• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA A. JAGUNG B. LIGNOSELULOSA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA A. JAGUNG B. LIGNOSELULOSA"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. JAGUNG

Tanaman jagung merupakan tanaman berumpun, tegak, tinggi ± 1,5 m. batang bulat massif, tidak bercabang, pangkal batang berakar, berwarna kuning atau jingga. Daun tunggal, berpelepah, bulat panjang, ujung runcing, tepi rata, panjang 35-100 cm, lebar 3-12 cm, berwarna hijau. Bunga tanaman jagung majemuk, berumah satu, bunga jantan dan betina berbentuk bulir, bunga terletak di ujung batang dan ketiak daun, benang sari ungu, bakal buah buah berbentuk bulat telur, berwarna putih, buah berbentuk tongkol dengan panjang 8-20 cm, hijau kekuningan (Anonim, 2008).

Luas panen tanaman jagung di Pulau Jawa sekitar 2. 020.972 ha dengan hasil produksi 8.554.352 ton/tahun (BPS, 2009). Limbah tanaman jagung sebagian besar adalah bahan berlignoselulosa yang memiliki potensi besar untuk pengembangan produk masa depan.

Jagung memiliki peranan tersendiri dalam kegiatan industri dalam negeri. Permintaan terhadap komoditas ini semakin meningkat setiap tahunnya. Dalam kegiatan industri jagung dihasilkan limbah (Hambali et al., 2007).

Limbah jagung sebagian besar adalah bahan berlignoselulosa yang memiliki potensi untuk pengembangan produk masa depan. Pada dasarnya limbah tidak memiliki nilai ekonomi, bahkan mungkin bernilai negatif karena memerlukan biaya penanganan. Namun demikian, limbah lignoselulosa sebagai bahan organik memiliki potensi besar sebagai bahan baku industri pangan, minuman, pakan, kertas, tekstil, dan kompos. Di samping itu, fraksinasi limbah ini menjadi komponen penyusun yang akan meningkatkan daya gunanya dalam berbagai industri (Richana et al., 2005).

Menurut McCutcheon (2002), limbah tanaman jagung terdiri dari batang 50% (BK), daun 20% (BK), tongkol 20% (BK), kelobot 10% (BK). Limbah tanaman jagung mengandung selulosa (36,81%), hemiselulosa (27,01%), lignin (15,70%), abu (6,04%) dan lain-lain (14,44%) (Anonim, 2009).

B. LIGNOSELULOSA

Lignoselulosa merupakan komponen utama tanaman yang menggambarkan jumlah sumber bahan organik yang dapat diperbaharui. Lignoselulosa terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin dan beberapa bahan ekstraktif lain. Semua komponen lignoselulosa terdapat pada dinding sel tanaman (Sjostrom, 1995).

Lignoselulosa merupakan material organik yang menjadi komponen utama tanaman. Lignoselulosa terdiri dari tiga komponen utama, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Selain itu, terdapat pula beberapa komponen minor yang dapat ditemukan pada lignoselulosa, seperti abu, protein, dan pektin. Kadar ketiga komponen minor pada lignoselulosa tersebut berbeda-beda sesuai dengan sumber lignoselulosanya (Dashtban et al., 2009).

Lignin merupakan suatu makromolekul kompleks, suatu polimer aromatic alami yang bercabang-cabang dan mempunyai struktur tiga dimensi yang terbuat dari fenil propanoid yang saling terhubung dengan ikatan yang bervariasi. Lignin membentuk matriks yang mengelilingi selulosa dan hemiselulosa (Fadilah et al., 2008).

(2)

4

Hemiselulosa merupakan polimer dari pentose (xilosa dan arabinosa), hexosa (terutama manosa) dan sugar acids termasuk selulosa yang merupakan homopolimer dari glukosa (Howard et al., 2003).

Selulosa merupakan polimer glukosa dengan ikatan β-1,4 glukosida dalam rantai lurus. Bangun dasar selulosa berupa suatu selobiosa yaitu dimer dari glukosa. Rantai panjang selulosa terhubung secara bersama melalui ikatan hidrogen dan gaya van der Waals (Perez et al. 2002).

Hemiselulosa merupakan kelompok polisakarida heterogen dengan berat molekul rendah. Jumlah hemiselulosa biasanya antara 15 dan 30 persen dari berat kering bahan lignoselulosa. Hemiselulosa relatif lebih mudah dihidrolisis dengan asam menjadi monomer yang mengandung glukosa, mannosa, galaktosa, xilosa dan arabinosa. Hemiselulosa mengikat lembaran serat selulosa membentuk mikrofibril yang meningkatkan stabilitas dinding sel. Hemiselulosa juga berikatan silang dengan lignin membentuk jaringan kompleks dan memberikan struktur yang kuat (Taherzadeh 1999).

Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman. Selulosa adalah biopolymer dari glukosa dengan rantai lurus yang dihubungkan dengan ikatan β-1,4-glukosida. Rantai panjang selulosa terhubung secara bersama melalui ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, dan gaya van der Waals (Dashtban et al., 2009).

Hemiselulosa merupakan komponen kedua pada bahan berlignoselulosa, berupa polimer yang heterogen dari pentose (termasuk xilosa dan arabinosa), hexosa (terutama manosa, sebagian kecil glukosa, dan galaktosa) dan sugar acids. Komposisi hemiselulosa di alam sangat beragam dan bergantung pada sumber tanaman (Dashtban et al., 2009).

Lignin merupakan komponen ketiga pada lignoselulosa, berupa polimer yang heterogen. Umumnya lignin terdiri dari alkohol aromatik, meliputi coniferil alkohol, sinafil alkohol, dan p-kumaril alkohol. Lignin merupakan penghambat hidrolisis selulosa dan hemiselulosa. Lignin mencegah adanya penetrasi enzim lignoselulolitik ke dalam struktur lignoselulosa (Dashtban et al., 2009).

Lignin yang terdapat pada lignoselulosa dapat digunakan untuk membuat produk vanillin dan asam gallic. Vanillin yang disintesis dari lignin membutuhkan biaya produksi yang lebih murah jika dibandingkan dengan produksi vanillin dari ekstraksi tanaman vanilla. Selulosa dan hemiselulosa potensial untuk dikembangkan menjadi produk bioteknologi, seperti bahan kimia, bahan bakar, bahan pangan, bahan pakan, tekstil, pulp, kayu, lain sebagainya (Howard et al., 2003).

C. LIGNIN DAN EKSTRAKSINYA

Lignin merupakan komponen makromolekul kayu ketiga yang berikatan secara kovalen dengan selulosa dan hemiselulosa. Struktur molekul lignin sangat berbeda bila dibandingkan dengan polisakarida, karena terdiri atas sistem aromatik yang tersusun atas unit-unit fenil propana. Lignin ada di dalam dinding sel maupun di daerah antar sel (lamella ttengah) dan menyebabkan kayu menjadi keras dan kaku sehingga mampu menahan tekanan mekanis yang besar. Lignin dapat diisolasi dari bahannya sebagai lignin preparatip atau turunan lignin (pseudolignin), tetapi sifat protolignin yang asli sulit didapat. Hal tersebut dikarenakan belum adanya metode untuk mengisolasi lignin secara utuh sehingga tidak dapat menyebabkan perubahan mendasar dalam lignin alam (Heradewi, 2007).

Lignin terbentuk melalui polimerasi tiga dimensi derivate dari sinamil alkohol terutama ρ-kumaril, coniferil dan sinafil alkohol (Perez et al. 2002) dengan bobot molekul mencapai 11.000.

(3)

5

Struktur lignin dapat dilihat pada Gambar 1. Lignin yang melindungi selulosa bersifat tahan terhadap hidrolisis karena adanya ikatan arilalkil dan ikatan eter. Kompleks lignin/fenolik-karbohidrat dapat dilihat pada Gambar 2.

Para Kumaril Alkohol Koniferil Alkohol Sinapil Alkohol Model Gambar 1. Satuan Penyusun Lignin (Steffen 2003)

Gambar 2. Kompleks lignin/fenolik-karbohidrat (modifikasi dari Buranov dan Mazza, 2008)

Menurut Sjostrom (2005), lignin dapat dibagi menjadi beberapa kelas menurut unsur-unsur strukturnya yaitu lignin guaiasil (terdapat pada kayu lunak sebagian besar merupakan produk polimerisasi dari koniferil alkohol), dan lignin guaiasil-siringil (khas kayu keras, merupakan kopolimer dari koniferil alkohol dan sinapil alkohol) .

Lignin merupakan senyawa yang heterogen dengan berbagai tipe ikatan sehingga tidak dapat diuraikan oleh enzim hidrolisis. Lignin dapat didegradasi oleh kapang pelapuk putih tetapi hanya dapat didegradasi secara sempurna oleh kapang pelapuk putih (white-rot fungi). Kapang Phanerochaete chrysosporium merupakan salah satu kapang yang dapat menguraikan ikatan dan mendegradasi lignin dengan bantuan enzim pendegradasi lignin (Boyle et al., 1992).

D. PERLAKUAN AWAL DAN BIODELIGNIFIKASI

Konversi biomassa berlignoselulosa menjadi etanol membutuhkan beberapa tahapan proses yang dilalui. Bahan berlignoselulosa terdiri dari lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Ketiga bahan ini harus dipisahkan terlebih dahulu supaya penetrasi enzim selulase dalam menghidrolisis selulosa menjadi lebih mudah, rendemen gula yang dihasilkan tinggi sehingga rendemen etanol

(4)

6

dari fermentasi gula juga tinggi. Proses pemisahan ini dapat dilakukan secara fisis, kimia, biologis, maupun kombinasi ketiganya (Fitria et al., 2007).

Perlakuan awal pada bahan berlignoselulosa akan mengubah struktur rumit lignoselulosa sehingga akan meningkatkan digesitibilitas enzim. Sehingga akan mempermudah untuk menghidrolisis polisakarida menjadi gula yang lebih sederhana (Mosier et al., 2005).

Selulosa pada dinding sel tanaman tidak dapat dihidrolisis oleh enzim dengan cepat karena adanya kristal serat selulosa yang menghambat akses hidrolisis dan mencegah selulosa bekerja secara efisien. Selain itu, adanya lignin dan hemiselulosa pada permukaan selulosa juga menghambat pemecahan selulosa secara efisien. Oleh karena itu, perlakuan pendahuluan pada bahan berlignoselulosa sebelum hidrolisis, sangat diperlukan dan perlakuan pendahuluan ini dapat dilakukan melalui beberapa metode (Dashtban et al., 2009). Skema perlakuan awal pada bahan berlignoselulosa dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Skema Perlakuan Awal (Sumber : Mosier et al. (2005)).

Perlakuan pendahuluan pada bahan berlignoselulosa dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu perlakuan pendahuluan secara fisik, kimia, biologi, dan fisiko-kimia (perlakuan pendahuluan yang menggabungkan perlakuan secara fisik dan kimia). Akan tetapi, sebelum bahan berlignoselulosa mengalami perlakuan pendahuluan secara fisik, kimia, biologi, dan fisiko-kimia, bahan berlignoselulosa tersebut umumnya akan mengalami perlakuan pendahuluan secara mekanik. Perlakuan pendahuluan secara mekanik bertujuan memperkecil ukuran bahan berlignoselulosa untuk meningkatkan digestibilitas selulosa dan hemiselulosa pada bahan berlignoselulosa (Mtui, 2009).

Perlakuan pendahuluan secara fisik dapat dilakukan dengan iradiasi gelombang mikro, pirolisis, dan iradiasi sinar gamma (Mtui, 2009), akan tetapi hampir semua perlakuan awal secara fisik tidak cukup efektif untuk menghilangkan lignin dan seringkali memerlukan biaya besar (Knauf dan Moniruzzaman, 2004). Perlakuan pendahuluan secara kimia dapat dilakukan dengan bantuan asam, basa, dan garam untuk mendegradasi lignin pada bahan berlignoselulosa. Perlakuan secara fisiko-kimia, dapat dilakukan dengan steam explosion, ammonia fibre explosion (AFEX), dan liquid hot water (LHW) (Mtui, 2009). Perlakuan awal secara biologi dilakukan dengan menumbuhkan organisme pada media lignoselulosa sehingga terjadi pengurangan lignin dan selulosa. Dalam perlakuan awal secara biologi, kapang pelapuk putih yang dianggap paling efektif. Perlakuan pendahuluan dengan kapang berpotensi mengurangi kebutuhan yang tinggi terhadap asam, suhu, dan waktu (Taherzadeh dan Karimi, 2008). Menurut Fatriasari (2007),

(5)

7

perlakuan pendahuluan secara kimia dan fisiko-kimia membutuhkan energi tinggi (penguapan dan listrik) dan reactor yang tahan terhadap tekanan tinggi tahan korosi.

Suhu yang tinggi dan penambahan asam umumnya digunakan dalam degradasi selulosa secara kimiawi dan termasuk dalam perlakuan pendahuluan pada bahan berlignoselulosa yang digunakan pada skala industri. Akan tetapi, perlakuan pendahuluan ini dinilai mahal dan tidak efisien. Yield dari proses fermentasi berkurang karena perlakuan pendahuluan secara kimia menghasilkan inhibitor, seperti asam lemah, furan, dan fenol (Dashtban et al., 2009).

Teknologi yang digunakan dalam perlakuan pendahuluan pengolahan bahan berlignoselulosa harus memenuhi kriteria tertentu. Teknologi tersebut harus ekonomis dalam perlakuan pendahuluan konversi bahan berselulosa menjadi bahan bakar dan bahan kimia (Mosier et al., 2005). Selain ekonomis, perlakuan pendahuluan yang dipilih harus memerlukan konsumsi energi yang rendah, dengan kata lain teknologi tersebut membutuhkan energi yang efisien (Mtui, 2009).

Proses biologis cukup menjanjikan dibandingkan proses lainnya karena dapat dilakukan dalam kondisis proses lebih mudah dan murah. Salah satu proses biologis biomassa berlignoselulosa dalam pemisahan lignin dan bahan adalah dengan menggunakan kapang pelapuk putih (white-rot fungi). Penggunaan kapang pelapuk putih bertujuan untuk merombak kadar lignin bahan berlignoselulosa sehingga memudahkan perombakan selulosa menjadi gula sederhana yang selanjutnya difermentasi menjadi etanol (Fitria et al., 2007).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fatriasari (2007), perlakuan kapang mengurangi konsumsi energi dan mengurangi polusi lingkungan. Aktivitas biologis kapang pelapuk putih menyebabkan pengembangan dan pelunakan dinding sel akibat modifikasi dan depolimerisasi lignin. Kapang ini memproduksi serangkaian enzim yang terlibat langsung dalam perombakan lignin, sehingga sangat membantu proses delignifikasi pada biomassa lignoselulosa.

Biodelignifikasi merupakan teknologi yang ramah lingkungan. Salah satu mikroorganisme yang digunakan pada proses biodelignifikasi adalah kapang pelapuk putih (white-rot fungi) Phanerochaete chrysosporium. Phanerochaete chrysosporium akan melepaskan serat selulosa dari lignin dengan kemampuan degradasi lignin sebanyak 81,4 % dan selulosa sebanyak 22,3 % pada 30 hari inkubasi (Fadillah et al., 2008).

E. FUNGI PELAPUK PUTIH

Phanerochaete chrysosporium

White-rot fungi terdapat pada kelompok Basidiomycetes dan Ascomycetes. Kapang ini dapat mendegradasi lignin secara lebih cepat dan ekstensif dibanding mikroorganisme lain. Substrat bagi pertumbuhan mikroorganisme ini adalah selulosa dan hemiselulosa dan degradasi lignin terjadi pada akhir pertumbuhan primer melalui metabolism sekunder dalam kondisi defisiensi nutrien seperti nitrogen, karbon atau sulfur (Hatakka, 2001).

Tingkat dan laju pengurangan polisakarida dan lignin dari substrat dapat berbeda diantara spesies white-rot fungi (Adaskaveg et al. 1995). Kapang ini ada yang mampu mendegradasi lignin secara selektif dan ada pula yang non selektif (Blanchette 1995; Hatakka 2001). Kapang pelapuk putih selektif (contoh: Ceriporiopsis subvermispora, Dichomitus squalens, Phanerochaete chrysosporium, Phlebia radiata), lignin dan hemiselulosa didegradasi lebih banyak dibanding selulosa, sedangkan kapang non selektif (contoh: Trametes versicolor and Fomes fomentarius), mendegradasi semua komponen lignoselulosa dalam jumlah yang sama (Rayner dan Boddy 1988; Blanchette 1995; Hatakka 2001).

(6)

8

Hampir semua white-rot fungi menghasilkan manganese peroxidase (MnP) dan laccase, tetapi hanya sedikit yang menghasilkan lignin peroxidase (LiP). LiP mengoksidasi unit non fenolik lignin melalui pelepasan satu elektron dan membentuk radikal kation yang kemudian terurai secara kimiawi. LiP dapat memutus ikatan Cα-Cβ molekul lignin dan mampu membuka cincin lignin dan reaksi lain. MnP mengoksidasi Mn2+ menjadi Mn3+. Sifat reaktif Mn3+ yang tinggi selanjutnya mengoksidasi cincin fenolik lignin menjadi radikal bebas tak stabil dan diikuti dengan dekomposisi lignin secara spontan Laccase mengoksidasi cincin fenolik menjadi radikal fenoksil (Hatakka 2001).

Tabel 1. Enzim Lignolitik yang Dihasilkan white –rot fungi

Enzim Tipe Enzim Peran dalam degradasi Kerja bersama dengan

LiP Peroksidaase Degradasi unit non-fenolik H2O2

MnP Peroksidase Degradasi unit fenolik dan

non-fenolik dengan lipid

H2O2, lipid

Laccase Fenol Oksidase Oksidasi unit fenolik dan

unit non-fenolik dengan mediator O2, mediator : 3-hidroxybenzotriazole Lain-lain Oksidase penghasil H2O2 Produksi H2O2 Peroksidase

Keadaan lignolitik adalah keadaan dimana kapang mengeluarkan enzim yang dapat mendegradasi lignin. Phanerochaete chrysosporium mengeluarkan enzim peroksidase, yaitu lignin peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP). Kapang Phanerochaete chrysosporium menyebabkan degradasi selulosa. Hal ini disebabkan karena kapang Phanerochaete chrysosporium menghasilkan enzim yang dapat menguraikan selulosa seperti enzim protease, kuinon reduktase, dan selulase. Penambahan nutrisi berupa glukosa merupakan faktor yang memperkecil degradasi selulosa oleh kapang. Penambahan nutrisi akan meningkatkan laju degradasi lignin, meningkatkan pertumbuhan kapang serta menurunkan laju degradasi selulosa (Fadilah et al., 2008).

Kapang Phanerochaete chrysosporium merupakan kapang pelapuk putih yang ada pada kayu. Kapang ini menghasilkan enzim ekstraseluler LiP, MnP, dan Lakase. Enzim yang dihasilkan ini berperan dalam pelapukan kayu, pendegradasian sampah, serta lignin. Phanerochaete chrysosporium mempunyai suhu pertumbuhan terbaik 40oC, pH 4-7, dan aerob. Dibandingkan dengan lainnya, kapang pelapuk putih merupakan jenis yang paling efektif mendegradasi lignin dan menyebabkan warna kayu lebih muda. Kapang pelapuk putih memerlukan sumber karbon sebagai energi tambahan atau nutrisinya agar kadar polisakarida dalam kayu tidak didegradasi. Klasifikasi kapang Phanerochaete chrysosporium:

Divisi : Eumycota

SubDivisi : Basidiomycotania

Class : Hymonomycetes

SubClass : Holobasidiomycetidae

Genus : Sporotrichum (Phanerochaete)

Spesies : Chrysosporium

(7)

9

Kapang efektif menguraikan bahan lignoselulosa dengan menghasilkan enzim lignoselulolitik yang berbeda-beda. Pemecahan biomassa berlignoselulosa meliputi pemecahan struktur rantai panjang polisakarida, terutama selulosa dan hemiselulosa, selanjutnya hidrolisis dari polisakarida ini akan menghasilkan komponen gula C-5 dan C-6. Pada produksi bioenergi, gula ini akan dikonversi menjadi bioetanol melalui proses fermentasi (Dashtban et al., 2009).

Gambar

Gambar 2. Kompleks lignin/fenolik-karbohidrat  (modifikasi dari Buranov dan Mazza, 2008)
Gambar 3. Skema Perlakuan Awal (Sumber : Mosier et al. (2005)).
Tabel 1. Enzim Lignolitik yang Dihasilkan white –rot fungi

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan yang dapat diambil yaitu nila pandu (Oreochromis niloticus) memiliki ketahanan yang cukup tinggi hingga kepadatan 10 9 terhadap infeksi bakteri

[r]

Membandingkan konversi yang dihasilkan katalis komersial dengan konversi katalis sintesa dapat disimpulkan bahwa katalis sintesa telah memberikan kinerja yang baik,

Belakangan ini radikalisme agama merebak hampir di semua lapisan masyarakat, mulai kelompok yang terdidik seperti siswa, mahasiswa, guru, dosen, dan kelompok terdidik

dari program madsarasah Tsanawiyah Pesantren Satu atap (mTs-SA) adalah: (a) meningkatkan akses pendidikan dasar dalam rangka wajib belajar, melalui pembangunan madsarasah

Strategi yang diterapkan Kepala Madrasah dalam menjalankan proses kepemimpinannya di Madrasah Tsanawiyahh Satu Atap Mikrajussibyan NW Selanglet adalah dengan

Berdasarkan hasil perhitungan dapat disimpulkan bahwa pembelaja- ran dengan menggunakan pendekatan saintifik efektif dalam meningkatkan keterampilan menginduksi dan

Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besarremaja termasuk dalam kategori melakukan perilaku seksual pranikah yaitusebanyak 40 responden (50,6%),