• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAPPENYEBARAN BERITA HOAX COVID-19 MELALUI MEDIA SOSIAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAPPENYEBARAN BERITA HOAX COVID-19 MELALUI MEDIA SOSIAL"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA

TERHADAPPENYEBARAN BERITA HOAX COVID-19

MELALUI MEDIA SOSIAL

Moh. Anugrah Cahya Hermawan Fakultas Hukum Universitas Kartini Surabaya

ABSTRAK

Pada saat ini Indonesia sedang dilanda Pandemi Covid-19 (corona virus

disease-19) virus tersebut merukapan penyakit baru sehingga belum adanya obat

atau hal apapun untuk mencegah dan menangani penyakit tersebut sehingga seluruh di dunia dilanda kepanikan akan adanya Covid-19. Banyak berita yang mengangkat topik Covid-19, berita tersebut di sebarkan mulai dari Televisi, radio, media cetak, sosial media sehingga masyarakat sangat mudah mengakses berita-berita mengenai Covid-19 tersebut. Tetapi dalam kondisi seperti ini pun masih banyak pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab menyebarkan Berita Hoax yang mana hal tersebut memperkeruh keadaan dan dapat menimbulkan keonaran di masyarakat. Maka dari itu penting bagi penegak hukum untuk mencegah, meminimalisir, serta menkondusifkan kembali dan didukung seperangkat aturan penegakan dan pertanggungjawaban bagi pelaku penyebaran Berita Hoax yang menimbulkan keonaran di masa pandemi Covid-19.

Kata Kunci : Covid-19, Berita Hoax.

PENDAHULUAN

Kebebasan berpendapat telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, baik yang tertuang pada hukum internasional Pasal 29 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia maupun Pasal 28 F Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi : “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Secara Hukum Internasional dan Undang-Undang Dasar 1945 ini telah mengatur soal kebebasan bagi masyarakat untuk mengekspresikan diri dan mengeluarkan pendapatnya dan itu sudah menjadi hak yang melekat padanya sesuai undang-undang yang berlaku. Namun sekalipun telah diatur, akan tetapi jika dilihat kembali media sosial justru mendorong adanya perubahan dalam pola identitas masyarakat cyber dan pola pendistribusian informasi yang selama ini telah terkotak-kotakkan. (Herawati, 2016)

Setiap informasi yang dikeluarkan baik terhadap orang perorangan maupun badan usaha melalui media sosial dan elektronik ketika telah terkirim dan dibaca oleh banyak orang dapat mempengaruhi penerima informasi tersebut . Jika informasi yang disampaikan tersebut adalah informasi yang tidak akurat terlebih

(2)

informasi tersebut adalah informasi mengenai Berita Hoax (hoax) dengan judul yang sangat provokatif mengiring pembaca dan penerima kepada opini yang negatif. Opini yang negatif, fitnah, penyebar kebencian yang diterima dan menyerang pihak ataupun membuat orang menjadi takut, merasa terancam dandapat merugikan pihak yang diberitakan sehingga dapat merusak reputasi dan menimbulkan kerugian materi.

Pada saat ini kita dihadapkan dengan adanya covid-19 (corona virus

disease-19) yang melanda seluruh dunia pada awalnya virus tersebut berasal dari Wuhan,

China pada akhir desember 2019 sampai pada akhirnya virus tersebut menyebar dan masuk di Indonesia. Terjadi kesimpangsiuran berita saat covid-19 masuk di Indonesia mulai dari informasi penyebaran virus tersebut sampai pencegahan dan penanganan covid-19. Menyebarnya berita mengenai virus tersebut pada awalnya di sepelekan oleh pemerintah sehingga penanganan covid-19 terbilang lambat ditambah lagi penyebaran Berita Hoax yang disebarkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab menimbulkan kepanikan bahkan menimbulkan keonaran di masyarakat contohnya terjadi panic buying kebutuhan pokok dan alat kesehatan seperti masker, hand sanitizer sampai terjadi penimbunan yang berakibat harga kebutuhan pokok dan alat kesehatan tidak terkendali serta melonjak drastis.

Pada awal tahun 2020 saja sudah mulai banyak Berita Hoax yang telah tersebar, menurut Menkominfo Jhonny G Plate, pada awal januari sampai dengan februari 2020 telah ditemukan 54 Berita Hoax, "Cyber drone mendapati 54 Berita Hoax dan disinformasi. Berita Hoax yang tersebar tersebut menimbulkan keonaran di masyarakat. Satu dilakukan 6 Mei 2019 terkait kurma harus dicuci bersih karena mengandung virus corona. Sementara 53 lainnya disebarkan 23 Januari hingga hari ini," ungkap Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate, saat menggelar jumpa pers di Kantor Kominfo, Jakarta, Senin (3/2/2020).Dengan terdeteksinya di cyber drone Kominfo, kata Johnny, artinya konten-konten tersebut sudah menyebar luas di media sosial maupun pesan instan. Dampaknya akan menimbulkan kebingungan di masyarakat.

Berita Hoax mengenai pencegahan penularan covid-19 pada pertengahan maret 2020 oleh akun facebook Cinta Bella "bawang merah itu ternyata menyedot virus dan kuman lalu memfokuskannya masuk dalam intra sel, lalu dicerna dalam vakuola dan membunuhnya. Bukan hanya virus saja, tapi juga bakteri, kuman, semuanya terkumpul di situ dalam keadaan sudah in-aktif atau mati," tulisnya. Cinta Bella menceritakan, sang dokter melakukan sendiri percobaan dengan meletakkan beberapa potongan bawang merah di samping ranjang pada pasiennya yang menderita radang paru-paru berat atau pneumonia. Keesokan paginya, bawang merah tersebut berubah berwarna hitam. Di bagian akhir ceritanya, Cinta Bella mengajak pembaca untuk memasang bawang merah yang dikupas di setiap ruangan rumah. Melalui laman resmi Kominfo, dijelaskan bahwa bawang merah yang dapat mengikat virus adalah mitos, seperti yang dijelaskan oleh National

Onion Association (NOA). NOA merupakan organisasi yang mewakili petani,

pedagang, eksporter, dan importer bawang merah di AS yang sudah berdiri sejak 1913. Mereka juga mengatakan bahwa mitos bawang merah dapat mengikat virus ternyata mitos yang sudah beredar di seluruh dunia.

(3)

Contoh lain yaitu Berita Hoax mengenai Rumah Sakit yang sengaja “mengcovidkan” pasien, Kabar viral itu disampaikan oleh akun @BalqisRrzq (Sandekala) pada 20 Juli 2020 pukul 08.48 WIB. PERSI mengumpulkan sejumlah tuduhan yang disampaikan akun tersebut. Salah satu yang disampaikan oleh akun tersebut adalah adanya seorang pasien di RS Wiyung Sejahtera, yang tidak menerima hasil tes swab positif virus Corona (COVID-19) tetapi dinyatakan positif COVID-19. Selain itu, akun tersebut dinilai telah menuduh RS Wiyung merekayasa hasil positif Corona demi mendapatkan bantuan dari pemerintah dengan rincian Rp 200 juta per pasien positif dan RP 350 juta per pasien Corona yang meninggal dunia. "Sampai laporan ini disusun, yang bersangkutan menyampaikan bahwa tuduhan terhadap RS Wiyung, RS Siloam, dan RS Mayapada yang 'mengcovidkan pasien dengan tujuan uang bantuan ratusan juta' didasarkan pada 'hanya dapat dari hasil teman ayah saya yang katanya orang dinkes'," kata Anjari. Atas hal itu, PERSI menyimpulkan tuduhan yang disampaikan Balqis tak berdasar dan fitnah.

Dari beberapa contoh kasus Berita Hoax saat darurat pandemi covid-19 ini bahwa dampak dari penyebaran Berita Hoax sangat berpengaruh besar bagi kehidupan masyarat di kondisi pandemi covid-19 sekarang ini. Dengan akses internet untuk memperoleh informasi yang mudah dan cepat menimbulkan informasi yang tidak akurat atau tersampaikan dengan mudah di seluruh lapisan masyarakat, serta masyarakat juga dengan mudah membuat sebuah berita dan menulis di sosial media dengan isi berita yang jauh lebih menarik dari media berita biasanya, pemberitaan palsu dibuat sedemikian rupa agar menarik minat baca masyarakat. Kurangnya pengetahuan di masyarakat dan faktor kemalasan mencari tahu kebenaran suatu berita membuat penyebaran Berita Hoax terjadi sangat cepat.

Tujuan umum dari penelitian ini yaitu menambah pengetahuan mengenai dampak bagi masyarakat atas Berita Hoax dimasa pandemi Covid-19 sekarang ini. Sedangkan Tujuan khusus yang ingin dicapai pada penelitian ini yaitu menganalisis penegakan hukum terhadap penyebaran Berita Hoax yang menimbulkan keonaran saat darurat pandemi covid- 19 yang dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian secara normatif dalam jurnal ini dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual serta pendekatan historis. Sumber bahan hukum yang digunakan yakni bahan hokum primer, bahan hokum sekunder dan bahan hokum tersier. Setelah bahan hukum terkumpul maka bahan hukum tersebut dianalisis untuk mendapatkan konklusi, bentuk dalam teknis analisis bahan hukum adalah Content Analysis.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berita Hoaxadalah suatu informasi yang ditambah-tambahi atau dikurang-kurangi isi dari berita yang sebenarnya terjadi. Adanya unsur manipulasi atau modifikasi guna mendapat respon yang cukup banyak dan menjadi viral. Seperti halnya berita penyebaran Covid-19 di daerah yang belum dipastikan kebenaranya,

(4)

menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat sekitar. Pemicu informasi Berita Hoaxmemiliki dua motif yaitu ekonomi dan politik. (Chumairoh, 2020)

Ada situs-situs yang memang sengaja dibuat dengan tujuan mendapatkan kunjungan sebanyak mungkin, dengan membuat berita penuh sensasi. Selain itu ada juga yang motifnya untuk menyalurkan aspirasi politik melalui media sosial dengan membuat kabar palsu (Pomounda, 2015). Sehingga muncul degradasi moral yakni, suatu kemerosotan dan lunturnya sikap, budi pekerti, perilaku seseorang atau kelompok. Berita Hoax memberikan pengaruh kepada setiap orang yang membaca berita Berita Hoax agar orang tersebut percaya dengan berita tersebut seolah benar adanya (Juditha. 2018). Seseorang yang menuliskan, menyampaikan, bahkan sampai menggunakan suatu informasi untuk membuat masyarakat yakin terhadap informasi itu, padahal informasi itutidaklah benar maka disebut sebagai penyebar berita palsu.

Berita Hoax diolah sedemikian ruga agar menarik minat para pembaca, dan warganet turut serta dalam kolom komentar untuk membahas suatu berita dengan anggapan mereka dapat meluruskan pemberitaan tersebut melalui asumsinya. Padahal belum tentu apa yang mereka sampaikan dapat dipahami oleh orang lain, sehingga semakin banyak yang ikut mengomentari berita itu sendiri maupun argumen orang lain. Pada kenyataannya Berita Hoax lebih populer dari pada berita aslinya. Wabah Berita Hoax telah menjadi masalah nasional anara lain perpevahan, instabilitas politik dan gangguan keamanan yang berpotensi menghambat pembangunan nasional. (Siddiq, 2017)

Selama Pandemi Covid-19 pemerintah telah mengeluarkan berbagai produk hukum untuk menekan atau mengatasi penyebaran Covid-19, berikut juga peraturan dampak ikutannya antara lain; 1) Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19; 2) Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19; 3) Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Covid-19 Sebagai Bencana Nasional; 4) Keputusan Presiden No. 9 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19); 5) Peraturan Menteri Kesehatan No. 9 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Dari keseluruhan produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam mengatasi Pandemi Covid-19, tidak ada satupun yang mengatur mengenai tindak pidana penyebaran Berita Hoax bahkan di dalam Undang-undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan tidak mengatur mengenai Berita Hoax dimasa Pandemi. Padahal Berita Hoax dimasa Pandemi Covid-19 sangat mengkhawatirkan dan menyebabkan keonaran di lingkungan masyarakat sehingga perlu adanya produk hukum yang mengatur mengenai penyebaran Berita Hoax dimasa Pandemi.

Dalam menanggulangi tindak pidana Berita Hoax, Pemerintah telah menetapkan hukum positif yang mengatur mengenai tindak pidana penyebaran

(5)

informasi bohogdi Indonesia diantaranya terdapat dalam pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana serta Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo. Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik diatur di dalam Pasal 28.

A. Kualifikasi Berita Hoax

Informasi merupakan sumber yang utama, kita semua perlu menguasai prosespembatasannya. Hukum juga berperan untuk membuat batas pada dunia digital. Informasi tidak bisa diraba (intangible), informasi bisa dibuat hanya dengan disalin serta pergerakannya secara internasional dapat dilakukan oleh siapa saja secara cepat serta mudah dan sanggup menanggulangi permasalahan waktu serta tempat. Dalam masyarakat informasi, batas- batas wilayah ataupun negara seakanakan tidak ada lagi. Akan tetapi, perihal tersebut ialah sesuatu hal yang harus diatur, paling utama dalam memastikan yurisdiksi dalam pelaksanaan hukum mana yang berlaku. Informasi memanglah merupakan sesuatu konsep yang lumayan unik dimana seluruh orang seolah dengan mudah bisa mengenali serta menguasai apa yang diartikan dengan informasi, tetapi lumayan sulit dalam mengemukakan pendefenisiannya sebab dalam prakteknya acapkali terjadi salah tafsir tentang pembedaan antara data serta informasi.( Makarim, 2014)

Berita Hoax dalam kamus hukum sendiri kata “berita” dapat diartikan sebagai suatu laporan mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat, kabar dan suatu informasi terutama yang resmi seperti laporan pers. Sedangkan kata “bohong” adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan hal atau keadaan yang sebenarnya sehingga juga dapat diartikan sebagai dusta. Bukan yang sebenarnya ini dengan kata lain adalah palsu (biasanya mengenai suatu permintaan). Berita Hoax menurut bahasa Inggris (hoax) berarti tipuan, menipu, Berita Hoax, berita palsu atau kabar burung atau merupakan ketidakbenaran suatu informasi. Jika di lakukan penelusuran dalam perundang-undangan di temukan Berita Hoax yang dapat di kualifikasikan sebagai perbuatan pidana. Sebagai suatu tindak perbuatan maka dapat mengakibatkan pelanggaran terhadap kepentingan hukum perseorangan, dan kepentingan hukum kolektif (Damang .2017). Kepentingan perseorangan dan kepentingan kolektif yaitu :

a. Kepentingan perseorangan :

Untuk saat ini, penyeberan Berita Hoaxdi domonasi denganmemanfaatkan instrument media elektronik serta media cetak. Perbuatanmenyebarkan Berita Hoaxbagi para penegak hukum harus denganteliti menggunakan penalaran hukum yang normal saat sebelum menindakpelakunya. Oleh karean itu tidak seluruh Berita Hoax yang di sebarkanberimplikasi terhadap pelanggaran kepentingan hukum baik perorangan maupunkoelektif. Perbuatan penyebaran beritabohong yang dapat di pidana yaitu khusus untuk perbuatan yang menyebarkanberita kebohongan yang merugikan kepentingan hukum seseorang bisa sajaterwujud dalam tindak pidana penipuan, bisa pula terwujud dalam tindak pidanayang tidak menyenangkan lainya seperti penghinaan dan penghasutan. Contohnya,seseorang menyebarkan berita tentang suatu kejadian, serta menujukan suatutempat kejadian, dan nyatanya berita itu tidak sesuai

(6)

dengan apa yang terjadi ditempat itu serta merugikan banyak pihak. Sehingga perbuatan tersebut yangmenyebarkan Berita Hoaxterkualifikasi dan merupakan tindakan atau perbuatan yang dapat di pidana.

b. Kepentingan kolektif

Terkait dengan sebaran Berita Hoax yang di sebut dapatmerugikan kepentingan kolektif, sasaran perbuatannya sudah pasti tertuju pada kepentingan umum. Perbuatan ini dalam undang-undang kerap kali di ikutkan dengan akibat perbuatanya yaitu: (1) apakah akan menimbulkan keonaran (2) ataukah menimbulkan rasa kebencian terhadap suatu golongan. Akibat dari pada penyebaran Berita Hoax tersebut sebenarnya antara dapat menimbulakankeonaran dan rasa kebencian yang bisa di samakan peristiwa hukumnya.sebabkalau terdapat perbuatan yang akan menimbulkan kebencian sudah pasti akan menimbulkan suatu keonaran. Soal kekaburan makna apa yang di maksud ‘keonaran’ dalam pasal a quo,telah di jelaskan dalam ketentuan nya lebih lanjut, bahwa keonaran adalah lebih hebat dari pada kegelisahan dan mengoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya. B. Berita Hoax Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik jo. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

Bahwa dijelaskan dalam Pasal 28 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disingkat Undang-undang ITE) yang mana berbunyi :

1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan Berita Hoax dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.

2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Terdapat dua bentuk perbuatan pidana dalam pasal 28 Undang-undang ITE, yang mana masing-masing dirumuskan dalam ayat (1) dan ayat (2). Perbuatan sebagaimana pada ayat (1) terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut :

a. Kesalahan : dengan sengaja. b. Melawan hukum : tanpa hak. c. Perbuatan : menyebarkan.

d. Objek : Berita Hoax dan menyesatkan.

e. Akibat konstitutif : mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.

Sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 28 ayat (1) Undang-undang ITE tersebut mempunyai arti yang sangat sempit yaitu hanya pada perbuatan penyebaran Berita Hoax dan penyesatan yang mengakibatkan kerugian konsumen

(7)

atau dapat disebut juga sebagai perbuatan pidana dalam bentuk materil. Akibat dari perbuatannya adalah kerugian konsumen, hal ini dapat menimbulkan pertanyaan jika tidak terdapat kerugian konsumen, maka penggunaan pasal ini tidak dapat diterapkan untuk menjerat pelaku, meskipun berita yang disebarkan adalah bohong dan menyesatkan. Di lain sisi jika dengan pemberitaan bohong dan menyesatkan tersebut malah memberikan keuntungan bagi konsumen maka tidak dapat juga dipidana dengan pasal ini. Maka perlu adanya upaya-upaya hukum untuk menutupi celah-celah tersebut di antaranya upaya penemuan hukum oleh hakim dan upaya kriminalisasi dalam undang-undang cyber crime baru yang lebih bersifat umum dan komperhensif.( Suhariyanto, 2013)

Sedangkan unsur-unsur perbuatan pidana dalam pasal 28 ayat (2) Undang-undang ITE adalah :

a. Kesalahan : dengan sengaja. b. Melawan hukum : tanpa hak. c. Perbuatan : menyebarkan. d. Objek : informasi.

e. Tujuan : untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).

Dalam pasal 28 ayat (2) Undang-undang ITE mempunyai kesamaan unsur yang terdapat pada ayat (1) yaitu mengenai unsur sengaja, tanpa hak, dan perbuatan menyebarkan. Jika bentuk pertama secara jelas merupakan perbuatan pidana materiil. Dari kata “mengakibatkan menyesatkan” sengat jelas, disyaratkan akibat harus timbul agar tindak pidana menjadi sempurna. Namun dalam pasal 28 ayat (2) Undang-undang ITE ini tidak begitu jelas, ketidak jelasan itu bisa menimbulkan perbedaan pendapat.( Choirroh, 2017)

Pendapat pertama, pada perbuatan pidana secara formil, selesainya tindak pidana diletakan pada selesainya perbuatan. Alasan dalam rumusan yang terdapat dalam ayat (2) tidak secara tegas melarang perbuatan yang menimbulkan akibat tertentu. Frasa “ditujukan untuk”... dapat diartikan bahwa perbuatan menyebarkan informasi ditujukan agar muncul rasa kebencian dan sebagainya. Artinya tujuan tidak bereda dengan “maksud”. Sedangkan rasa kebencian antar agama atau antar golongan, ras tidak perlu benar-benar terjadi perbuatannya. Hal ini memerlukan pembuktian, bahwa perbuatan menyebarkan ditujukan agar timbulkan rasa kebencian dan sebagainya.( Chazawi, 2015)

Cara untuk membuktikan apakah timbul rasa benci dan sebagainya yaitu keadaannya dapat menimbulkan kebencian antara golongan dan sebagainya, yang semula disadari dan dihendaki oleh pembuat. Seharusnya untuk dapat membuktikan perbuatan yang memenuhi unsur pada ayat (2) harus disertai dengan pengungkapan keadaan-keadaan atau fakta yang ada sekitar dan pada saat perbuatan itu dilakukan, sifat dan keadaan informasi yang disebarkan, latar belakang objektif dan subjektif si pembuat Berita Hoax, dan sebagainya, Yang mana sama halnya seperti membuktikan unsur sengaja.

Pendapat kedua, termasuk perbuatan pidana materil. Perbuatan selesai sempurna akibat adanya rasa kebencian atau permusuhan antar kelompok

(8)

masyarakat telah timbul. Cara merumuskan pendapat kedua ini sama persis dengan cara merumuskan tindak pidana penipuan (oplichiting) Pasal 378 KUHP, atau Pasal 368 KUHP mengenai pemerasan, tidak terdapat perbedaan pendapat mengenai penipuan dan pemerasan tersebut adalah suatu perbuatan pidana materil.

C. Berita Hoax Yang Menimbulkan Keonaran Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana

Berita Hoax yang menimbulkan keonaran diatur dalam pasal 14 Undang-undang Republik Indonseia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana (selanjutnya disingkat UU No.1 Tahun 1946) yang memberikan ketentuan bahwa:

1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.

2) Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.

Sedangkan berdasarkan rumusan pasal yang dijelaskan dalam pasal 14 ayat (2) UU No.1 Tahun 1946 juga mempunyai unsur-unsur yang samahalnya dengan yang ada pada rumusan pasal 14 ayat (1), yang membedakan hanya pada pada unsur “yang dapat menimbulkan keonaran dikalangan rakyat” dan unsur “sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong”.

Dapat dijelaskan mengenai unsur “yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat”, pada unsur ini menggunakan kata “dapat”, menunjukkan delik dalam pasal 14 ayat (2) tidak harus terbukti benar-benar dalam kenyataan telah terjadi keonaran dikalangan rakyat. Keonaran dikalangan rakyat merupakan suatu kemungkinan atau potensi yang dapat terjadi.

Unsur “sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong”,dalam pasal 14 ayat (2) merupakan suatu delik kealpaan atau kelalaian (culpa). Unsur kealpaan terlihat dari digunakannya kata-kata “patut dapat menyangka”. Sebagaimana yang dikemukakan oleh H.B. Vos untuk dapat dikatakan telah terjadi suatu kealpaan atau kelalaian (culpa) harus memenuhi 2 syarat yaitu; 1) pembuat dapat menduga (voorzienbaarheid) akan akibat; dan 2) pembuat tidak berhati-hati (onvoorzichtigheid).

D. Penegakan Hukum Tindak Pidana Penyebaran Berita Hoax

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep hukum yang diharapkan rakyat menjadi kenyataan. Penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal.

(9)

Dalam hal ini penulis menganalisis mengenai penegakan hukum tindak pidana penyebaran Berita Hoax yang khususnya dikondisi pandemi covid-19 sekarang ini. Salah satunya penegak hukum yang merupakan unsur penting dalam menindak suatu tindak pidana salah satunya dalam hal penegakan hukum penyebaran Berita Hoax adalah Kepolisian, banyaknya kasus-kasus Berita Hoax yang tersebar dimasyarakat selama pandemi covid-19 menimbulkan keresahan dan bahkan menimbulkan keonaran. Maka dari itu diperlukannya lembaga penegak hukum yang efektif untuk meminimalisir penyebaran Berita Hoax khususnya di masa pandemi covid-19 karena kondisi sekarang sudah tidak stabil apalagi jika ditambah dengan adanya berita-berita yang malah membuat kondisi semakin memburuk. Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintah negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan terhadap masyarakat.

Dalam menegakkan hukum banyak masalah atau hambatan salah satunya pengetahuan masyarakat terhadap peraturan masih sangatlah kurang, banyak masyarakat yang masih tidak peduli terhadap peraturan yang ada, tanpa adanya keseimbangan antara aparat penegak hukum, Undang-Undang, maupun masyarakat, akan sulit untuk menciptakan keadaan hukum yang efktif. Lembaga penegak hukum harus menjalankan tugasnya dengan baik dan sesuai dengan adanya peranannya masing-masing yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam menjalnkan tugasnya tersebut harus mengutamakan keadilan dan profesioanlisme, sehingga menjadi panutan masyarakat serta dipercaya oleh semua pihak termasuk oleh anggota masyarakat. (Atmasasmita, 2011)

E. Kewenangan Polisi Dalam Penegakan Hukum Tindak Penyebaran Berita Hoax

Penyebaran Berita Hoax di masa pandemi covid-19 semakin hari tidak terkendali. Menurut Ditjen Aptika – Kementerian Komunikasi dan Informatika melibatkan penyelenggara platform digital untuk mencegah penyebaran hoaks virus Korona. Hingga 5 Mei 2020 hasil pantauan TimAIS Ditjen Aptika, menunjukkan 1.401 konten hoaks dan disinformasi Covid-19 beredar di masyarakat.

Untuk mencegah semakin bertambahnya jumlah kasus penyebaran Berita Hoax sehingga tidak sampai juga menimbulkan keonaran di lingkungan masyarakat, maka diperlukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap semua bentuk kegiatan yang menggunakan sarana teknologi informasi oleh pemerintah dan aparatur hukum yang telah diberikan kewenangan oleh peraturan perundang-undangan untuk melakukan penegakan hukum berkaitan dengan pemanfaatan teknologi informasi. Proses peradilan pidana terhadap pelanggaran peraturan terkait teknologi informasi dan transaksi elektronik dilakukan melalui tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan untuk menyelesaikan perkara.

Khusus untuk penyidikan terhadap tindak pidana dalam perkara teknologi informasi dan transaksi elektronik perlu juga dilakukan selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintahan yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang teknologi

(10)

informasi dan transaksi elektronik diberi kewenangan khusus sebagai penyidik, sebegaimana telah diatur dalam Kitab Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyelidikan tindak pidana di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik.( Pakaya, 2017)

Dalam menangani tindak pidana penyebaran Berita Hoax, peran aparat penegak hukum diperlukan, maka dari itu Kepolisian telah melakukan berbagai upaya dalam menangani penyebaran Berita Hoax dengan upaya-upaya yang bersifat preventif dan represif, sebagai berikut: (Azran, 2019)

a) Upaya Preventif :

Adapun yang dimaksud dengan upaya preventif ini adalah merupakan tindak lanjut dari upaya pre-emtif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan, penekanan dalam upaya ini adalah dengan menghilangkan adanya kesempatan untuk melakukan kejahatan. Pencegahan preventif yang dilakukan oleh Kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana pelaku penyebaran Berita Hoax adalah dengan cara membentuk Satuan Tugas Cyeber Patrol (Satgas Cyber Patrol), yang bertugas mengawasi Teknologi Informasi atau Media Sosial. Dalam melakukan upaya preventif ini pihak Kepolisian telah melakukan berbagai upaya seperti memberikan himbauan dengan terjun langsung ke masyarakat, instansi pemerintah, lembaga pendidikan untuk menyuarakan anti Hoax, dimana anggota Kepolisian mendatangi dan menghimbau masyarakat untuk menolak segala bentuk berita Hoaxagar masyarakat tidak menyebarkan dan tidak mudah percaya pada berita yang tidak jelas karena dapat menjadi ancaman pidana bagi penyebarnya.Pihak Kepolisian juga menjalankan fungsi teknis yang khusus menangani kasus cyber crime berita Hoax dengan melakukan penegakan aturan, melakukan patroli cyber rutin di dunia maya seperti media sosial.

b) Upaya Represif

Adapun yang dimaksud dengan upaya represif adalah upaya yang dilakukan pada saat telah terjadi tindak pidana atau kejahatan yang tindakannya berupa penegakan hukum (law enforcement) dengan menjatuhkan hukuman. Upaya represif adalah suatu upaya penanggulangan kejahatan secara konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan. Penanggulangan dengan upaya represif untuk menindak para pelaku sesuai dengan perbuatannya serta memperbaiki kembali agar mereka sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah perbuatan melanggar hukum dan merugikan masyarakat, sehingga tidak mengulanginya dan orang lain juga tidak akan melakukannya mengingat sanksi yang berat. Pencegahan represif yang dilakukan oleh Kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana pelaku penyebaran Berita Hoax adalah dengan cara melakukan penegakan hukum terhadap pelaku penyebaran Berita Hoax.Dalam melakukan upaya reprsif ini, pihak kepolisian telah mengambil tindakan berupa dengan memproses setiap kasus Berita Hoax yang dilaporkan ke setiap seluruh Polrestabes yang ditangani sesuai dengan aturan yang berlaku. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 14 Undang-undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Pasal 28 jo. Pasal 45 Undang-undang ITE dilaksanakan

(11)

untuk memberikan efek jera kepada pelaku penyebaran Berita Hoax di masyarakat melalui media sosial atau internet.

Undang-undang ITE dan Undang-undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana sebegai suatu peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus dasar hukum maupun keberlakuannya dapat menyimpang dari ketentuan umum Buku I KUHP, bahkan terhadap ketentuan hukum acara pidana (hukum pidana formil), peraturan perundang-undangan tindak pidana khusus dapat juga menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Dengan begitu penyidikan baru dapat dilaksanakan oleh penyidik apabila terjadi suatu tindak pidana dan terhadap tindak pidana tersebut dapat dilakukan penyidikan menurut KUHAP. Penyidikan dalam arti luas meliputi, penyidikan, pengusutan dan pemeriksaan, yang sekaligus merangkai dari tindakan-tindakan dari terus-menerus, tidak ada pangkal permulaan dan penyelesaiannya, Penyidikan dalam arti sempit, merupakan semua tindakan-tindakan suatu bentuk reprensif dari reserse kriminal Polri yang merupakan permulaan dari pemeriksaan perkara pidana.(Tobing, 2020)

Kekhususan peraturan perundang-undangan tindak pidana khusus dari aspek norma, jelas mengatur hal-hal yang mana belum diatur didalam KUHP. Dengan kata lain, penerapan ketentuan khusus dapat dimungkinkan berdasarkan asas lex

spesialis derogate lex generalisyang berarti ketentuan yang bersifat khusus lebih

diutamakan dari pada ketentuan yang bersifat umum.

Dalam hal ini Kepolisian mempunyai peranan penting dalam penegakan tindak pidana penyebaran Berita Hoax. Menurut Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Polri Kombes Ahmad Ramadhan mengungkapkan, pihaknya kini menangani 103 kasus penyebaran Berita Hoax terkait virus corona, pada bulan Mei 2020, ada sebanyak 103 kasus hoaks yang ditangani oleh Polri, hal ini menunjukkan ketegasan Kepolisian dalam menyikapi maraknya Berita Hoax saat pandemi covid-19.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas, maka pada bab terakhir ini akan diambil kesimpulan sebagai berikut : Selama Pandemi Covid-19 pemerintah telah mengeluarkan berbagai produk hukum untuk menekan atau mengatasi penyebaran Covid-19, berikut juga peraturan dampak ikutannya Dari keseluruhan produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam mengatasi Pandemi Covid-19, tidak ada satupun yang mengatur mengenai tindak pidana penyebaran Berita Hoax bahkan di dalam Undang-undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan tidak mengatur mengenai Berita Hoax dimasa Pandemi. Dalam menanggulangi tindak pidana Berita Hoax di masa Pandemi Covid-19, para penegak hukum masih menggunakan aturan terdahulu sebelum adanya Pandemi Covid-19 yaitu pemerintah telah menetapkan hukum positif yang mengatur mengenai tindak pidana penyebaran informasi bohogdi Indonesia diantaranya terdapat dalam pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana serta Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

(12)

Transaksi Elektronik jo. Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik diatur di dalam Pasal 28.

DAFTAR BACAAN

Atmasasmita, Romli. 2001.ReformasiHukum, HakAsasiManusia&Penegakan

Hukum. Bandung: MandarMaju.

Chazawi, Adami dan Ferdian, Ardi. 2015. Tindak Pidana Informasi dan Transaksi

Elektronik. Malang: Media Nusa Creative.

Choirroh, Lailatul Utiya. 2017. Pemberitaan Hoax Persfektif Hukum Pidana

Islam. Al –Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam. Vol. 3, No. 2.

Christiany, Juditha. 2018. Interaksi Komunikasi Hoax di Media Sosial serta Antisipasinya. Jurnal Pekommas. 3 (1).

Dewi, Maria Herawati. 2016. Penyebaran Hoax dan Hate Speech sebagai

Representasi Kebebasan Berpendapat, PROMEDIA. 2 (2).

E, Utrecht. 1960. Hukum Pidana 1. Bandung: cet.2. Penerbitan Universitas.

Hanik, Chumairoh. 2020. Ancaman Berita Hoax di Tengah Pandemi Covid-19.

Vox Populi. 3 (1).

Ika, Pomounda. 2015. Perlindungan Hukum Bagi Korban Penipuan Melalui Media Elektronik (Suatu Pendekatan Viktimologi). Jurnal Ilmu Hukum

Legal Opinion 3. (4).

Ilham, Bisri. 2004. SistemHukum Indonesia. Jakarta: GrafindoPersada.

Makarim, Edmon. 2004. KompilasiHukumTelematika. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Moeljatno, Azas-azasHukumPidana, cet.2, BinaAksara, Jakarta, 1984 (selanjutnya disingkat Moeljatno III), h. 177.

Muh.,Akbar Azran.Marwan Mas ,Abdul Salam Siku. 2019. PenerapanPidana

TerhadapPelakuPemuatanBeritaBohong (hoax) di Media Sosial.

Indonesia Journal of Legality of Law .

Nur, Aisyah Siddiq. 2016. Penegakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Berita Palsu (Hoax) Menurut Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Yang Telah Dirubah Menjadi Undang-Undang No.19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Lex Et Societatis. 5 (10).

Pakaya, Ramadhanty. 2008. wewenang khusus penyidik menurut Undang-undang

nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Lex et Societatis. 5 (2).

Prasetyo, Teguh. 2013. HukumPidana. Jakarta: cet.4. RajawaliPers. Shant, Dellyana. 1988. Konsep Penegakan Hukum. Yogyakarta: Liberty.

Suhariyanto, Budi. 2013. Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime):

Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya. Jakarta: Rajawali Pers.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: ed.3 cet.2. Balai Pustaka.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana .

(13)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 58). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, (Lembaran Negara Tahun 2016 Nomor 251).

(14)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Dalam kajian teori yang telah dilakukan, model penelitian ini mengidentifikasikan bahwa ikatan emosional antara pendukung Arema Indonesia dan klub tersebut ( Brand

Sebaiknya Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia berkolaborasi bersama dengan para Penegak Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menganai suatu

Analisis data untuk rekomendasi vegetasi gambut yang dapat dipergunakan untuk kegiatan revegetasi paling tidak yang memiliki keberhasilan tumbuh ≥ 80% untuk tanaman pokok

Berdasarkan berberapa penjelasan di atas maka, hal tersebut penting untuk diteliti karena dengan menggambarkan keadaan sosial ekonomi buruh musiman pengangkut gula,

Berdasarkan peramalan nilai ekspor kendaraan bermotor di Indonesia pada tahun 2020 yang telah dilakukan, didapatkan nilai akurasi pada peramalan ekspor kendaraan bermotor roda

Dasar hukum dari penyebaran berita bohong atau hoax diatur dalam Undang- Undang No 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang informasi