• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis hukum Islam terhadap praktek pemberian bunga tabungan PKK pada akhir tahun di Desa Kedungbang Kec. Tayu Kab. Pati

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis hukum Islam terhadap praktek pemberian bunga tabungan PKK pada akhir tahun di Desa Kedungbang Kec. Tayu Kab. Pati"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBERIAN BUNGA TABUNGAN PKK PADA AKHIR TAHUN DI DESA KEDUNGBANG KEC. TAYU KAsB. PATI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)

Dalam Ilmu Syariah Jurusan Muamalah

Disusun Oleh: Nur Laili Indar Ernawati

NIM: 112311007

JURUSAN MUAMALAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG 2016

(2)
(3)
(4)

iv

ِب َكِلَذ ِّسَمْلا َنِم ُناَطْيَّشلا ُهُطَّبَخَتَ ي يِذَّلا ُموُقَ ي اَمَك َّلاِإ َنوُموُقَ ي َلا اَبِّرلا َنوُلُكْأَي َنيِذَّلا ُعْيَ بْلا اََّنَِّإ ْاوُلاَق ْمُهَّ نَأ اَبِّرلا َمَّرَحَو َعْيَ بْلا ُهّللا َّلَحَأَو اَبِّرلا ُلْثِم ( ةرقبلا : 572 )

Artinya: Orang-orang yang memakan (memungut) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan syaitan lantaran gangguan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata: sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba... (QS. al-Baqarah: 275).

Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, DEPAG, 1979, hlm. 74.

(5)

v

Dalam perjuangan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat dan air mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini teruntuk orang-orang yang selalu hadir dan berharap keindahan-Nya. Kupersembahkan bagi mereka yang tetap setia berada di ruang dan waktu kehidupan ku khususnya buat:

o Orang tuaku tercinta (Bapak Wisnu) dan Ibu Siti Maemunah) yang selalu memberi semangat dan motivasi dalam menjalani hidup ini.

o Kakak dan Adik-Adikku Tercinta yang kusayangi yang selalu memberi motivasi dalam menyelesaikan studi.

o Calon suami ( Mei Triyanto) yang selalu memotivasi dalam kuliah membuat skripsi.

o Teman-Temanku jurusan MU, angkatan 2011 Fak Syariah yang selalu bersama-sama dalam meraih cita dan asa.

(6)
(7)

vii

Persoalan tentang riba yang dilarang bukan saja dibicarakan dalam agama Islam tetapi juga dalam agama-agama samawi lainnya. Bahkan sejak zaman kejayaan Athene, Solon telah membuat undang-undang yang melarang bunga. Ahli-ahli filsafat seperti Plato dan Aristoteles pun tidak membenarkan riba. Mereka menganggap bunga uang bukan keuntungan yang wajar karena pemilik uang tersebut tidak turut serta menanggung resiko. Merujuk pada keterangan di atas, masalah yang muncul yaitu bagaimana dengan pemberian bunga tabungan PKK pada akhir tahun. Sebagai rumusan masalah yaitu bagaimana pelaksanaan pemberian bunga tabungan PKK pada akhir tahun di Desa Kedungbang Kec. Tayu Kab. Pati ditinjau dari hukum Islam? Bagaimana persepsi masyarakat terhadap pemberian bunga tabungan PKK pada akhir tahun di Desa Kedungbang Kec. Tayu Kab. Pati?

Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) atau yang dilakukan dengan data kepustakaan (library research). Data primer penelitian ini bersumber dari hasil wawancara dengan warga, tokoh masyarakat dan ulama Desa Kedungbang Kec. Tayu Kab. Pati. Sedangkan data sekunder yang didapatkan dari buku-buku dan dokumen dari Desa Kedungbang. Setelah data terkumpul dianalisis dengan menggunakan diskriptif normatif.

Hasil pembahasan menunjukkan bahwa menurut hukum Islam pemberian bunga tabungan PKK pada akhir tahun di Desa Kedungbang Kec. Tayu Kab. Pati bertentyangan dengan hukum Islam. Alasannya karena (1) bunga PKK merupakan tambahan atas pokok modal yang dipinjamkan, pada hal Allah berfirman, Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; (2) tambahan bunga PKK itu bersifat mengikat dan diperjanjikan, sedangkan yang bersifat suka rela dan tidak diperjanjikan tidak termasuk riba..

(8)

viii

Segala puji bagi Allah yang maha pengasih dan penyayang, bahwa atas taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi yang berjudul: “ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PEMBERIAN BUNGA TABUNGAN PKK PADA AKHIR TAHUN DI DESA KEDUNGBANG KEC. TAYU KAB. PATI” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1.

Bapak Dr. H. Akhmad Arif Junaidi, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah UIN Walisongo Semarang.

2.

Bapak Moh. Arifin, S.Ag. M.Hum selaku Dosen Pembimbing I dan dan Bapak Afif Noor, SH, MH selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

(9)

ix

izin dan layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.

4.

Para Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Syari’ah UIN Walisongo, beserta staf yang telah membekali berbagai pengetahuan

5.

Orang tuaku yang senantiasa berdoa serta memberikan restunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, dan semoga apa yang tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para pembaca pada umumnya. Amin.

(10)

x

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...ii

HALAMAN PENGESAHAN ...iii

HALAMAN MOTTO...iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ...v

HALAMAN DEKLARASI ...vi

ABSTRAK ...vii

KATA PENGANTAR ...viii

DAFTAR ISI ...x

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Telaah Pustaka ... 6

E. Metode Penelitian ...12

F. Sistematika Penulisan ...15

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG RIBA A. Pengertian Riba ... 17

B. Jenis-jenis Riba ... 27

C. Illat Pengharaman Riba ... 38

(11)

xi

PKK PADA AKHIR TAHUN DI DESA

KEDUNGBANG KEC. TAYU KAB. PATI

A. Sekilas tentang Desa Kedungbang ... 56 1. Kondisi Geografis ... 56 2. Kehidupan Keagamaan dan Sosial Budaya

Kelurahan Kedung Bang Kecamatan Tayu Kabupaten Pati ... 62 B. Deskripsi Peminjaman dan Pemberian Bunga

Tabungan PKK pada Akhir Tahun di Desa Kedungbang Kec. Tayu Kab. Pati ... 66 C. Persepsi Masyarakat Desa Kedungbang Kec. Tayu

Kab. Pati terhadap Pemberian Bunga Tabungan PKK pada Akhir Tahun ... 69

BAB IV : ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP

PEMBERIAN BUNGA TABUNGAN PKK PADA AKHIR TAHUN DI DESA KEDUNGBANG KEC. TAYU KAB. PATI

A.

Analisis terhadap Pelaksanaan Pemberian Bunga Tabungan PKK pada Akhir Tahun di Desa Kedungbang Kec. Tayu Kab. Pati Ditinjau dari Hukum Islam ... 78

(12)

xii

B.

Analisis terhadap Persepsi Masyarakat terhadap Pemberian Bunga Tabungan PKK pada Akhir Tahun di Desa Kedungbang Kec. Tayu Kab. Pati ... 102 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 110 B. Saran-saran ... 111 C. Penutup ... 111 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

(13)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Persoalan tentang riba yang dilarang bukan saja dibicarakan dalam agama Islam tetapi juga dalam agaama-agama samawi lainnya. Bahkan sejak zaman kejayaan Athene, Solon telah membuat undang-undang yang melarang bunga. Ahli-ahli filsafat seperti Plato dan Aristoteles pun tidak membenarkan riba. Mereka menganggap bunga uang bukan keuntungan yang wajar karena pemilik uang tersebut tidak turut serta menanggung resiko.1

Dikaitkan dengan judul penelitian ini, bahwa di Desa Kedungbang kehidupan warganya dibangun dengan ikatan perkumpulan atau pertemuan rutin setiap bulan, di antara pertemuan yang menarik perhatian adalah pertemuan ibu-ibu PKK, dengan kata lain, di Desa Kedungbang ada satu kasus yang menarik untuk diteliti yaitu: pada setiap bulan seluruh ibu-ibu dari setiap Rukun Tetangga (RT) mengadakan pertemuan yang kemudian disebut pertemuan PKK.

Dalam setiap pertemuan itu para ibu dipersilahkan untuk menabung, setelah uang terkumpul, pada saat itu juga ditawarkan

1M. Rusli Karim (Editor), Berbagai Aspek Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1992, hlm. 120

(14)

kepada para ibu-yang mau meminjam. Setiap ibu yang menabung mendapatkan bunga sebesar 11% pada setiap akhir tahun. Sebaliknya yang berhutang sebelum akhir tahun harus melunasi hutangnya dengan perhitungan hutang pokok ditambah bunga 11%. Kegiatan ini sudah berlangsung lama dan tidak ada yang tidak setuju. Tokoh masyarakat seperti kyai, ustadh dan pemuka agama di Desa Kedungbang tidak ada yang protes.

Bunga, secara umum menurut Kaslan A. Tohoir yaitu pendapatan yang menjadi keuntungan yang mempunyai modal.2 Islam beserta semua syari'at samawi melarang riba karena menimbulkan bahaya sosial dan ekonomi. Dari segi ekonomi, riba merupakan cara usaha yang tidak sehat. Keuntungan yang diperoleh bukan berasal dari pekerjaan yang produktif yang dapat menambah kekayaan bangsa. Namun, keuntungan itu hanya untuk dirinya sendiri tanpa imbalan ekonomis apapun. Keuntungan ini hanya diperoleh dari sejumlah harta yang diambil dari harta si peminjam, yang sebenarnya tidak menambah harta orang yang melakukan riba. Dari segi sosial, masyarakat tidak dapat mengambil keuntungan sedikit pun dari praktek-praktek riba. Bahkan praktek-praktek riba ini membawa bencana sosial yang besar sebab menambah beban bagi orang yang tidak berkecukupan, dan menyebabkan perusakan nilai-nilai luhur yang

2Kaslan A. Tohir, Ekonomi Selayang Pandang, Jilid II, Bandung: NV. Penerbitan Van Hoeve, 1955, hlm. 299.

(15)

dibawa oleh Islam yang menganjurkan persaudaraan, tolong menolong dan bergotong royong di antara sesama manusia.3

Di Indonesia salah seorang yang berpendapat bahwa bunga hukumnya haram karena identik dengan riba adalah Ahmad M. Saefuddin. la berpendapat bahwa bunga identik dengan riba, karena itu perbuatan membungakan uang adalah haram hukumnya, baik sedikit maupun banyak tingkat bunganya. Menurutnya: bunga pinjaman uang, modal dan barang dengan segala bentuk dan macamnya, baik untuk tujuan produktif atau konsumtif, dengan tingkat bunga yang tinggi atau rendah, dan dalam jangka waktu yang panjang maupun pendek adalah termasuk riba.4

Berbeda dengan pendapat di atas, adalah Syafruddin Prawiranegara.5 la berpendapat bahwa riba atau yang ia sebut

3Ahmad Muhammad al-Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, al-Nizam al-Iqtisadi Fi al Islam Mabadi Uhu Wahdafuhu, Terj Abu Ahmadi dan Anshori Sitanggal, "Sistem Ekonomi Islam, Prinsip-Prinsip dan Tujuan-Tujuannya", Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1980, hlm. 87 – 88.

4Ahmad M. Saefuddin, Ekonomi Masyarakat dalam Perspektif Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1987, hlm. 63.

5la adalah mantan Menteri Keuangan pada masa Kabinet Sjahrir III, seorang tokoh ekonomi dan keuangan utama dalam Partai Masyumi, sering disebut sebagai tokoh ekonom yang menganut aliran Neo-Klasik yang mempunyai kemampuan berbahasa Belanda dengan baik. Tidak heran kalau dalam berbagai istilah ekonomi dan pemikirannya yang lain sering menggunakan istilah-istilah dalam Belanda.

(16)

dengan woeker6 berbeda dengan bunga. Bunga seperti bunga bank adalah rente, yaitu tingkat bunga yang wajar, yang hanya boleh dipungut berdasarkan undang-undang, tidak dipungut secara liar tanpa adanya aturan yang mengatur keberadaannya. Sedangkan riba menurutnya adalah tiap-tiap laba yang abnormal yang diperoleh dalam jual beli bebas, tetapi di mana satu pihak terpaksa menerima kontrak jual beli itu karena kedudukannya lemah.7

Bunga seperti bunga bank yang dilakukan dengan tidak berdasarkan pada prinsip eksploitasi (pemerasan) bukan merupakan riba. Menurutnya, baik laba maupun bunga, apakah tetap atau naik turun, jika didasarkan pada persetujuan yang bersih dan ikhlas adalah sah dalam pandangan Allah SWT. Sebaliknya laba yang berlebihan, termasuk bunga yang berasal dari perdagangan barang atau uang yang tidak jujur, adalah riba. Sebab perbuatan itu merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Allah Swt., manusia harus berbuat baik dan tidak menipu serta menekan hambanya.8

6

Istilah dari bahasa Belanda yang berarti bunga yang terlalu tinggi. Lihat S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1992, hlm. 810.

7Syafruddin Prawiranegara, Ekonomi dan Keuangan: Makna

Ekonomi Islam (Kumpulan Karangan Terpilih Jilid II), Jakarta: CV. Masaagung, 1988, hlm. 290.

(17)

Hanya saja ia menegaskan bahwa bunga yang dimaksudkan itu, tingginya dalam batas-batas yang masih normal, yaitu sesuai dengan yang lazim berlaku di pasar bebas, tidak melampaui batas.9 Walaupun Syafruddin sendiri mengakui bahwa tidak mudah mengukur batas yang jelas antara yang wajar dan yang melampaui batas.

Berdasarkan pendapat di atas, masalah yang muncul yaitu apakah pemberian bunga tabungan PKK tergolong riba atau halal, bagaimana persepsi masyarakat Desa Kedungbang yang menghalalkan pemberian bunga tabungan PKK. Masalah ini muncul karena masyarakat Desa Kedungbang telah menganggap bunga tabungan PKK itu halal.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana pelaksanaan pemberian bunga tabungan PKK pada

akhir tahun di Desa Kedungbang Kec. Tayu Kab. Pati ditinjau dari hukum Islam?

2. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap pemberian bunga tabungan PKK pada akhir tahun di Desa Kedungbang Kec. Tayu Kab. Pati?

(18)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui teori dan praktek pemberian bunga tabungan PKK pada akhir tahun di Desa Kedungbang Kec. Tayu Kab. Pati

2. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap pemberian bunga tabungan PKK pada akhir tahun di Desa Kedungbang Kec. Tayu Kab. Pati.

D. Telaah Pustaka

Sepanjang pengetahuan peneliti, belum ada penelitian yang temanya persis sama dengan penelitian ini, namun ada beberapa penelitian yang membahas persoalan bunga dan riba dalam konteks studi tokoh dengan penelitian kepustakaan (library research). Sedangkan penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) di Desa Kedungbang Kec. Tayu Kab. Pati. Beberapa penelitian yang dapat mendukung penelitian ini di antaranya sebagai berikut:

Skripsi yang berjudul Riba dalam Perspektif Muh. Syafi’i Antonio (Studi Atas Pemikirannya dalam Buku Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek), disusun oleh Amien Paryono (NIM. 2198063). Kesimpulan penulis skripsi tersebut dalam temuannya mengungkapkan, di antara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Hal

(19)

tersebut disebabkan karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang. Dampak lainnya adalah bahwa utang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan- tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas utang tersebut dibungakan. Contoh paling nyata adalah utang negara-negara berkembang kepada negara-negara maju. Meskipun disebut pinjaman lunak, artinya dengan suku bunga rendah, pada akhirnya negara-negara pengutang harus berutang lagi untuk membayar bunga dan pokoknya. Akibatnya, terjadilah utang yang terus-menerus. Ini yang menjelaskan proses terjadinya kemiskinan struktural yang menimpa lebih dari separoh masyarakat dunia.

Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain agar berusaha dan mengembalikan, misalnya, dua puluh lima persen lebih tinggi dari jumlah yang dipinjamkannya. Persoalannya, siapa yang bisa menjamin bahwa usaha yang dijalankan oleh orang itu nantinya mendapatkan keuntungan lebih dari dua puluh lima persen? Semua orang, apalagi yang beragama, tahu bahwa siapa pun tidak bisa memastikan apa yang terjadi besok atau lusa. Siapa pun tahu bahwa berusaha memiliki dua kemungkinan: berhasil atau gagal.

(20)

Dengan menetapkan riba, orang sudah memastikan bahwa usaha yang dikelola pasti untung.

Skripsi yang berjudul Studi Analisis Pemikiran Umer Chapra Tentang Riba, disusun oleh Siti Saifiyatun Nasikhah (NIM. 2100166). Pada intinya, penyusun skripsi ini menyimpulkan bahwa konsep riba Umer Chapra ini lebih ditekankan pada apa yang sesungguhnya dituntut dibalik pelarangan riba, yaitu untuk menegakkan sebuah sistem ekonomi di mana semua bentuk eksploitasi dan ketidakadilan dihapuskan. Dengan kata lain, eksploitasi dan ketidakadilan merupakan esensi utama riba.

Skripsi yang berjudul Analisis Pendapat Afzalur Rahman tentang Riba dan Bank, disusun oleh ‘Arifah (NIM. 2101036). Dalam kesimpulannya, penyusun skripsi ini mengungkapkan, jika orang sudah tidak mengharapkan tafsiran ayat-ayat suci Al Qur'an secara benar (yang menyangkut riba) sudah selayaknya bagi umat Islam tidak perlu lagi untuk memperbincangkan lebih rinci lagi tentang apa itu kelebihan bank tanpa bunga, dan kekurangan bank dengan sistem bunga, yang di dalam Al Qur'an jelas-jelas dilarang. Tetapi sayangnya, seringkali orang-orang membiarkan prasangka mereka memainkan peran yang penting di dalam menginterpretasikan ayat-ayat tersebut. Sikap semacam ini telah muncul, khususnya semenjak munculnya revolusi industri di mana

(21)

pada saat itu modal memainkan peran yang amat penting di bidang industri dan komersial.

Dalam hubungannya dengan telaah pustaka di atas, ada beberapa buku yang mengungkapkan masalah riba, di antaranya: Muhammad Syafi'i Antonio dalam bukunya Bank Syari'ah Dari Teori Ke Praktek mengungkapkan bahwa ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.10 Sejalan dengan itu, Ahmad Rofiq, dalam bukunya Fiqh Aktual: Sebuah Ikhtiar Menjawab Berbagai Persoalan Umat menegaskan, "riba" merupakan kebiasaan dalam tradisi berekonomi masyarakat jahiliyah. Karena itu pelarangannya pun dilakukan secara bertahap, karena menjadi kebiasaan yang mendarah daging".11

Sebab itu, menurut M. Dawam Raharjo dalam bukunya Ensiklopedi Al-Qur'an bahwa istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di dunia Islam, sehingga terkesan seolah-olah doktrin riba adalah khas Islam. Orang sering lupa bahwa hukum larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh seorang muslim

10Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah Dari Teori Ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, 2003, hlm. 37.

11Ahmad Rofiq, Fiqh Aktual: Sebuah Ikhtiar Menjawab Berbagai Persoalan Umat, Semarang: Putra Mediatama Press, 2004, hlm. 190.

(22)

Amerika, Cyril Glasse yang dikutip Dawam Raharjo, tidak diberlakukan di negeri Islam modern mana pun. Sementara itu, tidak banyak yang tahu bahwa di dunia Kristen selama satu millennium, riba adalah barang terlarang dalam pandangan teolog, cendekiawan maupun menurut undang-undang. Tetapi memang praktek itu sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa melakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang itu.12

Muhammad Muslehuddin dalam bukunya Sistem Perbankan Islam membagi riba dalam dua jenis yaitu nasiah dan fadhal. Perkataan Nasih berarti penundaan waktu untuk membayar yang diberikan kepada si pengutang. Disebut nasih karena pemiutang dapat dikatakan memaafkan penundaan pembayaran utang tersebut dengan ganti rugi tambahan atas modalnya. Perkataan fadhal berarti lebihan yang dikenakan dalam pertukaran atau penjualan barang yang sama jenisnya atau bentuknya (umpamanya gandum, padi, lembu, kambing dan sebagainya).13

Fuad Mohd Fachruddin dalam bukunya Riba dalam Bank, Koperasi, Perseroan dan Asuransi menyatakan, soal riba memang soal yang mengancam masyarakat, karena riba bertentangan dengan jiwa sosial. Riba memeras darah seseorang yang

12M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 2002, hlm. 594.

13Muslehuddin, Bankin and Islamic Law, Terj. Aswin Simamora, "Sistem Perbankan Islam", Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hlm. 76 – 77.

(23)

membutuhkan pertolongan dalam keadaan terdesak. Senada dengan itu Muhammad Nejatullah Siddiqi dalam bukunya Aspek-Aspek Ekonomi Islam memberi pandangan bahwa raison d'etre dari proposisi ini merupakan larangan tegas al-Qur'an tentang riba, yang mana para ahli hukum muslim harus selalu menafsirkan segala macam bunga, riba atau kalau tidak yang terlepas dari sifat dan tujuan dari pinjaman.15

Isma'il ibn Katsir al-Qurasyi al-Dimasyqi dalam kitab Tafsir al-Qur’an al-Azim menjelaskan bahwa Allah Swt. berfirman, melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin memberlakukan riba dan memakan riba yang berlipat ganda, seperti yang dahulu biasa mereka lakukan bila telah tiba masa pelunasan utang; maka Jalan keluar adakalanya si pengutang melunasi utangnya atau membayar bunga ribanya. Jika la membayar, maka tidak ada masalah; tetapi jika ia tidak dapat membayar utangnya, dia harus menambah bayarannya sebagai ganti dari penangguhan masa pelunasannya. Demikianlah seterusnya sepanjang tahun, adakalanya utang sedikit menjadi bertambah banyak dan berlipat-lipat dari utang yang sebenarnya.16

14

Fuad Mohd Fachruddin, Riba dalam Bank, Koperasi, Perseroan dan Asuransi, Bandung: PT al-Ma'arif, 1980, hlm. 5.

15Muhammad Nejatullah Siddiqi, Some Aspects of The Islamic Economy, Terj. Dewi P. Restiana, "Aspek-Aspek Ekonomi Islam", Solo: CV. Ramadhani, 1991, hlm. 73.

16Isma'il ibn Katsir al-Qurasyi al-Dimasyqi, Tafsir Qur’an al-Azim., Juz. 4, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1978, hlm. 140.

(24)

Dari keterangan di atas menunjukkan bahwa skripsi-skripsi dan buku-buku yang terdahulu belum mengkaji praktek pemberian bunga tabungan PKK yang ada di masyarakat, seperti antara lain di Desa Kedungbang Kecamatan Tayu Kabupaten Pati.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian bermakna seperangkat pengetahuan tentang langkah-langkah sistematis dan logis dalam mencari data yang berkenaan dengan masalah tertentu untuk diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan selanjutnya dicarikan cara pemecahannya. Sehubungan dengan itu, metode penelitian dalam skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut:17

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian lapangan (field research) dan penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini bermaksud menggambarkan, memaparkan keadaan obyek penelitian pada saat sekarang. Data yang dikumpulkan disusun, dijelaskan, dan selanjutnya dilakukan analisa, dengan maksud untuk mengetahui hakikat sesuatu dan berusaha mencari pemecahan melalui penelitian pada

17Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2008, hlm. 24.

(25)

faktor tertentu yang berhubungan dengan fenomena yang sedang diteliti.18

2. Sumber Data a. Data Primer

Data primer adalah data yang langsung yang segera diperoleh dari sumber data oleh penyelidik untuk tujuan yang khusus itu.19 Sebagai data primer penelitian ini yaitu hasil wawancara dengan warga, tokoh masyarakat, dan ulama Desa Kedungbang Kec. Tayu Kab. Pati.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang telah lebih dahulu dikumpulkan oleh orang di luar diri penyelidik sendiri, walaupun yang dikumpulkan itu sesungguhnya adalah data yang asli.20 Data sekunder yang relevan dengan judul penelitian ini, di antaranya: Kitab Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid; Kifayah al-Akhyar; Tafsir Ayat Ahkam; Mazahib Arba'ah; I'anah

18

Wasty Soemanto, Pedoman Teknik Penulisan Skripsi, Jakarta: Bumi Aksara, 2007, hlm. 15., Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi, 2009, h1m. 3. Sudrajat M. Subana, Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010, hlm. 89.

19

Winarno Surahmad, Pengantar Penelitian-Penelitian Ilmiah, Dasar Metoda Teknik, Edisi 7, Bandung: Tarsito, 2006, hlm. 134-163.

(26)

Talibin; Subul al-Salam; Nail al-Autar; Sahih Bukhari dan Muslim; al-Umm, al-Muwatta' dan lain-lain.

3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data menggunakan: 1) interview (wawancara dengan beberapa responden/informan yaitu warga, tokoh masyarakat, dan ulama Desa Kedungbang Kec. Tayu Kab. Pati; 2) studi dokumentasi atau studi dokumenter yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya.21 Dokumentasi dalam tulisan ini yaitu sejumlah teks tertulis yang terdiri dari data primer dan sekunder. Untuk pengumpulan data kepustakaan ini, peneliti mencoba mengkaji kitab/buku-buku, website, dan dokumen-dokumen lain yang berhubungan dengan bunga dan riba.

4. Analisis Data

Analisis data menggunakan analisis deskriptif normatif yaitu menggambarkan, memaparkan persepsi masyarakat Desa Kedungbang Kec. Tayu Kab. Pati yang menghalalkan pemberian bunga tabungan PKK ditinjau dari perspektif hukum Islam. Berdasarkan hal itu, maka penelitian

21Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek), Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2011, hlm. 237

(27)

ini hendak menguraikan secara lengkap, teratur dan teliti terhadap suatu objek penelitian, dengan menguraikan dan menjelaskan fokus penelitian yaitu tentang hukumnya bunga tabungan PKK ditinjau dari perspektif hukum Islam.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab dan dalam satu kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi.

Bab pertama, berisi pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua, tinjauan umum tentang riba yang meliputi pengertian riba, jenis-jenis, illat pengharaman riba, hikmah diharamkannya riba.

Bab ketiga berisi deskripsi pemberian bunga tabungan PKK pada akhir tahun di Desa Kedungbang Kec. Tayu Kab. Pati yang meliputi sekilas tentang Desa Kedungbang (kondisi geografis, kehidupan keagamaan dan kondisi sosial budaya), Pelaksanaan pemberian bunga tabungan PKK pada Akhir Tahun di Desa Kedungbang Kec. Tayu Kab. Pati, persepsi masyarakat Desa Kedungbang Kec. Tayu Kab. Pati terhadap pemberian bunga tabungan PKK pada akhir tahun.

Bab keempat berisi analisis hukum Islam terhadap pemberian bunga tabungan PKK pada akhir tahun di Desa

(28)

Kedungbang Kec. Tayu Kab. Pati yang meliputi analisis terhadap pelaksanaan pemberian bunga tabungan pkk pada akhir tahun di Desa Kedungbang Kec. Tayu Kab. Pati, tinjauan hukum Islam terhadap pelaksanaan pemberian bunga tabungan PKK pada Akhir Tahun di Desa Kedungbang Kec. Tayu Kab. Pati.

Bab kelima berisi tentang penutup yang meliputi kesimpulan, saran-saran, dan penutup.

(29)

17

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG RIBA

A. Pengertian Riba

Dalam Al-Mu'jam Mufahras li Alfâz Al-Qur'ân al-Karîm dapat ditemui beberapa ayat al-Qur'an yang berbicara tentang riba dan tidak kurang disebut sebanyak dua puluh kali.1 Menurut Dawam Rahardjo, secara etimologi, kata "riba" artinya tumbuh, menambah, berlebih.2 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata riba dengan singkat berarti pelepasan uang, lintah darat.3

Menurut Syafi'i Antonio, riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil.4 Menurut

1Muhammad Fuâd Abdul Bâqy, Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfâz Al-Qur'ân al-Karîm, Beirut: Dâr al-Fikr, 1981, hlm. 299 – 300. Lihat juga Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest A Study of the Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation, Terj. Muhammad Ufuqul Mubin, et al, “Bank Islam dan Bunga: Studi Kritis Larangan Riba dan Interpretasi Kontemporer” Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 33.

2

M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta, Paramadina, 2002, hlm. 603.

3Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hlm. 955

4Syafi'i Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, Jakarta: Tazkia Institut, 1999, hlm. 59.

(30)

Maulana Muhammad Ali, riba adalah suatu tambahan di atas pokok yang dipinjamkan.5 Menurut Fuad Moh. Fachruddin, riba adalah satu tambahan yang diharamkan di dalam urusan pinjam meminjam.6 Menurut Ahmad Sukarja, riba adalah tambahan tanpa imbangan yang disyaratkan kepada salah satu di antara dua pihak yang melakukan muamalah utang piutang atau tukar menukar barang.7

Menurut Sayyid Sabiq, riba adalah tambahan atas modal, baik penambahan itu sedikit ataupun banyak.8 Menurut Majfuk Zuhdi sebagaimana mengutip pendapat Al-Jurjani merumuskan riba sebagai kelebihan/tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan, yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad (transaksi).9 Menurut Afzalur Rahman bahwa kata "riba" dalam bahasa Arab, sebagian telah dicakup kata "usury" dalam bahasa Inggris yang dalam bahasa modern berarti bunga yang terlalu tinggi atau berlebihan. Sebaliknya, riba dalam

5

Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam, Terj. R. Kaelan dan M. Bachrun, "Islamologi (Dînul Islâm)", Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1977, hlm. 484.

6Fuad Moh. Fachruddin, Riba dalam Bank, Koperasi, Perseroan dan Asuransi, Bandung: PT al-Ma'arif, 1980, hlm. 62.

7Ahmad Sukarja, dalam Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, (editor), Problematika Hukum Islam Kontemporer, Buku Ketiga, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 34.

8

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, tth, hlm. 147.

(31)

bahasa Arab berarti tambahan, walaupun sedikit, melebihi dari modal pokok yang dipinjamkan, dan yang demikian itu keduanya termasuk riba dan bunga.10

Abu Bakar Jabir al-Jazairi dengan singkat menyatakan bahwa riba adalah tambahan uang pada sesuatu yang khusus.11 Menurut Abdurrrahmân al-Jaziri Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, riba adalah nilai tambahan pada salah satu dari dua barang yang sejenis yang ditukar tanpa ada imbalan (imbangan) terhadap tambahan tersebut.12

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa secara bahasa riba berarti al-ziyadah (tumbuh subur, tambahan), seperti terdapat dalam ayat berikut ini:

ٍجيَِبَ ٍجْوَز ِّلُك نِم ْتَتَبنَأَو ْتَبَرَو ْتَّزَ تْىا ءاَمْلا اَهْ يَلَع اَنْلَزنَأ اَذِإَف

(

جلحا

:

5

)

Artinya: kemudian apabila telah Kami turunkan air atasnya, hiduplah bumi itu dan subur dan menumbuhkan

10

Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam, Terj. Soeroyo dan Nastagin, "Doktrin Ekonomi Islam", Jilid 3, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1995, hlm. 85.

11Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, 2004, hlm. 299.

12Abdurrrahmân al-Jaziri, Kitab Fiqh ‘alâ Mazâhib al-Arba’ah, Juz II, Beirut: Dâr al-Fikr, 1972, hlm. 196.

(32)

berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. (Q.S. al-Hajj: 5).13

ٍةَّمُأ ْنِم َبَْرَأ َيِى ٌةَّمُأ َنوُكَت نَأ

(

لحنلا

:

29

)

Artinya: disebabkan adanya suatu ummat (Islam) yang bertambah banyak jumlahnya dari ummat yang lain. (Q.S. al-Nahl: 92).14

Seluruh fuqaha sepakat bahwasanya hukum riba adalah haram berdasarkan keterangan yang sangat jelas dalam al-Qur'an dan al-Hadis. Pernyataan al-Qur'an tentang larangan riba terdapat pada surat al-Baqarah ayat 275, 276, 278 dan 279.

َل اَبِّرلا َنوُلُكْأَي َنيِذَّلا

ُوُطَّبَخَتَ ي يِذَّلا ُموُقَ ي اَمَك َّلِإ َنوُموُقَ ي

َّلَحَأَو اَبِّرلا ُلْثِم ُعْيَ بْلا اََّنَِّإ ْاوُلاَق ْمُهَّ نَأِب َكِلَذ ِّسَمْلا َنِم ُناَطْيَّشلا

اَبِّرلا َمَّرَحَو َعْيَ بْلا ُوّللا

(

ةرقبلا

:

975

)

Artinya: Orang-orang yang memakan (memungut) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan syaitan lantaran gangguan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka

13

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, al-Qur-an dan Terjemahnya, Surabaya: Depag RI, 1978, hlm. 511

(33)

berkata: sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba... (al-Baqarah: 275).15

Surat al-Baqarah ayat 275 di atas mengecam keras pemungutan riba dan mereka diserupakan dengan orang yang kerasukan Setan. Selanjutnya ayat ini membantah kesamaan antara riba dan jual-beli dengan menegaskan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Larangan riba dipertegas kembali pada ayat 278, pada surat yang sama, dengan perintah meninggalkan seluruh sisa-sisa riba, dan dipertegas kembali pada ayat 279

ْاوُقَّ تا ْاوُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّ يَأ اَي

ِّرلا َنِم َيِقَب اَم ْاوُرَذَو َللها

ْنُك نِإ اَب

ْمُت

َيِنِمْؤُّم

(

ةرقبلا

:

972

)

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. (Q.S. al-Baqarah: 278).16

ْاوُلَعْفَ ت َّْلَّ نِإَف

ِّم ٍبْرَِبِ ْاوُنَذْأَف

ْمُكَلَ ف ْمُتْبُ ت نِإَو ِوِلوُسَرَو ِللها َن

َنوُمَلْظُت َلَو َنوُمِلْظَت َل ْمُكِلاَوْمَأ ُسوُؤُر

(

ةرقبلا

:

972

)

Artinya: Jika kamu tidak meninggalkan sisa-sisa riba maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan

15 Ibid., hlm. 74. 16 Ibid.,

(34)

memerangi kamu. Jika kamu bertaubat maka bagimu adalah pokok hartamu. Tidak ada di antara kamu orang yang menganiaya dan tidak ada yang teraniaya. (Q.S. al-Baqarah: 279)17

Ayat 276 memberikan jawaban yang merupakan kalimat kunci hikmah pengharaman riba, yakni Allah bermaksud menghapuskan tradisi riba dan menumbuhkan tradisi shadaqah, karena riba itu lebih banyak madaratnya daripada manfaatnya. Sedang illat pengharaman riba agaknya dinyatakan dalam ayat 279, la tazlimuna wala tuzlamun. Maksudnya, dengan menghentikan riba engkau tidak berbuat zulm (menganiaya) kepada pihak lain sehingga tidak seorangpun di antara kamu yang teraniaya. Jadi tampaklah bahwasanya illat pengharaman dalam surat al-Baqarah adalah zulm (eksploatasi; menindas, memeras dan menganiaya).

Keempat ayat dalam surat al-Baqarah tentang kecaman dan pengharaman riba ini didahului 14 ayat (2:261 sampai dengan 274) tentang seruan infaq fi sabilillah, termasuk seruan shadaqah dan kewajiban berzakat. Allah akan mengganti dan melipatgandakan balasan shadaqah dengan 700 kali lipat bahkan lebih banyak lagi, bahwa sesungguhnya syetan selalu menakuti manusia dengan kekhawatiran jatuh miskin sehingga manusia

17 Ibid.,

(35)

cenderung berbuat keji (dengan bersikap kikir, enggan bershadaqah dan melakukan riba).

Selain yang disebutkan di atas, rangkaian empat ayat tentang kecaman dan pengharaman riba diakhiri dengan ayat 280. Ayat ini berisi seruan moral agar berbuat kebajikan kepada orang yang dalam kesulitan membayar hutang dengan menunda tempo pembayaran atau bahkan dengan membebaskannya dari kewajiban melunasi hutang.

Pernyataan al-Qur'an tentang keharaman riba juga terdapat di dalam surat Ali Imran (3:130). Larangan memakan harta riba dalam surat Ali Imran ini berada dalam konteks antara ayat 129 sampai dengan 136. Di sana antara lain dinyatakan bahwa kesediaan meninggalkan praktek riba menjadi tolok ukur ketaatan dan ketakwaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Lalu dinyatakan bahwa menafkahkan harta di jalan Allah baik dalam kondisi sempit maupun lapang merupakan sebagian pertanda orang yang bertakwa.

Pernyataan Hadis Nabi mengenai keharaman riba antara lain:

َةَبْيَش ِبَِأ ُنْب ُناَمْثُعَو ٍبْرَح ُنْب ُرْ يَىُزَو ِحاَّبَّصلا ُنْب ُدَّمَُمُ اَنَ ثَّدَح

ُلوُسَر َنَعَل َلاَق ٍرِباَج ْنَع ِْيَْ بُّزلا وُبَأ اَنَرَ بْخَأ ٌمْيَشُى اَنَ ثَّدَح اوُلاَق

(36)

ِوْيَدِىاَشَو ُوَبِتاَكَو ُوَلِكوُمَو اَبِّرلا َلِكآ َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُللها ىَّلَص ِللها

)ملسم هاور( ٌءاَوَس ْمُى َلاَقَو

Artinya: Telah mengabarkan Muhammad bin al-Shabah dan Zuhair bin Harbi dan Usman bin Abu Syaibah kepada kami dari Husyaim dari al-Zubair dari Jabir berkata: Rasulullah SAW. melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberi makan riba, penulis dan saksi riba". Kemudian beliau bersabda: "mereka semua adalah sama. (H.R. Muslim).18

Secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.19 Menurut Ahmad Rofiq, "riba merupakan kebiasaan dalam tradisi berekonomi masyarakat jahiliyah. Karena itu pelarangannya pun dilakukan secara bertahap, karena menjadi kebiasaan yang mendarah daging".20

Sebab itu, istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di dunia Islam, sehingga terkesan seolah-olah doktrin riba adalah khas Islam. Orang sering lupa bahwa hukum larangan

18

Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, Juz. 3,. Mesir : Tijariah Kubra, tth, hlm. 50.

19Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah Dari Teori Ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, 2003, hlm. 37.

20

Ahmad Rofiq, Fiqh Aktual: Sebuah Ikhtiar Menjawab Berbagai Persoalan Umat, Semarang: Putra Mediatama Press, 2004, hlm. 190.

(37)

riba, sebagaimana dikatakan oleh seorang muslim Amerika, Cyril Glasse yang dikutip Dawam Raharjo, tidak diberlakukan di negeri Islam modern mana pun. Sementara itu, tidak banyak yang tahu bahwa di dunia Kristen selama satu millennium, riba adalah barang terlarang dalam pandangan teolog, cendekiawan maupun menurut undang-undang. Praktek itu sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa melakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang itu.21

Persoalan tentang riba yang dilarang bukan saja dibicarakan dalam agama Islam tetapi juga dalam agama-agama samawi lainnya. Bahkan sejak zaman kejayaan Athene, Solon telah membuat undang-undang yang melarang riba. Ahli-ahli filsafat seperti Plato dan Aristoteles pun tidak membenarkan riba. Mereka menganggap bunga uang bukan keuntungan yang wajar karena pemilik uang tersebut tidak turut serta menanggung resiko.22

Menurut Mahmud Yunus, orang-orang yang mengambil riba samalah pendiriannya dan tingkah lakunya dengan orang yang dibinasakan (diharu) setan, karena ia sangat tamak, kejam

21M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta, Paramadina, 2002, hlm. 594.

22M. Rusli Karim (Editor), Berbagai Aspek Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1992, hlm. 120

(38)

dan tidak menaruh rasa iba kepada fakir miskin.23 Menurut Hamka, riba harus dikikis habis sebab menjadi pangkal dari kejahatan, dan hanya mencari keuntungan di atas penderitaan orang lain.24

Islam beserta semua syari'at samawi melarang riba karena menimbulkan bahaya sosial dan ekonomi. Dari segi ekonomi, riba merupakan cara usaha yang tidak sehat. Keuntungan yang diperoleh bukan berasal dari pekerjaan yang produktif yang dapat menambah kekayaan bangsa. Namun, keuntungan itu hanya untuk dirinya sendiri tanpa imbalan ekonomis apapun. Keuntungan ini hanya diperoleh dari sejumlah harta yang diambil dari harta si peminjam, yang sebenarnya tidak menambah harta orang yang melakukan riba. Dari segi sosial, masyarakat tidak dapat mengambil keuntungan sedikit pun dari praktek-praktek riba. Bahkan praktek-praktek riba ini membawa bencana sosial yang besar sebab menambah beban bagi orang yang tidak berkecukupan, dan menyebabkan perusakan nilai-nilai luhur yang dibawa oleh Islam yang menganjurkan persaudaraan, tolong menolong dan bergotong royong di antara sesama manusia.25

23Mahmud Yunus, Tafsir al-Qur'an al-Karim, Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1978, hlm. 64.

24Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz III, Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 2003, hlm. 97.

25Ahmad Muhammad al-Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, al-Nizam al-Iqtisadi Fi al Islam Mabadi Uhu Wahdafuhu, Terj Abu

(39)

B. Jenis-jenis Riba

Menurut Syafii Antonio, secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama dibagi lagi menjadi riba qard dan riba jahiliyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual beli terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi'ah.26

Menurut Syekh al-Maraghi bahwa secara global ada dua jenis riba :

a. Riba nasi'ah yaitu jenis riba yang terkenal di masa jahiliyyah dan biasa dilakukan oleh mereka. Riba ini menangguhkan masa pembayaran dengan tambahan keuntungan. Jadi manakala masa pembayaran ditangguhkan, maka makin bertambahlah jumlah utangnya, sehingga dari seratus dirham bisa menjadi seribu dirham. Dan pada galibnya orang yang berani berbuat demikian biasanya orang tak mampu yang terdesak kebutuhan. la memberikan tambahan untuk mengelakkan diri dari pembayarannya, dan keadaan seperti ini terus berlangsung atas dirinya hingga utangnya menggunung dan dapat meludeskan seluruh kekayaannya.

Ahmadi dan Anshori Sitanggal, "Sistem Ekonomi Islam, Prinsip-Prinsip dan Tujuan-Tujuannya", Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1980, hlm. 87 – 88.

26 Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah Suatu Pengenalan Umum,…, hlm. 63.

(40)

Harta kian bertambah di tangan orang yang membutuhkan tanpa ada manfaat yang dihasilkan darinya, dan harta orang yang melakukan riba makin bertambah tanpa ada manfaat yang bisa dipetik oleh saudaranya yang berutang padanya. Dengan demikian ia memaksa harta orang lain dengan cara batil, dan menjerumuskan orang lain ke dalam kesengsaraan dan kemelaratan.

Merupakan rahmat Allah, kebijaksanaan dan kebajikan-Nya terhadap makhluk, Allah mengharamkan riba dan melaknat pemakannya, wakilnya, penulisnya dan saksinya. Kemudian memberikan peringatan kepada orang yang tidak mau meninggalkannya, bahwa mereka diperangi oleh Allah dan rasul-Nya. Ancaman seperti ini belum pernah ada dalam dosa besar, oleh karenanya riba dikatagorikan dosa besar yang terbesar.27

b. Riba Fadal, seperti misalnya seseorang yang menjual sebuah perhiasan emas berbentuk gelang dengan harga yang melebihi timbangannya. Dan sebagai barternya uang dinar (uang emas). Atau seseorang menjual sekilo kurma yang baik dengan sekilo dan setumpuk kurma jelek. Sekalipun kedua pihak saling merelakan lantaran kedua pihak saling

27Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir al-Maragi, Juz IV, Mesir: Mustafa al-Babi Al-Halabi, 1394 H/1974 M, hlm. 110.

(41)

membutuhkan barang tersebut. Riba jenis ini tidak termasuk dilarang oleh Al-Qur'an, namun pelarangannya hanya datang (ditetapkan) oleh sunnah rasul.

Sebagaimana definisi riba, macam-macam riba pun terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ibnu Rusyd mengatakan bahwa riba terdapat dalam dua perkara, yaitu pada jual beli dan pada jual beli tanggungan, pinjaman atau lainnya. Riba dalam jual beli menurutnya ada dua macam: nasi'ah (riba dengan penundaan pembayaran) dan tafadul (riba dengan pelebihan pembayaran). Sedangkan riba pada jual beli tanggungan juga terbagi dua kategori, salah satunya adalah riba jahiliyah yang telah disepakati para ulama tentang keharamannya.28 Demikian pula Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malîbary membagi riba kedalam riba fadl, riba nasa dan riba yad.29

Namun demikian, para jumhur ulama fikih membagi riba dalam dua kategori: Riba nasi'ah dan riba fadl.30 Pandangan yang sama juga dikemukakan al-Jaziri. Riba nasiah adalah riba yang terjadi karena penundaan pembayaran hutang, suatu jenis riba yang diharamkan karena keharaman jenisnya atau keadaannya

28 Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, juz II, Beirut: Dâr Al-Jiil, 1409 H/1989, hlm. 96.

29 Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malîbary, Fath al-Mu’în, Semarang: Toha Putera , tth, hlm. 68

30 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa ‘Adilatuh, juz IV, Beirut: Dâr al-Fikr, 1989, hlm. 671.

(42)

sendiri. Sedangkan riba fadl adalah riba yang diharamkan karena sebab lain, yaitu riba yang terjadi karena adanya tambahan pada jual beli benda atau bahan yang sejenis.31

Definisi riba al-nasi'ah menurut Wahbah al-Zuhaily32 adalah

َف

َض

َل

ُْلحا

ُل ْو

ُل

َع َل

ْا ى

َل

َج

ِل

َو َف

َض

َل ْا

َعل

ِْي

َع

َىل

ِّدلا

ْي ِن

ِف

ْا

َ

ل

ْك

َ ي َل

ِْي

َا ِّو ْا

َ

ل ْو ُز

ْو ِن

َْي

ِع

ْن َد

ِِ

ْخا

ِت

َل

ِف

ِْلا

ْن

ِس

َا ْو

ِف

ََ

ِْيْ ْلا

َم ْك

َ ي َل

ِْي

َا ِّو

ْلا َم

ْو ُز ْو

ِن

َْي

ِع

ْن َد

َِّتِا

ِدا

ْا

ِل ْن

ِس

س

Artinya: "Penambahan harga atas barang kontan lantaran penundaan waktu pembayaran atau penambahan 'ain (barang kontan) atas dain (harga utang)" terhadap barang berbeda jenis yang ditimbang atau ditakar atau terhadap barang sejenis yang tidak ditakar atau ditimbang".

Menurut Abdurrahmân al-Jaziri:33

ِف ُةَداَيِّزلا ُنْوُكَت ْنَا َوُىَو

َم َق

َ با َل

ِة

َت ْأ

ِخ

ِْيْ

ِّدلا

َف ِع

31 Abdurrrahmân al-Jazirî, Kitab Fiqh ‘alâ Mazâhib al-Arba’ah, juz 2, Beirut: Dâr al-Fikr, 1972, hlm. 192

32' Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa ‘Adilatuh…., hlm. 672.

33 Abdur Rahman al-Jaziri, Kitab Fiqh ‘alâ Mazâhib al-Arba’ah, Juz II,… hlm. 198.

(43)

Artinya: "Riba al-nasi'ah adalah riba atau tambahan (yang dipungut) sebagai imbangan atas penundaan pembayaran".

Selanjutnya al-Jaziri memberi contoh, jika seseorang menjual satu kuintal gandum yang diserahkan pada musim kemarau dengan satu setengah kuintal gandum yang ditangguhkan pembayarannya pada musim hujan, di mana tambahan harga setengah kuintal tersebut dipungut tanpa imbangan mabi' (obyek jual beli), melainkan semata-mata sebagai imbangan dari penundaan waktu pembayaran, maka yang demikian ini adalah praktek riba al-nasi'ah.34

Jual beli barang sejenis secara tidak kontan seperti pada contoh di atas sekalipun tidak disertai penambahan pembayaran menurut Wahbah al-Juhaily tergolong riba Nasi'ah.35 Dari uraian di atas dapat disimpulkan dua macam (kasus) riba nasi'ah. Pertama, penambahan dari harga pokok sebagai kompensasi

34Ibid., hlm. 198

35 Hal ini sebagaimana dinyatakan dan dicontohkan oleh Wahbah al-Zuhaily, seorang fuqaha Hanafiyah, dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz IV, hm. 672. Menurutnya alasan keharaman jual-beli benda sejenis tidak secara kontan adalah tidak adanya kesepadanan qimah. Sebagaimana dimaklumi bahwasanya qimah yang dibayarkan secara kontan adalah lebih berharga dari qimah yang ditangguhkan pembayarannya sebagaimana dimaklumi bahwasanya 'ain lebih berharga dari pada dain.

(44)

penundaan waktu pembayaran. Kedua, penundaan penyerahan salah satu dari barang yang dipertukarkan dalam jual-beli barang ribawi yang sejenis.

Adapun riba al-fadhl adalah penambahan pada salah satu dari benda yang dipertukarkan dalam jual-beli benda ribawi yang sejenis, bukan karena faktor penundaan pembayaran.36 Para fuqaha sepakat bahwasanya riba al-fadhl hanya berlaku pada harta benda ribawi. Mereka juga sepakat terhadap tujuh macam harta benda sebagai harta-benda ribawi karena dinyatakan secara tegas dalam nash Hadis. Ketujuh harta benda tersebut adalah: (1) emas, (2) perak, (3) burr, jenis gandum, (4) syair, jenis gandum, (5) kurma, (6) zabib, anggur kering, dan (7) garam. Selain tujuh macam harta benda tersebut fuqaha berselisih pandangan.37

Menurut fuqaha zahiriyah harta ribawi terbatas pada tujuh macam harta benda tersebut di atas. Mazhab Hanafi dan Hambali memperluas konsep harta-benda ribawi pada setiap harta-benda yang dapat dihitung melalui satuan timbangan atau takaran. Mazhab Syafi'i memperluas harta ribawi pada setiap mata uang (an-naqd) dan makanan (al-ma'thum) meskipun tidak lazim dihitung melalui satuan timbangan atau takaran. Yang dimaksud

36Abdur Rahman al-Jaziri, Kitab Fiqh ‘alâ Mazâhib al-Arba’ah, Juz II…, hlm. 198.

37 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu…, hlm. 675.

(45)

dengan makanan menurut mazhab Syafi'i adalah segala sesuatu yang lazim di makan manusia, termasuk buah-buahan dan sayur-mayur. Sedangkan mazhab Malikih memperluas konsep harta-benda ribawi pada setiap jenis mata uang dan sifat al-iqtiyat (jenis makanan yang menguatkan badan) dan al-iddihar (jenis makanan yang dapat disimpan lama). Menurut Mazhab Maliki sayur-mayur dan buah-buahan basah tidak termasuk harta-benda ribawi karena tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama.38

Di antara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang. Dampak lainnya adalah bahwa utang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas utang tersebut dibungakan. Contoh paling nyata adalah utang negara-negara berkembang kepada negara-negara maju. Meskipun disebut pinjaman lunak, artinya dengan suku bunga rendah, pada akhirnya negara-negara pengutang harus berutang lagi untuk membayar bunga dan pokoknya. Akibatnya, terjadilah utang yang

38 Abdur Rahman al-Zajairi, Juz 11, Kitab Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah,…,hlm. 233-235.

(46)

terus-menerus. Ini yang menjelaskan proses terjadinya kemiskinan struktural yang menimpa lebih dari separoh masyarakat dunia.39

Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain agar berusaha dan mengembalikan, misalnya, dua puluh lima persen lebih tinggi dari jumlah yang dipinjamkannya. Persoalannya, siapa yang bisa menjamin bahwa usaha yang dijalankan oleh orang itu nantinya mendapatkan keuntungan lebih dari dua puluh lima persen? Semua orang, apalagi yang beragama, tahu bahwa siapa pun tidak bisa memastikan apa yang terjadi besok atau lusa. Siapa pun tahu bahwa berusaha memiliki dua kemungkinan: berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba, orang sudah memastikan bahwa usaha yang dikelola pasti untung.40

Dalam hubungannya dengan bunga, bahwa secara umum, bunga adalah pendapatan yang menjadi keuntungan pihak yang mempunyai modal.41 Sejumlah ahli filsafat dan ekonomi berpendapat bahwa pembayaran bunga sebagai suatu hal yang tidak adil. Aristoteles dalam bukunya, Politics, yang disitir Hertanto Widodo, et al mengatakan bahwa sekeping mata uang

39 Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori Ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2011, hlm. 67.

40 Ibid .

41 Kaslan A. Tohir, Ekonomi Selayang Pandang, Jilid 2, Bandung: NV Penerbitan Van Hoeve, 2005, hlm. 299.

(47)

tidak dapat beranak kepingan uang yang lain. Plato dalam karyanya, juga mengutuk bunga. Selanjutnya, Keynes sangat mengecam argumen klasik mengenai pengaruh suku bunga pada tabungan. Keynes beranggapan bahwa tingkat pendapatan lebih menjamin persamaan antara tabungan dan investasi daripada suku bunga. Selain itu, dari semua teori bunga yang ada tidak satu pun yang dapat menjawab secara memuaskan mengapa bunga harus dibayarkan.42

Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, umat Islam hampir tidak dapat menghindari diri dari bermuamalah dengan bank konvensional, yang memakai sistem bunga dalam segala aspek kehidupannya, termasuk kehidupan agamanya. Misalnya; ibadah haji di Indonesia, umat Islam harus memakai jasa bank. Tanpa jasa bank, perekonomian Indonesia tidak selancar dan semaju seperti sekarang ini. Para ulama dan cendekiawan muslim masih tetap berbeda pendapat tentang hukum bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum bunga bank. Perbedaan pendapat mereka seperti yang disimpulkan Masjfuk Zuhdi adalah sebagai berikut

a. Pendapat Syekh Abu Zahrah, Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Cairo, Abul A'la Al-Maududi (Pakistan),

42 Hertanto Widodo, dkk., Pedoman Praktis Operasional Baitul Mal Wat Tamwil (BMT), Bandung: Mizan, 2009, hlm. 47.

(48)

Muhammad Abdullah Al-Arabi, penasihat hukum pada Islamic Congress Cairo, dan lain-lain, menyatakan bahwa bunga bank termasuk riba nasi'ah yang dilarang oleh Islam. Oleh karena itu, umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai sistem bunga, kecuali kalau dalam keadaan darurat atau terpaksa. Mereka mengharapkan lahirnya bank Islam yang tidak memakai sistem bunga sama sekali.43

b.Muhammadiyah tahun 1968 memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank negara kepada para nasabahnya, demikian pula sebaliknya, termasuk syubhat atau mutasyabihat, artinya belum jelas halal dan haramnya. Sesuai dengan petunjuk hadis, umat Islam harus berhati-hati menghadapi masalah yang masih syubhat. Oleh karena itu, jika dalam keadaan terpaksa atau dalam keadaan hajat, artinya keperluan yang mendesak/penting, barulah diperbolehkan bermuamalah dengan bank dengan sistem bunga itu sekedarnya saja.44

c.Keputusan yang berkaitan dengan bunga bank, NU telah beberapa kali melakukan sidang untuk membicarakan persoalan tersebut. Keputusan pertama diambil ketika sidang bahsul al-masa'il pada tahun 1927 di Surabaya. Pada sidang tersebut para

43 Rachmat Syafe'i, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2014, hlm. 274.

44 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT.Toko Gunung agung, 2007, hlm. 111 - 112.

(49)

ulama NU pendapat berkaitan bunga bank. Ada tiga pendapat yang berkembang di kalangan peserta sidang menyikapi masalah itu, yaitu:

Pertama, pandangan yang mengatakan haram, sebab termasuk utang yang dipungut manfaatnya (rente).

Kedua, pandangan yang mengatakan halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad. Pandangan ini didasarkan pada pendapat ahli hukum bahwa adat yang berlaku itu tidak menjadi syarat.

Ketiga, mengatakan bahwa bunga bank dikategorikan sebagai syubhat, sebab para ahli hukum berselisih pendapat tentang hukum bunga bank.

Dengan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama tersebut, akhirnya Lajnah Bahsul Masa'il memutuskan bahwa pilihan yang lebih berhati-hati adalah pendapat pertama, bunga bank hukumnya haram. Lajnah tampaknya tidak memberikan keputusan yang tegas tentang keharaman dan kehalalan bunga bank, hanya memberikan semacam alternatif kepada para warga NU bahwa pandangan yang lebih hati-hati adalah haram.

Menurut Mustafa Ahmad Az-Zarqa, Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Perdata Universitas Syiria bahwa sistem perbankan yang kita terima sekarang ini merupakan realitas yang tak dapat dihindari. Oleh karena itu, umat Islam boleh

(50)

bermuamalah dengan bank konvensional atas pertimbangan dalam keadaan darurat dan bersifat sementara. Akan tetapi, umat Islam harus berusaha mencari jalan keluar dengan mendirikan bank tanpa sistem bunga untuk menyelamatkan umat Islam dari cengkeraman bank bunga (conventional bank).45

C. Illat Pengharaman Riba

Para ulama fiqh membagi riba kepada dua macam, yaitu riba al-fadhl dan riba an-nasi'ah. Riba al-fadhl adalah riba yang berlaku dalam jual beli yang didefinisikan oleh para ulama fiqh dengan:46

ْيِعْرَّشلا ِراَيْعِمْلا ىَلَع ٍعْيَ ب ِدْقَع ِف ٍلاَم ِْيَع ُةَداَيِز

Artinya; Kelebihan pada salah satu harta sejenis yang diperjualbelikan dengan ukuran syara'.

Dimaksudkan dengan ukuran syara' di sini adalah timbangan atau takaran tertentu, seperti kilogram. Misalnya, satu kg gula dijual dengan 1,1/4 kg gula lainnya. Kelebihan 1/4 kg dalam jual beli ini disebut dengan riba al-fadhl. Jual beli seperti ini hanya berlaku dalam al-muqayadhah (barter), yaitu barang

45

Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah,…, hlm. 274 – 275. 46 Nasrun Harun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2010, hlm. 183.

(51)

ditukar dengan barang, bukan dengan nilai uang. Riba an-nasi'ah adalah kelebihan atas piutang yang diberikan urang yang berutang kepada pemilik modal ketika waktu yang disepakati jatuh tempo.

Apabila pada waktunya sudah jatuh tempo, ternyata orang yang berutang tidak sanggup membayar utang dan kelebihannya, maka waktunya boleh diperpanjang dan jumlah utang bertambah pula. Dalam jual beli barter, baik sejenis maupun tidak sejenis, riba an-nasi'ah pun boleh terjadi, yaitu dengan cara jual beli barang sejenis dengan kelebihan salah satunya, yang pembayarannya ditunda. Misal dalam barter barang sejenis, membeli satu kilogram beras dengan dua kilogram beras yang akan dibayarkan satu bulan yang akan datang. Atau barter dalam barang tidak sejenis, seperti membeli satu kilogram terigu dengan dua kilogram beras yang akan dibayarkan dua bulan yang akan datang. Kelebihan salah satu barang, sejenis atau tidak, yang dibarengi dengan penundaan pembayaran pada waktu tertentu, termasuk riba an-nasi'ah.

Para ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan 'illat (penyebab yang menyebabkan keharaman riba al-fadhl dan riba an-nasi'ah. Menurut ulama Hanafiyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad ibn Hanbal, riba al-fadhl ini hanya berlaku dalam timbangan atau takaran harta yang sejenis, bukan terhadap nilai harta. Apabila yang dijadikan ukuran adalah nilai harta,

(52)

maka kelebihan yang terjadi tidak termasuk riba al-fadhl. Misalnya, seekor sapi yang berumur tiga tahun dijual dengan sapi yang berumur empat tahun. Dalam kasus seperti ini, sapi berumur empat tahun lebih besar dari yang berumur tiga tahun. Oleh sebab itu, kelebihan pada jual beli sapi seperti ini tidak termasuk riba al-fadhl dan tidak diharamkan. Alasan mereka, sekalipun obyek yang diperjualbelikan adalah sama, tetapi nilainya sudah berbeda dan diperjualbelikan bukan dengan timbangan atau takaran.47

Dua Jenis pertama (emas dan perak), menurut mereka, diperjualbelikan dengan cara timbangan khusus (al-wazn) dan empat jenis buah-buahan diperjualbelikan dengan cara per kilogram (kilogram, al-kail). Menurut mereka, dalam berjual beli, prinsip keadilan dan keseimbangan harus ada. Kalau tidak adil dan seimbang, maka akan muncul kezaliman. Oleh sebab itu, kelebihan salah satu barang dalam jual beli barang sejenis merupakan kelebihan tanpa imbalan yang sangat merugikan pihak lain. Praktik seperti ini menjurus kepada kezaliman.

Berdasarkan kedua hadis, ulama Hanafiyah dan salah satu riwayat dari Ahmad ibn Hanbal menetapkan bahwa yang menjadi illat keharaman riba al-fadhl itu adalah kelebihan barang atau harga dari benda sejenis yang diperjualbelikan melalui alat ukur al-wazn dan al-kail. Berdasarkan 'illat ini, mereka tidak

(53)

mengharamkan kelebihan pada jual beli rumah, tanah, hewan, dan benda lain yang dijual dengan satuan, sekalipun sejenis, karena, benda-benda seperti ini dijual berdasarkan nilainya, bukan berdasarkan al-wazn atau al-kail.

Lebih lanjut ulama Hanafiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan bahwa dasar keharaman riba al-fadhl ini dititik beratkan kepada sad az.-zari'ah yaitu menutup segala kemungkinan yang membawa kepada riba yang berakibat mudharat bagi umat manusia. Adapun 'illat dalam keharaman riba an-nasi'ah, menurut ulama Hanafiyah, adalah kelebihan pembayaran dari harga barang yang ditunda pembayarannya pada waktu tertentu. Misalnya, Badu berutang uang kepada Mamat sejumlah Rp.200.000,- yang pembayarannya dilakukan bulan depan dan dengan syarat pengembalian utang itu dilebihkan menjadi Rp.250.000,-. Kelebihan uang dengan tenggang waktu ini disebut dengan riba an-nasi'ah. Unsur kelebihan pembayaran yang boleh berlipat ganda apabila utang tidak boleh dibayar pada saat jatuh tempo, menurut ulama Hanafiyah, merupakan suatu kezaliman dalam muamalah. Kezaliman, bagaimana pun bentuknya, menurut mereka, adalah haram.48 Itulah sebabnya Allah menyatakan dalam surat al-Baqarah, 2: 279 dari rangkaian ayat riba:

48 Ibid., hlm. 185.

(54)

ْمُكَلَ ف ْمُتْبُ ت ْنِإَو ِوِلوُسَرَو ِوَّللا َنِم ٍبْرَِبِ اوُنَذْأَف اوُلَعْفَ ت َْلَّ ْنِإَف

ُسوُءُر

َنوُمَلْظُت َلَو َنوُمِلْظَت َل ْمُكِلاَوْمَأ

Artinya: Maka jika kamu tidak mengerjakan, maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak dianiaya (QS. al-Baqarah, 2: 279).49

Ulama Malikiyah dan Syafi'iyah berpendirian bahwa 'illat keharuman riba al-fadhl pada emas dan perak adalah disebabkan keduanya merupakan harga dari sesuatu, baik emas dan perak itu telah dibentuk, seperti cincin atau kalung, maupun belum, seperti emas batangan. Oleh sebab itu, apapun bentuk emas dan perak, apabila sejenis, tidak boleh diperjualbelikan dengan cara menghargai yang satu lebih banyak dari yang lain. Misalnya, apabila emas batangan dijual dengan emas yang telah dibentuk menjadi cincin atau kalung, tidak boleh dilebihkan harga yang satu atas yang lain. Dua gram cincin emas harus dijual dengan dua gram emas batangan. Jika dilebihkan harga salah satu di antaranya, maka kelebihan itu termasuk riba al-fadhl, dan apabila

49 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, …, hlm. 74

Referensi

Dokumen terkait

• Rentang waktu yang cukup panjang untuk melakukan ekplorasi terhadap kemungkinan perubahan perilaku yang terjadi serta mengantisipasi kegagalan atau hambatan yang muncul di

suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif, yang dilakukan oleh pelaku tindakan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan- tindakannya dalam melaksanakan

Penelitian ini dilatar belakangi oleh oleh turunnya moral dan keimanan generasi kita. Lemahnya pendidikan agama Islam kepada anak mengakibatkan ingkarnya mereka dari agama

SKRIPSI KOMPARASI MODEL REGRESI LOGISTIK BERGANDA DIAN CHANDRAYAN1... ADLN Perpustakaan

-PSD Permukiman Jalan Masjid Almuhtadin Pematang Gubernur Muara Bangkahulu m' 300 300 100,0 Dimanfaatkannya Saluran Drainase/Gorong-Gorong Peningkatan/ Pemeliharaan Drainase

Hasil akhir dari program pembekalan ini akan diperoleh topik-topik praktikum ekologi yang mampu mem-berikan pembekalan dalam meningkatkan

Juga untuk menanyakan hal yang berkaitan dengan waktu, tempat, keadaan, jumlah, baik yang berakal maupun yang tidak. • Ayyu = digunakan untuk menanyakan dengan mengkhususkan salah

Pengaruh negatif variabel kedalaman terhadap jenis hasil tangkapan juga dibuktikan dengan data sampling lapangan dan adanya layout peta sebaran kedalaman perairan