• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi minggiran di desa Pangkah Wetan kecamatan Ujung Pangkah kabupaten Gresik dalam perspektif 'urf.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tradisi minggiran di desa Pangkah Wetan kecamatan Ujung Pangkah kabupaten Gresik dalam perspektif 'urf."

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

TRADISI MINGGIRAN DI DESA PANGKAH WETAN

KECAMATAN UJUNG PANGKAH KABUPATEN GRESIK

DALAM PERSPEKTIF ‘URF

SKRIPSI

Oleh :

Nihayatush Sholihah

NIM. C72213153

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam

Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah (Muamalah) SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

v

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan (field research) yang berjudul Tradisi Minggiran di Desa Pangkah Wetan Kabupaten Gresik dalam Perspektif ‘Urf. Rumusan masalahnya: Pertama, bagaimana deskripsi tradisiminggiranyang ada di Desa Pangkah Wetan Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik. Kedua, bagaimana analisis ‘urf terhadap tradisi minggiran di Desa Pangkah Wetan Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik.

Data penelitian ini dihimpun melalui observasi, wawancara dan dokumentasi kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskripsi kualitatif. Penelitian ini menggunakan pola pikir deduktif, yang diawali dengan mengemukakan pengertian-pengertian, teori-teori, atau fakta-fakta yang bersifat umum, yaitu ketentuan-ketentuan hukum Islam mengenai ‘urf yang selanjutnya dipaparkan dari kenyataan yang ada di lapangan mengenai deskripsi tradisi minggiran yang ada di Desa Pangkah Wetan, kemudian diteliti dan dianalisis.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa tradisi minggiran dilakukan oleh orang-orang yang mendengar kalau ada pemilik tambak yang akan memanen ikan ditambaknya. Dan orang-orang yang sudah datang ketempat lokasi tambak yang akan dipanen akan mengambil dan saling berebut ikan-ikan yang nantinya terlepas dari jaring pemilik tambak, akan tetapi mereka tidak hanya mengambil ikan yang terlepas dari jaring pemilik tambak, bahkan mereka mengambil ikan yang masih dalam jaring pemilik tambak dan mereka terkadang juga mengambil ikan yang sudah dalam proses penimbangan di tempat tengkulak. Ikan-ikan yang mereka dapat dari tradisi minggiran ini mereka jual kepada tengkulak dan mendapatkan uang Rp. 100.000- Rp. 150.000. Dan pasti mereka yang mengambil ikan-ikan yang masih dalam jaring pemilik tambak mendapatkan uang lebih dari itu. Tradisi minggiran yang dilakukan di desa Pangkah Wetan untuk orang yang mengambil ikan yang masih dalam jaring pemilik tambak termasuk dalam ‘urf yangfa>sidyang tidak diakui kehujjahannya, karena tidak memenuhi syarat-syarat ‘urf yang bisa dijadikan sebagai landasan hukum, diantaranya ‘urf yang bisa dijadikan sebagai landasan hukum harus membawa mas{lah{at tidak membawa mud{a>ra>t dan dalam praktiknya tradisi minggiran yang mengambil ikan dalam jaring pemilik tambak tidak memenuhi syarat tersebut karena tradisi minggiran yang dilakukan menimbulkan kerugian bagi pihak pemilik tambak.

(7)

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Kajian Pustaka ... 9

E. Tujuan Penelitian ... 13

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 13

G. Definisi Operasional ... 14

H. Metode Penelitian ... 15

I. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II ‘URFDALAM HUKUM ISLAM DAN‘URFDALAM KONTEKS KEPEMILIKAN A.Urf dalam Hukum Islam 1. Pengertian‘Urf ...22

2. Dasar Hukum‘Urf ... 24

(8)

ix

4. Kedudukan‘Urf ...28

5. Syarat ‘Urfmenjadi Landasan Hukum ... 31

6. Perbenturan‘Urfdengan Dalil Syara’...33

B.Urfdalam Konteks Kepemilikan ... 35

BAB III TRADISI MINGGIRAN DI DESA PANGKAH WETAN KECAMATAN PANGKAH KABUPATEN GRESIK A. Gambaran Umum Desa Pangkah Wetan Kecamatan Pangkah Kabupaten Gresik 1. Letak dan Kondisi Geografis ... 42

2. Keadaan Penduduk ... 44

3. Keadaan Ekonomi ... 45

4. Keadaan Pendidikan ... 47

5. KeadaanSosialKeagamaan ... 50

B. Pelaksanaan Tradisi Minggiran di Desa Pangkah Wetan Kecamatan Pangkah Kabupaten Gresik 1. PengertianTradisiMinggiran ... 52

2. Sejarah Terjadinya Tradisi Minggiran ... 53

3. Praktik Pelaksanaan TrasisiMinggiran... 56

4. Dampak yang Ditimbulkan dari Adanya Tradisi Minggiran ... 59

BAB IV TRADISI MINGGIRAN DI DESA PANGKAH WETAN KECAMATAN PANGKAH KABUPATEN GRESIK DALAM PERSPEKTIF‘URF A. Analisis Pelaksanaan Tradisi Minggiran di Desa Pangkah Wetan Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik ... 61

B. Analisis‘Urf terhadap Tradisi Minggirandi Desa Pangkah Wetan Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik ... 63

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 73

B. Saran ... 75

(9)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia pada dasarnya tidak bisa hidup sendiri, ia harus hidup

bermasyarakat saling membutuhkan dan saling mempengaruhi untuk

melakukan semua aktivitas.1 Dan disetiap masyarakat pasti memiliki suatu

kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri secara terus menerus

dan turun-menurun. Akan tetapi kita sebagai masyarakat muslim kebiasaan

yang dilakukan disuatu masyarakat itu tidak boleh bertentangan dengan ajaran

Islam.

Ajaran agama Islam menganjurkan manusia untuk melakukan beberapa

ajaran di antaranya bidang ‘ubu>diyyah (ajaran tentang hukum ibadah kepada

Allah SWT) yang terkait ajaran-ajaran tentang sholat, puasa, haji dan zakat

yang menerangkan tentang hubungan antara manusia dan Allah SWT. Dan

ajaran pokok lainnya terkait dengan hubungan manusia dengan manusia

lainnya yang dinamakan dengan mu’a>malah. Mu’a>malah merupakan aturan

yang ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan keduniawian

atau urusan yang berkaitan dengan duniawi dan sosial kemasyarakatan.2

Secara garis besar mu’a>malah itu terkait dengan dua hal, yang pertama,

berkaitan dengan kebutuhan hidup yang berkaitan dengan materi. Inilah yang

1

Sohari Sahrani & Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah,Cet. 1 (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), 31.

2

(10)

disebut dengan ekonomi dan yang kedua, mu’a>malah yang berkaitan dengan

pergaulan hidup yang berhubungan dengan kepentingan moral rasa

kemanusiaan yang disebut dengan sosial.3

Dalam kehidupan sosial disuatu masyarakat sangatlah tidak mungkin

tidak adanya suatu kebiasaan pasti dalam masyarakat ada kebiasaan yang

dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Kebiasaan dalam hukum Islam itu

disebut dengan ‘urf. ‘Urf atau yang disebut dengan kebiasaan adalah sesuatu

yang dimengerti oleh masyarakat dan dilakukan secara secara berulang-ulang

serta dijalani secara terus menerus, baik dalam hal-hal perkataan maupun

perbuatan yang terjadi sepanjang masa atau pada masa tertentu saja.4

‘Urf dijadikan sebagai sumber hukum dalam Islam sebagaimana firman

Allah SWT dalam al-Qur’a>n yaitu dalam surat al-A’ra>f (7) ayat 199:

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.5

Serta berdasarkan hadis Nabi Muhammad Saw adapun dalil Sunnah dari

Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:

“Apa yang dipandang oleh orang-orang Islam baik, maka baik pula disisi Allah SWT, dan apa yang dianggap orang-orang Islam jelek maka jelek pulalah di sisi Allah SWT”. (HR. Ahmad)6

3 Ibid.

4

Asmawi,Perbandingan Ushul Fiqh(Jakarta: Amzah, 2011), 161.

5 Departemen Agama RI,A l-Qur’a>n dan Terjemahannya(Depok: Cahaya Qur’a>n, 2008), 176. 6Ahmad bin Muhammad bin Hambali bin Hilal bin Asad bin Idris,Musnad A hmad Bin Hambal,

(11)

‘Urf yang diterima oleh hukum Islam memiliki syarat-syarat yang harus

dipenuhi, diantaranya adalah:7

1. Tidak bertentangan dengan nas{s{qath’y (ayat al-Qur’a>n dan hadits Nabi

Muhammad Saw yang telah dipahami maknanya secara jelas tanpa adanya

pemahaman yang lainnya) dari al-Qur’a>n dan al-Sunnah. Apabila

bertentangan dengan keduanya maka itu tidak boleh dilaksanakan.

2. ‘Urf tersebut bersifat umum yang telah menjadi kebiasaan manusia secara

berulang-ulang.

3. ‘Urf tersebut sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang

dipermasalahkan. Maksudnya adalah bahwa ‘urf tersebut memang sudah

ada dan dilakukan secara berulang-ulang oleh suatu komunitas atau

masyarakat.

4. ‘Urf tersebut berlaku secara umum dan bisa diterima oleh akal sehat.

Artinya kebiasaan tersebut merupakan ucapan dan perbuatan yang dapat

diterima oleh akal manusia yang sehat.

5. Membawa mas{lah{at dan tidak membawa mud}a>ra>t. Setiap ‘urf yang

diterima oleh Islam adalah yang membawa mas{lah{at bagi manusia pada

umumnya. Sebaliknya setiap kebiasaan mendatangkan mud{a>ra>t tidak

boleh dilaksanakan dalam hukum Islam. Rasulullah Saw bersabda:

Tidak boleh melakukan perbuatan (mud}a>ra>t) yang mencelakakan diri sendiri dan orang lain. HR. Ibnu Majah dan al-Daruquthny.8

7

(12)

6. Kebiasaan tersebut tidak menggugurkan suatu kewajiban serta tidak

menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

Macam-macam ‘urf kalau dilihat dari segi keabsahannya dari pandangan

syara’,‘urf terbagai dua, yaitu:

1. ‘Urf s{ahi>h{{adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat

yang tidak bertentangan dengan nas{s{(al-Qur’a>n dan hadits), tidak

menghilangkan kemaslahatan (segala sesuatu yang mengandung kebaikan

dan manfaat bagi sekelompok manusia juga individu)9 mereka, dan tidak

pula membawamud}a>ra>t kepada mereka.10

2. ‘Urf fa>sid adalah sesuatu yang telah saling dikenal manusia, tetapi

bertentangan dengan shara’, atau menghalalkan yang haram dan

membatalkan yang wajib.11

Di dalam kehidupan ini kita sering kali terjebak pada suatu kebiasaan,

secara garis besar kebiasaan itu dibagi menjadi dua yaitu kebiasaan baik dan

kebiasaan buruk. Tapi di sini tentu saja tidak akan memakai istilah terjebak

untuk suatu perbuatan yang baik. Karena, menjadikan hal-hal yang baik

menjadi kebiasaan itu sangat sulit, sangat berat ujiannya dan sangat berat

tantangannya. Sedangkan kata terjebak dalam kebiasaan di sini, maksudnya

kebiasaan buruk atau kebiasaan yang dinilai baik oleh manusia namun

8

Muhammad Al-Zu>h}ayli>,A l-Qawa>id al-Fiqhiyyah wa-Tat}bi>qa>tuha> fil-Madha>hib al-A rba’ah

(Damascus: Dar al-Fikr, 2006), 199. 9

Ahmad Al Raysuni & Muhammad Jamal Barut, Ijtihat antara Teks, Realitas & Kemaslahatan Sosial(Jakarta: Erlangga, 2002), 19.

10

Nasrun Haroen,Ushul Fiqh,Cet 2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 141. 11

(13)

ternyata buruk dimata Allah SWT. Hal ini sudah diperingatkan oleh Allah

SWT dalam al-Qur’a>n yaitu dalam surat al-Kahf ayat 103-106:

“Katakanlah: “A pakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” (103) Y aitu orang-orang yang Telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (104) Mereka itu orang-orang yang T elah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, Maka hapuslah amalan- amalan mereka, dan kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. (105) Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahannam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-ku sebagai olok-olok.(106) (QS. al-Kahfi [18] : 103-106)”12

Kebenaran yang sejati adalah datang dari Allah SWT, yaitu ajaran agama

Islam. Dan tidaklah dinamakan agama Islam jika tidak berdasarkan al-Qur’a>n

dan as-Sunnah. Oleh karena itu sesuatu perbuatan, amalan, kebiasaan

meskipun dinilai secara pribadi dan masyarakat baik dan benar, namun dalam

kacamata agama belum tentu baik apalagi benar. Sesuatu amal perbuatan dan

kebiasaan bisa dikatakan baik dan benar jika sesuai dengan al-Qur’a>n dan

as-Sunnah.

Di daerah Desa Pangkah Wetan juga terdapat suatu kebiasaan seperti

halnya dengan di tempat-tempat lain, Desa Pangkah Wetan juga memiliki

suatu kebiasaan yang tersendiri, dan kebiasaan itu sudah berkembang sejak

12

(14)

kurang lebih 50 tahun silam13, yakni suatu tradisi yang disebut dengan tradisi

minggiran. Dimana tradisi tersebut terjadi pada waktu salah satu pemilik

tambak sedang melakukan panen, masyarakat sekitar datang ketempat tambak

yang akan dipanen untuk berdiri di tepi tambak dan bersiap-siap untuk

mengambil ikan yang terlepas dari jaring pemilik tambak, ketika ada ikan

yang terlepas dari jaring tersebut maka masyarakat yang telah berdiri di tepi

tambak saling berebut untuk mendapatkan ikan14, tetapi proses kebiasaan

tradisi minggiran sedikit berbeda dengan dulu, kalau dulu masyarakat bisa

langsung mengambil ikan yang terlepas dari jaring pemilik tambak karena air

yang ada ditambak sudah tidak ada atau habis, akan tetapi kalau sekarang

panen ikan di tambak itu dalam keadaan air tambak masih penuh jadi

masyarakat merasa kesulitan untuk langsung mengambil ikan yang terlepas

dari jaring pemilik tambak karena ketinggian air tambak itu mencapai 1,5

meter, untuk itu masyarakat menunggu air tambak habis baru masyarakat itu

saling berebut dan mencari ikan-ikan yang terlepas dari jaring pemilik

tambak15, dari semua kebiasaan yang masyarakat itu lakukan membuat

pemilik tambak yang sedang melakukan panen itu mengalami penurunan

dalam keuntungannya, karena banyaknya ikan-ikan yang diambil oleh

masyarakat sekitar. Masyarakat yang melakukan tradisi minggiran atau orang

yang buri, itu tidak hanya mengambil ikan yang terlepas dari pemilik tambak

sebagaimana mestinya, namun orangburi ini juga mengambil ikan yang masih

13

Wahid, Wawancara, Gresik, 01 Oktober 2016.

14

Saiful Anwar, Wawancara, Surabaya, 16 September 2016.

15

(15)

dalam jaring pemilik tambak. Padahal jika masyarakat tidak mengambil

ikan-ikan yang ada di dalam jaring pemilik tambak, hanya mengambil yang terlepas

dari jaring pemilik tambak maka pemilik tambak akan mendapatkan

keuntungan yang lebih dari hasil penjualan ikan-ikannya tersebut. Hasil ikan

yang diperoleh masyarakat yang ikut melakukan tradisi minggiran itu dijual

kepada tengkulak yang ada di sana, dan setiap orangnya bahkan bisa

mendapatkan uang Rp. 150.000-Rp. 200.000 dari hasil penjualan ikan yang

didapat dari tradisi minggiran16. Peneliti mengambil penelitian dengan topik

tradisi minggiran yang ada di Desa Pangkah Wetan Kecamatan Ujung

Pangkah Kabupaten Gresik, itu tidak lain karena peneliti melihat adanya

sesuatu yang menyimpang dan tidak sesuai dengan hukum Islam. Dalam

hukum Islam suatu kebiasaan atau ‘urf yang bisa diterima oleh hukum Islam

itu sendiri harus memenuhi beberapa persyaratan, salah satunya setiap

kebiasaan harus membawa mas}lah}at dan tidak boleh membawa mud{a>ra>t.

Sedangkan dalam tradisi minggiran ada salah satu pihak yaitu dari pihak

pemilik tambak merasa bahwa adanya tradisi minggiran itu tidak membawa

mas}lah}at bagi dirinya, bahkan menimbulkan mud{a>ra>t terhadap pendapatan

keuntungannya.

Berdasarkan masalah yang dipaparkan di atas, maka penulis tertarik untuk

mengkaji lebih dalam terhadap praktik tradisi minggiran yang sudah menjadi

kebiasaan masyarakat Desa Pangkah Wetan Kecamatan Ujung Pangkah

16

(16)

Kabupaten Gresik. Oleh karena itu penulis akan menganalisis mengenai tradisi

minggirandalam perspektif‘urf.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari uraian latar belakang tersebut penulis dapat mengidentifikasi

beberapa masalah sebagai berikut :

1. Deskripsi tradisi minggiran yang ada di Desa Pangkah Wetan Kecamatan

Ujung Pangkah Kabupaten Gresik

2. Tidak adanya kejelasan akad terhadap masyarakat yang mendapatkan ikan

dari tradisiminggiran

3. Kerugian yang dialami oleh pemilik tambak akibat tradisiminggiran

4. Adanya kebiasaan yang dilakukan masyarakat Desa Pangkah Wetan

Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik yang tidak sesuai dengan

hukum Islam

5. Analisis ‘urf terhadap tradisi minggiran di Desa Pangkah Wetan

Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik

Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak semakin luas, maka penulis

membatasi masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu:

1. Deskripsi tradisi minggiran di Desa Pangkah Wetan Kecamatan Ujung

Pangkah Kabupaten Gresik

2. Analisis ‘urf terhadap tradisi minggiran di Desa Pangkah Wetan

(17)

C. Rumusan Masalah

Setelah penulis membatasi permasalahan yang dibahas dalam penelitian

ini, penulis dapat merumuskan masalah yang akan dibahas dalam penelitian

ini. Adapun rumusan masalah tersebut diantaranya yaitu:

1. Bagaimana deskripsi tradisi minggiran yang ada di Desa Pangkah Wetan

Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik?

2. Bagaimana analisis ‘urf terhadap tradisi minggiran di Desa Pangkah

Wetan Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka pada penelitian ini pada dasarnya untuk mendapatkan

gambaran topik yang akan diteliti dengan penelitian yang sejenis yang pernah

dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Sehingga diharapkan tidak adanya

pengulangan materi secara mutlak.

Setelah ditelusuri melalui kajian pustaka, penulis menemukan beberapa

penelitian yang memiliki kesamaan, diantaranya yaitu :

1. “Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil antara Pemilik Tambak dan Penggarap

Tambak di Kecamatan Duduk Sampeyan Kabupaten Gresik dalam

Tinjauan ‘Urf”, yang diteliti oleh Shofiyah, Tesis ini menyimpulkan

bahwa pelaksanaan perjanjian bagi hasil antara pemilik tambak dan

(18)

menggunakan hukum adat setempat, yaitu dilakukan secara lisan atau

tidak tertulis dan tidak juga menghadirkan saksi. Begitu juga mengenai

sistem bagi hasilnya meskipun relatif jauh berbeda (10% : 90%), dan

menurut tinjauan ‘urf adalah sah menurut hukum serta mempunyai

kekuatan hukum yang tetap, karena tidak bertentangan dengan al-Qur’a>n

dan as-Sunnah Rasulullah Saw, serta mengandung unsur positif.17

2. “Tinjauan Fiqh Mu’a>malah terhadap Status Kepemilikan Ikan yang

Ditangkap pada Saat Banjir Di Area Tambak Di Desa Ambeng-ambeng

Kecamatan Duduk Sampeyan Kabupaten Gresik” yang diteliti oleh

Fahrurotul Arofah. Skripsi ini menyimpulkan bahwa status kepemilikan

yang ada pada saat banjir waktu itu tidak sesuai dengan Fiqh Mu’a>malah,

akan tetapi dalam kaidah Fiqh Mu’a>malah segala sesuatu yang belum

ditemukan dalil yang mengharamkannya maka hukumnya diperbolehkan,

akan tetapi hal tersebut tidak serta-merta terjadi pada kejadian ini, sebab

dalam kejadian ini banyak merugikan banyak pihak.18

3. “Analisis Hukum Islam terhadap Hutang Piutang Petani Tambak Kepada

Tengkulak di Dusun Putat Desa Weduni Kecamatan Deket Kabupaten

Lamongan” yang diteliti oleh Muhammad Mukhlis. Skripsi ini

menyimpulkan bahwa hutang piutang yang terjadi ini merupakn jenis

hutang bersyarat yang diberikan oleh tengkulak selaku pihak pemberi

17

Shofiyah., “Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil antara Pemilik Tambak dan Penggarap Tambak di Kecamatan Duduksampeyan Kabupaten Gresik dalam Tinjauan ‘Urf” (Tesis—IAIn Sunan Ampel, Surabaya, 2011).

18

(19)

hutang kepada petani tambak selaku pihak peminjam. Adapun syaratnya

adalah kekhususan penjualan ikan hanya kepada tengkulak selaku pemberi

hutang saat masa panen ikan petani tambak tersebut, permasalahan hutang

piutang bersyarat antara petani tambak dengan tengkulak ini terletak pada

tidak adanya kesepakatan harga sebelumnya dalam suatu akad, dan

tindakan petani tambak dengan menjual sebagian ikan bukan kepada

tengkulak pemberi hutang, hal ini dianggap sebagai pencideraan akan akad

yang sedang berlangsung, akan tetapi hal ini diperbolehkan karena

mendapatkan izin secara tidak langsung dari tengkulak, dan selama masih

dalam batasan tertentu.19

Secara singkat, bahwa dari semua pembahasan tentang permasalahan

yang ada di tambak di atas, mempunyai kesamaan tempat penelitian yaitu di

daerah tambak. Dan perbedaan penelitian-penelitian tersebut di atas dengan

skripsi ini adalah skripsi yang pertama membahas tentang perjanjian bagi hasil

antara pemilik tambak dan penggarap tambak sedangkan skripsi yang kedua

membahas tentang status kepemilikan ikan yang diperoleh dari tangkapan saat

banjir di area tambak dan skripsi yang ketiga membahas tentang hutang

piutang petani tambak kepada tengkulak. Dan metode-metode yang digunakan

oleh peneliti-peneliti sebelumnya untuk menganalisis juga berbeda dengan

metode yang digunakan oleh skripsi ini, skripsi yang pertama untuk

menganalisis menggunakan metode diskriptif dan induktif, dan skripsi yang

19

(20)

kedua metode untuk menganalisisnya menggunakan deskriptif analitik dengan

pola pikir deduktif tapi dalam skripsi ini meninjau dari segi fiqih muamalah,

dan skripsi yang ketiga menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pola

pikir induktif yaitu pola pikir yang berpijak pada fakta-fakta yang bersifat

khusus kemudian diteliti dan akhirnya dikemukakan pemecahan persoalan

yang bersifat umum. Dari sini sudah sangat jelas bahwa skripsi ini berbeda

dengan skripsi-skripsi yang ada di atas, karena skripsi ini lebih menitik

beratkan pada tradisi yang dilakukan oleh masyarakat tersebut dan

menganalisis dari segi ‘urf dan metode yang akan penulis gunakan yaitu

menggunakan metode deskripsi kualitatif namun dengan pola pikir deduktif.

E. Tujuan Penulisan

Dengan berdasarkan pada hal-hal yang dikemukakan pada latar belakang

di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui deskripsi tradisi minggiran yang ada di Desa Pangkah Wetan

Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik

2. Mengetahui analisis ‘urf terhadap tradisi minggiran yang ada di Desa

Pangkah Wetan Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik

(21)

Dalam Penelitian ini, penulis berharap agar hasil penelitian yang telah

dilakukan bisa bermanfaat bagi orang-orang yang membacanya. Adapun

harapan kegunaan hasil penelitian penulis yaitu:

1. Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat bagi

pengembang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan cara

bermu’a>lamah dengan baik, menambah teori-teori pengetahuan

masyarakat terhadap kebiasaan yang dilakukan dan yang berkembang

dimasyarakat. Dimana masyarakat desa yang rata-rata masih minim

pengetahuan akan‘urf.

2. Secara praktis, kegunaan hasil penelitian ini sebagai masukan bagi

masyarakat Desa Pangkah Wetan Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten

Gresik dalam melakukan suatu tradisi agar lebih berhati-hati supaya

tradisi yang dilakukan itu bisa sesuai dengan hukum Islam.

G. Definisi Operasional

Dari beberapa uraian di atas terdapat beberapa istilah yang perlu untuk

dijelaskan agar tidak membingungkan bagi para pembacanya dan dapat

memperjelas maksud dari judul penelitian ini, diantaranya yaitu:

Tradisiminggiran : Suatu kebiasaan yang biasa dilakukan oleh masyarakat

Desa Pangkah Wetan Kecamatan Ujung Pangkah

Kabupaten Gresik ketika ada salah seorang pemilik tambak

(22)

berkumpul di tepi tambak dan akan mengambil ikan yang

terlepas dari jaring pemilik tambak ketika air ditambak itu

sudah habis, masyarakat itu tidak mungkin bisa mengambil

ikan yang terlepas dari jaring pemilik tambak ketika air

tambak masih ada karena ketinggian air tambak itu sekitar

1,5 meter jadi masyarakat harus menunggu air tambak itu

dibuang. Dan hasil ikan yang didapat oleh masyarakat itu

dijual kepada tengkulak yang ada di sana.

‘Urf : Sesuatu yang dimengerti oleh masyarakat dan dilakukan

secara berulang-ulang serta dijalani secara terus menerus,

baik dalam hal-hal perkataan maupun perbuatan yang

terjadi sepanjang masa atau hanya pada masa tertentu

saja.20

H. Metode Penelitian

Dalam melakukan sebuah penelitian metode memiliki fungsi yang sangat

penting untuk menentukan, merumuskan, menganalisis, dan memecahkan

masalah yang diteliti. Dengan metode yang tepat akan menghasilkan karya

ilmiah yang baik dan terarah. Adapun metode yang digunakan dalam

menyusun skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Data yang dikumpulkan

20

(23)

Data yang diperlukan dan dihimpun untuk menjawab pertanyaan

pertanyaan yang ada dalam rumusan masalah, diantaranya:

a. Data Primer

1) Data tentang tradisi minggiran yang ada di Desa Pangkah Wetan

Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik

2) Data tentang letak dan kondisi geografis, keadaan penduduk,

keadaan ekonomi, keadaan pendidikan, dan keadaan sosial

keagamaan yang ada di Desa Pangkah Wetan Kecamatan Ujung

Pangkah Kabupaten Gresik

b. Data Sekunder

1) Data tentang ketentuan ‘urf yang berasal dari literature-literatur

kepustakaan yang bisa berupa buku-buku, kitab, dan artikel

2. Sumber Data

Penelitian ini bersifat lapangan, maka untuk mendapatkan data yang

konkrit dalam penelitian ini dibutuhkan sumber data. Diantaranya:

a. Data Primer

Yaitu data yang diperoleh langsung oleh penulis dari lapangan

atau sumbernya,21 yaitu data tentang tradisi minggiran yang ada di

Desa Pangkah Wetan Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik.

Adapun sumber data yang digunakan oleh peneliti adalah wawancara

dengan pemilik tambak, warga masyarakat, tokoh masyarakat, dan

tokoh agama yang ada di daerah Desa Pangkah Wetan Kecamatan

21 Umar Husein,Metode Riset Komunikasi Organisasi(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

(24)

Ujung Pangkah Kabupaten Gresik. Diantaranya yaitu: pemilik tambak

(Saiful Anwar, Turhan, Sholeh, Tajab, dan Taufiq), warga masyarakat

(Wahid, Kis, Suandi, Ahmad, Khotib, dan Shobah), tokoh

masyarakat(Thohari dan Rozaq), dan tokoh agama (Badri dan Slamet).

b. Data Sekunder

Data yang mendukung dalam penulisan skripsi. Diantaranya

buku-buku, jurnal, dan artikel-artikel yang relevan dengan tema skripsi yaitu

‘urf.22 Sumber data ini bertujuan untuk membantu dalam melengkapi

dan memberikan penjelasan dari sumber data primer. Diantara sumber

data sekunder tersebut yaitu:

1) Asmawi,Perbandingan Ushul Fiqh

2) Nasrun Haroen,Ushul Fiqh

3) Rahmad Syafe’i,Ilmu Ushul Fiqih

4) Muhammad Abu Zahra,Ushul Fiqh

3. Teknik Pengumpulan Data

Karena penelitian ini merupakan penelitian lapangan maka metode

pengumpulan data yang penulis gunakan adalah sebagai berikut:

a. Observasi, hal ini dapat dilakukan dengan cara mengamati langsung di

tempat yang ingin diteliti.23 Ini berkaitan dengan pelaksanaan tradisi

minggiran yang ada di Desa Pangkah Wetan Kecamatan Ujung

Pangkah Kabupaten Gresik. Metode ini merupakan metode pertama

22

Sugiono,Memahami Penelitian Kualitatif(Bandung: Al Fabeta, 2005), 62. 23

(25)

yang akan penulis pakai untuk memperoleh data-data yang berkaitan

dengan permasalahan tersebut.

b. Wawancara (Interview), yaitu suatu kegiatan yang dilakukan untuk

mendapatkan informasi secara langsung dengan mengungkapkan

pertanyaan-pertanyaan kepada responden.24 Hal ini akan penulis

lakukan dengan mempersiapkan pertanyaan terlebih dahulu. Penulis

melakukan wawancara dengan masyarakat yang ada di Desa Pangkah

Wetan Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik untuk

membantu penulis memperoleh informasi yang relevan mengenai

topik skripsi yang penulis ambil mengenai tradisi minggiran. Adapun

sasarannya adalah pemilik tambak dan masyarakat yang ada di sekitar

Desa Pangkah Wetan.

c. Metode Dokumentasi, ialah sebuah cara untuk mengumpulkan data

dengan mencari data mengenai hal-hal yang berupa catatan, buku, dan

sebagainya.25 Metode ini digunakan untuk mengumpulkan

bahan-bahan dan pendapat-pendapat untuk menjadikan landasan teori, yakni

dengan menganalisis dari literatur-literatur yang berkaitan dengan

masalah penelitian.

4. Teknik Pengelolahan Data

Karena data diperoleh langsung dari pihak-pihak yang bersangkutan

dan dari bahan pustaka maka penulis akan melakukan suatu

tahapan-24

P. Joko Subagyo,Metode Penelitian dalam Teori ke Praktek (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991), 39.

25

(26)

tahapan sebagai berikut untuk menyempurnakan penelitian ini.

Diantaranya:26

a. Editting, memeriksa kembali data-data yang sudah dikumpulkan baik

dari wawancara, ataupun dokumentasi, tanpa mengurangi keakuratan

data yang diperoleh, hal ini bermaksud agar tidak adanya kesalahan

dalam penyusunan penelitian.

b. Organizing, mengatur dan menyusun data sedemikian rupa sehingga

dapat memperoleh gambaran yang sesuai dengan rumusan masalah.

c. Melakukan analisis lanjutan terhadap hasil-hasil pengorganisasian data

dengan menggunakan dalil-dalil yang berkaitan dengan masalah

tersebut dan mendapatkan kesimpulan yang tertentu mengenai tradisi

minggirandalam perspektif‘urf.

5. Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul, langkah selanjutnya adalah menganalisis data

dan menyimpulkan dari data-data yang sudah terkumpul. Semuanya

bertujuan untuk menyimpulkan data secara teratur dan rapi. Dalam

pengolahan data ini penulis menggunakan metode deskripsi kualitatif

yaitu metode yang digunakan terhadap suatu data yang telah

dikumpulkan, kemudian diklasifikasikan, disusun, dijelaskan yakni

digambarkan dengan kata-kata atau kalimat yang digunakan untuk

memperoleh kesimpulan.27

26 Suharsimi Arikunto,Prosedur Penelitian…, 155.

27

(27)

Pola pikir yang digunakan adalah deduktif, yang diawali dengan

mengemukakan pengertian-pengertian, teori-teori, atau fakta-fakta yang

bersifat umum, yaitu ketentuan-ketentuan hukum Islam mengenai ‘urf

yang selanjutnya dipaparkan dari kenyataan yang ada di lapangan

mengenai deskripsi tradisi minggiran yang ada di Desa Pangkah Wetan

Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik, kemudian diteliti dan

dianalisis sehingga hasilnya dapat digunakan untuk memecahkan

permasalahan-permasalahan mengenai tradisi minggiran dalam perspektif

‘urf.

I. Sistematika Pembahasan

Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini dikelompokkan

menjadi lima bab, yang terdiri dari sub bab-sub bab masing-masing yang

mempunyai hubungan dengan yang lain dan merupakan rangkaian yang saling

berkaitan. Adapun sistematikanya sebagai berikut:

Bab pertama, merupakan pendahuluan yang membahas latar belakang

masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,

tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode

penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang landasan

teori yang merupakan pijakan dalam penulisan skripsi ini mengenai teori ‘urf

(28)

kedudukan ‘urf, syarat ‘urf menjadi landasar hukum, perbenturan ‘urf dengan

dalilsyara’dan‘urf dalam konteks kepemilikan.

Bab ketiga berisi tradisi minggiran di Desa Pangkah Wetan Kecamatan

Ujung Pangkah Kabupaten Gresik yang meliputi: gambaran umum lokasi

penelitian terdiri atas: letak dan kondisi geografis, keadaan penduduk,

keadaan ekonomi, keadaan pendidikan dan keadaan sosial keagamaan.

Pelaksanaan tradisi minggiran terdiri atas; pengertian tradisi minggiran,

sejarah terjadinya tradisi minggiran, praktik pelaksanaan tradisi minggiran,

dan dampak yang ditimbulkan dari adanya tradisiminggiran.

Bab keempat, dalam bab ini penulis akan membahas serta menganalisis

tradisi minggiran yang ada di Desa Pangkah Wetan Kecamatan Ujung

Pangkah Kabupaten Gresik dan tradisi minggiran yang ada di Desa Pangkah

Wetan Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik dalam perspektif‘urf.

Bab kelima ini merupakan bab terakhir atau penutup dari keseluruhan isi

(29)

Secara etimologi‘urfberasal dari kata‘arafa-yu’rifu. Sering diartikan

dengan al-ma’ru>f dengan arti “sesuatu yang dikenal”, atau berarti yang

baik. Kalau dikatakan, si Fulan lebih dari yang lain dari segi ‘urf-nya,

maksudnya bahwa seseorang lebih dikenal dibandingkan dengan yang

lain.1

Sedangkan kata ‘urf secara terminologi, berarti sesuatu yang

dimengerti oleh masyarakat dan dilakukan secara berulang-ulang serta

dijalani secara terus-menerus, baik dalam hal perkataan maupun

perbuatan yang terjadi sepanjang masa atau pada masa tertentu saja.2

Kata‘urf dalam pengertian terminologi sama dengan istilahal-‘A <dah

(kebiasaan), yaitu:

“Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional.”3

Kataal-‘A <dah disebut demikian karena ia dilakukan secara

berulang-ulang, sehingga menjadi kebiasaan masyarakat. Musthafa Ahmad

al-1

Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin,Kamus Ilmu Ushul Fikih(Jakarta: Amzah, 2005), 333.

2

Asmawi,Perbandingan Ushul Fiqh(Jakarta: Amzah, 2011), 161.

3

(30)

23

Zarqa’ mengatakan bahwa ‘urf merupakan bagian dari adat, karena adat

lebih umum dari ‘urf karena harus berlaku pada kebanyakan orang di

daerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan bukanlah

kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku dalam kebanyakan adat, tetapi

muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman.4

Sedangkan Abdul Karim Zaidan mendefinisikan ‘urf sebagai sesuatu

yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi

kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan

atau perkataan.5 Menurut Abdul Wahhab Khallaf, ‘urf adalah segala apa

yang dikenal oleh manusia dan menjadi kebiasaannya baik berupa

perkataan, perbuatan ataupun meninggalkan sesuatu.6

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa ‘urf terdiri dari dua

bentuk yaitu, ‘urf al-qauli>(kebiasaan dalam bentuk perkataan), misalnya

kalimat “engkau saya kembalikan kepada orangtuamu” dalam masyarakat

Islam Indonesia mengandung arti talak. Sedangkan‘urf al-fi’li> (kebiasaan

dalam bentuk perbuatan) seperti transaksi jual-beli barang kebutuhan

sehari-hari di pasar, tanpa mengucapkan lafalijab dan qabulyang disebut

jual-belimu’a>t}a>h(þ ).

7

2. Dasar Hukum‘Urf

4

Nasrun Haroen,Ushul Fiqh 1(Jakarta: Logos Publishing House, 1996), 138.

5

Satria Effendi Dan M. Zein,Ushul Fiqih(Jakarta: Kencana, 2005), 117.

6

Abdul Wahhab Khallaf,Ilmu Ushulul Fiqh(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 130.

7

(31)

24

Dasar hukum yang digunakan ulama mengenai kehujjahan ‘urf

disebutkan dan dijelaskan dalam al-Qur’a>n yaitu dalam surat al-Maidah

(5) ayat 6:

✁✝✂ ☎ ✄✄✆ ✞✟✝✠✝✡✄

“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatnya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Q.S al-Maidah (5) : 6)8

Ma> yuri>du A llahu liyaj’ala ‘alaykum min h{araj pada ayat di atas

menegaskan bahwa Allah tidak ingin menyulitkan hambanya baik di

dalam shara’ maupun yang lainnya. Allah akan melapangkan kesempitan

dan mengurangi kesusahan karena Allah SWT Maha kaya dan Maha

penyayang. Allah tidak memerintahkan hambanya untuk mengerjakan

sesuatu kecuali di dalamnya terdapat kebaikan dan kemanfaatan bagi

hambanya.9

Dasar hukum yang digunakan ulama mengenai kehujjahan ‘urf juga

terdapat dalam al-Qur’a>n yaitu dalam surat al-Hajj (22) ayat 78:

“Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Q.S al-Hajj (22) : 78)10

A l-Haraj pada ayat tersebut berarti kesempitan. Dalam hadits Nabi

dikatakan bahwa Allah SWT akan menghapuskan kesulitan yang dihadapi

8

Departemen Agama RI,A l-Qur’a>n dan Terjemahannya(Depok: Cahaya Qur’a>n, 2008), 108.

9

Ahmad Mus{t{afa>al-Maraghi>,Tafsi>r al-Maraghi>, Juz 6 (Mesir: Mus{t{afa>al-Ba>bi al-H{alabi>, 1946) 64-65.

10

(32)

25

oleh hambanya dengan kebesarannya. Hal ini menunjukkan bahwa Allah

SWT tidak akan menyulitkan hambanya, dan Allah senantiasa

memberikan kemudahan kepada hambanya baik di dalam ibadah maupun

dalammu’a>malah.

Karena syariat Islam memiliki prinsip menghilangkan segala

kesusahan dan memudahkan urusan manusia dan mewajbkan orang untuk

meninggalkan sesuatu yang sudah menjadi adat istiadat tapi tidak sesuai

dengan syariat Islam, apabila adat istiadat itu terus dilakukan sama

artinya dengan menjerumuskan mereka ke dalam jurang kesulitan. Dengan

kata lain melawan dan tidak sesuai dengan ‘urf yang s{ahi>h{ adalah suatu

kesempitan dalam agama, dan itu bertentangan dengan ayat di atas.

Dari berbagai kasus ‘urf yang terjadi, para ulama ushul fiqh

merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang berkaitan dengan ‘urf, di antaranya

yang paling mendasar yaitu:11

☛ ☞✍✌✎✌✏ü “Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum.”

“Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat.”

“Yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyariatkan itu menjadi syarat.”

“Yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui

nas{s{ (ayat dan atau hadits).”12

11

(33)

26

3. Macam-macam‘Urf

Ulamaushul fiqhmembagi‘urf menjadi tiga macam:

a. Dari segi objeknya,‘urf dibagi menjadi dua, yaitu:

1) ‘Urf lafz{i> adalah kebiasaan masyarakat dalam menggunakan

ungkapan, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan

terlintas dalam pikiran masyarakat. Contohnya ungkapan “daging”

berarti daging sapi, padahal kata-kata “daging” mencangkup

seluruh daging yang ada. Apabila seseorang penjual daging itu

memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan

“saya beli daging satu kilogram” pedagang itu langsung

mengambil daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat

telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.13

2) ‘Urf ‘amali>adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan

perbuatan biasa atau mu’a>malah keperdataan. Adapun yang

dimaksud perbuatan biasa adalah perbuatan masyarakat dalam

masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan

orang lain, seperti kebiasaan memakai pakaian dalam acara

tertentu. Adapun kebiasaan yang berkaitan dengan mu’a>malah

perdata adalah kebiasaan masyarakat dalam melakukan transaksi

dengan cara tertentu, seperti kebiasaan masyarakat dalam jual beli

12

Jala>l al-Di>n ‘Abd al-Rahma>n Ibn Abi> Bakar al-Suyu>t}i>,A l-A shba>h W a al-Naz}a>ir(Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, t.t), 88-89

13

(34)

27

dengan cara mengambil barang dan membayar tanpa akad secara

jelas, dan biasanya terjadi di pasar swalayan.14

b. Dari segi cakupannya,‘urfdibagi menjadi dua, yaitu:

1) ‘Urf ‘a>m (adat kebiasaan umum) adalah kebiasaan tertentu yang

berlaku secara luas di seluruh masyarakat, di seluruh daerah dan

pada waktu tertentu.15 Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh

alat yang digunakan untuk memperbaiki mobil, seperti kunci,

tang, dongkrak dan ban serep termasuk dalam jual beli tersebut

tanpa akad tersendiri dan biaya sendiri.

2) ‘Urf kha>s} (adat kebiasaan khusus) adalah kebiasaan yang berlaku

secara khusus pada suatu masyarakat atau wilayah tertentu saja.16

Misalnya dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat

tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk

cacat lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat

mengembalikan barang tersebut. Atau juga kebiasaan mengenai

penentuan masa garansi terhadap barang tertentu.

c. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’. ‘urf dibagi menjadi

dua, yaitu:

1) ‘Urf s{ahi>h{{ adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah

masyarakat yang tidak bertentangan dengan nas{s{(al-Qur’a>n dan

hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan (segala sesuatu yang

14

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. 6 (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2006), 1480.

15

Totok Jumantono dan Samsul Munir Amin,Kamus Ilmu Ushul Fikih..., 337.

16

(35)

28

mengandung kebaikan dan manfaat bagi sekelompok manusia juga

individu)17 mereka, dan tidak pula membawa mud}a>ra>t kepada

mereka.18

2) ‘Urf fa>sidadalah sesuatu yang telah saling dikenal manusia, tetapi

bertentangan dengan shara’, atau menghalalkan yang haram dan

membatalkan yang wajib.19

4. Kedudukan‘Urf

Pada dasarnya semua ulama sepakat bahwa kedudukan ‘urf s{ahi>h{

sebagai salah satu dalil syara’ dan menolak ‘urf fa>sid (adat kebiasaan

yang salah) untuk dijadikan landasan hukum.20 Menurut hasil penelitian

Tayyid Khudari Sayyid, guru besar Ushul Fiqh di Universitas

al-Azhar Mesir dalam karyanya al-Ijtihad fi ma la nassa fih, bahwa mazhab

yang dikenal banyak menggunakan ‘urf sebagai landasan hukum adalah

kalangan Hanafiyah dan kalangan Malikiyah, dan selanjutnya kalangan

Hanabilah dan kalangan Syafi’iyah. Menurutnya, pada prinsipnya

mazhab-mazhab besar fikih tersebut sepakat menerima adat istiadat

sebagai landasan pembentukan hukum, meskipun dalam jumlah dan

rincinya terdapat perbedaan di antara mazhab-mazhab tersebut, sehingga

17

Ahmad Al Raysuni & Muhammad Jamal Barut, Ijtihat antara Teks, Realitas & Kemaslahatan Sosial(Jakarta: Erlangga, 2002), 19.

18

Nasrun Haroen,Ushul Fiqh,Cet 2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 141.

19

Rahmad Syafe’i,Ilmu Ushul Fiqih,Cet 1 (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), 127.

20

(36)

29

‘urf dimasukkan ke dalam kelompok dalil dalil yang diperselisihkan di

kalangan ulama.21

‘Urf s{ahi>h{ harus dipelihara oleh seorang mujtahid di dalam

menciptakan hukum-hukum dan oleh seorang hakim dalam memutuskan

perkara. Karena apa yang telah menjadi kebiasaan dan dijalankan oleh

orang banyak adalah menjadi kebutuhan dan menjadi mas{lah{at yang

diperlukannya. Oleh karena itu, selama kebiasaan tersebut tidak

berlawanan dengansyara’, maka wajib diperhatikan.22

‘Urf fa>sid tidak wajib diperhatikan, karena memeliharanya berarti

menentang dalil syara’. Oleh karena itu, apabila seseorang telah terbiasa

mengadakan perjanjian yang fa>sid, seperti perjanjian yang mengandung

riba atau mengandung unsur penipuan maka kebiasaan-kebiasaan tersebut

tidak mempunyai pengaruh dalam menghalalkan perjanjian tersebut.

Hanya saja perjanjian-perjanjian semacam itu bisa dibenarkan apabila

ditinjau dari segi lain. Misalnya dari segi sangat dibutuhkan atau dari segi

darurat, bukan karena sudah biasa dilakukan oleh orang banyak. Jika

suatu hal tersebut termasuk kondisi darurat atau kebutuhan mereka, maka

ia diperbolehkan.23

Menurut Imam al-Qarafi seorang ahli fikih mengatakan bahwa

seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum harus meneliti

kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat terlebih dahulu, sehingga

21

Satria Effendi,Ushul Fiqh(Jakarta: Kencana, 2005), 155.

22

Miftahul Arifin dan A. Faishal Haq, Ushul Fiqh: Kaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam

(Surabaya: Citra Media, 1999), 147.

23

(37)

30

hukum yang ditetapkan tidak bertentangan atau menghilangkan

kemaslahatan masyarakat setempat.24 Dengan demikian, hukum yang

didasarkan atas ‘urf dapat berubah dengan perubahan pada suatu waktu

dan tempat sesuai dengan situasi dan kondisi serta perkembangan

masyarakat. Karena sesungguhnya cabang akan berubah dengan

perubahan pokoknya. Oleh karena inilah dalam perbedaan pendapat

semacam ini, fuqaha mengatakan: “sesungguhnya perbedaan tersebut

adalah perbedaan masa dan zaman, bukan perbedaan hujjah dan dalil.25

Pada dasarnya, syariat Islam dari awal banyak menampung dan

mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu

tidak bertentangan dengan al-Qur’a>n dan as-Sunnah Rasulullah Swt.

Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah

menyatu dengan masyarakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan

dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Misalnya adat kebiasaan

yang diakui yaitu kerja sama dagang dengan cara berbagi untung (

al-Mud{a>rabah). Praktik seperti ini sudah berkembang di kalangan bangsa

Arab sebelum Islam, dan kemudian diakui oleh Islam sehingga menjadi

hukum Islam. Berdasarkan kenyataan ini, para ulama menyimpulkan

bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan landasan hukum,

bilamana memenuhi beberapa persyaratan.26

5. Syarat ‘Urf menjadi Landasan Hukum

24

Abdul Aziz Dahlan,Ensiklopedi Hukum Islam..., 1878.

25

Abdul Wahhab Khallaf,Ilmu Ushul Fiqh..., 133.

26

(38)

31

Abdul Karim Zaidan menyebutkan beberapa persyaratan bagi ‘urf

yang bisa dijadikan landasan hukum yaitu:27

a. ‘Urf itu harus termasuk ‘urf s{ahi>h{dalam arti tidak bertentangan

dengan ajaran al-Qur’a>n dan as-Sunnah Rasulullah Swt. Misalnya,

kebiasaan di satu negara bahwa sah mengembalikan harta amanah

kepada istri atau anak dari pihak pemberi atau pemilik amanah.

Kebiasaan seperti ini dapat dijadikan pegangan jika terjadi tuntutan

dari pihak pemilik harta itu sendiri.

b. ‘Urf itu harus bersifat umum, dalam arti minimal telah terjadi

kebiasaan mayoritas masyarakat tersebut.

c. ‘Urf itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan

dilandaskan kepada ‘urf itu. Misalnya, seseorang yang mewakafkan

hasil kebunnya kepada ulama, sedangkan yang disebut ulama waktu

itu hanyalah orang yang mempunyai pengetahuan agama tanpa ada

persyaratan mempunyai ijazah, maka kata ulama dalam pernyataan

wakaf itu harus diartikan dengan pengertiannya yang sudah dikenal

itu, bukan dengan pengertian ulama yang menjadi populer kemudian

setelah ikrar wakaf terjadi, misalnya harus memiliki ijazah.

d. Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan

kehendak ‘urf tersebut, sebab jika kedua belah pihak yang berakad

telah sepakat untuk tidak terikat dengan kebiasaan yang berlaku

secara umum, maka yang dipegang adalah ketegasan itu, bukan ‘urf.

27

(39)

32

Misalnya, adat yang berlaku di satu masyarakat, istri belum boleh

dibawa oleh suaminya pindah dari rumah orang tuanya sebelum

melunasi maharnya, namun ketika berakad kedua belah pihak telah

sepakat bahwa sang istri boleh dibawa oleh suaminya pindah tanpa

ada persyaratan lebih dulu melunasi maharnya. Dalam masalah ini,

yang dianggap berlaku adalah kesepakatan itu, bukan adat yang

berlaku.

e. ‘Urf membawa mas{lah{at dan tidak membawa mud}a>ra>t. Setiap ‘urf

yang diterima oleh Islam adalah yang membawa mas{lah{at bagi

manusia pada umumnya. Sebaliknya setiap kebiasaan mendatangkan

mud{a>ra>t tidak boleh dilaksanakan dalam hukum Islam. Rasulullah

Saw bersabda:

d. Kebiasaan tersebut tidak menggugurkan suatu kewajiban serta tidak

menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

‘Urf berbeda dengan ijma’ disebabkan karena ‘urf itu dibentuk oleh

kebiasaan-kebiasaan orang yang berbeda-beda tingkatan mereka,

sedangkan ijma’ dibentuk dari persesuaian pendapat khusus dari para

mujtahidin. Hukum yang didasarkan ijma’ sama kuatnya dengan hukum

28

Muhammad Al-Zu>h}ayli>, A l-Qawa>id al-Fiqhiyyah wa-T at}bi>qa>tuha> fil-Madha>hib al-A rba’ah

(40)

33

yang didasarkan nas{s{. Kedua-duanya tidak menjadi lapangan ijtihad,

sedangkan hukum yang berdasarkan ‘urf dapat berubah, oleh karena itu

ijma’ dianggap sebagai hujjah yang mengikat.29Dan sedangkan ‘urf tidak

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat selamanya karena ‘urf ada

yangs{ahi>h{ dan ada pula yangfa>sid.30

6. Perbenturan‘Urfdengan Dalil Syara’

‘Urf yang berlaku di tengah-tengah masyarakat adakalanya

bertentangan dengan nas{s{ (ayat dan atau hadits) dan adakalanya

bertentangan dengan dalil shara’ lainnya. Para ahli ushul fiqh

memerincikannya sebagai berikut:

a. Pertentangan‘urfdengannas{s{ yang bersifat khusus/rinci

Apabila pertentangan ‘urf dengan nas{s{ khusus menyebabkan tidak

berfungsinya hukum yang dikandung nas{s{, maka ‘urf tidak dapat

diterima. Misalnya, kebiasaan di zaman jahiliyyah dalam mengadopsi

anak, di mana anak yang diadopsi statusnya sama dengan anak

kandung, sehingga mereka mendapat warisan apabila ayah angkatnya

wafat. Maka ‘urf yang semacam ini tidak berlaku dan tidak dapat

diterima.31

b. Pertentangan‘urfdengannas{s{ yang bersifat umum

Menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa’, apabila ‘urf telah ada ketika

datangnyanas{s{ yang bersifat umum, maka harus dibedakan antara‘urf

29

Wahbah az-Zuhaily,Ushu>l al-Fiqh al-Isla>mi>, Juz II (Damaskus: Da>r al-Fikr, tt), 83.

30

Ibid.

31

(41)

34

al-lafz{i>dengan ‘urf al-‘amali>. Jika ‘urf lafz{i>maka ‘urf itu bisa

diterima, sehingga nas{s{ yang umum dikhususkan sebatas ‘urf lafz{i>

yang telah berlaku tersebut, dengan syarat tidak ada indikator yang

menunjukkan bahwanas{s{ umum itu tidak dapat dikhususkan oleh‘urf.

Misalnya, kata-kata sholat, puasa, haji, dan jual beli, diartikan dengan

maksud ‘urf, kecuali ada indikator yang menunjukkan bahwa

kata-kata itu dimaksudkan sesuai dengan arti etimologinya.

Apabila ‘urf yang ada ketika datangnya nas{s{ yang bersifat umum itu

adalah ‘urf al-‘amali>, maka terdapat perbedaan pendapat ulama

tentang kehujjahannya. Menurut ulama Hanafiyyah, apabila ‘urf

al-‘amali>itu bersifat umum, maka ‘urf tersebut mengkhususkan hukum

nas{s{ yang umum, karena pengkhususan nas{s{ tersebut tidak membuat

nas{s{ itu tidak dapat diamalkan. Akan tetapi Imam al-Qarafi

berpendapat bahwa ‘urf seperti ini tidak dapat dikhususkan hukum

umum yang dikandungnas{s{tersebut.32

c. ‘Urf yang terbentuk belakangan dari nas{s{ umum dan bertentangan

dengan‘urftersebut

Apabila suatu ‘urf terbentuk setelah datangnya nas{s{ yang bersifat

umum dan antara keduanya terjadi pertentangan, maka seluruh ulama

fikih sepakat bahwa ‘urf seperti ini, baik bersifat lafz{i> maupun‘amali>,

tidak dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum syara’. Karena

32

(42)

35

seakan-akan ‘urf itu membatalkan nas{s{, sedangkan ‘urf tidak boleh

membatalkannas{s{.33

B.‘Urfdalam Konteks Kepemilikan

Islam adalah agama yang fleksibel dan relefan di semua jaman dan waktu,

termasuk dalam konsep kepemilikan, Islam sangat menekankan konsep

harmonisasi antara hak kepemilikan umum dan kepemilikan khusus.

Kepemilikan umum merupakan harta yang dimiliki oleh orang banyak, seperti

jalan raya, laut, samudera, dan sungai besar, sedangkan kepemilikan khusus

merupakan suatu harta yang dimiliki oleh tiap-tiap individu, seperti rumah,

mobil, pakaian, dan sawah. Pada hakikatnya manusia secara fitrah mempunyai

motifasi atau keinginan untuk memiliki sesuatu, dan Islam sangat menghargai

hal tersebut.

Kepemilikan sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata “malaka

yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab kata milik yang berarti pendapatan

seseorang yang diberi wewenang untuk mengalokasikan harta yang dikuasai

orang lain dengan keharusan untuk selalu memperhatikan sumber (pihak) yang

menguasainya.34

Dimensi penguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang

memiliki suatu barang berarti mempunyai kekuasaan atas barang tersebut,

sehingga ia dapat mempergunakannya sesuai dengan kehendahnya dan tidak

33

Ibid.

34

(43)

36

ada orang lain baik secara individual maupun kelembagaan yang dapat

menghalang-halanginya dari memanfaatkan barang yang dimilikinya

tersebut.35

‘Urf (kebiasaan) orang-orang untuk mendapatkan suatu kepemilikan yaitu

melalui beberapa sebab, diantaranya:

a. Ihrazul Mubahat

Ihrazul Mubahat merupakan penguasaan terhadap harta yang belum

dimiliki seseorang. Jadi kaitannya ‘urf disini cara untuk mendapatkan

suatu kepemilikan bisa melalui ihrazul mubahat, dan kebiasaan untuk

mendapatkan suatu kepemilikan seperti ini sudah sangat sering dilakukan

oleh orang-orang, seperti seseorang menangkap ikan dengan jaring baik di

sungai maupun di laut, maka ikan yang terjaring tersebut sudah menjadi

hak si pemilik jaring dan orang lain tidak berhak lagi mengambil ikan yang

terjaring tersebut.36

Untuk memiliki bendamubahat terdapat dua syarat, yaitu:

1) Benda mubahat belum di ikhrazkan oleh orang lain. Misalnya,

seseorang mengumpulkan air dalam satu wadah, kemudian air tersebut

dibiarkan, maka orang lain tidak berhak mengambil air tersebut, sebab

telah diikhrazkan orang lain.

2) Adanya niat (maksud) memiliki. Maka seseorang memperoleh harta

mubahat tanpa adanya niat, tidak termasukikhraz. Misalnya, seorang

35

Muhamad Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen Dalam Ekonomi Islam (Yogyakarta: BPFE, 2004), 150.

36

(44)

37

pemburu meletakkan jaringnya di sawah, kemudian terjeratlah

burung-burung, bila pemburu meletakkan jaringnya sekedar untuk

mengeringkan jaringnya, ia tidak berhak memiliki burung-burung

tersebut.37

b. Khalafiyah

Khalafiyah yaitu melalui peninggalan seseorang, seperti warisan dan

wasiat. Kaitannya dengan ’urf, metode untuk mendapatkan suatu

kepemilikan melalui khalafiyah sudah pasti dilakukan dan berlangsung

dalam setiap keluarga, karena setiap manusia tidak ada yang kekal dalam

dunia ini, harta kepemilikannya pasti berpindah melalui sebab warisan dan

wasiat, tetapi harta itu bisa dimiliki setelah orang yang berwasiat atau

yang punya warisan meninggal dunia terlebih dahulu.

‘Urfmelalui sebab kepemilikankhalafiyahterdapat dua macam, yaitu:

1) Khalafiyah syakhsyi ’an syakhsy (seseorang terhadap seseorang)

adalah kepemilikan suatu harta dari harta yang ditinggalkan oleh

pewarisnya, sebatas memiliki harta bukan mewarisi hutang di pewaris.

Misalnya Ali menggantikan kedudukan ayahnya, sehingga seluruh

hak-hak ayahnya berpindah kepada Ali, termasuk hak-hak kepemilikan.

Khalafiyah seperti ini juga disebut khalafiyah irs (waris), karena

umumnya, sering terjadi pada waris, yaitu hak kepemilikan harta

semula atas pewaris lalu digantikan oleh ahli waris.

37

(45)

38

2) Khalafiyah syai’an ‘an syai’in (sesuatu terhadap sesuatu) adalah

kewajiban seseorang untuk mengganti harta/barang milik orang lain

yang dipinjam karena rusak atau hilang sesuai harga dari barang

tersebut. Misalnya seseorang meminjamkan suatu barang setelah

dikembalikan kepadanya, ternyata ada bagian dari barang itu yang

rusak. Maka dibenarkan untuk meminta ganti dari kerusakan dari

barang tersebut, karena memang menjadi hak miliknya. Khalafiyah

seperti ini juga disebut khalafiyah ta’wid(menjamin kerusakan).38

c. A l-‘Uqud

A l-‘Uqud(akad) yaitu melalui transaksi yang ia lakukan dengan orang

atau suatu lembaga hukum, jadi kaitannya dengan ‘urf, kebiasaan

seseorang dalam melakukan suatu transaksi seperti jual beli, hibah dan

wakaf itu juga bisa dikatakan sebagai sebab memiliki suatu kepemilikan

dalam suatu harta.

Namun tidak hanya ‘urf seperti itu saja yang bisa menjadi sebab dari

suatu kepemilikan, terdapat dua ‘urf dalam transaksi yang juga bisa

menjadi sebab dalam suatu kepemilikan, yaitu:

1) ‘Uqud jabariah

Akad-akad yang harus dilakukan berdasarkan pada keputusan hakim,

seperti menjual harta orang yang berutang secara paksa.

2) Istimlak untukmas{lah{at umum

38

(46)

39

Misalnya, tanah-tanah disamping masjid apabila diperlukan untuk

masjid harus dimiliki oleh masjid dan pemilik harus menjualnya.

d. A t-Tawallud mim Mamluk

A t-Tawallud mim mamluk adalah hasil dari harta yang telah dimiliki

(berkembang biak), Misalnya, seseorang memiliki pohon yang

menghasilkan buah, buah ini otomatis menjadi milik bagi pemilik pohon,

dan contoh lain misalnya seseorang memiliki ternak kambing lalu

mengambil susunya, susu yang diperoleh dari kambing tersebut menjadi

milik pemilik kambing.39

‘Urf untuk mendapatkan suatu kepemilikan melalui sebab semacam

ini sudah pasti dimengerti oleh semua orang, karena semua orang sudah

secara otomatis menerapkan dan melakukan hal tersebut untuk

mendapatkan sebuah kepemilikan. Bahkan ‘urf sebab kepemilikan seperti

ini digunakan orang-orang untuk berbisnis dan mendapatkan penghasilan

dari bisnis tersebut.

Hikmah ‘urf dalam memperoleh kepemilikan suatu barang melalui

sebab-sebab dan cara-cara kepemilikan harta menurut syariat Islam banyak hikmah

yang dapat digali untuk kemaslahatan hidup manusia, antara lain:

1) Manusia tidak boleh sembarangan memiliki harta, tanpa mengetahui

aturan-aturan yang berlaku yang telah disyariatkan Islam.

2) Manusia akan mempunyai prinsip bahwa mencari harta itu harus dengan

cara-cara yang baik, benar, dan halal.

39

(47)

40

3) Memiliki harta bukan hak mutlak bagi manusia, tetapi merupakan suatu

amanah(titipan) dari Allah SWT, yang harus digunakan dan dimanfaatkan

sebesar-besarnya untuk kepentingan hidup manusia dan disalurkan dijalan

Allah untuk memperoleh ridha-Nya.

4) Menjaga diri untuk tidak terjerumus kepada hal-hal yang diharamkan oleh

syara’ dalam memiliki harta.

5) Manusia akan hidup tenang dan tentram apabila dalam mencari dan

memiliki harta itu dilakukan dengan cara-cara yang baik, benar, dan halal,

kemudian digunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan panduan

(aturan-aturan) Allah SWT.40

40

(48)

41 BAB III

TRADISIMINGGIRANDI DESA PANGKAH WETAN KECAMATAN UJUNG PANGKAH KABUPATEN GRESIK

A. Gambaran Umum Desa Pangkah Wetan Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik

1. Letak dan Kondisi Geografis

Desa Pangkah Wetan merupakan salah satu dari 13 Desa yang ada di

Kecamatan Ujung Pangkah. Adapun Dusun yang ada di Desa Pangkah

Wetan terdiri dari 4 dusun, di antaranya yaitu: dusun Krajan 01 yang

dikepalai oleh Badruz Zaman, dusun Krajan 02 yang dikepalai oleh

Mualimin, dusun Tajung Rejo yang dikepalai oleh Azir Bakar, dan dusun

Sumbersuci yang dikepalai oleh Lahib Rahardjo.1

Jarak tempuh Desa Pangkah Wetan ke Ibu Kota Kecamatan adalah

0,500 km, yang dapat ditempuh dengan waktu sekitar 5 menit. Sedangkan

jarak tempuh Desa Pangkah Wetan ke Ibu Kota Kabupaten adalah 35 km,

yang dapat ditempuh dengan waktu sekitar 1 jam. Dan jarak tempuh Desa

Pangkah Wetan ke Ibu Kota Provinsi adalah 46 km, yang dapat ditempuh

dengan waktu sekitar 2 jam. Jadi Desa Pangkah Wetan merupakan Desa

yang kurang strategis, karena Desa ini terletak agak jauh dari Ibu Kota

Kabupaten.2

1

Moh. Huda,W awancara, Gresik, 28 November 2016.

2

(49)

42

Secara administratif, desa Pangkah Wetan terletak di wilayah

Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik dengan posisi dibatasi oleh

wilayah Desa-Desa tetangga, yaitu :3

 Utara : Berbatasan dengan laut Jawa.

 Timur : Berbatasan dengan Desa Serowo Kecamatan Sidayu.

 Selatan : Berbatasan dengan Desa Karangrejo Kecamatan Ujung

Pangkah.

 Barat : Berbatasan dengan Desa Pangkah Kulon Kecamatan Ujung

Pangkah.

Dilihat dari kondisi geografis, desa Pangkah Wetan terletak di

ketinggian tanah dari permukaan air laut sekitar 5 Mdl, dengan suhu

rata-rata harian 38oC, sedangkan curah hujan 2,178 Mm/tahun, serta jumlah

bulan hujan 5 bulan dengan bentang wilayah datar dan tepi pantai

(pesisir).4

Desa Pangkah Wetan mempunyai luas wilayah 3186,18 Ha. Adapun

rincian luas wilayah menurut penggunaan sebagai berikut:

Tabel 3.1

Luas Wilayah Desa Pangkah Wetan

Kegunaan Luas (Ha)

Luas Pemukiman 71,25

Luas Persawahan 80,8

Luas Tanah Kering/Kebun/Tegal 450,81

Luas Kuburan 4

Moh. Huda,Daftar Isian Potensi Desa dan Kelurahan Desa Pangkah W etan Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik Tahun 2016(Gresik: t.p., t.t.) 1.

4

(50)

43

Sumber: Data Profil Desa dan Kelurahan Tahun 2016

Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar luas

wilayah desa Pangkah Wetan Kecamatan Ujung Pangkah digunakan untuk

tanah basah/ tambak, yaitu seluas 2003,09 Ha.

2. Keadaan Penduduk

Berdasarkan data profil Desa dan Keluruhan tahun 2016, jumlah

penduduk Desa Pangkah Wetan adalah terdiri dari kepala keluarga (KK)

laki-laki 2390 dan kepala keluarga (KK) perempuan 309, jadi total KK

yang ada di desa Pangkah Wetan adalah 2699. Dengan jumlah total 10.161

jiwa, dengan rincian 5.096 laki-laki dan 5.065 perempuan, sebagaimana

(51)

44

56 - 60 Tahun 196 215 411 4%

61 - 65 Tahun 172 132 304 2,9%

66 - 69 Tahun 73 106 179 1,7%

70 Tahun Lebih 144 202 346 3,4%

Jumlah Total 5.095 5.066 10.161 100%

Sumber: Data Profil Desa dan Kelurahan Tahun 2016

Dari data di atas terlihat bahwa penduduk paling banyak berusia

kirasan 11-15 tahun dan 16-20 tahun dengan jumlah 913 dan 906 atau

dengan prosentase sama-sama 8,9 %.

Tingkat kesejahteraan keluarga di Desa Pangkah Wetan Kecamatan

Ujung Pangkah Kabupaten Gresik dengan rincian sebagai berikut:

Tabel 3.3 Kesejahteraan Keluarga

Uraian Jumlah Keterangan

Keluarga Prasejahtera 779

Keluarga Sejahtera 1 982

Keluarga Sejahtera 2 608

\Keluarga Sejahtera 3 260

Keluarga Sejahtera 3 Plus 70

Total 2699

Sumber: Data Profil Desa dan Kelurahan Tahun 2016

Dari rincian tabel kesejahteraan keluarga dapat dilihat bahwa tingkat

kesejahteraan keluarga yang ada di Desa Pangkah Wetan sebagian besar

terdapat pada tingkat keluarga sejahtera 1 dengan jumlah 982 kepala

keluarga (KK).

Gambar

Tabel 3.1
Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia
  Tabel 3.3Kesejahteraan Keluarga
Tabel 3.4 Mata Pencaharian dan Jumlahnya
+4

Referensi

Dokumen terkait

To overcome the problems, this research work has proposed few modified and new ABC variants; Gbest Influenced-Random ABC (GRABC) algorithm systematically exploits

Demikian pula menurut pasal 187 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, bahwa yang dimaksudkan dengan Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat

(2011), bahwa hasil penelitian penggunaan bahan organik untuk petumbuhan kultur in vitro anggrek menunjukkan hasil paling optimal pada media yang diberikan penambahan bahan

Di antara kelebihan dari software ini adalah terdapat indeks tematik yang berisi lebih dari 13 ribu tema; dapat menampilkan al- Qur’an dan menghubungkan ayat

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari dan menentukan kondisi optimum proses ekstraksi senyawa karotenoid dari limbah kulit udang ditinjau dari ukuran

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah adanya pebedaan hasil belajar kelas yang menggunakan media alat peraga dengan kelas yang tidak menggunakan media alat peraga

1) Terdapat 2 tipe penginapan yang terdapat di Desa Wisata Buah Durian yaitu homestay yang ditujukan bagi wisatawan asing, tersebar dipemukiman warga Desa Diwak dan

Dilengkapi dengan Kompetensi Kunci, yaitu sikap kerja yang harus dimiliki pustakawan untuk mencapai unjuk kerja yang dipersyaratkan dalam pelaksanaan setiap unit kompetensi