• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Kesum(Polygonum minus) sebagai Larvasida Aedes aegypti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Kesum(Polygonum minus) sebagai Larvasida Aedes aegypti"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Cerebellum. Volume 2. Nomor 4. November 2016 Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Kesum(Polygonum minus)

sebagai Larvasida Aedes aegypti Atika1, Muhammad Ibnu Kahtan2, Effiana3

1

Program Studi Pendidikan Dokter, FK UNTAN

2

Departemen Pre Klinik Parasitologi Medik, Program Studi Pendidikan Dokter, FK UNTAN

3

Departemen Pre Klinik Mikrobiologi Medik, Program Studi Pendidikan Dokter, FK UNTAN

Abstrak

Latar Belakang. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang endemik di Kalimantan Barat. Demam berdarah dengue diakibatkan oleh virus dengue yang dibawa oleh vektor nyamuk spesies Aedes aegypti. Daun kesum (Polygonum minus) merupakan tanaman yang banyak ditemukan di dataran Kalimantan Barat yang biasa digunakan sebagai bahan makanan dan juga obat tradisional. Metodologi. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan pendekatan post-test only control group design. Uji aktivitas larvasida menggunakan ekstrak etanol daun kesum dengan konsentrasi 0,75%, 0,5%, 0,25% dan 0,125%. Kontrol positif menggunakan 10 mg Abate®, sedangkan kontrol negatif hanya menggunakan air.

Hasil. Ekstrak etanol daun kesum tidak menimbulkan mortalitas terhadap larva Aedes aegypti

namun diduga mampu menghambat pertumbuhan dan pergantian kulit larva. Kesimpulan. Ekstrak etanol daun kesum hingga konsentrasi 0,75% tidak memiliki aktivitas larvasida terhadap larva

Aedes aegypti. Senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam ekstrak etanol daun kesum adalah alkaloid, flavonoid, saponin dan tanin. Konsentrasi yang paling efektif untuk membunuh larva Aedes aegypti tidak dapat ditemukan.

Kata Kunci: Larvasida, ekstrak etanol, daun kesum, Aedes aegypti

Background. Dengue hemorrhagic fever (DHF) is one of endemic disease in West Borneo. Dengue hemorrhagic fever caused by dengue virus that carried by mosquito species Aedes aegypti as its vector. Leaf of kesum (Polygonum minus) is a plant that found plenty in West Borneo’s plain that is commonly used as food ingredient and also as traditional medicine. Method. This research is experimental with post-test only control group design approaches. Larvicidal activity test using ethanol extract of leaf of kesum with concentration 0,75%, 0,5%, 0,25% and 0,125%. Positive control using 10 mg of Abate®, while the negative control using only water. Result. The ethanol extract of leaf of kesum didn’t caused mortality to Aedes aegypti larvae, but suspected to be able to inhibit its growth and moulting process. Conclusion. The ethanol extract of leaf of kesum until the concentration is 0,75% didn’t have larvicidal activity against Aedes aegypti larvae. Sencondary metabolites contained in the ethanol extract of leaf of kesum are alkaloids, flavonoids, saponins and tannins. The most effective concentration to make mortality to the Aedes aegypti larvae could not be found.

Keywords: Larvicides, ethanol extract, leaf of kesum, Aedes aegypti

(2)

Jurnal Cerebellum. Volume 2. Nomor 4. November 2016 LATAR BELAKANG

Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi virus yang ditularkan melalui vektor nyamuk. Demam berdarah dengue banyak dijumpai pada wilayah perkotaan dan semi-perkotaan yang memiliki iklim tropis maupun subtropis di seluruh dunia.1 Demam berdarah dengue ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang terinfeksi virus dengue (DENV) dari genus Flavivirus, famili Flaviridae. Nyamuk Aedes albopictus juga dapat menularkannya, namun kasus ini jarang terjadi.2

Demam berdarah dengue menurut data World Health Organization (WHO) telah menjadi penyakit endemik pada lebih dari 100 negara di Afrika, Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara, dan Pasifik Barat. Prevalensi tertinggi dimiliki oleh Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat dengan 1,2 juta kasus pada tahun 2008, lebih dari 2,3 juta kasus pada tahun 2010 dan terus meningkat setiap tahunnya.1 Demam berdarah dengue menjadi masalah kesehatan utama di lima negara Asia Tenggara, yaitu

Indonesia, Myanmar, Sri Lanka, Thailand dan Timor-Leste. Indonesia mencapai rekor kejadian DBD tertinggi pada tahun 2007 sebanyak 150.000 kasus dengan kurang lebih 1% kematian.3 Kementerian Kesehatan mencatat 158.912 kasus DBD terjadi di Indonesia selama tahun 2009 dan Kalimantan Barat merupakan satu diantara 10 provinsi dengan kasus terbanyak yaitu 5.619 kasus terinfeksi dan 114 kasus meninggal.2

Angka Bebas Jentik (ABJ) merupakan faktor utama yang dapat menghambat peningkatan angka kejadian DBD. Target ABJ nasional adalah 95% sedangkan ABJ di Kota Pontianak pada tahun 2013 tercatat sebesar 69% yang mana masih jauh dibawah angka target.4 Dinas Kesehatan maupun WHO menganjurkan untuk melakukan beberapa pengendalian vektor demi meminimalisir angka kejadian DBD, salah satunya dengan penggunaan larvasida. Larva Aedes aegypti hidup di tempat yang berair bersih, maka perlu diperhatikan penggunaan larvasida yang ramah lingkungan, tidak beracun bagi spesies lain dan 668

(3)

Jurnal Cerebellum. Volume 2. Nomor 4. November 2016

tidak akan merubah rasa, bau serta warna air.3 Larvasida yang digunakan secara global hingga saat ini adalah temefos 1%. Temefos merupakan organofosfat yang telah diperkenalkan oleh Environmental Protection Agency atau EPA sejak tahun 1965 untuk pengendalian larva nyamuk. Penelitian mengenai resistensi temefos masih jarang dilakukan, namun Lima dkk telah menemukan adanya resistensi temefos 1% terhadap larva Aedes aegypti di Rio de Janeiro pada tahun 1999.5 Penggunaan temefos melebihi konsentrasi yang dianjurkan juga dapat menyebabkan stimulasi berlebihan sistem saraf yang mengakibatkan mual, pusing dan kebingungan pada manusia.6

Hasil survei literatur yang dilakukan oleh Kishore dkk menyimpulkan bahwa efektifitas fitokimia melawan larva nyamuk bergantung pada zat kimia alami yang terkandung dan metabolit sekunder seperti alkana, alkena, lakton, minyak esensial dan asam lemak, terpenoid, alkaloid, steroid, isoflavonoid, pterokarpan dan lignin.7 Beberapa zat yang bersifat

larvasida tersebut dapat ditemukan di dalam daun kesum (Polygonum minus) yang merupakan tumbuhan yang endemik di Kalimantan Barat. Daun kesum merupakan salah satu tumbuhan alami yang mengandung metabolit sekunder berupa flavonoid, aldehid, terpenoid, gerniol dan senyawa fenolik.8 Hasil skrining fitokimia ekstrak etanol daun kesum yang diteliti oleh Imelda dkk membuktikan adanya metabolit sekunder berupa alkaloid, flavonoid, fenol, triterpenoid, saponin serta tanin.9 Etanol sendiri merupakan salah satu pelarut yang digunakan untuk melarutkan senyawa organik dan sering menjadi pilihan utama sebagai pelarut untuk bahan-bahan alami karena sifatnya yang tidak beracun dan semi-polar.10

METODE

Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni yang menggunakan pendekatan post-test only control group design yang mana dalam rancangan ini baik kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen dipilih dengan cara acak 669

(4)

Jurnal Cerebellum. Volume 2. Nomor 4. November 2016

dan tidak diberi pre-test. Sampel penelitian akan dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Kemudian kelompok eksperimen diberikan intervensi dan bersama-sama dengan kelompok kontrol dilakukan post-test. Hasil akan didapatkan adanya pengaruh dari intervensi terhadap kelompok eksperimen.11 Perhitungan larva yang mati dilakukan di akhir penelitian untuk mengukur aktivitas ekstrak etanol daun kesum sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti.

Alat Penelitian

Alat yang digunakan untuk melakukan penelitian yaitu pisau, rotary evaporator, gelas beker, oven, corong kaca, timbangan, batang pengaduk kaca, sendok stainless, desikator, peralatan maserasi, botol kaca gelap, neraca analitik, pipet tetes, mikropipet, wadah plastik, tabung reaksi, rak tabung reaksi, gelas ukur, krus porselen bertutup, kertas label, kertas saring, aluminium foil, kaca objek, kaca penutup objek dan mikroskop.

Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain daun kesum, etanol 70% (teknis), asam asetat glasial, asam sulfat pekat, kloroform, akuades, pereaksi Mayer, pereaksi Wagner, NaCl 10%, FeCl3 5%, Mg, HCl pekat, Abate®, larva Aedes aegypti dan pakan ikan.

Pengambilan Sampel

Sampel yang digunakan adalah daun kesum (Polygonum minus) yang diambil dari perkebunan di Jalan Sungai Raya Dalam, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Daun kesum yang diambil dideterminasi di Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tanjungpura.

Pengolahan Sampel

Daun kesum yang telah dikumpulkan disortasi basah dari kotoran yang masih menempel dan elemen-elemen yang tidak dibutuhkan seperti akar, batang, tanah, kerikil, rumput liar, sampah dan dedaunan yang berbeda jenis,

(5)

Jurnal Cerebellum. Volume 2. Nomor 4. November 2016

serta daun-daun yang sudah jelek atau rusak.12 Kemudian dicuci dengan air mengalir untuk membersihkan daun kesum dari kotoran yang masih menempel, lalu dikeringkan dengan cahaya matahari tidak langsung dan dilanjutkan dengan sortasi kering. Setelah melalui proses sortasi kering daun kesum dihaluskan menggunakan blender dengan hasil akhir simplisia bubuk.

Pembuatan Ekstrak

Ekstrak dibuat menggunakan metode maserasi dengan memasukkan pelarut etanol 70% ke dalam wadah gelap berisi simplisia daun kesum hingga simplisia terendam. Hasil maserasi disaring menggunakan kertas saring, kemudian ampasnya diberi pelarut etanol baru dan dilakukan maserasi ulang. Pelarut diganti setiap 24 jam sekali hingga filtrat terakhirnya bening dan diaduk setiap delapan jam sekali untuk menghindari penurunan perpindahan bahan aktif. Ekstrak hasil maserasi yang telah diberi perlakuan masih mengandung pelarut dan konsistensinya cair

sehingga perlu dilakukan teknik pemisahan pelarut dengan pemekatan maserat menggunakan alat rotary evaporator pada suhu 60⁰C dengan kecepatan 122 putaran/menit. Selanjutnya, ekstrak ditangas di atas water bath dengan suhu 50⁰C hingga didapatkan ekstrak kental.13

Skrining Fitokimia Alkaloid

Satu mL ekstrak ditambahkan lima tetes kloroform. Tambahkan beberapa tetes reagen Mayer ke dalam campuran. Ditemukannya endapan putih membuktikan adanya alkaloid.14

Flavonoid

Ekstrak ditambahkan dengan serbuk magnesium sebanyak satu gram dan larutan asam klorida pekat. Warna kuning pekat yang dihasilkan mengindikasikan adanya flavonoid.14

Saponin

Ekstrak sebanyak 0,5 gram dikocok bersama 2 mL air hingga berbusa. Bila busa yang dihasilkan bertahan selama sepuluh menit, maka hal tersebut mengindikasikan adanya saponin.15

Tanin

(6)

Jurnal Cerebellum. Volume 2. Nomor 4. November 2016

Ekstrak dicampur dengan 2 mL larutan FeCl3 5%. Warna biru kehijauan atau hitam yang terbentuk mengindikasikan adanya tanin.14

Steroid

Ekstrak dicampur dengan 1 mL asam asetat glasial dan 1 mL asam sulfat pekat yang ditambahkan dari samping. Warna larutan yang menjadi biru atau ungu mengindikasikan adanya senyawa steroid.14

Hewan Uji

Hewan uji didapat dari Laboratorium Entomologi Dinas Kesehatan Surabaya dalam bentuk telur nyamuk Aedes aegypti. Telur ditetaskan dengan merendamnya di dalam wadah berisi air. Setelah telur menetas menjadi larva dan berkembang hingga instar III dan IV, larva dijadikan sampel penelitian.

Uji Aktivitas Larvasida

Uji aktivitas ekstrak daun kesum sebagai larvasida ini bertujuan untuk menemukan konsentrasi ekstrak yang memiliki aktivitas terbaik dalam membunuh larva Aedes aegypti. Disiapkan enam

buah gelas beker untuk seluruh kelompok uji. Kelompok uji dibagi menjadi dua bagian, yaitu kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Kelompok kontrol terdiri atas kontrol positif, yaitu 10 mg Abate® dalam 100 mL akuades dan kontrol negatif, yaitu 100 mL akuades. Kelompok perlakuan terdiri dari empat konsentrasi ekstrak etanol daun kesum yang berbeda, yaitu 0,75%, 0.5%, 0,25% dan 0,125% dalam 100 mL akuades.

Larva Aedes aegypti dimasukkan kedalam semua gelas sebanyak 25 ekor untuk masing-masing gelas. Setelah 24 jam, larva akan diberi stimulus seperti mengacaukan air dan menyentuh bagian leher atau sifon larva. Larva Aedes aegypti yang hidup akan aktif bergerak saat diberi stimulus. Larva Aedes aegypti yang telah mati tidak akan memberi respon terhadap stimulus yang diberi. Pengamatan dan perhitungan jumlah larva yang mati dilakukan setelah 24 jam. Uji ini akan diulangi sebanyak empat kali. Hasil akhir dicatat dan dianalisa.

(7)

Jurnal Cerebellum. Volume 2. Nomor 4. November 2016 HASIL

Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia dilakukan menggunakan sampel ekstrak etanol daun kesum. Senyawa metabolit sekunder yang diperiksa, yaitu alkaloid, flavonoid, tanin, saponin dan steroid.

Metabolit sekunder yang dianalisis antara lain golongan flavonoid, alkaloid, tanin, saponin dan steroid. Imelda telah melakukan identifikasi senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam ekstrak etanol daun kesum dan didapatkan hasil adanya metabolit sekunder berupa flavonoid, alkaloid, fenol, triterpenoid, tanin serta saponin, namun tidak mengandung steroid.9 Hasil skrining yang peneliti lakukan mendapatkan hasil bahwa ekstrak etanol daun kesum mengandung senyawa metabolit sekunder berupa flavonoid, alkaloid, tanin dan saponin.

Uji Aktivitas Larvasida

Uji larvasida dengan berbagai konsentrasi ekstrak dilakukan terhadap larva Aedes aegypti instar III/IV. Pengukuran suhu dan pH

pada medium uji dilakukan sebelum dan setelah perlakuan, yang mana tidak terdapat perbedaan suhu dan pH pada kelompok kontrol dan perlakuan.

Pengukuran suhu dan pH dilakukan pada semua kelompok sebelum dan sesudah perlakuan. Hasil yang didapatkan ialah tidak terdapatnya perubahan suhu dan pH pada waktu sebelum dan sesudah perlakuan. Hal ini dapat menunjukkan bahwa suhu dan pH medium sebagai faktor eksternal tidak mempengaruhi aktivitas yang terjadi pada kelompok uji terhadap larva Aedes aegypti.

Uji aktivitas larvasida pada penelitian ini menggunakan empat kelompok perlakuan dengan variasi konsentrasi ekstrak etanol daun kesum sebagai berikut: 0,75%, 0,5%, 0,25% dan 0,125%. Hasil penelitian didapat 24 jam setelah pemberian ekstrak etanol daun kesum ke dalam masing-masing kelompok perlakuan. Mortalitas larva dilihat dari jumlah larva yang mati ataupun hampir mati yang diperiksa dengan mengacaukan air dan dipastikan dengan menggunakan ujung batang 673

(8)

Jurnal Cerebellum. Volume 2. Nomor 4. November 2016

pengaduk stainless yang disentuhkan ke bagian servikal larva. Larva yang mati tidak akan bergerak meski air dikacau dan larva yang hampir mati akan kesulitan untuk menyelam ke dasar wadah ketika air dikacau.16

PEMBAHASAN

Melalui hasil perhitungan mortalitas larva menurut pengamatan yang telah dilakukan, dapat dinyatakan bahwa ekstrak etanol daun kesum tidak memiliki efek sebagai larvasida Aedes aegypti yang berarti. Hasil identifikasi menunjukkan seluruh kelompok konsentrasi, yaitu 0,75%, 0,5%, 0,25% dan 0,125% memiliki perbedaan yang signifikan dengan kelompok kontrol positif. Hal ini membuktikan bahwa ekstrak etanol daun kesum pada konsentrasi 0,75%, 0,5%, 0,25% dan 0,125% tidak memiliki efek sebagai larvasida Aedes aegypti bila dibandingkan dengan temefos yang menyebabkan mortalitas larva Aedes aegypti hingga 100%. Seluruh kelompok konsentrasi menunjukkan bahwa dosis yang diberikan belum mampu

untuk menyebabkan mortalitas terhadap larva Aedes aegypti.

Diketahui bahwa hingga konsentrasi 0,75% dari ekstrak etanol daun kesum belum mampu memberikan efek terhadap mortalitas larva Aedes aegypti. Hal ini menjelaskan bahwa ekstrak etanol daun kesum hingga konsentrasi 0,75% tidak memiliki kandungan bahan aktif yang toksik bagi larva yang mampu untuk memberikan efek mortalitas bagi larva Aedes aegypti. Bahan aktif yang dimiliki oleh ekstrak etanol daun kesum pada penelitian ini hanya memiliki efek yang cukup untuk menghambat pertumbuhan larva, namun tidak untuk mematikannya.

Senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam ekstrak etanol daun kesum yang telah dilihat dari hasil skrining fitokimia antara lain adalah alkaloid, flavonoid, saponin dan tanin. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif sehingga tidak dapat diketahui kuantitas dari tiap senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam ekstrak etanol daun kesum. Akan tetapi, dapat dilihat bahwa senyawa 674

(9)

Jurnal Cerebellum. Volume 2. Nomor 4. November 2016

metabolit sekunder yang efeknya ditunjukkan dari hasil penelitian ini, yaitu alkaloid dan tanin yang mana bekerja dalam menggagalkan metamorfosis larva serta menghambat pertumbuhan larva.

Sudarmo menjabarkan cara kerja alkaloid terhadap larva yang mana ditemukan bahwa alkaloid bekerja dengan menghambat pertumbuhan serangga dengan menghambat tiga hormon utama, yaitu hormon otak (brain hormone), hormon ekdison dan hormon jouvenille. Akibat yang ditimbulkan dari terhambatnya ketiga hormon tersebut adalah kegagalan metamorfosis sehingga larva Aedes aegypti tidak dapat berkembang menjadi pupa.17 Selain itu, Dinata mengatakan bahwa tanin bekerja dengan cara mengganggu aktivitas penyerapan protein pada dinding usus larva, sehingga respon yang ditimbulkan akibat senyawa ini adalah menurunnya laju pertumbuhan dan juga terjadinya gangguan penyerapan nutrisi pada larva.18

Aktivitas senyawa metabolit lain seperti flavonoid dan saponin

yang dapat mengakibatkan mortalitas pada larva diduga tidak terlihat efeknya dikarenakan kuantitasnya yang tidak cukup untuk menyebabkan mortalitas terhadap larva.

Penelitian sebelumnya tentang uji toksisitas ekstrak metanol daun kesum yang dilakukan oleh Kurniawan dkk terhadap larva Artemia salina Leach. didapatkan hasil bahwa pada konsentrasi 1%, ekstrak daun kesum telah menunjukkan efek toksisitas.19 Perbedaannya dengan penelitian ini adalah pelarut yang peneliti sebelumnya gunakan berupa metanol, sedangkan pelarut yang digunakan pada penelitian ini berupa etanol.

Etanol merupakan pelarut yang bersifat semi-polar, yang mana bekerja menarik senyawa metabolit sekunder yang bersifat non-polar dan juga semi-polar, namun tidak bekerja secara efektif untuk menarik senyawa metabolit sekunder yang bersifat polar. Berbeda dengan pelarut metanol, yang mana merupakan pelarut yang bersifat polar, sehingga dapat menarik 675

(10)

Jurnal Cerebellum. Volume 2. Nomor 4. November 2016

senyawa metabolit sekunder yang bersifat polar dengan baik. Senyawa metabolit sekunder yang terkandung di dalam daun kesum sendiri antara lain flavonoid, alkaloid, saponin dan tanin yang mana alkaloid dan tanin memiliki sifat semi-polar yang akan terlarut dalam pelarut etanol, sedangkan flavonoid dan saponin memiliki sifat polar sehingga akan sulit untuk terlarut dalam pelarut etanol.13,15,20

Ambarningrum et al melakukan penelitian yang membuktikan bahwa semakin tinggi konsentrasi yang digunakan maka akan semakin tinggi pula metabolit sekunder yang terkandung. Tingginya senyawa metabolit sekunder kemudian akan berpengaruh pada efek yang ditimbulkan. Peningkatan dosis kandungan senyawa metabolit sekunder atau zat aktif yang toksik bagi serangga menjadi penyebab peningkatan mortalitas terhadap suatu spesies serangga. Semakin tinggi senyawa metabolit sekunder yang terkandung maka semakin tinggi pula efektivitasnya sebagai larvasida.21

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai aktivitas ekstrak etanol daun kesum sebagai larvasida Aedes aegypti, dapat disimpulkan bahwa:

1. Ekstrak etanol daun kesum (Polygonum minus H.) konsentrasi 0,125% hingga 0,75% tidak memiliki aktivitas sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti.

2. Ekstrak etanol daun kesum (Polygonum minus H.) mengandung senyawa metabolit sekunder, antara lain; alkaloid, flavonoid, saponin dan tanin. 3. Tidak didapatkan konsentrasi

paling efektif dari ekstrak etanol daun kesum untuk membunuh larva nyamuk Aedes aegypti.

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Dengue and severe dengue. WHO. 2015.

Available from:

http://who.int/mediacentre/factsheets/f s117/en/

2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi: Topik Utama Demam

(11)

Jurnal Cerebellum. Volume 2. Nomor 4. November 2016

Berdarah Dengue. 2nd ed. Jakarta: Pusat Data dan Surveilans Kementrian Kesehatan RI, Bakti Husada; 2010. 3. World Health Organization. Dengue:

guidelines for diagnosis, treatment, prevention, and control. Special Programme for Research and Training in Tropical Diseases. New. Geneva: TDR : World Health Organization; 2009. 147 p.

4. Dinas Kesehatan Pontianak. Rencana Strategis Dinas Kesehatan Kota Pontianak Tahun 2015-2019. Pontianak: Dinas Kesehatan Kota Pontianak; 2014.

5. Lima JBP, Da-Cunha MP, Da Silva RCJ, Galardo AKR, Soares S da S, Braga IA, et al. Resistance of Aedes aegypti to organophosphates in several municipalities in the State of Rio de Janeiro and Espírito Santo, Brazil. Am J Trop Med Hyg. 2003 Mar;68(3):329– 33.

6. United States Environmental Protection Agency. Temephos Reregistration Eligibility Decision.

2015. Available from:

http://www.epa.gov/pesticides/reregistr ation/temephos/

7. Kishore N, Mishra BB, Tiwari VK, Tripathi V, Lall N. Natural products as leads to potential mosquitocides. Phytochem Rev. 2014 Sep;13(3):587– 627.

8. Gor MC, Ismail I, Mustapha WAW, Zainal Z, Noor NM, Othman R, et al. Identification of cDNAs for jasmonic

acid-responsive genes in Polygonum minus roots by suppression subtractive hybridization. Acta Physiol Plant. 2011 Mar;33(2):283–94.

9. Imelda F, Faridah DN, Kusumaningrum HD. Bacterial inhibition and cell leakage by extract of Polygonum minus Huds. leaves. Int Food Res J. 2014;21(2):553–60. 10. Direktur Jenderal Pengawas Obat dan

Makanan. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan; 2000.

11. Imron T.A. M, Munif A. Metodologi Penelitian Bidang Kesehatan. Jakarta: CV Sagung Seto; 2010.

12. Prasetyo, Sukarjo EI. Pengelolaan Budidaya Tanaman Obat-Obatan (Bahan Simplisia). Bengkulu: Badan Penerbitan Fakultas Pertanian UNIB; 2013.

13. Harborne JB. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. 4th ed. Bandung: Penerbit Institut Teknologi Bandung; 2006. 14. Yadaf R, Agarwala M. Phytochemical

analysis of some medicinal plants. J Phytol. 2011;3(12):10–4.

15. Tiwari P, Kumar B, Kaur M, Kaur G, Kaur H. Phytochemical Screening and Extraction: A Review. Int Pharm Sci. 2011 Mar;1(1):98–106.

16. World Health Organization. Guidelines for Laboratory and Field Testing of Mosquito Larvacides. Geneva: WHO; 2005.

(12)

Jurnal Cerebellum. Volume 2. Nomor 4. November 2016

17. Sudarmo S. Pestisida Nabati. Yogyakarta; 2009. (5).

18. Dinata A. Sistem Penularan dan Penanggulangan Penyakit Bersumber Binatang. 2007 Desember;II.

19. Kurniawan H. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Metanol Daun Kesum (Polygonum minus Huds) terhadap Larva Artemia salina Leach dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). J Untan. 2012;

20. Handa SS, Khanuja SPS, Longo G, Rakesh DD. Extraction technologies

for medicinal and aromatic plants. Trieste: International Centre for Science and High Technology; 2008. 21. Ambarningrum TB, Setyowati EA,

Susatyo P. Aktivitas Anti Makan Ekstrak Daun Sirsak (Annona muricata

L.) dan Pengaruhnya Terhadap Indeks Nutrisi Serta Terhadap Struktur Membran Peritrofik Larva Instar V

Spodoptera litura F. J HTP Trop. 2012;12(2):169–76.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam konteks keperluan analisis dan evaluasi biaya kemacetgn, Ialu lintas yang disebabkan oleh peningkatan jumlah pengguna sepeda motor sebagai koridor utama

Apabila wajib pajak tidak mengisi dan menyampaikan SPOP atau berdasarkan pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah PBB P2 terhutang kurang dibayar, maka

Zakat yang oleh umat Islam dipedomani secara ”apa adanya” sebagai mana yang tertuang dalam teks-teks fiqh, oleh Kiai Sahal dirombak dengan menggunakan pendekatan baru yang

Syafruddin Nurdin dan Basyiruddin Usman, Guru Profesional dan lmplementasi Kurikulum (Jakatra: Ciputat Pers, 2002), hlm.. Dengan rencana atau persiapan program belajar

Alhamdulillah, puji syukur atas khadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta inayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

Hasil penelitian menunjukkan OMSK lebih sering ditemukan pada usia >50 tahun dan usia 18-35 tahun, mengenai telinga kiri, dengan perforasi membran timpani sedang-besar, serta

Lama waktu pelayanan pada saat melakukan transaksi pembayaran yang tidak sebanding dengan tingkat kedatangan kendaraan dapat menyebabkan antrian di gardu tol tersebut

Seterusnya perbincangan dan interpretasi maklumat kajian kes dilakukan mengguna Kerangka Konsep Analisis Jaringan Aktor Dalam Pelaksanaan Sistem E-Kerajaan Berorientasikan