• Tidak ada hasil yang ditemukan

BEBERAPA ALTERNATIF PERHITUNGAN PERSENTASE HASIL PENAMBANGAN MIGAS SEBAGAI MASUKAN DALAM PELAKSANAAN UU NO.22 DAN NO.25 TAHUN 1999

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BEBERAPA ALTERNATIF PERHITUNGAN PERSENTASE HASIL PENAMBANGAN MIGAS SEBAGAI MASUKAN DALAM PELAKSANAAN UU NO.22 DAN NO.25 TAHUN 1999"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

BEBERAPA ALTERNATIF PERHITUNGAN PERSENTASE

HASIL PENAMBANGAN MIGAS SEBAGAI MASUKAN

DALAM PELAKSANAAN UU NO.22 DAN NO.25 TAHUN 1999

Salis S. Aprilian

Pertamina DOH Prabumulih

ABSTRAK

Pemberlakuan UU No.22/1999 mengenai Pemerintahan Daerah dan UU No.25/1999 mengenai Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (PKPD) sudah digulirkan. Namun, untuk sektor migas, yang menyangkut kondisi bawah permukaan, tentunya tidak sesederhana pembagian persentase hasil hutan; perikanan; pajak; dan lain-lain yang kasat mata. Pemelajaran kondisi geologi dan reservoir harus disertakan dalam perencanaan dan penanganan khususnya mengenai perhitungan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Tulisan ini mengupas beberapa alternatif perhitungan pembagian (persentase) sumber migas yang dalam Undang-Undang tersebut dihitung hingga per kabupaten/kota. Alternatif-alternatif ini mempertimbangkan jumlah produksi; jumlah sumur; batas-batas wilayah/daerah di permukaan; dan cadangan migas yang menyangkut kondisi bawah permukaan. Hal ini akan sangat bermanfaat khususnya untuk lapangan-lapangan migas yang berada di dua kabupaten atau lebih.

Metoda yang digunakan adalah melakukan simulasi beberapa alternatif berdasarkan pembagian secara proporsional di antara daerah penghasil migas dan daerah lainnya yang bukan merupakan penghasil migas berdasarkan kondisi permukaan dan bawah permukaan (keteknikan reservoir/geologi) serta aspek teknis implementasi di lapangan.

Dari kajian ini diharapkan bahwa pembagian porsi sumberdaya alam, khususnya migas, yang tidak dimiliki di setiap propinsi atau kabupaten, akan terdistribusikan dengan realistik dan adil.

1. PENDAHULUAN

Tulisan ini semula dimaksudkan untuk bahan seminar mengenai Otonomi Daerah dan PKPD, yang juga ada niatan untuk mempublikasikannya di media massa, sehingga “kadar keilmiahan”-nya barangkali tidak sepadan dengan forum IATMI ini. Menjadikan tulisan ini lebih populer, simple, dan mudah dipahami awam adalah salah satu tujuan penulis pada saat menyusun paper ini. Hal ini juga didorong oleh rasa ingin memasyarakatkan ilmu perminyakan di tengah euphoria dan ketidakjelasan mengenai pelaksanaan UU Otda maupun PKPD.

Bergulirnya UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan No. 25/1999 mengenai Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah sejak Januari 2000 ternyata telah menimbulkan berbagai persoalan hukum, sosial, keamanan, dan politik. Hal yang sedang hangat diperbincangkan adalah niat pemerintahan Presiden Megawati yang akan merivisi kedua Undang-Undang tersebut. Sementara sebagian kalangan melihat revisi ini sebagai langkah menarik kembali desentralisasi menjadi sentralisasi seperti semula. Tentunya, penarikan beberapa kewenangan Pemerintah Daerah kembali ke Pemerintah Pusat diharapkan dapat mengantisipasi efek yang dinilai semakin buruk yang menuju disintegrasi wilayah, dan yang lebih parah lagi: disintegrasi bangsa!. Hal ini sudah mulai terindikasi dengan munculnya berbagai perselihan antar daerah (kabupaten) yang mempersoalkan batas wilayah berkaitan dengan sumberdaya alamnya. Karena hal ini sebagai salah satu sumber pendapan asli daerah (PAD) yang dominan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitarnya. Sumber daya alam (SDA) yang masih menjadi primadona adalah pertambangan. Seperti termaktub dalam Undang-Undang tersebut bahwa pertambangan umum telah diserahkan kepada Dinas Pertambangan Energi dan Lingkungan Hidup di wilayah kabupaten bersangkutan. Namun demikian, khusus untuk penambangan minyak dan gas bumi (Migas) masih

merupakan kewenangan Pemerintah Pusat seperti disebutkan pada Pasal 6 Ayat 6 UU No 25/1999, bahwa “Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan: Penerimaan Negara dari pertambangan Minyak Bumi yang berasal dari wilayah Daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 85 % (delapan puluh lima persen) untuk Pemerintah Pusat dan 15 % (lima belas persen) untuk Daerah. Sedangkan untuk Gas Alam sebesar 70 % (tujuh puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 30 % (tiga puluh persen) untuk Daerah”. Untuk minyak bumi, dari 15 % bagian Daerah, dapat dirinci lagi menajadi 3 % untuk Daerah Tingkat I (Propinsi), 6 % untuk Daerah Tingat II (Kabupaten/Kota) penghasil minyak, dan 6 % untuk dibagi kepada Kabupaten/Kota bukan penghasil yang masih dalam propinsi tersebut. Demikian juga untuk gas bumi, dari 30 % bagian Daerah, akan dibagi menjadi 6 % untuk Daerah Tingkat I, 12 % untuk Kabupaten/Kota penghasil gas, dan 12 % dibagi merata untuk Kabupaten/Kota bukan penghasil gas. Pembagian yang, di atas kertas, tampaknya demikian sederhana ternyata menjadi rumit dalam implementasinya. Sudah beberapa Peraturan Pemerintah yang diterbitkan tetapi belum ada satupun yang mengatur secara rinci mengenai pembagian (persentrase) hasil penambangan migas ini dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Hal ini karena persoalan migas adalah bukan hanya masalah permukaan (surface) yang kasat mata, tetapi juga melibatkan kondisi bawah permukaan (subsurface). Secara awam akan timbul pertanyaan bagaimana dengan sumber migas yang berada di dua Kabupaten/Kota, atau lebih? Bagaimana supaya pembagiannya proporsioanal? Apakah hanya berdasarkan luas daerah (batas-batas) di permukaan atau harus memperhitungkan kondisi bawah permukaan? Dengan kata lain, harus ada pengetahuan mengenai kondisi geologi dan

(2)

reservoir suatu daerah yang mengandung migas. Hal ini untuk mendefiniskan sesuatu yang amat penting, yakni membedakan daerah (Kabupaten/Kota) penghasil migas dan yang bukan penghasil migas. Karena, muaranya adalah berapa persen daerah tersebut akan mendapat bagian dari migas yang ada di daerahnya. Begitu hal ini tidak dapat diselesaikan, maka akan timbul permusuhan dan konflik antar daerah, seperti yang telah terjadi di Daerah Kutai, Kalimantan Timur.

Untuk mengantisipasi persoalan demikian itu lah, tulisan ini dibuat. Dengan mengambil beberapa pengalaman lapangan, hasil diskusi, dan beberapa artikel mengenai Otonomi Daerah dan pembahasan PKPD, tulisan ini diharapkan dapat menjadi wacana yang dapat menjadi masukan dalam rangka pelaksanaan kedua Undang-Undang tersebut, terutama untuk menghitung pembagian (persentase) migas hingga ke Kabupaten/Kota. Tulisan ini dibatasi hanya pada pembahasan beberapa alternatif perhitungan dari sisi teknis dan implikasinya pada pembagian migas. Hal ini tidak termasuk pada persoalan hukum, sosial, dan politik.

1.1. Latar Belakang Permasalahan

Perhitungan persentase migas yang paling sederhana adalah berdasarkan jumlah produksi di daerah (Kabupaten/Kota) tersebut. Sehingga bagian (persentase) daerah yang bersangkutan adalah jumlah produksi migas (barrel atau kaki kubik) dikalikan persentase sesuai dengan pembagian pada UU No.25/199 tentang PKPD. Persoalan menjadi sedikit rumit apabila sumber migas ternyata berada di dua atau lebih Kabupaten/Kota. Produksi dapat dibagi, tapi persoalannya adalah berapa persentase untuk Kabupaten A di satu sisi, dan berapa persen bagian Kabupan B di sebelahnya. Karena hal ini menyangkut, misalnya, bagaimana jika jumlah sumur produksi di kedua daerah tersebut tidak sama? Atau barangkali sumur-sumur di Kabupaten/Kota satu sudah banyak ditutup, sementara di Kabupaten/Kota lain masih berproduksi? Bagaimana apabila ternyata secara subsurface cadangan tersebut adalah masih satu bagian?

Daftar pertanyaan seperti itu barangkali masih bisa lebih panjang lagi, misalnya:

- Bagaimana mendefinisikan daerah penghasil dan bukan-penghasil?

- Apakah pembagian tersebut cukup berdasarkan batas wilayah di permukaan?

- Sejauh mana kondisi bawah permukaan mempengaruhi pembagian hasil migas?

- Bagaimana memperhitungkan sumur-sumur yang

berproduksi dan yang tidak berproduksi?

- Bagaimana dengan aplikasi pemboran

directional/horizontal di perbatasan wilayah?

- Bagaimana jalan keluar apabila daerah penghasil ternyata mendapat bagian yang lebih kecil jika dibandingkan daerah bukan-penghasil?

- Bagaimana dengan fasilitas produksi (pipa-pipa, tangki pengumpul, SP) yang melintasi/terdapat pada daerah lain? - Bagaimana dengan aktivitas eksplorasi?

Semakin persoalan ini dilihat lebih dalam dan luas lagi, ternyata makin banyak pertanyaan yang mungkin muncul dan harus terjawab. Hal ini ada baiknya sedapat mungkin diakomodasi dalam Peraturan Pemerintah, Kepres, atau Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) UU. No. 25/1999. Kalaupun tidak semua, antisipasi terhadap persoalan yang mungkin

timbul seharusnya sudah secara tersirat di dalamnya. Hal ini dapat dilakukan bertahap disesuaikan dengan perkembangan kondisi sarana dan prasarana di daerah, seperti: sumber daya manusia, teknologi, pengetahuan (knowledge), peralatan (tools), batas-batas daerah (peta) yang telah disepakati, dan infrastruktur lainnya. Sejalan dengan perkembangan pengetahuan awam tentang bagaimana sebenarnya suatu cadangan migas itu berada dan sejauh mana teknik pengambilan cadangan tersebut yang dapat diterapkan, tentunya akan menambah panjang lagi daftar pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sedapat mungkin terakomodasi pada setiap kebijaksanaan yang dibuat. Apakah itu dalam bentuk PP, Kepres, atau Perda yang akan disusun bersama rencana revisi kedua UU tersebut. Untuk lebih dapat menyamakan persepsi, ada baiknya dilakukan sosialisasi beberapa pengertian dasar mengenai Keteknikan Migas (Petroleum Engineering) hingga ke daerah.

1.2. Beberapa Pengertian Dasar Keteknikan Migas Cadangan ialah sejumlah (volume) minyak atau gas yang berada di reservoir bawah permukaan tanah dan dapat diambil ke permukaan. Cadangan dapat dibedakan menjadi cadangan ‘pasti’ (proven reserves), cadangan ‘mungkin’ (possible reserves), dan cadangan ‘harapan’ (probable reserves), sesuai dengan tingkat kepastian kita terhadap cadangan tersebut. Hal ini tergantung dari data pendukung yang ada pada kita. Reservoir adalah batuan berpori dan permeable (dapat mengalirkan fluida) yang dikandungnya (migas). Reservoir biasanya berupa batu pasir, batu gamping, atau lainnya yang dibatasi oleh batuan yang sangat kedap aliran (impermeable rock). Reservoir ini memiliki tekanan tinggi yang dapat memproduksikan migas secara alamiah pada awalnya, dan tekanan ini akan turun terus sejalan dengan terkurasnya migas dari reservoir tersebut.

Produksi adalah volume migas yang diperoleh di permukaan melalui sumur bor dengan cara alamiah maupun dengan menggunakan pengangkatan buatan (artificial lift). Oleh karena kondisi tekanan dan temperatur yang berbeda, maka, sesuai sifatnya, minyak akan berubah secara fisik (volume dan/atau bentuk fasanya) tergantung karakteristik minyak tersebut.

Sumur adalah lubang yang dibor sampai menembus reservoir untuk mengalirkan migas ke permukaan. Jenis sumur ini ada yang tegak (vertical well), sumur ‘berarah’ (directional well), atau sumur horizontal (horizontal well). Pemilihan jenis sumur ini tergantung dari target produksi dan hasil evaluasi keekonomian yang ada. Kedalaman sumur bervariasi, dari ratusan meter sampai ribuan meter.

Pemboran sumur horizontal adalah teknik pemboran untuk mendapatkan perolehan migas lebih cepat dan efektif dengan cara membuat lubang horizontal di kedalaman target (reservoir). Teknik ini sangat spesifik, karena walaupun telah terbukti sanagt efektif untuk meningkatkan perolehan migas, tetapi memerlukan peralatan yang lebih canggih dan perlu kehati-hatian dalam perhitungan baik teknis maupun ekonomis. Panjang bagian horizontal dapat mencapai ratusan meter.

Aktivitas eksplorasi adalah kegiatan tahap awal pencarian sumber migas dengan menggunakan data seismic maupun

(3)

data geologi. Hal ini biasanya meliputi daerah yang luas dan dengan mem-bor sumur-sumur pada daerah tertentu yang diperkirakan terdapat cadangan migas. Pada tahap ini biasanya telah dapat diketahui apakah suatu wilayah memiliki potensi migas atau tidak.

2. ALTERNATIF YANG DIUSULKAN

Setelah mengetahui beberapa istilah dalam Keteknikan Migas, diharapkan persepsi awam mengenai penambangan migas minimal tidak jauh berbeda. Beberapa alternatif perhitungan berikut ini disusun dengan mempertimbangkan faktor teknis di lapangan dan faktor dasar keteknikan migas terutama yang menyangkut kondisi bawah permukaan (reservoir). Faktor-faktor tersebut antara lain menyangkut jumlah produksi; jumlah sumur (produksi dan non-produksi); dan cadangan. Alternatif-1

Perhitungan ini paling sederhana, yakni berdasarkan jumlah produksi nyata di Kabupaten penghasil. Apabila satu lapangan (struktur) ternyata terletak di dua Kabupaten/Kota atau lebih, maka pembagian (persentase) untuk Kabupaten/Kota yang bersangkutan adalah sesuai dengan produksi nyata (actual production) migas yang ada. Hal ini sebaiknya dihitung dalam produksi kumulatif per tahun, walaupun tidak menutup kemungkinan per periode (bulan, kuartal, atau semester) dan disesuaikan dengan harga minyak.

Alternatif-2

Alternatif ini adalah cara perhitungan dengan mempertimbangkan persentase jumlah sumur produksi di satu Kabupaten/Kota terhadap total sumur produksi keseluruhan, atau dengan formula:

Alternatif-3

Alternatif ini lebih rumit karena mempertimbangan kondisi bawah permukaan (subsurface) yaitu cadangan, sehingga harus mengetahui parameter reservoir, seperti porositas, saturasi fluida, dan ketebalan. Adapun batas-batasnya didapat dengan memproyeksikan batas wilayah di permukaan. Hal ini mirip perhitungan ‘unitisasi’ apabila suatu reservoir terletak di antara dua wilayah kerja pertambangan (WKP). Hal ini dapat dirumuskan sbb.:

Alternatif-4

Alternatif ini mirip dengan Alternatif-3 tetapi tidak mempertimbangkan heterogenitas (menyangkut ketebalan / arah vertikal) reservoir, sehingga perhitungan berdasarkan persentase luas struktur yang ada di tiap kabupaten/kota, atau: Alternatif-5

Dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan masing-masing Alternatif-1 sampai dengan Alternatif-4 tersebut (dan ini akan dibahas kemudian), maka Alternatif-5 ini merupakan penggabungan dengan menggunakan cara pembobotan (“weighting factors”) untuk semua perhitungan di atas. Secara matematis dapat dirumuskan sbb.:

Adapun penentuan “weighting factors” ini dapat menggunakan harga rata-rata, misalnya w1=w2=w3=0.33, atau dengan mempertimbangkan bahwa salah satu faktor lebih penting dari yang lain sehingga tidak diambil angka yang sama. Misalnya, karena perhitungan berdasarkan produksi nyata (Alternatif-1) lebih mudah dimengerti, praktis, dan mengandung resiko yang lebih besar dalam aktivitas produksi,

maka “weighting factor” untuk Alternatif-1 lebih besar dari yang lain. Katakanlah, w1=0.5, sedangkan w2=w3=0.25. 2.1. Kelebihan dan Kekurangan Masing-masing

Perhitungan

Alternatif-1 memiliki kelebihan antara lain paling sederhana, praktis, mudah dimengerti oleh Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota), tidak perlu melakukan perhitungan ulang cadangan per kabupaten (hal ini akan semakin rumit apabila terdapat reservoir berlapis). Namun demikian, alternatif ini memiliki kelemahan antara lain: apabila ada sumur miring/horisontal di perbatasan kabupaten/kota, atau sumur non-aktif yang juga beresiko terhadap lingkungan. Alternatif ini juga tidak mencerminkan volume (cadangan) yang ada di masing-masing kabupaten/kota.

Alternatif-2 lebih mudah diterima dan cukup praktis. Namun demikian selain terdapat kelemahan yang sama seperti pada Alternatif-1, juga bahwa jumlah sumur produksi tidak mencerminkan jumlah produksi atau cadangannya. Hal ini akan menimbulkan persoalan jika dikalikan dengan total produksi nyata.

Alternatif-3 lebih akurat dan sudah sesuai dengan prinsip ‘unitisasi’ yang biasa dilakukan di industri migas karena berdasarkan kandungan migas yang ada di bawah permukaan. Namun demikian ada beberapa kendala yang harus ditangani, antara lain: perlu kajian detail menegenai cadangan per kabupaten/kota, terlebih lagi apabila ternyata reservoir yang ada adalah heterogen atau berlapis-lapis. Persoalan mungkin muncul apabila ada kabupaten/kota dengan jumlah sumur yang lebih banyak tetapi secara volumetrik lebih kecil. Oleh karena hal ini menyangkut engineering background yang tidak umum maka akan sedikit sukar (perlu waktu lama) dalam menjelaskan mengenai peta subsurface, cadangan, laju pengurasan (withdrawal rate), dan lain-lain.

4 adalah sebagai bentuk penyederhanaan Alternatif-3 apabila data di lapangan memang tidak selengkap yang diharapkan. Hal ini menjadi lebih mudah dalam perhitungan dan pelaporan, karena besarnya relatif konstan dan tidak tergantung ketebalan (heterogenitas) reservoir. Hanya saja, apabila ada kabupaten/kota yang memiliki jumlah sumur lebih banyak tetapi dilihat dari luas strukturnya lebih kecil (misalnya pada top structure), maka akan menimbulkan persoalan. Juga, bahwa luas struktur tidak mencerminkan besarnya cadangan.

2.2. Studi Kasus

Untuk melihat kajian ini lebih realistis diambil data Lapangan Kawengan (di bawah PERTAMINA DOH Cepu) di tahun 1999. Data yang menyangkut data produksi, jumlah sumur aktif dan non-aktif tentunya selalu berubah karena sifatnya dinamis. Pertimbangan pengambilan kasus ini adalah karena letak/posisi struktur tersebut berada di dua kabupaten dan ternyata terdapat perbedaan yang cukup segnifikan dari hasil perhitungan dengan menggunakan berbagai Alternatif tersebut.

Cadangan pasti Struktur Kawengan sekitar 389,5 MMSTB, dengan luas struktur 8.750.000 m2. Jumlah sumur total waktu itu (tahun 1999) adalah 144 sumur, dengan status 40 sumur produksi, dan 104 sumur non-aktif. Struktur ini terletak di dua

(4)

kabupaten, yakni Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Tuban. Secara garis besar data Struktur Kawengan di kedua kabupaten dapat dilihat pada Tabel-1. Sedangkan Tabel-2 memperlihatkan hasil perhitungan tiap Alternatif.

3. PEMBAHASAN

Hasil perhitungan pada Tabel-2 mengisyaratkan adanya perbedaan yang cukup signifikan di antara Alternatif Perhitungan yang kita gunakan. Seperti telah disinggung di muka, bahwa Alternatif-3 lebih realistis apabila perhitungannya memang berdasarkan sumber daya (reserves) yang ada di bawah permukaan. Sedangkan yang hanya menyangkut produksi dan/atau sumur produksi, memberikan hasil yang lebih besar pada kabupaten yang memang masih memiliki sumur produksi (yang masih aktif). Maka, seandainya tidak terlebih dahulu diberikan persepsi yang sama menganai Keteknikan Perminyakan, barangkali akan menimbulkan kesalah-pahaman dalam perhitungan. Misalnya, muncul pertanyaan kenapa sumur di Kabupaten A banyak yang tidak aktif? Bisakan sumur non-aktif diproduksikan, untuk menambah persentase daerah ybs? Bisakan suatu kabupaten mengusahakan sendiri (dengan teknologinya) sehingga menambah jumlah sumur produksi?

Dari kelima alternatif tersebut, Alternatif-5 tampaknya yang terbaik, sebab sudah mengakomodasi persoalan atas dan bawah permukaan. Alternatif-4 tidak dimasukkan dalam formula Alternatif-5 karena hal ini telah cukup terakomodasi dari Alternatif-3 (berdasarkan cadangan). Kelima alternatif tersebut juga memiliki faktor kritis (critical factors) yang sama, yaitu: standarisasi batas-batas wilayah, ketelitian dalam pengukuran produksi per sumur, dan sistem informasi serta pengontrolan yang dapat dipertanggung jawabkan.

Diskusi dapat berkembang sejalan dengan pengetahuan masyarakat mengenai kondisi lapangan (struktur) yang ada. Seperti dimana lokasi Stasiun Pengumpul, pompa, pipa-pipa, dan fasilitas produksi lainnya. Untuk hal-hal demikian memang tidak dibahas dalam Alternatif-Alternatif tersebut, namun telah disepakati bahwa daerah yang dilalui pipa, tempat dibangunnya SP, pompa, kompresor, akan mendapat Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari padanya.

Dengan melihat dasar perhitungan dan hasil perhitungan yang ada pada masing-masing alternatif tersebut, maka apabila UU No. 25/1999 ini tetap harus diberlakukan, untuk struktur (lapangan) yang berada di dua atau lebih Kabupaten/Kota atau bahkan Propinsi, sebaiknya dilakukan cara-cara sebagai berikut:

- Terlebih dahulu kerjasama antar daerah untuk melakukan kesepakatan mengenai batas-batas wilayah daerah (Kabupaten/Kota) dengan sistem yang standar

- Inventarisasi jumlah sumur dan cadangan per Kabupaten/Kota

- Sistem pelaporan produksi per Kabupaten/Kota dan dengan ketelitian pengukuran yang baik, serta

- Peningkatan kerjasama antar daerah dalam sistem informasi dan kontrol yang dapat dipertanggung jawabkan, serta pemeliharaan infrastruktur yang telah ada dan akan dibangun.

Untuk gas, perhitungannya tidak jauh berbeda, apalagi kalau sudah dalam satuan barrel equivalent ataupun BTU. Pembagiannya lebih besar lagi untuk daerah, karena mengandung resiko yang lebih besar kepada masyarakat

sekitar. Lagi, sifat fisiknya lebih sensitif terhadap kondisi tekanan dan temperatur. Selain itu, dalam pengembangan lapangan gas harus terlebih dulu dicarikan pasar (market), sehingga biasanya hal ini menyangkut bisnis yang harus direncanakan dalam jangka panjang.

4. KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil diskusi di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut:

1. Perhitungan persentase hasil penambangan migas menyimpan permasalahan yang mungkin makin rumit dengan semakin dalam dan luasnya pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

2. Alternatif yang paling sederhana, mudah diterima, praktis adalah Alternatif-1, yaitu perhitungan berdasarkan jumlah produksi nyata. Permasalahan yang ada adalah apabila terdapat sumur miring/horisontal di perbatasan kabupaten/kota, atau sumur non-aktif yang juga beresiko terhadap lingkungan. Alternatif ini juga tidak mencerminkan volume (cadangan) yang ada di masing-masing kabupaten/kota.

3. Alternatif-2 sudah mempertimbangkan jumlah sumur produksi, sehingga faktor resiko adanya sumur-sumur yang berproduksi, misalnya pada kondisi lingkungan, sudah diakomodasi.

4. Alternatif-3 merupakan perhitungan yang diadopsi dari cara “unitisasi” yang sudah lazim dilakukan di dunia migas. Hal ini memerlukan pemelajaran kondisi subsurface yang lebih baik.

5. Alternatif-4 merupakan penyederhanaan dari Alternatif-3, apabila ternyata di lapangan tidak terdapat data yang kita perlukan untuk melakukan penghitungan cadangan. Hal ini tidak dilibatkan dalam perhitungan Alternatif-5 karena sudah terakomodasi melalui perhitungan Alternaf-3 6. Penggunaan Alternatif-5 merupakan perhitungan yang

sudah mempertimbangkan kelayakan engineering maupun resiko dalam aktivitas migas. Hal ini perlu menjadi pemikiran jangka menengah/panjang apabila masyarakat telah “melek pengetahuan” Keteknikan Perminyakan. Sementara hal ini masih dalam wacana, Alternatif-1 merupakan pilihan yang paling sederhana, mudah dijelaskan dan dimengerti, serta langsung dapat dilihat faktanya di lapangan karena berdasarkan besarnya produksi nyata minyak.

7. Untuk gas, cara perhitungannya tidak jauh berbeda, kecuali sifat fisiknya yang lebih sensitif terhadap tekanan dan temperatur, serta sangat dipengaruhi kondisi market yang ada.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada manajemen Pertamina yang telah mengijinkan dipublikasikannya paper ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. “Undang-Undang No. 22 tahun 1999 mengenai

Pemerintahan Daerah”, Penerbit Restu Agung, Jakarta, 2000.

2. Undang-Undang No.25 tahun 1999 mengenai

Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, Penerbit Restu Agung, Jakarta, 2000.

(5)

3. Penjelasan Undang-Undang No.25/1999, Harvarindo, 1999.

4. “Pembangunan sektor pertambangan dalam era

reformasi menuju otonomi perimbangan keuangan pusat dan daerah di Daerah Sumatera Selatan”, Prosiding Seminar Pertambangan, Palembang, 28 Juli 1999.

5. Bahan Rapat Pembahasan Undang-Undang PKPD,

Dinas Teknologi Produksi, Pertamina EP, 1999.

Tabel-1 Data Struktur Kawengan

Tabel-2 Hasil Perhitungan

Bojonegoro Tuban

Luas Struktur [m2] 6,212,500 2,537,500 8,750,000 Volume Cadangan [MSTB] 249,292 140,227 389,519 Produksi Minyak tahun 1998/99 106,033 8,033 114,066

Jumlah Sumur Produksi 32 8 40

Jumlah Sumur Non-Aktif 72 32 104

Total Sumur di bor 104 40 144

Total Kabupaten

Nama Struktur : Kawengan Lokasi : Pertamina DOH Cepu Status : 1999

Total Produksi Minyak 1998/99 = 114,066 STB Setelah dikurangi biaya produksi, pajak, dan lain-lain:

Bagian Pemerintah Pusat (85%) = 62,440 STB Bagian Pemerintah Propinsi (3%) = 141 STB

Bagian Kabupaten lain non-penghasil = 281 STB

(dibagi sejumlah kabupaten non-penghasil dalam satu Propinsi ybs)

Bojonegoro Tuban Alternatif - 1 [STB] 261 20 Alternatif - 2 [STB] 224 56 Alternatif - 3 [STB] 180 101 Alternatif - 4 [STB] 199 81 Alternatif - 5a [STB] 219 58 Alternatif - 5a [STB] 231 49 Kabupaten Perhitungan pembagian

Referensi

Dokumen terkait

GDQ WUDQVDNVL WHUNDLW GHQJDQ SHOEDJDL EHQWXN XSD\D PHQJHPEDQJNDQ SRWHQVL GHVD 3HQHOLWLDQ LQL PHQXQMXNNDQ EDKZD PHVNLSXQ PDV\DUDNDW PHPLOLNL DNVHV WHUKDGDS LQIUDVWUXNWXU LQWHUQHW

Kisi-kisi instrument untuk mengukur kelompok teman sebaya merupakan kisi-kisi instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel kelompok teman sebaya dan juga

Perkembangan ini bukannya tidak mungkin akan melahirkan institusi-institusi ekonomi inter- nasional dan perdagangan multilateral baru yang dipelo- pori oleh negara-negara

Pajak penghasilan terkait dengan penghasilan komprehensif lain diisi oleh Bank (sebagian dari 440 atau 445) h. Selisih kuasi reorganisasi 3) 20. Selisih kuasi reorganisasi Diisi

Tanggal Pembayaran atas Pembelian Saham Publik 30 Juni 2012 Tanggal Efektif Penggabungan Usaha 01 Juli 2012 Tanggal Awal Perdagangan Saham Hasil Penggabungan di Bursa 01 Juli

mendemonstrasikan proses menggunakan media muatan, (b) belajar dalam kelompok dengan berlatih mandiri dan menjawab pertanyaan menggunakan media muatan, (c) pelaksanaan game

Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) adalah program yang dilakukan untuk meningkatkan kesehatan peserta didik melalui program pendidikan kesehatam, pelayana kesehatan, dan

Atas pernyataan ini saya siap menanggung resiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila dikemudian hari ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika