BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang
Pemahaman mengenai definisi sebuah kota sangatlah beragam. Salah satunya seperti yang telah dikemukakan oleh Prof. Dr. Bintarto bahwa kota adalah sebagai berikut:
“suatu sistem jaringan kehidupan manusia dengan kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial ekonomi yang heterogen dan corak kehidupan yang materialistik” (Bintarto, 1986: 54)
Dapat dikatakan bahwa kota identik dengan pusat kegiatan atau aktivitas seperti industri, perdagangan dan jasa. Keadaan tersebut memicu banyak orang untuk datang ke kota kemudian memadatinya. Kondisi tersebut akan berdampak pada pertambahan jumlah penduduk di perkotaan. Jumlah penduduk yang semakin bertambah membuat kebutuhan akan lahan terbangun semakin besar.
Kota dengan segala pusat aktivitasnya serta pertambahan jumlah penduduknya memerlukan pengelolaan atau manajemen yang sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan penduduknya untuk mencapai kualitas hidup yang baik. Manajemen Perkotaan merupakan istilah yang diterjemahkan dari Urban Management yang merupakan salah satu program dari UNHCS tahun 1960 (United Center for Human Settlements), sebuah orgnisasi PBB yang mengkaji masalah perkotaan dan permukiman. Diuraikan pengertian manajemen perkotaan sebagai suatu upaya mobilisasi sumber daya perkotaan melalui tahapan perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan, pengendalian, secara efisien dan efektif guna mewujudkan visi, misi, dan tujuan dari suatu kawasan perkotaan dengan tetap mempertahankan lingkungan strategis.
Leman (1993) menegaskan bahwa lingkungan alam merupakan salah satu sektor penting di dalam manajemen perkotaan. Hal ini
mensyaratkan bahwa dalam pengelolaan perkotaan perlu adanya pertimbangan pelestarian alam maupun menjaga habitat alami.
Pembangunan, urbanisasi dan pencemaran lingkungan hidup adalah tiga fenomena yang menjadi masalah umum di setiap perkotaan. Pembangunan fisik perkotaan cenderung mengarah pada perkerasan. Kebutuhan akan tempat tinggal berdampak pada tingginya pembangunan perumahan. Hal tersebut dibarengi dengan pembangunan gedung-gedung bertingkat, jalan raya, jembatan, dan lain sebagainya. Pembangunan fisik kota tidak jarang menghilangkan ruang terbuka hijau menggantinya dengan elemen keras. Apabila dikaitkan maka kepadatan perkotaan identik dengan tidak seimbangnya kawasan terbangun dengan lahan terbuka. Hal ini memunculkan permasalahan lingkungan kota yang diakibatkan oleh degradasi kualitas lingkungan. Jumlah penduduk terus bertambah, sementara itu, ruang yang dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk pembangunan relatif tetap. Lahan tidak terbangun atau open space menjadi sasaran limpahan pemenuhan kebutuhan akan ruang yang mengakibatkan semakin menurunnya fungsi lingkungan secara umum.
Di tengah urbanisasi yang cepat, tantangan terhadap manajemen lingkungan perkotaan pun semakin besar.Ketersediaan ruang terbuka hijau yang cukup merupakan salah satu usaha mempertahankan kualitas fungsi lingkungan secara optimal. Ruang terbuka hijau menjadi unsur penting untuk keberlangsungan kehidupan manusia khususnya sebagai penyeimbang unsur bangunan di lingkungan perkotaan (Purnomohadi dalam PU, 2006). Penataan ruang kawasan perkotaan perlu mendapat perhatian khusus, terutama kaitannya dengan penyediaan kawasan hunian, fasilitas umum dan sosial, serta ruang-ruang terbuka publik di perkotaan. Purnomohadi menyatakan bahwa:
“Taman apapun nama, ukuran maupun bentuknya sesuai fungsinya mulai dari pekarangan sampai taman umum adalah bagian lingkungan alami perkotaan yang dikenal sebagai RTH di
perkotaan. RTH menjadi unsur penting untuk keberlangsungan kehidupan manusia khususnya sebagai penyeimbang unsur bangunan di lingkungan perkotaan.” (Purnomohadi, 2006 dalam Heryuka, 2012)
Namun dalam upaya mempertahankan eksistensi ruang terbuka hijau bukanlah suatu hal yang mudah. Terdapat kendala-kendala yang cukup signifikan, yaitu:
“Pertama adalah kurangnya apresiasi akan pentingnya eksistensi RTH sehingga kualitas dan kuantitas RTH semakin berkurang. Hal ini berdampak pada dana yang dialokasikan bagi RTH biasanya terbatas dan kemudian menyebabkan pengelolaan RTH tidak optimal. Pemeliharaan RTH tidak konsisten dan tidak rutin termasuk pemeliharaan jenis tanaman yang tidak sesuai dengan persyaratan ekologis (tua, keropos, membahayakan, dst) pada tiap – tiap lokasi.
Kedua, inkonsitensi kebijakan dan konsep penataan dalam tata ruang kota disebabkan karena lemahnya fungsi pengawasan (kontrol) dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Kendala ketiga adalah hambatan teknis seperti perluasan lahan akibat benturan kepentingan dalam fenomena pembangunan perkotaan yang lebih ditekankan pada kepentingan dalam ekonomi jangka pendek termasuk langkanya ruang untuk penghijauan. RTH yang merupakan lahan tidak terbangun sering kali masih dianggap sebagai lahan tidak produktif .”(Heryuka, 2012)
Upaya penyediaan Ruang terbuka hijau di sebuah kota merupakan tantangan tersendiri. Krisis RTH sebenarnya berkaitan dengan perencanaan yang tidak memadai, yang diakibatkan pergulatan antara kepentingan ekonomi versus kepentingan publik, serta kemampuan mengelola dan melaksanakan rencana yang ada. Seperti yang diungkap peneliti dalam penelitian sebelumnya yang berjudul Konsep dan Strategi Penyediaan Ruang Terbuka Hijau Di Wilayah Berkepadatan Tinggi: Hong Kong, dinyatakan bahwa diperlukan konsep dan strategi untuk tetap mengalokasikan ruang yang dapat berfungsi sebagai lingkungan alami. Dilegalkan dalam HKPSG (Hong Kong Planning Standard and Guidelines), Pemerintah Hong Kong berkomitmen bahwa ruang terbuka untuk berbagai kegiatan rekreasi yang sangat penting bagi individu maupun seluruh
masyarakat. Selain penggunaan rekreasi, ruang terbuka juga memungkinkan penetrasi sinar matahari dan ventilasi udara, serta penanaman untuk bantuan visual. Berikut disampaikan Heryuka:
“Hongkong mendapat apresiasi sebagai model kota yang dapat mencapai high efficiency dalam penggunaan lahan, energi, infrastruktur, dan sumber daya lainnya serta mengkonservasi tiga perempat dari keseluruhan lahannya sebagai lahan tidak terbangun. Sekitar 40 persen dari total area merupakan taman kota dan cagar alam.” (Heryuka, 2012)
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu serta beberapa studi literatur dapat dikatakan bahwa pengelolaan ruang terbuka hijau bukanlah hal yang mudah. Pemerintah perlu memiliki kebijakan-kebijakan yang mendukung upaya pengelolaan ruang terbuka hijau. Disamping itu belum banyak kota yang memiliki presentase ruang terbuka hijau yang ideal dibanding luas wilayahnya. Ruang terbuka hijau Jakarta baru sekitar 9,8 persen (kompas.com 25 April 2011), Medan sekitar 8 persen (hariansumutpos.com 5 Oktober 2010), Bandung sekitar 11 persen (Pikiran Rakyat Online 23 Februari 2011), Makassar sekitar 15 persen (mediaindonesia.com 21 Februari 2011), Solo sekitar 18 persen (republika.co.id 12 Mei 2011)Malang sekitar 17 persen (mediaindonesia.com 27 Maret 2011) sedangkan Surabaya 20,22 persen (Bappeko Kota Surabaya,2011)
Surabaya adalah ibukota Provinsi Jawa Timur dengan jumlah penduduk yang cukup tinggi. Kegiatan ekonominya sebagian besar adalah perdagangan, jasa, industri dan transportasi terutama menjadi lalulintas perhubungan bagian timur Indonesia. Surabaya melakukan green movement dipimpin oleh Walikota Surabaya saat ini. Hal ini dibuktikan dengan berbagai prestasi Kota Surabaya tingkat nasional maupun internasional dalam bidang pelestarian lingkungan.Prestasi tersebut antara lain Adipura, Adiwiyata, Kalpataru, ASEAN Environment Sustainable City, Indonesia
Sebagai sebuah metropolis yang menghadapi tantangan dalam masalah lingkungan, mengadakan berbagai program untuk menstimulasi penghijauan seperti Green and Clean Competition antar kampung,
Community-based Waste Management, Mangrove Conservation.
Pengelolaan lingkungan perkotaan di Kota Surabaya dapat menjadi studi kasus terkait kebijakan manajemen ruang terbuka hijau yang dapat memperkaya ilmu manajemen perkotaan secara umum dan manajemen RTH secara khusus. Dalam penelitian ini diungkap kebijakan yang dilakukan Kota Surabaya dalam mengelola ruang terbuka hijau sebagai upaya pelestarian lingkungan. Dari semua pengalaman Kota Surabaya diharapkan muncul cara-cara baru dan inovatif yang dapat digeneralisasi untuk daerah lain sebagai bahan pembelajaran terkait manajemen ruang terbuka hijau. Kota Surabaya dapat menjadi obyek pembelajaran cara sebuah kota metropolis dapat mengelola wilayahnya sehingga memiliki eksistensi ruang terbuka hijau yang sesuai, mengingat pentingnya peran RTH bagi lingkungan. Penelitian ini juga merupakan lanjutan dari penelitian sebelumnya seperti yang sudah disebutkan di atas yaitu Konsep dan Strategi Penyediaan Ruang Terbuka Hijau Di Wilayah Berkepadatan Tinggi: Hong Kong. Penelitian tersebut merupakan studi tekstual mengenai konsep dan strategi yang digunakan Hong Kong terkait ketersediaan RTH. Oleh karena itu penelitian ini akan melanjutkan dengan menguraikan pengelolaan ruang terbuka hijau melalui studi kasus empiris Kota Surabaya. Hal ini terkait dengan bagaimana Kota Surabaya dapat mempertahankan dan mengupayakan eksistensi ruang terbuka hijau di tengah kebutuhan lahan yang sangat tinggi sebagai kota metropolitan.
I.2 Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Kota merupakan pusat pertumbuhan. Kencenderungan pertumbuhan penduduk yang pesat adalah terkonsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu yang dianggap sebagai pusat peradaban, pusat kegiatan, pusat ekonomi, dan sebagainya. Manajemen perkotaan merupakan upaya komprehensif yang dituntut untuk mewadahi semua sektor. Masalah kebutuhan lahan untuk pembangunan, urbanisasi dan pencemaran lingkungan hidup semakin lama akan memberikan dampak yang besar terhadap kehidupan. Bencana alam bahkan global warming pun berakar dari permasalahan ini.
Surabaya yang merupakan kota metropolitan yang didominasi kegiatan industri, perdagangan dan jasa. Pembangunan fisik kota semakin padat dengan kawasan terbangun. Tanpa pengelolaan atau manajemen yang baik, kegiatan di kota besar seperti Surabaya akan menyebabkan ketidakseimbangan lingkungan, seperti degenerasi luasan daerah hijau, pemanasan global dan perubahan iklim, persampahan dan kebersihan lingkungan, polusi udara, permasalahan banjir dan genangan, kualitas air. Hal ini akan berdampak negatif terhadap kualitas hidup masyarakat.
Telah disampaikan sebelumnya bahwa pengelolaan ruang terbuka hijau bukanlah hal yang mudah. Pemerintah perlu memiliki kebijakan-kebijakan yang mendukung upaya pengelolaan ruang terbuka hijau. Melalui prestasi-prestasi Kota Surabaya cukup menjadi bukti bahwa kota ini dapat dijadikan best practice dalam manajemen ruang terbuka hijau. Studi kasus kebijakan Kota Surabaya dapat memperkaya konsep pengelolaan ruang terbuka hijau untuk dapat digeneralisasi sebagai pembelajaran bagi kota-kota lain. Oleh karena itu muncul pertanyaan mengenai:
1. Bagaimana kebijakan pengelolaan ruang terbuka hijau perkotaan melalui studi kasus Pemerintah Kota Surabaya?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kebijakan pengelolaan ruang terbuka hijau perkotaan melalui studi kasus Pemerintah Kota Surabaya?
I.3 Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan kebijakan manajemen ruang terbuka hijau perkotaan melalui studi kasus Pemerintah Kota Surabaya
2. Mengidentifikasi dan mengintepretasikan faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan manajemen ruang terbuka hijau perkotaan melalui studi kasus Pemerintah Kota Surabaya berdasarkan deskripsi mengenai kebijakannya.
I.4 Manfaat Penelitian
1. Memberi masukan pada pemerintah daerah mengenai kebijakan pengelolaan ruang terbuka hijau
2. Memberikan kontribusi teoritik mengenai kebijakan pengelolaan ruang terbuka hijau perkotaan
I.5 Batasan Penelitian I.5.1 Batasan Area
Batasan area penelitian ini adalah meliputi Kota Surabaya secara keseluruhan yang dibatasi oleh batas administratifnya. Dalam penelitian ini yang disebut Surabaya mewakili Kota Surabaya secara keseluruhan.
I.5.2 Batasan Substansi
Dalam penelitian ini terdapat dua hal yang akan menjadi fokus. Batasan substansi yang diambil terkait pengelolaan ruang terbuka hijau di Kota Surabaya meliputi dua hal:
1. Provision of Green Open Space
Ketersediaan ruang terbuka hijau di Kota Surabaya yang telah diusahakan oleh pemerintah
2. Kebijakan manajemen ruang terbuka hijau perkotaan a) Ketersediaan dokumen kebijakan
b) Proses Penerapan
Mengenai bagaimana proses maupun tahapan pengelolaan ruang terbuka hijau di Kota Surabaya.
c) Pihak yang Terkait
Mengenai siapa saja pihak yang terlibat dalam pengelolaan ruang terbuka hijau Kota Surabaya
I.6 Keaslian Penelitian
Berikut terdapat daftar penelitian yang sudah pernah adaserta terkait dengan topik penelitian.
Tabel 1.1
Daftar Penelitian yang Berhubungan dengan Topik Penelitian
JUDUL PENULIS FOKUS METODE LOKASI TAHUN
Identifikasi Tipologi Ruang Terbuka Hijau di Bantaran Sungai Code Yogyakarta (Skripsi) Cylla Dwi Cancerina Bentuk / macam ruang terbuka hijau yang bermunculan Deduktif Kualitatif Rasionalistik Yogyakarta 2007
Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau di Kota Pekanbaru (Skripsi) Rahimi Rahmayana Pengelolaan Ruang Tebuka Hijau Deduktif Kualitatif Kota Pekanbaru 2010
Shopping Walk Sebagai Tempat Perbelanjaan dan Rekreasi, Penekanan pada Ruang Terbuka Hijau (Skripsi)
Adinda Sheila
Konsep
penyediaan ruang terbuka hijau pada tempat perbelanjaan Desain Arsitektur Kota Pati 2011 bersambung...
Tabel 1.1 (lanjutan...)
JUDUL PENULIS FOKUS METODE LOKASI TAHUN
Konsep dan Strategi Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah
Berkepadatan Tinggi: Hong Kong (Skripsi) Monica Sindy Heryuka Konsep yang mendasari dan strategi untuk menyediakan RTH Content Analysis, Eksploratif Hong Kong 2012
Evaluasi Penyediaan Ruang Terbuka Hijau Publik Kota Serang (Skripsi) Galih Fajar Akmali Evaluasi terhadap penyediaan ruang terbuka publik Deduktif Kualitatif Kota Serang 2012
Pengaruh Peningkatan Status Kota Serang Sebagai Ibukota Provinsi Banten Pada
Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Skripsi) Nadia Paramita Kusumaward ani Dampak perubahan status kota terhadap perubahan ruang terbuka hijau Deduktif Kualitatif Kota Serang 2012
Perilaku Masyarakat dalam Penggunaan Alun-Alun Kota Malang Sebagai Ruang Terbuka Hijau (Skripsi)
Ahmad Fadli Ardiansyah Perilaku masyarakat terhadap penggunaan RTH dan faktor yang mempengaruhi
Studi Kasus Kota Malang
2012
Kajian Empirik Terhadap Ruang Terbuka Hijau di Kotamadya Yogyakarta (Thesis) Mardianto Manan Mengukur kebutuhan ruang terbuka hijau dan pandangan masyarakat terhadap RTH Deskriptif Kualitatif Yogyakarta 1997
Kajian Empirik Terhadap Ruang Terbuka Kampus Universitas Gadjah Mada (Thesis)
Nur Subagyo RTH di kampus UGM dan kinerjanya dalam mengatasi kebisingan transportasi Deskriptif Kualitatif Yogyakarta 2002 bersambung...
Tabel 1.1 (lanjutan...)
JUDUL PENULIS FOKUS METODE LOKASI TAHUN
Perubahan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Studi Kasus: Kota Palangkaraya (Thesis) Rizky Ramadhana Mendeskripsikan penyimpangan pemanfaatan RTH Deskriptif Kualitatif Kota Palangkara ya 2005
Pengelolaan Ruang Terbuka Kota Magelang (Thesis)
Sri Yuwiati Sukma Putra
Kondisi ruang terbuka hijau dan upaya pemerintah dalam mengelolanya Deduktif Kualitatif Kota Magelang 2006
Persepsi Masyarakat dan Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau di Kota Bandung (Thesis) Raditya Sukma Utama Identifikasi karakteristik RTH serta pandangan masyarakat Kuantitatif- Kualitatif Kota Bandung 2007 Persepsi Masyarakat Terhadap Hutan Kota Sebagai Ruang Terbuka Hijau Kasus Hutan Kota di Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat (Thesis)
Hermila Hasan
Persepsi masyarakat tentang hutan kota dan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi tersebut Deduktif Kuantitatif Kualitatif Kalimantan Barat 2011
Perubahan Fungsi Lapangan Karebosi dari Ruang
Terbuka Hijau Publik Menjadi Ruang Komersial di Pusat Kota Makassar
Syamsuriany Mengkaji penyebab perubahan fungsi RTH dan pengaruhnya terhadap perkembangan pusat kota Deduktif Kualitatif Makassar 2011
Perubahan Kawasan Ruang Terbuka Hijau di Kota Bogor Tahun 1955-2009 Prayoga A. Purnama Menunjukkan perubahan pada kawasan RTH dan penyebabnya Deduktif Kualitatif Kota Bogor 2011 bersambung...
Tabel 1.1 (lanjutan...)
JUDUL PENULIS FOKUS METODE LOKASI TAHUN
Tipologi Ruang Terbuka Hijau Pada Kawasan Hunian Spontan di Tepi Jalur Linear Dalam Pencatatan Yogyakarta (Thesis) Yulita Kusumasari Identifikasi pola spasial ruang terbuka hijau sesuai morfologi kota Deduktif Kualitatif Yogyakarta 2012 Identifikasi Faktor-Faktor Penentu Tata Vegetasi untuk Ruang Terbuka Hijau : Studi Kasus Kota Malang (Thesis)
Alfred Ndoen Faktor-faktor penentu tata vegetasi Kualitatif Alun-Alun Kota Malang 2012
Sumber:Tugas Akhir Mahasiswa Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan UGM
Berdasarkan data di atas, sudah terdapat banyak penelitian terkait dengan pengelolaan ruang terbuka hijau. Terdapat penelitian berjenis tesis yang bertopik Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau di Kota Magelang yang dilakukan oleh Sri Yuwiati Sukma Putra pada tahun 2006 dengan menggunakan metode deduksi kualitatif. Kemudian terdapat pula penelitian berjenis skripsi bertopik Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau di Kota Pekanbaru yang dilakukan oleh Rahimi Rahmayana pada tahun 2010 menggunakan metode deduktif kualitatif. Perbedaan antara penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah lokus penelitian dan metode penelitian. Penelitian ini memiliki lokus Kota Surabaya yang merupakan metropolitan sehingga tentunya akan membawa deskripsi kebijakan pengelolaan RTH yang berbeda daripada kota lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaannya pun akan berbeda pada masing-masing kota. Topik ini menarik untuk diteliti terkait dengan isu-isu penurunan kualitas lingkungan perkotaan yang masih menjadi masalah di banyak kota besar.
Selain itu, dalam penelitian ini digunakan metode studi kasus dengan tujuan mengoptimalkan proses penggalian teori in-depth study serta memaksimalkan penampungan obyek penelitian yang terdapat di lapangan, sehingga penelitian ini nantinya akan membawa kajian teori yang dalam serta eksplorasi lapangan yang utuh. Di samping itu, diharapkan penelitian ini akan menambah daftar panjang penelitian terkait eksistensi ruang terbuka hijau. Dengan demikian berbagai gagasan dan cara penyediaan ruang terbuka hijau akan semakin variatif dan aplikatif melalui banyaknya penelitian tentang ruang terbuka hijau yang dapat dijadikan acuan.
I.7 Sistematika Penulisan
Penelitian ini disusun dalam beberapa bagian, yaitu sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN
Bab I berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan penelitian serta keaslian penelitian terhadap karya – karya penelitian yang pernah dilakukan oleh orang lain.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab II berupa kajian ilmu dari berbagai macam literatur baik berupa buku, jurnal, surat kabar, dan lain sebagainya.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab III mencakup pendekatan penelitian, unit-unit amatan dan analisis, instrumen penelitian, cara dan langkah-langkah pengumpulan data, analisis data dan tahapan kegiatan penelitian.
BAB IV DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab V menjabarkan dan menjelaskan hasil temuan yang berupa BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Bab VI berisi kesimpulan yang berdasarkan pada hasil dan pembahasan. Kesimpulan tersebut secara langsung menjawab pertanyaan penelitian yang akhirnya akan menghasilkan saran-saran sesuai dengan manfaat penelitian.