambar 1B) jambu biji ditanam dengan pola tumpang sari dengan tanaman ubi jalar, setelah ubi jalar panen tanaman jambu biji ditanam secara monokultur. Lahan tidak diberi pagar sampai akhir pengamatan, gulma yang sering dibersihkan hanya pada sekeliling tanaman jambu biji sedangkan gulma lain dibiarkan tumbuh dan dibersihkan jika gulma sudah cukup tinggi. Di dekat lahan tersebut terdapat lahan lain yang ditanami ubi jalar dan ketela pohon.
Tanaman jambu biji yang berumur 4,5 tahun (Gambar 1C) ditanam secara monokultur karena tajuk tanaman sudah menutupi lahan. Pada kedua lahan muda dan tua bagian pinggir lahan diberi pagar yang terbuat dari bambu sekaligus ditanami tanaman pagar antara lain pisang, puring, bunga sepatu, ketela pohon, jarak pagar, dan ki hujan. Pisang ditanam bertujuan untuk diambil daunnya yang nantinya akan digunakan sebagai bahan pengisi dalam pengepakan buah jambu biji. Di sekitar lahan jambu biji tua terdapat lahan lain yang ditanami jagung, jambu biji merah milik petani lain, kangkung, kacang tanah, dan katuk.
Organisme Pengganggu Tanaman yang Ditemukan pada Tanaman Jambu Biji
Pada beberapa lahan jambu biji di Kecamatan Rancabungur dan kampus IPB Darmaga dijumpai berbagai organisme pengganggu tanaman (OPT) yang (sebagian atau seluruh) aktivitas hidupnya berasosiasi dengan tanaman jambu biji. Lalat buah merupakan OPT yang telah dilaporkan di berbagai tempat merupakan salah satu hama tanaman jambu biji yang merugikan. OPT lainnya yaitu Helopeltis sp., A. dispersus, beberapa spesies kutu putih, Icerya seychellarum, kutu perisai, Coccus viridis, kututempurung, kutudaun, Carpophilus dimidiatus, A. atlas, Trabala spp., Valanga nigricornis, dan tungau merupakan hama sekunder atau hama minor pada tanaman jambu biji (Gould & Raga 2002). OPT tersebut dapat berpotensi menjadi hama penting jika populasinya meledak di pertanaman.
Tabel 3 Organisme pengganggu tanaman pada tanaman jambu biji di Rancabungur dan kampus IPB Darmaga, Bogor
Ordo Famili OPT Bagian tanaman yang diserang Rancabungur IPB
Darmaga Lahan 1 Lahan 2 Lahan 3
Acarina Tetranychidae Tungau laba-laba meraha daun muda dan tua - - - √
Acarina Mycobatidae Tungau kumbang pucuk, daun, buah √ √ √ √
Orthoptera Acrididae Valanga spp. daun √ √ √ √
Hemiptera Coreidae Anoplocnemis phasiana
(Fabr.)
pangkal daun muda dekat pucuk, daun tua, bunga
- - - √
Hemiptera Coreidae Mictis longicornis Westw. pangkal daun muda dekat
pucuk
- - - √
Hemiptera Coreidae Physomeris grossipes (Fabr.) ranting muda - - - √
Hemiptera Miridae Helopeltis sp. ranting pucuk, buah - √ √ √
Hemiptera Tessaratomidae Pycanum alternatum (Lep. & Serv.)
daun muda - - - √
Hemiptera Tessaratomidae Tessaratoma javanica
(Thnb.) daun muda - - - √
Hemiptera Flatidaea Lawana candida (Fabr.) daun, ranting, buah - - - √
Hemiptera Aleyrodidae Aleurodicus dispersus Russel daun tua √ √2 √ √
Hemiptera Aleyrodidae Aleuroclava sp. 1 daun tua - - - √
Hemiptera Aleyrodidae Aleuroclava sp. 2 daun tua √ - - √
28
Tabel 3 Lanjutan.
Ordo Famili OPT Bagian tanaman yang
diserang
Rancabungur IPB Darmaga
Lahan 1 Lahan 2 Lahan 3
Hemiptera Aphididae Aphis gossypii Glov. daun pucuk √ √ √ √
Hemiptera Margarodidae Icerya seychellarum (Westw.)
daun, tangkai buah √ √ √ √
Hemiptera Coccidae Coccus viridis (Green) daun tua, ranting, buah √ √ √ √
Hemiptera Coccidae Kututempurung hitam daun, ranting √ √ √ √
Hemiptera Diaspididae Aspidiotus destructor Sign. daun tua, buah √ √ √ √
Hemiptera Diaspididae Kutu perisai spesies 1 daun tua - - - √
Hemiptera Pseudococcidae Ferrisia virgata Ckll. daun muda dan tua,
buah, ranting muda
√ √ √ √
Hemiptera Pseudococcidae Maconellicoccus hirsutus (Green)
ranting, daun muda dan tua, buah
√ √ √ √
Hemiptera Pseudococcidae Paracoccus marginatus
Will. & Granara de Willink pucuk, daun, ranting - - - √
Hemiptera Pseudococcidae Planococcus minor Mask. daun muda dan tua, bunga, buah, ranting muda, tangkai bunga
dan buah
√ √ √ √
Hemiptera Pseudococcidae Rastrococcus jabadiu Will. batang, ranting, daun, bunga
29
Tabel 3 Lanjutan.
Ordo Famili OPT Bagian tanaman yang
diserang
Rancabungur IPB Darmaga
Lahan 1 Lahan 2 Lahan 3
Hemiptera Pseudococcidae Rastrococcus invadens Will. daun tua - - - √
Hemiptera Pseudococcidae Rastrococcus spinosus
(Rob.)
daun tua, daun muda √ √ √ √
Coleoptera Curculionidae Kumbang moncong daun √ √ - √
Coleoptera Nitidulidae Carpophilus dimidiatus
(Fabr.)
buah - - - √
Coleoptera Nitidulidae Carpophilus sp. 1 buah - √ - √
Coleoptera Nitidulidae Brachypeplus sp. buah - - - √
Diptera Tephritidae Bactrocera carambolae (Drew & Hancock)
buah - √ √ √
Lepidoptera Ulat pucuk pucuk, daun muda,
ranting, buah
√ 1 √ 2 √ √
Lepidoptera Ulat penggulung daun daun tua √ √ √ √
Lepidoptera Lasiocampidae Trabala spp. daun √ √ √ -
Lepidoptera Limacodidae Ulat api spesies 1 daun tua - - - √
Lepidoptera Limacodidae Ulat api spesies 2 daun, ranting muda - - - √
30
Tabel 3 Lanjutan.
Ordo Famili OPT Bagian tanaman yang
diserang
Rancabungur IPB Darmaga
Lahan 1 Lahan 2 Lahan 3
Lepidoptera Psychidae Pagodiella hekmeyeri (Heyl.) daun - - √ √
Lepidoptera Psychidae Pteroma pendula Joann. daun √ √ √ √
Lepidoptera Psychidae Ulat kantung spesies 1 daun √ √ √ √
Lepidoptera Psychidae Ulat kantung spesies 2 daun - √ √ -
Lepidoptera Psychidae Ulat kantung spesies 3 daun √ √ √ √
Lepidoptera Psychidae Ulat kantung spesies 4 daun √ √ √ √
Lepidoptera Psychidae Ulat kantung spesies 5 daun √ √ √ √
Lepidoptera Psychidae Ulat kantung spesies 6 daun √ √ √ √
Lepidoptera Pyralidae ulat penggerek buah buah √ √ √ -
Lepidoptera Saturniidae Attacus atlas Linn. daun - √ √ -
Keterangan: (√) dijumpai (1) hama dominan pada lahan 1 (a) dijumpai di Rancabungur pada lahan lain (-) tidak dijumpai (2) hama dominan pada lahan 2
Keanekaragaman OPT tertinggi yaitu pada lahan kampus IPB Darmaga. OPT yang ditemukan di lahan kampus IPB tidak ditemukan di Rancabungur yaitu tiga spesies kutu putih R. jabadiu, R. invadens, P. marginatus; kepik penghisap pucuk dan daun muda A. phasiana,
Pada lahan kampus IPB Darmaga, pengelolaan terhadap hama dan penyakit tidak dilakukan secara intensif. Pembungkusan buah jambu biji terlambat dilakukan dan aplikasi pestisida dilakukan jika ada biaya atau setelah hama mulai banyak. Pada ketiga lahan di Rancabungur, pada lahan 1 dan 2 tingkat kenaekaragamannya sama namun terdapat perbedaan jenis yang terdapat pada masing-masing lahan. Pada pertanaman jambu biji 4,5 bulan (lahan 1), kenaekaragamannya paling rendah. Pada lahan ini tanaman belum memasuki masa generatif, hanya pada pengamatan terakhir buah jambu biji mulai muncul pada dua tanaman contoh sehingga OPT yang hanya menyerang buah jambu biji pada lahan ini tidak ditemukan.
Hama yang dominan pada ketiga lahan di Rancabungur juga berbeda-beda. Pada lahan 1 hama dominan yang diamati adalah ulat pucuk, belalang, dan ulat penggulung daun. Ketiga hama tersebut merupakan hama menggigit-mengunyah yang menyerang daun sehingga diamati tingkat kerusakan tanamannya. Pada lahan 2, hama yang dominan yaitu ulat pucuk, kutu putih, dan kutukebul. Pada lahan 3 tingkat kerusakan yang diamati adalah akibat aktivitas makan hama menggigit-mengunyah.
Hama Menggigit-Mengunyah yang Menyerang Daun
Hama menggigit-mengunyah selalu ditemukan pada saat pengamatan di setiap lahan pertanaman jambu biji. Tingkat kerusakan tanaman pada ketiga lahan pengamatan akibat hama menggigit-mengunyah berfluktuasi setiap minggunya (Gambar 2). Pada lahan 1, tingkat kerusakan tertinggi yaitu pada minggu ke-3 Mei. Tingkat kerusakan tanaman pada setiap pengamatan cenderung mengalami penurunan setelah sebelumnya meningkat karena petani melakukan aplikasi insektisida jika populasi hama pada tanaman jambu biji di lahan tersebut terlihat banyak. Pada lahan 2, tingkat kerusakan tertinggi yaitu pada mingu ke-1 dan ke-2 Mei (Gambar 2). Pada lahan ini tingkat kerusakan tanaman akibat hama menggigit-mengunyah berkaitan dengan tingkat populasi ulat pucuk sebagai hama menggigit-mengunyah yang utama. Pada lahan 3 tingkat kerusakan tanaman mengalami kenaikan tajam sejak minggu pertama April dan puncaknya pada minggu ke-3 April. Pada lahan ini pada ranting yang diamati cenderung lebih
banyak daun-daun yang tua yang terdapat bekas gerigitan hama menggigit-mengunyah yang tetap ada. Pada saat daun tanaman berguguran dan serangan hama tinggi, tingkat kerusakannya meningkat. Tanaman jambu biji memiliki daya regenerasi yang tinggi (Rismunandar 1989). Pada kondisi lingkungan yang mendukung, tanaman akan segera menghasilkan pucuk-pucuk baru lagi setelah mengalami kerusakan sehingga tingkat kerusakan tanaman akan cenderung menurun jika pada bagian tanaman tersebut tidak diserang hama lagi.
Gambar 2 Tingkat kerusakan tanaman jambu biji oleh serangan hama menggigit-mengunyah pada ketiga lahan.
Ulat Pucuk (Lepidoptera). Tingkat kerusakan tanaman akibat hama menggigit-mengunyah berkorelasi dengan populasi hama penyebabnya. Pada lahan 1 dan 2, ulat pucuk merupakan hama menggigit-mengunyah yang paling dominan menyebabkan kerusakan pada daun. Pada lahan 1 tingkat kerusakan tanaman terus meningkat sampai minggu ke-3 April, kemudian minggu-minggu berikutnya mengalami penurunan lagi sampai pengamatan terakhir minggu ke-3 Mei (Gambar 3). Pada lahan 2, tingkat kerusakan tanaman sejak awal pengamatan sudah cukup tinggi. Sejak minggu ke-2 April tingkat kerusakan tanaman mengalami penigkatan tajam dan mencapai puncaknya pada minggu ke-4 April (Gambar 3). Tingkat kerusakan rata-rata pada lahan jambu biji muda rata-rata lebih rendah daripada lahan jambu biji sedang, karena jumlah pucuk yang terbentuk belum banyak pada lahan jambu biji muda. Pada lahan 2, percabangan sudah terbentuk dan banyak pucuk yang berkembang.
0 4 8 12 16 20 24 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 Tingkat kerusakantanam an (% ) Minggu pengamatan lahan 1 lahan 2 lahan 3 April Mei Maret
Gambar 3 Tingkat kerusakan tanaman jambu biji akibat serangan ulat pucuk di lahan 1 dan 2.
Larva instar awal berukuran kecil panjang tubuh sekitar 2 mm menggerek pucuk daun dan merekatkan daun pucuk di dekatnya dengan menggunakan sutera yang dihasilkannya. Larva berwarna kehijauan transparan dengan kepala coklat muda, ketika menjelang berpupa warna tubuh larva berwarna merah terang panjang tubuh sekitar 12,5 mm (Gambar 4B). Larva hidup di dalam lipatan daun sampai stadia pupa. Pupa dalam lipatan daun dilindungi kokon tipis berwarna putih, pupa tipe obtekta berwarna coklat tua (Gambar 4C). Gejala yang ditimbulkan hama ini selain pucuk mati karena digerek, larva juga memakan daun muda dan ranting muda dari dalam lipatan hingga daun berlubang-lubang (Gambar 4D-E). Jika tanaman jambu biji diserang pada fase generatif selain menggerek pucuk dan daun muda, larva juga menggerek bunga yang belum mekar (Gambar 4A).
Larva juga dapat menyerang buah muda, buah direkatkan dengan buah lain yang berdekatan atau dengan daun menggunakan sutera (Gambar 4G). Larva memakan buah pada bagian permukaan saja. Bekas gerigitan hama ini akan mengering, dan akan tetap membekas sampai buah matang (Gambar 4H).. Bagian dalam buah masih bisa dimakan tapi untuk pasar tertentu jambu ini tidak disukai konsumen sehingga menurunkan nilai jual.
0 10 20 30 40 50 60 70 80 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 Tingkat kerusakan tanam an (% ) Minggu pengamatan lahan 1 lahan 2
A B C D E F G H
Gambar 4 Ulat pucuk dan gejala kerusakannya pada tanaman jambu biji: (A) larva menggerek bunga, (B) larva menjelang berpupa, (C) pupa, (D) pucuk dan daun muda dijalin, (E) daun dan ranting dijalin, (F) daun muda dilipat dan berlubang-lubang, terdapat fras yang melekat pada sutera, (G & H) permukaan buah terdapat bekas gerigitan larva yang mengering.
Belalang Kayu Valanga spp. (Orthoptera: Acrididae). Belalang merupakan hama lain yang dominan pada lahan 1. Populasi belalang Valanga spp. pada setiap minggunya berfluktuasi. Populasi belalang tertinggi yaitu pada minggu ke-4 April (Gambar 5) sebanyak 15 belalang. Jumlah tersebut relatif masih sedikit dibanding tanaman jambu biji yang banyak karena yang dihitung hanya yang terdapat pada tanaman contoh sedangkan belalang pergerakannya aktif dan di lahan sekitarnya terdapat komoditas lain yang merupakan inang dari belalang yaitu jambu biji petani lain dan jagung.
Gambar 5 Populasi belalang Valanga spp. pada lahan 1.
Keberadaan belalang pada lahan ini dipengaruhi oleh umur tanaman jambu biji yang saat itu berada pada fase vegetatif; pembentukan daun sedang berlangsung. Belalang yang banyak ditemukan berupa nimfa brakhiptera. Tanaman jambu biji yang belum terlalu tinggi pada lahan tersebut oleh belalang digunakan sebagai tempat berlindung sekaligus sumber makanan. Belalang imago (Gambar 6A) juga sering ditemukan namun aktivitas terbangnya lebih jauh daripada nimfa. Belalang menyebabkan daun jambu biji sobek karena digerigiti dari bagian pinggirnya (Gambar 6B). Populasi belalang pada lahan ini juga dipengaruhi oleh keberadaan tanaman bengkuang sebagai tanaman tumpang sari. Pada saat tanaman bengkuang pada masa vegetatif, populasi belalang meningkat.
Ulat Penggulung Daun. Larva hama ulat penggulung daun berukuran kecil sekitar 2 mm, berwarna kekuningan (Gambar 7A). Pupa berwarna kuning terang (Gambar 7B). Satu individu larva menggulung satu daun jambu biji (Gambar 7C).
0 4 8 12 16 20 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 Jum lah individu pada sem ua tanam an contoh Minggu pengamatan Mei Maret April
A B
Gambar 6 Belalang kayu Valanga nigricornis: (A) imago, (B) gejala gerigitan pada daun.
A B C
Gambar 7 Ulat penggulung daun: (A) larva, (B) pupa, (C) daun digulung, larva dan pupa hidup di dalam gulungan daun.
Larva makan dan berkembang di dalam gulungan daun, lama-kelamaan daun mengering dimulai dari bagian dalam, menjadi rapuh dan seperti pasir pada bagian dalamnya. Ulat penggulung daun jarang ditemukan pada lahan tanaman jambu biji tua.
Ulat penggulung daun pada lahan 1 populasinya sedikit pada awal pengamatan dan populasi tertinggi pada pengamatan terakhir (Gambar 8). Hama ulat penggulung daun jika terdapat pada suatu tanaman untuk beberapa lama akan tetap berada pada tanaman tersebut karena sejak larva sampai pupa hama terdapat di dalam gulungan daun.
Gambar 8 Populasi ulat penggulung daun pada lahan 1.
Hama menggigit-mengunyah lain juga terdapat di pertanaman jambu biji. Keberadaan hama ini menambah tingkat kerusakan pada tanaman jambu biji. Sebagian besar hama menggigit-mengunyah pada jambu biji adalah dari ordo Lepidoptera (Tabel 3), dan semuanya melakukan aktivitas makan daun tanaman jambu biji pada fase larva.
Ulat Kantung (Lepidoptera: Psychidae). Ulat kantung dari famili ini memiliki sekitar 1000 spesies, dimana seluruh perkembangan stadia larva terjadi dalam kantung (Rhainds et al. 2009). Kantung-kantung yang dibuat berbeda dalam ukuran dan bentuk sehingga bentuk ulat kantung ini dapat dibedakan dari spesies satu dengan spesies lainnya. Ulat kantung membuat kantung dari partikel daun, pasir, ranting dan partikel lain di sekitar ulat kantung tersebut yang direkatkan oleh sutera yang dikeluarkan larva ulat kantung.
Terdapat 8 jenis ulat kantung yang berbeda yang ditemukan pada pertanaman jambu biji di beberapa lahan di Rancabungur (Gambar 9). Perbedaan spesies tersebut diidentifikasi berdasarkan pengamatan terhadap bentuk kantungnya. Tujuh spesies di antaranya (P. hekmeyeri, P. pendula, 1-5, 7, dan 8) telah dilaporkan terdapat pada pertanaman jambu biji di Kecamatan Leuwisadeng, Dramaga, dan Sukaraja oleh Pravitasari (2009).
Ulat kantung P. hekmeyeri kantungnya berbentuk khas yaitu berbentuk pagoda (Gambar 9A). Gejala yang disebabkan ulat kantung ini adalah window panning, permukaan bawah daun dimakan dan disisakan epidermis atasnya.
0 5 10 15 20 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 Jum lah individu pada sem ua tanam an contoh Minggu pengamatan
A B C D E F G H
Gambar 9 Berbagai spesies ulat kantung pada tanaman jambu biji: (A) P. hekmeyeri, (B) P. pendula, (C) ulat kantung spesies 1, (D) ulat kantung spesies 2, (E) ulat kantung spesies 3, (F) ulat kantung spesies 4 (G) ulat kantung spesies 5, (H) ulat kantung spesies 6.
Sisa epidermis atas tersebut mengering dan akhirnya berlubang-lubang berbentuk bundar. Menurut Kalshoven (1981) ulat kantung ini polifag, memakan berbagai tanaman semak dan pohon antara lain daun teh.
Ulat kantung P. pendula, kantung terbuat dari potongan-potongan daun jambu yang sangat kecil yang ditempelkan dengan rapi menggunakan sutera yang dihasilkan larva, berwarna coklat (Gambar 9B). Setiap larva berganti instar, eksuviumnya ditempelkan di bagian posterior kantung sehingga pada bagian posterior kantung terdapat eksuvium kepala larva yang menempel (Pravitasari 2009; Suparno 2004).
Lama hidup ulat kantung dari telur sampai imago (jantan) sekitar 53 hari (Suparno 2004). Lama stadia larva dalam penelitian di laboratorium selama 38,8 ± 9,5 hari. Stadia larva ini merupakan stadia terlama.
Larva makan dari permukaan atas daun dan disisakan bagian epidermisnya, sehingga bagian yang tersisa akan mengering dan akhirnya berlubang. Pada populasi tinggi larva akan memakan daun pada bagian bawah dan atas dengan rakus sehingga tersisa tulang daunnya saja.
P. pendula mempunyai kisaran inang yang luas dengan 16 famili tanaman yang berbeda antara lain Fabaceae, Malvaceae, Oxalidaceae, Palmae, Solanaceae, Sapindaceae, Rubiaceae, Anacardiaceae, dan Theaceae (Kamarudin et al. 1994 dalam Suparno 2004). Dalam percobaan preferensi inang P. pendula terhadap enam daun tanaman yaitu jambu biji, jambu air, jeruk, mangga, belimbing, dan palem botol, tanaman inang yang lebih disukai adalah jambu biji dan palem botol (Suparno 2004).
Ulat kantung spesies 1, kantung terbuat dari potongan-potongan daun kecil dengan ukuran berbeda dan ditempelkan tidak teratur (seperti bertumpuk-tumpuk) pada sutera yang dihasilkan larva. Warna kantung coklat dan agak sedikit kehitaman terutama jika terkena air (Gambar 9C). Larva makan daun dari bagian pinggir atau tengah daun, dan hanya menyisakan tulang daunnya saja.
Ulat kantung spesies 2, kantungnya terbuat dari potongan daun jambu biji yang ditempel kemudian dibungkus dengan daun yang masih utuh (Gambar 9D). Larva makan dari bagian pinggir atau tengah daun, ada korelasi pertumbuhan larva dengan banyaknya daun yang dimakan. Larva ini makan daun termasuk
tulang daunnya dan hanya disisakan rantingnya saja. Pada saat mau berpupa ulat kantung menempelkan kantungnya dengan erat pada menggunakan sutera yang dikeluarkan oleh larva pada ranting atau cabang (Pravitasari 2009).
Ulat kantung spesies 3, kantung terbuat dari kulit kayu tipis, ditemukan juga plastik transparan tipis (Gambar 9E). Larva memakan daun dari bagian tengah atau pinggir daun sehingga daun berlubang-lubang. Pada populasi tinggi daun akan dimakan seluruhnya sampai tersisa tulang daunnya saja. Pada saat akan berpupa, larva menutup lubang posterior dan anteriornya kemudian menggantungkan kantungnya pada permukaan bawah daun pada tulang daunnya atau pada ranting.
Ulat kantung spesies 4, kantung terbuat dari sutera yang dihasilkan oleh larva, yang dibentuk sedemikian rupa sehingga membentuk kerucut panjang. Kantung berwarna putih kecoklatan (Gambar 9F). Cara makan dari bagian tengah atau pinggir daun sehingga daun berlubang-lubang.
Ulat kantung spesies 5, kantung terbuat dari daun gulma yang kering yang dilipat-lipat membentuk ketupat atau bulat dengan bagian tengah, kantung berwarna kecoklatan (Gambar 9G). Kantung selalu menggantung pada bagian permukaan bawah daun.
Ulat kantung spesies 6, kantung terbuat dari ranting pohon, satu atau lebih ranting ditempel oleh larva dengan panjang yang berbeda, ada ranting yang lebih panjang dari yang lainnya (Gambar 9H). Larva makan daun dari permukaan bawah dan disisakan permukaan atasnya, sehingga bekasnya menjadi kering dan akhirnya berlubang. Pada populasi tinggi daun disisakan tulang daunnya saja.
Pemencaran yang dilakukan ulat kantung yaitu dengan menggunakan sayap, berjalan dengan tungkai atau bergelantungan dengan sutera. Pemencaran dengan benang sutera dapat terjadi dengan bantuan angin.
Menurut Pravitasari (2009) musuh alami ulat kantung yaitu dari famili Ichneumonidae, Braconidae, dan Eulophidae yang merupakan parasitoid larva.
Pengendalian ulat kantung di antaranya dengan menggunakan daun suren. Perlakuan larutan daun suren terhadap ulat kantung pada uji di laboratorium setelah hari ketujuh menunjukkan tingkat kematian 100%. Daun suren memiliki
bahan aktif yang bersifat menghambat daya makan larva ulat kantung sehingga kematian tidak bersifat langsung (Suhaendah et al. 2008).
Pengendalian lain bisa dengan menggunakan pestisida berbahan aktif organofosfat. Pada pengujian terhadap ulat kantung oleh Suhaendah et al. (2008) kematian oleh organofosfat mencapai 50% pada hari pertama. Pestisida ini bekerja cepat langsung membunuh hama ulat kantung. Namun penggunaan pestisida kontak harus diperhatikan waktu dan cara aplikasi yang efektif karena pelindung yang dimiliki ulat kantung ini mampu melindungi ulat yang berada di dalamnya.
Trabala spp. (Lepidoptera: Lasiocampidae). Trabala spp. adalah ulat
bulu yang umum terdapat tanaman jambu biji dan tanaman berkayu lain (Kalshoven 1981). Ulat T. pallida pernah dilaporkan meledak populasinya pada pertanaman jambu biji di Pasar Minggu Jakarta (Rismunandar 1989). Telur berwarna abu-abu dan dilindungi oleh rambut-rambut untuk melindungi dari serangan predator dan parasitoid (Gambar10A). Larva muda berwarna kuning bergaris hitam dengan garis dorsal yang lebih terang dan titik berwarna biru pada bagian lateral pada bagian ujung tubuhnya. Larva mu0da seringkali ditemukan berkelompok pada permukaan atas daun jambu biji. Larva dewasa memiliki garis memanjang berwarna kuning (Gambar 10C). Pupa dibungkus kokon yang memiliki dua tonjolan (Gambar 10B). Larva makan daun muda dari bagian pinggir daun hingga habis (Gambar 10D).
Attacus atlas (Lepidoptera: Saturniidae). Larva A. atlas berwarna hijau
yang ditutupi tepung putih. A. atlas merupakan serangga polifag, sekitar 40 tanaman inang yang diketahui di Jawa antara lain teh, kina, dadap, mangga, jeruk, alpukat, lada (Kalshoven 1981), kaliki, jarak, dan sirsak (Mulyani 2008). Larva memakan daun muda dan tua, dari bagian pinggir atau tengah daun. Serangga ini sering ditemukan pada pertanaman jambu biji namun populasinya sangat rendah. Tanaman jambu biji yang telah mencapai ketinggian sekitar 2 m, maka larva akan lebih menyukai pada tajuk tanaman yang tinggi. Larva merupakan stadia terlama serangga ini. Kecepatan tumbuh larva bergantung pada temperatur dan kelembaban. Pertumbuhan lebih cepat pada temperatur yang lebih tinggi (Mulyani 2008). Pupa dibungkus oleh kokon berwarna coklat keemasan, biasanya kokon
berada pada permukaan daun. Keberadaan serangga ini mudah dikenali karena seringkali ditemukan imago yang berukuran besar di pertanaman (Gambar 11).
A
B C D
Gambar 10 Trabala sp.: (A) kelompok telur, (B) pupa, (C) larva, dan (D) gejala gerigitan pada daun jambu biji; (E) imago Attacus atlas di pertanaman jambu biji.
Ulat Api (Lepidoptera: Limacodidae). Ulat api spesies 1 memakan daun jambu biji dari permukaan bawah daun disisakan epidermis atasnya sehingga menghasilkan gejala window panning (Gambar 12A). Ulat api spesies 2 (Gambar 12B), makan daun jambu biji juga rantingnya menyebabkan sisa-sisa gerigitan berwarna hitam. Kedua serangga ini terdapat pada lahan jambu biji kampus IPB Darmaga dengan populasi yang sangat rendah.
A B
Gambar 12 Ulat api: (A) spesies 1 dengan gejala window panning pada daun tua jambu biji, (B) larva ulat api spesies 2.
Kumbang Moncong (Coleoptera: Curculionidae). Kumbang berwarna merah dengan corak hitam, panjang tubuh sekitar 7,6 mm (Gambar 13). Kumbang ini menyebabkan gejala gerigitan yang khas pada daun jambu biji yaitu daun jambu dimakan dari bagian tengah disisakan tulang-tulang daunnya (Gambar 13). Kumbang menyukai daun muda, sehingga ketika daun berkembang menjadi tua bekas gerigitan masih tetap ada. Perilaku kumbang moncong ini jika diganggu akan berpura-pura mati dan menjatuhkan dirinya ke tanah.
C D
Gambar 13 Kumbang moncong: (A) imago, (B) daun berlubang-lubang disisakan tulang daunnya.
Kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae)
Aleurodicus dispersus. Kutukebul A. dispersus (Gambar 14) selalu
ditemukan pada setiap pertanaman jambu biji di Rancabungur. Kutukebul ini merupakan hama polifag yang memiliki kisaran inang yang luas. Murgianto (2010) melaporkan kutukebul ini menyerang 111 spesies tanaman dari 53 famili meliputi tanaman hortikultura, perkebunan, gulma, dan kehutanan. Jambu biji merupakan salah satu inang utamanya (Gungah et al. 2005). Kutukebul A. dispersus menyerang daun-daun tua mengkolonisasi pada bagian permukaan bawah daun (Gambar 14C). Kutukebul ini merupakan penghasil embun madu yang baik, sehingga pada daun yang dikolonisasi kutukebul ini pada permukaan atasnya akan terbentuk embun jelaga (Gambar 14D).
A B
C D
Gambar 14 Kutukebul A. dispersus: (A) pupa dan imago, (B) preparat pupa, (C) koloni pada permukaan bawah daun tua jambu biji, menyebabkan (D) embun jelaga pada permukaan atas daun.
Kutukebul A. dispersus merupakan salah satu hama dominan pada pertanaman jambu biji 1,5 tahun (lahan 2). Intensitas serangannya berfluktuasi pada setiap minggunya, pada awal pengamatan populasinya relatif rendah dan mengalami penurunan sampai minggu ke-4 Maret (Gambar 15). Pada minggu-minggu tersebut hujan hampir terjadi setiap hari. Populasi kutukebul ini dipengaruhi (salah satunya) oleh hujan, karena ukuran tubuhnya yang kecil sehingga dapat tersapu oleh air hujan. Namun kutukebul dapat tetap berada di pertanaman karena hama tersebut terutama banyak terdapat pada permukaan bawah daun yang terlindung dari hujan. Sehingga pada minggu-minggu berikutnya ketika hujan sudah jarang terjadi populasinya meningkat kembali dengan populasi tertinggi pada minggu ke-3 April (Gambar 15). Peningkatan populasi ini juga dipengaruhi oleh keberadaan daun-daun tua yang semakin rimbun karena petani tidak melakukan perempelan daun.
Gambar 15 Intensitas serangan kutukebul pada tanaman jambu biji di lahan 2.
Kutukebul Aleuroclava sp. 1 dan Aleuroclava sp. 2. Kedua spesies kutukebul ini terdapat pada permukaan bawah daun tua jambu biji, soliter dan menyebar. Pada satu daun jambu biji kedua spesies ini kadang-kadang ditemukan secara bersamaan. Aleuroclava sp. 2 menyebabkan daun klorotik dan permukaan bawahnya tampak sebagai titik-titik kecil berwarna hitam (Gambar 16).
0 2 4 6 8 10 12 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 Intensitas serangan (%) Minggu pengamatan Mei Maret April
A B C D E F
Gambar 16 Kutukebul Aleuroclava: (A) kutukebul menyebar pada permukaan bawah daun tua jambu biji, (B) pupa dan kantung pupa, (C) kantung pupa Aleuroclava sp. 1, (D) preparat kantung pupa Aleuroclava sp. 1, (E) pupa Aleuroclava sp. 2, (F) preparat pupa Aleuroclava sp. 2.
Kutu Putih (Hemiptera: Pseudococcidae) dan Kutukapuk (Hemiptera: Margarodidae)
Kutu putih selalu dijumpai pada lahan pengamatan jambu biji di Rancabungur dan kampus IPB Darmaga dengan keanekaragaman spesies paling tinggi yaitu di lahan kampus IPB. Pada lahan pertanaman jambu biji 1,5 tahun (lahan 2), kutu putih merupakan salah satu OPT yang dominan namun tingkat kolonisasinya rata-rata masih rendah. Intensitas serangan kutu putih paling tinggi yaitu minggu pertama Mei (Gambar 17). Perkembangan kolonisasi kutu putih setiap minggunya cenderung tidak mengalami peningkatan yang tinggi, karena kondisi hujan yang terus-menerus dapat menyebabkan populasi kutu putih menurun. Meskipun luas kolonisasinya rendah, kutu putih ini berpotensi menjadi hama penting karena kutu putih mampu mempertahankan keberadaaannya pada pertanaman jambu biji meskipun dalam jumlah sedikit.
Gambar 17 Intensitas serangan kutu putih pada tanaman jambu biji di lahan 2. Terdapat tujuh spesies kutu putih yang terdapat pada tanaman jambu biji di Rancabungur dan Kampus IPB Darmaga yaitu Ferrisia virgata, Planococcus minor (Gambar 18), Rastrococcus spinosus, Rastrococcus invadens (Gambar 19), Rastrococcus jabadiu, Maconellicoccus hirsutus (pink mealybug) (Gambar 20), dan Paracoccuss marginatus serta satu spesies kutukapuk Icerya seychellarum (Gambar 21). Spesies kutu putih tersebut terdapat pada pertanaman jambu biji di Rancabungur dan kampus IPB Darmaga, kecuali spesies R. invadens, R. jabadiu, dan P. marginatus hanya ditemukan di lahan kampus IPB Darmaga.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 Intensitas serangan (%) Minggu pengamatan April Mei Maret
A.1 A.2
B.1 B.2
Gambar 18 Kutu putih (1. spesimen hidup dan 2. preparat): (A) F. virgata dan (B) P. minor.
A.1 A.2
B.1 B.2
Gambar 19 Kutu putih (1. spesimen hidup dan 2. preparat): (A) R. spinosus dan (B) R. invadens.
A.1 A.2
B.1 B.2
Gambar 20 Kutu putih (1. spesimen hidup dan 2. preparat): (A) R. jabadiu dan (B) M. hirsutus.
A.1 A.2
B.1 B.2
Gambar 21 Spesimen hidup (1) dan preparat (2): (A) kutu putih P. marginatus dan (B) kutukapuk I. seychellarum.
Kutu putih dapat terdapat pada daun muda dan tua, ranting muda, bunga, tangkai bunga atau tangkai buah, buah (sejak pentil sampai buah yang sudah matang), berkelompok maupun soliter. Semua spesies kutu putih yang ditemukan dapat menyerang daun tua, terutama pada bagian yang dekat tulang daun.
Persebaran kutu putih umumnya tidak merata pada setiap tanaman jambu biji, terutama pada masing-masing spesies. Kutu putih yang seringkali berkelompok seperti F. virgata, R. jabadiu, dan P. marginatus (Gambar 22A-C) seringkali dominan pada satu tanaman atau ranting tertentu dan sedikit pada tanaman contoh lainnya. Pada populasi tinggi dalam satu tanaman, kutu putih mengkolonisasi dari cabang, ranting, hingga bagian dekat pucuk dan bunga.
Kutu putih menghisap cairan bagian bahan tanaman jambu biji, menutupi permukaan bagian tanaman dengan lilinnya dan sebagian menghasilkan embun madu. Kutu putih yang menghasilkan embun madu yang baik seperti P. minor, M. hirsutus, dan P. marginatus biasanya berasosiasi dengan semut dan embun jelaga (Gambar 22D-E). Kutu putih F. virgata dan R. spinosus tidak dikunjungi semut. Semut memanfaatkan embun madu untuk makanannya, sehingga semut tersebut membantu melindungi kutu putih dari serangan predator juga membantu penyebarannya. Keberadaan semut bagi petani merupakan pengganggu ketika buah akan dipanen. Embun jelaga menyebabkan permukaan daun menjadi hitam dan permukaan daun tersebut terhalang dari sinar matahari langsung yang menyebabkan proses fotosintesis terganggu.
Kutu putih dapat menyerang buah jambu biji. Jika buah jambu biji masih kecil, bisa menyebabkan buah mati dan gugur (Gambar 22F). Serangan kutu putih pada buah muda menyebabkan permukaan buah cekung dan mengering berwarna coklat (Gambar 22G). Bercak tersebut akan tetap membekas sampai buah tersebut matang. Kutu putih juga dapat tetap berada pada permukaan buah sejak buah masih muda sampai buah tersebut matang. Kutu putih mengkolonisasi di sekeliling permukaan buah menyebabkan cekungan berwarna hijau lebih tua daripada bagian yang tidak terserang sehingga bentuk buah jambu biji tidak sempurna (Gambar 22H). Kutu putih dan lilinnya tetap tertinggal pada permukaan buah, dan jika ditumbuhi embun jelaga permukaan buah menjadi hitam (Gambar 22I). Pada satu bagian tanaman yang diserang bisa terdapat lebih dari satu spesies
kutu putih dan seringkali bersama dengan serangga lain seperti kutukebul A. dispersus dan ulat pucuk. Kutu putih berlindung pada bagian lipatan daun atau di antara buah yang direkatkan oleh larva sehingga pada buah tersebut menimbulkan gejala kombinasi.
Pada koloni kutu putih juga sering ditemukan musuh alaminya seperti predator dan parasitoid (Gambar 23). Musuh alami kutu putih yang telah diketahui adalah predator dari famili Cecidomyidae (Diptera), famili Coccinellidae (Coleoptera), dan famili Chrysopidae (Neuroptera); endoparasitoid dari ordo Hymenoptera (Sartiami et al. 1999); dan cendawan Entomophthorales parasit kutu putih pepaya P. marginatus (Shylena 2010). Predator dari familli Coccinellidae antara lain Scymnus sp., Curinus sp. dan Cryptolaemus montrouzieri (Kalshoven 1981).
Kutu putih F. virgata dan P. minor sebelumnya telah dilaporkan oleh Sartiami et al. (1999) ditemukan pada tanaman jambu biji di Bogor. Kutu putih R. invadens, R. jabadiu, dan R. spinosus juga ditemukan pada tanaman buah-buahan namun tidak dilaporkan terdapat pada jambu biji. P. marginatus yang dikenal dengan sebutan kutu putih pepaya, di Indonesia belum pernah dilaporkan menyerang tanaman jambu biji.
Lalat Buah Bactrocera carambolae (Diptera: Teprithidae)
Lalat buah B. carambolae ditemukan di lahan pengamatan di Desa Bantarjaya, Desa Bantarsari, dan Kampus IPB Darmaga. Pada lahan lain di sekitar lahan pengamatan, lalat buah merupakan hama dominan. Lalat buah merupakan salah satu hama penting bagi petani. Imago lalat buah betina meletakkan telur pada jaringan buah dengan menusukkan ovipositornya (Gambar 24A-B). Pada bagian bekas tusukan kadang diikuti oleh infeksi cendawan atau bakteri sehingga tampak bagian nekrotik dan berair pada bagian luar buah yang menunjukkan buah tersebut busuk (Gambar 24C). Larva menetas dan berkembang di dalam buah, memakan bagian dalam buah hingga pulpnya (Gambar 24D), menyebabkan buah cepat membusuk, berair, dan berbau. Jika buah dibelah, di bagian dalamnya terdapat larva lalat buah yang biasanya lebih dari satu larva.
A B C
D E F
G H I
Gambar 22 Kolonisasi dan gejala kutu putih pada tanaman jambu biji: (A) F. virgata, (B) R. jabadiu, (C) P.marginatus, (D) P. minor pada bunga berasosiasi dengan semut, (B) M. hirsutus pada ranting dan permukaan bawah daun menyebabkan embun jelaga, (C) gugur buah, (D) nekrotik pada permukaan buah muda, (E) permukaan dan warna buah tidak merata pada buah matang, (F) buah pecah dan terdapat embun jelaga pada kolonisasi kutu putih.
A B C D E F
Gambar 23 Musuh alami kutu putih yang ditemukan di lapang: (A) imago R. invadens yang terparasit, (B) predator R. invadens, (C) laba-laba predator F. virgata, (D) predator P. marginatus, (E) Cryptolaemus sp., (F) predator kutu putih.
A B C D E
Gambar 24 Lalat buah B. carambolae: (A) imago betina, (B) imago menusukkan ovipositornya pada buah muda, (C) gejala tusukan disertai nekrosis dan busuk pada jambu biji kristal, (D) bagian dalam membusuk berwarna coklat, berbau busuk, (E) buah jambu biji dibungkus menggunakan plastik dan kertas koran.
Larva lalat buah terdiri dari tiga instar dan butuh 1-2 minggu berada di dalam buah sejak oviposisi. Larva akan manjatuhkan diri untuk berpupa di tanah. Lamanya masa pupa sekitar 7-10 hari sampai menjadi lalat buah dewasa. Imago lalat buah betina butuh beberapa hari sampai beberapa minggu untuk menjadi dewasa dan bisa meletakkan telur (Gould & Raga 2002).
B. carambolae merupakan salah satu spesies kompleks lalat buah oriental di Indonesia, Malaysia, dan Thailand bagian tenggara (Sauers-Muller 2005). Dalam laporan Ginting (2009), Bactrocera carambolae merupakan spesies lalat buah yang paling melimpah di Bogor, Depok dan Jakarta selain B . papayae. Lalat buah ini selalu ada dan melimpah karena keberadaan tanaman inang yang selalu ada di lokasi penelitian. Selain menyerang jambu biji, lalat buah ini menyerang berbagai macam buah-buahan antara lain belimbing, kluwih, cabai, nangka, jambu bol, tomat, mangga, badam dan pepaya (Siwi et al. 2006). Kelimpahan dan keragaman inang lalat buah ini menjadikan lalat buah sulit dikendalikan.
Pengelolaan terhadap lalat buah pertama harus dilakukan monitoring terhadap keberadaan dan tingkat populasi lalat buah. Untuk identifikasi dan deteksi lalat buah bisa menggunakan perangkap yang dikombinasikan dengan atraktan atau dengan menangkap langsung imago lalat buah di pertanaman. Identifikasi dan deteksi lalat buah ini penting untuk mengetahui keberadaan jenis dan perkiraan tingkat populasi lalat buah yang ada di lapangan. Kemungkinan spesies lain terdapat pada lahan di sekitarnya tidak teridentifikasi. Atraktan yang dapat digunakan antara lain metil eugenol, yang dapat menarik lalat buah jantan spesies Bactrocera spp. tetapi tidak untuk subgenus Bactrocera (Zeugodacus) spp. dan menarik beberapa spesies dari subgenus Ceratitis (Pardalapsus) serta tiga spesies spesies Dacus spp. Atraktan lain yaitu cue lure, dapat menarik Bactrocera spp. dan Dacus spp. (Siwi et al. 2006).
Pengendalian terhadap populasi lalat buah perlu dipertimbangkan skala pengusahaan tanaman jambu biji. Untuk usahatani jambu biji skala kecil seperti rata-rata petani di Rancabungur, pengelolaan lalat buah secara fisik dengan melakukan pembungkusan terhadap buah jambu biji menggunakan plastik dan koran (Gambar 24F) merupakan pengendalian yang cukup efisien.
Pengendalian yang ramah lingkungan adalah dengan menggunakan pestisida dari bahan tanaman. Tanaman yang berpotensi dan telah diuji untuk dijadikan bahan pestisida pengendali lalat buah adalah selasih (Cinamomum spp.) dan daun wangi (Melaleuca bactreata). Produk atraktan yang dibuat dari kedua tanaman tersebut telah dibuat (Kardinan 2003). Beberapa spesies selasih yang berpotensi yaitu Ocimum sanctum, O. tenuiflorum, dan O. minimum. Selain dijadikan penghasil atraktan dalam bentuk produk, tanaman tersebut dapat digunakan sebagai tanaman perangkap. Musuh alami lalat buah B. carambolae antara lain Biosteres vandenboschi (Hymenoptera: Braconidae) (Soesilohadi 2003).
Kumbang Penggerek Buah (Coleoptera: Nitidulidae)
Kumbang penggerek merupakan hama dominan pada lahan jambu biji kampus IPB Damaga. Pada setiap tanaman jambu biji yang telah berbuah selalu ditemukan buah yang terserang. Kumbang penggerek buah jambu biji yang ditemukan yaitu C. dimidiatus, Carpophilus sp. 1, dan Brachypeplus sp. Kumbang tersebut berukuran kecil, panjang tubuh imago C. dimidiatus, Carpophilus sp. 1, dan Brachypeplus sp. berturut-turut sekitar 2,5 mm, 2,9 mm dan 3,8-4 mm (Gambar 25A-C). Ketiga spesies serangga tersebut seringkali terdapat dalam satu buah jambu biji secara bersamaan, juga kadang-kadang berasosiasi dengan lalat buah sehingga mempercepat pembusukan buah jambu biji yang dimulai dari bagian dalam buah. Di dalam jambu biji tidak hanya terdapat imago tetapi juga larvanya.
Buah yang diserang pecah pada bagian ujungnya (Gambar 25D), terutama jika bagian luar buah diseranga hama lain yang menyebabkan permukaan buah mengering seperti kutu putih dan Helopeltis. Buah lama-kelamaan berubah warna menjadi coklat, bagian dalam maupun luarnya, dan akhirnya menjadi kering, kisut, keras dan berwarna hitam (Gambar 25E). Kumbang tersebut masih tetap berada pada bagian dalam buah jambu biji sampai buah mengering. Dalam satu buah jambu biji biasanya terdapat banyak kumbang bisa mencapai puluhan ekor. Kerusakan pada tanaman jambu biji tidak hanya bersifat langsung.
Lama hidup C. dimidiatus dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban. Kumbang dapat hidup pada suhi 20 sampai 32,5 oC. Perkembangan tercepat yaitu
pada suhu 30 °C, dengan kelembaban 90, 80 atau 70% (23,6–24,7 hari); perkembangan optimal pada suhu 32,5 oC (Porter 1986).
Kumbang penggerek ini hanya ditemukan pada tanaman jambu biji di kampus IPB Darmaga pada jambu biji Kristal. Pada lahan pengamatan, kumbang tersebut terdapat pada setiap tanaman terutama pada buah yang tidak dibungkus. Menurut Gould & Raga (2002), distribusi C. dimidiatus terbatas, sehingga jika sudah terdapat di pertanaman akan menimbulkan masalah yang serius bagi petani. Pengendalian kumbang ini adalah dengan melakukan penyemprotan insektisida secara berjadwal. Imago betina C. dimidiatus menghasilkan feromon alami yaitu (3E, 5E, 7E, 9E)-6,8-diethyl-4-methyl-3,5,7,9-dodecatetraene. Penggunaan feromon (tetraene) yang dikombinasikan dengan fermentasi adonan roti dapat menarik C. dimidiatus 48,3 individu; relatif lebih banyak dibandingkan penggunaan feromon secara tunggal, adonan secara tunggal, dan kontrol berturut-turut 24,5, 0,02, and 0 (Bartelt et al. 1995).
A B C
D E
Gambar 25 Kumbang penggerek buah pada tanaman jambu biji: (A) imago C. dimidiatus, (B) imago Carpophilus sp. 1, (C) imago Brachypeplus sp., (D) buah pecah, (E) buah keras, kisut, dan berwarna hitam (bagian permukaan luar terinfeksi cendawan parasit lemah).
Hama Lainnya
Hama lain juga ditemukan pada ketiga lahan pengamatan namun populasinya rendah sehingga tidak diamati perkembangan luas serangan dan tingkat kerusakan tanaman/intensitas serangannya.
Ulat Penggerek Buah (Lepidoptera: Pyralidae). Ulat penggerek buah menyebabkan buah muda gugur, pada buah matang terdapat lubang gerek dan di seberang liang gerek terdapat fras (Gambar 26A-C). Sebagian besar bagian dalam buah jambu biji dimakan, jika buah dibuka tampak bekas gerekan yang menghitam karena mengering (Gambar 26D). Larva berwarna putih kecoklatan, panjang tubuh 2,18 cm (Gambar 26E). Pada satu buah jambu biji bisa terdapat larva lebih dari satu. Pengelolaan serangga bisa dilakukan dengan menyemprot insektisida sebelum pembungkusan karena dikhawatirkan imago telah meletakkan telur pada buah.
Helopeltis sp. (Hemiptera: Miridae). Helopeltis sp. menyerang berbagai
bagian tanaman jambu biji antara lain pucuk (Gambar 27A) dan buah. Bekas tusukan pada buah menyebabkan bercak nekrotik hitam (Lampiran 27B) yang akan membekas sampai buah tersebut berkembang menjadi matang yang menurunkan nilai jual buah untuk pasar tertentu. Pada serangan berat pada buah yang masih kecil dapat menyebabkan buah menghitam dan kering (Gambar 27C). Kerusakan akibat kepik ini secara langsung tidak terlalu merugikan, namun karena aktivitas makan dan pergerakannya yang baik serangga ini dapat berperan memencarkan inokulum cendawan yang telah ada di pertanaman atau dari pertanaman satu ke pertanaman lain. Kepik ini sering diasosiasikan dengan penyakit kanker buah. Bekas tusukan kepik dapat menjadikan cendawan parasit luka mudah menginfeksi buah, dan penyebarannya dibantu karena aktivitas pergerakannya.
Ulat Penggerek Batang (Lepidoptera: Metarbelidae). Ulat penggerek batang hidup dan membuat terowongan pada batang (Gambar 28A). Larva berwarna ungu-kecoklatan gelap dan panjangnya sekitar 1,1-1,9 cm (Gambar 28A). Larva makan pada batang dan bagian pembuluh angkutnya sehingga gejala yang tampak dari luar yaitu ujung ranting dan daun-daun layu (Gambar 28C)
A B C
D E
Gambar 26 Gejala ulat penggerek buah: (A) buah muda gugur, (B) gejala lubang gerekan pada buah, (C) kotoran larva ulat penggerek yang menutupi lubang gerekan, (D) bekas gerekan yang mengering pada bagian dalam buah, (E) larva hidup di dalam buah.
A B C
Gambar 27 Gejala serangan Helopeltis sp.: (A) pucuk keriting dan mengering, (B) bercak bekas tusukan pada buah, (C) buah kecil mengering pada serangan berat.
Pada batang dekat peracabangan terdapat lubang gerek, cabang akan mudah dipatahkan karena isinya sudah kosong, cabang lama-kelamaan mengering dan mati. Penggerek batang ini hidup pada batang sampai stadia pupa. Pengelolaan hama ini yaitu dengan membuang cabang yang terdapat ulat penggerek di dalamnya, atau bisa menggunakan air panas pada lubang gerek.
A B
Gambar 28 Ulat penggerek batang: (A) larva membuat terowongan dalam cabang dan hidup di dalamnya, (B) pucuk mati, daun layu.
Kepik Penghisap Pucuk (Hemiptera: Coreidae dan Tessaratomidae). Kepik penghisap pucuk ditemukan pada lahan IPB Dramaga Bogor. Terdapat tiga spesies dari famili Coreidae yang ditemukan yaitu A. phasiana (Gambar 29), M. longicornis (Gambar 30), dan P. grossipes (Gambar 31). Serangga ini menyerang sejak fase nimfa hingga dewasa. Serangga menusukkan alat mulutnya ke dalam jaringan ranting tanaman atau tulang daun, kemudian menghisap cairan bahan tanaman jambu biji tersebut (Gambar 29B). Daun muda menjadi berwarna coklat kemudian nekrotik dan mati. Selain menyerang daun pucuk, A. phasiana juga menyerang bunga (Gambar 29C) dan daun agak tua. Bekas tusukan pada bunga berupa bercak nekrotik. Kepik P. grossipes menyerang ranting pucuk tanaman.
A B C
Gambar 29 Anoplocnemis phasiana: (A) nimfa, (B) imago menghisap cairan ranting pucuk dekat pangkal daun, (C) bercak hitam bekas tusukan pada bunga.
A B
Gambar 30 Mictis longicornis: (A) imago, (B) imago menghisap cairan ranting pucuk menyebabkan daun nekrotik.
Selain ketiga spesies tersebut, P. alternatum (Gambar 32A) dan T. javanica (Gambar 33A) juga terdapat pada jambu biji. Imago P. alternatum berwarna coklat, dengan corak hijau dengan panjang 2,65 cm. Kepik ini menghisap ranting pucuk menyebabkan pucuk melengkung, kemudian menjadi nekrotik dan mati (Gambar 32B). T. javanica menghisap tulang daun muda dekat pucuk pada permukaan bawah daun dengan posisi kepala terbalik. Daun menjadi coklat pada bagian ujungnya (Gambar 33B) dan kemudian berubah menjadi nekrotik pada sebagian atau seluruh daun tersebut.
A B
Gambar 32 Pycanum alternatum (Hemiptera: Tessaratomidae): (A) imago menghisap cairan ranting pucuk tanaman, (B) gejala mati pucuk pada jambu biji.
A B
Kelima serangga tersebut dalam Kalshoven (1981) tidak dilaporkan secara spesifik menyerang tanaman jambu biji. Inang A. phasiana antara lain, kacang-kacangan, pohon dadap, dan Desmodium. Kepik ini lebih sering ditemukan di pinggir hutan daripada di area terbuka. Inang M. longicornis antara lain bungur, soka, kakao, dan gambir. P. grossipes banyak ditemukan di pertanaman dan juga ditemukan pada tanaman hias. P. alternatum di Sumatera ditemukan pada gambir, T. javanica pada pucuk tanaman kesambi dan lerek (Kalshoven 1981).
Tungau (Acarina: Tetranychidae dan Mycobatidae). Terdapat dua jenis tungau yang ditemukan yaitu tungau laba-laba merah famili Tetranichydae (Gambar 34A-B) dan tungau kumbang famili Mycobatidae. Tungau laba-laba merah ditemukan pada jambu biji merah dan jambu biji kristal. Pada ketiga lahan pengamatan tanaman jambu biji merah, tungau tidak ditemukan pada saat pengamatan. Tungau laba-laba merah menyebabkan daun memutih pada bagian permukaan bawahnya, lama-kelamaan daun menguning dan gugur (Gambar 34C). Tungau laba-laba merah dominan menyerang daun jambu biji tua, namun pada populasi tinggi pada tanaman jambu biji kristal tungau ditemukan pada daun tua sampai daun muda.
Tungau kumbang berwarna kehitaman dan mengkilat (Gambar 34D). Pada permukaan bawah daun tungau ini ditemukan soliter maupun bergerombol, terutama dekat tulang daun. Gejala pada daun tidak begitu jelas karena populasi tungau ini cukup rendah. Tungau juga menyerang buah jambu biji, biasanya pada bagian pangkal buah atau pada bagian bekas aktivitas makan serangga menusuk menghisap lain. Permukaan buah yang diserang akan cekung, mengering pada permukaannya yang akan terus membekas sampai buah matang (Gambar 34E).
Kutu Perisai (Hemiptera: Diaspididae). Kutu perisai yang terdapat pada tanaman jambu biji yaitu A. destructor dan kutu perisai spesies 1 (Gambar 35). Kutu perisai ini merupakan serangga polifagus, tanaman inangnya antara lain kelapa sawit yang merupakan tanaman inang utama selain itu ditemukan pada Bixa, kakao, gambir, mangga, dan karet (Kalshoven 1981). Hama ini terdapat pada permukaan bawah daun jambu biji, menutupi sampai seluruh
A B
C
D E
Gambar 34 Tungau laba-laba merah dan tungau kumbang: (A & B) imago tungau laba-laba merah, (C) daun tampak pucat dan menguning, (D) tungau kumbang, (E) lekukan pada buah bekas aktivitas makan tungau.
permukaan daun (Gambar 35C). Pada permukaan atas daun tampak gejala klorotik yang khas (Gambar 35D). Kutu perisai A. destructor dapat menyerang buah sehingga permukaan buah menjadi tidak merata; cekung pada bagian yang terdapat kutu perisainya. Kutu hanya menyerang bagian permukaan buah saja, bagian dalamnya masih bagus tetapi penmpilan buah menjadi tidak menarik. Hama ini tidak dapat dicuci dengan air, jika terbawa sampai ke tempat distribusi akan tetap hidup menempel pada permukaan buah.
Kutu perisai spesies 1, sama seperti A. destructor terdapat pada permukaan bawah daun tua namun lebih terkumpul pada bagian yang dekat tulang daun (Gambar 35). Gejala pada permukaan atas daun juga hampir sama yaitu gejala klorotik khas kutu perisai. Kutu perisai ini tidak terdapat pada buah jambu biji.
Kututempurung (Hemiptera: Coccidae). Kututempurung yang terdapat pada jambu biji yaitu Coccus viridis dan kututempurung hitam yang belum teridentifikasi sampai spesies (Gambar 36). Kututempurung hijau menyerang daun tua terutama pada bagian yang dekat tulang daun. Kutu ini menghasilkan embun madu sehingga berasosiasi dengan semut dan embun jelaga. C. viridis merupakan serangga polifagus, penyebarannya di seluruh wilayah tropis dan subtropis (Kalshoven 1981).
Kututempurung hitam terutama pada tulang daun, bersosiasi dengan semut. Serangga ini melindungi telurnya dengan menggunakan tempurung sehingga sulit dikendalikan dengan pestisida kontak.
Kutudaun (Hemiptera: Aphididae). Kutudaun yang ditemukan pada tanaman jambu biji yaitu Aphis gossypii (Gambar 37). Kutudaun ini merupakan serangga yang sangat polifag (Kalshoven 1981; Blackman & Eastop 2000). Inangnya antara lain kapas, kapuk, wijen, kopi, jeruk, cabai, mentimun, dan tanaman hias. Kutudaun terutama menyerang bagian pucuk tanaman (Gambar 37C). Pada populasi tinggi akan menyebabkan pucuk keriting. Kutudaun seringkali ditemukan namun dalam jumlah populasi yang sedikit. Hal ini disebabkan oleh adanya predator yang selalu ada di setiap pertanaman jambu biji yaitu kumbang Coccinellidae (Gambar 37D-E). Kutudaun juga dapat menyerang ranting dan buah (Gould & Raga 2002).
A B C D E F
Gambar 35 Kutu perisai A. destructor: (A) imago betina, (B) preparat, (C) koloni pada permukaan bawah daun tua, (D) gejala klorotik tampak dari permukaan atas daun; Kutu perisai spesies 1: (E & F) koloni pada permukaan bawah daun tua dekat tulang daun.
A B C
Gambar 36 Kututempurung: (A) spesimen hidup imago C. viridis, (B) preparat C. viridis, (C) kututempurung hitam pada tulang daun permukaan bawah daun tua.
A B C
D E
Gambar 37 Kutudaun Aphis gossypii dan predatornya: (A) imago betina, (B) preparat, (C) koloni kutudaun pada daun muda jambu biji, (D) larva Coccinellidae memangsa nimfa kutudaun, (E) imago kumbang Coccinellidae.
Semut dan Hama Mamalia. Semut menyebabkan kerugian secara langsung dan tidak langsung pada tanaman jambu biji. Beberapa spesies semut berasosiasi dengan kutu putih (Gambar 38A), kutukebul, kututempurung dan kutudaun. Semut memanfaatkan embun madu dari serangga-serangga tersebut, sehingga semut merugikan karena membantu melindungi serangga tersebut dari serangan parasitoid dan predator juga membantu pemencarannya. Banyaknya semut pada buah bagi petani sangat mengganggu pada saat panen.
Selain berasosiasi dengan serangga penghasil embun madu, beberapa spesies menyebabkan kerugian secara langsung yaitu semut membuat sarang pada buah (Gambar 38B) menyebabkan buah berlubang. Semut bersembunyi pada bagian bekas kelopak bunga sehingga pada saat panen bisa terbawa ke tempat penjualan.
Hama mamalia antara lain burung, memakan buah jambu biji yang telah matang di pertanaman. Buah tidak seluruhnya dimakan, dan sisanya menyebabkan datangnya serangga-serangga lain yang mengerubuti buah (Gambar 38C).
A B C
Gambar 38 Gejala oleh semut (Hymenoptera: Formicidae) dan mamalia: (A) semut yang berasosiasi dengan kutu putih, (B) semut membuat sarang pada buah jambu biji matang, (C) bekas gerigitan hama mamalia.
Penyakit yang Ditemukan pada Tanaman Jambu Biji
Penyakit yang ditemukan pada beberapa lahan di Rancabungur dan kampus IPB Darmaga meliputi penyakit yang disebabkan oleh cendawan, alga, dan kerusakan fisik mekanis. Penyakit antraknosa merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman jambu biji yang telah tersebar luas (Misra 2004).
Tabel 4 Penyakit yang terdapat pada pertanaman jambu biji di Rancabungur dan lahan kampus IPB Darmaga, Bogor
Penyakit Patogen Bagian tanaman yang
bergejala
Rancabungur IPB
Darmaga
Lahan 1 Lahan 2 Lahan 3
Antraknosa
Gloeosporium sp.
dan Colletotrichum sp.
pucuk, daun muda, ranting, buah muda, buah matang di pertanaman, buah di penyimpanan
√ √ √ √
Kanker buah Pestalotia Pestalotia sp. buah muda √ √ √ √
Bercak daun kelabu Pestalotia sp. daun tua √ √ √ √
Karat merah Cephaleuros spp. daun muda, daun tua, ranting,
bunga, buah √ √ √ √
Penyakit layua Fusarium sp. cabang terminal, daun, buah - - - √
Busuk buah kering
Botryodiplodia Botryodiplodia sp. buah - √ - √
Embun jelaga daun, ranting, buah √ √ √ √
Kanker buah oleh fungi
askomiset buah, batang √ - √ √
Bercak merah muda* daun muda √ √ - √
Buah hitam terbakar
sinar matahari langsung buah √ √ √ -
Buah memar buah - √ √ -
Keterangan: (√) dijumpai (-) tidak dijumpai (a) dijumpai di Rancabungur pada lahan lain (*) belum teridentifikasi
Pada lahan pengamatan tingkat keanekaragaman penyakit hampir sama. Beberapa penyakit yaitu antraknosa, bercak daun kelabu, kanker buah Pestalotia, embun jelaga, dan karat merah ditemukan pada setiap lahan pengamatan. Pada ketiga lahan di Rancabungur tidak ditemukan gejala penyakit layu, penyakit ini ditemukan pada lahan jambu biji lain di Rancabungur yaitu pada varietas kristal. Pada lahan kampus IPB Darmaga kerusakan fisik mekanis berupa buah hitam terbakar sinar matahari langsung dan buah memar tidak ditemukan. Jambu biji kristal pada lahan ini memiliki daging buah yang tebal dan tidak lunak ketika matang.
Pada lahan pertanaman jambu biji 4,5 bulan penyakit yang diamati adalah antraknosa dan bercak kelabu. Pada lahan pertanaman jambu biji 1,5 tahun, penyakit yang diamati adalah antraknosa, bercak merah pucuk, dan bercak kelabu. Pada lahan 3 penyakit yang diamati adalah karat merah Cephaleuros sp.
Antraknosa
Penyakit antraknosa terdapat pada ketiga lahan pertanaman jambu biji di Rancabungur dan kampus IPB Darmaga. Kejadian penyakit dan intensitas penyakit paling tinggi yaitu pada lahan jambu biji 1,5 tahun. Pada lahan jambu biji 4,5 tahun gejala penyakit ini ditemui terutama pada buah yang telah matang namun intensitasnya sangat rendah sehingga tidak diamati perkembangannya.
Pada lahan 1, perkembangan intensitas penyakit setiap minggunya tidak berbeda jauh. Intensitas tertinggi yaitu pada minggu pertama Mei (Gambar 39). Penyakit antraknosa pada lahan pertanaman jambu biji berumur 1,5 tahun, gejala yang diamati terutama gejala nekrotik pada pucuk. Gejala gugur buah baru muncul pada minggu ke-6 pengamatan. Pada lahan 2 intensitas di awal pengamatan merupakan intensitas tertinggi (Gambar 39). Pada bulan Maret dan awal April hujan terus-menerus menyebabkan intensitas penyakit ini tinggi karena salah salah satu penyebaran patogen penyebabnya yaitu oleh percikan air (Semangun 1994) dan berkembang baik pada kondisi basah (Lim & Manicom 2006). Penurunan intensitas pada minggu ke-4 Maret dikarenakan pucuk yang mengalami nekrotik banyak yang gugur sehingga gejala pada ranting tidak begitu jelas.
Sejak awal bulan April sampai terakhir pengamatan intensitasnya terus-menerus mengalami penurunan (Gambar 39). Pada pengamatan terakhir hanya kejadian penyakitnya hanya 15%. Hal ini diduga karena hujan yang semakin jarang terjadi terutama pada bulan April, namun ketika hujan kembali turun sejak minggu ke-2 Mei intensitas penyakitnya tetap menurun.
Gambar 39 Intensitas penyakit antraknosa pada tanaman jambu biji di lahan 1 dan 2.
Gejala yang terutama terlihat pada saat pengamatan adalah nekrotik pada pucuk (Gambar 40A), gejala ini bisa berkembang ke bagian pangkal dan menyebabkan mati ujung. Daun muda keriting dan nekrotik pada bagian ujungnya (Gambar 40B).
Buah jambu biji yang terinfeksi ketika masih muda muncul bercak nekrotik yang kemudian menyatu. Bercak terus berkembang hingga seluruh permukaan buah tampak hitam (Gambar 40C). Buah selanjutnya akan mengering dengan cepat dan menjadi keras (mumifikasi), dan seringkali retak. Cendawan menginfeksi buah sampai ke bagian dalam. Bagian dalam buah tersebut mengandung patogen (Gambar 40D).
Buah jambu biji muda yang terinfeksi tidak selalu menimbulkan gejala. Cendawan penyebab antraknosa ini dapat dorman selam 3 bulan (Semangun 1994) dan menyebabkan pembusukan pada buah ketika buah matang (Gambar 40E-F). Buah yang terinfeksi dapat menularkan cendawan ke buah lainnya jika terbawa ke penyimpanan. Buah yang sebelumnya terlihat sehat dapat
0 5 10 15 20 25 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 Intensitas peny akit (%) Minggu pengamatan lahan 1 lahan 2
menunjukkan gejala busuk setelah penyimpanan beberapa hari. Gejala yang pada buah matang yaitu pada buah terbentuk bercak coklat berbatas jelas dan mengendap (Gambar 39G). Buah jambu biji terkena antraknosa secara berangsur menurun kandungan gizinya (Amusa et al. 2006).
Penyebab penyakit antraknosa yaitu cendawan Gloeosporium sp. (Gambar 40H) dan Colletotrichum sp. (Gambar 40I). Pada kondisi lembab, pada buah yang terinfeksi cendawan membentuk spora (konidia) dalam jumlah banyak yang terikat dalam masa miselia berwarna merah jambu terang yang memenuhi permukaan buah.
Cendawan ini Colletotrichum sp. terutama dipencarkan oleh percikan air (Lim & Manicom 2006; Semangun 1994) dan serangga (Semangun 1994). Menurut Amusa et al. (2006) cendawan Colletotrichum spp. dapat dipencarkan antara lain oleh lalat buah. Penyebaran penyakit paling tinggi dalam kondisi basah. Pada buah, bercak berkembang pada berbagai stadia perkembangan buah dan perkembangan sangat cepat terjadi pada suhu 30 °C.
Penyakit antraknosa merupakan penyakit umum di pertanaman jambu biji. Penyakit ini telah menyebar ke berbagai negara, terutama yang membudidayakan jambu biji secara intensif seperti India. Di India, antraknosa merupakan salah satu penyakit penting sehingga penelitian dan perancangan terhadap varietas tahan terhadap penyakit ini telah banyak dilakukan (Misra 2004).
Pengelolaan penyakit ini antara lain dengan melakukan sanitasi yaitu membuang ranting dan buah dan bagian tanaman sakit lain, karena pada kondisi lembab pada bagian tanaman yang sakit cendawan akan mudah berkembang dan bisa menjadi inokulum sumber infeksi. Selain itu dengan cara mengurangi kelembaban mikro tanaman jambu biji dengan mengatur jarak tanam yang tidak terlalu rapat, melakukan pemangkasan agar tanaman jambu biji tidak terlalu rimbun, membiarkan sebagian gulma pada lahan sekeliling tanaman untuk menahan percikan air hujan. Pengendalian menggunakan pestisida dapat dilakukan dengan aplikasi pestisida berbahan aktif benomil dan karbendazim pada pertanaman maupun pada buah yang telah dipanen dengan dicampur air panas (Lim & Manicom 2003).
A B C D E F G H.1 H.2 I.1 I.2
Gambar 40 Gejala dan penyebab penyakit antraknosa pada tanaman jambu biji: (A) mati pucuk, (B) bercak nekrotik pada daun muda, (C) bercak nekrotik yang meluas pada buah muda, (D) kanker buah (mumifikasi) pada buah muda, cendawan menginfeksi buah muda sampai ke bagian dalam buah, (E & F) gejala busuk buah pada buah matang di pertanaman, (G) bercak nekrotik cekung pada buah di penyimpanan, (H) Cendawan Gloeosporium sp. (1. konidiofor dan konidia; 2. konidia), (I) Cendawan Colletotrichum sp. dari buah matang (1. Bagian dari aservulus; 2. konidia).
Kanker Buah Pestalotia dan Bercak Daun Kelabu
Kanker buah umum ditemukan di pertanaman jambu biji di Kecamatan Rancabungur dan Kampus IPB Darmaga, terutama pada pertanaman jambu biji yang sedang memasuki masa generatif. Pada ketiga lahan pengamatan gejala yang diamati yaitu bercak daun kelabu. Penyakit ini juga dikenal dengan sebutan nekrosis buah, kanker buah Pestalotia, dan kanker buah berkudis (Lim & Manicom 2003). Pada lahan 1 dan 2 penyakit ini sering ditemui sehingga diamati perkembangan intensitasnya. Pada lahan 3 bercak jarang ditemui.
Intensitas penyakit pada kedua lahan relatif rendah karena umumnya hanya terdapat satu atau dua bercak pada daun-daun tua. Namun keberadaan patogen ini dapat menjadi sumber inokulum yang dapat menyebabkan kanker buah pada saat jambu biji memasuki masa generatif. Pada lahan 1 intensitas penyakit pada awalnya mengalami peningkatan dan paling tinggi pada minggu pertama April (Gambar 41). Intensitas penyakit menurun kembali setelahnya. Pada lahan 2 intensitas penyakit di awal pengamatan yaitu pada minggu kedua Maret paling tinggi. Pada minggu berikutnya cenderung menurun kemudian meningkat lagi pada minggu pertama Mei (Gambar 41).
Gambar 41 Intensitas penyakit bercak daun kelabu pada tanaman jambu biji di lahan 1 dan 2.
Pada daun gejalanya berupa bercak kelabu berbatas jelas (Gambar 42A). Pada infeksi awal, mula-mula pada buah yang masih hijau terdapat bercak gelap, kecil, yang membesar, berwarna coklat tua, yang terdiri dari jaringan mati. Lama kelamaan bercak meluas ke seluruh permukaan buah, buah mengering dan terjadi
0 0.5 1 1.5 2 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 Intensitas peny akit (%) Minggu pengamatan lahan 1 lahan 2
mumifikasi (Gambar 42B), pada bercak kadang-kadang terbentuk retakan. Pada kondisi lembab pada buah yang sakit, cendawan membentuk miselium putih kelabu. Buah yang telah mengeras pada tanaman seringkali sulit dibedakan penyebabnya dengan antraknosa. Cendawan juga menginfeksi ujung ranting tanaman yang sebelumnya telah diserang oleh serangga.
A B C
Gambar 42 Gejala dan penyebab penyakit bercak kelabu dan kanker buah Pestalotia: (A) bercak kelabu pada daun tua, (B) mati ujung, (C) kanker buah pada buah kecil yang terkena gerekan serangga, (D) konidia Pestalotia sp.
Penyebab penyakit ini adalah Pestalotia sp. (Gambar 42C). Cendawan ini merupakan parasit luka, sehingga penyakit ini berasosiasi dengan aktivitas makan serangga antara lain Helopeltis sp. dan infeksi cendawan lain. Cendawan ini sering ditemukan berasosiasi dengan cendawan lain yaitu dengan Gloeosporium penyebab antraknosa atau cendawan parasit luka lainnya yaitu Botryodiplodia. Perkembang penyakit maksimum pada suhu 25-30 °C dengan kelembaban tinggi (Kaushik et al., 1972 dalam Misra 2004). Cendawan dapat berkembang baik pada suhu 15-30 °C. Pertumbuhan terbaik dan sporulasi terjadi pada suhu 26 °C. Pada penelitian di laboratorium perkecambahan spora maksimum pada suhu 30 °C dan pada suhu di bawah 15 °C atau di atas 40 °C, cendawan tidak berkecambah (Ramaswamy et al. 1984 dalam Misra 2004). Medium terbaik unutk perkecambahan adalah ekstrak buah jambu biji, optimum pH optimum untuk pertumbuhan cendawan adalah 3,9-4,9 dan pertumbuhan maksimum pada pH 4,9 (Misra 2004).
Pengelolaan penyakit ini bisa dilakukan dengan mengendalikan serangga yang dapat menyebabkan penyebaran cendawan, membuang buah dan daun yang sakit kemudian dipendam atau dibakar untuk mengurangi sumber infeksi (Lim et
al. 1986 dalam Semangun 1994). Penggunaan ekstrak daun Occimum sanctum dapat menghambat perkecambahan spora cendawan (Misra 2004). Pengelolaan secara kultur teknis dapat dilakukan dengan menaikkan pH tanah jika tanah dalam kondisi asam.
Karat Merah
Karat merah merupakan penyakit yang disebabkan oleh alga Cephaleuros spp. Alga menyebabkan bercak pada daun, bunga, dan buah. Bercak daun yang disebabkan oleh alga hampir selalu ditemukan pada setiap lahan pertanaman jambu biji di Kecamatan Rancabungur dan kampus IPB Darmaga. Pada lahan 3 (umur tanaman tua), bercak ini tampak dominan karena bercak telah menginfeksi lama sebelum pengamatan dan pada tanaman jambu biji tersebut sudah banyak daun-daun tua. Intensitas penyakit karat merah tinggi pada awal pengamatan dan pada minggu ke-3 April sampai Mei. Intensitas penyakit tertinggi yaitu pada minggu pertama Mei (Gambar 43). Intensitas penyakit yang tinggi pada bulan April karena minggu-minggu sebelumnya hujan terjadi terus-menerus. Menurut Marlatt & Campbell (1980), patogen Cephaleuros sp. bersporulasi selama periode curah hujan tinggi. Selama hujan patogen mengalami sporulasi dan memperluas serangan pada tanaman jambu biji. Bagian tanaman jambu biji terutama daun yang terinfeksi, akan tetap bergejala pada minggu pengamatan berikutnya.
Pada lahan tanaman jambu biji muda (lahan 1), gejala oleh infeksi alga ini telah muncul namun hanya beberapa daun, sedangkan pada lahan jambu biji dengan umur tanaman 1,5 tahun (lahan 2) karat merah hanya terdapat pada daun-daun tua pada cabang bawah sehingga tidak diamati intensitasnya.
Berdasarkan pengamatan, gejala awal alga pada daun ada dua macam. Pertama gejala awal ditunjukan dengan adanya bercak berwarna coklat tua pada daun, terutama daun tua. Pada sekeliling bercak daun menjadi klorotik. Bercak bisa menyatu menjadi bercak yang besar dengan bentuk tidak teratur. Bercak pada daun ukurannya bervariasi mulai dari yang hanya berupa bintik-bintik kecil sampai bercak besar (Gambar 44A).