• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (Sig) untuk Kajian Kartografis Persebaran Penyakit HIV di Kota Semarang Tahun 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (Sig) untuk Kajian Kartografis Persebaran Penyakit HIV di Kota Semarang Tahun 2012"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK KAJIAN KARTOGRAFIS PERSEBARAN PENYAKIT HIV

DI KOTA SEMARANG TAHUN 2012 Yeni Nur Afifah

yeni.nur.a@ugm.ac.id Endang Saraswati esaraswati@ugm.ac.id

ABSTRAK

Kota Semarang merupakan kota dengan jumlah kasus penyakit HIV tertinggi di Jawa Tengah. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya kegiatan transaksi seks berakibat pada tingginya persebaran penyakit HIV di suatu wilayah, diantaranya keberadaan pusat lokalisasi, keberadaan pelabuhan, jumlah pengangguran, tingkat kemiskinan, dan tingkat kepemilikan kendaraan bermotor pribadi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis data sekunder dengan memanfaatkan spatial statistics pada software Sistem Informasi Geografis (SIG). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyajian data dengan menggunakan peta lebih informatif dibandingkan tabel statistik. Pola persebaran HIV adalah mengelompok dengan tingkat pengelompokan cukup tinggi. Hot spot HIV berada di Semarang Utara, Semarang Barat, dan Semarang Selatan. Jarak dari pelabuhan menjadi faktor yang berpengaruh signifikan di Semarang Barat, Tugu, Ngaliyan, Mijen, dan Gunungpati, sedangkan di Semarang Tengah adalah kepemilikan kendaraan bermotor pribadi. Kedua faktor tersebut sama-sama berpengaruh signifikan di Semarang Utara.

Kata Kunci: HIV, Kajian Kartogarfis, SIG.

ABSTRACT

Semarang City is the highest HIV disease case city in Central Java. The factors which affect the high transactional sex activities resulted high HIV disease spread in the region, like the localization existence, the port existence, the amount of unemployment, poverty level, and the level of private vehicle ownership. This research used secondary data analysis method by utilizing spatial statistics from Geographic Information Systems (GIS). The results showed that the presentation of the data by using the map is more informative than statistical tables. The pattern of HIV spread was clustered with high grouping. The HIV Hot spot located in the North Semarang, West Semarang, and South Semarang. The distance of the port became significant factor in and West Semarang, Tugu, Ngaliyan, Mijen, and Gunungpati, and the significant factor in the Central Semarang is level of private vehicle ownership. Both of them became significant factors in the North Semarang.

(2)

PENDAHULUAN

Kota Semarang sebagai salah satu kota besar di Indonesia sekaligus ibukota Provinsi Jawa Tengah menjadi daerah dengan jumlah penderita baik HIV maupun AIDS terbesar dengan 865 orang positif HIV dan 381 orang positif AIDS, terhitung dari tahun 1993 hingga September 2013 yang tersebar di 16 kecamatan (KPA Jawa Tengah, 2013).

Peta adalah suatu representasi atau gambaran unsur-unsur atau kenampakan abstrak, yang dipilih dari permukaan bumi, atau yang ada kaitannya dengan permukaan bumi atau benda-benda angkasa, dan umumnya digambarkan pada suatu bidang datar dan diperkecil/diskalakan (ICA, 1973 dalam Wijayanti, 2005). Peta dapat memberikan gambaran spasial berbagai macam fenomena yang terjadi di permukaan bumi secara lebih menyeluruh dan sederhana, termasuk fenomena epidemiologi yang terjadi pada suatu wilayah. Dengan menggunakan peta, kasus epidemiologi seperti HIV yang terjadi di suatu wilayah dapat ditampilkan dalam bentuk dua dimensi yang diperkecil sehingga fenomena tersebut lebih mudah dipahami yang selanjutnya dapat diarahkan untuk pemecahan masalah.

Semakin berkembangnya kebutuhan informasi pada era modern ini, mendukung semakin berkembangnya Sistem Informasi Geografis (SIG). Dengan menggunakan SIG memungkinkan dilakukannya integrasi data spasial dari beberapa sumber yang berbeda. SIG mampu memanipulasi, menganalisis, dan memvisualisasikan gabungan dari beberapa data (Danoedoro, 1996). Inilah yang menjadi salah satu alasan semakin berkembangnya pemanfaatan SIG dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang kesehatan. Dengan adanya SIG, peta tidak lagi menjadi hasil akhir dalam suatu kegiatan karena SIG dapat memudahkan analisis peta-peta yang dihasilkan. Bahkan peta-peta yang dihasilkan dapat digunakan sebagai masukan untuk mencari solusi dari berbagai permasalahan yang terjadi.

Dinas Kesehatan Kota Semarang sebenarnya sudah memiliki peta yang menggambarkan persebaran penyakit HIV tetapi peta tersebut masih sangat sederhana dan belum dilakukan analisis lebih lanjut. Padahal dengan memanfaatkan peta persebaran kasus epidemiologi, dapat dilakukan analisis secara lebih mendalam sehingga hal-hal yang tidak terungkap melalui data tabuler seperti pola persebaran, hot spot, dan hubungan HIV dengan faktor yang mempengaruhinya dapat diungkapkan. TUJUAN

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Menyajikan data penyakit HIV dan faktor-faktor yang mempegaruhinya di Kota Semarang dalam bentuk peta sesuai kaidah kartografis tahun 2012 dengan bantuan SIG.

2. Mengetahui pola persebaran dan hot spot persebaran HIV di Kota Semarang melalui analisis peta yang dihasilkan dengan memanfaatkan SIG.

3. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap persebaran HIV di Kota Semarang melalui analisis peta yang dihasilkan dengan memanfaatkan SIG.

METODEPENELITIAN 1. Daerah Kajian

Penelitian dilakukan di Kota Semarang dengan batas sesuai batas administrasi. Permasalahan seputar HIV di Kota Semarang sudah cukup serius. Seperti yang dijelaskan di dalam latar belakang sebelumnya, penderita HIV sudah disandang hampir lapisan masyarakat di seluruh kecamatan, baik tua atau muda, baik laki-laki atau perempuan. Jumlah penderita HIV di Kota Semarang pun menempati posisi tertinggi di Jawa Tengah dengan selisih yang cukup jauh dengan kabupaten/kota lainnya di Jawa Tengah. Kota ini terdiri atas 16 kecamatan, terletak di 6050’ – 7010’ LS dan 109035’ – 110050’ BT. Dilihat dari aspek demografi, berdasarkan catatan

(3)

penduduk tahun 2012, jumlah penduduk di Kota Semarang adalah 1.628.590 jiwa. 2. Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 1. Diagram Alir Metode Penelitian. 3. Persiapan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data jumlah kasus HIV per kecamatan di Kota Semarang tahun 2012 yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Semarang; peta administrasi Kota Semarang dari Bappeda; data koordinat Lokalisasi Sunan Kuning dan data koordinat Pelabuhan Tanjung Mas dari hasil plotting GPS; data jumlah penduduk miskin, data jumlah pengangguran, dan data jumlah kendaraan bermotor pribadi dari Badan Pusat Statistik Kota Semarang. Alat yang digunakan adalah software ArcGIS 9.3, GPS, dan MS Office. Unit analisis yang digunakan adalah batas administrasi kecamatan karena data yang tersedia adalah data per kecamatan sedangkan untuk data dalam unit analisis lebih kecil seperti desa masih belum tersedia secara lengkap.

4. Evaluasi Data

Evaluasi data diperlukan dalam penelitian ini karena data yang dikumpulkan adalah data mentah. Akibatnya, diperlukan evaluasi untuk menilai dan memilah data berdasarkan macam, ukuran, tahun pembuatan, dan persebaran data. Penilaian dan pemilahan data sangat menentukan data yang akan digunakan nantinya yang disesuaikan dengan tujuan penelitian agar data relevan.

5. Pengolahan Data a. Klasifikasi Data

Klasifikasi data merupakan proses pengelompokan data berdasarkan karakteristik tertentu. Data yang terklasifikasi umumnya akan mengalami generalisasi. Proses klasifikasi berkaitan dengan ukuran data, persepsi, dan variabel visual yang digunakan. Proses klasifikasi dilakukan dengan menggunakan lima sistem kelas interval tertatur, aritmatik, geometrik, kuantil, dan dispersal graph.

b. Uji Klasifikasi Terbaik

Uji klasifikasi terbaik dilakukan untuk mendapatkan sistem klasifikasi terbaik dengan menggunakan keseluruhan data (16 kecamatan). Pengambilan sampel tidak dilakukan karena datanya relatif. Gambar 2 berikut ini adalah peta administrasi yang menggambarkan sebaran 16 kecamatan di Kota Semarang.

(4)

6. Desain Peta a. Desain Peta Dasar

Peta dasar diperlukan dalam pembuatan peta tematik sebagai dasar pembuatan peta-peta lain. Fungsi peta-peta dasar adalah sebagai dasar peletakkan dan penyajian informasi data tematik yang dipetakan. Peta dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah Peta Administrasi Kota Semarang yang diperoleh dari Bappeda Kota Semarang skala 1:150.000 yang telah disederhanakan. b. Desain Layout Peta

Desain layout peta pada umumnya adalah pembuatan rencana penempatan informasi yang akan ditampilkan dalam peta. Dalam desain layout perlu mempertimbangkan ketersediaan ruang kosong, ukuran huruf, jumlah simbol, dan keseimbangan letak informasi tepi peta (gambar 3).

Gambar 3. Desain Layout Peta. Keterangan:

c. Desain Simbol Peta

Simbol merupakan bahasa peta sehingga simbol sangat penting dalam proses komunikasi peta. Simbol yang baik adalah simbol yang jelas, sederhana, menarik, dan kontras antara satu elemen dengan elemen lain sehingga mudah dibaca dan dipahami pengguna peta. Untuk memilih simbol yang tepat perlu memperhatikan ukuran data yang akan dipetakan. Contoh desain simbol peta yang akan dibuat dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Desain Simbol Peta

7. Data Analysis a. Pembuatan Peta

Tahap analisis data dimulai dengan pembuatan peta persebaran kasus HIV dan faktor-faktor yang mempengaruhinya meliputi peta jarak kecamatan dari lokalisasi, peta jarak kecamatan dari pelabuhan, peta tingkat kemiskinan, peta jumlah pengangguran, dan peta tingkat kepemilikan kendaraan bermotor pribadi. Peta persebaran kasus HIV, peta tingkat kemiskinan, peta jumlah pengangguran, dan peta tingkat kepemilikan kendaraan bermotor pribadi dibuat dengan memasukkan data-data statistik yang telah terklasifikasi ke dalam peta dasar (peta administrasi). Peta jarak kecamatan dari lokalisasi dan peta jarak kecamatan dari pelabuhan dibuat dengan menghitung jarak titik koordinat lokalisasi dan pelabuhan ke titik sentroid masing-masing kecamatan. Jarak tersebut selanjutnya diklasifikasi dan dimasukkan ke dalam peta dasar. Peta-peta yang telah dibuat inilah yang digunakan sebagai input untuk melakukan analisis. b. Analisis Pola Persebaran Objek

Analisis pola persebaran objek dimaksudkan untuk mengetahui pola persebaran penyakit HIV di Kota Semarang. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode spatial autocorrelation Moran’s I dan high/low clustering. Spatial autocorrelation Moran’s I merupakan salah satu metode untuk mengetahui pola persebaran objek di permukaan bumi. Metode ini mengidentifikasi pola persebaran objek dengan mempertimbangkan atributnya. Selain melihat lokasi objek, 1. Judul peta 2. Orientasi 3. Skala grafis 4. Skala numerik 5. Inset peta 6. Legenda

7. Sistem proyeksi dan sistem koordinat

8. Sumber data

9. Pembuat peta dan logo instansi 10. Nomor seri peta

(5)

pengambilan keputusan juga melihat nilai dari objek tersebut. Analisis dengan metode ini menghasilkan nilai indeks yang dikenal dengan indeks Moran. Metode high/low clustering merupakan suatu metode analisis untuk menentukan pengelompokan.

c. Analisis Hot Spot

Analisis hot spot ini dimaksudkan untuk mengetahui daerah mana saja yang menjadi hottest area atau area yang menjadi pusat pengelompokan penyakit HIV di Kota Semarang. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan Hot Spot Analysis (Getis-Ord Gi*) yang terdapat pada spatial statistics tools ArcGIS. User akan mengetahui kecamatan yang menjadi hot spot, cold spot, dan area netral dari peta output analisis hot spot yang dilakukan.

d. Analisis Faktor Pengaruh

Analisis faktor pengaruh digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor terkait HIV seperti jarak dari lokalisasi, jarak dari pelabuhan, jumlah pengangguran, tingkat kemiskinan, dan tingkat kepemilikan kendaraan bermotor pribadi terhadap persebaran penyakit HIV. Analisis dilakukan secara kuantitatif dilakukan dengan menggunakan Geographically Weighted Regression (GWR). GWR merupakan pengembangan model regresi global yang konsepnya diambil dari regresi non-parametrik. Variabel dependen (y) yang dalam hal ini adalah persebaran HIV diprediksi dengan variabel independen atau faktor pengaruhnya bergantung pada lokasi data. Model persamaan pada GWR adalah sebagai berikut (Fotheringham, 2002).

𝑦𝑦𝑖𝑖 = 𝛽𝛽0 (𝑢𝑢𝑖𝑖,𝑣𝑣𝑖𝑖) +� 𝛽𝛽 (𝑢𝑢𝑖𝑖,𝑣𝑣𝑖𝑖)𝑥𝑥𝑖𝑖𝑖𝑖 +𝜀𝜀𝑖𝑖 𝑝𝑝

𝑖𝑖=1 Keterangan:

yi = nilai observasi variabel respon lokasi ke-i

(ui, vi) = titik koordinat lokasi i

βk (ui, vi) = koefisien regresi variabel independen ke-k loke-kasi ke-ke-i

Model GWR memiliki pembobot yang mewakili letak data observasi. Pembobot ini dibentuk dari fungsi kernel untuk mengestimasi parameter dalam model. Selain fungsi kernel, di dalam GWR juga dikenal istilah bandwith untuk mengatur varians dan bias model yang berpengaruh pada ketepatan model terhadap data.

Analisis faktor yang berpengaruh signifikan terhadap HIV di Kota Semarang dilakukan dengan membandingkan nilai t pada masing-masing faktor pengaruh dengan t tabel. Nilai t digunakan untuk mengetahui apakah faktor tertentu berpengaruh signifikan atau tidak terhadap persebaran HIV di masing-masing kecamatan. Di bawah ini adalah rumus untuk menghitung nilai t. 𝑡𝑡= 𝑏𝑏1− 𝛽𝛽1 𝑠𝑠�𝑛𝑛 ∑ 𝑥𝑥2𝑛𝑛(∑ 𝑥𝑥2) Dimana: 𝑏𝑏1 = penduga untuk 𝛽𝛽1 s = standar deviasi

𝛽𝛽1 = koefisien regresi faktor pengaruh 1 n = banyak data/pengamatan

Perhitungan statistik uji signifkansi faktor-faktor yang berpengaruh tersebut dilakukan di setiap kecamatan di Kota Semarang. Nilai t hitung tersebut dibandingkan dengan t tabel dengan signfikansi α = 10% untuk uji signifikansi dua arah. Suatu faktor dikatakan berpengaruh signifikan di satu kecamatan tertentu jika t hitung lebih besar dibandingkan t tabel.

e. Uji Validasi Model GWR

Uji validasi perlu dilakukan untuk mengetahui apakah model model GWR yang dihasilkan valid atau tidak. Uji validasi dilakukan dengan mengkorelasikan data jumlah penderita HIV per kecamatan tahun 2012 terhadap predicted value hasil model GWR. Fasilitas SPSS yang digunakan untuk analisis korelasi adalah Bivariate.

(6)

HASILDANPEMBAHASAN

Penelitian ini menghasilkan peta-peta, grafik, dan tabel untuk menjelaskan tujuan ingin dicapai. Peta distribusi penderita penyakit HIV menurut kecamatan (lihat gambar 4) memperlihatkan jumlah penderita penyakit HIV tertinggi adalah di Semarang Utara dengan 19 – 21 orang. Diikuti Semarang Selatan, Semarang Barat, dan Pedurungan dengan 13 – 18 orang. Kecamatan dengan jumlah penderita penyakit HIV terendah adalah Mijen dengan 2 – 4 orang.

Gambar 4. Peta Tingkat Persebaran HIV

Peta distribusi penderita penyakit HIV menurut kecamatan Kota Semarang menunjukkan adanya pengelompokan persebaran HIV di wilayah bagian Utara dan bagian Timur Kota Semarang. Hasil analisis pola persebaran objek dengan metode spatial autocorrelation Moran’s I menunjukkan pola yang terbentuk adalah cenderung mengelompok pada level signifikansi 0,05 dan critical value 1,96 dengan indeks Moran’s 0,18 dan Z score 1,98 (lihat gambar 5). Hasil analisis high/low clustering juga menunjukkan tingkat pengelompokan cukup tinggi pada signfikansi 0,05 dan critical value 1,96 dengan general G index 0,37 dan Z score 2,3.

Gambar 5. Hasil Analisis Spatial Autocorrelation Moran’s I dan High/low Clustering

Analisis faktor pengaruh dilakukan dengan analisis GWR. Tabel hasil analisis GWR. Hasil Analisis GWR menunjukkan bahwa nilai condition number tertinggi adalah 15,0673220267 terdapat di Banyumanik sedangkan nilai terendah adalah 10,2099868413 di Semarang Tengah. Nilai tersebut menunjukkan model regresi dapat dipercaya karena keseluruhan lebih kecil dari 30. Nilai local R2 terendah adalah

0,58549175811 di Kecamatan

Gajahmungkur dan nilai tertingginya adalah 0,781648385397 di Kecamatan Tugu. Nilai local R2 merupakan nilai yang menunjukkan kekuatan hubungan pada model. Semakin mendekati 1, hubungan akan semakin baik dan kuat.

Nilai intercept merupakan nilai yang menunjukkan koefisien dasar regresi atau konstanta (b0). Nilai b0 ini pun berbeda-beda di tiap kecamatan. Nilai b0 terendah adalah 11,8236790791 di Gajahmungkur dan nilai tertingginya adalah 15,4466562864 di Tugu. Standard error untuk b0 juga dapat dikatakan kecil sehingga tingkat kepercayaannya tinggi. Standar error merupakan tingkat kesalahan yang terjadi pada model yang menunjukkan tingkat kepercayaan model. Nilai standard error untuk b0 berkisar 3,62154355744 – 5,45910555053.

Koefisien jarak dari lokalisasi (b1) terendah adalah -0,0000144727644617 di Ngaliyan dan nilai tertinggi adalah -0,000283890586869 di Semarang Barat. Nilai negatif pada koefisien regresi menunjukkan bahwa jarak dari lokalisasi memiliki pengaruh berkebalikan dengan HIV. Semakin jauh jarak dari lokalisasi, maka semakin sedikit penderita penyakit HIV. Sebaliknya, jika semakin dekat jarak dari lokalisasi, maka penderita penyakit HIV akan semakin banyak.

Nilai koefisien regresi untuk faktor jarak dari pelabuhan (b2) tertinggi adalah -0,000952728060284 di Mijen dan terendah adalah -0,000514161695908 di Semarang Barat. Nilai b2 pada tiap kecamatan adalah negatif yang menunjukkan adanya pengaruh dengan arah terbalik. Artinya, semakin jauh

(7)

jarak dari pelabuhan, maka penderita penyakit HIV di kecamatan tersebut semakin rendah. Sebaliknya, jika jarak semakin dekat, maka penderita penyakit HIV di kecamatan tersebut semakin tinggi. Nilai b2 dapat dikatakan memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi karena standard error-nya rendah. Nilai standard error untuk b1 berkisar 0,00035721077374 – 0,000438350001036.

Tingkat pengangguran memiliki pengaruh searah dengan HIV karena nilai koefisien regresi untuk tingkat pengangguran (b3) memiliki nilai positif di beberapa kecamatan dan bernilai negatif yang menunjukkan pengaruh dengan arah terbalik di kecamatan lainnya. Nilai b3 terendah adalah 0,00000670686976403 di Candisari, sedangkan tertinggi adalah 0,000203856048585 di Mijen. Artinya, hubungan terkuat antara tingkat pengangguran dengan HIV adalah di Mijen.

Faktor pengaruh lain adalah tingkat kemiskinan (b4) yang memiliki pengaruh berbeda di beberapa kecamatan. Nilai b4 terendah adalah - 0,0000063546856992 di Candisari dan tertinggi adalah 0,000552675246401 di Tugu.

Faktor pengaruh terakhir adalah tingkat kepemilikan kendaraan bermotor pribadi. Di 16 kecamatan yang ada di Kota Semarang, tingkat kepemilikan kendaraan bermotor pribadi memiliki nilai koefisien (b5) positif sehingga pengaruh yang terjadi bersifat searah. Nilai b5 terendah adalah 0,000133040496525 di Kecamatan Tugu dan yang tertinggi adalah 0,000425132631883 di Kecamatan Gayamsari. Artinya, pengaruh paling kuat antara tingkat kepemilikan kendaraan pribadi dengan HIV terjadi di Kecamatan Gayamsari dan pengaruh paling lemah adalah di Kecamatan Tugu.

Selain nilai-nilai yang disebutkan sebelumnya, analisis GWR juga memberikan informasi standard error model yang terbentuk secara keseluruhan. Nilai standard error model yang dihasilkan adalah antara 0,70618605668 - 3,41512764952.

Nilai tersebut dapat dikatakan cukup rendah sehingga tingkat kepercayaan model hasil GWR ini cukup tinggi. Dari nilai-nilai hasil model GWR dapat diperoleh persamaan-persamaan regresi tiap kecamatan yang dapat digunakan untuk prediksi jumlah penderita penyakit HIV di masa yang akan datang. Sebagai contoh, Kecamatan Semarang Barat memiliki persamaan regresi sebagai berikut.

𝑦𝑦= 14,8447470243− 0,000283890586869X1−

0,000841445689412X2− 0,00016937283655X3 + 0,000552639852306X4 + 0,000300259057073X5 + 0,163125444161,

Dengan X1 adalah faktor jarak dari lokalisasi, X2 adalah faktor jarak dari pelabuhan, X3 adalah faktor tingkat pengangguran, X4 merupakan faktor tingkat kemiskinan, dan X5 adalah faktor tingkat kepemilikan kendaraan pribadi. Untuk nilai maksimal-minimal hasil GWR dapat dilihat pada tabel 2 berikut.

Tabel 2. Nilai Maksimal-Minimal Hasil Model GWR

Peta tingkat persebaran HIV Kota Semarang merupakan input untuk membuat peta hot spot HIV (gambar 6). Dari peta tersebut diketahui bahwa kecamatan yang menjadi hot spot HIV meliputi Semarang Utara, Semarang Barat, Semarang Selatan, Semarang Timur, dan Gayamsari. Semarang Utara, Semarang Barat, dan Semarang Selatan memiliki kemungkinan menjadi hot spot lebih tinggi dibandingkan dengan Semarang Timur dan Gayamsari dengan tingkat kemungkinan mencapai 95%. Ketiga kecamatan tersebut lebih besar kemungkinannya menjadi hot spot karena ketiganya memiliki tingkat persebaran HIV yang tinggi dan dikelilingi oleh kecamatan-kecamatan yang persebaran HIV-nya tinggi.

(8)

Gambar 6. Peta Hot Spot HIV

Peta faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap persebaran HIV dibuat berdasarkan perbandingan nilai t hitung dengan t tabel pada masing-masing koefisien regresi faktor-faktor pengaruh. Dari peta faktor yang berpengaruh signifikan terhadap HIV di Kota Semarang (lihat gambar 7), dapat dilihat bahwa masing-masing kecamatan memiliki faktor yang berpengaruh signifikan terhadap HIV berbeda-beda.

Di beberapa kecamatan seperti Tugu, Semarang Barat, Ngaliyan, Mijen, dan Gunungpati, faktor yang berpengaruh signifikan adalah jarak dari pelabuhan. Di Kecamatan Semarang Tengah faktor yang berpengaruh signifikan adalah kepemilikan kendaraan pribadi. Faktor kepemilikan kendaraan pribadi dan jarak dari pelabuhan keduanya memberikan pengaruh yang signifikan di Semarang Utara. Namun, terdapat pula beberapa kecamatan yang tidak memiliki faktor yang berpengaruh secara signifikan. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah Gayamsari, Semarang Selatan, Semarang Timur, Genuk, Pedurungan, Gajahmungkur, Candisari, Tembalang, dan Banyumanik. Tidak adanya faktor yang berpengaruh secara signifikan tersebut kemungkinan karena pengaruh kelima faktor tersebut hampir sama atau adanya pengaruh faktor lain yang lebih signifikan tetapi tidak dikaji dalam penelitian ini.

Gambar 7. Peta Faktor yang Berpengaruh Signifikan Hasil analisis korelasi (lihat tabel 3) menunjukkan bahwa antara predicted value model GWR dan tingkat persebaran HIV memiliki nilai pearson correlation 0,898 yang berarti bahwa keduanya memiliki korelasi kuat karena nilainya lebih dari 0,5. Nilai signifikansi yang dihasilkan juga kurang dari 0,05 yakni 0,01 yang menunjukkan bahwa ada korelasi yang nyata antara keduanya. Adanya korelasi yang kuat antara predicted value model GWR dengan tingkat persebaran HIV menunjukkan bahwa model GWR yang dihasilkan cukup baik dan dapat dipercaya.

Tabel 3. Hasil Analisis Korelasi Model

GWR_Pred HIV_Asli GWR_Pred Pearson Correlation 1 .898**

Sig. (2-tailed)

.000 N

16 16 HIV_Asli Pearson Correlation

.898** 1

Sig. (2-tailed)

.000 N

16 16 Peta memiliki kelebihan sebagai media informasi dan komunikasi dibandingkan media lainnya karena peta memiliki kemampuan untuk menggambarkan persebaran suatu fenomena secara keruangan. Dalam penelitian ini, pembuatan peta-peta, dari peta pokok, peta bantu, hingga peta hasil memiliki tahap yang cukup panjang. Ketersediaan dan kelengkapan data

(9)

menjadi masalah utama dalam penelitian ini. Evaluasi data pokok HIV menjadi tahap yang paling sulit karena data yang tersedia tidak lengkap dan disajikan dalam berbagai media, yakni tabel, peta, dan diagram sehingga perlu penggabungan data agar dapat diperoleh data yang lengkap.

Hampir seluruh proses yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Mulai dari proses pembuatan peta hingga tahap analisis peta yang dihasilkan. Pada proses pembuatan peta, SIG sangat membantu dalam input data. Dengan SIG, proses input data, proses editing, penyimpanan, dan pengelolaan data untuk pemetaan HIV dan faktor-faktor pengaruhnya dapat dilakukan dengan mudah, praktis, dan efisien mengingat proses-proses tersebut tidak dapat diselesaikan dalam sekali waktu. Manfaat SIG dalam penelitian ini sangat dirasakan pada tahap analisis peta yang dihasilkan meliputi analisis pola persebaran HIV, penentuan hot spot HIV, keterhubungan persebaran HIV dengan faktor-faktor pengaruhnya.

Analisis keterhubungan persebaran HIV terhadap faktor pengaruhnya dengan menggunakan SIG dilakukan melalui analisis Geographically Weighted Regression (GWR). Kelebihan dari analisis GWR dengan menggunakan SIG adalah analisis dilakukan per kecamatan sehingga masing-masing kecamatan memiliki nilai yang berbeda-beda, baik dari konstanta, koefisien regresi, nilai residu, hingga standard error-nya. Dengan hasil yang berbeda-beda tersebut, maka tiap kecamatan akan memiliki persamaan/model regresi yang berbeda-beda pula. Selain itu, GWR ini juga menghitung condition number tiap kecamatan yang dapat digunakan untuk menilai ada tidaknya multikolinieritas sehingga tidak perlu lagi melakukan uji multikolinieritas.

Kekurangan analisis keterhubungan dengan menggunakan GWR adalah variabel independen/explanatory variable yang digunakan tidak bisa lebih dari lima sehingga jumlahnya terbatas. Padahal HIV

merupakan penyakit yang disebabkan banyak faktor. Akibatnya, variabel independen untuk kajian HIV harus dibatasi. Kekurangan lain adalah data-data yang akan dianalisis baik variabel dependen maupun variabel independen tidak boleh memiliki nilai 0. Analisis GWR juga tidak dapat dijalankan ketika jumlah pengamatan/unit analisisnya terlalu besar hingga mencapai ribuan. Kekurangan lain dari analisis GWR ini adalah tidak menampilkan nilai t hitung dari tiap unit analisis sehingga untuk mengetahui nilai t hitung harus dilakukan sendiri secara manual. Walaupun banyak kekurangan, analisis GWR ini cukup membantu dalam analisis keterhubungan karena kelebihan-kelebihan yang dimilikinya dan memberikan model regresi yang bersifat lokal untuk setiap unit analisis. Didukung pula analisis GWR memiliki tahapan yang cukup singkat dibandingkan analisis regresi klasik.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis di atas, dapat diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut.

1. Penyajian data dengan menggunakan peta secara terlihat jelas dan dapat memberikan informasi sebaran data penderita penyakit HIV dan faktor pengaruhnya secara spasial atau mampu memberikan informasi posisi keruangan objek dibandingkan dengan tabel statistik.

2. Pola persebaran penyakit HIV di Kota Semarang tahun 2012 memiliki pola mengelompok dengan tingkat pengelompokan yang cukup tinggi. Hot spot HIV terletak di Kecamatan Semarang Utara, Semarang Barat, dan Semarang Selatan.

3. Faktor yang berpengaruh signifikan terhadap HIV di Kecamatan Semarang Barat, Kecamatan Tugu, Kecamatan Ngaliyan, Kecamatan Mijen, dan Kecamatan Gunungpati adalah jarak dari pelabuhan, di Kecamatan Semarang Tengah faktor yang berpengaruh signifikan adalah tingkat kepemilikan kendaraan bermotor pribadi. Di Kecamatan Semarang Utara, faktor yang

(10)

berpengaruh signifikan adalah jarak dari pelabuhan dan tingkat kepemilikan kendaraan bermotor pribadi, sedangkan di Kecamatan Banyumanik, Kecamatan Tembalang, Kecamatan Gajahmungkur, Kecamatan Candisari, Kecamatan Semarang Selatan, Kecamatan Semarang Timur, Kecamatan Gayamsari, Kecamatan Pedurungan, dan Kecamatan Genuk tidak ada faktor yang berpengaruh signifikan.

UCAPANTERIMAKASIH

Puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah melimpahkan banyak karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Kajian Kartografis Persebaran Penyakit HIV di Kota Semarang” dengan baik.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

a. Dosen-dosen pembimbing, Dra. Endang Saraswati, M.S. dan Drs. Ibnu Kadyarsi. b. Dekan Fakultas Geografi, Prof. Dr.

Rijanta, M.Sc.

c. Rektor Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Pratino, M.Soc.Sc.

d. Pemerintah Kota Semarang, Dinas Kesehatan, Bappeda, Badan Pusat Statistik, dan segenap instansi pemerintah Kota Semarang,

e. rekan-rekan penulis dan masyarakat Kota Semarang yang telah banyak memberikan bantuan untuk memperlancar penelitian ini,

f. dan tidak lupa kepada keluarga tercinta yang senantiasa memberikan dukungan dan kasih sayang untuk kesuksesan dan kebaikan penulis.

REFERENCES

Agyei-Mensah S. (2006) Poverty and HIV Prevalence in Ghana: A Geographical Perspective. Geo-Journal 66, hal. 311-324. Aziz, Lukman & Rachman, Ridwan. (1977).

Peta Tematik. Bandung: Departemen Geodesi Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITB.

Badan Pusat Statistik Kota Semarang. (2012).

Semarang dalam Angka. Semarang: BPS Kota Semarang.

Badan Pusat Statistik. (2001). Penduduk

Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2000. Buku I. Jakarta: BPS

Beck-Sague, Consuelo dan Beck, Caridad.

(2004). Deadly Diseases and Epidemics

HIV/AIDS. USA: Chelsea House Publishers. Bertin, J.. (1983). Semiology of Graphics:

Diagram Network Maps, translate by William J. Berg. Wisconsin: The University of Wisconsin Press.

Bos, E.S.. (1977). Thematic Cartography.

Yogyakarta: Faculty of Geography Gadjah Mada University Press.

Danoedoro, Projo. (1996). Pengolahan Citra Digital. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.

DeMers, M.N.. (1997). Fundamental of

Geographic Information Systems. New York: John Wiley & Sons Inc.

Dinas Kesehatan Kota Semarang. (2012). Profil Kesehatan Kota Semarang. Semarang: Dinas Kesehatan Kota Semarang.

Dirjen PPM & PL, Departemen Kesehatan RI.

(2007). Pedoman Nasional Perawatan

Dukungan dan Pengobatan Bagi ODHA.

Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Eurobarometer. (2006). AIDS Prevention.

Special Eurobarometer 240/Wave 64.1 and 64.3 – TNS Opinion & Social. Eropa: Directorate General Press and Communication.

Hugo, Graeme.(2001). Mobilitas Penduduk dan HIV/AIDS di Indonesia. Adelaide: Adelaide University Australia.

Jeefoo, Phaisarn. (2012). Spatial Pattern Analysis and Hostspot of HIV/AIDS in Phayao Province, Thailand. Archives Des Sciences, 65 (9), hal. 37-50.

Kamadi, Amstrong. (2002). The Use of GIS in Mapping, Analysis and Evaluation of HIV/GIS Occurrence Patterns, Dalam: FIG XXII International Congress, Washington, D.C., USA.

(11)

Keates, J.S.. (1973). Cartographic Design and Production. London: Longma Group Ltd. Latifah, N., Saraswati, E., & Widayani, Prima.

(2012). Pemetaan Data Penyakit Menular di Kota Semarang. Jurnal Bumi Indonesia.

Muehrcke, Philiph C. & Muehrcke, Juliana O. (1978). Map Use: Reading, Analysis, and Interpretation. Wisconsin: JP Publications. Obidoa, Chinekwu. (2012). A Geographical

Analysis of HIV/AIDS Infection in Nigeria, 1991 – 2001. Journal of Social, Behavioral, and Health Science, 6 (1), hal. 13-29.

Robinson, Arthur H., Sale, Randall D., Morrison, Joel L., & Muehrcke, Philip C.

(1984). Elements of Cartography Fifth

Edition. New York: John Wiley & Sons. Santoso, Fitriana Putri, Pingit, Sri, & Purhadi.

(2012). Faktor-faktor Eksternal Pneumonia pada Balita di Jawa Timur dengan Pendekatan Geographically Weighted Regression. Jurnal Sains dan Seni ITS 1 (1), hal 38-42.

Sukoco, Mas. (1984). Kartografi dan

Peranannya dalam Proses Perencanaan Regional. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.

Suryoputo, A., Ford, Nicholas J., dan Shaluhiyah, Zahroh. (2006). Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Remaja di Jawa Tengah: Implikasinya terhadap Kebijakan dan Layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi. Makara Kesehatan, 10 (1), hal.29-40.

Tim Penyusun. (1993). Panduan Program

Inpres Desa Tertinggal. Jakarta: Bappenas. Tim Penyusun. (2001). Kesehatan Reproduksi.

Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Tim Penyusun. (2011). Materi Pembelajaran

Program Spektrum. Jakarta: BKKBN.

Tladi LS. (2006). Poverty and HIV/AIDS in South Africa: An empirical contribution.

Sahara: Journal of Social Aspects of

HIV/AIDS Research Alliance 2006;3(1):369– 381.

Ulin PR. (1992). African Women and AIDS: Negotiating Behavioral Change. Soc Sc Med. 1992;34(1):63–73.

Van Westen, C. 2009. Multi Hazard Risk

Assessment, Educational Guide Book, ITC. Enschede: The Netherlands.

WHO. (2004). Experiences of 100% Condom Use Programme in Selected Countries of

Asia. WHO Library Cataloguing in

Publication Data, Regional Office for the Western Pasific.

WHO. (2007). Technical Working Group for The Development of an HIV/AIDS Diagnostic Support Toolkit: p.2

Widayanti, Myta Retno. (2005). Pemetaan Data Penyakit yang Dapat Menimbulkan Wabah di

Kota Yogyakarta Tahun 2005. Skripsi.

Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.

DAFTAR LAMAN

Group Project 05. (2013). Land-use and

Violence: An Analysis of Predictive Factors of Expulsion in Colombia. Diterima 04 Juni

2014, dari http://www.stanford.edu/eessgisfall2013/grou

p-projects/group-5/methodology/hotspots Fajar. (2010). Penularan HIV/AIDS: Dari

Lokalisasi Sampai Warnet. Diterima 21

Maret 2014, dari https://rpsabambuapus.depsos.go.id/modules.

php?name=News&file=article&sid=1103 Harahap, Syaiful. (2013). 147.106, Kasus

HIV/AIDS yang Tercatat di Indonesia Sampai Maret 2013. Diterima 6 Oktober

2013, dari http://www.aidsindonesia.com/2013/07/1471

06-kasus-hivaids-yang-tercatat-di.html. Noviansyah, Aditya. (2013). Pantura rawan

HIV/AIDS. Diterima 6 Oktober 2013, dari http://www.tempo.co.id.

Texas State Department of Health Services. TB/HIV/STD Epidemiology and Surveillance

Branch, Texas HIV Surveillance Report:

2009 Annual Report. Diakses tanggal 25

Oktober 2013, dari http://www.dshs.state.tx.us/hivstd/reports/def

Gambar

Gambar 1. Diagram Alir Metode Penelitian.
Gambar 3. Desain Layout Peta.
Gambar 4. Peta Tingkat Persebaran HIV
Tabel 2. Nilai Maksimal-Minimal Hasil  Model GWR
+2

Referensi

Dokumen terkait

Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang disebut SMK3 adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi,

Konsep koaljabar universal yang merupakan dualitas dari aljabar dapat dipandang sebagai suatu teori dalam sistem state based.. Dalam kotak hitam ( black boxes ),

DINAS PEKERJAAN UMUM DINAS PEKERJAAN UMUM KOTA BITUNG KOTA BITUNG TAHUN ANGGARAN 2016u. PEJABAT PEMBUAT KOMITMEN KETUA POKJA ( P P

Berdasarkan tahapan dan jadwal lelang yang telah ditetapkan serta memperhatikan hasil evaluasi kualifikasi terhadap peserta yang lulus evaluasi dokumen penawaran,

Efisiensi termal aktual adalah perbandingan antara daya aktual dengan laju panas rata-rata yang dihasilkan bahan bakar, yang dapat dihitung dengan persamaan 2.11.Dengan

Hasil belajar siswa dengan pembelajaran matematika realistik khususnya pada materi operasi hitung pecahan siswa kelas V mengalami peningkatan yang cukup baik,

Pada pengujian ini digunakan sepuluh bahan uji air yang diambil secara acak , air tersebut kemudian akan disaring dan dibandingkan lama waktu penyaringan antara

Hubungan antara indeks resistensi arteri uterina dengan pertumbuhan janin terhambat (FL/AC) Pada preeklampsia dan pertubumbuhan janin terhambat didapatkan pembentukan plasenta yang