TRADISI MINGGIRAN DI DESA PANGKAH WETAN
KECAMATAN UJUNG PANGKAH KABUPATEN GRESIK
DALAM PERSPEKTIF ‘URF
SKRIPSI
Oleh :
Nihayatush Sholihah
NIM. C72213153
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam
Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah (Muamalah) SURABAYA
v
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan (field research) yang berjudul Tradisi Minggiran di Desa Pangkah Wetan Kabupaten Gresik dalam Perspektif ‘Urf. Rumusan masalahnya: Pertama, bagaimana deskripsi tradisiminggiranyang ada di Desa Pangkah Wetan Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik. Kedua, bagaimana analisis ‘urf terhadap tradisi minggiran di Desa Pangkah Wetan Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik.
Data penelitian ini dihimpun melalui observasi, wawancara dan dokumentasi kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskripsi kualitatif. Penelitian ini menggunakan pola pikir deduktif, yang diawali dengan mengemukakan pengertian-pengertian, teori-teori, atau fakta-fakta yang bersifat umum, yaitu ketentuan-ketentuan hukum Islam mengenai ‘urf yang selanjutnya dipaparkan dari kenyataan yang ada di lapangan mengenai deskripsi tradisi minggiran yang ada di Desa Pangkah Wetan, kemudian diteliti dan dianalisis.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa tradisi minggiran dilakukan oleh orang-orang yang mendengar kalau ada pemilik tambak yang akan memanen ikan ditambaknya. Dan orang-orang yang sudah datang ketempat lokasi tambak yang akan dipanen akan mengambil dan saling berebut ikan-ikan yang nantinya terlepas dari jaring pemilik tambak, akan tetapi mereka tidak hanya mengambil ikan yang terlepas dari jaring pemilik tambak, bahkan mereka mengambil ikan yang masih dalam jaring pemilik tambak dan mereka terkadang juga mengambil ikan yang sudah dalam proses penimbangan di tempat tengkulak. Ikan-ikan yang mereka dapat dari tradisi minggiran ini mereka jual kepada tengkulak dan mendapatkan uang Rp. 100.000- Rp. 150.000. Dan pasti mereka yang mengambil ikan-ikan yang masih dalam jaring pemilik tambak mendapatkan uang lebih dari itu. Tradisi minggiran yang dilakukan di desa Pangkah Wetan untuk orang yang mengambil ikan yang masih dalam jaring pemilik tambak termasuk dalam ‘urf yangfa>sidyang tidak diakui kehujjahannya, karena tidak memenuhi syarat-syarat ‘urf yang bisa dijadikan sebagai landasan hukum, diantaranya ‘urf yang bisa dijadikan sebagai landasan hukum harus membawa mas{lah{at tidak membawa mud{a>ra>t dan dalam praktiknya tradisi minggiran yang mengambil ikan dalam jaring pemilik tambak tidak memenuhi syarat tersebut karena tradisi minggiran yang dilakukan menimbulkan kerugian bagi pihak pemilik tambak.
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8
C. Rumusan Masalah ... 9
D. Kajian Pustaka ... 9
E. Tujuan Penelitian ... 13
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 13
G. Definisi Operasional ... 14
H. Metode Penelitian ... 15
I. Sistematika Penulisan ... 20
BAB II ‘URFDALAM HUKUM ISLAM DAN‘URFDALAM KONTEKS KEPEMILIKAN A.Urf dalam Hukum Islam 1. Pengertian‘Urf ...22
2. Dasar Hukum‘Urf ... 24
ix
4. Kedudukan‘Urf ...28
5. Syarat ‘Urfmenjadi Landasan Hukum ... 31
6. Perbenturan‘Urfdengan Dalil Syara’...33
B.Urfdalam Konteks Kepemilikan ... 35
BAB III TRADISI MINGGIRAN DI DESA PANGKAH WETAN KECAMATAN PANGKAH KABUPATEN GRESIK A. Gambaran Umum Desa Pangkah Wetan Kecamatan Pangkah Kabupaten Gresik 1. Letak dan Kondisi Geografis ... 42
2. Keadaan Penduduk ... 44
3. Keadaan Ekonomi ... 45
4. Keadaan Pendidikan ... 47
5. KeadaanSosialKeagamaan ... 50
B. Pelaksanaan Tradisi Minggiran di Desa Pangkah Wetan Kecamatan Pangkah Kabupaten Gresik 1. PengertianTradisiMinggiran ... 52
2. Sejarah Terjadinya Tradisi Minggiran ... 53
3. Praktik Pelaksanaan TrasisiMinggiran... 56
4. Dampak yang Ditimbulkan dari Adanya Tradisi Minggiran ... 59
BAB IV TRADISI MINGGIRAN DI DESA PANGKAH WETAN KECAMATAN PANGKAH KABUPATEN GRESIK DALAM PERSPEKTIF‘URF A. Analisis Pelaksanaan Tradisi Minggiran di Desa Pangkah Wetan Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik ... 61
B. Analisis‘Urf terhadap Tradisi Minggirandi Desa Pangkah Wetan Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik ... 63
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 73
B. Saran ... 75
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia pada dasarnya tidak bisa hidup sendiri, ia harus hidup
bermasyarakat saling membutuhkan dan saling mempengaruhi untuk
melakukan semua aktivitas.1 Dan disetiap masyarakat pasti memiliki suatu
kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri secara terus menerus
dan turun-menurun. Akan tetapi kita sebagai masyarakat muslim kebiasaan
yang dilakukan disuatu masyarakat itu tidak boleh bertentangan dengan ajaran
Islam.
Ajaran agama Islam menganjurkan manusia untuk melakukan beberapa
ajaran di antaranya bidang ‘ubu>diyyah (ajaran tentang hukum ibadah kepada
Allah SWT) yang terkait ajaran-ajaran tentang sholat, puasa, haji dan zakat
yang menerangkan tentang hubungan antara manusia dan Allah SWT. Dan
ajaran pokok lainnya terkait dengan hubungan manusia dengan manusia
lainnya yang dinamakan dengan mu’a>malah. Mu’a>malah merupakan aturan
yang ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan keduniawian
atau urusan yang berkaitan dengan duniawi dan sosial kemasyarakatan.2
Secara garis besar mu’a>malah itu terkait dengan dua hal, yang pertama,
berkaitan dengan kebutuhan hidup yang berkaitan dengan materi. Inilah yang
1
Sohari Sahrani & Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah,Cet. 1 (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), 31.
2
disebut dengan ekonomi dan yang kedua, mu’a>malah yang berkaitan dengan
pergaulan hidup yang berhubungan dengan kepentingan moral rasa
kemanusiaan yang disebut dengan sosial.3
Dalam kehidupan sosial disuatu masyarakat sangatlah tidak mungkin
tidak adanya suatu kebiasaan pasti dalam masyarakat ada kebiasaan yang
dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Kebiasaan dalam hukum Islam itu
disebut dengan ‘urf. ‘Urf atau yang disebut dengan kebiasaan adalah sesuatu
yang dimengerti oleh masyarakat dan dilakukan secara secara berulang-ulang
serta dijalani secara terus menerus, baik dalam hal-hal perkataan maupun
perbuatan yang terjadi sepanjang masa atau pada masa tertentu saja.4
‘Urf dijadikan sebagai sumber hukum dalam Islam sebagaimana firman
Allah SWT dalam al-Qur’a>n yaitu dalam surat al-A’ra>f (7) ayat 199:
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.5
Serta berdasarkan hadis Nabi Muhammad Saw adapun dalil Sunnah dari
Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
“Apa yang dipandang oleh orang-orang Islam baik, maka baik pula disisi Allah SWT, dan apa yang dianggap orang-orang Islam jelek maka jelek pulalah di sisi Allah SWT”. (HR. Ahmad)6
3 Ibid.
4
Asmawi,Perbandingan Ushul Fiqh(Jakarta: Amzah, 2011), 161.
5 Departemen Agama RI,A l-Qur’a>n dan Terjemahannya(Depok: Cahaya Qur’a>n, 2008), 176. 6Ahmad bin Muhammad bin Hambali bin Hilal bin Asad bin Idris,Musnad A hmad Bin Hambal,
‘Urf yang diterima oleh hukum Islam memiliki syarat-syarat yang harus
dipenuhi, diantaranya adalah:7
1. Tidak bertentangan dengan nas{s{qath’y (ayat al-Qur’a>n dan hadits Nabi
Muhammad Saw yang telah dipahami maknanya secara jelas tanpa adanya
pemahaman yang lainnya) dari al-Qur’a>n dan al-Sunnah. Apabila
bertentangan dengan keduanya maka itu tidak boleh dilaksanakan.
2. ‘Urf tersebut bersifat umum yang telah menjadi kebiasaan manusia secara
berulang-ulang.
3. ‘Urf tersebut sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang
dipermasalahkan. Maksudnya adalah bahwa ‘urf tersebut memang sudah
ada dan dilakukan secara berulang-ulang oleh suatu komunitas atau
masyarakat.
4. ‘Urf tersebut berlaku secara umum dan bisa diterima oleh akal sehat.
Artinya kebiasaan tersebut merupakan ucapan dan perbuatan yang dapat
diterima oleh akal manusia yang sehat.
5. Membawa mas{lah{at dan tidak membawa mud}a>ra>t. Setiap ‘urf yang
diterima oleh Islam adalah yang membawa mas{lah{at bagi manusia pada
umumnya. Sebaliknya setiap kebiasaan mendatangkan mud{a>ra>t tidak
boleh dilaksanakan dalam hukum Islam. Rasulullah Saw bersabda:
Tidak boleh melakukan perbuatan (mud}a>ra>t) yang mencelakakan diri sendiri dan orang lain. HR. Ibnu Majah dan al-Daruquthny.8
7
6. Kebiasaan tersebut tidak menggugurkan suatu kewajiban serta tidak
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Macam-macam ‘urf kalau dilihat dari segi keabsahannya dari pandangan
syara’,‘urf terbagai dua, yaitu:
1. ‘Urf s{ahi>h{{adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat
yang tidak bertentangan dengan nas{s{(al-Qur’a>n dan hadits), tidak
menghilangkan kemaslahatan (segala sesuatu yang mengandung kebaikan
dan manfaat bagi sekelompok manusia juga individu)9 mereka, dan tidak
pula membawamud}a>ra>t kepada mereka.10
2. ‘Urf fa>sid adalah sesuatu yang telah saling dikenal manusia, tetapi
bertentangan dengan shara’, atau menghalalkan yang haram dan
membatalkan yang wajib.11
Di dalam kehidupan ini kita sering kali terjebak pada suatu kebiasaan,
secara garis besar kebiasaan itu dibagi menjadi dua yaitu kebiasaan baik dan
kebiasaan buruk. Tapi di sini tentu saja tidak akan memakai istilah terjebak
untuk suatu perbuatan yang baik. Karena, menjadikan hal-hal yang baik
menjadi kebiasaan itu sangat sulit, sangat berat ujiannya dan sangat berat
tantangannya. Sedangkan kata terjebak dalam kebiasaan di sini, maksudnya
kebiasaan buruk atau kebiasaan yang dinilai baik oleh manusia namun
8
Muhammad Al-Zu>h}ayli>,A l-Qawa>id al-Fiqhiyyah wa-Tat}bi>qa>tuha> fil-Madha>hib al-A rba’ah
(Damascus: Dar al-Fikr, 2006), 199. 9
Ahmad Al Raysuni & Muhammad Jamal Barut, Ijtihat antara Teks, Realitas & Kemaslahatan Sosial(Jakarta: Erlangga, 2002), 19.
10
Nasrun Haroen,Ushul Fiqh,Cet 2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 141. 11
ternyata buruk dimata Allah SWT. Hal ini sudah diperingatkan oleh Allah
SWT dalam al-Qur’a>n yaitu dalam surat al-Kahf ayat 103-106:
“Katakanlah: “A pakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” (103) Y aitu orang-orang yang Telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (104) Mereka itu orang-orang yang T elah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, Maka hapuslah amalan- amalan mereka, dan kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. (105) Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahannam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-ku sebagai olok-olok.(106) (QS. al-Kahfi [18] : 103-106)”12
Kebenaran yang sejati adalah datang dari Allah SWT, yaitu ajaran agama
Islam. Dan tidaklah dinamakan agama Islam jika tidak berdasarkan al-Qur’a>n
dan as-Sunnah. Oleh karena itu sesuatu perbuatan, amalan, kebiasaan
meskipun dinilai secara pribadi dan masyarakat baik dan benar, namun dalam
kacamata agama belum tentu baik apalagi benar. Sesuatu amal perbuatan dan
kebiasaan bisa dikatakan baik dan benar jika sesuai dengan al-Qur’a>n dan
as-Sunnah.
Di daerah Desa Pangkah Wetan juga terdapat suatu kebiasaan seperti
halnya dengan di tempat-tempat lain, Desa Pangkah Wetan juga memiliki
suatu kebiasaan yang tersendiri, dan kebiasaan itu sudah berkembang sejak
12
kurang lebih 50 tahun silam13, yakni suatu tradisi yang disebut dengan tradisi
minggiran. Dimana tradisi tersebut terjadi pada waktu salah satu pemilik
tambak sedang melakukan panen, masyarakat sekitar datang ketempat tambak
yang akan dipanen untuk berdiri di tepi tambak dan bersiap-siap untuk
mengambil ikan yang terlepas dari jaring pemilik tambak, ketika ada ikan
yang terlepas dari jaring tersebut maka masyarakat yang telah berdiri di tepi
tambak saling berebut untuk mendapatkan ikan14, tetapi proses kebiasaan
tradisi minggiran sedikit berbeda dengan dulu, kalau dulu masyarakat bisa
langsung mengambil ikan yang terlepas dari jaring pemilik tambak karena air
yang ada ditambak sudah tidak ada atau habis, akan tetapi kalau sekarang
panen ikan di tambak itu dalam keadaan air tambak masih penuh jadi
masyarakat merasa kesulitan untuk langsung mengambil ikan yang terlepas
dari jaring pemilik tambak karena ketinggian air tambak itu mencapai 1,5
meter, untuk itu masyarakat menunggu air tambak habis baru masyarakat itu
saling berebut dan mencari ikan-ikan yang terlepas dari jaring pemilik
tambak15, dari semua kebiasaan yang masyarakat itu lakukan membuat
pemilik tambak yang sedang melakukan panen itu mengalami penurunan
dalam keuntungannya, karena banyaknya ikan-ikan yang diambil oleh
masyarakat sekitar. Masyarakat yang melakukan tradisi minggiran atau orang
yang buri, itu tidak hanya mengambil ikan yang terlepas dari pemilik tambak
sebagaimana mestinya, namun orangburi ini juga mengambil ikan yang masih
13
Wahid, Wawancara, Gresik, 01 Oktober 2016.
14
Saiful Anwar, Wawancara, Surabaya, 16 September 2016.
15
dalam jaring pemilik tambak. Padahal jika masyarakat tidak mengambil
ikan-ikan yang ada di dalam jaring pemilik tambak, hanya mengambil yang terlepas
dari jaring pemilik tambak maka pemilik tambak akan mendapatkan
keuntungan yang lebih dari hasil penjualan ikan-ikannya tersebut. Hasil ikan
yang diperoleh masyarakat yang ikut melakukan tradisi minggiran itu dijual
kepada tengkulak yang ada di sana, dan setiap orangnya bahkan bisa
mendapatkan uang Rp. 150.000-Rp. 200.000 dari hasil penjualan ikan yang
didapat dari tradisi minggiran16. Peneliti mengambil penelitian dengan topik
tradisi minggiran yang ada di Desa Pangkah Wetan Kecamatan Ujung
Pangkah Kabupaten Gresik, itu tidak lain karena peneliti melihat adanya
sesuatu yang menyimpang dan tidak sesuai dengan hukum Islam. Dalam
hukum Islam suatu kebiasaan atau ‘urf yang bisa diterima oleh hukum Islam
itu sendiri harus memenuhi beberapa persyaratan, salah satunya setiap
kebiasaan harus membawa mas}lah}at dan tidak boleh membawa mud{a>ra>t.
Sedangkan dalam tradisi minggiran ada salah satu pihak yaitu dari pihak
pemilik tambak merasa bahwa adanya tradisi minggiran itu tidak membawa
mas}lah}at bagi dirinya, bahkan menimbulkan mud{a>ra>t terhadap pendapatan
keuntungannya.
Berdasarkan masalah yang dipaparkan di atas, maka penulis tertarik untuk
mengkaji lebih dalam terhadap praktik tradisi minggiran yang sudah menjadi
kebiasaan masyarakat Desa Pangkah Wetan Kecamatan Ujung Pangkah
16
Kabupaten Gresik. Oleh karena itu penulis akan menganalisis mengenai tradisi
minggirandalam perspektif‘urf.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut penulis dapat mengidentifikasi
beberapa masalah sebagai berikut :
1. Deskripsi tradisi minggiran yang ada di Desa Pangkah Wetan Kecamatan
Ujung Pangkah Kabupaten Gresik
2. Tidak adanya kejelasan akad terhadap masyarakat yang mendapatkan ikan
dari tradisiminggiran
3. Kerugian yang dialami oleh pemilik tambak akibat tradisiminggiran
4. Adanya kebiasaan yang dilakukan masyarakat Desa Pangkah Wetan
Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik yang tidak sesuai dengan
hukum Islam
5. Analisis ‘urf terhadap tradisi minggiran di Desa Pangkah Wetan
Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik
Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak semakin luas, maka penulis
membatasi masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu:
1. Deskripsi tradisi minggiran di Desa Pangkah Wetan Kecamatan Ujung
Pangkah Kabupaten Gresik
2. Analisis ‘urf terhadap tradisi minggiran di Desa Pangkah Wetan
C. Rumusan Masalah
Setelah penulis membatasi permasalahan yang dibahas dalam penelitian
ini, penulis dapat merumuskan masalah yang akan dibahas dalam penelitian
ini. Adapun rumusan masalah tersebut diantaranya yaitu:
1. Bagaimana deskripsi tradisi minggiran yang ada di Desa Pangkah Wetan
Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik?
2. Bagaimana analisis ‘urf terhadap tradisi minggiran di Desa Pangkah
Wetan Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka pada penelitian ini pada dasarnya untuk mendapatkan
gambaran topik yang akan diteliti dengan penelitian yang sejenis yang pernah
dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Sehingga diharapkan tidak adanya
pengulangan materi secara mutlak.
Setelah ditelusuri melalui kajian pustaka, penulis menemukan beberapa
penelitian yang memiliki kesamaan, diantaranya yaitu :
1. “Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil antara Pemilik Tambak dan Penggarap
Tambak di Kecamatan Duduk Sampeyan Kabupaten Gresik dalam
Tinjauan ‘Urf”, yang diteliti oleh Shofiyah, Tesis ini menyimpulkan
bahwa pelaksanaan perjanjian bagi hasil antara pemilik tambak dan
menggunakan hukum adat setempat, yaitu dilakukan secara lisan atau
tidak tertulis dan tidak juga menghadirkan saksi. Begitu juga mengenai
sistem bagi hasilnya meskipun relatif jauh berbeda (10% : 90%), dan
menurut tinjauan ‘urf adalah sah menurut hukum serta mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, karena tidak bertentangan dengan al-Qur’a>n
dan as-Sunnah Rasulullah Saw, serta mengandung unsur positif.17
2. “Tinjauan Fiqh Mu’a>malah terhadap Status Kepemilikan Ikan yang
Ditangkap pada Saat Banjir Di Area Tambak Di Desa Ambeng-ambeng
Kecamatan Duduk Sampeyan Kabupaten Gresik” yang diteliti oleh
Fahrurotul Arofah. Skripsi ini menyimpulkan bahwa status kepemilikan
yang ada pada saat banjir waktu itu tidak sesuai dengan Fiqh Mu’a>malah,
akan tetapi dalam kaidah Fiqh Mu’a>malah segala sesuatu yang belum
ditemukan dalil yang mengharamkannya maka hukumnya diperbolehkan,
akan tetapi hal tersebut tidak serta-merta terjadi pada kejadian ini, sebab
dalam kejadian ini banyak merugikan banyak pihak.18
3. “Analisis Hukum Islam terhadap Hutang Piutang Petani Tambak Kepada
Tengkulak di Dusun Putat Desa Weduni Kecamatan Deket Kabupaten
Lamongan” yang diteliti oleh Muhammad Mukhlis. Skripsi ini
menyimpulkan bahwa hutang piutang yang terjadi ini merupakn jenis
hutang bersyarat yang diberikan oleh tengkulak selaku pihak pemberi
17
Shofiyah., “Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil antara Pemilik Tambak dan Penggarap Tambak di Kecamatan Duduksampeyan Kabupaten Gresik dalam Tinjauan ‘Urf” (Tesis—IAIn Sunan Ampel, Surabaya, 2011).
18
hutang kepada petani tambak selaku pihak peminjam. Adapun syaratnya
adalah kekhususan penjualan ikan hanya kepada tengkulak selaku pemberi
hutang saat masa panen ikan petani tambak tersebut, permasalahan hutang
piutang bersyarat antara petani tambak dengan tengkulak ini terletak pada
tidak adanya kesepakatan harga sebelumnya dalam suatu akad, dan
tindakan petani tambak dengan menjual sebagian ikan bukan kepada
tengkulak pemberi hutang, hal ini dianggap sebagai pencideraan akan akad
yang sedang berlangsung, akan tetapi hal ini diperbolehkan karena
mendapatkan izin secara tidak langsung dari tengkulak, dan selama masih
dalam batasan tertentu.19
Secara singkat, bahwa dari semua pembahasan tentang permasalahan
yang ada di tambak di atas, mempunyai kesamaan tempat penelitian yaitu di
daerah tambak. Dan perbedaan penelitian-penelitian tersebut di atas dengan
skripsi ini adalah skripsi yang pertama membahas tentang perjanjian bagi hasil
antara pemilik tambak dan penggarap tambak sedangkan skripsi yang kedua
membahas tentang status kepemilikan ikan yang diperoleh dari tangkapan saat
banjir di area tambak dan skripsi yang ketiga membahas tentang hutang
piutang petani tambak kepada tengkulak. Dan metode-metode yang digunakan
oleh peneliti-peneliti sebelumnya untuk menganalisis juga berbeda dengan
metode yang digunakan oleh skripsi ini, skripsi yang pertama untuk
menganalisis menggunakan metode diskriptif dan induktif, dan skripsi yang
19
kedua metode untuk menganalisisnya menggunakan deskriptif analitik dengan
pola pikir deduktif tapi dalam skripsi ini meninjau dari segi fiqih muamalah,
dan skripsi yang ketiga menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pola
pikir induktif yaitu pola pikir yang berpijak pada fakta-fakta yang bersifat
khusus kemudian diteliti dan akhirnya dikemukakan pemecahan persoalan
yang bersifat umum. Dari sini sudah sangat jelas bahwa skripsi ini berbeda
dengan skripsi-skripsi yang ada di atas, karena skripsi ini lebih menitik
beratkan pada tradisi yang dilakukan oleh masyarakat tersebut dan
menganalisis dari segi ‘urf dan metode yang akan penulis gunakan yaitu
menggunakan metode deskripsi kualitatif namun dengan pola pikir deduktif.
E. Tujuan Penulisan
Dengan berdasarkan pada hal-hal yang dikemukakan pada latar belakang
di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui deskripsi tradisi minggiran yang ada di Desa Pangkah Wetan
Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik
2. Mengetahui analisis ‘urf terhadap tradisi minggiran yang ada di Desa
Pangkah Wetan Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik
Dalam Penelitian ini, penulis berharap agar hasil penelitian yang telah
dilakukan bisa bermanfaat bagi orang-orang yang membacanya. Adapun
harapan kegunaan hasil penelitian penulis yaitu:
1. Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat bagi
pengembang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan cara
bermu’a>lamah dengan baik, menambah teori-teori pengetahuan
masyarakat terhadap kebiasaan yang dilakukan dan yang berkembang
dimasyarakat. Dimana masyarakat desa yang rata-rata masih minim
pengetahuan akan‘urf.
2. Secara praktis, kegunaan hasil penelitian ini sebagai masukan bagi
masyarakat Desa Pangkah Wetan Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten
Gresik dalam melakukan suatu tradisi agar lebih berhati-hati supaya
tradisi yang dilakukan itu bisa sesuai dengan hukum Islam.
G. Definisi Operasional
Dari beberapa uraian di atas terdapat beberapa istilah yang perlu untuk
dijelaskan agar tidak membingungkan bagi para pembacanya dan dapat
memperjelas maksud dari judul penelitian ini, diantaranya yaitu:
Tradisiminggiran : Suatu kebiasaan yang biasa dilakukan oleh masyarakat
Desa Pangkah Wetan Kecamatan Ujung Pangkah
Kabupaten Gresik ketika ada salah seorang pemilik tambak
berkumpul di tepi tambak dan akan mengambil ikan yang
terlepas dari jaring pemilik tambak ketika air ditambak itu
sudah habis, masyarakat itu tidak mungkin bisa mengambil
ikan yang terlepas dari jaring pemilik tambak ketika air
tambak masih ada karena ketinggian air tambak itu sekitar
1,5 meter jadi masyarakat harus menunggu air tambak itu
dibuang. Dan hasil ikan yang didapat oleh masyarakat itu
dijual kepada tengkulak yang ada di sana.
‘Urf : Sesuatu yang dimengerti oleh masyarakat dan dilakukan
secara berulang-ulang serta dijalani secara terus menerus,
baik dalam hal-hal perkataan maupun perbuatan yang
terjadi sepanjang masa atau hanya pada masa tertentu
saja.20
H. Metode Penelitian
Dalam melakukan sebuah penelitian metode memiliki fungsi yang sangat
penting untuk menentukan, merumuskan, menganalisis, dan memecahkan
masalah yang diteliti. Dengan metode yang tepat akan menghasilkan karya
ilmiah yang baik dan terarah. Adapun metode yang digunakan dalam
menyusun skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Data yang dikumpulkan
20
Data yang diperlukan dan dihimpun untuk menjawab pertanyaan
pertanyaan yang ada dalam rumusan masalah, diantaranya:
a. Data Primer
1) Data tentang tradisi minggiran yang ada di Desa Pangkah Wetan
Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik
2) Data tentang letak dan kondisi geografis, keadaan penduduk,
keadaan ekonomi, keadaan pendidikan, dan keadaan sosial
keagamaan yang ada di Desa Pangkah Wetan Kecamatan Ujung
Pangkah Kabupaten Gresik
b. Data Sekunder
1) Data tentang ketentuan ‘urf yang berasal dari literature-literatur
kepustakaan yang bisa berupa buku-buku, kitab, dan artikel
2. Sumber Data
Penelitian ini bersifat lapangan, maka untuk mendapatkan data yang
konkrit dalam penelitian ini dibutuhkan sumber data. Diantaranya:
a. Data Primer
Yaitu data yang diperoleh langsung oleh penulis dari lapangan
atau sumbernya,21 yaitu data tentang tradisi minggiran yang ada di
Desa Pangkah Wetan Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik.
Adapun sumber data yang digunakan oleh peneliti adalah wawancara
dengan pemilik tambak, warga masyarakat, tokoh masyarakat, dan
tokoh agama yang ada di daerah Desa Pangkah Wetan Kecamatan
21 Umar Husein,Metode Riset Komunikasi Organisasi(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
Ujung Pangkah Kabupaten Gresik. Diantaranya yaitu: pemilik tambak
(Saiful Anwar, Turhan, Sholeh, Tajab, dan Taufiq), warga masyarakat
(Wahid, Kis, Suandi, Ahmad, Khotib, dan Shobah), tokoh
masyarakat(Thohari dan Rozaq), dan tokoh agama (Badri dan Slamet).
b. Data Sekunder
Data yang mendukung dalam penulisan skripsi. Diantaranya
buku-buku, jurnal, dan artikel-artikel yang relevan dengan tema skripsi yaitu
‘urf.22 Sumber data ini bertujuan untuk membantu dalam melengkapi
dan memberikan penjelasan dari sumber data primer. Diantara sumber
data sekunder tersebut yaitu:
1) Asmawi,Perbandingan Ushul Fiqh
2) Nasrun Haroen,Ushul Fiqh
3) Rahmad Syafe’i,Ilmu Ushul Fiqih
4) Muhammad Abu Zahra,Ushul Fiqh
3. Teknik Pengumpulan Data
Karena penelitian ini merupakan penelitian lapangan maka metode
pengumpulan data yang penulis gunakan adalah sebagai berikut:
a. Observasi, hal ini dapat dilakukan dengan cara mengamati langsung di
tempat yang ingin diteliti.23 Ini berkaitan dengan pelaksanaan tradisi
minggiran yang ada di Desa Pangkah Wetan Kecamatan Ujung
Pangkah Kabupaten Gresik. Metode ini merupakan metode pertama
22
Sugiono,Memahami Penelitian Kualitatif(Bandung: Al Fabeta, 2005), 62. 23
yang akan penulis pakai untuk memperoleh data-data yang berkaitan
dengan permasalahan tersebut.
b. Wawancara (Interview), yaitu suatu kegiatan yang dilakukan untuk
mendapatkan informasi secara langsung dengan mengungkapkan
pertanyaan-pertanyaan kepada responden.24 Hal ini akan penulis
lakukan dengan mempersiapkan pertanyaan terlebih dahulu. Penulis
melakukan wawancara dengan masyarakat yang ada di Desa Pangkah
Wetan Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik untuk
membantu penulis memperoleh informasi yang relevan mengenai
topik skripsi yang penulis ambil mengenai tradisi minggiran. Adapun
sasarannya adalah pemilik tambak dan masyarakat yang ada di sekitar
Desa Pangkah Wetan.
c. Metode Dokumentasi, ialah sebuah cara untuk mengumpulkan data
dengan mencari data mengenai hal-hal yang berupa catatan, buku, dan
sebagainya.25 Metode ini digunakan untuk mengumpulkan
bahan-bahan dan pendapat-pendapat untuk menjadikan landasan teori, yakni
dengan menganalisis dari literatur-literatur yang berkaitan dengan
masalah penelitian.
4. Teknik Pengelolahan Data
Karena data diperoleh langsung dari pihak-pihak yang bersangkutan
dan dari bahan pustaka maka penulis akan melakukan suatu
tahapan-24
P. Joko Subagyo,Metode Penelitian dalam Teori ke Praktek (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991), 39.
25
tahapan sebagai berikut untuk menyempurnakan penelitian ini.
Diantaranya:26
a. Editting, memeriksa kembali data-data yang sudah dikumpulkan baik
dari wawancara, ataupun dokumentasi, tanpa mengurangi keakuratan
data yang diperoleh, hal ini bermaksud agar tidak adanya kesalahan
dalam penyusunan penelitian.
b. Organizing, mengatur dan menyusun data sedemikian rupa sehingga
dapat memperoleh gambaran yang sesuai dengan rumusan masalah.
c. Melakukan analisis lanjutan terhadap hasil-hasil pengorganisasian data
dengan menggunakan dalil-dalil yang berkaitan dengan masalah
tersebut dan mendapatkan kesimpulan yang tertentu mengenai tradisi
minggirandalam perspektif‘urf.
5. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul, langkah selanjutnya adalah menganalisis data
dan menyimpulkan dari data-data yang sudah terkumpul. Semuanya
bertujuan untuk menyimpulkan data secara teratur dan rapi. Dalam
pengolahan data ini penulis menggunakan metode deskripsi kualitatif
yaitu metode yang digunakan terhadap suatu data yang telah
dikumpulkan, kemudian diklasifikasikan, disusun, dijelaskan yakni
digambarkan dengan kata-kata atau kalimat yang digunakan untuk
memperoleh kesimpulan.27
26 Suharsimi Arikunto,Prosedur Penelitian…, 155.
27
Pola pikir yang digunakan adalah deduktif, yang diawali dengan
mengemukakan pengertian-pengertian, teori-teori, atau fakta-fakta yang
bersifat umum, yaitu ketentuan-ketentuan hukum Islam mengenai ‘urf
yang selanjutnya dipaparkan dari kenyataan yang ada di lapangan
mengenai deskripsi tradisi minggiran yang ada di Desa Pangkah Wetan
Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik, kemudian diteliti dan
dianalisis sehingga hasilnya dapat digunakan untuk memecahkan
permasalahan-permasalahan mengenai tradisi minggiran dalam perspektif
‘urf.
I. Sistematika Pembahasan
Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini dikelompokkan
menjadi lima bab, yang terdiri dari sub bab-sub bab masing-masing yang
mempunyai hubungan dengan yang lain dan merupakan rangkaian yang saling
berkaitan. Adapun sistematikanya sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang membahas latar belakang
masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,
tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode
penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang landasan
teori yang merupakan pijakan dalam penulisan skripsi ini mengenai teori ‘urf
kedudukan ‘urf, syarat ‘urf menjadi landasar hukum, perbenturan ‘urf dengan
dalilsyara’dan‘urf dalam konteks kepemilikan.
Bab ketiga berisi tradisi minggiran di Desa Pangkah Wetan Kecamatan
Ujung Pangkah Kabupaten Gresik yang meliputi: gambaran umum lokasi
penelitian terdiri atas: letak dan kondisi geografis, keadaan penduduk,
keadaan ekonomi, keadaan pendidikan dan keadaan sosial keagamaan.
Pelaksanaan tradisi minggiran terdiri atas; pengertian tradisi minggiran,
sejarah terjadinya tradisi minggiran, praktik pelaksanaan tradisi minggiran,
dan dampak yang ditimbulkan dari adanya tradisiminggiran.
Bab keempat, dalam bab ini penulis akan membahas serta menganalisis
tradisi minggiran yang ada di Desa Pangkah Wetan Kecamatan Ujung
Pangkah Kabupaten Gresik dan tradisi minggiran yang ada di Desa Pangkah
Wetan Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik dalam perspektif‘urf.
Bab kelima ini merupakan bab terakhir atau penutup dari keseluruhan isi
Secara etimologi‘urfberasal dari kata‘arafa-yu’rifu. Sering diartikan
dengan al-ma’ru>f dengan arti “sesuatu yang dikenal”, atau berarti yang
baik. Kalau dikatakan, si Fulan lebih dari yang lain dari segi ‘urf-nya,
maksudnya bahwa seseorang lebih dikenal dibandingkan dengan yang
lain.1
Sedangkan kata ‘urf secara terminologi, berarti sesuatu yang
dimengerti oleh masyarakat dan dilakukan secara berulang-ulang serta
dijalani secara terus-menerus, baik dalam hal perkataan maupun
perbuatan yang terjadi sepanjang masa atau pada masa tertentu saja.2
Kata‘urf dalam pengertian terminologi sama dengan istilahal-‘A <dah
(kebiasaan), yaitu:
“Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional.”3
Kataal-‘A <dah disebut demikian karena ia dilakukan secara
berulang-ulang, sehingga menjadi kebiasaan masyarakat. Musthafa Ahmad
al-1
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin,Kamus Ilmu Ushul Fikih(Jakarta: Amzah, 2005), 333.
2
Asmawi,Perbandingan Ushul Fiqh(Jakarta: Amzah, 2011), 161.
3
23
Zarqa’ mengatakan bahwa ‘urf merupakan bagian dari adat, karena adat
lebih umum dari ‘urf karena harus berlaku pada kebanyakan orang di
daerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan bukanlah
kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku dalam kebanyakan adat, tetapi
muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman.4
Sedangkan Abdul Karim Zaidan mendefinisikan ‘urf sebagai sesuatu
yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi
kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan
atau perkataan.5 Menurut Abdul Wahhab Khallaf, ‘urf adalah segala apa
yang dikenal oleh manusia dan menjadi kebiasaannya baik berupa
perkataan, perbuatan ataupun meninggalkan sesuatu.6
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa ‘urf terdiri dari dua
bentuk yaitu, ‘urf al-qauli>(kebiasaan dalam bentuk perkataan), misalnya
kalimat “engkau saya kembalikan kepada orangtuamu” dalam masyarakat
Islam Indonesia mengandung arti talak. Sedangkan‘urf al-fi’li> (kebiasaan
dalam bentuk perbuatan) seperti transaksi jual-beli barang kebutuhan
sehari-hari di pasar, tanpa mengucapkan lafalijab dan qabulyang disebut
jual-belimu’a>t}a>h(þ ).
7
2. Dasar Hukum‘Urf
4
Nasrun Haroen,Ushul Fiqh 1(Jakarta: Logos Publishing House, 1996), 138.
5
Satria Effendi Dan M. Zein,Ushul Fiqih(Jakarta: Kencana, 2005), 117.
6
Abdul Wahhab Khallaf,Ilmu Ushulul Fiqh(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 130.
7
24
Dasar hukum yang digunakan ulama mengenai kehujjahan ‘urf
disebutkan dan dijelaskan dalam al-Qur’a>n yaitu dalam surat al-Maidah
(5) ayat 6:
✝
✁✝✂ ☎ ✄✄✆ ✞✟✝✠✝✡✄
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatnya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Q.S al-Maidah (5) : 6)8
Ma> yuri>du A llahu liyaj’ala ‘alaykum min h{araj pada ayat di atas
menegaskan bahwa Allah tidak ingin menyulitkan hambanya baik di
dalam shara’ maupun yang lainnya. Allah akan melapangkan kesempitan
dan mengurangi kesusahan karena Allah SWT Maha kaya dan Maha
penyayang. Allah tidak memerintahkan hambanya untuk mengerjakan
sesuatu kecuali di dalamnya terdapat kebaikan dan kemanfaatan bagi
hambanya.9
Dasar hukum yang digunakan ulama mengenai kehujjahan ‘urf juga
terdapat dalam al-Qur’a>n yaitu dalam surat al-Hajj (22) ayat 78:
“Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Q.S al-Hajj (22) : 78)10
A l-Haraj pada ayat tersebut berarti kesempitan. Dalam hadits Nabi
dikatakan bahwa Allah SWT akan menghapuskan kesulitan yang dihadapi
8
Departemen Agama RI,A l-Qur’a>n dan Terjemahannya(Depok: Cahaya Qur’a>n, 2008), 108.
9
Ahmad Mus{t{afa>al-Maraghi>,Tafsi>r al-Maraghi>, Juz 6 (Mesir: Mus{t{afa>al-Ba>bi al-H{alabi>, 1946) 64-65.
10
25
oleh hambanya dengan kebesarannya. Hal ini menunjukkan bahwa Allah
SWT tidak akan menyulitkan hambanya, dan Allah senantiasa
memberikan kemudahan kepada hambanya baik di dalam ibadah maupun
dalammu’a>malah.
Karena syariat Islam memiliki prinsip menghilangkan segala
kesusahan dan memudahkan urusan manusia dan mewajbkan orang untuk
meninggalkan sesuatu yang sudah menjadi adat istiadat tapi tidak sesuai
dengan syariat Islam, apabila adat istiadat itu terus dilakukan sama
artinya dengan menjerumuskan mereka ke dalam jurang kesulitan. Dengan
kata lain melawan dan tidak sesuai dengan ‘urf yang s{ahi>h{ adalah suatu
kesempitan dalam agama, dan itu bertentangan dengan ayat di atas.
Dari berbagai kasus ‘urf yang terjadi, para ulama ushul fiqh
merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang berkaitan dengan ‘urf, di antaranya
yang paling mendasar yaitu:11
☛ ☞✍✌✎✌✏ü “Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum.”
“Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat.”
“Yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyariatkan itu menjadi syarat.”
“Yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui
nas{s{ (ayat dan atau hadits).”12
11
26
3. Macam-macam‘Urf
Ulamaushul fiqhmembagi‘urf menjadi tiga macam:
a. Dari segi objeknya,‘urf dibagi menjadi dua, yaitu:
1) ‘Urf lafz{i> adalah kebiasaan masyarakat dalam menggunakan
ungkapan, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan
terlintas dalam pikiran masyarakat. Contohnya ungkapan “daging”
berarti daging sapi, padahal kata-kata “daging” mencangkup
seluruh daging yang ada. Apabila seseorang penjual daging itu
memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan
“saya beli daging satu kilogram” pedagang itu langsung
mengambil daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat
telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.13
2) ‘Urf ‘amali>adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan
perbuatan biasa atau mu’a>malah keperdataan. Adapun yang
dimaksud perbuatan biasa adalah perbuatan masyarakat dalam
masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan
orang lain, seperti kebiasaan memakai pakaian dalam acara
tertentu. Adapun kebiasaan yang berkaitan dengan mu’a>malah
perdata adalah kebiasaan masyarakat dalam melakukan transaksi
dengan cara tertentu, seperti kebiasaan masyarakat dalam jual beli
12
Jala>l al-Di>n ‘Abd al-Rahma>n Ibn Abi> Bakar al-Suyu>t}i>,A l-A shba>h W a al-Naz}a>ir(Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, t.t), 88-89
13
27
dengan cara mengambil barang dan membayar tanpa akad secara
jelas, dan biasanya terjadi di pasar swalayan.14
b. Dari segi cakupannya,‘urfdibagi menjadi dua, yaitu:
1) ‘Urf ‘a>m (adat kebiasaan umum) adalah kebiasaan tertentu yang
berlaku secara luas di seluruh masyarakat, di seluruh daerah dan
pada waktu tertentu.15 Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh
alat yang digunakan untuk memperbaiki mobil, seperti kunci,
tang, dongkrak dan ban serep termasuk dalam jual beli tersebut
tanpa akad tersendiri dan biaya sendiri.
2) ‘Urf kha>s} (adat kebiasaan khusus) adalah kebiasaan yang berlaku
secara khusus pada suatu masyarakat atau wilayah tertentu saja.16
Misalnya dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat
tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk
cacat lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat
mengembalikan barang tersebut. Atau juga kebiasaan mengenai
penentuan masa garansi terhadap barang tertentu.
c. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’. ‘urf dibagi menjadi
dua, yaitu:
1) ‘Urf s{ahi>h{{ adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah
masyarakat yang tidak bertentangan dengan nas{s{(al-Qur’a>n dan
hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan (segala sesuatu yang
14
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. 6 (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2006), 1480.
15
Totok Jumantono dan Samsul Munir Amin,Kamus Ilmu Ushul Fikih..., 337.
16
28
mengandung kebaikan dan manfaat bagi sekelompok manusia juga
individu)17 mereka, dan tidak pula membawa mud}a>ra>t kepada
mereka.18
2) ‘Urf fa>sidadalah sesuatu yang telah saling dikenal manusia, tetapi
bertentangan dengan shara’, atau menghalalkan yang haram dan
membatalkan yang wajib.19
4. Kedudukan‘Urf
Pada dasarnya semua ulama sepakat bahwa kedudukan ‘urf s{ahi>h{
sebagai salah satu dalil syara’ dan menolak ‘urf fa>sid (adat kebiasaan
yang salah) untuk dijadikan landasan hukum.20 Menurut hasil penelitian
Tayyid Khudari Sayyid, guru besar Ushul Fiqh di Universitas
al-Azhar Mesir dalam karyanya al-Ijtihad fi ma la nassa fih, bahwa mazhab
yang dikenal banyak menggunakan ‘urf sebagai landasan hukum adalah
kalangan Hanafiyah dan kalangan Malikiyah, dan selanjutnya kalangan
Hanabilah dan kalangan Syafi’iyah. Menurutnya, pada prinsipnya
mazhab-mazhab besar fikih tersebut sepakat menerima adat istiadat
sebagai landasan pembentukan hukum, meskipun dalam jumlah dan
rincinya terdapat perbedaan di antara mazhab-mazhab tersebut, sehingga
17
Ahmad Al Raysuni & Muhammad Jamal Barut, Ijtihat antara Teks, Realitas & Kemaslahatan Sosial(Jakarta: Erlangga, 2002), 19.
18
Nasrun Haroen,Ushul Fiqh,Cet 2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 141.
19
Rahmad Syafe’i,Ilmu Ushul Fiqih,Cet 1 (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), 127.
20
29
‘urf dimasukkan ke dalam kelompok dalil dalil yang diperselisihkan di
kalangan ulama.21
‘Urf s{ahi>h{ harus dipelihara oleh seorang mujtahid di dalam
menciptakan hukum-hukum dan oleh seorang hakim dalam memutuskan
perkara. Karena apa yang telah menjadi kebiasaan dan dijalankan oleh
orang banyak adalah menjadi kebutuhan dan menjadi mas{lah{at yang
diperlukannya. Oleh karena itu, selama kebiasaan tersebut tidak
berlawanan dengansyara’, maka wajib diperhatikan.22
‘Urf fa>sid tidak wajib diperhatikan, karena memeliharanya berarti
menentang dalil syara’. Oleh karena itu, apabila seseorang telah terbiasa
mengadakan perjanjian yang fa>sid, seperti perjanjian yang mengandung
riba atau mengandung unsur penipuan maka kebiasaan-kebiasaan tersebut
tidak mempunyai pengaruh dalam menghalalkan perjanjian tersebut.
Hanya saja perjanjian-perjanjian semacam itu bisa dibenarkan apabila
ditinjau dari segi lain. Misalnya dari segi sangat dibutuhkan atau dari segi
darurat, bukan karena sudah biasa dilakukan oleh orang banyak. Jika
suatu hal tersebut termasuk kondisi darurat atau kebutuhan mereka, maka
ia diperbolehkan.23
Menurut Imam al-Qarafi seorang ahli fikih mengatakan bahwa
seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum harus meneliti
kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat terlebih dahulu, sehingga
21
Satria Effendi,Ushul Fiqh(Jakarta: Kencana, 2005), 155.
22
Miftahul Arifin dan A. Faishal Haq, Ushul Fiqh: Kaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam
(Surabaya: Citra Media, 1999), 147.
23
30
hukum yang ditetapkan tidak bertentangan atau menghilangkan
kemaslahatan masyarakat setempat.24 Dengan demikian, hukum yang
didasarkan atas ‘urf dapat berubah dengan perubahan pada suatu waktu
dan tempat sesuai dengan situasi dan kondisi serta perkembangan
masyarakat. Karena sesungguhnya cabang akan berubah dengan
perubahan pokoknya. Oleh karena inilah dalam perbedaan pendapat
semacam ini, fuqaha mengatakan: “sesungguhnya perbedaan tersebut
adalah perbedaan masa dan zaman, bukan perbedaan hujjah dan dalil.25
Pada dasarnya, syariat Islam dari awal banyak menampung dan
mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu
tidak bertentangan dengan al-Qur’a>n dan as-Sunnah Rasulullah Swt.
Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah
menyatu dengan masyarakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan
dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Misalnya adat kebiasaan
yang diakui yaitu kerja sama dagang dengan cara berbagi untung (
al-Mud{a>rabah). Praktik seperti ini sudah berkembang di kalangan bangsa
Arab sebelum Islam, dan kemudian diakui oleh Islam sehingga menjadi
hukum Islam. Berdasarkan kenyataan ini, para ulama menyimpulkan
bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan landasan hukum,
bilamana memenuhi beberapa persyaratan.26
5. Syarat ‘Urf menjadi Landasan Hukum
24
Abdul Aziz Dahlan,Ensiklopedi Hukum Islam..., 1878.
25
Abdul Wahhab Khallaf,Ilmu Ushul Fiqh..., 133.
26
31
Abdul Karim Zaidan menyebutkan beberapa persyaratan bagi ‘urf
yang bisa dijadikan landasan hukum yaitu:27
a. ‘Urf itu harus termasuk ‘urf s{ahi>h{dalam arti tidak bertentangan
dengan ajaran al-Qur’a>n dan as-Sunnah Rasulullah Swt. Misalnya,
kebiasaan di satu negara bahwa sah mengembalikan harta amanah
kepada istri atau anak dari pihak pemberi atau pemilik amanah.
Kebiasaan seperti ini dapat dijadikan pegangan jika terjadi tuntutan
dari pihak pemilik harta itu sendiri.
b. ‘Urf itu harus bersifat umum, dalam arti minimal telah terjadi
kebiasaan mayoritas masyarakat tersebut.
c. ‘Urf itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan
dilandaskan kepada ‘urf itu. Misalnya, seseorang yang mewakafkan
hasil kebunnya kepada ulama, sedangkan yang disebut ulama waktu
itu hanyalah orang yang mempunyai pengetahuan agama tanpa ada
persyaratan mempunyai ijazah, maka kata ulama dalam pernyataan
wakaf itu harus diartikan dengan pengertiannya yang sudah dikenal
itu, bukan dengan pengertian ulama yang menjadi populer kemudian
setelah ikrar wakaf terjadi, misalnya harus memiliki ijazah.
d. Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan
kehendak ‘urf tersebut, sebab jika kedua belah pihak yang berakad
telah sepakat untuk tidak terikat dengan kebiasaan yang berlaku
secara umum, maka yang dipegang adalah ketegasan itu, bukan ‘urf.
27
32
Misalnya, adat yang berlaku di satu masyarakat, istri belum boleh
dibawa oleh suaminya pindah dari rumah orang tuanya sebelum
melunasi maharnya, namun ketika berakad kedua belah pihak telah
sepakat bahwa sang istri boleh dibawa oleh suaminya pindah tanpa
ada persyaratan lebih dulu melunasi maharnya. Dalam masalah ini,
yang dianggap berlaku adalah kesepakatan itu, bukan adat yang
berlaku.
e. ‘Urf membawa mas{lah{at dan tidak membawa mud}a>ra>t. Setiap ‘urf
yang diterima oleh Islam adalah yang membawa mas{lah{at bagi
manusia pada umumnya. Sebaliknya setiap kebiasaan mendatangkan
mud{a>ra>t tidak boleh dilaksanakan dalam hukum Islam. Rasulullah
Saw bersabda:
d. Kebiasaan tersebut tidak menggugurkan suatu kewajiban serta tidak
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
‘Urf berbeda dengan ijma’ disebabkan karena ‘urf itu dibentuk oleh
kebiasaan-kebiasaan orang yang berbeda-beda tingkatan mereka,
sedangkan ijma’ dibentuk dari persesuaian pendapat khusus dari para
mujtahidin. Hukum yang didasarkan ijma’ sama kuatnya dengan hukum
28
Muhammad Al-Zu>h}ayli>, A l-Qawa>id al-Fiqhiyyah wa-T at}bi>qa>tuha> fil-Madha>hib al-A rba’ah
33
yang didasarkan nas{s{. Kedua-duanya tidak menjadi lapangan ijtihad,
sedangkan hukum yang berdasarkan ‘urf dapat berubah, oleh karena itu
ijma’ dianggap sebagai hujjah yang mengikat.29Dan sedangkan ‘urf tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat selamanya karena ‘urf ada
yangs{ahi>h{ dan ada pula yangfa>sid.30
6. Perbenturan‘Urfdengan Dalil Syara’
‘Urf yang berlaku di tengah-tengah masyarakat adakalanya
bertentangan dengan nas{s{ (ayat dan atau hadits) dan adakalanya
bertentangan dengan dalil shara’ lainnya. Para ahli ushul fiqh
memerincikannya sebagai berikut:
a. Pertentangan‘urfdengannas{s{ yang bersifat khusus/rinci
Apabila pertentangan ‘urf dengan nas{s{ khusus menyebabkan tidak
berfungsinya hukum yang dikandung nas{s{, maka ‘urf tidak dapat
diterima. Misalnya, kebiasaan di zaman jahiliyyah dalam mengadopsi
anak, di mana anak yang diadopsi statusnya sama dengan anak
kandung, sehingga mereka mendapat warisan apabila ayah angkatnya
wafat. Maka ‘urf yang semacam ini tidak berlaku dan tidak dapat
diterima.31
b. Pertentangan‘urfdengannas{s{ yang bersifat umum
Menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa’, apabila ‘urf telah ada ketika
datangnyanas{s{ yang bersifat umum, maka harus dibedakan antara‘urf
29
Wahbah az-Zuhaily,Ushu>l al-Fiqh al-Isla>mi>, Juz II (Damaskus: Da>r al-Fikr, tt), 83.
30
Ibid.
31
34
al-lafz{i>dengan ‘urf al-‘amali>. Jika ‘urf lafz{i>maka ‘urf itu bisa
diterima, sehingga nas{s{ yang umum dikhususkan sebatas ‘urf lafz{i>
yang telah berlaku tersebut, dengan syarat tidak ada indikator yang
menunjukkan bahwanas{s{ umum itu tidak dapat dikhususkan oleh‘urf.
Misalnya, kata-kata sholat, puasa, haji, dan jual beli, diartikan dengan
maksud ‘urf, kecuali ada indikator yang menunjukkan bahwa
kata-kata itu dimaksudkan sesuai dengan arti etimologinya.
Apabila ‘urf yang ada ketika datangnya nas{s{ yang bersifat umum itu
adalah ‘urf al-‘amali>, maka terdapat perbedaan pendapat ulama
tentang kehujjahannya. Menurut ulama Hanafiyyah, apabila ‘urf
al-‘amali>itu bersifat umum, maka ‘urf tersebut mengkhususkan hukum
nas{s{ yang umum, karena pengkhususan nas{s{ tersebut tidak membuat
nas{s{ itu tidak dapat diamalkan. Akan tetapi Imam al-Qarafi
berpendapat bahwa ‘urf seperti ini tidak dapat dikhususkan hukum
umum yang dikandungnas{s{tersebut.32
c. ‘Urf yang terbentuk belakangan dari nas{s{ umum dan bertentangan
dengan‘urftersebut
Apabila suatu ‘urf terbentuk setelah datangnya nas{s{ yang bersifat
umum dan antara keduanya terjadi pertentangan, maka seluruh ulama
fikih sepakat bahwa ‘urf seperti ini, baik bersifat lafz{i> maupun‘amali>,
tidak dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum syara’. Karena
32
35
seakan-akan ‘urf itu membatalkan nas{s{, sedangkan ‘urf tidak boleh
membatalkannas{s{.33
B.‘Urfdalam Konteks Kepemilikan
Islam adalah agama yang fleksibel dan relefan di semua jaman dan waktu,
termasuk dalam konsep kepemilikan, Islam sangat menekankan konsep
harmonisasi antara hak kepemilikan umum dan kepemilikan khusus.
Kepemilikan umum merupakan harta yang dimiliki oleh orang banyak, seperti
jalan raya, laut, samudera, dan sungai besar, sedangkan kepemilikan khusus
merupakan suatu harta yang dimiliki oleh tiap-tiap individu, seperti rumah,
mobil, pakaian, dan sawah. Pada hakikatnya manusia secara fitrah mempunyai
motifasi atau keinginan untuk memiliki sesuatu, dan Islam sangat menghargai
hal tersebut.
Kepemilikan sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata “malaka”
yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab kata milik yang berarti pendapatan
seseorang yang diberi wewenang untuk mengalokasikan harta yang dikuasai
orang lain dengan keharusan untuk selalu memperhatikan sumber (pihak) yang
menguasainya.34
Dimensi penguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang
memiliki suatu barang berarti mempunyai kekuasaan atas barang tersebut,
sehingga ia dapat mempergunakannya sesuai dengan kehendahnya dan tidak
33
Ibid.
34
36
ada orang lain baik secara individual maupun kelembagaan yang dapat
menghalang-halanginya dari memanfaatkan barang yang dimilikinya
tersebut.35
‘Urf (kebiasaan) orang-orang untuk mendapatkan suatu kepemilikan yaitu
melalui beberapa sebab, diantaranya:
a. Ihrazul Mubahat
Ihrazul Mubahat merupakan penguasaan terhadap harta yang belum
dimiliki seseorang. Jadi kaitannya ‘urf disini cara untuk mendapatkan
suatu kepemilikan bisa melalui ihrazul mubahat, dan kebiasaan untuk
mendapatkan suatu kepemilikan seperti ini sudah sangat sering dilakukan
oleh orang-orang, seperti seseorang menangkap ikan dengan jaring baik di
sungai maupun di laut, maka ikan yang terjaring tersebut sudah menjadi
hak si pemilik jaring dan orang lain tidak berhak lagi mengambil ikan yang
terjaring tersebut.36
Untuk memiliki bendamubahat terdapat dua syarat, yaitu:
1) Benda mubahat belum di ikhrazkan oleh orang lain. Misalnya,
seseorang mengumpulkan air dalam satu wadah, kemudian air tersebut
dibiarkan, maka orang lain tidak berhak mengambil air tersebut, sebab
telah diikhrazkan orang lain.
2) Adanya niat (maksud) memiliki. Maka seseorang memperoleh harta
mubahat tanpa adanya niat, tidak termasukikhraz. Misalnya, seorang
35
Muhamad Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen Dalam Ekonomi Islam (Yogyakarta: BPFE, 2004), 150.
36
37
pemburu meletakkan jaringnya di sawah, kemudian terjeratlah
burung-burung, bila pemburu meletakkan jaringnya sekedar untuk
mengeringkan jaringnya, ia tidak berhak memiliki burung-burung
tersebut.37
b. Khalafiyah
Khalafiyah yaitu melalui peninggalan seseorang, seperti warisan dan
wasiat. Kaitannya dengan ’urf, metode untuk mendapatkan suatu
kepemilikan melalui khalafiyah sudah pasti dilakukan dan berlangsung
dalam setiap keluarga, karena setiap manusia tidak ada yang kekal dalam
dunia ini, harta kepemilikannya pasti berpindah melalui sebab warisan dan
wasiat, tetapi harta itu bisa dimiliki setelah orang yang berwasiat atau
yang punya warisan meninggal dunia terlebih dahulu.
‘Urfmelalui sebab kepemilikankhalafiyahterdapat dua macam, yaitu:
1) Khalafiyah syakhsyi ’an syakhsy (seseorang terhadap seseorang)
adalah kepemilikan suatu harta dari harta yang ditinggalkan oleh
pewarisnya, sebatas memiliki harta bukan mewarisi hutang di pewaris.
Misalnya Ali menggantikan kedudukan ayahnya, sehingga seluruh
hak-hak ayahnya berpindah kepada Ali, termasuk hak-hak kepemilikan.
Khalafiyah seperti ini juga disebut khalafiyah irs (waris), karena
umumnya, sering terjadi pada waris, yaitu hak kepemilikan harta
semula atas pewaris lalu digantikan oleh ahli waris.
37
38
2) Khalafiyah syai’an ‘an syai’in (sesuatu terhadap sesuatu) adalah
kewajiban seseorang untuk mengganti harta/barang milik orang lain
yang dipinjam karena rusak atau hilang sesuai harga dari barang
tersebut. Misalnya seseorang meminjamkan suatu barang setelah
dikembalikan kepadanya, ternyata ada bagian dari barang itu yang
rusak. Maka dibenarkan untuk meminta ganti dari kerusakan dari
barang tersebut, karena memang menjadi hak miliknya. Khalafiyah
seperti ini juga disebut khalafiyah ta’wid(menjamin kerusakan).38
c. A l-‘Uqud
A l-‘Uqud(akad) yaitu melalui transaksi yang ia lakukan dengan orang
atau suatu lembaga hukum, jadi kaitannya dengan ‘urf, kebiasaan
seseorang dalam melakukan suatu transaksi seperti jual beli, hibah dan
wakaf itu juga bisa dikatakan sebagai sebab memiliki suatu kepemilikan
dalam suatu harta.
Namun tidak hanya ‘urf seperti itu saja yang bisa menjadi sebab dari
suatu kepemilikan, terdapat dua ‘urf dalam transaksi yang juga bisa
menjadi sebab dalam suatu kepemilikan, yaitu:
1) ‘Uqud jabariah
Akad-akad yang harus dilakukan berdasarkan pada keputusan hakim,
seperti menjual harta orang yang berutang secara paksa.
2) Istimlak untukmas{lah{at umum
38
39
Misalnya, tanah-tanah disamping masjid apabila diperlukan untuk
masjid harus dimiliki oleh masjid dan pemilik harus menjualnya.
d. A t-Tawallud mim Mamluk
A t-Tawallud mim mamluk adalah hasil dari harta yang telah dimiliki
(berkembang biak), Misalnya, seseorang memiliki pohon yang
menghasilkan buah, buah ini otomatis menjadi milik bagi pemilik pohon,
dan contoh lain misalnya seseorang memiliki ternak kambing lalu
mengambil susunya, susu yang diperoleh dari kambing tersebut menjadi
milik pemilik kambing.39
‘Urf untuk mendapatkan suatu kepemilikan melalui sebab semacam
ini sudah pasti dimengerti oleh semua orang, karena semua orang sudah
secara otomatis menerapkan dan melakukan hal tersebut untuk
mendapatkan sebuah kepemilikan. Bahkan ‘urf sebab kepemilikan seperti
ini digunakan orang-orang untuk berbisnis dan mendapatkan penghasilan
dari bisnis tersebut.
Hikmah ‘urf dalam memperoleh kepemilikan suatu barang melalui
sebab-sebab dan cara-cara kepemilikan harta menurut syariat Islam banyak hikmah
yang dapat digali untuk kemaslahatan hidup manusia, antara lain:
1) Manusia tidak boleh sembarangan memiliki harta, tanpa mengetahui
aturan-aturan yang berlaku yang telah disyariatkan Islam.
2) Manusia akan mempunyai prinsip bahwa mencari harta itu harus dengan
cara-cara yang baik, benar, dan halal.
39
40
3) Memiliki harta bukan hak mutlak bagi manusia, tetapi merupakan suatu
amanah(titipan) dari Allah SWT, yang harus digunakan dan dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kepentingan hidup manusia dan disalurkan dijalan
Allah untuk memperoleh ridha-Nya.
4) Menjaga diri untuk tidak terjerumus kepada hal-hal yang diharamkan oleh
syara’ dalam memiliki harta.
5) Manusia akan hidup tenang dan tentram apabila dalam mencari dan
memiliki harta itu dilakukan dengan cara-cara yang baik, benar, dan halal,
kemudian digunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan panduan
(aturan-aturan) Allah SWT.40
40
41 BAB III
TRADISIMINGGIRANDI DESA PANGKAH WETAN KECAMATAN UJUNG PANGKAH KABUPATEN GRESIK
A. Gambaran Umum Desa Pangkah Wetan Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik
1. Letak dan Kondisi Geografis
Desa Pangkah Wetan merupakan salah satu dari 13 Desa yang ada di
Kecamatan Ujung Pangkah. Adapun Dusun yang ada di Desa Pangkah
Wetan terdiri dari 4 dusun, di antaranya yaitu: dusun Krajan 01 yang
dikepalai oleh Badruz Zaman, dusun Krajan 02 yang dikepalai oleh
Mualimin, dusun Tajung Rejo yang dikepalai oleh Azir Bakar, dan dusun
Sumbersuci yang dikepalai oleh Lahib Rahardjo.1
Jarak tempuh Desa Pangkah Wetan ke Ibu Kota Kecamatan adalah
0,500 km, yang dapat ditempuh dengan waktu sekitar 5 menit. Sedangkan
jarak tempuh Desa Pangkah Wetan ke Ibu Kota Kabupaten adalah 35 km,
yang dapat ditempuh dengan waktu sekitar 1 jam. Dan jarak tempuh Desa
Pangkah Wetan ke Ibu Kota Provinsi adalah 46 km, yang dapat ditempuh
dengan waktu sekitar 2 jam. Jadi Desa Pangkah Wetan merupakan Desa
yang kurang strategis, karena Desa ini terletak agak jauh dari Ibu Kota
Kabupaten.2
1
Moh. Huda,W awancara, Gresik, 28 November 2016.
2
42
Secara administratif, desa Pangkah Wetan terletak di wilayah
Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik dengan posisi dibatasi oleh
wilayah Desa-Desa tetangga, yaitu :3
Utara : Berbatasan dengan laut Jawa.
Timur : Berbatasan dengan Desa Serowo Kecamatan Sidayu.
Selatan : Berbatasan dengan Desa Karangrejo Kecamatan Ujung
Pangkah.
Barat : Berbatasan dengan Desa Pangkah Kulon Kecamatan Ujung
Pangkah.
Dilihat dari kondisi geografis, desa Pangkah Wetan terletak di
ketinggian tanah dari permukaan air laut sekitar 5 Mdl, dengan suhu
rata-rata harian 38oC, sedangkan curah hujan 2,178 Mm/tahun, serta jumlah
bulan hujan 5 bulan dengan bentang wilayah datar dan tepi pantai
(pesisir).4
Desa Pangkah Wetan mempunyai luas wilayah 3186,18 Ha. Adapun
rincian luas wilayah menurut penggunaan sebagai berikut:
Tabel 3.1
Luas Wilayah Desa Pangkah Wetan
Kegunaan Luas (Ha)
Luas Pemukiman 71,25
Luas Persawahan 80,8
Luas Tanah Kering/Kebun/Tegal 450,81
Luas Kuburan 4
✙
Moh. Huda,Daftar Isian Potensi Desa dan Kelurahan Desa Pangkah W etan Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik Tahun 2016(Gresik: t.p., t.t.) 1.
4
43
Sumber: Data Profil Desa dan Kelurahan Tahun 2016
Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar luas
wilayah desa Pangkah Wetan Kecamatan Ujung Pangkah digunakan untuk
tanah basah/ tambak, yaitu seluas 2003,09 Ha.
2. Keadaan Penduduk
Berdasarkan data profil Desa dan Keluruhan tahun 2016, jumlah
penduduk Desa Pangkah Wetan adalah terdiri dari kepala keluarga (KK)
laki-laki 2390 dan kepala keluarga (KK) perempuan 309, jadi total KK
yang ada di desa Pangkah Wetan adalah 2699. Dengan jumlah total 10.161
jiwa, dengan rincian 5.096 laki-laki dan 5.065 perempuan, sebagaimana
44
56 - 60 Tahun 196 215 411 4%
61 - 65 Tahun 172 132 304 2,9%
66 - 69 Tahun 73 106 179 1,7%
70 Tahun Lebih 144 202 346 3,4%
Jumlah Total 5.095 5.066 10.161 100%
Sumber: Data Profil Desa dan Kelurahan Tahun 2016
Dari data di atas terlihat bahwa penduduk paling banyak berusia
kirasan 11-15 tahun dan 16-20 tahun dengan jumlah 913 dan 906 atau
dengan prosentase sama-sama 8,9 %.
Tingkat kesejahteraan keluarga di Desa Pangkah Wetan Kecamatan
Ujung Pangkah Kabupaten Gresik dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 3.3 Kesejahteraan Keluarga
Uraian Jumlah Keterangan
Keluarga Prasejahtera 779
Keluarga Sejahtera 1 982
Keluarga Sejahtera 2 608
\Keluarga Sejahtera 3 260
Keluarga Sejahtera 3 Plus 70
Total 2699
Sumber: Data Profil Desa dan Kelurahan Tahun 2016
Dari rincian tabel kesejahteraan keluarga dapat dilihat bahwa tingkat
kesejahteraan keluarga yang ada di Desa Pangkah Wetan sebagian besar
terdapat pada tingkat keluarga sejahtera 1 dengan jumlah 982 kepala
keluarga (KK).