• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Sukamto,1982). Kajian mengenai geologi regional lembar ini terbagi atas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Sukamto,1982). Kajian mengenai geologi regional lembar ini terbagi atas"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional Daerah Penelitian

Secara regional, daerah penelitian termasuk dalam Peta Geologi Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat Sulawesi, skala 1:250.000 yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung (Sukamto,1982). Kajian mengenai geologi regional lembar ini terbagi atas geomorfologi regional, stratigrafi regional, dan struktur geologi regional.

2.1.1 Geomorfologi Regional

Di daerah pada Peta Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat terdapat dua baris pegunungan yang memanjang hampir sejajar pada arah utara-baratlaut dan terpisahkan oleh lembah Sungai Walanae. Pegunungan yang barat menempati hampir setengah luas daerah, melebar di bagian selatan (50 km) dan menyempit di bagian utara (22 km). Puncak tertingginya 1694 m, sedangkan ketinggian rata-ratanya 1500 m. Pembentuknya sebagian besar batuan gunungapi. Di lereng barat dan di beberapa tempat di lereng timur terdapat topografi kars, pencerminan adanya batugamping. Di antara topografi kars di lereng barat terdapat daerah perbukitan yang dibentuk oleh batuan Pra-Tersier. Pegunungan ini di baratdaya dibatasi oleh dataran Pangkajene-Maros yang luas sebagai lanjutan dari daratan di selatannya.

(2)

Pegunungan yang di timur relatif lebih sempit dan rendah, dengan puncaknya rata-rata setinggi 700 meter, dan yang tertinggi 787 m. juga pegunungan ini sebagian besar berbatuan gunungapi. Bagian selatannya selebar 20 km dan lebih tinggi, tetapi ke utara menyempit dan merendah, dan akhirnya menunjam ke bawah batas antara lembah Walanae dan dataran Bone. Bagian utara pegunungan ini bertopografi kars yang permukaannya sebagian berkerucut. Batasnya di timurlaut adalah dataran bone yang sangat luas, yang menempati hampir sepertiga bagian timur. (Sukamto, 1982).

Daerah Pasenrengpulu yang merupakan daerah penelitian masih termasuk dalam wilayah lembah Walanae bagian barat, tepatnya dikaki pegunungan Bulupakung. Lokasi pengambilan sampel sendiri berada pada ketinggian 232 mdpl yang menempati daerah berelief berbukit bergelombang miring.

3.1.2 Stratigrafi Regional

Lokasi penelitian terletak pada Daerah Pasenrengpulu Kecamatan Lamuru, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, yakni disebelah tenggara daerah Malawa seperti yang terlihat pada gambar di atas (gambar 2.1). Batubara pada daerah penelitian secara regional termasuk pada Formasi Malawa yang merupakan formasi batuan yang bersusunan batupasir, konglomerat, batulanau, batulempung, dan napal, dengan sisipan lapisan atau lensa batubara dan batulempung; batupasirnya sebagian besar batupasir kuarsa, adapula yang arkosa, grewake, dan tufaan, umumnya berwarna kelabu muda dan coklat muda; pada umumnya bersifat rapuh, kurang padat; konglomeratnya sebagian kompak; batulempung,

(3)

Gambar.2.1 Peta geologi daerah penelitian (Skala 1:35.000) berdasarkan Peta Geologi Regional lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat Sulawesi, skala 1:250.000. (Sukamto, 1982).

batugamping dan napalnya umumnya mengandung moluska yang belum diperiksa, dan berwarna kelabu muda sampai kelabu tua; batubara berupa lensa setebal beberapa sentimeter dan berupa lapisan sampai 1,5 m. (Sukamto,1982).

Berdasarkan fosil yang dijumpai pada daerah ini, diperkirakan umur dari formasi ini adalah Eosen (D.E. Wolcott, USGS, 1973., dalam Sukamto 1982) dengan lingkungan pengendapan paralis sampai laut dangkal. Tebal formasi ini tidak kurang 400 m; tertindih selaras oleh batugamping Formasi Tonasa (Temt), dan menindih tak selaras batuan sedimen Formasi Balangbaru (Kb) dan batuan gunungapi terpropilitkan (Tpv). (Sukamto,1982).

(4)

Berdasarkan hasil penelitian lokal terhadap lokasi penelitian diketahui, bahwa umur dari batulempung yang tersingkap disekitar lokasi penelitian (Pasenrengpulu) adalah Eosen Tengah dengan lingkungan pengendapan transisi-laut dangkal (Harahap, 2009), yang berdasarkan kesamaan ciri fisik di lapangan dan letak geografis yang relatif dekat maka batulempung pada daerah penelitian memiliki kesamaan ciri dengan Formasi Malawa, yang terendapkan di lingkungan paralis-laut dangkal dan berumur Eosen.

2.1.3 Struktur Geologi Regional

Pada Kala Eosen Awal, daerah di barat berupa tepi daratan yang dicirikan oleh endapan darat serta batuabara di dalam Formasi Mallawa; sedangkan di daerah Timur, berupa cekungan laut dangkal tempat pengendapan batuan klastika bersisipan karbonat Formasi Salo Kalupang. Pengendapan Formasi Mallawa kemungkinan hanya berlangsung selama awal Eosen, sedangkan Formasi Salo Kalupang berlangsung sampai Oligosen Akhir.

Proses tektonik di bagian barat ini berlangsung sampai Miosen Awal; sedangkan di bagian timur kegiatan gunungapi sudah mulai lagi selama Miosen Awal, yang diwakili oleh Batuan Gunungapi Kalamiseng dan Soppeng (Tmkv dan Tmsv). Akhir kegiatan gunungapi Miosen Awal itu diikuti oleh tektonik yang menyebabkan terjadinya permulaan terban Walanae yang kemudian menjadi cekungan tempat pembentukan Formasi Walanae. Menurunnya Terban Walanae dibatasi oleh dua sistem sesar normal, yaitu sesar Walanae yang seluruhnya

(5)

nampak hingga sekarang di sebelah timur, dan sesar Soppeng yang hanya tersingkap tidak menerus di sebelah barat.

Sesar utama yang berarah utara-baratlaut terjadi sejak Miosen Tengah, dan tumbuh sampai setelah Pliosen. Perlipatan besar yang berarah hampir sejajar dengan sesar utama diperkirakan terbentuk sehubungan dengan adanya tekanan mendatar berarah kira-kira timur-barat sebelum akhir Pliosen. Tekanan ini mengakibatkan pula adanya sesar sungkup lokal yang menyebabkan batuan pra-Kapur Akhir di daerah Bantimala ke atas batuan Tersier. Perlipatan dan penyesaran yang relatif lebih kecil di bagian Lembah Walanae dan di bagian barat pegunungan barat, yang berarah baratlaut-tenggara dan merencong, kemungkinan besar terjadi oleh gerakan mendatar ke kanan sepanjang sesar besar.

2.2. Defenisi Batubara

Batubara terbentuk dari sisa tumbuhan yang membusuk dan terkumpul dalam suatu daerah dengan kondisi banyak air, biasa di sebut rawa. Kondisi tersebutlah yang menghambat penguraian menyeluruh dari sisa-sisa tumbuhan yang kemudian mengalami proses perubahan menjadi batubara.

Batubara merupakan batuan yang mudah terbakar, yang 70% volumenya dan lebih dari 50% beratnya tersusun oleh material karbon, terbentuk dari kompaksi atau pengerasan dari diagenesis berbagai jenis tumbuhan yang berupa jejak atau umumnya disebut gambut. (Schopf, 1956., dalam Thomas 1992).

Menurut Stach (1982), batubara adalah suatu endapan yang tersusun dari bahan organik dan non organik. Bahan organik berasal dari sisa tumbuhan yang

(6)

Gambar.2.2 Proses akumulasi, penimbunan dan pembatubaraan (proses pembentukan batubara) berdasarkan modikasi Esterle (2004).

telah mengalami berbagai tingkat pembusukan (decomposition) dan perubahan sifat-sifat fisik serta kimia baik sebelum maupun sesudah tertutup endapan lain diatasnya.

2.3. Pembatubaraan (Coalification)

Proses pembentukan batubara terdiri dari dua tahap yaitu tahap biokimia (penggambutan) dan tahap geokimia (pembatubaraan). Proses pembentukan batubara secara umum dapat di lihat pada gambar 2.3.

Tahap penggambutan (peatification) adalah tahap dimana sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi reduksi di daerah rawa dengan sistem pengeringan yang buruk dan selalu tergenang air pada kedalaman 0,5–10m. Material tumbuhan yang busuk ini melepaskan H, N, O, dan C dalam bentuk senyawa CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi humus. Selanjutnya oleh

(7)

Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan gabungan proses biologi, kimia, dan fisika yang terjadi karena pengaruh pembebanan dari sedimen yang menutupinya, temperatur, tekanan, dan waktu terhadap komponen organik dari gambut (Stach et al., 1982). Pada tahap ini persentase karbon akan meningkat, sedangkan persentase hidrogen dan oksigen akan berkurang (Fischer, 1927., dalam Blaine, 2001). Proses ini akan menghasilkan batubara dalam berbagai tingkat kematangan material organiknya mulai dari lignit, sub-bituminous, bituminous, semi-antrasit, antrasit, hingga meta-antrasit.

2.4. Komponen Anorganik Penyusun Batubara

Secara umum, batubara disusun oleh dua komponen utama yakni komponen organik dan anorganik. Komponen anorganik disusun oleh mineral. Batubara yang mempunyai mineral dalam ukuran butir besar dapat dengan mudah dipisahkan dengan penggerusan atau dengan proses pengolahan yang disebut dengan mineral adventitious, sedangkan mineral-mineral yang tidak terlepas dari batubara baik dengan penggerusan maupun dengan proses pengolahan yang di sebut “inherent”. (Anggayana dan Widayat, 2007). Secara umum, batubara disusun oleh dua jenis mineral sebagai berikut:

a). Mineral Syngenetic

Merupakan mineral-mineral yang terakumulasi bersama-sama dengan material organik membentuk endapan batubara, atau masuk dalam batubara selama proses coalification, yang dapat berupa mineral-minaral lempung seperti illit dan kaolinit. (Thomas, 1992).

(8)

b). Mineral Epygenetic

Merupakan mineral yang masuk dalam gambut setelah pengendapan, atau setelah proses coalification. Presipitasi mineral mungkin dalam dalam bentuk agregat, dan biasanya mengisi rekahan-rekahan halus pada batubara, contohnya seperti mineral-mineral lempung ataupun elemen sulfur anorganik yang umum dijumpai dalam batubara utamanya berasal dari mineral pirit sekunder akibat reduksi air laut. (Thomas, 1992).

Mineral pengotor dalam batubara terdapat baik sebagai butiran halus yang menyebar maupun sebagai butiran kasar yaang mempunyai ciri-ciri tersendiri dan dapat dikelompokan menjadi tiga grup yaitu: Mineral pengotor yang terdapat dalam sel tanaman asal, Mineral pengotor utama yang terbentuk selama pengendapan batubara, mineral pengotor yang terbentuk setelah pengendapan batubara. (Anggayana dan Widayat, 2007).

Mineral pengotor grup pertama pada umumnya tidak dapat diketahui kecuali dengan S.E.M (Scanning Electron Microscope) karena sangat halus. Mineral pengotor grup kedua dan ketiga dengan mudah dapat di identifikasi dengan mikroskop. Mineral pengotor utama terbentuk bersamaan dengan pembentukan batubara, sedangkan mineral pengotor lainnya cenderung kasar dan bergabung dalam celah dan rongga. (Anggayana dan Widayat, 2007).

Mineral lempung adalah mineral yang paling banyak terdapat dan tersebar di dalam batubara serta berukuran butir sangat kecil antara 1-2m. Sekitar 60% sampai 80% dari mineral pengotor dalam batubara adalah lempung berupa kaolinit, dan illlit. Komposisi kimia pada saat pengendapan berpengaruh terhadap

(9)

Gambar.2.3 Diagram pembentukan sulfur dalam batubara (Modifikasi Suits dan Arthur, 2000., dalam Anggayana dan Widayat, 2007 ).

tipe lempung yang mengendap dalam batubara. Pada umumnya mineral lempung illit terdapat dalam batubara yang diendapkan dengan adanya pengaruh air laut, sedangkan kaolinit tidak dipengaruhi oleh air laut. Dibawah sinar refleksi, lempung mempunyai bermacam-macam warna mulai dari yang hampir putih sampai oranye kecoklat-coklatan. (Thomas, 1992).

Karbonat termasuk kelompok mineral yang sering terdapat dalam batubara. Karbonat dapat terbentuk selama proses pengendapan maupun selama proses pembatubaraan. Keterdapatan mineral karbonat pada lapisan batubara dapat menimbulkan temperatur peleburan abu yang lebih kecil bila dibandingkan dengan adanya lempung dan kuarsa yang dominan pada lapisan batubara. Mineral karbonat umumnya dapat dihilangkan dalam proses pencucian batubara. Pada pengamatan mikroskopis, siderite dan kalsit dapat dibedakan dengan mengamati perubahan warna selama meja mikroskop diputar.

(10)

Batubara dengan sulfur tinggi akan didominasi oleh sulfur piritik, proses pembentukan pirit dalam batubara sangat erat kaitannya dengan kelimpahan besi reaktif yang dibawa oleh aliran air (Suits dan Arthur, 2000., dalam Anggayana dan Widayat, 2007). Dalam sinar refleksi, pirit terlihat sangat terang hingga kekuning-kuningan.

Besi sulfida, khususnya pirit, terbentuk dalam lumpur organik yang terakumulasi dalam skala kecil dibawah kondisi reduksi pada lingkungan danau atau rawa yang kaya akan unsur organik. Transportasi dan pembentukan besi diatur oleh Eh dan pH lingkungan. Eh-pH dapat digunakan untuk memprediksi stabilitas mineral besi dan berfungsi untuk menggambarkan bahwa Eh umumnya lebih penting dari pada pH dalam menentukan akumulasi mineral besi. Misalnya, hematit (Fe2O3) diendapkan di bawah kondisi Oksidasi pada pH yang biasa

dijumpai di laut dan air permukaan (pH asam dan Eh oksidasi), siderit (FeCO3)

terbentuk di bawah kondisi reduksi dalam skala intermediet (pH netral-asam), dan pirit (FeS2) bentuk di bawah kondisi reduksi kuat dalam pH yang relatif

rendah/basa. (Boggs, 1987).

2.5. Komponen Organik Penyusun Batubara

Komponen organik (organic matter) dalam batubara adalah satu-satunya komponen batubara yang menghasilkan kalori pada proses pembakaran. Secara umum, komponen organik penyusun batubara yakni maseral analog dengan mineral dalam batuan atau bagian terecil dari batubara yang bisa teramati dengan

(11)

Tabel.2.1 Klasifikasi maseral berdasarkan the International Committee for Coal and Organic Petrology (1995), the Australian standard system of nomenclature (AS, 1995), dan the American Society for Testing and Materials (ASTM, 1996), dalam American Association of Petroleum Geologist (AAPG, 1998)

mikroskop, dikelompokkan menjadi tiga grup, yakni vitrinit (huminit), liptinit, dan inertinit.

Maceral Group Sub Maceral Macerals

Vitrinite Telo-vitrinite Textnit Texto-ulminit Eu-ulminit Telocolinit Detro-vitrinite Atrinit Densinit Desmocolinite Gelo-vitrinite Corpogelinite Porigelinite Eugelinite Liptinite - Sporinite Cutinite Resinite Suberinite Fluorinite Liptodetrinit Exudatinite Alginite Bituminite Inertinit Telo-inertinit Fusinit Semifusinit Sclerotinite Detro-inertinit Inertodetrinite Micrinite Gelo-inertinit Macrinite

Penguraian komponen batubara ini dapat di lihat dari dua sisi berbeda. Pertama dari bagian jenis tanaman awal yang membentuknya sedangkan yang kedua dari unsur-unsur yang membentuknya. Di lihat dari sisi bagian dan jenis tanaman awal yang membentuknya komponen batubara ini diuraikan menjadi

(12)

Tabel.2.2 Asal mula dan karakteristik grup vitrinit secara mikroskopik (Cook, 1982., dalam Ningrum, 2009).

beberapa elemen yang di sebut maseral. Batubara juga memilki komponen yang terdiri dari unsur-unsur karbon, hidrogen, nitrogen, sulfur, oksigen serta terdapat juga sedikit unsur zat organik bawaan seperti natrium, kalium dan lainnya yang terikat sebagai bagian dari zat organik.

2.5.1 Grup Vitrinit

Pembentukan vitrinit memerlukan suatu proses yang relatif cepat dari akumulasi sisa tanaman di permukaan gambut melalui zona oksidasi dimana bakteri anaerob mengubah sisa lignin dan selulosa ke dalam gel humit sebagian dengan sifat yang homogen. Hal ini membuat vitrinit, khususnya telovitrinite dapat mempertahankan beberapa struktur sel.

Subgrup Maseral Asal dan Karakteristik Maseral

Telovitrinit Berasal dari jaringan kayu. Mempunyai reflektan yang tinggi, dan tidak nampak pada cahaya fluorescence. kandungan selulosanya tinggi.

Detrovitrinit Berasal dari patahan/pecahan humus, ukuran partikelnya <10 micron. Mempunyai reflektan yang rendah.

Gelovitrinit Berasal dari bahan-bahan yang bersifat koloid, maseral ini relatif jarang ditemukan.

Perubahan kandungan karbon, zat terbang dan peringkat pada batubara berhubungan secara langsung dengan jumlah cahaya reflektan dari permukaan vitrinit. Pengaruhnya adalah makin tinggi kadar karbon, makin tinggi pula reflektan vitrinit. Oleh karena itu peringkat batubara dapat langsung ditetapkan

(13)

Tabel.2.3 Asal mula dan karakteristik grup liptinit secara mikroskopik (Bustin, 1983 dan Cook, 1982).

dengan pengukuran reflektan vitrinit. Dalam batubara yang mengandung lebih dari 80% vitrinit, peringkat batubara dapat juga ditetapkan berdasarkan kandungan zat terbang dan karbon.(Bustin et al.,1983).

2.5.2 Grup Liptinit

Liptinit dalam batubara menghasilkan lebih banyak zat terbang apabila dipanaskan dibandingkan dengan grup lainnya. Disamping itu, liptinit menghasilkan bitumen yang tinggi terutama dalam batubara sub-bituminus dan bituminus. (Bustin et al., 1983), adapun asal dan karakteristik dari grup maseral ini dapat di lihat dalam tabel dibawah ini:

Maseral Asal Karakteristik

Alginit Alga. Terlihat berkelompok atau terpisah,

mempunyai relief yang tinggi

Sporinit Spora,tepung sari. Masing badan mempunyai dinding sel yang berbeda, ber-relief tinggi.

Cutinit Kulit ari, daun, batang dan akar.

Berujung tajam, mempunyai relief tinggi Resinit Resin, lemak, lilin dan

minyak.

Selnya terisi.

Fluorinit Lipid, minyak. Ber-fluorescence kuat, berwarna hitam dalam cahaya refleksi normal.

Eksuditinit Minyak/ bitumen yang keluar pada proses perbatubaraan.

Ber-fluorescence kuat, intensitasnya berwarna warni, hitam dalam cahaya refleksi.

Bituminit Hasil pengrusakan algae, plankton dan bakteri lipid.

Tidak mempunyai bentuk yang tetap, ber- fluorescence lemah.

Liptodetrinit Degradasi eksinit; mekanik/ biokimia

(14)

Tabel.2.4 Asal mula dan karakteristik grup inertinit secara mikroskopik (Bustin et al., 1983).

2.5.3 Grup Inertinit

Grup maseral ini sangat sedikit berubah sifat-sifat fisika dan kimianya dibandingkan dengan vitrinit atau liptinit pada batubara peringkat rendah. Pada umumnya inertinit mempunyai kandungan oksigen tinggi dan hidrogen rendah, akan tetapi kandungan oksigen akan menurun cepat seiring dengan naiknya peringkat pada suatu batubara. Struktur inertinit (semifusinit dan fusinit) yang berasal dari vegetasi kayu, terbentuk dalam kondisi yang relatif kering menyebabkan jaringan teroksidasi. (Bustin et al., 1983).

Maseral Asal Karakteristik

Fusinit Jaringan Kayu Mempunyai reflektan tinggi berwarna putih sampai kekuning-kuningan, berdinding sel tipis, sel lumina terbuka.

Semi Fusinit Jaringan Kayu Mempunyai reflektan diantara Vitrinit dan Fusinit, sel lumina sering tertutup, sering terlihat berawan, anisotrop.

Inertodetrinit Potongan fusinit dan semi fusinit yang teroksidasi.

Biasanya berukuran <30 mikron Makrinit Senyawaan humat yang

beroksidasi menjadi jeli

Bentuknya tidak beraturan, tinggi reflektannya

Mikrinit Turunan maseral, terbentuk pada saat permulaan proses pembusukan

Berupa butiran halus, ber-reflektan tinggi

Sclerotinit fungi/jamur Berstruktur kayu, reflektan sedang

2.6. Litotipe Dan Mikrolitotipe Batubara

Pembagian litotipe batubara ini hanya menyangkut tentang pembagian batubara berdasarkan perbedaan makroskopik dari lapisan batubara, walaupun

(15)

Tabel.2.5 Klasifikasi litotipe batubara bituminous (Diessel, 1992; Hower et al., 1990., dalam American association of Petroleum Geologist, 1998).

secara selintas, struktur batubara homogen, tetapi jika diamati dengan cermat akan nampak lapisan-lapisan yang memiliki ciri tersendiri.

Lithotype (Diessel) Lithotype (Howel) Deskripsi

Bright coal (vitrain) B Vitrain

Memiliki kilau Vitreous-subvitreous, dan pecahan concoidal; rapuh; kemungkinan berisi hingga 10% dull bands dengan ukuran kurang dari 5mm (3mm*)

Banded bright coal Bb

Bright clarain Utamanya berkomposisi vitrain yang mengandung 10-40% dull bands dengan ketebalan kurang dari 5mm (3mm*) Banded coal

(duroclarain)

BD Clarain Disusun oleh 40-60% dull bads dengan ukuran kurang dari 5mm (3mm*) Banded dull coal

(clarodurain)

Db Dull clarain

Terutama tersusun oleh dull coal 10-40% (ketebalan kurang dari 5mm (3mm*)) dengan bright bands. Dull coal (durain) D Durain

Berkilau kusam dan pecahan tidak rata; mengandung kurang dari 10% vitrain dengan ukuran kurang dari 5mm (3mm*)

Fibrous coal (fusain)

F Fusain

Kusam dengan kilau satin, gembur, mengandung hingga 10% dari lithotypes batubara lainnya kurang dari 5mm (3mm*)1

Shaly coal Cs Bone

Tersusun antara 30-60% dari lempung dan lanau, baik tercampur dengan batubara atau dalam lapisan yang terpisah masing-masing kurang dari 5mm (3mm*)1

Coaly shale, coaly mudstone, etc.

Setiap sedimen yang mengandung 60-90% material karbonan halus.

Shale, mudstone, etc.

Setiap sedimen yang mengandung 10% karbon matter1

1 Noted in lithologic description at any recognizable thickness (Hower et al., 1990) * Alternate minimum thickness

Mikrolitotipe dalam batubara hanya dapat di identifikasi dalam pengamatan petrografi. Asosiasi maseral dapat diklasifikasikan kedalam

(16)

Tabel.2.6 Klasifikasi dan komposisi mikrolitotipe dalam batubara (Stach et al., 1982). mikrolitotipe yang memiliki ketebalan sekitar 50μm. Dasar pembagian kelas mikrolitotipe adalah:

- Monomaceral; maseral yang tersusun oleh satu tipe maseral

- Bimaseral; tersusun oleh dua tipe maseral, dimana kedua maseral tersebut memiliki proporsi >5%.

- Trimaseral; ketiga jenis maseral tersusun lebih dari 5% komposisinya. - Carbominerit; jenis mikrolitotipe batubara dimana batubara mengandung

mineral baik berupa mineral lempung, pirit, karbonat, kuarsa ataupun mineral lain lebih dari 20% totalnya.

Komposisi mikrolitotipe yang diadaptasi dari Stach et al.,(1982), dapat di lihat pada tabel di bawah ini:

Microlithotype Maceral Composition Group

Vitrite Liptite Inertite Vitrinite (V) >95% Liptinite (L) >95% Inertinit (I) >95% Monomaceralic Clarite Durite Vitrinertite V + L >95% I + L > 95% V + I > 95% Bimaceralic Duroclarite Vitrinertoliptite Clarodurite V > L, I (each > 5%) L > V, I (each > 5%) I > V, L (each > 5%) Trimaceralic Carbargilite Carbopyrite Carbankerite Carbosilicate Carbopolyminerite

Coal + 20-60% (vol.) clays Coal + 5-20% (vol.) sulfides Coal + 20-60% (vol.) carbonates Coal + 20-60% (vol.) quartz

Coal + 20*-60% (vol.) various minerals * 5% if high pyrite.

Carbominerite

(17)

Tabel 2.7 Klasifikasi Batubara Bituminous peringkat tinggi dan Antrasit berdasarkan parameter yang berbeda. (after M. & R. Teichmuller, & Bartenstein, 1979., dalam Stach, 1982).

2.7 Reflektansi Vitrinit

Peningkatan intensitas sinar pantul pada maseral vitrinit berbanding lurus dengan pertambahan tingkat proses pembatubaraan pada lapisan batubara. Semakin besar nilai sinar pantul maseral, semakin tinggi peringkat batubara, dan demikian pun sebaliknya (Diessel dan Gammidge, 1998).

Rank German USA Vol. M d.a.f % Carbon d.a.f % Reff Rm Oil Bed Moisture Cal. Value Btu/lb (Kcal/kg) Applicability of Different Rank Parameter Peat Lignite Sub. C Bit B A C B A Medium Vol. Bituminous Low Volatile Bituminous Semi Anthracite Anthracite Meta Anthracite 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 2.0 3.0 4.0 68 64 60 56 52 48 44 40 36 32 28 24 20 16 12 8 4 ca 60 ca 71 ca 77 ca 87 ca 91 ca 75 ca 35 ca 25 ca 8 -10 7200 (4000) 9900 (5500) 12600 (7000) 15500 (8650) 15500 (8650) Torf Weich Matt Glanz Flam Gas flamm Gas Fett Ess Mager Anthrazit Meta Anthrazit S t e i n k o h l e B r a u n k o h l e H ig h v o l B it u m in o u s H id ro g e n ( d a f) V o la ti le m a tt e r (d ry a s h f re e ) C a rb o n ( d ry a s h f re e ) m o is t X -R a y c tr B e d m o is tu re ( A s h f re e ) C a lc u lic V a lu e ( M o is t a s h f re e ) In c re a s e o f V it ri n it e

(18)

Tabel 2.8 Hubungan antara reflektansi vitrinit dengan peringkat batubara (Diessel, 1992, dan Teichmuller, 1982., dalam American Association of Petroleum Geologist, 1998).

Pengukuran reflektansi vitrinit dilakukan di bawah medium minyak imersi (immersion oil). Indeks reflaksi dari minyak imersi dapat berubah dengan temperatur, sehingga dapat mempengaruhi hasil pengukuran reflektansi. Oleh karena itu perlu digunakan standar reflektansi yang telah diketahui pada temperatur standar (20oC-25oC) sebagai faktor koreksi hubungan antara reflektansi dan sifat-sifat optik material dan medium imersi. Reflektansi maseral vitrinit akan naik dengan meningkatnya tingkat kematangan yang dicerminkan oleh peringkat (rank) batubara.

Peringkat Batubara (Coal Rank) % Vitrinit Reflectance (Diessel, 1992) (Teichmuller, 1982) Rrandom Rmax Rank Subclass Rrandom Peat Lignite Sub bituminous

High volatile bituminous

Medium volatile bituminous Low volatile bituminous

Semi anthracite Anthracite 0.20 0.40 0.60 0.97 1.47 1.85 2.65 6.65 0.20 0.42 0.63 1.03 1.58 1.97 2.83 7.00 C B A C B A 0.26 0.38 0.42 0.49 0.65 0.65 0.79 1.11 1.50 1.92 2.58 5.00

2.8 Fasies Pembentukan Batubara

Sebuah habitat dimana bahan organik, terutama gambut terakumulasi disebut dengan moor. Topogenetik atau low moor adalah kondisi pembentukan

(19)

Gambar.2.4 Tipe Moor pembentukan batubara (Modifikasi Gothlick, 1986., dalam Anggayana, 2002).

gambut dan batubara, umumnya mengalami penurunan secara perlahan-lahan, sehingga input mineral sangat sedikit, dimana permukaan air tanah terus melingkupi pembentukan gambut. Verlandung moor atau moor antara merupakan kondisi pembentukan batubara dimana endapannya berasal dari dua sisi cekungan yang kemudian mengalami perkembangan hingga akhirnya kedua endapan dari kedua sisi cekungan bertemu dan menyatu ditengah cekungan. Kondisi pembentukan batubara pada kondisi high moor yang prosesnya terbentuk di atas muka air tanah, hanya dapat terjadi di pada kondisi curah hujan sangat tinggi karena kelembapan gambut hanya bergantung dari curuh hujan. (McCabe, 1987., dalam Suwarna, 2006).

(20)

Penerapan maseral dalam analisis fasies batubara menciptakan terobosan baru dalam studi fasies batubara berdasarkan petrologi bahan organik, pada dasarnya maseral terdiri dari tiga kelompok utama; yaitu vitrinit, inertinit, dan liptinit. Kelompok maseral vitrinit berasal dari tumbuhan air, maseral liptinit terutama berasal dari sisa-sisa tumbuhan kayu, sedangkan inertinit mewakili tanaman yang teroksidasi dan terdegradasi tetapi memiliki asal yang sama dengan vitrinit. Berdasarkan pengelompokan maseral yang di sebutkan di atas, pembahasan analisis fasies batubara dilakukan sebagai indikator paleo-environment dengan melakukan perbandingan terhadap maseral dalam batubara. Maseral vitrinit terbentuk dalam kondisi yang relatif memiliki kelembaban yang tinggi, berasal dari gelifikasi sebagian jaringan tanaman, adapun struktur inertinit (semifusinit dan fusinit) yang berasal dari vegetasi kayu, terbentuk dalam kondisi yang relatif kering menyebabkan jaringan teroksidasi. Inertodetrinit, juga memiliki asal yang sama seperti semifusinit dan fusinit, berasal dari struktur inertinit yang terdisintegrasi. (Diessel, 1982, 1986, dan 1992., Harvey dan Dillon, 1985., dan Cohen et al. 1987., dalam Suwarna, 2006).

2.9 Lingkungan Pengendapan Batubara

Lingkungan pengendapan batubara dapat mengontrol penyebaran lateral, ketebalan, komposisi, dan kualitas batubara. Untuk pembentukan suatu endapan yang berarti diperlukan suatu susunan pengendapan dimana terjadi produktifitas organik tinggi dan penimbunan secara perlahan-lahan namun terus menerus terjadi

(21)

Gambar.2.5 Model lingkungan pengendapan batubara (Horne dkk, 1978., dalam Anggayana dan Widayat, 2007).

dalam kondisi reduksi tinggi dimana terdapat sirukulasi air yang cepat sehingga oksigen tidak ada dan zat organik dapat terawetkan.

Lebih dari 90% batubara di dunia terbentuk di lingkungan paralis yaitu rawa-rawa yang berdekatan dengan pantai (transisi). Secara spesifik, terdapat enam lingkungan pengendapan utama pembentuk batubara (tabel 2.9) yaitu gravelly braid plain, sandy braid plain, alluvial valley and upper delta plain, lower delta plain, backbarrier strand plain, dan estuary. Tiap lingkungan

(22)

pengendapan mempunyai asosiasi dan akan menghasilkan karakter batubara yang tentu saja berbeda-beda.

Meskipun secara umum lingkungan pengendapan sedimentasi dalam pembentukan batubara adalah pada lingkungan paralis, namun kondisi pada lingkungan paralis sendiri dikontrol berbagai hal sehingga terdapat beberapa stadium lingkungan pengendapan batubara yang lebih spesifik (Diessel 2002), yakni sebagai berikut:

Limnic; merupakan rawa air tawar yang sama sekali tidak mendapat pengaruh langsung dari air laut. Jika pun trletak dekat dari laut, namun dipisahkan oleh elevasi dan atau barrier yang bersifat impermeable. Vegetasi yang menyusun tipe rawa ini umumnya adalah dari varietas tumbuhan rerumputan dan semak.

Marsh; adalah lahan basah yang tergenang secara periodik oleh air tawar atau air garam. Rawa seperti ini umumnya tanpa vegetasi pepohonan. Tumbuhan rerumputan, dedaunan, dan semak merupakan sebagian besar vegetasi yang menyusun tipe rawa ini.

Limno-telmatik; merupakan rawa yang selalu digenangi, dalam kondisi pasang surut pun selalu digenangi air. Tipe rawa seperti ini biasanya membentuk moor antara dan mersifat mesotroph.

Telmatik; adalah lahan basah yang seperti secara terus menerus digenangi air tawar atau air garam. Bersifat eutroph-mesotroph yang biasanya menghasilkan tipe high moor dan verlandung moor. Tipe rawa ini seperti ini umumnya tersusun oleh variasi tumbuhan rerumputan, dedaunan, dan semak.

(23)

Fen; rawa yang kaya oleh keberagaman tumbuhan permukaan yang terdiri tumbuhan rerumputan. Dedaunan, herbal, semak, dan kelompok pohon, yang biasanya menutupi kurang dari 25% dari total permukaan rawa.

Swamps; adalah lahan basah/rawa berhutan di zona beriklim sejuk dengan vegetasi utama berupa pepohonan ditambah semak dari tumbuhan herbal, dan jenis lumut. Di daerah tropis dan subtropis berbagai macam tanaman yang dijumpai umumnya adalah tumbuhan bakau dan rawa dengan tumbuhan sejenis cemara yang menempati sebagian lahan yang terendam oleh kondisi air dangkal.

Tabel 2.9 Lingkungan pengendapan umum batubara. (Diessel, 1992).

Environment Sub-environment Coal Characteristics Gravelly braid plain Bars, channel, overbank plains,

swamps, raised bogs

Mainly dull coals, medium to low TPI, low GI, low sulphur Sandy braid plain Bars, channel, overbank plains,

swamp, raised bogs,

Mainly dull coals, medium to high TPI, low to medium GI, low sulphur

Alluvial valley and upper delta plain

Channels, point bars,

floodplains and basins, swamp, fens, raised bogs

Mainly bright coals, high TPI, medium to high GI, low sulphur

Lower delta plain Delta front, mouth bar, splays, channel, swamps, fans and marshes

Mainly bright coals, low to medium TPI, high to very high GI, high sulphur Back-barrier strand

plain

Off-, near-, and backshore, tidal inlets, lagoons, fens, swamp, and marshes

- Transgressive : mainly bright coals, medium TPI, high GI, high sulphur - Regressive : mainly dull

coals, low TPI and GI, low sulphur

Estuary Channels, tidal flats, fens and marshes

Mainly bright coal with high GI and medium TPI

(24)

Seperti yang diketahui, dalam penentuan lingkungan pengendapan dimana sebuah endapan terbentuk didasarkan pada tiga faktor utama, yakni ciri fisik, ciri kimia, serta ciri biologi dari suatu batuan. Dalam batubara, terdapat maseral sebagai komponen organik yang menjadi penciri biologi batubara tersebut. Sebuah model lingkungan yang didasarkan pada kombinasi rasio maseral tertentu, ditunjukkan oleh Diessel (1986). Berdasarkan Tissue Preservation Indeks (TPI) dan Gelification Index (GI), rasio perbandingannya dapat digunakan untuk menentukan lingkungan pembentukan gambut. (Diessel, 1986., dalam Suwarna 2006) rasio ini dirumuskan sebagai berikut:

Fasies dan lingkungan pengendapan batubara salah satunya dapat ditunjukkan dengan diagram pengawetan struktur jaringan (TPI) terhadap derajat gelifikasi (GI). Tissue Preservation Indeks (TPI) menunjukkan perbandingan struktur jaringan yang masih terjaga terhadap struktur jaringan yang sudah terdekomposisi. Gelification Index (GI) merupakan perbandingan komponen yang tergelifikasi/tereduksi terhadap komponen yang terfusinitkan/teroksidasi. Tissue Preservation Indeks (TPI) juga dapat menunjukkan tingkat humifikasi gambut dalam proses pembatubaraan, sementara itu Gelification Index (GI) berhubungan dengan kontinuitas kondisi gambut di bawah air, menunjukkan tingkat gelifikasi

Vitrinite + Telo-inertinit . Telo-inertinit + Detroinertinit GI = Telovitrinit + Telo-inertinit

Detrovitrinit + Gelovitrinit + detro-inertinit + Gelo-inertinit

TPI = …..….( Pers. 2.1)

(25)

(reduksi), juga merupakan kebalikan indeks oksidasi. (Lamberson et al., 1991., dalam Anggayana dan Widayat, 2007).

Nilai TPI (Tissue Preservation Indeks) yang melebihi 2,5 adalah nilai tertinggi yang dicapai dalam suatu pengukuran, yang didasarkan pada pengukuran maseral vitrinit, yang berarti bahwa TPI (Tissue Preservation Indeks) yang tinggi menunjukkan kondisi akomodasi kesimbangan gambut, atau tidak terjadi pemaparan sehingga lebih sedikit kesempatan tumbuhan yang terakumulasi terdegradasi pada permukaan gambut, yang juga dipengaruhi oleh tingkat keasaman air, sehingga rendahnya pH akan menyebabkan terawetkannya jaringan tumbuhan karena penurunan aktifitas bakteri. (Diessel et al., 2000).

Meskipun dalam kondisi basah aktifitas bakteri aerobik akan berkurang, namun hal ini tidak menjamin gambut dalam kondisi stabil, karena kontak gambut dengan air laut akan menaikkan pH. Peningkatan keasaman akan merangsang aktifitas bakteri anaerobik. Contohnya bakteri anaerobik Desulphovibrio desulfuricans dan Clostridium desulfuricans akan mengikat senyawa sulfat dalam air yang kemudian menghasilkan H2S yang akan bereaksi baik dengan material

organik. Jika dalam air juga tersedia senyawa besi, maka proses ini akan menyebabkan prepitasi pirit (Degens, 1965., dalam Diessel dan Gammidge, 1998). Peningkatan aktifitas bakteri juga mempercepat proses biodegradasi dan hilangnya biomassa yang dapat menyebabkan turunnya nilai TPI (Tissue Preservation Indeks) pada batubara yang juga akan menurunkan reflektansi maseral vitrinit yang langsung berpengaruh pada kualitas bahkan rank dari batubara. (Diessel dan Gammidge, 1998).

(26)

Tingginya nilai Gelification Index (>5) dan Tissue Preservation Indeks (>1) mengindikasikan kondisi basahan pada pembentukan gambut, sedangkan rendahnya nilai Gelification Index (<5) dan Tissue Preservation Indeks (<1) menunjukkan kondisi yang kering (Diessel, 1986 dan 1992 dalam Suwarna, 2006). Dengan demikian, GI (Gelification Index) memainkan peran penting dalam merepresentasikan pengaruh air tanah, sedangkan input jenis tanaman/variasi flora lahan basah, ditunjukkan oleh nilai TPI (Tissue Preservation Indeks) tinggi yang dapat diasumsikan sebagai batubara yang tersusun oleh bagian tumbuhan yang memiliki jaringan yang relatif tahan, umumnya dimiliki oleh tumbuhan tingkat tinggi (Diessel dan Gammidge, 1998). Kondisi ini memungkinkan kandungan vitrinit akan lebih besar dari inertinit karena batubara dengan TPI (Tissue Preservation Indeks) dan GI (Gelification Index) yang tinggi diasumsikan terbentuk di hutan rawa basah (wet forest swamp) pada zona telmatik dengan proses penimbunan yang berlangsung cepat. Batubara yang terendapkan di hutan rawa basah (wet forest swamp). Umumnya, batubara yang kaya akan vitrinit diperkirakan terbentuk dalam lingkungan basah. Lingkungan fluvial menyebabkan batubara kaya akan vitrinit dan juga kaya akan mineral matter, terutama lempung. Namun, jika nilai GI (Gelification Index) tinggi dan nilai TPI (Tissue Preservation Indeks) relatif sedang hingga rendah dikarenakan pengaruh aktifitas mikroba pada batubara yang lebih dahulu terbentuk dalam influclastic marsh. (Lamberson et al., 1991., dalam Suwarna, 2006).

Dalam kasus untuk lapisan batubara yang memiliki nilai GI (Gelification Index) dan nilai TPI (Tissue Preservation Indeks) rendah, diasumsikan bahwa

(27)

batubara diendapkan di rawa terbuka (open-marsh) di mana aktifitas pengeringan dan oksidasi dibatasi untuk pembentukan maseral vitrinit dalam kondisi di bawah permukaan air tanah, dan disintegrasi dari struktur maseral inertinit membentuk inertodetrinit yang insitu menyebabkan kandungan maseral ini tinggi, dan ditambah dengan peningkatan kandungan abu. (Suwarna, 2006).

Gambar

Tabel  2.8    Hubungan  antara  reflektansi  vitrinit  dengan  peringkat  batubara  (Diessel,  1992,  dan  Teichmuller,  1982.,  dalam  American  Association of Petroleum Geologist, 1998)
Tabel 2.9 Lingkungan pengendapan umum batubara. (Diessel, 1992).

Referensi

Dokumen terkait

Proses pengeringan daun kelor yang ideal terdapat pada beban 600 gram karena pada kondisi ini Qevap yang dihasilkan lebih besar yaitu 63.642 Watt, begitupula

Buatlah model partikel- partikel penyusun atom (proton, neutron, dan elektron) menggunakan plastisin atau kertas yang telah disediakan. Buatlah masing-masing partikel

1) Kejadian osteoporosis meningkat postmenopause. 2) Wanita yang mengalami ooforektomi bilateral memperlihatkan gejala osteoporosis lebih dini dan hebat. 3) Penderita yang

47 Desa Sukamantri Kecamatan Paseh 74 TBM Putra Indonesia Eva Noersyarifah Kampung Rajadesa RT 06/ 05 Desa Cipaku Kecamatan Paseh 75 TBM Nurhasanah Ina Winarni, S.Pdi Kampung Sadang

Kali ini, kami meminta kesediaan bapak/ibu/saudara untuk membantu penelitian ini dengan mengisi kuesioner ini merupakan hal yang sangat berharga bagi kami, oleh karena

Kus (41 tahun) dengan keluhan tinnitus tanpa vertigo dan pendengaran menurun sejak empat hari sebelumnya, didiagnosis SNHL telinga kiri dengan PTA 93,75 dB

Masalah yang akan diteliti adalah mencari pengaruh variabel proses untuk menghasilkan % yield minyak yang terbaik, meliputi pengaruh jenis pelarut, pengaruh waktu, dan

Hipotesis dalam penelitian ini adalah jenis industri berpengaruh terhadap audit delay pada perusahaan indeks LQ 45 yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun