• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penguatan Pemasaran Level Bawah Tangkal Kelangkaan Daging

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penguatan Pemasaran Level Bawah Tangkal Kelangkaan Daging"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Penguatan Pemasaran Level

Bawah Tangkal Kelangkaan

Daging

UNAIR NEWS – Problem kelangkaan daging sapi selalu menjadi momok. Bahkan, momentum kelangkaan yang diiringi dengan lonjakan harga bisa ditebak kapan waktunya. Sebagai contoh, pada Ramadan, lebaran, dan pasca lebaran seperti sekarang ini. Oleh karena ini tergolong persoalan rutin, pemerintah semestinya dapat melakukan pencegahan.

Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Prof Dr Anwar Ma’ruf M.Kes., drh.,menuturkan, ada banyak aspek yang menjadi pangkal persoalan kelangkaan dan kenaikan harga daging pada momentum tertentu. Di antaranya, kondisi sentra peternakan yang belum mapan.

Saat ini, sentra yang dimaksud sudah ada di Bima, Nusa Tenggara. Sudah menjadi tuntutan bagi pemerintah, untuk menguatkan sentra tersebut agar menghasilkan daging dengan kuantitas dan kualitas memadai. Selain di Bima, pembuatan dan penguatan sentra peternakan juga perlu dilakukan di daerah lain. Bisa di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan lain sebagainya. Jadi, penyebaran daging bisa merata baik dari segi mutu maupun jumlah.

Bagaimana agar memeroleh produksi daging yang mantap dari segala sisi? Bibitnya harus unggul. Di sini peranan para pakar ternak diperlukan. Mereka harus ikut berpartisipasi menciptakan atau merumuskan formula untuk menciptakan bibit unggul yang siap diternak dalam skala besar.

Bila sentra peternakan sudah disiapkan, bibit sudah ada, jangan lupakan aspek pakan ternak. Sebab, berdasarkan pengamatan, dalam proses produksi daging, pakan menempati porsi terbesar pembiayaan. Yakni, mencapai 60-70 persen.

(2)

Pemerintah harus dapat merumuskan tentang bagaimana mendapatkan pakan yang efektif dan efisien. Lagi-lagi, peran para pakar berada di posisi penting.

Yang menarik, selain aspek-aspek yang berkutat pada supporting system sentra peternakan besar, proses pemasaran di level bawah juga perlu diperhatikan. Kalau pemasaran di sentra peternakan besar, pasti dapat terkontrol. Karena, sentra semacam ini sudah memiliki jaringan pemasaran yang kuat.

Nah, yang dimaksud pemasaran di level bawah, adalah pengandalian harga dan pasar bagi peternak “lokal”. Mereka adalah peternak di desa-desa yang memiliki jumlah hewan dengan skala kecil. Dalam kisaran belasan ekor, bahkan kurang dari itu.

“Orang-orang itu harus dijamin kelangsungannya oleh pemerintah. Kalau tidak, mereka pasti beralih profesi. Kalau beralih profesi, produksi daging secara nasional pasti berkurang. Indonesia masih perlu peternak seperti itu guna meraih swasembada daging,” ujar Anwar.

Saat ini, harga di level bawah kerap terbanting. Disinyalir, ini pekerjaan para makelar hewan ternak. Kalau harga selalu anjlok di tangan peternak kecil seperti itu, mereka pasti malas kembali bekerja di ranah ini. Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah mesti melindungi mereka dengan regulasi. (*) Penulis: Rio F. Rachman

Lebaran di Atas Nampan

Khusus untuk pagi hari ini. Aku buka pintu rumah ini. Sebenarnya tak wajar karena belum pernah aku yang membuka

(3)

pintu sepagi ini. Bukan karena aku malas, namun karena ini titah baru. Kubuka sedikit lebih lebar agar angin mau bermain bersamaku lagi, kembali berdesus bersama hawa dan suara kicau dan kokok ayam. Telah cukup lama pintu ini menjadi kering dari suaranya yang nyaring menderu. Tawa kami dan ocehanku sering menggurui adik kecilku. Ibu bangun, juga terbiasa lalulalang lewat pintu belakang-samping rumah ini. Yang katanya lebih baik dan tak meramaikan yang lain.

Hari ini. Semoga pintu ini bisa berdering riang saat angin itu datang, membawa tanganku yang dingin, membawa peputih, bukan jingga. Lebaran. Pintu-pintu lain tampaknya telah terbuka, memanggil para tetangga untuk datang berlangganan jajanan. Meja penuh toples dan isinya menyuguhkan berbagai hal tentang kenangan; roti yang manis kulitnya; gelas cantik yang indah rautnya; teh cokelat yang melilit lidah; serta jingkrakan anak kecil meramaikan suasana. Semuanya terasa begitu nyata, bukan semu dari kemunduran seperti tentang demokrasi, seperti tentang dunia para elit.

Kursi kami tampak rapi, bersih, dan hasil jahitan khas masa lalu. Kembalikan ke titik nol. Titik pengembalian hati Emak, juga. Masih adakah kesan untuk ditinggali? Adakah naskah yang bisa diulangi untuk diputarkan? adakah tawa yang bisa disengaja untuk diciptakan? Inilah drama yang bermain tanpa sengaja ada lakon dan tragedi.

Ruangan ini masih kosong dan bolong. Sedang di seberang sana rantaian mulut mungil berbicara runtut mulai anak-anak mereka yang lulus sampai anak mereka yang siap untuk diikat dalam perjanjian akad, “Rat, tolong bersihkan foto-foto ini ya ..”, ujar Mak Imah. Aku hanya mantuk. Foto itu telah tua, seperti jimat milik khas keluarga kami. Ah bukan, jimat hanyalah istilah masa lalu. Di sana ada bajunya yang tampak lusuh namun tampak gagah dipakai di kala muda mencampurinya. Aku usap-usap; aku elus-elus hingga debu berucap jadi asap; dan asap lalu terbang sedikit terseok, kemudian mengembang bersama banyangan angan-angan.

(4)

“Nak, kira-kira apa dia datang ya?”, Ujar Mak Imah lagi. Adikku yang kecil menangis teriris, ruang tamu nampak landai bersama kekhawatiranku akan foto-foto di dinding itu akan jatuh kemudian pecah berserakan. Aku redam tangisnya, dia tetap menangis.

Tampak dengan jelas, di sudut binar mata Emak ada wajah Bang Hilman. Ada rindu yang tak biasa.

***

Nasi kuning sudah dibuat panas sejak subuh. Menjadi hangat dan dimakan bersama-sama. Ketika masih ada Abang, aku-Emak-Adikku si kecil memakannya di atas nampan bulat plastik buatan lokal. Itu dulu, sebelum Abang pernah duduk di kursi empuk. Karena jabatan, karena cita-citanya. “Ah, lebih tepatnya karena do’a-do’a kami!” Ujarku dalam hati. “Juga do’a-do’a Bapak, yang telah mendahului kami, tentunya.”

“Aku paha ayam bawah yah Bang!” Ucapku sedikit manja. “Hallah, aku juga mau Mas!” Rebut adikku yang kecil.

“Sudah, jangan ribut sendiri Nak!. Kasihkan Emak saja kalau begitu caranya!” Emak tersenyum, lalu kami tersenyum, kemudian tertawa.

Nasi masih tampak banyak; tidak terlalu lembek; aromanya begitu kuat, nikmat sepertinya ada campuran kayu manis di dalam nasi ini. Harum, mungkin juga karena daun pandan, entahlah. Gadis saat ini mulai banyak tak mengerti.

Pagi itu, tetangga sudah sepi. Berangkat ke pemakaman untuk memberikan bunga ke makam nenek moyang. Mengharap puasa sebulan penuh diterima Yang punya Maha dan yang telah tiada menjadi kekal di SurgaNya. Sehabis itu, barulah mereka pergi ke Masjid untuk menuntaskan ibadah sholat Ied. Itulah kebanyakkan yang tetangga lakukan. Sedang bagi keluarga kami, ialah pagi waktu lebaran lebih hitmat jika menghabiskan nasi

(5)

kuning hangat setampan, bersama sekeluarga terlebih dulu baru ke masjid untuk menyusul.

“Nahkan! Ayamnya hidup!” ujar Bang Hilman ketika melihat Adik kecilku menjatuhkan ayam goreng di atas nasi yang kami santap. Kami tertawa terbahak-bahak. Nampan pun ikut senang.

Abang kami itu, Abang satu-satunya. Abang kami yang disayang Emak. Abang kami yang menginspirasi hingga membawa banyak piala dan medali ke atas almari di ruang tamu kami. Dia ahli menulis dan ahli berpidato. Mungkin keahliannya yang terakhir itu yang membuat banyak orang sibuk membawanya ke sana-ke mari. Mungkin karena itu, keluarga kami tak lagi dipandang sebelah mata.

Kabar terakhir didengar kalau dia sedang berada di Medan, menangani masalah pertambangan. Lalu kami hanya bisa diam tidak bisa menghubunginya, mungkin benar. Zaman semakin canggih, zaman telah mengubah tabiat Abang, serta teknologi membuat alih fungsi telepon menjadi wahana bermain jaringan internet. Tanpa itu, tidak bisa.

Di luar terdengar takbir syahdu dengan alunan kotek’an bambu oleh tangan-tangan kecil. “Abangku, pulanglah besok!” aku, Emak, Adikmu Rindu. Bagaimana kabarmu sekarang?” Aku berharap satu malam penuh cemas sebelum benar kejadian Lebaran.

Bagi kami, tradisi ini yang membuat beda dengan yang lain. Membuat iri dan tampak sungkan mengganggu kemesraan kami. Hanyalah dulu, bukan seperti tangan dingin saat ini. Angin berdesir, angan mengambang di atas atap. Melambai dan mendayung masa itu. Terakhir memang didengar kabar Medan tempat hidup Abangku. Namun selebihnya, kami menahu suatu informasi yang kami dapatkan dari koran pagi itu. “Itu muka Abangmu Nak? Kenapa bisa muncul di situ?” tanya Mak Imah tak tahan. Aku tercengang tak terpacaya. Semua orang menghinanya, korupsi penyebabnya.

(6)

artinya dulu, sedang sekarang sebenarnya Abangku itu telah lepas. Lepas dari jeruji besi yang telah mengurungnya. Namun sayang, Abangku tak mengindahkan permintaan Ibu, Entah, padahal rindu.

Waktu terus berjalan, aspal jalanan sepertinya telah capek bercumbu dengan ban-ban yang mengantarkan pada salam-menyalam seluruh umat. Saling memaafkan dan saling bertukar uang. Berisik bisingan itu telah hilang dalam geguritan yang semakin malam. Dia belum datang. Ibu diam. Teh yang tadinya hangat, menjadi dingin. Sepertinya, angin sengaja bermain hanya seperti itu, aku juga gagal membawa tanganku yang dingin. Mendinginkan hati Mak; mendinginkan kenangan; serta membawakan Abangku pulang.

Di atas nampan ini, aku-Ibu-dan Adik kecilku yang mulai tumbuh besar berdo’a sambil menata nasi kuning ke piring masing-masing, “Tidaklah harus dia datang, kumpulan burung pun tak harus selalu pulang ke rumahnya yang sama, kita do’akan, semoga rumahnya menjadi alas tidurnya yang baik.” Ucapnya terakhir. (*)

Ramadhan Adalah “Universitas

Kehidupan” dan Bekal Hadapi

Perang Kolektif Sesungguhnya

UNAIR NEWS – Setelah diresmikan pada akhir Mei 2016 lalu, untuk pertama kali Masjid “Ulul ‘Azmi” di Kampus C Universitas Airlangga, menyelenggarakan Salat Iedul Fitri 1437-H pada hari Rabu pagi 6 Juli 2016. Salat tersebut digelar di halaman masjid Ulul ‘Azmi dengan khatib Prof. Dr. H. Mohammad Nasih, SE., MT., Ak., MCA., Rektor Universitas Airlangga Surabaya.

(7)

Dalam kutbah salat Ied yang diikuti oleh ratusan sivitas akademika UNAIR dan masyarakat sekitar kampus C Mulyorejo tersebut, khatib Prof. Moh Nasih mengatakan, bahwa bulan Ramadhan itu merupakan universitas kehidupan. Pada universitas itulah mengajarkan bagaimana cara mengendalikan hawa nafsu, dimana caranya bukan hanya dengan secara teoritikal klasikal, tetapi langsung dengan metode praktikal.

”Diharapkan pada hari ini kita semua sudah lulus dari ‘Madrasah Ramadhan’ dan kita lulus sebagai pemenang atas hawa nafsu, sehingga kita kembali kepada kesucian fitrah,” tandas Guru Besar Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UNAIR ini.

Bekal training di bulan Ramadhan inilah yang diharapkan bisa kita gunakan dalam perang yang sesungguhnya untuk melawan hawa nafsu di sepanjang tahun yang akan kita jalani. Perang disini bukan hanya secara individu, tetapi juga secara kolektif, berjamaah, bersama-sama sebagai masyarakat, dan sebagai kesatuan bangsa.

(8)

Airlangga. (Foto: Yitno)

Menurut Rektor UNAIR itu dalam khutbahnya, bahwa perang kolektif yang kita hadapi adalah perang pemikiran (ghozwul fikri) asymetri war. Yaitu perang melawan atheisme, perang melawan individualisme, perang melawan liberalisme, dan untuk menuju maqashidus syariah.

”Jadi bekal terbaik untuk berjuang tersebut juga untuk menghadapi kehidupan yang penuh dengan cobaan, fitnah, rintangan, dan halangan. Jadi, bekal tersebut adalah taqwa. Dari taqwa inilah yang diharapkan kita akan mendapatkannya dari ’Madrasah Ramadhan’ tersebut,” kata Rektor UNAIR Prof. Moh Nasih.

Seorang anggota takmir Masjid Ulul ‘Azmi, Agoes Widiastono menjelaskan rasa syukurnya atas terselenggaranya pelaksanaan salat Ied di halaman masjid dan halaman Rektorat Kampus C UNAIR ini. Rasa syukur itu mengingat banyaknya jamaah sivitas akademika UNAIR yang hadir untuk mengikuti salat bersama warga masyarakat sekitar kampus C. Selain itu karena semalam baru saja terjadi hujan, tetapi seakan jemaah tidak terpengaruh dengan situasi tersebut. Selain itu juga ini merupakan pengalaman pertama dan relatif sukses.

“Semoga kedepannya kami senantiasa menjadi lebih baik,” kata Agoes. (*)

Penulis : Bambang Bes

(9)

dari Iktikaf di Masjid Ulul

‘Azmi UNAIR

UNAIR NEWS – Dalam rangka meningkatkan amalan di bulan Ramadhan sekaligus mengantisipasi hadirnya malam Lailatul Qodar, Universitas Airlangga menyelenggarakan Iktikaf di Masjid Ulul ‘Azmi, Kampus C UNAIR, Kamis (30/6) hingga Jumat (1/6) Subuh. Jika iktikaf sebelum-sebelumnya diselenggarakan di Masjid Nuruzzaman, Kampus B UNAIR, maka untuk kali pertama pada Ramadhan 1437-H ini dilaksanakan di Masjid Ulul ‘Azmi. Dibuka oleh Wakil Rektor III UNAIR Prof. Dr. Mohammad Amin Alamsyah, Ir., M.Si., iktikaf ini diikuti sekitar 200 jamaah sivitas akademika UNAIR, baik unsur pimpinan, dosen/Guru Besar, mahasiswa, tenaga kependidikan, dan beberapa warga sekitar kampus C UNAIR.

Dalam iktikaf ini diisi dengan kajian-kajian tentang agama yang disampaikan oleh Ustadz Prof. Dr. Ir. Abdullah Shahab pada sesi pertama, kemudian dilanjutkan dengan kajian agama yang kedua oleh Ustadz Drs. Mohammad Taufik AB. Setelah melewati tengah malam dilanjutkan dengan berbagai salat malam. Antara lain salat tasbih, salat hajad, salat tahajud, dan salat witir. Usai salat-salat malam tersebut dilanjutkan makan sahur bersama, yang dilaksanakan di lantai I (lantai dasar) Masjid Ulul ‘Azmi. Kemudian kegiatan iktikaf malam itu diakhiri dengan salat Subuh berjamaah.

Dalam sambutannya, Wakil Rektor III Universitas Airlangga Prof. Moh Amin Alamsyah mengatakan bahwa kegiatan yang rutin diselenggarakan Universitas Airlangga setiap bulan Ramadhan seperti ini pantas untuk dilestarikan. Ada banyak manfaat yang diperoleh dari kegiatan seperti Iktikaf ini, yakni selain meningkatkan amalan-amalan kegiatan di bulan yang penuh berkah ini, juga menambah ilmu pengetahuan dan ketauhitan tentang Islam.

(10)

“Dengan demikian kita berharap dapat menambah pengetahuan dan ilmu tentang Islam, dan kemudian diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari,” demikian Prof. Moh Amin, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Kelautan UNAIR ini.

Dalam kajian ceramahnya, Prof. Abdullah Shawab, Guru Besar ITS ini menyampaikan dengan tema “Spiritual dan Menggali Potensi Diri di Bulan Puasa”. Dikatakan, puasa di bulan Ramadhan itu tujuan utamanya ada dua, yaitu agar kita (umat Islam) bertaqwa, dan yang kedua agar kita bisa bersyukur.

USTADZ Drs.M. Taufik AB ketika menyampaikan kajian agama dalam Iktikaf di UNAIR, Kamis (30/7). (Foto: UNAIR NEWS)

”Itu intinya, karena kalau kita sudah bertaqwa maka yang lain sudah selesai. Yang kedua agar kita bisa tersyukur karena Allah telah memberi kita keimanan, karena memberi kesehatan, kenikmatan, dan bersyukur karena diberikan kemampuan untuk bersyukur. Kelihatannya sepele untuk bisa bersyukur, tetapi nyatanya banyak orang yang tidak bisa bersyukur. Bayangkan, bersyukur saja tidak bisa,” kata Prof. Abdullah Shahab.

(11)

Sedangkan Ustadz M. Taufik AB antara lain menjelaskan tentang makna dan arti malam Lailatur Qodar, yang lazim disebut sebagai malam yang lebih indah dari pada seribu bulan. Termasuk pula disampaikan doa-doa yang sebaiknya dibaca ketika mengharapkan malam seribu bulan pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.

“Dalam berdoa itu maka seseorang musti bersikap iklas, sehingga doa akan menopang rasa iklas. Doa-doa yang disampaikan adalah doa memohon maaf dan memaafkan orang lain, sehingga hati kita akan bersih. Karena tidak mungkin Allah akan memberikan lailatul qodar kepada orang yang hatinya tidak bersih. Jadi doa ini penting, minta keimanan, minta maaf, dengan sepenuh iklas,” kata Ustadz Taufik. (*)

Penulis: Bambang Bes

Memaknai Kebersamaan dalam

Idul Fitri

UNAIR NEWS – Hari raya Idul Fitri merupakan salah satu momen penting bagi umat muslim di seluruh penjuru dunia. Sebagai tradisi yang sudah lama dilakukan oleh sebagian besar umat muslim di Indonesia, salah satu kegiatan untuk menyambut dan merayakan hari kemenangan yakni mudik ke kampung halaman. Mudik tidak sekedar untuk bersilaturahmi dengan sanak kerabat di kampung halaman, namun mudik juga bisa menjadi momen mengingat kembali hakekat menjadi seorang umat manusia, bahwa sejauh dia pergi, kampung halamanlah tempat kembali. Begitulah yang dirasakan oleh Muchtar Lutfi, S.S., M.Hum., dosen Sastra Indonesia UNAIR.

(12)

Idul Fitri. Baginya, momen yang paling indah saat perayaan Idul Fitri adalah ketika memiliki peluang dan kesempatan untuk bisa berkunjung ke rumah sanak saudara dan tetangga.

“Waktu itu, silaturahmi adalah sebuah keharusan dengan saling berkunjung dari rumah ke rumah, tidak sekedar bertemu di jalan, dan momen tersebut sekarang sangat berat, meski fasilitas sekarang sudah semakin lengkap,” kenangnya.

Lutfi dan keluarga yang juga turut mudik ke Pacitan dan Temanggung tersebut menilai, bahwa tradisi mudik saat hari raya merupakan khas asli nusantara. Baginya, kebersamaan yang ada bisa menjadi satu langkah untuk menyatukan dan meningkatkan kerukunan bangsa.

“Mudik saat Idul Fitri ini kan khas Indonesia, ini momen menyatukan semua elemen masyarakat, karena mayoritas negeri ini muslim, secara otomatis seakan menyatukan bangsa, terlebih bagi perantau pulang ke kampung halaman merupakan waktu yang tepat untuk mengenang tanah kelahiran,” tegasnya.

Meski demikian, ia juga menyayangkan beberapa masyarakat yang masih salah dalam memaknai silaturahmi. Pergeseran tradisi silaturahmi dari rumah ke rumah yang kini beralih ke tempat wisata dan hiburan. Baginya, hal tersebut telah menghilangkan nilai dari Idul Fitri itu sendiri.

“Pergeseran sekarang ini, silaturahmi lebih dibawa ke menghibur diri ke tempat wisata, jadi ruh silaturahmi dan Idul Fitri ini menjadi hilang,” imbuhnya.

Dosen minat Ilmu Filologi tersebut menambahkan, hari raya adalah momen yang sangat berharga, pasalnya hampir semua orang bisa bertemu dan saling bertegur sapa. Ditanya mengenai esensi Bulan Syawal, ia menegaskan bahwa Syawal menjadi momen tindak lanjut dari Ramadan.

“Nenek kita dulu sering langsung puasa Syawal di hari ke dua, karena Syawal ini sebagai bentuk pendinginan agar ruh Ramadan

(13)

bisa tetap hadir saat puasa Syawal,” pungkasnya. (*) Penulis: Nuri Hermawan

Editor : Dilan Salsabila

Regine Tak Menyangka Raih

Nilai Tertinggi SBMPTN Bidang

Soshum

UNAIR NEWS – Regine Wiranata atau karib disapa Regine tak menyangka dirinya menjadi peserta ujian Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) dengan nilai tertinggi nasional bidang Sosial Humaniora. Alumni SMA Cita Hati Surabaya ini berhasil lolos seleksi SBMPTN dengan score 842. Pada seleksi SBMPTN itu, ia mendaftar pada Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga.

Dihubungi UNAIRNews pada Minggu (3/7), Regine mengaku tak ada persiapan khusus ketika akan mengikuti SBMPTN. Ia hanya belajar secara mandiri dan tidak mengikuti program bimbingan belajar seperti kebanyakan siswa lain.

“Sebenarnya sebelum pelaksanaan SBMPTN itu waktunya aku ujian International Baccalaureate, program yang diadakan sekolahku. Alhasil, persiapan mepet banget, baru bisa belajar SBMPTN setelah ujian kurang dari dua minggu. Apalagi waktu mengerjakan soal sempat kaget karena format soal berbeda dengan tahun lalu,” ujar gadis kelahiran Surabaya, 30 Mei 1998 ini.

Diakui Regine, ia memang berkeinginan untuk masuk FH UNAIR sejak dirinya mengikuti ALSA Courtlike Debate Championship

(14)

(ACDC), ajang lomba debat yang diadakan FH UNAIR. Ketika itu Regine masih duduk di bangku kelas dua SMA. Ditambah lagi, orangtua Regine yang selalu mensupport cita-cita putrinya.

“Orang tua mendukung banget. Mereka nggak pernah menekan aku buat dapat prestasi. Tapi kalau aku mau ngejar sesuatu, mereka selalu dukung,” ujar Regine mengenai dukungan orangtua terhadap studinya.

Saat ini, Regine sedang mempersiapkan diri melakukan pendaftaran ulang dengan mengumpulkan berkas dan persyaratan yang dibutuhkan. Diakuinya, ia telah mantap dengan pilihan studinya di FH UNAIR. Untuk mempersiapkan diri menjalani kuliah di UNAIR, saat ini ia lebih rajin untuk membaca buku dan menambah wawasan.

“Lebih banyak baca sih, sekarang. Tentang berita nasional dan internasional. Juga buku-buku filsuf dan pemikir,” ujar gadis yang memilih How to Win Friends and Influence People karya Dale Carnegie sebagai buku favoritnya saat ini. (*)

Penulis : Binti Q. Masruroh. Editor: Bambang Bes

Smart Phone Membuat Balita

Sulit

Merekam

Ekspresi

Manusia

UNAIR NEWS – Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi jangan sampai menjadi bumerang. Kecanggihan piranti tidak boleh justru membawa keburukan pada manusia dan kehidupan sosialnya. Terlebih, bagi anak-anak. Hal itu disampaikan oleh

(15)

Dr Dewi Retno Suminar MSi, wakil dekan III Fakultas Piskologi. Orang tua berperan penting untuk memastikan anak-anak tidak kecanduan smart phone dan segala aplikasi di dalamnya.

“Sejak dini, anak-anak harus dikondisikan agar tidak tergantung pada smart phone. Bahkan, di usia 0 sampai masuk SD, jangan biarkan mereka menikmati kecanggihan layar ponsel,” ungkap dia.

Alasannya, pada usia itu balita sedang berlatih untuk merekam ekspresi manusia. Khususnya, orang-orang yang ada di sekitarnya. Bila di masa tersebut mereka lebih banyak melihat layar ponsel, kepekaan terhadap ekspresi wajah menjadi tergerus. Padahal, dalam interaksi sosial, kepedulian terhadap ekspresi orang lain merupakan keniscayaan. Sebab, ekspresi berhubugan dengan perasaan dan kondisi jiwa.

Bila kemampuan reflektif dari memahami perasaan orang lain buruk, komunikasi pun ikut menjadi jelek. Kalau komunikasi yang terjalin jelek, interaksi pun jadi kacau. Sehingga, hubungan dengan orang lain tidak bisa berjalan lancar.

“Nantinya, anak-anak sendiri yang kesulitan dalam kehidupan. Baik di sekolah, kampus, maupun tempat kerja,” kata Dewi.

Bahkan, di usia sekolah dasar, anak-anak mesti diberi pengertian. Bahwa, smart phone maupun ponsel merupakan sarana, bukan kebutuhan primer. Sarana apa? Sarana untuk belajar. Jadi, kalau mereka menggunakan ponsel, belajar mesti jadi lebih maksimal. Bukan terbalik: gara-gara pakai ponsel, lupa dengan belajar.

Selain itu, ponsel merupakan sarana berkomunikasi. Jadi, saat ingin berkomunikasi jarak jauh, gunakan ponsel. Bukan terbalik: gara-gara lagi main ponsel, lupa menjalin komunikasi dengan orang lain.

Penggunaan piranti teknologi informasi dan komunikasi anak-anak harus dalam pantauan orang tua. Ayah, Ibu, atau wali

(16)

anak, tidak boleh abai dan menyerahkan situasi ini semata pada p e r k e m b a n g a n z a m a n y a n g t a k d a p a t d i t a w a r . H a r u s digarisbawahi, anak selalu butuh bimbingan dan arahan dari orang yang lebih tua. (*)

Penulis: Rio F. Rachman

Inilah Keunikan Mahasiswa

Jurusan Sastra

UNAIR NEWS – Tiap jurusan di sebuah kampus memiliki kekhasan. Begitu pula, para mahasiswanya. Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Kukuh Yudha Karnanta menuturkan, jurusan sastra memiliki mahasiswa dengan karakterisktik unik.

“Ini mungkin dikarenakan atmosfer perkuliahan dan topik bahasan di jurusan sastra yang modelnya berbeda dengan jurusan lain,” ujar dia. Apa saja keunikannya? Berikut sekelumit informasi tentang itu.

Memiliki Banyak Alternatif Solusi

Mahasiswa di jurusan sastra diwajibkan membaca banyak referensi berupa buku sastra. Karya-karya tersebut kerap kali memunyai ragam tafsir, plot melompat-lompat, dan konteks yang tidak linier. Mahasiswa dirangsang untuk tidak hanya berpikir melalui satu jalan. Sebaliknya, mereka diarahkan untuk terus mempertebal imajinasi.

Oleh karena selalu dilatih untuk berwawasan luas, para mahasiswa pun cenderung memikirkan banyak alternatif solusi saat menghadapi persoalan di kehidupan sehari-hari. Berteman dengan mahasiswa jurusan sastra sangat menyenangkan. Karena,

(17)

dia pasti memiliki aneka perspektif yang menarik untuk disimak.

Yang terpenting, mereka bukan golongan yang saklek, suka menyalahkan, dan kolot. Sikap toleransinya tinggi. Mereka lebih gampang menerima perbedaan.

Empati

Karya sastra hanya bisa dipahami dengan melibatkan perasaan. Karena memang, sisi humanisme yang diolah sedemikian rupa. Baik cerpen, novel, puisi, drama, dan lain sebagainya, merupakan hasil kontemplasi mendalam. Ditulis dari hati dan pikiran yang jernih, guna menyentuh hati dan pikiran yang jernih pula.

Kondisi ini ikut mengasah rasa empati para mahasiswa sastra. Mereka gampang tersentuh dan responsif terhadap perasaan orang lain. Kontan, mereka gemar menolong orang-orang di sekitar. Sering Baper

Karakter ini adalah kebalikan dari keunikan sebelumnya. Oleh karena selalu bermain dan belajar dengan karya-karya yang melibatkan perasaan, mahasiswa sastra kerap terjebak Baper (terbawa perasaan, Red). Muaranya, mereka menjadi alay alias lebay terhadap suatu kondisi. “Selalu ada tarik-menarik antara rasa empati dan baper. Seharusnya, rasa empati yang mendominasi. Karena muatannya pasti positif,”ujar Kukuh.

Baper bisa menjadi tidak baik bila kemudian mengarahkan pribadi untuk gampang melamun dan terlalu sensitif. Sebab, bila diteruskan, sifat ini bakal menjerumuskan diri pada karakter gampang tersinggung dan banyak berprasangka. (*)

(18)

Kerjasama BEM UNAIR dan

Dishub Jatim Fasilitasi Mudik

Gratis

UNAIR NEWS – Sebagai bentuk perhatian dengan kebutuhan para pemudik menjelang lebaran, Kementerian Pengabdian Masyarakat, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Univeresitas Airlangga memberi fasilitas mudik gratis. Kegiatan ini merupakan kerjasama BEM UNAIR dengan Dinas Perhubungan (Dishub) dan Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan (DLLAJ), Provinsi Jawa Timur.

Upacara pelepasan pemudik dilakukan di hall Kantor Manajemen UNAIR, Sabtu (2/7), dan dihadiri tak kurang 344 pemudik. Hadir pula dalam pelepasan ini Kurniawan Hary, ST, MM, Kepala Bidang Pengembangan Transportasi Dinas Perhubungan DLLAJ Provinsi Jawa Timur, dan Pulung Siswantara perwakilan dari Direktorat Kemahasiswaan UNAIR.

“Hari Raya Iedul Fitri yang dirayakan setiap satu tahun sekali merupakan momentum masyarakat untuk pulang ke kampung halaman. Karena kami memikirkan bahwa mayoritas mahasiswa juga berasal dari luar Kota Surabaya. Maka dari itu, kami dan rektorat berusaha untuk memfasilitasi hal ini,” ujar Fardhan Setyo alamsyah, Menteri Pengabdian Masyarakat BEM UNAIR

Fasilitas mudik gratis ini bukan hanya untuk mahasiswa namun juga terbuka untuk umum. BEM UNAIR menyediakan 344 kursi untuk semua jalur Sejumlah delapan bus diberangkatkan dengan trayek kota/kabupaten di Jawa Timur. Hingga keberangkatan mudik, sejumlah 220 kursi diisi oleh mahasiswa UNAIR, dan 124 kursi diisi masyarakat umum.

(19)

dengan armada dobel, yaitu rute (Surabaya – Kertosono – Kediri – Tulungagung – Trenggalek) dan (Surabaya – Jombang – Nganjuk – Madiun – Ponorogo),” tambah Fardhan.

Kepala Bidang Pengembangan dan Transportasi Dishub LLAJ Kurniawan Harry mengatakan, kerjasama pemberian fasilitas mudik gratis ini telah lama dijalin antara UNAIR dengan Dishub Jawa Timur. Dikatakan, tahun ini untuk memenuhi kebutuhan para pemudik pulang ke kampung halaman Dishub Jawa Timur menyediakan armada transportasi gratis menyambut dan dan pasca lebaran.

“Ada 510 bus yang melayani mudik gratis di Jawa Timur, baik mudik maupun balik,” ujar Harry. Fasilitas armada tersebut bukan hanya bus, melainkan armada transportasi kereta api.

Tahun 2016 ini merupakan tahun keempat pemberian fasilitas mudik gratis yang diberikan untuk mahasiswa maupun masyarakat. Sebelumnya, mudik gratis ditangani oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Kerohanian Islam (UKMKI) UNAIR. (*)

Penulis : Binti Q. Masruroh Editor: Bambang Bes

Dari Slilit Sampai Analogi

Pengelolaan Hasil Bumi

Emha Ainun Nadjib adalah budayawan multi talenta. Pria kelahiran Jombang yang akrab disapa Cak Nun ini lihai membuat cerpen, puisi, esai, naskah teater, dan kerap menggubah lirik lagu. Bersama grup musik Kiai Kanjeng, Cak Nun melanglang buana di penjuru dunia. Menyuguhkan musik memikat yang diracik dengan sholawat. Tak hanya itu, diskusi Maiyah yang turut

(20)

digagasnya sejak lebih dari sedekade silam terus mengalami perkembangan.

Maiyah adalah sebuah aktifitas sarasehan yang digelar di sejumlah kota. Kegiatan ini memungkinkan semua hadirin melontarkan pendapat tentang persoalan bangsa. Baik di level mikro maupun makro. Untuk kemudian, dipikirkan bersama solusinya. Atau paling tidak, dirumuskan bagaimana seharusnya masyarakat menyikapi keadaan negeri yang dengan kondusifitas fluktuatif.

Di Surabaya, Maiyah dikenal dengan sebutan Bang-Bang Wetan. Di Jombang disebut Padhang Mbulan, di Jakarta dikenal dengan Kenduri Cinta, di Yogyakarta bernama Mocopat Syafaat, di Malang ada Obor Ilahi, dan ragam sebutan di kota-kota lain berdasar kearifan lokal masing-masing.

Adapun Slilit Sang Kiai adalah salah satu bukti kepiawaian Cak Nun berbahasa tulis. Pada kata pengantar, dituturkan bahwa Slilit Sang Kiai merupakan kumpulan kolom. Ini bukan karya yang dimaksudkan menjadi sebuah buku yang utuh. Tak heran, tema yang dibahas beraneka rupa dan terkesan melompat-lompat. Secara umum, topik buku yang pertama kali terbit pada 1991 ini berkutat soal problem yang membelit Indonesia dan alternatif cara mengatasinya. Terdapat banyak retorika dan pengandaian. Tak ayal, dalam beberapa artikel, pembaca mesti melakukan kontemplasi untuk memahaminya.

Artikel pembuka berjudul sama dengan buku ini: Slilit Sang Kiai. Berkisah tentang kerisauan seorang Kiai. Pemuka agama itu secara tidak sengaja mencomot potongan kecil kayu di pagar orang.

Kayu kecil seukuran tusuk gigi itu digunakannya untuk membersihkan slilit yang ada di sela-sela gigi seusai memimpin dan makan di acara kenduri salah satu warga.

(21)

mencuri itu. Apakah Allah akan mengampuniku? (hal. 18).

Kutipan tersebut dihaturkan pemuka agama yang baru meninggal dalam mimpi para santri. Cerita itu memberi pelajaran dan bahan renungan bagi murid-murid. Mereka membayangkan, betapa tambah sedihnya sang Kiai bila kayu yang dicuri sebesar batang gelondongan di hutan Kalimantan.

Apa yang disampaikan dalam artikel tersebut menyentuh aspek spiritual yang sifatnya ketuhanan. Poin serupa tampak pada banyak tulisan lain. Misalnya, dalam Berniaga dengan dan dalam Allah (hal. 21), Allah Maha Menepati Janji (hal. 148), Bumi Tuhan (hal. 303), dan lain sebagainya.

Tak hanya soal spiritual ketuhanan yang bisa dibilang berada pada ranah hablumminallah (hubungan manusia dengan Allah atau Tuhan). Pandangan Cak Nun di ranah hablumminannas (hubungan manusia dengan manusia) juga terlihat dalam sejumlah artikel. Misalnya, yang tertuang di Watak Dialog (hal. 47).

Di artikel tersebut, Cak Nun mengutip garis besar pemikiran buku berjudul Dialog Sunnah Syiah. Lelaki yang lahir pada 27 Mei 1953 tersebut menyampaikan, terdapat makna yang dapat dipetik dari dialog antara ulama Syiah As-Sayyid Syarafuddin Al-Musawi Al-‘Amili dan ulama jumhur Syaikh Bisri Al Maliki. Betapa perbincangan mereka tidak didasari dengan upaya gesekan dan usaha menjatuhkan lawan berbicara.

Sebaliknya, yang ada adalah semangat mencari kebenaran, kesiapan untuk menyaksikan kekeliruan diri, rileksitas untuk menerima perbedaan, serta keikhlasan menginsyafi kekurangan pribadi. Faktor-faktor positif semacam itu seperti menguap dalam fenomena masa kini. Di mana perdebatan hanya menjadi konstelasi saling hujat dan menghina satu sama lain. Perbedaan bukan diposisikan sebagai anugerah, melainkan didaulat sebagai jurang pemisah.

Sementara itu, salah satu dari 69 kolom di buku ini mencerminkan kondisi pengelolaan hasil bumi di Indonesia.

(22)

Kebetulan, saat ini sedang gonjang-ganjing isu freeport, salah satu perusahaan Amerika Serikat yang aktif mengeruk hasil bumi di Papua.

Dalam artikel berjudul Tamu Entah Siapa (hal. 97), Cak Nun membuat fragmen singkat. Dikemukakan, ada seorang tamu yang digdaya, meminta izin pada tuan rumah, untuk menggali tanah di bawah rumahnya.

Di bawah tanah rumahmu ini terdapat barang yang amat berharga. Tetapi, karena kau tak mampu dan tak punya biaya untuk menggalinya sendiri, sebaiknya akulah yang mengerjakannya (hal. 97).

Dijelaskan, si tuan rumah, sempat diingatkan oleh salah satu anggota keluarganya tentang risiko jangka panjang. Namun, dia mengabaikan saran tersebut. Hingga pada suatu waktu, seseorang menyindirnya:

Engkau tertidur dalam bangunanmu, engkau membangun dunia yang akan menjadi semu dalam kurun waktu (hal. 99).

Apa yang disampaikan dalam artikel itu mengesankan, dalam melakukan pengelolaan hasil bumi di Indonesia, terdapat banyak aspek yang mesti diperhatikan. Termasuk, soal masa depan bangsa dan kondisi multi sektor lain di masa datang yang harus dipertimbangkan.

Buku

Judul: Slilit Sang Kiai Penulis: Emha Ainun Nadjib Penerbit: Mizan Pustaka Tahun: Edisi baru, 2015 Tebal: 312 halaman

Referensi

Dokumen terkait

Tanah vertisol dan mineral zeolit yang memiliki kelengasan sesuai dengan ekologi nematoda entomopatogen Steinernema carpocapsae sehingga dapat hidup pada jangka

Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu Pengorganisasian Dan Pelayanan Rumah Sakit Baptis Batu, maka diperlukan penyelenggaraan Pengorganisasian Dan Pelayanan Bagian Akuntansi yang

BODY IMAGE PADA REMAJA PUTRI PENGGEMAR GIRL BAND K-POP.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Latasir adalah lapis penutup permukaan jalan yang terdiri atas agregat halus atau pasir atau campuran keduanya dan aspal keras yang dicampur, dihamparkan dan dipadatkan dalam

Menentukan kondisi operasi yang optimal (daya microwave , lama waktu ekstraksi, dan rasio antara bahan baku yang akan diekstrak dengan pelarut yang digunakan) dari

25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Pasaman Barat periode 2010-2015

mendayagunakan zakat secara produktif sebagai pemberian modal usaha yang tujuannya adalah supaya zakat tersebut dapat berkembang. Zakat didayagunakan dalam rangka

Walaupun anda berhati-hati dalam menguruskan aliran tunai bulanan anda bagi bayaran pinjaman dan hutang kad kredit, namun kejadian atau keadaan yang tidak diduga mungkin berlaku