• Tidak ada hasil yang ditemukan

Q & A TERKAIT FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK (FPJP)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Q & A TERKAIT FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK (FPJP)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Q & A

TERKAIT FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK (FPJP)

1. Apakah itu FPJP ?

FPJP merupakan singkatan dari Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) yang merupakan salah satu fasilitas dalam rangka pelaksanaan fungsi Bank Indonesia sebagai Lender of The Last Resort. Ketentuan mengenai FPJP dituangkan dalam Penyusunan Peraturan Bank Indonesia (PBI) sebagai amanat dari UU BI No. 23 Th 1999 - Pasal 11 ayat 1 dan UU BI No.3 Th 2004 Pasal 11 ayat 1.

PBI ini mengatur bahwa Bank Indonesia dapat memberikan kredit kepada bank dengan jaminan agunan berkualitas tinggi dan mudah dicairkan. PBI FPJP dikeluarkan pertama kali dengan PBI No.1/1/PBI/1999 tanggal 18 Mei 1999 yang kemudian disempurnakan beberapa kali dengan PBI No.5/15/PBI 2003 tanggal 14 Agustus 2003 dan PBI No. 7/21PBI/2005 tangggal 3 Agustus 2005.

Penjelasan Pasal 11 ayat 2 UU BI menjelaskan bahwa : agunan berkualitas tinggi dan mudah dicairkan itu meliputi surat berharga dan atau tagihan yang diterbitkan oleh Pemerintah atau badan hukum lain yang mempunyai peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang kompeten dan sewaktu-waktu dengan mudah dapat dijual ke pasar untuk dijadikan uang tunai.

Dengan dikeluarkannya PERPU yang mengamandemen Pasal 11 ayat 2 UU BI, maka dilakukan perubahan atas PBI FPJP dengan menerbitkan PBI No.10/26/PBI/2008 tanggal 30 Oktober 2008 yang kemudian diamandemen kembali dengan PBI No.10/30/PBI/2008 tanggal 14 November 2008.

2. Apa hubungan antara PBI FPJP dengan PERPU No.2 Tahun 2008 ?

Kondisi perekonomian Indonesia secara tidak langsung terkena imbas dari krisis keuangan Global (referensi Laporan Gubernur Bank Indonesia kepada Presiden tanggal 4 Oktober 2008). Kondisi dimaksud terus memburuk ditandai dengan beberapa kejadian penting sebagai berikut :

Kejadian Penting Gejolak Sektor Keuangan Indonesia 2008

Tanggal Kejadian

8-10 Oktober 2008 Bursa Efek Indonesia ditutup sementara. 28 Oktober 2008 IHSG: 1111,4, terendah sejak Desember 2005.

29 Oktober 2008 Indeks Harga SUN (IDMA): 67,11, terendah sejak penerbitan SUN pertama kali pada Januari 2005.

6 November 2008

Laporan Perkembangan Financial Stability Index (FSI) pada Oktober 2008 tercatat sebesar 2,40, jauh diatas target indikatif 2.0 dan lebih tinggi dibandingkan posisi September

(2)

Agustus – November 2008

Penurunan Dana Pihak Ketiga Perbankan dan terjadi Segmentasi PUAB

November 2008 Memburuknya nilai tukar Rupiah mencapai puncaknya diatas Rp.12.000an setelah sebelumnya berkisar di Rp.9.000an

Beberapa Bank Sentral dan/atau Otoritas Keuangan negara lain melakukan hal yang sama, yaitu membuat kebijakan yang diarahkan untuk meminimalkan dampak ketidakstabilan di pasar keuangan dan menjaga stabilitas makro dengan cara menjaga kecukupan likuiditas di pasar keuangan, mengurangi risiko dan menjaga kepercayaan deposan. Sebagai contoh beberapa kebijakan yang diambil antara lain :

a. Menurunkan suku bunga kebijakan

Antara lain AS, Inggris, ECB, Kanada, Korea. Mendorong pertumbuhan ekonomi yang melambat. Mengurangi biaya pinjaman. Indonesia: kondisi berbeda, ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi

b. Menambah likuiditas di perekonomian dengan cara-cara inkonvensional misalnya membeli obligasi dari sektor swasta secara langsung, Commercial Paper Funding Facility, dll (Antara lain AS, ECB, Kanada, Jepang, Australia, Chili). Mencukupi likuiditas namun tidak membanjiri..

c. Menurunkan giro wajib minium (GWM)

Seperti China, India, Brazil dan Chili. Untuk menambah likuiditas domestik.

d. Untuk menjaga kepercayaan publik terhadap perbankan diberlakukan Penjaminan deposito dan antar bank seperti AS, Inggris, Yunani, Denmark, Irlandia.

e. Blanket guarantee di Singapura, Malaysia, dan Hong Kong.

f. Bail out terhadap sistem perbankan dengan melakukan rekapitalisasi. Misal AS, Inggris

g. Intervensi valas, seperti Korea, Brazil, Thailand

h. Meminta bantuan IMF: Pakistan. Hungaria, Eslandia, Ukraina, Belarusia

Mempertimbangkan kondisi krisis pada bulan Oktober 2008 Pemerintah mengeluarkan PERPU No.2 Tahun 2008 tanggal 13 Oktober 2008 yang mengamandemen Pasal 11 UU Bank Indonesia sehingga menjadi berbunyi :

Pasal 11

(1) Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kepada Bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek Bank yang bersangkutan.

(3)

(2) Pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dijamin oleh Bank penerima dengan agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya.

(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia.

(4) Dalam hal suatu Bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah.

(5) Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan Bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diatur dalam undangundangan tersendiri.

Penjelasan Pasal 11 Ayat (1)

Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah kepada Bank yang dimaksudkan dalam pasal ini hanya dilakukan untuk mengatasi kesulitan Bank karena adanya ketidaksesuaian antara arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar.

Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari kalender. Jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari yang dimaksud pada ayat ini merupakan jangka waktu maksimum yang dimungkinkan termasuk perpanjangannya.

Apabila kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah tidak dapat dilunasi pada saat jatuh tempo, Bank Indonesia sepenuhnya berhak mencairkan agunan yang dikuasainya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Bank yang dapat memperoleh bantuan likuiditas adalah Bank yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia misalnya secara nyata berdasarkan informasi yang diperoleh Bank Indonesia bahwa Bank yang bersangkutan mengalami kesulitan likuditas jangka pendek, memiliki agunan yang cukup dan apabila diperlukan, akan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap kondisi Bank tersebut.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “agunan yang berkualitas tinggi” meliputi surat berharga dan/atau tagihan yang diterbitkan oleh Pemerintah atau badan hukum lain yang mempunyai peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang kompeten dan sewaktu-waktu dengan mudah dapat dijual ke pasar untuk dijadikan uang tunai dan aset kredit kolektibilitas lancar.

Yang dimaksud dengan “pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah” misalnya bagi hasil atau risiko yang ditanggung bersama secara proporsional

(4)

3. Apa tindaklanjut dari Perpu tersebut ?

Atas dasar PERPU dimaksud dikeluarkan PBI No.10/26/PBI/2008 tanggal 30 Oktober 2008 yang mengatur lebih jauh mengenai aset kredit kolektibilitas lancar. Penyusunan persyaratan FPJP masih mengedepankan sifat dari FPJP sebagai fungsi bagi bank yang mengalami permasalahan likuiditas jangka pendek, sehingga persyaratan bank yang menerima FPJP khususnya setelah dimungkinkannya agunan FPJP adalah aset kredit kolektibilitas lancar.

Prinsip-prinsip persyaratan adalah mengacu persyaratan kondisi bank dalam situasi yang normal dan ketentuan kriteria dari kredit lancar yaitu : Bank yang dapat mengajukan permohonan FPJP wajib memiliki rasio kewajiban penyediaan modal minimum (capital adequacy ratio) paling kurang 8% (delapan persen). Sedangkan aset kredit yang dapat dijadikan agunan FPJP (pasal 4 ayat 3) wajib memenuhi kriteria sebagai berikut:

 Kolektibilitas lancar selama 12 (dua belas) bulan terakhir;

 Bukan merupakan kredit konsumsi kecuali kredit pemilikan rumah (KPR);

 Kredit dijamin dengan agunan yang memiliki nilai paling kurang 110% (seratus sepuluh persen) dari plafon kredit;

 Bukan merupakan kredit kepada pihak terkait Bank;  Kredit belum pernah direstrukturisasi;

 Sisa jangka waktu jatuh tempo kredit paling cepat 3 (tiga) bulan dari saat persetujuan FPJP;

 Baki debet (Outstanding) kredit tidak melebihi plafon kredit dan batas maksimum pemberian kredit; dan

 Memiliki perjanjian kredit dan pengikatan agunan yang mempunyai kekuatan hukum

4. Mengapa Bank Indonesia melakukan amandemen PBI FPJP tanggal 14 November 2008 ? dan apakah benar perubahan PBI FPJP itu hanya untuk Bank Century ?

Perubahan PBI FPJP merupakan respon dari kebutuhan yang mendesak dari kondisi ketahanan perbankan yang memasuki tahapan yang sangat mengkhawatirkan, tetapi tidak dimaksudkan untuk kepentingan individu bank tertentu. Kondisi mengkhawatirkan dimaksud ditandai dengan :

Terjadinya segmentasi PUAB - konsekuensi dari segmentasi ini, bank yang mengalami kesulitan likuiditas (dan tidak berhasil pinjam di PUAB) dan tidak bisa melakukan REPO SUN dan SBI ke BI (karena tidak memiliki SUN / SBI), hanya bisa mengandalkan kebutuhan likuiditasnya dari FPJP Bank Indonesia.

Penurunan DPK yang semakin kuat pada 23 bank - Kecenderungan penurunan DPK terindikasikan terjadi pada 23 bank. Puncaknya terjadi di bulan September sampai November 2008. Bahkan untuk tiga Bank BUMN akhirnya pemerintah harus menempatkan dana pemerintah sekitar Rp.15 triliun untuk memperkuat likuiditas bank-bank BUMN. Ratio

merosot dari 129,2% di bulan Januari 2008 menjadi 84,9% di bulan Oktober/November 2008. (Bandingkan dengan kondisi normal dimana ratio alat likuid di atas 200%, sebagaimana ratio saat ini).

(5)

Kondisi tersebut menyebabkan RDG 5 November 2008 yang membahas mengenai perkembangan kondisi perekonomian (a.l. pelemahan nilai tukar yang cukup tinggi) dan kondisi sistem perbankan (a.l. segmentasi PUAB, penurunan DPK Perbankan) yang memburuk, memberikan arahan sebagai berikut :

a. Mengkaji kembali persyaratan agunan FPJP berupa asset kredit antara lain dengan memperjelas cakupan asset kredit yang diagunkan

b. Mengkaji kembali persyaratan pengajuan FPJP terkait rasio kewajiban penyediaan modal minimum dan pemberlakuan masa transisi dalam hal dilakukan amandemen terhadap persyaratan tersebut.

c. Melakukan exercise data debitur Bank Umum yang memenuhi persyaratan agunan FPJP berupa asset kredit melalui Sistem Informasi Debitur (SID)

Dewan Gubernur pada tanggal 13 November 2008 membahas perubahan PBI No.10/26/PBI/2008 tanggal 30 Oktober 2008 dengan mengubahnya menjadi No.10/30/PBI/2008 tanggal 14 November 2008.

Pertimbangan perubahan PBI ini untuk menjaga dan mempertahankan stabilitas sistem perbankan dan kelangsungan perekonomian nasional di tengah krisis keuangan global maka dipandang perlu untuk memberikan perluasan akses bagi bank yang mengalami kesulitan keuangan dan PBI ini bersifat untuk sementara selama krisis masih berlangsung. Dengan demikian Amandemen PBI FPJP menjadi PBI No.10/30/PBI/2008 merupakan salah satu bagian dari respon kebijakan dari kondisi makro yang pada saat itu tercermin dari beberapa indikator perekonomian yang memburuk.

Tabel perbandingan setelah penyesuaian PBI FPJP adalah sebagai berikut : PBI No.10/26/PBI/2008

tanggal 30 Oktober 2008

PBI No.10/30/PBI/2008 tanggal 14 November 2008 Pasal 2 ayat (2)

Bank yang dapat mengajukan permohonan FPJP wajib memiliki rasio kewajiban

penyediaan modal minimum (capital

adequacy ratio) paling kurang 8% (delapan persen)

Pasal 2 ayat (2)

Bank yang dapat mengajukan permohonan FPJP wajib memiliki rasio kewajiban penyediaan modal minimum (capital adequacy ratio) positif.

Pasal 4 ayat (3)

Aset kredit yang dapat dijadikan agunan FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Kolektibilitas lancar selama 12 (dua belas) bulan terakhir;

b. Bukan merupakan kredit konsumsi kecuali kredit pemilikan rumah (KPR); c. Kredit dijamin dengan agunan yang

memiliki nilai paling kurang 110% (seratus sepuluh persen) dari plafon

Pasal 4 ayat (3)

Aset kredit yang dapat dijadikan agunan FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Kolektibilitas Lancar selama minimal 3 (tiga) bulan terakhir;

b. Bukan merupakan kredit konsumsi kecuali kredit pemilikan rumah (KPR); c. Bukan merupakan kredit kepada pihak

(6)

d. Bukan merupakan kredit kepada pihak terkait Bank;

e. Kredit belum pernah direstrukturisasi;

f. Sisa jangka waktu jatuh tempo kredit paling cepat 3 (tiga) bulan dari saat persetujuan FPJP;

g. Baki debet (Outstanding) kredit tidak melebihi plafon kredit dan batas maksimum pemberian kredit; dan

h. Memiliki perjanjian kredit dan pengikatan agunan yang mempunyai kekuatan hukum

d. Aset kredit memiliki agunan;

e. Baki debet (outstanding) kredit tidak melebihi plafon kredit dan batas maksimum pemberian kredit pada saat diberikan; dan

f. Memiliki perjanjian kredit dan pengikatan agunan yang mempunyai kekuatan hukum.

Pasal 17 A

Bank Indonesia menetapkan Bank penerima FPJP dalam status pengawasan khusus.

5. Apakah benar CAR Bank Century saat pemberian FPJP tanggal 14 November 2008 adalah negatif ?

Pada saat pemberian FPJP kepada Bank Century pada tanggal 14 November 2008, data CAR yang paling terkini adalah posisi 30 September 2008 yang menunjukkan CAR positif 2,35%.

Walau demikian, mengingat BC mengalami permasalahan likuiditas yang parah, Bank Indonesia mengupayakan untuk memperoleh neraca posisi 31 Oktober 2008 guna menghitung CAR posisi tersebut. Untuk itu, pada tanggal 11 November 2008 pengawas yang ditempatkan di Bank Century telah mendesak pengurus bank agar menyampaikan neraca dan perhitungan CAR posisi 31 Oktober 2008. Namun ternyata Bank Century tidak mampu memenuhinya.

(7)

Dengan demikian, mengingat urgensi menyelesaikan masalah likuiditas Bank Century yang sudah parah, maka BI saat pemberian FPJP tanggal 14 November 2008 memakai data CAR yang ada yaitu posisi September 2008 sebesar positif 2,35%.

6. Benarkah nilai agunan Bank Century pada saat menerima FPJP hanya 83% dari plafon FPJP sehingga tidak memenuhi ketentuan yaitu minimal 150% dari plafon FPJP ?

Sesuai dengan PBI FPJP (PBI No.10/26/PBI/2008 tanggal 30 Oktober 2008 sebagaimana telah diubah dengan PBI No.10/30/PBI/2008 tanggal 14 November 2008 tentang FPJP bagi bank umum), agunan FPJP adalah berupa surat berharga (SBI, SUN), surat berharga yang diterbitkan oleh badan hukum lainnya (obligasi korporasi) dan piutang/hak tagih yang dimiliki oleh bank kepada debitur (aset kredit) Persyaratan aset kredit sebagai agunan FPJP adalah :

Kolektibilitas Lancar selama minimal 3 (tiga) bulan terakhir;

Bukan merupakan kredit konsumsi kecuali kredit pemilikan rumah (KPR); Bukan merupakan kredit pada pihak terkait;

Aset kredit memiliki agunan;

Baki debet (outstanding) kredit tidak melebihi plafon kredit dan BMPK pada saat kredit diberikan;

memiliki perjanjian kredit dan pengikatan agunan yang mempunyai kekuatan hukum.

Besarnya aset kredit (nilai hak tagih) adalah sebesar outstanding kredit dan tidak digantungkan pada nilai agunan dari asset kredit dimaksud.

Pemberian FPJP kepada Bank Century total Rp. 689 miliar dijamin dengan SUN senilai Rp. 9,94 miliar dan asset kredit dengan nilai Rp. 1, 021 triliun, sehingga secara total FPJP dijamin dengan nilai Rp. 1,031 triliun atau 150% dari total FPJP yang diterima.

Timbulnya angka 83% terjadi karena BPK RI menghitung jaminan FPJP berupa asset kredit dengan menggunakan 2 (dua) kriteria yaitu (1) sebagian asset kredit dinilai berdasarkan baki debet dengan mengacu kepada PBI, (2) sementara sebagian asset kredit lainnya dinilai berdasarkan nilai agunan dari asset kredit tersebut, dan penilaian tersebut tidak sesuai dengan PBI FPJP. Perhitungan BPK pada angka (2) tersebut mengacu kepada memorandum internal BI yang di dalamnya sebenarnya mengandung pemahaman yang belum tepat dari beberapa pihak di BI tentang pengertian asset kredit sebagai agunan FPJP, dimana seharusnya yang diagunkan adalah hak tagih kepada debitur dan bukan agunan dari asset kredit debitur tersebut.

Oleh karena itu tidak benar bahwa nilai agunan Bank Century pada saat menerima FPJP hanya 83% dari plafon FPJP.

(8)

7. Apa saja respon kebijakan pada saat menghadapi tekanan likuiditas ?

Sejak krisis mulai memuncak berbagai policy respons telah dilakukan oleh Bank Indonesia baik sendiri maupun bersama-sama dengan Pemerintah sehingga dapat dipahami bahwa kebijakan FPJP hanya merupakan salah satu kebijakan dari berbagai respon BI dalam rangka mencegah dampak krisis global.

Adapun rangkaian kebijakan tersebut adalah sbb : No

. Tanggal Kebijakan

1. 16 September 2008

BI menurunkan O/N repo rate dari BI rate plus 300 bps menjadi BI rate plus 100 bps.

BI menyesuaikan FASBI rate dari BI rate minus 200 bps menjadi BI rate minus 100 bps.

2. 23 September 2008

BI memperpanjang jangka waktu Fine Tune Operation (FTO) dari 1 hari s.d 14 hari menjadi 1 hari s.d 3 bulan (PBI No.10/14/PBI/2008).

3. 13 Oktober 2008

BI merubah ketentuan tentang GWM rupiah dan GWM valas bagi Bank Umum (PBI No.10/19/PBI/2008).

4. 13 Oktober 2008

BI meniadakan pembatasan posisi saldo harian Pinjaman Luar Negeri (PLN) jangka pendek (PBI No.10/20/PBI/2008).

5. 13 Oktober 2008

Penerbitan PERPPU No.2 Tahun 2008 tentang perubahan Undang-Undang Bank Indonesia yang memungkinkan kredit berkolektibilitas lancar dijadikan agunan untuk mendapatkan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP).

6. 13 Oktober 2008

Penerbitan PERPPU No.3 Tahun 2008 yang mengatur kenaikan nilai simpanan nasabah yang dijamin LPS dari Rp100 juta menjadi Rp 2 milyar.

7. 15 Oktober 2008

BI memperpanjang tenor FX Swap dari paling lama 7 hari menjadi 1 bulan (PBI No.10/21/PBI/2008).

8. 15 Oktober 2008

BI berkomitmen menyediakan valas bagi korporasi domestik melalui perbankan (PBI No.10/22/PBI/2008).

9. 15 Oktober 2008

Penerbitan PERPPU No.4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).

10. 24 Oktober 2008

BI mengeluarkan perubahan atas PBI No.10/19/PBI/2008 untuk menyempurnakan perhitungan GWM Rupiah menjadi GWM utama sebesar 5% dari DPK Rupiah, dan GWM sekunder sebesar 2.5% dari DPK Rupiah (PBI No.10/25/PBI/2008).

11. 29 Oktober 2008

Bank Indonesia mengaktifkan Tim Crisis Management Protocol (RDG tanggal 29 Oktober 2009)

(9)

No

. Tanggal Kebijakan

12. 30 Oktober 2008

BI mengeluarkan peraturan tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek bagi Bank Umum (FPJP) (PBI No.10/26/PBI/2008).

13. 13 Nopember 2008

BI mengeluarkan peraturan yang membatasi transaksi spekulatif valas terhadap rupiah dengan mewajibkan adanya underlying transaksi untuk setiap pembelian valas yang melebihi USD100.000 (PBI No.10/28/PBI/2008).

14. 14 Nopember 2008

BI mengeluarkan perubahan atas PBI No.10/26/PBI/2008 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) bagi Bank Umum (PBI No. 10/30/PBI/2008).

15. 18 Nopember 2008

BI mengeluarkan aturan mengenai Fasilitas Pinjaman Darurat (FPD) (PBI No.10/31/PBI/2008).

16. 16 Desember 2008

BI melarang transaksi derivatif structured product yang terkait transaksi valas (PBI No.10/38/PBI/2008).

Referensi

Dokumen terkait

[r]

47 dikatakan efisien karena RCR yang diperoleh lebih dari 1 (satu) sehingga usaha ini dapat dilanjutkan dan dikembangkan untuk kedepannya. Hasil analisis SWOT yang dilakukan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa gelombang internal dibangkitkan pada daerah Kepulauan Sulu dan Sangihe-Talaud dengan nilai konversi energi lebih dari 10 -3 Wm -2

Pada hari ini RABU tanggal DUA PULUH ENAM bulan SEPTEMBER tahun DUA RIBU DUA BELAS pukul 09.05 WIB bertempat di ULP Kabupaten Ciamis melalui portal LPSE Provinsi

Memperlihatkan Dokumen Kualifikasi asli atau rekaman (fotocopy) Dokumen Kualifikasi yang telah dilegalisir oleh penerbit Dokumen sesuai isian pada sistem SPSE Kabupaten

Demikian pengumuman ini kami sampaikan sebagai bahan untuk diketahui, atas perhatiannya diucapkan banyak terima kasih.. Tanggal, 12 September

[r]

Batasan penelitian ini adalah masalah Strategi Komunikasi Pemasaran PadaProgram Community Marketing di5 Cabang Bank Danamon yang ada di Jawa Barat. Dengan