• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN KEEFEKTIFITASAN MODEL PRAKTIK KEPERAWATAN PROFESIONAL DENGAN ETOS KERJA PERAWAT DI RSUD DR. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO WONOGIRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN KEEFEKTIFITASAN MODEL PRAKTIK KEPERAWATAN PROFESIONAL DENGAN ETOS KERJA PERAWAT DI RSUD DR. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO WONOGIRI"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

1

HUBUNGAN KEEFEKTIFITASAN MODEL PRAKTIK KEPERAWATAN

PROFESIONAL DENGAN ETOS KERJA PERAWAT DI RSUD

DR. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO WONOGIRI

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan

Oleh :

Y A T I N I

NIM: ST. 14 075

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA

SURAKARTA 2016

(2)
(3)
(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat petunjuk dan rahmayNya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul: ”Hubungan Keefektifitasan Model Praktik Keperawatan Profesional dengan Etos Kerja Perawat di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri”.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari bahwa tanpa dorongan, bimbingan dan motivasi dari semua pihak, penulis tidak akan mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada :

1. Wahyu Rima Agustin, S.Kep.,Ns.,M.Kep., selaku Ketua STIKes Kusuma Husada Surakarta, yang telah memberi izin penelitian kepada penulis.

2. Atiek Murharyati, S.Kep.,Ns.,M.Kep., selaku Ketua Prodi S1 Keperawatan yang telah memberikan dukungan dan motivasi kepada semua maha-siswanya. 3. bc. Yeti Nurhayati, M.Kes., selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan penulis dengan penuh kesabaran sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Anis Nurhidayati, S.ST, M.Kes., selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan penulis dengan penuh kesabaran sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

5. dr. Setyorini, M.Kes., selaku Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri yang telah memberikan ijin penelitian kepada penulis.

(6)

6. Bapak dan Ibu Dosen STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan segenap ilmu dan pengalamannya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian ini.

7. Para responden yang telah memberikan waktunya untuk mengisi kuesioner dan mendukung terselesaikannya penelitian ini.

8. Keluargaku yang telah memberikan dukungan, doa, nasihat, kasih sayang dan semangat bagi penulis dalam mengerjakan proposal skripsi ini.

9. Teman-teman ST14 yang telah memberikan dukungan dan bantuannya, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Tiada kata yang pantas penulis sampaikan kepada semuanya, kecuali ucapan terima kasih yang tak terhingga serta iringan doa semoga kebaikan Bapak/Ibu/Saudara mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Surakarta, 30 Januari 2016

Yatini

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

SURAT PERNYATAAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN ... xi ABSTRAK ... ... xii BAB I. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 3 1.3 Tujuan Penelitian ... 4 1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori ... 6

2.2. Keaslian Penelitian ... 51

2.3 Kerangka Teori ... 52

2.4 Kerangka Konsep ... 53

(8)

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian ... 54

3.2 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ... 54

3.3 Tempat dan Waktu Penelitian ... 56

3.4 Variabel, Definisi Operasional dan Skala Pengukuran ... 56

3.5. Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data ... 58

3.6 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 60

3.7 Pengolahan dan Analisis Data ... 61

3.8 Etika Penelitian ... 64

BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 66

4.1 Analisis Univariat ... 66

4.2 Analisis Bivariate ... 69

BAB V. PEMBAHASAN ... 70

5.1 Keefektifitasan Model Praktek Keperawatan Profesional . 73

5.2 Etos Kerja ... 75

5.3 Hubungan Efektifitasan Model Praktek Keperawatan Pro- fesional dengan Etos Kerja Perawat di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri ... 78

BAB VI. PENUTUP ... 81

6.1 Simpulan ... 81

6.2 Saran ... 81 DAFTAR PUSTAKA

(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Judul Tabel Halaman

2.1 Keaslian Penelitian 51

3.3 Proporsi Besarnya Sampel Penelitian 56

3.2 Definisi Operasional Variabel 57

4.1. Distribusi Frekuensi Umur Responden 65

4.2. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden 66

4.3. Distribusi Frekuensi Pendidikan Responden 66

4.4. Distribusi Frekuensi Masa Kerja Responden 66

4.5. Distribusi Frekuensi tentang Efektifitas MPKP 67

4.6. Distribusi Frekuensi tentang etos kerja 67

(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar Judul Gambar Halaman

2.1 Kerangka Teori 52

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran Nama Lampiran

1. Surat Pernyataan Kesediaan Menjadi Responden 2. Surat Permohonan Menjadi Responden

3. Kuesioner Penelitian 4. Jadwal Penelitian 5. Berkas Konsultasi

6. Rekapitulasi Hasil Penelitian 7. Hasil Analisis Data

8. Surat Ijin Penelitian dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Kusuma Husada Surakarta

9. Surat Ijin Telah Melakukan Penelitian dari RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri.

(12)

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016

Yatini

Hubungan Keefektifitasan Model Praktik Keperawatan Profesional dengan Etos Kerja Perawat di RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri

Abstrak

Keefektifitasan pelaksanaan model asuhan keperawatan profesional dalam suatu ruangan berdampak pada etos kerja perawat yang merupakan tanggungjawab secara profesional terhadap hasil keperawatannya. Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis hubungan keefektifitasan model praktik keperawatan profesional dengan etos kerja perawat.

Metode yang digunakan adalah deskriptif korelasional dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel 69 perawat dan teknik pengambilan sampel dengan proportional random sampling. Alat analisis yang digunakan dengan korelasi rank spearman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1) Keefektifitasan model praktek keperawatan profesional (MPKP) sebagian besar tergolong efektif yaitu sebanyak 42 orang (60,9%) dan lainnya tergolong tidak efektif sebanyak 27 reponden (39,1%); 2) Etos kerja yang dimiliki perawat sebagian besar mempunyai etos kerja cukup yaitu sebanyak 35 orang (50,7%), etos kerja baik sebanyak 21 orang (30,4%), dan paling sedikit perawat tergolong mempunyai etos kerja kurang sebanyak 13 orang (18,8%); 3) Terdapat hubungan yang signifikan antara keefektifitasan model praktek keperawatan profesional dengan etos kerja perawat di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri (rxy = 0,812; p-value = 0,000) dan kekuatan hubungan tergolong kuat.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara keefektifitasan model praktek keperawatan profesional dengan etos kerja perawat.

Kata kunci: Keefektifitasan model praktik keperawatan profesional, etos kerja, perawat.

(13)

BACHELOR OF NURSING PROGRAM SCHOOL OF HEALTH SCIENCES OF KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016

Yatini

The Relationship between the Effectiveness of Nursing Professional Practice Model and Work Ethic of Nurses at dr. Soediran Mangun Soemarso Regional

Public Hospital of Wonogiri

ABSTRACT

The effectiveness of the implementation of a professional model of care in a section gives influence to nurses’ work ethic, which belongs to professional responsibility for their work. The research aims at analyzing the relationship between the effectiveness of the nursing professional practice model and the work ethic of nurses.

The research employed descriptive correlational method with cross sectional approach. The total number of samples is 69 nurses selected using proportional random sampling. The data were later analyzed using Spearman’s rank correlation.

The research findings depict that: (1) in case of the effectiveness of the nursing professional practice model, most of the respondents with total number of 42 respondents (60.9%) consider that the model is effective, while the other 27 do not (39.1%); (2) there are 35 (50.7%) nurses having moderate level of work ethic, 21 (30.4%) having high level of work ethic, and 13 (18.8%) having low level of work ethic; and (3) there is a significant relationship between the effectiveness of the nursing professional practice model and the work ethic of nurses at dr. Soediran Mangun Sumarso Regional Public Hospital of Wonogiri (rxy = 0.812;

p-value = 0.000) which is considered strong.

Keywords: the effectiveness of the nursing professional practice model, work ethic, nurses.

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Mutu pelayanan di Rumah Sakit sangat ditentukan oleh pelayanan keperawatan atau asuhan keperawatan. Perawat sebagai pemberi jasa keperawatan merupakan ujung tombak pelayanan di Rumah Sakit, sebab perawat berada dalam 24 jam memberikan asuhan keperawatan. Tanggung jawab yang demikian berat jika tidak ditunjang dengan sumber daya manusia yang memadai, dapat menimbulkan sorotan publik (pasien dan keluarga) maupun profesi lain terhadap kinerja perawat. Kondisi di atas menuntut perawat bekerja secara sungguh-sungguh dan profesional, oleh karena itu diperlukan model asuhan keperawatan secara profesional (Nursalam, 2008).

Model Asuhan Keperawatan Profesional merupakan suatu sistem (struktur, proses, dan nilai-nilai) yang memungkinkan perawat profesional mengatur pemberian asuhan keperawatan termasuk lingkungan untuk menopang pemberian asuhan tersebut. Menurut Grant & Massey dan Marquis & Huston dalam Nursalam (2008) ada 4 metode pemberian asuhan keperawatan profesional yang sudah ada dan akan terus dikembangkan di masa depan dalam menghadapi tren pelayanan keperawatan diantaranya keefektifitasan model asuhan keperawatan fungsional, model asuhan keperawatan profesional kasus, model asuhan keperawatan profesional tim, model asuhan keperawatan profesional primer.

Keefektifitasan pelaksanaan model asuhan keperawatan profesional dalam suatu ruangan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor

(15)

pendidikan, beban kerja, jumlah tenaga kerja perawat, motivasi perawat, sarana prasarana, adapun faktor yang berhubungan dengan model praktik keperawatan profesional di Rumah Sakit adalah etos kerja. Terwujudnya keefektifitasan model praktek keperawatan membutuhkan suatu etos kerja dan kedisiplinan pada diri perawat, sehingga diperlukan suatu pemantauan kedisiplinan dari pimpinan rumah sakit. Pimpinan bertanggung jawab terhadap pengelolaan dari kedisiplinan (peraturan, sanksi dan penghargaan) yang diberlakukan secara seragam, pantas, konsisten dan tidak diskriminatif untuk mencapai sasaran-sasaran rumah sakit (Gillies, 2006).

Etos kerja sering diartikan sebagai perilaku kerja yang etis menjadikan kebiasaan kerja yang berporoskan etika atau dengan nama lain yang lebih sederhana, etos kerja yaitu semua kebiasaan yang baik yang berlandaskan etika yang harus dilakukan ditempat kerja. Etos kerja dalam organisasi mencakup motivasi yang menggerakkan, karakteristik utama, spirit dasar, pikiran dasar, kode etik, kode moral, kode perilaku, sikap-sikap, aspirasi-aspirasi, keyakinan-keyakinan, prinsip-prinsip dan standar-standar yang menjadi dasar perilaku dan nilai-nilai yang diadopsi individu-individu manusia di dalam organisasi atau konteks sosialnya (Damayanti, 2008).

Hasil studi pendahuluan berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan salah satu kepala ruangan di ruang perawatan RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri menggunakan model asuhan keperawatan tim. Data tentang dokumentasi keperawatan yang diambil dari 7 status pasien didapatkan 4 status (57,14%) dokumentasi keperawatan masih kurang lengkap dan 3 status (42.86%) dukumentasi keperawatan sudah lengkap. Belum

(16)

terlaksananya ronde keperawatan. Timbang terima selama ini telah dilakukan tetapi belum terlaksana secara optimal, serta belum adanya program sentralisasi obat di ruang keperawatan pasien RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri. Saat ini model praktik pelayanan keperawatan profesional di Rumah Sakit belum mencerminkan praktek pelayanan profesional dimana aktivitas keperawatan belum sepenuhnya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pasien, oleh karenaitu diperlukan etos kerja dari perawat. Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa Pelaksanaan Model Praktik Keperawatan Profesional di Rumah Sakit dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri belum dilaksanakan secara optimal.

Berdasarkan fenomena di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang Hubungan Keefektifitasan Model Praktik Keperawatan Profesional dengan Etos Kerja Perawat di RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan masalah : “Adakah hubungan Keefektifitasan Model Praktik Keperawatan Profesional dengan Etos Kerja Perawat di RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri?”.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan keefektifitasan model praktik keperawatan profesional dengan etos kerja perawat di RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri.

(17)

1.3.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi karakteristik responden (umur, jenis kelamin, pendidikan dan lama bekerja).

2. Mengidentifikasi keefektifitasan model praktik keperawatan profesional di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri.

3. Mengidentifikasi etos kerja perawat di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri.

4. Menganalisis hubungan keefektifitasan model praktik keperawatan profesional dengan etos kerja perawat di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain adalah : 1. Bagi Rumah Sakit

Mendapatkan gambaran mengenai keefektifitasan model praktik keperawatan profesional menurut persepsi perawat pelaksana, sehingga dapat memberikan masukan pada pihak Rumah Sakit dalam mengoptimalkan penerapan MPKP dalam meningkatkan etos kerja perawat. 2. Bagi Institusi Pendidikan

Menambah pustaka institusi pendidikan tentang keefektifitasan model praktik keperawatan profesional dan hubungannya dengan etos kerja perawat.

(18)

3. Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan dan digunakan sebagai pembelajaran peneliti dalam melakukan penelitian terkait dengan keefektifitasan model praktik keperawatan profesional hubungannya dengan etos kerja perawat.

4. Bagi Peneliti Lain

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan penelitian selanjutnya khususnya yang berkaitan dengan keefektifitasan model praktek keperawatan profesional hubungannya dengan etos kerja perawat.

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teori 2.1.1 Perawat

2.1.1.1 Pengertian Perawat

Berdasarkan Undang-undang R.I No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, perawat diartikan sebagai orang yang memiliki kemampuan dan kewenangan dalam melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya, yang diperoleh melalui pendidikan perawatan (Ali, 2010). Perawat menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.0202/MENKES/148/I/2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktik perawat, definisi perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Kemenkes, RI, 2010).

Menurut Henderson (1980) yang dikutip oleh Nursalam (2008), perawat adalah upaya membantu individu yang sehat maupun sakit, dari lahir sampai meninggal agar dapat melaksanakan aktivitas sehari-hari secara mandiri, dengan menggunakan kekuatan, kemauan, atau pengetahuan yang dimiliki seorang perawat. Perawat merupakan orang yang mengurus dan melindungi dan orang yang dipersiapkan untuk merawat orang sakit, orang yang cidera, dan lanjut usia. Oleh sebab itu, perawat berupaya menciptakan hubungan yang baik dengan pasien

(20)

untuk menyembuhkan (proses penyembuhan) dan meningkatkan kesehatan.

2.1.1.2 Pengertian Keperawatan

Keperawatan adalah bentuk pelayanan profesional berupa pemenuhan kebutuhan dasar yang diberikan kepada individu yang sehat maupun sakit yang mengalamí gangguan fisik, psikis, dan sosial agar dapat mencapai derajat kesehatan yang optimal. Bentuk pemenuhan kebutuhan dasar dapat berupa meningkatkan kemampuan yang ada pada individu, mencegah, memperbaiki, dan melakukan rehabilitasi dari suatu keadaan yang dipersepsikan sakit oleh individu (Nursalam, 2008).

Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosial spriritual yang komprehensif, ditujukan pada individu, keluarga dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Roy dalam Nursalam (2008) mendefínisikan bahwa tujuan keperawatan adalah meningkatkan respons adaptasi yang berhubungan dengan empat model respons adaptasi. Perubahan internal, eksternal dan stimulus input bergantung dari kondisi koping individu. Kondisi koping menggambarkan tingkat adaptasi seseorang. Tingkat adaptasi ditentukan oleh stimulus fokal kontekstual dan residual. Stimulus fokal adalah suatu respons yang diberikan secara

(21)

langsung terhadap input yang masuk. Penggunaan fokal pada umumnya bergantung pada tingkat perubahan yang berdampak terhadap seseorang. Stimulus kontekstual adalah semua stimulus lain yang merangsang seseorang baik internal maupun eksternal serta mempengaruhi situasi dan dapat diobservasi, diukur dan secara subjektif disampaikan oleh individu. Stimulus residual adalah karakteristik atau riwayat seseorang dan timbul secara relevan sesuai dengan situasi yang dihadapi tetapi sulit diukur secara objektif. Tindakan keperawatan yang diberikan adalah meningkatkan respons adaptasi pada situasi sehat dan sakit. Tindakan tersebut dilaksanakan oleh perawat dalam memanipulasi stimulus fokal, kontekstual atau residual pada individu. Dengan memanipulasi semua stimulus tersebut, diharapkan individu akan berada pada zona adaptasi. Jika memungkinkan, stimulus fokal yang dapat mewakili semua stimulus harus dirangsang dengan baik.

2.1.1.3 Peran Perawat Sebagai Tenaga Kesehatan

Menurut Gunarsa (2009), perawat yang dapat memberikan pelayanan kesehatan dalam upaya penyembuhan dan pencegahan penyakit memiliki ciri khas, yaitu:

a. Keadaan fisik dan kesehatan. Seorang perawat harus memiliki kondisi badan yang baik, sehat, dan mempunyai energi yang banyak. Bila perawat kurang sehat atau kurang stamina, maka dapat mempengaruhi segala keputusan, aktifitas dan tidak dapat

(22)

konsentrasi pada pekerjaannya atau tidak konsentrasi pada pasien yang sedang dihadapinya.

b. Penampilan menarik. Pasien yang dirawat akan menyenangi seorang perawat yang berpenampilan bersih, berpenampilan segar dan menarik, hal ini akan membuat pasien merasa senang dan mengurangi kecemasan akan penyakit yang dideritanya.

c. Kejujuran. Perawat harus menjalankan tugasnya dengan jujur, agar pasien yakin bahwa sikap perawat sepenuhnya dipengaruhi oleh minat pengabdian yang murni untuk kesejahteraan manusia.

d. Keriangan. Seorang perawat hendaknya dapat menghadapi dan menutupi kesulitan, kesedihan serta kekecewaanya tanpa memperlihat-kannya kepada orang lain.

e. Berjiwa suportif. Perawat harus memilik jiwa yang suportif dalam melaksanakan tugasnya, bila ada perawat lain yang lebih unggul maka perawat tersebut bersedia mengikuti perawatan yang lebih efektif.

f. Rendah hati. Perawat memiliki sifat rendah hati yaitu, memberikan kesan yang baik kepada orang lain melalui perbuatan dan tindakannya dengan mendengarkan cerita dan keluhan-keluhan pasien dengan baik.

g. Murah hati. Perawat juga harus memiliki sifat murah hati yaitu dapat memberikan pertolongan dan bantuan kepada pasien setiap waktu diperlukan.

(23)

h. Keramahan, Simpati dan Kerjasama. Perawat harus memiliki sikap yang ramah, simpati dan dapat bekerja sama dengan pasien untuk memperlancar komunikasi interpersonal (terapeutik) dalam upaya penyembuhan pasien.

i. Dapat dipercaya. Perawat dapat dipercaya dan mempercayai setiap perkataan maupum keluhan-keluhan yang diungkapkan pasien terhadap penyakit yang dideritanya.

j. Loyalitas. Seorang perawat harus memiliki sikap loyal terhadap teman kerjanya dan terutama kepada pasien agar tercipta saling percaya. Dengan saling percaya maka akan diperoleh hubungan interpersonal yang baik dalam peningkatan kesehatan.

k. Pandai bergaul. Perawat yang baik akan pandai bergaul dan dapat menempatkan dirinya pada saat menghadapi pasien, dengan menghormati, meghargai dan dapat menjadi seorang pendengar yang baik.

l. Pandai menimbang atau menjaga perasaan. Perawat harus dapat menjaga perasaan pasien dengan mempertimbangkan apa yang diucapkan dan diperbuatnya kepada pasien.

m. Memiliki jiwa humor. Perawat yang memiliki jiwa humor dapat mengurangi ketegangan pada pasien.

n. Bersikap sopan santun. Perawat yang memiliki sopan santun akan disenangi oleh teman seprofesi dan pasien.

(24)

Menurut Arwani (2010), peran perawat dalam menjalankan tugasnya sebagai perawat adalah :

a. Peran dalam terapeutik (interpersonal) : berperan sebagai kegiatan yang ditujukan langsung pada pencegahan, pengobatan penyakit dan proses penyembuhan.

b. Expressive/Mother substitute role, yaitu kegiatan yang bersifat langsung dalam menciptakan lingkungan dimana pasien merasa aman, dilindungi, dirawat, didukung dan diberi semangat/dorongan oleh perawat.

Menurut Jhonson dan Martin (2007), peran ini bertujuan untuk menghilangkan ketegangan dalam kelompok pelayanan seperti, dokter, tenaga perawat lain (tenaga kesehatan yang lain) dan pasien. Sedangkan menurut Schulmann (Ali, 2010), perawat berperan sebagai ibu bagi pasien (dianggap seperti hubungan ibu dan anak), yaitu:

a. Hubungan interpersonal ditandai dengan kelembutan hati, dan rasa kasih sayang,

b. Melindungi dari ancaman bahaya, c. Memberi rasa aman dan nyaman, d. Memberi dorongan untuk mandiri.

Peran perawat di atas memberikan gambaran bahwasanya perawat dengan pasien terdapat hubungan yang sangat erat, yaitu hubungan interpersonal seperti hubungan ibu dengan anaknya. Hubungan tersebut dapat diartikan sebagai hubungan perawat dan

(25)

pasien. Hubungan yang ditandai dengan adanya kelembutan hati, rasa kasih sayang yang diberikan kepada pasien dan keterbukaan, melindungi dari ancaman bahaya/ mengobati dari rasa sakit, memberikan rasa aman dan nyaman ketika menderita sakit sampai sembuh. Dan memberikan semangat untuk sembuh, dan setelah sembuh tetap memberikan semangat untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan. Perawat berperan penting dalam memberikan perhatian kepada pasien dalam segala hal yang mencakup kesehatan pasien. Jika obat fungsinya mengobati penyakit pasien, sedangkan perawat fungsinya memberikan semangat, dorongan untuk cepat sembuh, mengajak pasien bercerita dan bersenda gurau untuk menghibur dan meringankan beban (penyakit) yang diderita oleh pasien.

Keterampilan interpersonal seorang perawat meliputi seluruh tindakan kemanusian yang menghargai tubuh, fikiran dan jiwa orang lain, dalam hal melihat pasien dengan senyum dan keramah-tamahan, mendengarkan dengan empati keluhan pasien dan memberikan respon dengan perasaan kasihan. Seorang perawat yang professional tidak hanya dilihat dari keahlian atau keterampilannya dibidang medis, tetapi dilihat juga dari keterampilannya melakukan komunikasi interpersonal, seperti keramah-tamahan perawat dengan pasien, sering bertukar fikiran dengan pasien, memberikan semangat dan membangkitkan rasa percaya diri pasien, memberikan penghargaan yang positif kepada pasien, dan lain-lain yang dapat membuat pasien merasa senang, cepat sembuh dan

(26)

berusaha melakukan peningkatan kesehatan (Goodner, 2004). Selain memiliki peran, perawat juga memilik fungsi. Fungsi perawat adalah pekerjaan perawat yang harus dilaksanakan sesuai dengan peranannya sebagai perawat. Adapun fungsi perawat menurut Phaneuf (Ali, 2010), yaitu:

a. Melaksanakan instruksi yang diberikan oleh dokter.

b. Observasi gejala dan respon pasien yang berhubungan dengan penyakit dan penyebabnya.

c. Memantau pasien, menyusun dan memperbaiki rencana keperawatan secara terus-menerus berdasarkan pada kondisi pasien.

d. Supervisi semua pihak yang ikut terlibat dalam perawatan pasien. e. Mencatat dan melaporkan keadaan pasien.

f. Melaksanakan prosedur dan tehnik keperawatan.

g. Memberikan pengarahan dan penyuluhan untuk meningkatkan kesehatan fisik dan mental pasien.

Selain fungsi perawat di atas, menurut PK. St. Carolus (Ali, 2010), perawat memiliki tiga fungsi yaitu:

a. Fungsi Pokok

Fungsi pokoknya adalah membantu individu, keluarga dan masyarakat baik sehat maupun sakit dalam melaksanakan kegiatan yang menunjang kesehatan, penyembuhan atau menghadapi kematian yang pada hakekatnya dapat mereka laksanakan tanpa

(27)

bantuan apabila mereka memiliki kekuatan, kemauan dan pengetahuan.

b. Fungsi Tambahan

Fungsi tambahan yaitu membantu pasien/individu, keluarga, dan masyarakat dalam melaksanakan rencana pengobatan yang ditentukan oleh dokter.

c. Fungsi Kolaboratif

Fungsi kolaboratif yaitu sebagai anggota tim kesehatan, perawat bekerja dalam merencanakan dan melaksanakan program kesehatan yang mencakup pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, penyembuhan dan rehabilitasi.

2.1.1.4 Klasifikasi Pendidikan Perawat

Pendidikan keperawatan di Indonesia mengacu kepada UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jenis pendidikan keperawatan di Indonesia mencakup:

a. Pendidikan Vokasional, yaitu jenis pendidikan diploma sesuai dengan jenjangnya untuk memiliki keahlian ilmu terapan keperawatan yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia. b. Pendidikan Akademik; yaitu pendidikan tinggi program sarjana dan

pasca sarjana yang diarahkan terutama pada penguasaan disiplin ilmu pengetahuan tertentu.

(28)

c. Pendidikan Profesi, yaitu pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus.

Sedangkan jenjang pendidikan keperawatan mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis dan doktor. Sesuai dengan amanah UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 tersebut Organisasi Profesi yaitu Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) dan Asosiasi Pendidikan Ners Indonesia (AIPNI), bersama dukungan dari Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), telah menyusun dan memperbaharui kelengkapan sebagai suatu profesi.

Berdasarkan jenis, jenjang, gelar akademik dan level KKNI; Jenis Pendidikan Keperawatan Indonesia meliputi :

a. Pendidikan Vokasi; yaitu pendidikan yang diarahkan terutama pada kesiapan penerapan dan penguasaan keahlian keperawatan tertentu sebagai perawat

b. Pendidikan Akademik; yaitu pendidikan yang diarahkan terutama pada penguasaan dan pengembangan disiplin ilmu keperawatan yang mengcakup program sarjana, magister, doktor.

c. Pendidikan Profesi; yaitu pendidikan yang diarahkan untuk mencapai kompetensi profesi perawat.

Jenjang Pendidikan Tinggi Keperawatan Indonesia dan sebutan Gelar: a. Pendidikan jenjang Diploma Tiga keperawatan lulusannya

(29)

b. Pendidikan jenjang Ners (Nurse) yaitu (Sarjana+Profesi), lulusannya mendapat sebutan Ners(Nurse),sebutan gelarnya (Ns) c. Pendidikan jenjang Magister Keperawatan, Lulusannya mendapat

gelar (M.Kep)

d. Pendidikan jenjang Spesialis Keperawatan, terdiri dari:

1) Spesialis Keperawatan Medikal Bedah, lulusannya (Sp.KMB) 2) Spesialis Keperawatan Maternitas, Lulusannya (Sp.Kep.Mat) 3) Spesialis Keperawatan Komunitas, Lulusannya (Sp.Kep.Kom) 4) Spesialis Keperawatan Anak, Lulusannya (Sp.Kep.Anak) 5) Spesialis Keperawatan Jiwa, Lulusannya (Sp.Kep.Jiwa)

6) Pendidikan jenjang Doktor Keperawatan, Lulusannya (Dr.Kep) 2.1.1.5 Konsep Utama Keperawatan

Terdapat lima konsep utama keperawatan yaitu (Suwignyo, 2007) :

a. Tanggung jawab perawat

Tanggung jawab perawat yaitu membantu apapun yang pasien butuhkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut (misalnya kenyamanan fisik dan rasa aman ketika dalam medapatkan pengobatan atau dalam pemantauan. Perawat harus mengetahui kebutuhan pasien untuk membantu memenuhinya. Perawat harus mengetahui benar peran profesionalnya, aktivitas perawat profesional yaitu tindakan yang dilakukan perawat secara bebas dan bertanggung jawab guna mencapai tujuan dalam membantu pasien.

(30)

Ada beberapa aktivitas spontan dan rutin yang bukan aktivitas profesional perawat yang dapat dilakukan oleh perawat, sebaiknya hal ini dikurangi agar perawat lebih terfokus pada aktivitas-aktivitas yang benar-benar menjadi kewenangannya.

b. Mengenal perilaku pasien

Mengenal perilaku pasien yaitu dengan mengobservasi apa yang dikatakan pasien maupun perilaku nonverbal yang ditunjukan pasien.

c. Reaksi segera

Reaksi segera meliputi persepsi, ide dan perasaan perawat dan pasien. Reaksi segera adalah respon segera atau respon internal dari perawat dan persepsi individu pasien berfikir dan merasakan. d. Disiplin proses keperawatan

Menurut George dalam Suwignyo (2007) mengartikan disiplin proses keperawatan sebagai interaksi total (totally interactive) yang dilakukan tahap demi tahap, apa yang terjadi antara perawat dan pasien dalam hubungan tertentu, perilaku pasien, reaksi perawat terhadap perilaku tersebut dan tindakan yang harus dilakukan, mengidentifikasi kebutuhan pasien untuk membantunya serta untuk melakukan tidakan yang tepat.

e. Kemajuan/peningkatan

Peningkatan berarti tumbuh lebih, pasien menjadi lebih berguna dan produktif.

(31)

2.1.1.6 Perawat Profesional

Kelompok kerja Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia di tahun 2001 merumuskan kompetensi yang harus dicapai oleh perawat profesional adalah sebagai berikut (Nurachmah, 2007): a. Menunjukkan landasan pengetahuan yang memadai untuk praktek

yang aman.

b. Berfungsi sesuai dengan peraturan / undang – undang ketentuan lain yang mempengaruhi praktek keperawatan.

c. Memelihara lingkungan fisik dan psichososial untuk meningkatkan keamanan, kenyamanan dan kesehatan yang optimal.

d. Mengenal kemampuan diri sendiri dan tingkat kompetensi profesional.

e. Melaksanakan pengkajian keperawatan secara komprehensif dan akurat pada individu dan kelompok di berbagai tatanan.

f. Merumuskan kewenangan keperawatan melalui konsultasi dengan individu/kelompok dengan memperhitungkan regiman therapeutic anggota lainnya dari tim kesehatan.

g. Melaksanakan asuhan yang direncanakan.

h. Mengevaluasi perkembangan terhadap hasil yang diharapkan dan meninjau kembali sesuai data evaluasi

i. Bertindak untuk meningkatkan martabat dan integritas individu dan kelompok

(32)

k. Membantu individu atau kelompok membuat keputusan berdasarkan informasi yang dimiliki

2.1.2 Efektifitas 2.1.2.1Pengertian

Efektifitas adalah tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan atau sasaran. Efektifitas ini sesungguhnya merupakan suatu konsep yang lebih luas mencakup berbagai factor didalam maupun diluar diri seorang, oleh karena itu efektivitas tidak hanya dapat dilihat dari sisi produktivitas, tetapi juga dapat dilihat dari sisi persepsi atau sikap individu (Roymond, 2008). Efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasaran dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankannya. Efektifitas menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan, jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektifitasnya (Siagian, 2005). Pengertian-pengertian efektifitas tersebut dapat disimpulkan bahwa efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kualitas, kuantitas dan waktu ) yang telah dicapai oleh manajemen, yang mana targetnya tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu.

Model praktik keperawatan profesional (MPKP) yaitu suatu sistem (struktur, proses dan nilai-nilai profesional), yang memfasilitasi perawat profesional, mengatur pemberian asuhan keperawatan, termasuk lingkungan tempat asuhan tersebut diberikan (Ratna Sitorus & Yuli,

(33)

2006). Model praktik keperawatan profesional (MPKP) adalah suatu sistem (struktur, proses dan nilai-nilai profesional), yang memfasilitasi perawat profesional, mengatur pemberian asuhan keperawatan, termasuk lingkungan tempat asuhan tersebut diberikan. Aspek struktur ditetapkan jumlah tenaga keperawatan berdasarkan jumlah klien sesuai dengan derajat ketergantungan klien. Penetapan jumlah perawat sesuai kebutuhan klien menjadi hal penting, karena bila jumlah perawat tidak sesuai dengan jumlah tenaga yang dibutuhkan, tidak ada waktu bagi perawat untuk melakukan tindakan keperawatan (Nursalam, 2008).

2.1.2.2Tujuan MPKP

Tujuan penerapan MPKP menjadi salah satu daya ungkit pelayanan yang berkualitas. Metode ini sangat menekankan kualitas kinerja tenaga keperawatan yang berfokus pada profesionalisme keperawatan antara lain melalui penerapan standar asuhan keperawatan. Standar Asuhan Keperawatan merupakan pernyataan kualitas yang diinginkan dan dapat dinilai pemberian asuhan keperawatan terhadap klien. Menjamin efektifitas asuhan keperawatan pada klien, harus tersedia kreteria dalam area praktek yang mengarahkan keperawatan mengambil keputusan dan melakukan intervensi keperawatan secara aman. Adanya standar asuhan keperawatan dimungkinkan dapat memberikan kejelasan dan pedoman untuk mengidenfikasi ukuran dan penilaian akhir. Standar asuhan keperawatan dapat meningkatkan dan memfasilitasi perbaikan dan pencapaian kualitas asuhan keperawatan.

(34)

Tujuan dari MPKP adalah :

a. Menjaga konsistensi asuhan keperawatan

b. Mengurangi konflik, tumpang tindih dan kekosongan pelaksanaan asuhan keperawatan oleh tim keperawatan.

c. Menciptakan kemandirian dalam memberikan asuhan keperawatan. d. Memberikan pedoman dalam menentukan kebijakan dan keputusan/ e. Menjelaskan dengan tegas ruang lingkup dan tujuan asuhan

keperawatan bagi setiap tim keperawatan.

2.1.2.3Metode Penugasan MPKP dalam Keperawatan a. Metode Kasus

Metode kasus merupakan metode pemberian asuhan yang pertama kali digunakan. Sampai perang dunia II metode tersebut merupakan metode pemberian asuhan keperawatan yang paling banyak digunakan. Pada metode ini satu perawat akan memberikan asuhan keperawatan kepada seorang klien secara total dalam satu periode dinas. Jumlah klien yang dirawat oleh satu perawat bergantung pada kemampuan perawat tersebut dan kompleksnya kebutuhan klien. (Sitorus, 2006). Era perang dunia II, jumlah pendidikan keperawatan dari berbagai jenis program meningkat dan banyak lulusan bekerja di rumah sakit. Agar pemanfaatan tenaga yang bervariasi tersebut dapat maksimal dan juga tuntutan peran yang diharapkan dari perawat sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran, kemudian dikembangkan metode fungsional. (Sitorus, 2006).

(35)

b. Metode Fungsional

Pada metode fungsional, pemberian asuhan keperawatan ditekankan pada penyelesaian tugas atau prosedur. Setiap perawat diberi satu atau beberapa tugas untuk dilaksanakan kepada semua klien di satu ruangan. (Sitorus, 2006). Pada metode ini, kepala ruang menentukan tugas setiap perawat dalam satu ruangan. Perawat akan melaporkan tugas yang dikerjakannya kepada kepala ruangan dan kepala ruangan tersebut bertanggung jawab dalam pembuatan laporan klien. Metode fungsional mungkin efisien dalam menyelesaikan tugas-tugas apabila jumlah perawat sedikit, tetapi klien tidak mendapatkan kepuasan asuhan yang diterimanya. (Sitorus, 2006). Metode ini kurang efektif karena :

1) Proritas utama yang dikerjakan adalah kebutuhan fisik dan kurang menekankan pada pemenuhan kebutuhan holistik

2) Mutu asuhan keperawatan sering terabaikan karena pemberian asuhan keperawatan terfragmentasi

3) Komunikasi antar perawat sangat terbatas sehingga tidak ada satu perawat yang mengetahui tentang satu klien secara komprehensif, kecuali mungkin kepala ruangan.

4) Keterbatasan itu sering menyebabkan klien merasa kurang puas terhadap pelayanan atau asuhan yang diberikan karena seringkali klien tidak mendapat jawaban yang tepat tentang hal-hal yang ditanyakan.

(36)

5) Klien kurang merasakan adanya hubungan saling percaya dengan perawat.

Selama beberapa tahun menggunakan metode fungsional beberapa perawat pemimpin (nurse leader) mulai mempertanyakan keefektifan metode tersebut dalam memberikan asuhan keperawatan profesional kemudian pada tahun 1950 metode tim digunakan untuk menjawab hal tersebut. (Sitorus, 2006).

c. Metode tim

Metode tim merupakan metode pemberian asuhan keperawatan, yaitu seorang perawat profesional memimpin sekelompok tenaga keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada sekelompok klien melalui upaya kooperatif dan kolaboratif (Douglas, 2009). Metode tim didasarkan pada keyakinan bahwa setiap anggota kelompok mempunyai kontribusi dalam merencanakan dan memberikan asuhan keperawatan sehingga menimbulkan rasa tanggung jawab yang tinggi. (Sitorus, 2006). Pelaksanaan metode tim berlandaskan konsep berikut (Sitorus, 2006) : 1) Ketua tim, sebagai perawat profesional harus mampu menggunakan berbagai teknik kepemimpinan. Ketua tim harus dapat membuat keputusan tentang prioritas perencanaan, supervisi, dan evaluasi asuhan keperawatan. Tanggung jawab ketua tim adalah :

(37)

b) Mengkoordinasikan renpra dengan tindakan medis

c) Membagi tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota kelompok dan memberikan bimbingan melalui konferensi d) Mengevaluasi pemberian askep dan hasil yang dicapai serta

mendokumentasikannya

2) Komunikasi yang efektif penting agar kontinuitas renpra terjamin. Komunikasi yang terbuka dapat dilakukan melalui berbagai cara, terutama melalui renpra tertulis yang merupakan pedoman pelaksanaan asuhan, supervisi, dan evaluasi.

3) Anggota tim harus menghargai kepemimpinan ketua tim.

4) Peran kepala ruangan penting dalam metode tim. Metode tim akan berhasil baik apabila didukung oleh kepala ruang untuk itu kepala ruang diharapkan telah :

a) Menetapkan standar kinerja yang diharapkan dari staf b) Membantu staf menetapkan sasaran dari unit/ruangan

c) Memberi kesempatan pada ketua tim untuk pengembangan kepemimpinan

d) Mengorientasikan tenaga yang baru tentang fungsi metode tim keperawatan

e) Menjadi narasumber bagi ketua tim

f) Mendorong staf untuk meningkatkan kemampuan melalui riset keperawatan

(38)

Hasil penelitian Lambertson dalam Douglas (2009) menunjukkan bahwa metode tim jika dilakukan dengan benar adalah metode pemberian asuhan yang tepat untuk meningkatkan kemanfaatan tenaga keperawatan yang bervariasi kemampuannya. Kekurangan metode ini, kesinambungan asuhan keperawatan belum optimal sehingga pakar menge mbangkan metode keperawatan primer (Sitorus, 2006).

d. Metode perawatan primer

Menurrut Gillies (2008), keperawatan primer merupakan suatu metode pemberian asuhan keperawatan, dimana terdapat hubungan yang dekat dan berkesinambungan antara klien dan seorang perawat tertentu yang bertanggungjawab dalam perencanaan, pemberian, dan koordinasi asuha keperawatan klien, selama klien dirawat. Pada metode keperawatan primer perawat yang bertanggung jawab terhadap pemberian asuhan keperawatan disebut perawat primer (primary nurse) disingkat dengan PP.

Metode keperawatan primer dikenal dengan ciri yaitu akuntabilitas, otonomi, otoritas, advokasi, ketegasan, dan 5K yaitu kontinuitas, komunikasi, kolaborasi, koordinasi, dan komitmen. Setiap PP biasanya merawat 4 sampai 6 klien dan bertanggungjawab selama 24 jam selama klien tersebut dirawat dirumah sakit atau di suatu unit. Perawat akan melakukan wawancara mengkaji secara komprehensif, dan merencanakan asuhan keperawatan. Perawat yang

(39)

peling mengetahui keadaaan klien. Apabila PP tidak sedang bertugas, kelanjutan asuhan akan di delegasikan kepada perawat lain (associated nurse). PP bertanggungjawab terhadap asuhan keperawatan klien dan menginformasikan keadaan klien kepada kepala ruangan, dokter, dan staff keperawatan (Sitorus, 2006).

Seorang PP bukan hanya mempunyai kewenangan untuk memberikan asuhan keperawatan, tetapi juga mempunyai kewengangan untuk melakukan rujukan kepada pekerja sosial, kontrak dengan lembaga sosial di masyarakat, membuat jadwal perjanjian klinik, mengadakan kunjungan rumah dan lain-lain. Diberikannya kewenangan, dituntut akuntabilitas perawat yang tinggi terhadap hasil pelayanan yang diberikan. Metode keperawatan primer memberikan beberapa keuntungan terhadap klien, perawat, dokter, dan rumah sakit (Gillies, 2008).

Keuntungan yang dirasakan klien ialah mereka merasa lebih dihargai sebagai manusia karena terpenuhi kebutuhannya secara individu, asuhan keperawatan yang bermutu tinggi dan tercapainya layanan yang efektif terhadap pengobatan, dukungan, proteksi, informasi, dan advokasi. Metode itu dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan karena (Sitorus, 2006) :

1) Hanya ada 1 perawat yang bertanggung jawab dalam perencanaan dan koordinasi asuhan keperawatan

(40)

3) PP bertanggung jawab selama 24 jam

4) Rencana pulang klien dapat diberikan lebih awal

5) Rencana asuhan keperawatan dan rencana medik dapat berjalan paralel.

Keuntungan yang dirasakan oleh PP adalah memungkinkan bagi PP untuk pengembangan diri melalui implementasi ilmu pengetahuan. Hal ini dimungkinkan karena adanya otonomi dalam membuat keputusan tentang asuhan keperawatan klien. Staf medis juga merasakan kepuasannya dengan metode ini karena senantiasa mendapat informasi tentang kondisi klien yang mutakhir dan komprehensif (Sitorus, 2006).

Informasi dapat diperoleh dari satu perawat yang benar-benar mengetahui keadaan klien. Keuntungan yang diperoleh oleh rumah sakit adalah rumah sakit tidak harus memperkerjakan terlalu banyak tenaga keperawatan, tetapi harus merupakan perawat yang bermutu tinggi. Huber (2006) menjelaskan bahwa pada keperawatan primer dengan asuhan berfoukus pada kebutuhan klien, terdapat otonomi perawat dan kesinambungan asuhan yang tinggi.

e. Differentiated practice

National League for Nursing (NLN) dalam Kozier et al (2005) menjelaskan baha differentiated practice adalah suatu pendekatan yang bertujuan menjamin mutu asuhan melalui pemanfaatan sumber-sumber keperawatan yang tepat. Terdapat dua model yaitu model kompetensi dan model pendidikan. Pada model kompetensi, perawat

(41)

terdaftar (registered nurse) diberi tugas berdasarkan tanggung jawab dan struktur peran yang sesuai dengan kemampuannya. Pada model pendidikan, penetapan tugas keperawatan didasarkan pada tingkat pendidikan. Bedasarkan pendidikan, perawat akan ditetapkan apa yang menjadi tnggung jawab setiap perawat dan bagaimana hubungan antar tenaga tersebut diatur.

f. Manajemen kasus

Manajemen kasus merupakan system pemberian asuhan kesehatan secara multi disiplin yang bertujuan meningkatkan pemanfaatan fungsi berbagai anggota tim kesehatan dan sumber-sumber yang ada sehingga dapat dicapai hasil akhir asuhan kesehatan yang optimal. ANA dalam Marquis dan Hutson (2006) mengatakan bahwa manajemen kasus merupakan proses pemberian asuhan kesehatan yang bertujuan mengurangi fragmentasi, meningkatkan kualitas hidup, dan efisiensi pembiayaan. Focus pertama manajemen kasus adalah integrasi, koordinasi dan advokasi klien, keluarga serta masyarakat yang memerlukan pelayanan yang ektensif. Metode manajemen kasus meliputi beberapa elemen utama yaitu, pendekatan berfokus pada klien, koordinasi asuhan dan pelayanan antar institusi, berorientasi pada hasil, efisiensi sumber dan kolaborasi (Sitorus, 2006). RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri memberlakukan MPKP model tim sejak tahun 2010 sampai sekarang, hal ini sesuai Keputusan Direktur No. 81 tahun 2010.

(42)

2.1.2.4Komponen MPKP

Berdasarkan MPKP yang sudah dikembangkan diberbagai rumah sakit Hoffart dan Woods menyimpulkan bahwa MPKP terdiri dari lima komponen, yaitu: (Sitorus, 2006)

a. Nilai-nilai profesional

Nilai-nilai profesional menjadi komponen utama pada suatu praktik keperawatan profesional. Nilai-nilai profesional ini merupakan inti dari MPKP. Nilai-nilai seperti penghargaan atas otonomi klien, menghargai klien, dan melakukan yang terbaik untuk klien harus tetap ditingkatkan dalam suatu proses keperawatan.

b. Pendekatan manajemen

Dalam melakukan asuhan keperawatan adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, yang bilamana ingin memenuhi kebutuhan dasar tersebut seorang perawat harus melakukan pendekatan penyelesaian masalah, sehingga dapat diidentifikasi masalah klien, dan nantinya dapat diterapkan terapi keperawatan yang tepat untuk masalah klien.

c. Metode pemberian asuhan keperawatan

Perkembangan keperawatan menuju layanan yang profesional, digunakan beberapa metode pemberian asuhan keperawatan, misalnya metode kasus, fungsional, tim, dan keperawatan primer, serta manajemen kasus. Praktik keperawatan profesional, metode yang paling memungkinkan pemberian asuhan keperawatan profesional adalah metode yang menggunakan the breath of keperawatan primer.

(43)

d. Hubungan profesional

Pemberian asuhan kesehatan kepada klien diberikan oleh beberapa anggota tim kesehatan, namun fokus pemberian asuhan kesehatan adalah klien. Karena banyaknya anggota tim kesehatan yang terlibat, maka perlu kesepakatan tentang cara melakukan hubungan kolaborasi tersebut.

e. Sistem kompensasi dan penghargaan

Suatu layanan profesional, seorang profesional mempunyai hak atas kompensasi dan penghargaan. Pada suatu profesi, kompensasi yang didapat merupakan imbalan dan kewajiban profesi yang terlebih dahulu dipenuhi. Kompensasi dan penghargaan yang diberikan pada MPKP dapat disepakati di setiap institusi dengan mengacu pada kesepakatan bahwa layanan keperawatan adalah pelayanan profesional.

2.1.2.5Karakteristik MPKP

Karakteristik MPKP menurut Sitorus (2006) adalah :

a. Penetapan jumlah tenaga keperawatan. Penetapan jumlah tenaga keperawatan berdasarkan jumlah klien sesuai dengan derajat ketergantungan klien.

b. Penetapan jenis tenaga keperawatan. Pada suatu ruang rawat MPKP, terdapat beberapa jenis tenaga yang memberikan asuhan keperawatan yaitu Clinical Care Manager (CCM), Perawat Primer (PP), dan Perawat Asosiet (PA). Di samping jenis tenaga tersebut terdapat juga seorang kepala ruang rawat yang bertanggung jawab terhadap manajemen pelayanan keperawatan di ruang rawat tersebut. Peran dan

(44)

fungsi masing-masing tenaga sesuai dengan kemampuannya dan terdapat tanggungjawab yang jelas dalam sistem pemberian asuhan keperawatan.

c. Penetapan standar rencana asuhan keperawatan (renpra). Standar renpra perlu ditetapkan, karena berdasarkan hasil obsevasi, penulisan renpra sangat menyita waktu karena fenomena keperawatan mencakup 14 kebutuhan dasar manusia (Potter & Perry, 2007).

d. Penggunaan metode modifikasi keperwatan primer. Pada MPKP digunakan metode modifikasi keperawatn primer, sehingga terdapat satu orang perawat profesional yang disebut perawat primer yang bertanggung jawab dan bertanggung gugat atas asuhan keperawatan yang diberikan. Disamping itu, terdapat Clinical Care Manager (CCM) yang mengarahkan dan membimbing PP dalam memberikan asuhan keperawatan. CCM diharapkan akan menjadi peran ners spesialis pada masa yang akan datang.

2.1.2.6Langkah-langkah dalam MPKP

Langkah-langkah dalam MPKP menurut Sitorus (2006) adalah : a. Tahap Persiapan

Pada tahap persiapan penerapan MPKP ini ada beberapa hal yang harus dilakukan, yaitu (Sitorus, 2006).:

1) Pembentukan Tim

MPKP apabila akan diimplementasikan di rumah sakit yang digunakan sebagai tempat proses belajar bagi mahasiswa keperawatan, sebaiknya kelompok kerja ini melibatkan staf dari

(45)

institusi yang berkaitan, sehingga kegiatan ini merupakan kegiatan kolaborasi antara pelayanan/rumah saklit dan institusi pendidikan. Tim ini bisa terdiri dari seorang koordinator departemen, seorang penyelia, dan kepala ruang rawat serta tenaga dari institusi pendidikan. (Sitorus, 2006).

2) Rancangan Penilaian Mutu

Penilaian mutu asuhan keperawatan meliputi kepuasan klien/keluarga kepatuhan perawat terhadap standar yang diniali dari dokumentasi keperawatan, lama hari rawat dan angka infeksi noksomial. (Sitorus, 2006).

3) Presentasi MPKP

Langkah selanjutnya adalah dilakukan presentasi tentang MPKP dan hasil penilaian mutu asuhan kepada pimpinan rumah sakit, departemen,staf keperawtan, dan staf lain yang terlibat. Pada presentasi ini juga, sudah dapat ditetapkan ruang rawat tempat implementasi MPKP akan dilaksanakan. (Sitorus, 2006).

4) Penempatan Tempat Implementasi MPKP

Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penempatan tempat implementasi MPKP, antara lain (Sitorus, 2006) :

a) Mayoritas tenaga perawat merupakan staf baru di ruang tersebut. Hal ini diperlukan sehingga dari awal tenaga perawat tersebut akan mendapat pembinaan tentang kerangka kerja MPKP

(46)

b) Bila terdapat ruang rawat, sebaiknya ruang rawat tersebut terdiri dari 1 swasta dan 1 ruang rawat yang nantinya akan dikembangkan sebagai pusat pelatihan bagi perawat dari ruang rawat lain.

5) Penetapan Tenaga Keperawatan

Pada MPKP, jumlah tenaga keperawatan di suatu ruang rawat ditetapkan dari klasifikasi klien berdasarkan derajat ketergantungan. Menetapkan jumlah tenaga keperawtan di suatu ruangrawat didahului dengan menghitung jumlah klien derdasarkan derajat ketergantungan dalam waktu tertentu, minimal selama 7 hari berturut-turut (Sitorus, 2006).

6) Penetapan Jenis Tenaga

Pada MPKP metode pemberian asuhan keperawatan yang digunakan adalah metode modifikasi keperawatan primer, dengan demikian dalam suatu ruang rawat terdapat beberapa jenis tenaga, meliputi (Sitorus, 2006):

a) Kepala ruang rawat b) Clinical care manager c) Perawat primer

d) Perawat asosiet

7) Pengembangan Standar rencana asuhan Keperawatan

Pengembangan standar renpra bertujuan untuk mengurangi waktu perawat menulis, sehingga waktu yang tersedia lebih

(47)

banyak dilakukan untuk melakukan tindakan sesuai kebutuhan klien. Adanya standar renpra menunjukan asuhan keperawtan yang diberikan berdasarkan konsep dan teori keperwatan yang kukuh, yang merupakan salah satu karakteristik pelayanan professional. Format standar renpra yang digunakan biasanya terdiri dari bagian-bagian tindakan keperawatan: diagnose keperawatan dan data penunjang, tujuan, tindakan keperawatan dan kolom keterangan. (Sitorus, 2006).

8) Penetapan Format Dokumentasi Keperawatan

Di samping standar renpra, format dokumentasi keperawatan lain yang diperlukan adalah (Sitorus, 2006) :

a) Format pengkajian awal keperawatan b) Format implementasi tindakan keperawatan c) Format kardex

d) Format catatan perkembangan

e) Format daftar infuse termasuk instruksi atau pesanan dokter f) Format laporan pergantian shif

g) Resume perawatan 9) Identifikasi Fasilitas

Fasilitas minimal yang dibutuhkan pada suatu ruang MPKP sama dengan fasilitas yang dibutuhkan pada suatu ruang rawat. Adapun fasilitas tambahan yang di perlukan adalah (Sitorus, 2006) : a) Badge atau kartu nama tim

(48)

Badge atau kartu nama tim merupakan kartu identitas tim yang berisi nama PP dan PA dalam tim tersebut. Kartu ini digunakan pertama kali sat melakukan kontrak dengan klien/keluarga.

b) Papan MPKP

Papan MPKP berisi darfat nama-nama klien, PP, PA, dan timnya serta dokter yang merawat klien.

b. Tahap Pelaksanaan

Pada tahap pelaksanaan MPKP dilakukan langkah-langkah berikut ini :

1) Pelatihan tentang MPKP

Pelatihan MPKP diberikan kepada semua perawat yang terlibat di ruang yang sudah ditentukan.

2) Memberi bimbingan kepada perawat primer (PP) dalam melakukan konferensi.

Konferensi merupakan pertemuan tim yang dilakukan setiap hari. Konferensi dilakukan setelah melaukan operan dinas, sore atau malam sesuai dengan jadwal dinas PP. Konferensi sebaiknya dilakukan di tempat tersendiri sehingga dapat mengurangi gangguan dari luar.

3) Memberi bimbingan kepada perawat primer (PP) dalam melakukan ronde dengan porawat asosiet (PA).

(49)

Ronde keperawatan bersama dengan PA sebaiknya juga dilakukan setiap hari. Ronde ini penting selain untuk supervisi kegiatan PA, juga sarana bagi PP untuk memperoleh tambahan data tentang kondisi klien.

4) Memberi bimbingan kepada PP dalam memanfaatkan standar renpra.

Standar renpra merupakan acuan bagi tim dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Semua masalah dan tindakan yang direncenakan mengacu pada standar tersebut.

5) Memberi bimbingan kepada PP dalam membuat kontrak/orientasi dengan klien/keluarga.

Kontrak antara perawat dan klien/keuarga merupakan kesepakatan antara perawat dan klien/keluarganya dalam pemberian asuhan keperawatan. Kontrak ini diperlukan agar hubungan saling percaya antara perawat dan klien dapat terbina. Kontrak diawali dengan pemberian orientasibagi klien dan keluarganya.

6) Memberi bimbingan kepada PP dalam melakukan presentasi kasus dalam tim.

PP secara teratur diharapkan dapat mempresentasikan kasus-kasus klien yang dirawatnya, melalui kasus ini PP dan PA dapat lebih mempelajari kasus yang ditanganinya secara mendalam.

7) Memberi bimbingan kepada Critical Care Manager (CCM) dalam membimbing PP dan PA.

(50)

Bimbingan CCM terhadap PP dan PA dalam melakukan implementasi MPKP dilakukan melalui supervisi secara berkala. Agar terdapat kesinambungan bimbingan, diperlukan buku komunikasi CCM yang menjadi sangat diperlukan karena CCM terdiri dari beberapa orang yaitu anggota tim/panitia yang diatur gilirannya untuk memberikan bimbingan kepada PP dan PA. Apabila sudah ada CCM tertentu untuk setiap ruangan, buku komunikasi CCM tidak diperlukan lagi. (Sitorus, 2006).

8) Memberi bimbingan kepada tim tentang dokumentasi keperawatan.

Dokumentasi keperawatan menjadi bukti tanggung jawab perawat kepada klien, oleh karena itu pengisisan dokumentasi secara tepat menjadi penting.

c. Tahap Evaluasi

Evaluasi proses dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen evaluasi MPKP oleh CCM. Evaluasi prses dilakukan oleh CCM dua kali dalam seminggu. Evaluasi ini bertujuan untuk mengidentifikasi secara dini maslah-masalah yang ditemukan dan dapat segera diberi umpan balik atau bimbingan. Evluasi hasil (outcome) dapat dilakukan dengan (Sitorus, 2006) :

1) Memberika instrumen evaluasi kepuasan klien/keluarga untuk setiap klien pulang.

(51)

2) Mengevaluasi kepatuhan perawat terhadap standar yang dinilai berdasarkan dokumentasi.

3) Penilaian infeksi nosokomial (biasanya ditetapkan per ruang rawat).

4) Penilaian rata-rata lama hari rawat. e. Tahap Lanjut

MPKP merupakan penataan struktur dan proses (sistem) pemberian asuhan keperawatan. Implementasi MPKP dapat memberikan dampak yang lebih optimal, perlu disertai dengan implementasi substansi keilmuan keperawatan. Pada ruang MPKP diuji coba ilmu dan teknologi keperawatan karena sudah ada sistem yang tepat untuk menerapkannya.

1) MPKP pemula ditingkatkan menjadi MPKP tingkat I. Pada tingkat ini, PP pemula diberi kesempatan meningkatkan pendidikan sehingga mempunyai kemampuan sebagai SKp/Ners, setelah mendapatkan pendidikan tambahan tersebut berperan sebagai PP (bukan PP pemula). (Sitorus, 2006).

2) MPKP tingkat I ditingkatkan menjadi MPKP tingkat II. Pada MPKP tingkat I, PP adalah SKp/Ners. Agar PP dapat memberikan asuhan keperawatan berdasarkan ilmu dan teknologi mutakhir, diperlukan kemampuan seorang Ners sepeialis yang akan berperan sebagai CCM, oleh karena itu kemampuan perawat SKp/ Ners ditingkatkan menjadi ners spesialis.

(52)

3) MPKP tingkat II ditingkatkan menjadi MPKP tingkat III. Pada tingkat ini perawat denga kemampuan sebagai ners spesialis ditingkatkan menjadi doktor keperawatan. Perawat diharapkan lebih banyak melakukan penelitian keperawatan eksperimen yang dapat meningkatkan asuhan keperwatan sekaligus mengembangkan ilmu keperawatan.

2.1.2.7Tingkatan MPKP

Tingkatan MPKP menurut Sudarsono (2010), berdasarkan pengalaman mengembangkan model PKP dan masukan dari berbagai pihak perlu dipikirkan untuk mengembangkan suatu model PKP yang disebut Model Praktek Keperawatan Profesional Pemula (PKPP). Ada beberapa jenis model PKP yaitu:

a. Model Praktek Keperawatan Profesional III Melalui pengembangan model PKP III dapat berikan asuhan keperawatan profesional tingkat III. Pada ketenagaan terdapat tenaga perawat dengan kemampuan doktor dalam keperawatan klinik yang berfungsi untuk melakukan riset dan membimbing para perawat melakukan riset sera memanfaatkan hasil-hasil riset dalam memberikan asuhan keperawatan.

b. Model Praktek Keperawatan Profesional II. Pada model ini akan mampu memberikan asuhan keperawatan profesional tingkat II. Pada ketenagaan terdapat tenaga perawat dengan kemampuan spesialis keperawatan yang spesifik untuk cabang ilmu tertentu. Perawat

(53)

spesialis berfungsi untuk memberikan konsultasi tentang asuhan keperawatan kepada perawat primer pada area spesialisnya, kemudian melakukan riset dan memanfaatkan hasil-hasil riset dalam memberikan asuhan keperawatan. Jumlah perawat spesialis direncanakan satu orang untuk 10 perawat primer pada area spesialisnya. Di samping hal tersebut kemudian melakukan riset dan memanfaatkan hasil-hasil riset dalam memberikan asuhan keperawatan. Jumlah perawat spesialis direncanakan satu orang untuk 10 perawat primer (1:10).

c. Model Praktek Keperawatan Profesional I. Pada model ini perawat mampu memberikan asuhan keperawatan profesional tingkat I dan untuk itu diperlukan penataan 3 komponen utama yaitu: ketenagaan keperawatan, metode pemberian asuhan keperawatan yang digunakan pada model ini adalah kombinasi metode keperawatan primer dan metode tim disebut tim primer.

d. Model Praktek Keperawatan Profesional Pemula Model Praktek Keperawatan Profesional Pemula (MPKPP) merupakan tahap awal untuk menuju model PKP. Model ini mampu memberikan asuhan keperawatan profesional tingkat pemula. Pada model ini terdapat 3 komponen utama yaitu: ketenagaan keperawatan, metode pemberian asuhan keperawatan dan dokumentasi asuhan keperawatan.

(54)

2.1.2.8Pilar-pilar MPKP

a. Pilar 1: Pendekatan manajemen keperawatan Terdiri dari :

(1) Perencanaan dengan kegiatan perencanaan yang dipakai di ruang MPKP meliputi ( perumusan visi, misi, filosofi, kebijakan dan rencana jangka pendek, harian, bulanan dan tahunan).

(2) Pengorganisasian dengan menyusun struktur organisasi, jadwal dinas, dan daftar alokasi pasien.

(3) Pengarahan

Terdapat kegiatan delegasi, supervisi, menciptakan iklim motivasi, manajemen waktu, komunikasi efektif yang mencakup pre dan post conference, dan manajemen konflik.

b. Pilar 2: Sistem penghargaan

Manajemen sumber daya manusia diruang MPKP berfokus pada proses rekruitmen, seleksi kerja orientasi, penilaian kerja, staf perawat. Proses ini selalu dilakukan sebelum membuka ruang MPKP dan setiap ada penambahan perawatan baru.

c. Pilar 3: Hubungan profesional

Hubungan profesional dalam pemberian pelayanan keperawatan (tim kesehatan) dalam penerimaan pelayanan keperawatan (klien dan keluarga). Pada pelaksanaannya hubungan profesional secara internal artinya hubungan yang terjadi antara pembentuk pelayanan kesehatan misalnya perawat dengan perawat, perawat dengan tim kesehatan lain,

(55)

adapun hubungan profesional secara eksternal adalah hubungan antara pemberi dan penerima pelayanan kesehatan.

d. Pilar 4: Manajemen asuhan keperawatan

Manajemen asuhan keperawatan yang diterapkan di MPKP adalah asuhan keperawatan dengan menerapkan proses keperawatan.

Efektifitas Model Praktek Keperawatan Profesional (MPKP) menurut Solihati (2012) dapat diketahui dengan :

1) Efektif, jika memiliki ≥ Mean 2) Tidak Efektif, jika memiliki < Mean.

2.1.3 Etos Kerja

2.1.3.1 Pengertian Etos Kerja

Menurut Tasmara (2007), bahwa etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta caranya mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna ada sesuatu, yang mendorong diri manusia untuk bertindak dan meraih amal yang optimal. Damayanti (2008) secara lebih khusus dapat mengartikan bahwa etos kerja itu sebagai usaha komersial yang menjadi suatu keharusan demi hidup, atau sesuatu yang imperatif dari diri, maupun sesuatu yang terkait pada identitas diri yang telak bersifat sakral. Identitas diri yang terkandung di dalam hal ini, adalah sesuatu yang telah diberikan oleh tuntutan religius, kepercayaan yang telah diyakini dalam kehidupan seseorang.

Jansen (2007), menyatakan etos kerja profesional adalah seperangkat perilaku kerja positif yang berakar pada kesadaran yang

(56)

kental, keyakinan yang fundamental, disertai komitmen yang total pada paradigma kerja yang integral. Menurut Max Weber (1998) dalam Jansen (2007), pakar manajemen, etos kerja diartikan sebagai perilaku kerja yang etis yang menjadi kebiasaan kerja yang berporoskan etika. Kata lain yang lebih sederhana, etos kerja yaitu semua kebiasaan baik yang berlandaskan etika yang harus dilakukan di tempat kerja, seperti disiplin, jujur, tanggung jawab, tekun, sabar, berwawasan, kreatif, bersemangat, mampu bekerja sama, sadar lingkungan, loyal, berdedikasi, bersikap santun, dan sebagainya. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa etos kerja adalah seperangkat perilaku kerja yang etis yang lahir sebagai buah keyakinan fundamental dan komitmen total pada sehimpunan paradigma kerja yang integral yang berfungsi sebagai panduan tingkah laku bagi seseorang, sekelompok orang yang bisa mewarnai manfaat suatu pekerjaan.

2.1.3.2Makna Etos Kerja

Berpijak pada pengertian bahwa etos kerja menggambarkan suatu sikap, maka dapat ditegaskan bahwa etos kerja mengandung makna sebagai aspek evaluatif yang dimiliki oleh individu dalam memberikan penilaian terhadap kegiatan kerja. Mengingat kandungan yang ada dalam pengertian etos kerja, adalah unsur penilaian, maka secara garis besar dalam penilaian itu, dapat digolongkan menjadi dua, yaitu penilaian positif dan negatif. Suatu individu atau kelompok

(57)

masyarakat dapat dikatakan memiliki etos kerja yang positif, apabila menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut :

a. Mempunyai penilaian yang sangat positif terhadap hasil kerja manusia.

b. Menempatkan pandangan tentang kerja, sebagai suatu hal yang amat luhur bagi eksistensi manusia.

c. Kerja yang dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan.

d. Kerja dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan dan sekaligus sarana yang penting dalam mewujudkan cita-cita, e. Kerja dilakukan sebagai bentuk ibadah.

Bagi individu atau kelompok masyarakat, yang dimiliki etos kerja yang negatif, maka akan menunjukkan ciri-ciri yang sebaliknya, yaitu; a. Kerja dirasakan sebagai suatu hal yang membebani diri,

b. Kurang dan bahkan tidak menghargai hasil kerja manusia,

c. Kerja dipandang sebagai suatu penghambat dalam memperoleh kesenangan,

d. Kerja dilakukan sebagai bentuk keterpaksaan, e. Kerja dihayati hanya sebagai bentuk rutinitas hidup.

Nitisemito (2006), mengatakan bahwa indikasi rendahnya semangat dan kegairahan kerja antara lain turunnya produktivitas kerja, tingkat absensi yang naik, labour turnover (tingkat perputaran buruh) yang tinggi, tingkat kerusuhan yang naik, kegelisahan dimana-mana, dan tuntutan yang sering terjadi serta pemogokan. Etos kerja yang

(58)

dimiliki oleh seseorang atau kelompok masyarakat, akan menjadi sumber motivasi bagi perbuatannya. Apabila dikaitkan dengan situasi kehidupan manusia yang sedang “membangun”, maka etos kerja yang tinggi akan dijadikan sebagai prasyaraat yang mutlak, yang harus ditumbuhkan dalam kehidupan itu. Karena hal itu akan membuka pandangan dan sikap kepada manusianya untuk menilai tinggi terhadap kerja keras dan sungguh-sungguh, sehingga dapat mengikis sikap kerja yang asal-asalan, tidak berorientasi terhadap mutu atau kualitas yang semestinya (Marumpa, 2008).

Berpijak pada uraian di atas dapat disimpulkan bahwa etos kerja merupakan bagian penting dari keberhasilan manusia, baik dalam komunitas kerja yang terbatas, maupun dalam lingkungan sosial yang lebih luas yang tentunya ditentukan oleh sikap, perilaku dan nilai-nilai yang diadopsi individu-individu manusia di dalam komunitas atau konteks sosialnya. Meningkatkan etos kerja merupakan tugas dan tanggung jawab semua lapisan dalam unit kerja masing-masing terutama pimpinan unit kerja dalam membina serta membimbing bawahannya supaya dapat bekerja dengan baik dan benar sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing.

2.1.3.3Nilai-nilai dalam Etos Kerja

Herzberg yang dikutip oleh Gibson (2005), menunjukkan bahwa untuk mencapai tujuan organisasi yang baik diperlukan orang yang memiliki kemampuan yang tepat, termasuk etos kerjanya. Beberapa

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah: (1) ada hubungan positif antara status sosial ekonomi orang tua dengan minat siswa bersekolah di SMA Budi Mulia; (2) ada

Dengan demikian bisa di simpulkan bahwa jelas regulasi dan juga kenyamanan menjadi hal yang membuat para warga menjadi nasabah dari Bank Keliling tersebut yang

Dari penulisan ini diharapkan nantinya akan memberikaan manfaat bagi semua kalangan pendidik di lembaga sekolah pada umumnya.. Memberikan konstribusi dalam

Keaktifan bertanya siswa pada mata pelajaran fiqih melalui metode diskusi, selain bisa memperluas wawasan siswa, mendorong keingitahuan siswa dan melatih siswa untuk

Harta yang abadi terbuka bagi mereka yang telah ditebus, tetapi 144.000 orang ini, sebagai pengantin, akan merasakan sebuah kedekatan istimewa dengan Sang Juruselamat..

Pie chart IV.21 Tingkat Pengetahuan Penonton pada indikator persepsi dalam pembawa acara………..82 Pie chart IV.22 Penonton memahami bahwa Tri Rismaharini menjadi

Pada model prey-predator udang windu di simulasikan mengunakan metode Adam Bashforth- Moulton orde empat menunjukkan bahwa banyaknya populasi udang windu

5 Muhammad Alyas.. 7 dan taraf hidup petani ikan, menghasilkan protein hewani dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan dan gizi, meningkatkan ekspor, penyediaan bahan