• Tidak ada hasil yang ditemukan

86 e-issn: p-issn:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "86 e-issn: p-issn:"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

86 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 KEDUDUKAN HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN

PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 Dwi Dasa Suryantoro

Prodi ahwal asy syakhsiyyah, STAI Nurul Huda Kapongan Situbondo,dasadwi90@gmail.com

Abstrak

Bahwa dalam Pasal 35 ayat 1 UU No. 1/1974 menentukan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda bersama. Disini hanya ditekankan harta yang diperoleh selama perkawinan baik karena usaha suami/istri atau suami-istri bersama-sama otomatis menjadi harta bersama. Tetapi apabila terjadi perceraian maka pembagian harta bersama tetap mengikuti ketentuan hukumnya masing-masing, Dalam kaitannya dalam pernikahan, secara tersirat suami/isteri telah sepakat untuk bekerja sama membina keluarga (rumah tangga) yang didalamnya terdapat perintah mencari penghasilan untuk menunjang terwujudnya keluarga yang sejahtera. Disini antara suami/isteri tidak mempersoalkan pihak mana yang lebih banyak bekerja menghasilkan kekayaan dan tidak pula mempersoalkan jenis kerja masing-masingnya. Pembagian kerja dilakukan sedemikian rupa, dan atas dasar itu, penghasilan yang diperoleh selama masa perkawinan dianggap sebagai harta bersama.

Keywods : Harta Bersama dalam perkawinan,, Jurnal IMTIYAZ;

PENDAHULUAN

Keluarga merupakan unit terkecil dalam bangunan masyarakat. Ia merpukan subsistem dari sistem sosial yang didalamnya berlaku norma-norma etika, moral, agama, dan hukum, disamping juga berinteraksi dengan subsistem-subsistem dari sistem sosial lain dan dengan ekosistemnya. Oleh karena itu, perubahan yang terjadi dalam subsistem-subsistem lain dan dengan ekosistemnya tersebut akan mempengaruhi keluarga. Struktur dan fungsi keluarga akan mengalami perubahan akibat terjadinya perubahan sosial, sebagai akibat antara lain oleh kemajuan yang pesat di bidang sain dan teknologi. Pada era super industri ini terjadi perubahan pada struktur dan fungsi keluarga, dari keluarga besar menjadi keluarga inti, dan dari fungsi yang komplek menjadi hanya tinggal fungsi proteksi. Namun demikian, ada fungsi keluarga yang tidak pernah berubah sepanjang masa, yaitu fungsi peredam serta penstabil kegoncangan dan instabilitas yang terjadi di masyarakat. Setiap anggota keluarga yang telah bergelut dan mengalami kegoncangan dalam mempertahankan hidupnya di luar keluarga, akan mendapatkan ketenangan

(2)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

87 dalam kehidupan rumah tangga.1 Norma-norma yang berlaku dalam keluarga akan mengalami masyarakat. Demikian pula hukum yang mengatur keluarga akan mengalami perubahan akibat terjadinya perubahan masyarakat tersebut. Keluarga, baik substansi, institusi, maupun budayanya terus mengalami perubahan. Perubahan ini dilakukan dalam rangka menjawab tantangan kesetaraan gender dan perlindungan hak asasi manusia. 2

Antara keluarga dan perkawinan sangat erat kaitannya, karena keluarga hanya akan lahir dari suatu perkawinan. Tidak akan ada keluarga, tanpa adanya perkawinan, dan juga tidak ada perkawinan yang tidak membentuk keluarga. Hal ini secara jelas tergambar dalam ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28B ayat 1 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia (lembaran negara republik indonesia [LNRI] tahun 1999 Nomor 165 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia [TLNRI] Nomor 3886, selanjutnya disebut UU HAM), yang menyatakan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, dan dalam pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (LNRI Tahuhn 1974 Nomor 1/1974), yang menyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai uami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sebagai suatu keluarga, suami isteri mempunyai kewajiban yang bersama, antara lain bahwa suami istri wajib saling mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain (Pasal 33 UU No. 1/1974). Itulah filosofi perkawinan, yang tidak lain adalah sebagai ikatan lahir batin di antara suami isteri guna mewujudkan kehidupan rumah tangga yang kekal dan abadi dalam suasana yang penuh kerukunan, cinta dan kasih sayang. Kepada suami isteri sangat dituntut suatu gerak langkah yang bersifat ketersalingan, antara lain saling hormat-menghormati, saling bantu-membantu, saling bekerjasama, saling ketergantungan, dan saling pengertian. 3

Sebagai wujud nyata dari adanya sifat ketersalingan tersebut, UU No. 1/1974 juga mengatur soal harta benda dalam perkawinan. Aturan tersebut menyatakan bahwa:

Pasal 35:

1. Taufiq, Peradian Keluarga Indonesia, dalam hukum keluarga dan Peradilan

Keluarga di Indonesia, (Jakarta Mahkamah Agung RI 2000), hlm.73

2. Ibid hlm. 74

3 . M. Yahya Harahap, Perlawanan terhadap eksekusi, (Bandung, PT. Citra Aditya

(3)

88 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (2) Harta bawaan dari msing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 36:

Mengenai harta bersama, suami isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

Pasal 37:

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing. Yang dimaksud dengan “hukunya” masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya (penjelasan Pasal 37).

Berangkat dari persoalan diatas maka penulis ingin mengetahui bagaimana kedudukan harta bersama dalam rumah tangga presppektif Undang-Undang No.1 Tahun 1974.

II. Metode

Metode penelitian merupakan suatu tahapan dalam melakukan suatu kegiatan penelitian sebagaimana nantinya dapat menjalankan fungsi peneiltian, dimana fungsi penelitian untuk mendapatkan suatu kebenaran. 4

Suatu kebenaran harus bersumber pada ilmu pengetahuan yaitu darimana sumber-sumber pengetahuan itu diperoleh, apakah sumber pengetahuan tesebut dapat dipercaya atau tidak. Untuk itu perlu adanya suatu metode dalam kegiatan penelitian setidaknya dengan menggunakan teknik pendekatan yaitu Wawancara, Observasi, dan Dokumetasi.

Dengan demikian tanpa adanya suatu metode penelitian, peneliti tidak akan pernah mendapatkan sumber-sumber pengetahua dalam penelitiannya sehingga kebenaran yang dicari sebagaimana fungsi dari penelitian itu sendiri tidak akan pernah mendapatkan kebenaran.

Bahwa dalam penelitian hukum terdapat dua model jenis pendekatan yaitu pendekatan penelitian hukum empiris dan penelitian hukum normatif. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum yuridis normatif dimana penelitian ini mempunyai sifat Deskriptif, yang maksudnya pendekatan berdasarkan peraturan perundang-undangan serta hukum yang berkaitan erat dengan masalah yang akan diteliti yang bersumber pada fakta yang sebenarnya di dalam masyarakat dan bahan pustaka atau data sekunder.

4 . .Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Perdana Media

(4)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

89 Pedekatan yang penulis lakukan ini berdasarkan peraturan perundang-undangan dan teori-teori yang berkaitan dengan kedudukan harta bersama dalam perkawinan perspektif Undang-Undang no.1 Tahun 1974.

PEMBAHASAN

Berbicara mengenai harta bersama berarti berbicara soal harta perkawinan karena ia merupakan bagian daripadanya. Harta perkawinan menurut pasal 35 ayat 1 menjelaskan bahwa harta bersama merupakan harta yang diperoleh sesama perkawinan sedangkan dalam ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 menjelaskan tentang harta bawaan dalam perkawinan.

Menurut Andi Hamzah, terdiri dari empat unsur pertama, harta asal (warisan) dan pemberian yang diperoleh suami/isteri sebelum katan perkawinan berlangsung; kedua, harta pendapaan suami/isteri selama ikatan perkawinan berlangsung; ketiga, hara usaha bersama suami/isteri selama ikatan perkawinan berlangsung, dan keempat, harta yang diperoleh suami/isteri sebagai hadiah selama berlangsungnya ikatan perkawinan.

Hampir berbeda dengan itu adalah perincian yang dilakukan oleh Hilman Hadikusuma yang mengelompokkan harta perkawinan ke dalam empat unsur, yaitu pertama harta bawaan, yakni harta yang dibawa oleh suami/isteri ke dalam ikatan perkawinan, baik yang berupa hasil jerih payah masing-masing ataupun yang berasal dari hadiah atau warisan yang diperoleh sebelum dan sesudah perkawinan mereka berlangsung; kedua harta pencarian, yakni harta yang diperoleh sebagai hasil karya suami/isteri selama ikatan perkawinan berlangsung, ketiga harta peninggalan, dan keempat harta pemberian seperti hadiah, hibah, dan lain-lain.5

Sepintas, terkesan ada perbedaan mengenai unsur harta perkawinan antara apa yang dikemukakan Andi Hamzah dengan Hilman Hadikusuma. Tetapi, pada prinsipnya, tidak ada perbedaan dimaksud, karena unsur yang pertama dalam pandangan Andi Hamzah sama dengan apa yang dimaksud oleh Hilman Hadikusuma sebagai harta bawaan. Unsur yang kedua dalam pandangan Andi Hamzah sama dengan apa yang dimaksud dengan unsur ketiga oleh Hilman Hadikusuma. Unsur yang ketiga dalam pandangan Andi Hamzah sama dengan apa yang dimaksud unsur kedua oleh Hilman Hadikusuma, dan unsur keempat dalam pandangan Andi Hamzah sama dengan apa yang dimaksud pada unsur keempat oleh Hilman Hadikusuma.

Namun demikian, pada unsur keempat dalam pandangan Andi Hamzah telah dikhususkan pada hadiah, sehingga untuk hibah dimasukkannya dalam unsur kedua. Sementara Hilman Hadikusuma memasukkan hadian dalam

5 . Hilman Hadikusua, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung, CV. Mandaraju,

(5)

90 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 unsur keempat yakni dalam kategori pemberian, yang termasuk didalamnnya hibah dan hadiah.

Secara ringkas baik menurut pandangan Andi Hamzah maupun Hilman Hadikusuma, harta perkawinan itu terdiri dari harta bawaan, harta bersama dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah, hibah atau warisan selama ikatan perkawinan berlangsung.

Bahwa dalam Pasal 35 ayat 1 UU No. 1/1974 menentukan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda bersama. Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa apabila perkawinan putus, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Hanya inilah ketentuan mengenai pengertian harta bersama dalam UU No. 1/1974. Bagaimana wujud dan ruang lingkup dari harta bersama itu, UU No. 1/1974 sendiri tidak menjabarkannya lebih lanjut. Namun demikian, disini telah terpancang suatu kaidah hukum bahwa semua harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan menjadi uris diksi harta bersama.

Undang-undang sendiri tidak memerinci dan menjelaskan lebih lanjut bagaimana wujud dan ruang lingkup harta bersama, maka disini dapat mengacu pada ketentuan pasal 91 KHI yang pada intinya menentukan bahwa harta bersama itu dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud. Benda berwujud disini dapat meliputi benda tidak bergerak. Benda berwujud disini dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga, sedangkan benda tidak terwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.

Berdasarkan rincian tersebut, maka harta bersama itu termasuk dalam kategori benda, yang secara yuridis adalah segalah sesuatu yang dapat menjadi obyek hak milik.6 Secara kategoris ada beberapa macam benda, yakni benda

berwujud (lichamelijk) dan benda tidak berwujud (onlichamelijk), benda bergerak dan benda tidak bergerak, benda yang dapat dipakai habis (verbruikbaar) dan benda yang tidak dapat dipakai habis (onverbruikbaar)

benda yang sudah ada (tegenwoordigde zaken) dan benda yang masih akan ada (toekomstige) benda dalam perdagangan (zaken in de handle) dan benda di luar perdagangan (zaken buiten de handle) serta benda yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi. Sedangkan dalam pasal 1 angka 4 UUF, benda itu adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun tidak terdaftar, yang bergerak maupun tidak bergerak.

R. Subekti membagi benda menjadi dua pengertian, yaitu benda dalam pengertian luas dan dalam pengertian sempit. Benda dalam pengertian luas adalah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang dam karena itu benda

(6)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

91 termasuk obyek hukum. Sedangkan benda dalam pengertian sempit berarti “barang yang terlihat” saja, dan dapat juga berarti “kekayaan yang dimiliki seseorang”. Jika benda dimasukkan dlam pengertian yang terakhir, maka ia meliputi juga barang-barang yang tidak dapat dilihat, seperti hak-hak yang dimiliki oleh seseorang”. Jika benda dimaksudkan dalam pengertian yang terakhir, maka ia meliputi juga barang-barang yang tidak dapat dilihat, seperti hak-hak yang dimiliki oleh seseorang. 7

Undang-undang telah mengklasifikasi benda menjadi beberapa klasifikasi, dan salah satu yang terpenting di antaranya adalah klasifikasi benda menjadi benda bergerak dan tidak bergerak, karena pembagian tersebut mempunyai akibat yang sangat penting dalam hukum. Berbicara soal benda, tidak bisa lepas dari ketentuan Buku II KUHPerdata, karena disanalah sumber aturan untuk ini berasal. Tetapi, dengan telah dibelakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (LNRI Tahun 1960 Nomor 104 – TLNRI Nomor 2043, yang disebut Undang-Undang Pokok Agraria, selanjutnya disebut UUPA), berpengaruh besar terhadap dayalaku ketentuan Buku II KUHPerdata tersebut, khususnya dalam bidang pertahanan. Hal ini disebabkan karena ketentuan UUPA dimaksud mencabut beberapa aturan di bidang pertahanan yang berlaku sebelumnya, antara lain adalah ketentuan Buku ke-II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air, serta kekayaan atau yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya Undang-Undang ini. (cetak tebal dari penulis).

Dengan demikian, pasca diundangnya UUPA, semua ketentuan mengenai hak-hak kebendaan sepanjang mengenai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang terdapat dalam Buku II KUHPerdata, dicabut, kecuali aturan mengenai hipotek. Tetapi, setelah berlangsung selama lebih dari tiga setengah dasawarsa, tepatnya hampir 35 tahun enam bulan, dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang berkaitan dengan tanah (LNRI Tahun 1996 Nomor 42 – TLNRI Nomor 3632, yang disebut Undang-Undang Hak tanggungan, selanjutnya disebut UUHT) aturan mengenai hipotek terhadap hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah pun dinyatakan dalam pasal 29 UUHT yang menyatakan bahwa dengan berlakunya Undang-Undang ini, dan ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata

7 . R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cetakan ke 13, (Jakarta, PT Interasa

(7)

92 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. Sedangkan ketentuan mengenai Hypotheek yang tidak berlaku lagi hanya yang menyangkut pembebanan Hypotheek atas hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.8

Dengan demikian, jangkauan dayalaku ketentuan Buku II KUHPerdata menjadi semakin sempit, yang dapat diperinci sebagai berikut :

a. Pasal yang masih berlaku penuh karena tidak menjangkau mengenai soal bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai berikut :

1) Pasal yang dimaksud adalah :pasal tentang benda bergerak, yakni pasal 509 – 518;

2) pasal tentang penyerahan benda bergerak, yakni pasal 612 dan613; 3) pasal tentang bewoning, dan ini hanya mengenai rumah, yakni pasal

826 dan 827;

4) pasal tentang hukum waris, yakni pasal 830 – 1130. Walaupun ada beberapa pasal dalam Hukum Waris yang juga mengenai tanah, tanah tersebut diwarisi menurut hukum yang berlaku bagi si pewaris; 5) pasal tentang piutang yang diistimewakan (Previlegie), yakni Pasal

1131 – 1149;

6) 6. pasal tentang gadai, karena gadai hanya mengenai benda bergerak, yakni Pasal 1150 – 1160;

7) pasal tentang Hipotik, untuk selain tanah, yang dalam hal ini adalah Pasal 1168 dan 1169,

8) Pasal 1171 ayat 3 dan 4, Pasal 1175 dan 1176 ayat 2, Pasal 1177 dan 1178, Pasal 1180,

9) Pasal 1186 dan 1187, pasal 1189 dan 1190, pasal 1193, Pasal 1197, pasal 1205, Pasal

10) 1207 sampai dengan 1219 dan Pasal 1224 sampai dengan Pasal 1227. b. Pasal yang menjadi tak berlaku lagi, yaitu pasal yang mengatur tentang bumi, air dan kekayan alam yang terkandung di dalamnya. Pasal-pasal tersebut adalah :

1. Pasal tentang benda tak bergerak, yang hanya berhubungan dengan Hak-hak mengenai tanah;

2. Pasal tentang ara memperoleh hak milik, yang hanya mengenai tanah; 3. Pasal mengenai penyerahan benda-benda tak bergerak, tak pernah

berlaku;

4. Pasal tentang kerja rodi, yakni Pasal 673;

(8)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

93 5. Pasal tentang hak dan kewajiban pemilik pekarangan bertetangga, yakni

Pasal 625 673;

6. Pasal tentang pengabdian pekarangan (erfdienstbaarheid), Yakni Pasal 674 – 710;

7. Pasal tentang hak Opstal, yakni Pasal 711 -719; 8. Pasal tentang hak Erfpacht, yakni Pasal 720 – 736;

9. Pasal tentang bunga tanah dan hasil sepersepuluh, yakni Pasal 737 – 755.

c. Pasal yang masih berlaku, tetapi tidak secara penuh, dalam arti bahwa ketentuan-ketentuannya tidak berlaku lagi sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, tetapi masih tetap berlaku sepanjang mengenai benda-benda lainnya. Pasal yang dimaksud adalah:

1. Pasal-pasal tentang benda pada umumnya;

2. Pasal tentang cara membedakan benda, Pasal 503 -505;

3. Pasal tentang benda, sepanjang tida mengenai tanah, terletak di antara Pasal 529 – 568;

4. Pasal tentang hak milik, sepanjang tidak mengenai tanah, terletak di antara Pasal 570;

5. Pasal tentang Hak memungut hasil (Vruchtgebruuk), sepanjang tidak mengenai tanah, yakni Pasal 756;

6. Pasal tentang Hak Pakai sepanjang tidak mengenai tanah, yakni Pasal 818.

Selain pasal-pasal tersebut, juga semua pasal yang merupakan pelaksanaan atau bertalian dengan pasal yang tak berlaku itu, meskipun tidak tegas-tegas disebut dan letaknya diluar Buku Ke II, yaitu dalam Buku Ke III, Buku Ke IV KUH Perdata juga dianggap tidak berlaku lagi; misalnya Pasal 1955 dan 1963, yaitu pasal yang mengatur tentang syarat-syarat untuk dapat memperoleh hak Eigendom melalui verjaring, yang hakekatnya pasal ini merupakan pelaksanaan dari pasal 610 yang menentukan bahwa bezitter dapat memperoleh hak eigendom atas sesuatu benda melalui verjaring. Juga pasal tentang sewa-menyewa tanah, jual beli tanah dan lain-lain. Karena bertalian dengan tanah yang sudah diatur khusus dalam UUPA, maka pasal-pasal tersebut tidak berlaku lagi. Selain itu juga pasal 621, 622, 623 KUHPerdata mengenai pemberian penegasan tentang hak atas tanah yang menjadi wewenang dari Pengadilan Negeri.

Benda tidak bergerak dapat dibedakan menjadi benda tidak bergerak karena sifatnya, karena tujuannya, dan karena ditentukan demikian oleh undang-undang. Yang digolongkan kedalam pengertian benda tidak bergerak karena sifatnya adalah tanah, rumah, dan segala sesuatu yang melekat diatas

(9)

94 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 tanah, seperti pohon-pohon,(wortelvast) dan tumbuh-tumbuhan kecil (takvast).

Yang digolongkan kedalam pengertian benda tidak bergerak karena tujuannya, seperti mesin alat-alat yang dipakai di dalam pabrik, walaupun sebenarnya ia termasuk kategori benda tidak bergerak, tetapi oleh si yang empunya dalam pemakainnya dihubungkan atau dikaitkan pada benda pokok, yakni benda tak bergerak, sehingga ia termasuk pada benda tak bergerak. Ini pun masih harus dipenuhi beberapa persyaratan, antara lain benda begerak yang dipakai dalam benda pokok itu harus sedemikian bentuk dan konstruksinya, sehingga keduanya sesuai dan terikat untuk dipakai tetap, selain syarat tersebut, syarat lainnya adalah bahwa hanya pemilik benda tiak bergerak yang dijadikan benda pokok itu yang dapat menjadikannya sebagai benda bergerak karena tujuannya, sedangkan orang lain, misalnya pihak penyewa, tidakdapat perlindungan demikian. Selain kedua syarat tersebut, syarat lainnya adalah bahwa benda tidak begerak dan benda tidak bergerak tersebut dimiliki oleh orang yang sama, bukan pihak lain. Sedangkan yang digolongkan kedalam benda tidak bergerak karena ditentukan demikian oleh undang-undang ialah hak-hak atas benda tidak bergerak, seperti hak memungut hasil atas benda tiak bergerak, hak pakai atas benda tidak bergerak, dan hak tanggungan.

Walaupun tanah, rumah, dan benda-benda yang berada diatas tanah itu merupakan salah satu unsur benda tidak bergerak, yang menurut KUHPerdata bahwa antara tanah dengan benda-benda yang berada diatasnya merupakan satu-kesatuan yang utuh, tidak terpisahkan antara satu dengan yang lain, sehingga benda yang berada diatas tanah menjadi satu-kesatuan dengan tanahnya, dan oleh karena itu tidak mungkin mengadakan transaksi secara terpisah antara tanah dengan benda yang berada diatasnya itu, tetapi dalam sistem Hukum Pertanahan Nasional (HPN) Indonesia tidaklah demikian.

Memang terdapat perbedaan asas antara hukum pertanahan yang dianut oleh KUHPerdata dengan yang dianut oleh HPN Indonesia. Asas yang dianut oleh hukum pertanahan dalam KUHPerdata antara asas perlekatan (netrekking beginsel), sedangkan HPN Indonesia, menganut asa pemisahan horizontal (horizontale scheiding beginsel), seperti yang diatur UUPA, yang bersumber pada hukum adat, diamana hukum adat itu menganut asas yang memisahkan antara kepemilikan tanah dengan benda-benda yang berada diatasnya. Dalam lalu lintas masyarakat adat, sejak dahulu dikenal transaksi rumah atau tanaman yang berada diatas sebidang tanah, tanpa ikut mentransaksikan bidang tanahnya. Oleh karena itu, sehubungan dengan asas pemisahan horizontal ini, dalam HPN kita sangat mungkin sekali adanya suatu benda, entah itu berupa bangunan, tanaman, dan lain-lain yang beada diatas sebidang tanah, pemiliknya berbeda dengan pemilik tanah yang bersangkutan. Hal yang sama

(10)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

95 ditegaskan pula dalam penjelasan umum UUHT yang antara lain menyatakan :

Hak tanggungan yang diatur dalam undang-undang ini pada dasarnya adalah hak tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun kenyataannya, sering kali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman, dan hasil-hasil karya, yang secara tetap merupakan satu-kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan tersebut. Sebagaimana diketahui, Hukum Pertanahan Nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan horizontal. Sehubungan dengan itu, maka dalam kaitannya dengan bangunan, tanaman, dan hasil kaya tersebut, Hukum Pertanahan Nasional menggunakan juga asas pemisahan horizontal. Dalam rangka pemisahan horizontal, benda-benda yang merupakan satu-kesatuan dengan tanah menurut hukum bukan merupakan bagian tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu, setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah, tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut. Namun demikian, penerapan asas hukum adat tidaklah mutlak, melainkan selalu memperhatikan dan disesuaikan dengan perkembangan kenyataan, dan kebutuhan dalam masyarakat yang dihadapinya. Atas dasar kenyataan sifat hukum adat itu, dalam rangka asas pemisahan horizontal tersebut, dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa pembebanan Hak Tanggungan atas tanah, dimungkinkan pula meliputi benda-benda sebagaimana dimaksud diatas. Hal tersebut telah dilakukan dan dibenarkan oleh hukum dalam praktek, sepanjang benda-benda tersebut merupakan satu-kesatuan dengan tanah yang bersangkutan dan keikut-sertaannya dijadikan jaminan, dengan tegas dinyatakan oleh pihak-pihak dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungannya. Bangunan, tanaman, dan hasil karya yang ikut dijadikan jaminan itu, tidak terbatas pada yang dimiliki oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, melainkan dapat juga meliputi yang dimiliki oleh pihak lain.

Suatu benda digolongkan kedalam pengertian benda bergerak karena ia bersifat sebagai benda bergerak, atau karena undang-undang yang menentukannya demikian. Yang digolongkan kedalam pengertian benda bergerak karena sifatnya ialah benda yang dapat dipindahkan, seperti meja, atau karena ia dapat dipindah sendiri, seperti ternak. Benda yang digolongkan kedalam pengertian benda bergerak karena undang-undang menentukan demikian adalah hak-hak atas benda bergerak, seperti hak memungut hasil dari suatu benda bergerak, dan hak pemakaian atas benda bergerak. Hak jaminan vidusia, dan saham perusahaan. Khusus mengenai yang terakhir ini ditentukan dalam pasal 54 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbaas (LNRI Tahun 1995 Nomor 13 – TLNRI Nomor 3587).

(11)

96 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 Pasal ini menyatakan saham merupakan benda bergerak dan memberikan hak kepemilikan kepada pemegangnya. Penjelasan ayat tersebut menyatakan “kepemilikan atas sahan sebagai benda bergerak memberikan hak kebendaan kepada pemegangnya. Hak tersebut dapat dipertahankan terhadap setiap orang”.

Selain saham, yang digolongkan sebagai benda bergerak juga adalah hak cipta, seperti yang ditentukan Pasal 3 Ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (LNRI Tahun 2002 Nomor 85 - TLNRI Nomor 4220) yang menyatakan bahwa hak cipta dianggap sebagai benda bergerak. Yang dimaksud dengan hak kebendaan adalah hak atas suatu benda yang memberikan kekuasaan atas bendaitu, dan hak ini dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. Termasuk dalam pengertian hak kebendaan ini adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak tanggungan, hak gadai, jaminan fidusia, dan hipotik.

UUF menggolongkan benda ada yang termasuk pada benda berwujud dan adapula benda yang tidak berwujud. Demikian juga harta bersama, ada yang berupa benda berwujud dan adapula yang berupa benda tidak berwujud. Harta bersama dalam bentuk benda tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban yang dalam operasionalisasinya dapat pula menjangkau pada hak atas kekayaan intelektual HAKI.

Suatu asas telah terpancang, yakni semua harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan menjadi yurisdiksi harta bersama. Asas ini telah dikembangkan secara enumeratif dalam praktek peradilan seperti yang dikemukakan oleh M. Yahya Harahap, sehingga daya jangkaunya menjadi demikian luas. Berdasarkan pengembangan tersebut, maka harta perkawinan yang termasuk yurisdiksi harta bersama adalah :

a. Harta yang dibeli selama dalam ikatan perkawinan berlangsung Setiap barang yang dibeli selama dalam ikatan perkawinan menjadi yurisdiksi harta bersama. Siapa yang membeli, atas nama siapa terdaftar dan dimana letaknya, tidak menjadi persoalan. Ini sudah merupakan yurisprudensi tetap, yang salah satu antaranya adalah putusan MA No. 803 K/Sip/-1970, tanggal 5 Mei 1971, yang menegaskan bahwa harta yang dibeli oleh suami atau isteri ditempat yang jauh dari tempat tinggal mereka adalah termasuk harta bersama suami isteri jika pembeliannya dilakukan selama perkawinan.

Tetapi, jika uang pembelian barang itu berasal dari harta pribadi suami/isteri, maka barang tersebut tidak masuk dalam yurisdiksi harta bersama, melainkan menjadi milik pribadi suami/isteri yang bersangkutan. Hal ini tertuang dalam putusan MA No. 151 K/Sip/1974, tanggal 16 Desember 1975, yang menegaskan bahwa barang-barang yang di tuntut bukanlah barang gono-gini antara Abdullah dan Fatimah karena barang tersebut dibeli dari

(12)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

97 harta bawaan milik pribadi Fatimah. Demikian juga halnya jika biaya perwujudan barang tersebut berasal dari harta bawaan, maka barang itu bukan yurisdiksi harta bersama, melainkan sebagai harta bawaan. Hal ini ditegaskan dalam putusan MA No. 237 K/AG/1977, tanggal 12 Maret 1977 jo. Putusan PTA No. 69/Pdt.G/1996/PTA. Mdn., tanggal 14 April 1997, jo. Putusan PA No. 38/Pdt.G/1996/PA.Bji., tanggal 10 Oktober 1996, yang salah satu inti pertimbangan hukumnya antara lain menyatakan bahwa rumah yang dibangun dari harta bawaan, bukan harta bersama, tetapi harta bawaan.

b. Harta yang dibeli dan dibangun pasca perceraian yang dibiayai dari harta bersama

Suatu barang termasuk yurisdiksi harta bersama atau tidak ditentukan oleh asal usul biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun barang itu dibeli atau dibangun pasca terjadinya penceraian. Misalnya, suami isteri selama perkawinan mempunyai deposito. Kemudian terjadi penceraian. Deposito tersebut dikuasai oleh suami, dan belum dilakukan pembagian. Dari deposito tersebut suami membangun rumah. Disini, rumah tersebut termasuk dalam yurisdiksi harta bersama. Penerapan MA No. 803/K/Sip/1970, tanggal 5 Mei 1970, yang pada intinya antara lain menyatakan bahwa apa saja yang dibeli, jika uang pembeliannya itu berasal dari harta bersama, menjadi yurisdiksi harta bersama.

M. Yahya Harahap mengatakan bahwa penerapan seperti itu harus dipegang secara teguh guna menghindari manipulasi dan itikad buruk ex suami/-isteri. Sebab, dengan penerapan demikian, hukum tetap dalam menjangkau harta bersama sekalipun harta itu telah berubah menjadi barang lain. Misalnya, harta bersama yang mulanya berupa tanah kebun yang telah berubah menjadi gedung, maka gedung tersebut tetap menjadi yurisdiksi harta bersama. Jika hukum tidak mampu menjangkau hal yang demikian, tentu akan banyak terjadi manipulasi harta bersama pasca terjadinya perceraian oleh ex suami/isteri, dengan tujuan agar semua harta bersama dapat dikuasai. Tindakan dan itikad yang seperti itu bertentangan dengan nilai-nilai hukum, keadilan dan kepatutan. Oleh karena itu untuk mengatasinya perlu ditetapkan suatu kemutlakan harta bersama yang tetap melekat pada setiap barang dalam jenis dan bentuk apapun, sepanjang barang itu berasal dari harta bersama, walau itu diperoleh dan dibeli pasca terjadinya perceraian.

c. Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama dalam ikatan perkawinan

Hal ini sangat relevan dengan kaidah hukum mengenai harta bersama, yakni semua harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan dengan sendirinya menjadi harta bersama. Namun dalam banyak kasus, sengketa harta bersama berjalan tidak semulus dan sesederhana yang dibayangkan banyak

(13)

98 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 orang. Pada umumnya, dalam setiap sengketa harta bersama, pihak tergugat menyangka bahwa obyek gugatan bukan sebagai harta bersama, melainkan milik pribadi tergugat. Jika demikian dari jawaban yang dikemukakan terguga, maka patokan untuk menentukan apakah suatu barang termasuk yurisdiksi harta bersama atau tidak, sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan penggugat membuktikan dalil gugatannya bahwa obyek sengketa itu diperoleh selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, dan uang pembeliannya tidak berasal dari harta pribadi. Penerapan ini tertuang dalam putusan PT Medan, tanggal 26 November 1975 yang pada intinya antara lain menyatakan bahwa pelawan tidak dapat membuktikan bahwa rumah dan tanah terperkara diperoleh sebelum perkawinan dengan suaminya dan malah terbukti bahwa sesuai dengan tanggal izin mendirikan bangunan, rumah tersebut dibangun di masa perkawinan dengan suaminya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rumah dan tanah terperkara adalah harta bersama antara suami/isteri, sekalipun tanah dan rumah terdaftar atas nama isteri. Dalam tingkat kasasi, MA dengan putusan No. 808 K/Sip/1974, tanggal 30 Juli 1974, menguatkan outusan PT Medan tersebut. MA menentukan bahwa masalah atas nama siapa harta itu terdaftar, bukanlah faktor yang menggugurkan keabsahan suatu harta masuk yurisdiksi harta bersama, sepanjang yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa harta tersebut diperoleh selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, dan biayanya berasal dari harta bersama. Bahkan bukan hanya harta yang terdaftar atas nama suami/isteri yang menjadi yurisdiksi harta bersama, melainkan suatu harta yang terdaftar atas nama adik suami/isteri pun, tetap menjadi yurisdiksi harta bersama, asal dapat dibuktikan bahwa itu diperoleh selama dalam ikatan perkawinan berlangsung. Hal ini dapat dilihat dalam putusan MA No. 103 K/Sip/1972, tanggal 23 Mei 1973, yang antara lain pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa sekalipun toko dan barang yang ada di dalamnya telah diusahai dan dialihnamakan atas nama adik suami, akan tetapi terbukti bahwa toko tersebut dibeli sewaktu masih terikat dalam perkawinan dengan isterinya, maka harta tersebut harus dinyatakan sebagai harta bersama, yang dapat diperhitungkan pembagiannya di antara suami isteri. d. Pembagian harta bersama dan harta bawaan

Penghasilan yang berasal dari harta bersama menjadi yurisdiksi harta bersama. Ini adalah suatu hal yang logis adanya. Tapi bukan hanya barang yang berasal adri harta bersama saja yang menjadi yurisdiksi harta bersama, melainkan juga penghasilan dari harta pribadi suami atau isteri. Sekalipun hak dan kepemilikan harta pribadi mutlak berada di bawah kekuasaan pemiliknya, namun harta pribadi itu tidak lepas fungsinya dari kepentingan keluarga. Barang pokoknya memang tidak boleh diganggu gugat, tapi hasil dari barang

(14)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

99 tersebut menjadi yurisdiksi harta bersama. Ketentuan ini berlaku sepanjang suami isteri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Disini harus dibedakan antara harta yang dibeli dari hasil penjualan harta pribadi dengan harta yang timbul dari harta pribadi an sich. Dalam hal harta yang dibeli dari hasil penjualan harta pribadi, secara milik pribadi yang ditukar dengan barang lain, mutlak menjadi milik pribadi, tetapi hasil yang timbul dari harta pribadi itu jatuh menjadi harta bersama.

e. Segala penghasilan pribadi suami/isteri

Patokan ini sesuai dengan putusan MA No. 454/K/Sip/1970, tanggal 11 Maret 1971 yang pada intinya menyatakan bahwa segala penghasilan suami/isteri, baik yang diperoleh dari keuntungan melalui perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai menjadi yurisdiksi harta bersama suami/isteri jadi sepanjang mengenai penghasilan pribadi suami/isteri tidak terjadi pemisahan, bahkan dengan sendirinya terjadi penggabungan sebagai harta bersama. Penggabungan pernghasilan pribadi suami/isteri ini terjadi demi hukum, sepanjang suami/isteri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. f. Harta Bersama Dalam Perkawinan Serial dan Poligami

Soal ini diatur dalam pasal 65 Ayat (1) huruf b UU no. 1/1974 yang menyatakan “isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi”. Selanjutnya dalam huruf c Pasal dan ayat yang sama dinyatakan “semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing”

Ketentuan tersebut menegaskan beberapa asas, yakni pertama, dalam perkawinan serial atau poligami terbentuk beberapa paket harta bersama. Kedua, terwujudnya harta bersama terhitung mulai tanggal perkawinan dilangsungkan. Ketiga, masing-masing harta bersama tersebut terpisah dan berdiri sendiri.

Asas yang pertama, yaitu dalam perkawinan serial atau poligami terbentuk beberapa paket harta bersama. Berapa jumlah paket harta bersama dimaksud, tergantung pada berapa banyak isteri yang dikawini suami. Misalnya, mula-mula seorang laki-laki, A menikah dengan seorang perempuan yang bernama X. Berarti antara A dan X terbentuk satu paket harta bersama. Beberapa tahun kemudian pernikahan A dan X putus karena wafatnya X. Setelah itu, A menikah lagi dengan Y. Dan pernikahan antara A dan Y ini terbentuk pula satu paket harta bersama. Setelah berlangsung beberapa waktu lamanya, pernikahan antara A dan Y ini putus karena perceraian. Lantas A menikah lagi dengan Z. Disini pun antara A dan Z terbentuk satu paket harta bersama. Dalam kasus ini berarti A mempunyai tiga paket harta bersama, yaitu

(15)

100 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 pertama, paket harta bersama dalam pernikahan dengan X, kedua paket harta bersama dalam pernikahannya dengan Y, dan ketiga paket harta bersama dalam pernikahannya dengan Z.

Bentuk harta bersama dalam pernikahan serial tersebut sama dengan pernikahan poligami. Jika seorang suami berpoligami dengan dua isteri, maka dalam kehidupan rumah tangganya terbentuk dua paket harta bersama, antara suami dengan masing-masing isterinya. Demikian seterusnya, yang jumlah paketnya tergantung pada jumlah isteri dalam perkawinan poligami tersebut.

Asas yang kedua, terwujudnya harta bersama terhitung mulai tanggal perkawinan dilangsungkan. Dalam contoh yang dikemukakan pada asas pertama, harta bersama antara A dengan X terbentuk sejak pernikahan mereka dilangsungkan dan berakhir pada saat perkawinan itu putus karena kematian X. Demikian pula halnya harta bersama antara A dengan Y dan dengan Z, paket ini terbentuk, terhitung sejak pernikahan dilangsungkan dan baru berakhir dengan putusnya perkawinan mereka.

Asas yang ketiga, yaitu masing-masing harta bersama tersebut terpisah dan berdiri sendiri. Dalam perkawinan serial atau poligami, masing-masing paket harta bersama itu terpisah dan berdiri sendiri, tidak terjadi penggabungan antara satu paket dengan paket lainnya. Harta bersama antara suami dengan isteri pertama, kedua, dan seterusnya, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. Dalam contoh yang dikemukakan pada saat pembicaraan asas pertama, paket harta bersama antara A dengan X, A dengan Y, dan A dengan Z, masing-masing terpisah antara satu dengan yang lain.

Hal tersebut sejalan dengan muatan Pasal 65 ayat (1) huruf b UU No. 1/1974 dan sudah cukup lama diterapkan dalam praktek peradilan jauh sebelum lahirnya ketentuan normatif dalam UU No. 1/1974. Putusan MA No. 248 K/Sip/1958, tanggal 10 September 1958 antara lain menegaskan bahwa bilamana seorang laki-laki kawin dengan lebih dari seorang perempuan, sedangkan ada pula lebih dari satu gono-gini, maka gono-gini itu dipisahkan. Sedangkan penerapan asas tersebut pasca diberlakukannya UU No. 1/1974 adalah putusan MA No. 3581 K/Pdt/1989, tanggal 2 Februari 1995, yang dari putusan tersebut dapat diangkat abstrak hukum yang pada intinya adalah bahwa barang yang diperoleh dari perkawinan isteri pertama yang telah wafat,kemudian dibawa ke dalam perkawinan kedua,maka barang tersebut adalah harta bawaan,bukan harta bersama dengan istri kedua.

Asas tersebut bukan hanya berlaku bagi pria,tetapi juga bagi wanita yang kawin serial dengan beberapa pria. Misalnya seorang wanita, M, mula mula menikah dengan N, setelah berlangsung beberapa waktu lamanya perkawinan itu putus karena wafatnya N, M menikah lagi dengan O. Dalam contoh ini, M mempunyai dua paket harta bersama, yakni satu paket harta bersama M dengan

(16)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

101 suaminya yang pertama, N, dan kedua paket harta bersama antara M dengan O.

Kedua paket harta bersama ini masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. O tidak berhak atas paket harta bersama antara M dengan N, demikian juga N, tidak berhak atas paket harta bersama antara M dengan O, putusan MA No. 343 K/AG/1995, tangggal 30 Oktober 1996 ini abstrak hukumnya menyatakan bahwa karena uang yang digunakan untuk membeli tanah dan rumah adalah milik isteri yang diperolehnya dari pembagian harta bersama dengan bekas suaminya terdahulu, maka tanah dan rumah tersebut adalah milik isteri bukan sebagai harta bersama dengan suaminya yang kedua.

g. Konsiderasi Dasariah Lahirnya Harta Bersama

Harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan dianalogikan dengan harta milik suatu badan usaha, harta perkongsian, atau harta perserikatan, karena didasarkan pada pandangan bahwa pernikahan bukanlah akad sepihak, dimana pihak wanita hanya dijadikan sebagai obyek akad semata yang berakibat pada statusnya sebagai unsur yang tidak memiliki harta dalam rumah tangga, melainkan sebagai akad timbal balik dari kedua belah pihak. Yang menjadi obyeknya adalah suatu kenikmatan, baik berupa kenikmatan material maupun immaterial yang dirasakan oleh kedua belah pihak. Dalam kerangka pikir ini, masing-msing pihak mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik, yakni saling menerima dan memberi. Dengan demikian, jika ada sebuah kenimkatan, baik dalam lingkup material maupun immaterial, harus dapat dinikmati secara bersama. Dari pandangan inilah, khusu ditinjau dari segi keuntungan materi, akad nikah menyerupai perkongsian dalam bidang mu’amalad. Maksudnya, suami isteri berkongsi untuk membina sebuah rumah tangga, baik dalam rangka menciptakan keturunan yang shaleh maupun membangun perekonomian rumah tangga guna menunjang terwujudnya keturunan yang shaleh dimaksud. Oleh karena itu, antara suami isteri tidak lagi mempersoalkan apa bentuk tugas yang harus diselesaikan masing-masing. Yang ditekankan adalah kerja sama dalam bentuk tolong-menolong, sehingga ketika salah satu pihak tidak mampu menyelesaikan tugas yang semula ditentukan baginya, tugas itu sangat mungkin untuk di ambil alih oleh pihak lain sebatas kemampuannya. Bagi rumah tangga demikian ini, yang penting ialah adanya kesepakatan, baik secara tegas maupun secara tersirat, bahwa segala kerugian yang ditimbulkan dalam pengurusan rumah tangga harus ditanggung bersama. Demikian juga sebaliknya, segala keuntungan yang diperoleh harus dinikmati bersama atas dasar pemikiran ini, maka harta yang diperoleh itu dianggap sebagai harta bersama, tanpa mempersoalkan pihak mana yang paling banyak berperan dalam mendapatkannya. Kerja sama dalam mencari keuntungan materi yang hanya bermodalkan keahlian, bukan dana,

(17)

102 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 disamping tidak mempersoalkan pihak mana yang lebih banyak berperan dalam bekerja, juga tidak mempersoalkan apakah materi kerja masing-masing sama macamnya atau tidak, dalam khazanah ilmu fikih disebut sebagai syirkah al’amal atau syirkah al-abdan. Dalam bentuk syirkah seperti ini, yang dipentingkan adalah danya kesepakatan untuk be kerja sama dalam suatu bentuk usaha mencari laba, tanpa modal, kecuali tenaga keahlian masing-masing, dengan ketentuan penghasilannya dibagi antara mereka menurut kesepakatan.

Dalam kaitannya dalam pernikahan, secara tersirat suami/isteri lewat akad nikah telah sepakat untuk bekerja sama membina keluarga (rumah tangga) yang didalamnya terdapat perintahh mencari penghasilan untuk menunjang terwujudnya keluarga yang sejahtera. Disini antara suami/isteri tidak mempersoalkan pihak mana yang lebih banyak bekerja menghasilkan kekayaan dan tidak pula mempersoalkan jenis kerja masing-masingnya. Pembagian kerja dilakukan sedemikian rupa, dan atas dasar itu, penghasilan yang diperoleh selama masa perkawinan dianggap sebagai harta bersama. PENUTUP

Dengan melihat isi dari pasal 35, 36, 37 maka dapat disimpulkan bahwa ketentuan mengenai harta kekayaan yang diatur dalam Undang-Undang perkawinan sudah sejalan dengan ketentuan dalam Hukum Islam. Disini hanya ditekankan harta yang diperoleh selama perkawinan baik karena usaha suami/istri atau suami-istri bersama-sama otomatis menjadi harta bersama. Tetapi apabila terjadi perceraian maka pembagian harta bersama tetap mengikuti ketentuan hukumnya masing-masing,

DAFTAR PUSTAKA

Hadikusuma, Hilman, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung, CV. Mandaraju.

Harahap, M. Yahya, 1993, Perlawanan terhadap eksekusi, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.

Marzuki Mahmud Peter, 2013, Penelitian Hukum, Jakarta:kencana prenada media group.

Subekti, 1978, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cetakan ke 13, Jakarta, PT Interasa.

Soemiyati, 1982. Hukum perkawinan islam dan undang-undang Perkawinan, Yoyakarta: Liberty.

Taufiq, 2000 Peradian Keluarga Indonesia, dalam hukum keluarga dan Peradilan Keluarga di Indonesia, jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian tentang sejarah sosial masyarakat Hindu Bali yang bermigrasi ke desa Pegajahan kecamatan Perbaungan ini, hingga mereka berhasil membentuk sebuah komunitas yang

Pencegahan preventif yang dilakukan oleh Kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana pelaku penyebaran Berita Hoax adalah dengan cara membentuk Satuan Tugas

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa : (1) Desain pembelajaran PKn model kooperatif dengan memanfaatkan media powerpoint untuk meningkatkan

Berbagai topik sosialisasi dan pelatihan praktis yang penting adalah cara restorasi lahan dan hutan gambut melalui aplikasi BCF, cara mengelola sistem pertanian

Tenaga ahli psikologi pendidikan tersebut diharapkan akan memberi- kan urunan bagi pengembangan ilmu dan teknologi pendidikan, antara lain adalah (1) peneliti dalam aspek-aspek

Dengan demikian, renstra ini akan menjadi “jembatan” yang akan mengantar FKIK Untad meraih mimpi tersebut melalui beberapa tahapan, antara lain : peningkatan

Terdapat 26 penjara yang dikelolah oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menjadi tempat menahan narapidana kasus terorisme. Adapun jumlah

Pembagian harta warisan keluarga ibu Saminah binti Tarsio dengan dua orang anaknya yang bernama Bapak Sunarto dan Ibu Sunarti, maka diketahui mengenai