• Tidak ada hasil yang ditemukan

Signifikansi Budaya Mutu di Perguruan Tinggi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Signifikansi Budaya Mutu di Perguruan Tinggi"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

PRAKTIK BAIK SISTEM PENJAMINAN

MUTU INTERNAL DI PERGURUAN TINGGI

Manfaat yang diperolah Setelah Penerapan Sistem Penjaminan Mutu Internal

di Perguruan Tinggi

Signifikansi Budaya Mutu di Perguruan Tinggi

MOHAMAD SUHAIDI *

*STKIP PGRI Sumenep, Kepala Unit Penjaminan Mutu

Abstract

Signifikansi Budaya Mutu di Perguruan Tinggi

Oleh. Mohamad Suhaidi[*]

Jangan mengejar perihal cepat dalam bekerja ; kejarlah perihal baik dalam bekerja. Sebab, orang-orang tak bertanya tentang pekerjaan yang telah selesai ; mereka hanya bertanya soal kualitas pekerjaan (Ali bin Thalib)

Membangun perguruan tinggi yang bermutu, tentu menjadi dambaan semua pengelola perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Tanpa orientasi pada mutu, pengelolaan perguruan tinggi hanya akan menghasilkan sesuatu yang jauh dari harapan. Istilah plesetan sebagian orang disebut la yamutu wa la yahya : tidak bermutu, dan hanya menghabiskan biaya . Hal itu berlaku terhadap perguruan tinggi yang sama sekali tidak menjadikan mutu sebagai acuan dalam pengelolaan dan pengembangannya. Akibatnya, perguruan tinggi yang dikelola hanya akan bergerak di satu tempat, dan tidak mampu menaikkan marwah-nya sebagai perguruan tinggi yang ternama, karena

perguruan tinggi itu telah dikelola dengan menafikan nilai-nilai mutu sebagaimana telah ditetapkan oleh pemerintah. Perguruan tinggi yang tidak bermutu ibarat perguruan tinggi yang salah kelola, karena tahapan perkembangan dan kemajuan yang diperoleh tidak pernah terbaca dengan baik.

SPMI (Sistem Penjaminan Mutu Internal), pada hakikatnya merupakan ruh pendidikan tinggi yang sangat vital. Sebab, SPMI dalam sebuah perguruan tinggi dapat menjadi sarana untuk mengelola perguruan tinggi yang mandiri, karena segala proses mutu yang dijalankan di dalamnya, harus dirancang, dijalankan dan dikendalikan secara mandiri oleh perguruan tinggi.Kemandirian dalam mengelola mutu perguruan tinggi, menunjukkan bahwa pengelolaan perguruan tinggi yang ideal adalah ia yang dilaksanakan secara otonom, tanpa ada campur tangan pemerintah. Artinya, perguruan tinggi yang bermutu adalah ia yang benar-benar terkelola dengan memanfaatkan segenap potensi internal perguruan tinggi, tanpa harus berharap sepanjang masa terhadap uluran tangan pemerintah.

(2)

yang berdaya dalam semua hal, karena pengelolaannya sudah dilakukan dengan menggunakan standar pengelolaan yang sudah baku. Setiap hal dalam ruang lingkup perguruan tinggi, sudah terstandar dengan baik, misalnya standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.

Apabila, standar-standar itu telah terbangun dengan jelas, lalu diterjemahkan dalam aksi nyata kehidupan perguruan tinggi, maka mengidealkan masa depan perguruan tinggi yang berkualitas, sudah pasti akan menjadi kenyataan. Fakta sederhana tentang perguruan tinggi yang selama ini masih belum berdaya, karena banyak perguruan yang sengaja melupakan tentang signifikansi membumikan budaya mutu, sehingga berdampak terhadap nasib pengelolaan perguruan tinggi yang dikelola. Akibatnya, kepuasan stakeholder menjadi terbengkalai.

Padahal, substansi penjaminan mutu yang terbangun dalam sebuah perguruan tinggi, pada akhirnya untuk memberikan kepuasan maksimal terhadap stakeholder yang ada, karena kepuasaan

stakeholder merupakan puncak dari segala layanan yang diberikan oleh sebuah perguruan tinggi. Kepuasaan stakeholder atas layanan perguruan tinggi, secara faktual akibat budaya mutu yang terbumikan dengan baik.

Aborsi Budaya Mutu

Memang tidak mudah membumikan budaya mutu. Sebagai barang baru, penjaminan mutu dalam sebuah perguruan tinggi, memang membutuhkan kerja keras untuk dibumikan. Satu hal yang menjadi penghambat utamanya adalah kesadaran personal yang minim terhadap mutu. Kebiasaan lama pengelolaan pergurun tinggi yang tradisional adalah mengelola tanpa berpijak pada standar, manual prosedur dan pedoman-pedoman yang dibutuhkan. Bahkan, dalam kasus tertentu banyak perguruan tinggi yang hanya menjadikan RIP, Renstra dan Renop sebagai dokumen formal yang tidak pernah disentuh untuk dibaca, kemudian dijadijadikan pondasi dalam membangun perguruan tinggi ke arah yang jelas dan terarah. Sudah bisa dipastikan, minimnya kesadaran untuk

mengelolaan perguruan tinggi tanpa RIP, Renstra dan Renop tersebut, akan menjadi salah satu penanda bahwa telah terjadi proses aborsi mutu yang sistemik dalam sebuah perguruan tinggi. Apalagi, perguruan tinggi yang menafikan tentang proses penyusunan visi-misinya sebagai kiblat pengelolaan dan pengembannya di masa depan.

Dalam tataran tertentu, budaya mutu secara perlahan tidak akan terbumikan dengan baik. Mutu dengan segala varian di dalamnya, tidak hanya berbicara tentang bagaimana semua dokumen mutu tersedia, karena yang terpenting bahwa mutu harus menekankan pada semangat continuous

improvement (keberlanjutan) pengelolaan perguruan tinggi, yang akan berakhir pada titik tertinggi ; memberikan layanan yang maslahah terjadap stakeholder. Hal itu revelan dengan definisi SPMI yang tertuang dalam UU. Sisdiknas juncto, Pasal 91 PP. No. 19 Tahun 2005, tentang SNP bahwa SPMI adalah kegiatan sistemik penjaminan mutu pendidikan tinggi di perguruan tinggi oleh perguruan tinggi (internally driven), untuk mengawasi penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh perguruan tinggi secara berkelanjutan.

Di lain pihak, implementasi budaya mutu tidak akan berjalan normal dan maksimal, mengingat tidak semua komponen pengelola dalam sebuah perguruan tinggi, belum memiliki cara pandang yang sama tentang signifikansi budaya mutu, karena yang masih dipegang adalah budaya tidak bermutu, antara lain proses pengelolaan perguruan tinggi hanya sebatas dilakukan asal dikelola, tanpa ada berorientasi pada tujuan yang telah ditetapkan. Manajemen kendali mutu yang dipaksa oleh

(3)

yang dibayangkan. Evaluasi terhadap semua proses pengelolaan perguruan tinggi yang menjadi bagian dari kendali mutu misalnya, kerapkali dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Banyak pihak yang tidak memahami evalusi sebagai bagian dari upaya memperbaiki diri, dengan semangat keberlanjutan yang kaffah.

Menaklukkan Akreditasi BAN PT

Setiap perguruan tinggi, pasti dihadapkan pada ancaman akreditasi, terutama bagi perguruan tinggi yang pengelolaannya masih belum ber-mutu. Segala standar dan dokumen yang tertuang dalam instrumen akreditasi, baik akrditasi prodi maupun akreditasi institusi, bisa dinggap sebagai

ancaman yang menakutkan, karena tanpa ketersediaan dokumen sesuai dengan yang diharapkan oleh instrumen akreditasi, nasib sebuah perguruan tinggi bisa dipastikan kurang nyaman dan kurang aman. Bayang-bayang menjadi perguruan tinggi tidak berkualitas, karena tidak memenuhi standar akreditasi, selalu menjadi hantu yang menakutkan. Padahal, kebijakan akreditasi pada dasarnya merupakan kebijakan strategis untuk mengukur kualitas pengelolan sebuah perguruan tinggi dengan mengacu terhadap beberapa standar yang ditentukan oleh BAN PT.

Kondisi semacam itu, tentu saja dirasakan oleh semua pengelola perguruan tinggi, termasuk oleh penulis sebagai pihak yang diberi mandat untuk mengelola penjaminan mutu. Penulis merasakan betapa beratnya proses penyusunan instrumen akreditasi, di tengah proses pengelolaan perguruan tinggi yang mash belajar memahami penerapan SPMI. Sebab, instrumen akreditasi sejatinya

menggambarkan tentang semua proses yang dilakukan dalam pengelolaan perguruan tinggi, sudah berbasis mutu atau tidak. Sebagai sebuah gambaran nyata, maka akreditasi dapat menjadi indikator rasional tentang kualitas mutu sebuah perguruan tinggi.

Disinilah, makna penting dari membumikan budaya mutu perguruan tinggi. Tanpa ada upaya maksimal untuk membumikan budaya mutu, sulit rasanya akreditasi berjalan normal, bahkan akan selalu menjadi ancaman yang menakutkan bagi perguruan tinggi. Tetapi, tidak sebaliknya, apabila budaya mutu telah dilaksanakan, secara perlahan proses akreditasi akan berbalik menjadi jalan terang menuju perguruan tinggi yang berkualitas dan mememiliki marwah cukup tinggi bersama perguruan tinggi yang sudah bermutu.

Penerapan SPMI di perguruan tinggi akan memberikan manfaat yang sangat besar terhadap institusi, terutama dalam rangka menjawab tantangan instrumen akreditasi yang dirumuskan olen BAN PT. Hanya dengan budaya mutu, BAN PT bisa ditaklukkan oleh sebuah perguruan tinggi. Artinya, budaya mutu yang terbangun dengan baik dan maksimal, akan bisa memberikan jawaban dan bukti yang utuh atas setiap pernyataan yang tertuang dalam instrumen akreditasi, sehingga pada gilirannya dapat memberikan jalan bagi perguruan tinggi untuk menjadi perguruan tinggi yang unggul.

Dalam keterkaitan itu, pengalaman penulis dalam membumikan penjaminan mutu di STKIP PGRI Sumenep, yang masih taraf berupaya memaksimalkan, manfaat penjaminan mutu sudah sangat terasa. Belajar pada pengalaman akreditasi yang dilaksanakan sebelum mutu menjadi ruh di perguruan tinggi yang penulis kelola, kegiatan akreditasi masih menjadi tantangan yang sangat berat, karena semua dokumen sebagai bukti adanyan proses mutu, tidak tersedia dengan baik. Hal itu menunjukkan bahwa proses mutu belum terlaksana dengan baik.

(4)

tinggi yang penulis kelola juga menekankan pada : Tulislah apapun yang Anda kerjakan, tulislah apapun yang akan Anda kerjakan .

Demikian juga, standar demi standar pengelolan perguruan tinggi terus mendapatkan perhatian untuk dibenahi, disertai dengan upaya-upaya penyadaran kepada semua pihak di internal perguruan tinggi untuk mengamalkan budaya mutu dalam setiap proses pengelolaan yang dilakukan. Budaya mutu tidak akan terbumikan dan hanya akan menjadi sebuah rumusan konsep yang diam, tanpa ada upaya semua elemen di dalamnya untuk menggerakkannya. Sebab, budaya mutu yang paling

substansial adalah erat kaitannya dengan manusia sebagai pelaku utama dalam budaya mutu.

SPMI misalnya akan benar-benar berjalan apabila faktor manusianya sudah memiliki cara pandang yang sama dalam berbudaya mutu, sehingga dapat mencapai tujuan ideal dari SPMI. Hal mendasar yang harus diperkuat dalam implementasi SPMI adalah mengacu pada beberapa hal yaitu ;

komitmen, perubahan paradigma, sikap mental, dan pengorganisasian penjaminan mutu.

Membumikan budaya mutu dengan segala nilai yang terkandung di dalamnya, akan dapat membangkitkan spirit pengelolaan perguruan tinggi dalam semua aspek, sehingga komitmen menjadi perguruan tinggi yang selalu berkembang dengan kualitas akan menjadi kenyataan. Pengalaman STKIP PGRI Sumenep yang barus belajar

menerapkan penjaminan mutu, dalam konteks tertentu telah merasakan dampak maslahah dari penerapan sistem penjaminan mutu yang masih tergolang baru memasuki usia dewasa., bukan hanya sebatas menghadapi kewajiban harus terakreditasi , tetapi yang paling mendasar adalah terbangunnya pengelolaan institusi yang modern dan profesional, terutama mengacu pada semangat pengelolaan yang berkelanjutan. Sebab, dengan budaya mutu, setiap tahap kinerja akan selalu mendapatkan evaluasi dan pengendalian, sehingga akan melahirkan inovasi-inovasi baru dalam menata arah perguruan tinggi.

Akhirnya, sebagai pengelola perguruan tinggi yang secara bertahap terus menerus berupaya keras membumikan SPMI, penulis senantiasa berikhtiar untuk selalu belajar lebih banyak tentang

penerapan SPMI yang terbaik, karena penulis sudah sangat merasakan tentang nikmat SPMI yang terlaksana dengan baik, walaupun dalam konteks STKIP PGRI Sumenep yang penulis kelola, SPMI masih dalam proses membumikan. Akan tetapi, dengan upaya-upaya itu, kemaslahatan SPMI sudah begitu sangat terasa dampaknya, terutama dalam menghadapi proses akreditasi oleh BAN PT.

Wallahu A lam.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk dapat memberikan penilaian yang objektif, kriteria pemberian skor jawaban siswa untuk soal tes kemampuan penalaran matematika siswa dengan menggunakan pedoman

Untuk menghadapi ancaman perang dagang, pemerintah menyatakan lebih memilih pendekatan kolaboratif dan memperkuat lobi sebagai skema yang paling rasional.. Adapun

Ciri Kerusakan : spora kapang hiau kebiruan Komoditi yang diserang : anggur, bit, aprikot Jenis : Penicillium digitarium..

Setelah itu dilakukan seleksi kultur bakteri, seleksi ini dilakukan dengan cara inokulasi kultur bakteri sampel dalam media seleksi padat yang mengandung HgCl 2 dengan konsentrasi

Penulis menyarankan pada pembaca untuk dapat mendalami dan mengembangkan sifat sifat maupun keterkaitan dengan kelas aljabar lain yang belum dibahas dalam skripsi

Sifat kuantitatif yang diamati yaitu: (1) Panjang badan, diukur dari jarak garis lurus dari tepi tulang processus spinocus pertama sampai benjolan tulang tapis

Berdasarkan hasil observasi dan pelaksanaan tindakan pada siklus I dengan model pembelajaran discovery learning berbantuan program Cabri 3D pada materi jarak dalam

Tetapi di dalam hasil penelitian ada beberapa nilai intensitas penerangan yang berbanding lurus dengan skor kelelahan mata tenaga kerja, hal ini dikarenakan kondisi mata