• Tidak ada hasil yang ditemukan

NOTULENSI DISKUSI PHARM-C

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NOTULENSI DISKUSI PHARM-C"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

NOTULENSI DISKUSI PHARM-C

Hari, tanggal : Sabtu, 8 Juli 2017 Waktu : 19.00 - 22.00 WIB

Tempat : Online (LINE Grup Pharm-C Kloter 1) Pembicara : David Wijaya

Tema Diskusi : Pharmacoeconomy in ART : The Importance of Gonadotrophin Choice Jurnal dapat di akses pada bit.ly/diskusipharmc1

Moderator : Rosikh Ruhul Notulis : Hudiya Syadida

Time Keeper : Ardhea Pramesti

Jumlah Peserta : 30 orang

Pokok Bahasan :

1. Pemaparan materi diskusi 2. Diskusi (2 termin)

Isi Pemaparan Materi :

 Farmakoekonomi meupakan perpaduan ilmu farmasi dan ekonomi. Ilmu ini merupakan dasar awal seorang pharmacist bertindak sebagai decision maker, contoh singkatnya ketika kita menentukan

(2)

pengobatan atau perlakuan pengobatan yang akan kita tetapkan dengan didasari prinsip-prinsip ekonomi, selain itu seorang pharmacist juga memiliki andil dalam menentukan dan mengatur kebijakan obat yang rasional untuk digunakan dalam suatu negara khususnya saat ini Indonesia yang sedang menghadapi era JKN.

 Prosentase anggaran yang dikeluarkan dari pemerintah untuk tanggungan kesehatan yakni pemerintahan Amerika sebesar 16,9% dari GDP nya. GDP sendiri dapat diartikan sebagai total nilai penjualan barang dan jasa oleh negara dalam satu tahun, Indonesia tertinggal jauh yakni sebesar 3%. Menurut WHO normalnya suatu Negara mengaggarkan dana kesehatan sebesar 9,933% dari GDP, hal ini dapat menjawab pertanyaan yang cukup umum yakni mengapa pengobatan di Singapura lebih baik dibandingkan Indonesia? bukan hanya karena alasannya tekhnologi di Singapura lebih maju, tetapi ada alasan lain yakni kebijakan di Indonesia sendiri hanya memberikan sebesar 3% dari GDP untuk bidang kesehatan, sehingga hal itulah yang membatasi kemajuan pengembangan dunia kesehatan di Indonesia.

 Inputs/Costs

Costs in health economic analyses are divided into three main group : 1. Direct Cost

(3)

3. Intangible Cost

4. Opportunity Cost

Input dari Farmakoekonomi sendiri digolongkan menjadi empat grup, namun yang sering digunakan adalah tiga grup utama yang pertama direct cost yakni biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan secara langsung, contohnya kita membeli obat amoksisilin tapi kita harus pergi ke Apotek, sehingga mengeluarkan ongkos transportasi atau ada seorang ibu yang membawa anaknya ke dokter dimana anak tersebut ingin membeli jajan, maka hal ini termasuk dalam indirect cost. Yang kedua yakni intangible cost, contohnya ketika seseorang sakit maka akan kehilangan waktu atau merasakan rasa sakit yang meresahkan (suatu harga yang tidak dapat diukur dengan uang/angka).

 Outcomes/Benefits Type of outcomes:

1. Intermediate outcomes : such as controlling sugar levels, blood pressure and cholesterol levels

2. Final outcomes : would be measured as the reduction in the disease or events

Outcomes/Benefits dari Farmakoekonomi digolongkan menjadi tiga grup. Pertama intermediate, contohnya dalam mengontrol gula darah atau mengontrol tekanan darah dan kolesterol. Kedua final outcomes, adalah saat hilangnya penyakit tersebut. Contohnya dalam menggunakan captropil, final outcomes adalah berapa lama pasien tersebut hidup, bila intermediate, berapa lama tekanan darah akan stabi. Kenyatannya lebih sering digunakan intermediate dikarenakan waktu yang digunakan lebih singkat, biayanya lebih murah dan parameternya yang lebih jelas.

(4)

 Type of analyses :

1. Cost-Minimization Analysis (CMA) : Ketika kita mendapati pilhan dua obat yang memiliki efektifitas sama yakni menurukan tekarnan darah dan diharuskan mencari harga ter minimal, terdapat kriteria cost untuk persiapan, produksi, supply dan nantinya dilihat yang paling minim. Outcomes yakni perbedaan relatif antara obat satu dengan yang lainnnya.

2. Cost-Effectiveness Analysis (CEA) : Terdapat pilihan terapi dan akan ada perbandingan antara harga dan efektifitas obat. Outcomes yakni seberapa efektif penyembuhan yang dirasakan. Luarannya yakni natural unit (kuantitas hidup).

3. Cost-Benefit Analysis (CBA) : Ketika memiliki uang sebesar 100 juta, apakah akan digunakan untuk membuka apotek ataukah industri, apakah membayar dengan angsuran ataukah pertahun. Outcomes yakni berapa keuntungan yang bisa didapat dan bisa dihemat dari input yang dikeluarkan.

4. Cost-Utility Analysis (CUA) : Hampur mirip dengan CEA, namun CUA satuannya menggunakan

quality. Terdapat rumus untuk menghitungnya yakni lama waktu hidup dikalikan dengan kualitas hidup, contohnya pasien yang hidup 5 tahun, tetapi tidak bisa bergerak atau lumpuh karena tidak bisa bergerak maka diberikan nilai 0,2 dan dikali waktu hidup 5 tahun jadi nilainya hanya sebesar 1. Sedangkan ada yang umurnya hanya 2 tahun namun sehat dapat beraktifitas sehingga dinilai 0,8 dan dikalikan 2 tahun yakni sebesar 1,6. Outcomes yakni besarnya kualitas yang didapat. (bukan hanya kuantitas namun juga kualitas hidup yang didapat). Keluaran utamanya tunggal, seberapa besar penurunan kadar gula darah dari metformin, apakah mempengaruhi kerja hati atau jantung. Besaran CEA dan CUA yakni dengan ICER (Instrumental Cost Effective Ratio). Kesimpulannya, saat menganalisis kesesuaian obat maka ketika harga semakin mahal efektifitas akan semakin bagus, dan kebalikannya bila harga semakin murah maka obat semakin tidak efektif.

(5)
(6)

 ART merupakan suatu tekhnologi yang akan membantu terjadinya reproduksi / perkembangbiakan bagi manusia, sekarang sedang dipertimbangkan terapi mana yang cost-effective alasannya mengapa dilakukan penelitian ini adalah karena semakin lama tiap tahun terjadi peningkatan sekitar 5 sampai 10% di negara-negara yang sudah berkembang mengalami penurunan tingkat reproduksi, alasannya karena mereka akan berhubungan atau ingin mempunyai anak hanya ketika usia mereka diatas usia reproduktif. Karena semakin meningkatnya permintaan treatment dari ART dan yang kedua permasalahan adalah dari biaya yang dibutuhkan, ART sendiri cukup mahal, sehingga diperlukan analisis cost-effective, yang ketiga adalah Negara yang akan memberikan subsidi treatment ART dan perlu adanya pertimbangan lebih lanjut.

 Biaya dari treatment ART sendiri ada banyak dari simulasi ovarium, scanning ultrasonik dan sebagainya dan untuk IVF in Vitro fertilization atau bayi tabung ada 4 faktor yang menentukan, yang pertama experienced or estimated treatment success rate yang kedua usia dari ibu tersebut, ketiga multiple pregnancy dan yang terakhir cost treatment. Pada bayi tabung, biaya paling mahal dalam treatment ini adalah ketika fase stimulasi hormon. Ada dua jenis hormon yang digunakan, yang pertama adalah human hormone dan yang kedua menggunakan rekombinan. Disini kita akan menentukan mana yang paling cost effectiveness, disebutkan di jurnal bahwa perbandingan Birth Rate antara FSH dengan rekombinan FSH yakni sebesar 38,2% perbedaan angka kelahirannya dan juga di sini terjadi perbedaan harga otomatis yakni rekombinan yang jauh lebih mahal, bukan hanya dari harga obat namun juga biaya per ampulnya jauh lebih mahal. Dengan menggunakan ICER, setelah melewati perhitungan yang ada, maka human hormone jauh lebih efektif daripada rekombinan hormon.

(7)
(8)

 Dilakukan marginal analisis, dibandingkan beberapa pilihan terapi yang mirip sehingga akan didapat alternatif biaya dan keluaran paling dekat (ICER). Bandingkan terapi B dan A  C dan B  D dan C  E dan D. Setelah itu maka didapakan incremental cost dan incremental consequences. Symptom Free Days artinya misalnya dalam 2 minggu maka 4 hari kita tidak ada gejala penyakitnya pada tipe terapi B. ICER didapat dari incremental cost dibagi dengan incremental consequences. Saat ada nilai yang minus, maka dihilangkan karena sangat terlihat bila D lebih mahal dan symptmps free days nya lebih sedikit dibandingkan yang C. Opsi C nilai ICER nya jauh lebih besar dari 2 treatment lainna, sehingga dihilangkan. Maka didapat terapi B dan E. Di Negara yang berkembang misalnya Indonesia sudah memiliki nilai ICER sendiri, misalnya sebesar 100-200 maka akan memilih terapi B, sehingga ini juga merupakan suatu alasan mengapa pengobatan di negara yang maju misalnya Singapura jauh lebih baik, ini dikarenakan peraturan atau kebijakan dari pemerintah nya sendiri.

(9)

SESI DISKUSI

Pertanyaan 1 (Anggun Nurus S.)

Sudah berjalan optimalkah farmakoekonomik di Indonesia? yang kedua tadi dijelaskan mengenai outcomes PE yaitu salah satunya final outcomes, kondisi seperti apakah yang mengharuskan kita menggunakan final outcomes? Apakah pernah terjadi kondisi seperti itu (contohnya), yang ketiga, farmakoekonomi ini tadi dijelaskan pertimbangan obat yang dimasukkan dalam asuransi, apakah obat herbal juga termasuk pertimbangan untuk PE di klinik atau rumah sakit?

Jawaban Pertanyaan 1 (David Wijaya)

 Faktanya sekarang farmakoekonomi ini sudah berjalan, bila optimal atau tidaknya tergantung penyelenggara dan misalnya untuk rumah sakit ada fomularium rumah sakit yang setiap tahunnya akan ada rapat membahas obat apa saja yang masuk dalam daftar formularium (tergantung kebijakan Rumah sakit tersebut dilakukan setiap tahun ataukah tidak), bila ada pergantian maka harus mengisi formulir alasan/evaluasi mengganti serta pertimbangan lainnya. Misalkan efektivitas obat B lebih aman daripada obat A dan dilakukanlah pergantian obat. Terkadang ada gratifikasi dari beberapa pihak, sehingga tidak bisa dikatakan benar-benar optimal, namun di Indonesia tetap dibutuhkan dan memang masih diterapkan.

 Tidak ada kebijakan harus menggunakan final outcomes atau tidak, misalnya yang meneliti ingin menggunakan untuk mengetahui lebih jelas apakah obat tersebut hanya sebentar memberikan efek samping ataukan memberikan hal yang lebih buruk yang akan berujung kematian, misalnya menggunakan obat hipertensi, dilihat sampai benar-benar dalam rentan normal dan stabil atau dalam pengobatan kanker apakah dia meninggal atau tidak. Hal ini digunakan namun tidak benar-benar menjadi patokan.

 Untuk jawaban pertanyaan terakhir mungkin disangkutpautkan dengan sistem BPJS di Indonesia yang merupakan contoh aplikasi farmakoekonomi di Indonesia, namun hal ini juga tergantung lagi dengan rumah sakit dan kebanyakan masih jarang digunakan di Indonesia.

(10)

Pertanyaan 2 (Suci Amalia)

Saya ingin menanyakan mengenai jurnal yg kita bahas malam ini mengenai gonadotropin. Di jurnal itu ada 2 grafik yg belum begitu saya mengerti. Bisakan dijelaskan? Lalu bisa jelaskan kembali bagaimana penulis jurnal menentukan bahwa hFSH lebih efektif dibanding rFSH? Jurnal mencantumkan ICER 183,779 dan mengatakan bahwa hFSH tidak lebih efektif dibanding rFSH

Jawaban Pertanyaan 2 (David Wijaya)

Ada dua grafik, yang pertama one way dan yang kedua two way. Ini merupakan grafik probabililitik sensitivity analisis, yang meruapakan salah satu metode yang paling jeli untuk meneliti perbandingan beberapa obat. Di jurnal ini tidak ada data yang bisa kita hitung, hanya ditarik kesimpulan akhir, kesimpannya yakni rekombinan memang lebih efektif meningkatkan angka kelahiran, namun untuk yang paling cost effective adalah human hormone sendiri. Ingin meluruskan saja, rFSH itu berarti lebih efektif untuk peningkatan angka kelahiran dan hFSH lebih cost effective. Dalam pemilihannya disesuaikan dengan kemampuan masing masing pasien.

Untuk mengetahui penjelasan grafik lebih jelasnya dapat mengakses link http://www.crecon-ma.co.jp/english/essence/

Pertanyaan 3 (Armareza Putriyani L.)

Bagaimana mengenai manfaat penerapan prinsip farmakoekonomi di Indonesia, contohnya dalam sifat yang real? Lalu, bagaimana penerapan farmakoekonomi bagi usaha kecil seperti apotek di desa-desa dengan mempertimbangkan kemudahan metode (cenderung simpel dan tidak ingin ribet) yang akan digunakan beserta manfaatnya.

Jawaban Pertanyaan 3 (David Wijaya)

 Contohnya membuat formularium, BPJS membuat asuransi, industri saat membuat obat pada saat pengujian klinis fase 1.

 Lebih jelas dan lengkapnya bisa diakses pada link :

(11)

 Bukan hanya di pedesaan, namun di beberapa industri terkadang masih saja ada industri yang sekedar membuat obat, namun tidak memperhitungkan analisis farmakoekonominya karena sangat disayangkan bila obat yang dibuat nantinya tidak laku dipasaran.

Pertanyaan 4 (Rudyanto B.)

Yang saya tangkap itu dalam hal pemilihan 2 obat atau lebih, teori yang kak david jelaskan itu dipakai agar hasil yang didapat akurat, tapi kenyataanya kebanyakan dokter dan apoteker itu memiliki produk obat yang diunggulkan tersendiri (di lariskan agar mendapat keuntungan) bagaimana mengenai hal tersebut kak? dan juga apakah ada kasus-kasus tertentu yang membuat teori yang kakak jelaskan tidak dapat kita pakai?

Pertanyaan 4 (David Wijaya)

 Rata- rata dokter atau apoteker memang masih memilih-milih karena bila mereka memberikan obat X maka mereka mendapat keuntungan tersendiri (gratifikasi), dengan mengatasi hal itu maka dibuatlah formularium pada RS. Cara menanganinya dengan membuat pedoman dan memberantas gratifikasi itu sendiri dan kembali lagi ke komitmen untuk menjadi tenaga kesehatan yang benar.  Teori itu tidak akan terpakai jika tidak membutuhkan farmakoekonomi. Selama membutuhkan

analisis (lihat income dan outcome diawal) ekonomi, pasti akan membutuhkan teori tersebut.

Pertanyaan 5 (Anis Fitriani)

Saya bermaksud menanyakan tentang pengujian farmakoekononi untuk obat herbal, metode analisis apa yang sebaiknya digunakan terlebih dahulu? Apakah perhitungannya bisa menggunakan ICER juga?

Jawaban Pertanyaan 5 (David Wijaya)  Iya, dapat menggunakan ICER.

 Analisis yang dapat dilakukan dengan cara : 1. Menentukan pembandingnya terlebih dahulu.

2. Mendapatkan hasil data dari semua treatment yg ingin dibandingkan (harga dan efektifitas). 3. Mulai dibandingkan dengan metode ICER

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan data primer, didapatkan pola distribusi pasir besi dengan anomali self potential sebesar -291,7 mV yang mengindikasikan

**hanya dapat diubah oleh superuser berisi direktori" untuk user biasa berisi file library yg digunakan untuk mendukung kerja Kernel Linux direktori khusus yg disediakan

Penelitian masih perlu dilanjutkan untuk melengkapi data kandungan nutrisi pada bagian tumbuhan spesies lainnya yang juga menjadi sumber pakan bekantan di hutan karet..

Menurut Flippo dalam Suwatno (2011:220) kompensasi merupakan pemberian imbalan jasa yang layak dan adil kepadakaryawan-karyawan karena mereka telah memberikan

Berdasarkan hal tersebut, walaupun hasil Uji statistik tidak ada hubungan antara beban kerja dengan kinerja Pokja DBD hal ini sesuai dengan pernyataan informen bahwa tugas Pokja

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., atas limpahan petunjuk dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa musik keroncong yang telah diaransemen atau disesuaikan dengan nada dan irama sama dengan musik klasik terbukti

Maksud penerbitan SKA-P untuk menertibkan persyaratan minimal dan tatacara melakukan sertifikasi orang perseorangan tenaga kerja yang bekerja pada bidang konstruksi pada kualifikasi