• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSTRAKSI Tingginya Partisipasi pemilih merupakan salah satu indikator kesuksesan Pemilu maupun Pilkada. Karena bagaimanapun dengan tingginya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ABSTRAKSI Tingginya Partisipasi pemilih merupakan salah satu indikator kesuksesan Pemilu maupun Pilkada. Karena bagaimanapun dengan tingginya"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

i

sebuah sistem demokrasi. Berkaca pada data statistik patisipasi pemilih dari beberapa Pemilu sebelumnya, Kabupaten Sambas sebagai salah satu wilayah otonom mempunyai catatan sendiri yang harus diperbaiki dan ditingkatkan khususnya dalam angka partisipasi pemilih pada proses Pemilu

Berdasarkan data partisipasi tingkat pemilih Pemilihan Umum Legislatif Anggota DPR, DPD, DPRD 2004, 2009 sera 2014 menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pemilih masyarakat kabupaten sambas tergolong tidak terlalu baik. Hal ini dibuktikan dari tingkat rata-rata partisipasi pemilih di kabupaten Sambas pada tahun 2014 sebesar 67,51% atau hanya meningkat 0,78% dari Pemilu sebelumnya tahun 2009 yakni 66,73%. Namun jika dibanding dengan Pemilu tahun 2004 justru angka ini mengalami penurunan sebesar 10,79% dimana rata-rata angka partisipasi pemilih pada Pemilu tahun 2004 yakni sebesar 78,30%. Artinya harus dilakukan upaya untuk meningkatkan partisipasi pemilih di Kabupaten Sambas

Secara harfiah partisipasi berarti keikutsertaan, untuk memaknai partisipasi dalam konteks politik, atau dapat dikatakan sebagai bentuk keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga yang dimaksud adalah kemauan warga untuk melihat, mengkritisi serta ikut terlibat secara aktif dalam setiap proses politik.

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis, dengan pendekatan Kuantitatif dimana tujuan dari metode ini adalah untuk menggambarkan kondisi obyek penelitian berdasarkan data dan fakta yang ada, yang kemudian dilakukan analisis dengan metode kuantitatif terhadap obyek penelitian.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor administrasi dan teknis mempunyai skor nilai paling rendah yakni sebesar 1,75. Hal ini memberikan bukti bahwa faktor administrasi dan teknis adalah faktor yang paling dominan menyebabkan rendahnya partisipasi pemilih di Kabupaten Sambas. Adapun faktor berikutnya adalah faktor sosialisasi yang mencapai skor nilai 1,98 dan terakhir adalah pada faktor politik yang mencapai nilai 2,11.

Beradasarkan hasil temuan dilapangan dan terdapat beberapa rekomendasi dan saran yang ingin peneliti sampaikan sebagai berikut:

1. Pemerintah melalui KPU dan KPUD hendaknya menyusun dan mensingkronisasikan DPT yang disesuaikan dengan kondisi dan domisili penduduk. Hal ini dalam rangka mengurangi rendahnya angka partisipasi pemilih yang disebabkan oleh masalah teknis dan administrasi.

2. Pemerintah melalui KPU dan KPUD hendaknya membuat regulasi yang jelas terhadap mekanisme suara/pergantian suara pada masyarakat yang terdaftar sebagai DPT namun tidak berada di tempat pada saat pemungutan suara.

(3)

ii

hilangnya hak pilih bagi masyarakat.

4. Pemerintah melalui KPU dan KPUD hendaknya menyediakan media dalam memberikan pendidikan politik dan membuka akses informasi politik yang mudah, efektif dan berkesinambungan bagi masyarakat sebagai upaya memberikan pemahaman politik yang komprehensif pada masyarakat

Sambas, 10 Juli 2015

(4)

iii

dalam pemilihan Umum di Kabupaten Sambas.

Disusunnya laporan ini adalah sebagai laporan akhir untuk menerangkan gambaran kegiatan penelitian yang sudah dilakukan. Dalam laporan ini terdiri dari 4 (empat) bab yang meliputi Bab I Pendahuluan, Bab 2 Gambaran Lokasi Penelitian dan Bab 3 Analisis dan Pembahasan Bab 4 Penutup.

Akhir kata, kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran kegiatan ini secara langsung atau tidak langsung, kami ucapkan terima kasih.

Sambas, 10 Juli 2015

(5)

iv

DAFTAR ISI... vi

BAB I. PENDAHULUAN ... ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... ... 6

D. Ruang Lingkup ... 7

E. Kerangka Konsep dan Teori ... 8

F. Metode Penelitian ... 20

BAB II. GAMBARAN LOKASI PENELITIAN... 28

A. Gambaran Umum Kabupaten Sambas... 28

B. Gambaran Umum Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Umum di Kabupaten Sambas... 38

BAB III. ANALISIS DAN PEMBAHASAN... 52

A. Karakteristik Responden... ... 52

B. Tanggapan Responden Terhadap Faktor-Faktor Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat Dalam Pemilihan Umum Di Kabupaten Sambas... 64

C. Analisis Indeks Terhadap Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Umum... 78

(6)

v

DAFTAR PUSTAKA ... 87 LAMPIRAN... 89

(7)

1

A. Latar Belakang

Pemilu merupakan salah satu tonggak penting yang merepresentasikan kedaulatan rakyat, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada negara demokrasi tanpa memberikan peluang adanya pemilihan umum yang dilakukan secara sistematik dan berkala. Oleh karenanya Pemilu digolongkan juga sebagai elemen terpenting dalam sistem demokrasi. Apabila suatu negara telah melaksanakan proses Pemilu dengan baik, transparan, adil, teratur dan berkesinambungan, maka negara tersebut dapat dikatakan sebagai negara demokratis. Namun sebaliknya apabila suatu negara tidak melaksanakan Pemilu atau tidak mampu melaksanakan Pemilunya dengan baik, dimana terjadinya berbagai kecurangan, deskriminasi, maka negara itu pula dinilai sebagai negara yang anti atau belum demokratis.

Indonesia, sebagai sebuah bangsa besar telah melewati suatu babak baru dalam pelaksanaan demokrasi. Bahwa saat ini pemilihan umum mulai dari pemilihan anggota legislatif sampai pada pemilihan presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur serta bupati dan wakil bupati boleh dikatakan berjalan dengan lancar serta terlaksana dengan aman, jujur dan adil. Pemilu yang dilaksanakan secara langsung oleh rakyat dengan memilih kandidat-kandidat baik dari calon legislatif maupun calon eksekutif, memberikan kebebasan kepada rakyat untuk memilih sendiri kandidatnya.

(8)

Mekanisme ini dianggap sebagai wujud kedaulatan rakyat karena memberikan kesempatan kepada rakyat agar dapat ikut menentukan siapa yang mewakili mereka didalam pemerintah. Dikeluarkannya aturan dan perundang-undangan tentang Pemilu dan Pilkada secara langsung merupakan sebuah proses sekaligus jaminan keberlangsungan dalam aktivitas demokrasi di Republik Indonesia. Hal ini memberikan rasa optimisme terhadap perbaikan kualitas kepemimpinan disebuah daerah, utamanya dalam proses pemilihan gubernur wakil gubernur serta bupati dan wakil bupati dalam sebuah proses Pilkada. Selain itu Pemilu/Pilkada juga merupakan sebuah momentum pembelajaran politik bagi masyarakat.

Harapan terhadap kualitas pelaksanaan Pemilu atau Pilkada sangat tinggi dengan mengedepankan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, egalitarian, supremasi hukum, dan representasi yang maksimal dan optimal dalam penyelenggaraan. Proses Pemilu atau Pilkada membutuhkan keterlibatan masyarakat yang bukan hanya sekedar memilih saja, namun juga akses masyarakat untuk ikut serta secara langsung dalam menentukan calon kepala daerah yang bakal dijadikan sebagai pemimpin mereka.

Disisi lain sesempurna apapun proses Pemilu atau Pilkada, hal yang paling utama dan harus terlibat adalah masyarakat itu sendiri. Karena bagaimanapun masyarakat merupakan input sekaligus output dari proses Demokrasi. Oleh itu keterlibatan dan partisipasi masyarakat menjadi hal yang harus di perhatikan dan ditingkatkan dari waktu ke waktu.

(9)

Secara sederhana, konsep demokrasi dapat diartikan sebagai suatu pemerintahan yang berasal dari, oleh dan untuk rakyat. Karenanya salah satu pilar demokrasi adalah partisipasi rakyat itu sendiri. Bentuk partisipasi politik yang sangat penting dilakukan oleh warga negara adalah keikutsertaan dalam pemilihan umum. Partisipasi politik merupakan kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan publik (public policy). Anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik, misalnya dalam pemilihan umum, melakukan tindakan yang didorong oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan itu kepentingan mereka akan tersalurkan atau sekurang-kurangnya diperhatikan, dan bahwa mereka sedikit banyak dapat mempengaruhi tindakan dari wakil rakyat yang telah mereka pilih.

Akan tetapi masalah terbesar dalam Pemilu dan Pilkada bukanlan hanya pada sistem Pemilu itu sendiri melainkan hal yang sangat krusial adalah terkait pendidikan politik serta pemahaman masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum. Padahal pendidikan politik serta pemahaman masyarakat terhadap pentingnya Pemilu dan Pilkada sangat urgen untuk mendorong partisipasi masyarakat serta kesuksesan Pemilu itu sendiri.

Tingginya Partisipasi pemilih merupakan salah satu indikator kesuksesan Pemilu maupun Pilkada itu sendiri. Karena bagaimanapun dengan tingginya partisipasi pemilih dalam sebuah pelaksanaan Pemilu hal ini

(10)

menunjukkan tingginya keinginan perubahan serta partisipasi politik masyarakat dalam sebuah sistem demokrasi.

Berkaca pada data statistik patisipasi pemilih dari beberapa Pemilu sebelumnya, Kabupaten Sambas sebagai salah satu wilayah otonom mempunyai catatan sendiri yang harus diperbaiki dan ditingkatkan khususnya dalam angka partisipasi pemilih pada proses Pemilu. Untuk lebih jelasnya berikut ini disajikan data tingkat partisipasi pemilih pada Pemilihan Umum Legislatif Anggota DPR, DPD, DPRD 2004, 2009 sera 2014.

Tabel 1.1

Persentasi Tingkat Partisipasi Pemilih

Pada Pemilu DPR, DPD dan DPRD Tahun 2004, 2009 dan 2014 Di Kabupaten Sambas

No Kecamatan Persentasi Tingkat Partisipasi Pemilih

2004 2009 2014 1 SAMBAS 77.55 68.52 70.17 2 TELUK KERAMAT 75.46 69.74 69.25 3 JAWAI 73.85 64.32 61.33 4 TEBAS 75.69 65.70 65.95 5 PEMANGKAT 82.45 59.85 65.32 6 SEJANGKUNG 80.03 66.62 69.00 7 SELAKAU 82.64 63.02 64.49 8 PALOH 80.93 69.71 69.19 9 SAJINGAN BESAR 86.44 68.79 64.65 10 SUBAH 83.72 75.32 79.17 11 GALING 84.01 78.79 81.76 12 TEKARANG 76.03 68.46 66.24 13 SEMPARUK 77.53 65.43 70.59 14 SAJAD 60.51 61.79 15 SEBAWI 66.68 61.92 16 JAWAI SELATAN 61.39 58.04 17 TANGARAN 69.05 65.19 18 SALATIGA 67.39 71.83 19 SELAKAU TIMUR 67.91 74.52

(11)

Berdasarkan data partisipasi tingkat pemilih Pemilihan Umum Legislatif Anggota DPR, DPD, DPRD 2004, 2009 sera 2014 menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pemilih masyarakat kabupaten sambas tergolong tidak terlalu baik. Hal ini dibuktikan dari tingkat rata-rata partisipasi pemilih di kabupaten Sambas pada tahun 2014 sebesar 67,51% atau hanya meningkat 0,78% dari Pemilu sebelumnya tahun 2009 yakni 66,73%. Namun jika dibanding dengan Pemilu tahun 2004 justru angka ini mengalami penurunan sebesar 10,79% dimana rata-rata angka partisipasi pemilih pada Pemilu tahun 2004 yakni sebesar 78,30%. Artinya harus dilakukan upaya untuk meningkatkan partisipasi pemilih di Kabupaten Sambas.

Berdasarkan tabel 1.1 diatas juga menunjukkan bahwa kecamatan yang paling rendah angka partisipasi pemilihnya dalam pemilihan umum tahun 2014 adalah Kecamatan Jawai Selatan, bahwa rata-rata angka partsipasi pemilih tersebut hanya mencapai angka 58,04% diikuti Kecamatan Jawai dimana angka partisipasi pemilih di Kecamatan Jawai hanya sebesar 61,33%. Adapun angka partisipasi pemilih pada yang paling tinggi Pemilu tahun 2014 di Kabupaten Sambas adalah pada Kecamatan Galing yang mencapai angka 81,76 % selanjutnya diikuti oleh Kecamatan Subah mencapai angka 79,17%.

Partisipasi masyarakat merupakan keharusan dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis, oleh karena itu pertanyaannya adalah bagaimana agar partisipasi masyarakat ini bisa muncul, serta rendahnya partisipasi masyarakat untuk mengikuti Pemilu bisa diminimalisir? Tentu saja jawabannya tidak semudah membalikan telapak tangan, harus dicarikan

(12)

solusi. Harus ada ikhtiar yang harus diupayakan menuju optimalisasi partisipasi tersebut. Terkadang keinginan untuk berpartisipasi dari masyarakat sangat besar, tetapi untuk mengaktualisasikan partisipasi seringkali disalah artikan dan tidak faham bagaimana mekanismenya? jika hal tersebut dibiarkan maka kemungkinan yang timbul adalah kekerasan, karena partisipasi masyarakat dalam pemerintahanan berarti masyarakat bekerja sebagai patner (mitra) pemerintah itu sendiri.

B. Perumusan Masalah

Adapun Masalah dalam penelitian ini adalah faktor apa saja yang mempengaruhi partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Umum di Kabupaten Sambas?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berlandaskan rumusan masalah tersebut maka dapat di uraikan tujuan dan manfaat yang akan dihasilkan adalah sebagai berikut.

a. Tujuan

Adapun tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Umum di Kabupaten Sambas. Adapun sub tujuan dari penelitian ini adalah:

1) Melakukan pemetaan terhadap indikator yang dijadikan pertimbangan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum.

(13)

2) Melakukan pemetaan masyarakat terhadap pemahaman dan partisipasi masyarakat Kabupaten Sambas dalam pemilihan umum. b. Manfaat

Adapun manfaat penelitian ini meliputi:

1) Penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran dan sebagai panduan bagi pihak terkait untuk membuat, melakukan dan melaksanakan kebijakan pendidikan politik bagi masyarakat dalam meningkatkan partisipasi pemilih masyarakat di Kabupaten Sambas.

2) Tersedianya basis data dalam bentuk dokumen tentang faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat Kabupaten Sambas dalam pemilihan umum.

D. Ruang Lingkup Kegiatan

Dalam upaya untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat Kabupaten Sambas dalam pemilihan umum, kegiatan akan difokuskan meliputi:

a. Melakukan Penyebaran angket atau kuisioner pada masyarakat dengan menemui secara langsung terkait partisipasi masyarakat Sambas dalam Pemilu dan Pilkada yang menjadi fokus dalam penelitian ini. b. Menghimpun data-data sekunder yang mendukung penelitian ini

untuk menjawab terkait partisipasi masyarakat Sambas dalam Pemilu dan Pilkada.

(14)

c. Menyajikan data terukur dan tersturktur mengenai partisipasi masyarakat Sambas dalam Pemilu dan Pilkada di kabupaten Sambas berdasarkan kondisi lapangan.

d. Membuat rekomendasi strategik berdasarkan data dan temuan lapangan sebagai hasil penelitian guna meningkatkan partisipasi masyarakat dalam Pemilu dan Pilkada di Kabupaten Sambas.

E. Kerangka Konsep dan Teori

Kajian perilaku pemilih hanya ada dua konsep utama, yaitu; perilaku memilih (voting behavior) dan perilaku tidak memilih (non voting behavior). David Moon mengatakan ada dua pendekatan teoritik utama dalam menjelaskan prilaku non-voting yaitu: pertama, menekankan pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih dan karakteristik institusional sistem Pemilu; dan kedua, menekankan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir memilih (dalam Hasanuddin M. Saleh; 2007).

Secara harfiah partisipasi berarti keikutsertaan, untuk memaknai partisipasi dalam konteks politik, atau dapat dikatakan sebagai bentuk keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga yang dimaksud adalah kemauan warga untuk melihat, mengkritisi serta ikut terlibat secara aktif dalam setiap proses politik (baca: Pilkada atau Pemilu). Keterlibatan tersebut bukan berarti warga akan mendukung seluruh keputusan, kebijakan maupun pelaksanaan kebijakan yang akan dan telah ditetapkan oleh pemimpinnya. Jika terjadi sebaliknya maka kondisi ini

(15)

tidak bisa dikatakan sebagai partisipasi, namun yang lebih tepat adalah mobilisasi politik (Huntington& Nelson 1994:2-5).

Partisipasi politik yang dimaksud adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak perencanaan, pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Peran warga dalam partisipasi politik tersebut, selama ini bisa dikatakan masih sangat kurang (Gatara & Dzulkiah Said 2007:90-91).

Hasil penelitian Tauchid Dwijayanto dalam kasus Pilkada Jawa Tengah menyatakan ada tiga hal yang menyebabkan terjadinya golput yaitu lemahnya sosialisasi, masyarakat lebih mementingkan kebutuhan ekonomi dan sikap apatisme masyarakat. Berdasarkan hasil temuan Efniwati ada dua hal yang menyebabkan pemilih golput yaitu faktor pekerjaan dan faktor lokasi TPS. Kemudian Eriyanto mengatakan ada empat alasan mengapa pemilih golput yaitu karena administratif, teknis, rendahnya keterlibatan atau ketertarikan pada politik (political engagement) dan kalkulasi rasional.

Kegiatan pemilihan umum (Pemilu) merupakan momen yang paling tepat dalam melihat indikator pelaksanaan demokrasi di suatu wilayah. Namun dalam beberapa Pemilu banyak orang-orang yang tidak memilih atau menggunakan hak suaranya dalam Pemilu atau lebih dikenal dengan golput, yang menyebabkan keberhasilan dalam Pemilu ini kurang efektif dari hasil yang didapatkannya. Secara umum terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi orang melakukan golput, yaitu :

(16)

1. Faktor Sosialisasi

Menurut Peter L. Berger, Sosialisasi adalah proses belajar untuk menjadi anggota yang ikut berpartisipasi dalam masyarakat. Sementara menurut David Gaslin Sosialisasi adalah proses belajar nilai dan norma untuk menjadi anggota yang ikut aktif dalam masyarakat. Namun secara umum sosialisasi dapat diartikan sebagai proses belajar kelompok tentang aturan di dalam kelompok tersebut.

Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory). Karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu. 2. Politik uang (Money Politic)

Money politic dalam Bahasa Indonesia adalah suap. Arti suap

dalam buku kamus besar Bahasa Indonesia adalah uang sogok. Suap dalam bahasa arab adalah rishwah atau rushwah, yang yang berasal dari kata

al-risywah yang artinya sebuah tali yang menyambungkan sesuatu ke air. Al-rosyi adalah orang memberi sesuatu yang batil, sedangkan murtasyinya

adalah yang menerima. Al-raisy adalah perantara keduanya sehingga Rasulullah SAW melaknat kesemuanya pihak.

Menurut pakar hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Yusril Ihza Mahendra, definisi money politic sangat jelas, yakni mempengaruhi massa Pemilu dengan imbalan materi. Yusril mengatakan, sebagaimana

(17)

yang dikutip oleh Indra Ismawan kalau kasus money politic bisa di buktikan, pelakunya dapat dijerat dengan pasal tindak pidana biasa, yakni penyuapan. Tapi kalau penyambung adalah figur anonim (merahasiakan diri) sehingga kasusnya sulit dilacak, tindak lanjut secara hukum pun jadi kabur.

Secara umum money politic biasa diartikan sebagai upaya untuk mempengaruhi perilaku orang dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada yang mengartikan money politic sebagai tindakan jual beli suara pada sebuah proses politik dan kekuasaan.

Pengertian politik uang adalah pertukaran uang dengan posisi/ kebijakan/keputusan politik yang mengatasnamakan kepentingan rakyat tetapi sesungguhnya demi kepentingan pribadi/kelompok/partai. Politik uang dalam Pemilu legislatif bisa dibedakan berdasarkan faktor dan wilayah operasinya yaitu: Pertama, Lapisan atas yaitu transaksi antara elit ekonomi (pemilik uang) dengan elit politik (pimpinan partai/calon presiden) yang akan menjadi pengambil kebijakan/keputusan politik pasca Pemilu nanti. Bentuknya berupa pelanggaran dana perseorangan. Penggalangan dana perusahaan swasta, pengerahan dana terhadap BUMN/BUMD. Ketentuan yang terkait dengan masalah ini berupa pembatasan sumbangan dana kampanye. Kedua, Lapisan tengah yaitu transaksi elit politik (fungsi onaris partai) dalam manentukan calon legislatif/eksekutif dan urutan /pasangan calon. Bentuknya berupa uang tanda jadi caleg, uang harga nomor, uang pindah daerah pemilihan dan

(18)

lain-lain. Sayangnya tidak satu pun ketentuan peraturan perundangan Pemilu yang memungkinkan untuk menjerat kegiatan tersebut (politik uang). Semua aktivitas disini dianggap sebagai masalah internal partai.

Ketiga, Lapisan bawah yaitu transaksi antara elit politik (caleg dan

fungsionaris partai tingkat bawah) dengan massa pemilih. Bentuknya

berupa pembagian sembako, “Serangan fajar”, ongkos transportasi

kampanye, kredit ringan, peminjaman dan lain-lain. Dalam hal ini ada ketentuan administratif yang menyatakan bahwa calon anggaota DPRD/DPD (pasangan calon presiden dan atau tim kampanye yang terbukti menjanjikan dana dan atau memberi materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih dapat dibatalkan pencalonannya oleh KPU.

Jadi, politik uang adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum.

3. Lingkungan Masyarakat

Lingkungan masyarakat adalah tempat terjadinya sebuah interaksi suatu sistem dalam menghasilkan sebuah kebudayaan yang terikat oleh norma-norma dan adat istiadat yang berlangsung dalam kurun waktu yang lama.

4. Partisipasi politik

Partisipasi politik adalah secara harfiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik ini mengacu pada keikutsertaan warga dalam berbagai

(19)

proses politik. Keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalampelaksanaan keputusan.

Merujuk pada pendapat Bismar Arianto (2011) bahwa alasan rendahnya partisipasi masyarakat untuk memilih diklasifikasikan menjadi 2 hal yakni faktor Internal dan faktor Eksternal. Untuk lebih jelasnya dalam menjelaskan masalah tersebut berikut diuraikan sebagai berikut.

1. Faktor Internal

Adapun faktor internal itu sendiri meliputi 3 faktor utama yakni a. Faktor Teknis

Faktor teknis yang penulis maksud adalah adanya kendala yang bersifat teknis yang dialami oleh pemilih sehingga menghalanginya untuk menggunakan hak pilih. Seperti pada saat hari pencoblosan pemilih sedang sakit, pemilih sedang ada kegiatan yang lain serta berbagai hal lainnya yang sifatnya menyangkut pribadi pemilih. Kondisi itulah yang secara teknis membuat pemilih tidak datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya. Faktor teknis ini dalam pemahaman dapat di klasifikasikan ke dalam dua hal yaitu teknis mutlak dan teknis yang bisa

(20)

ditolerir. Teknis mutlak adalah kendala yang serta merta membuat pemilih tidak bisa hadir ke TPS seperti sakit yang membuat pemilih tidak bisa keluar rumah. Sedang berada di luar kota. Kondisi yang seperti yang penulis maksud teknis mutlak. Teknis yang dapat ditolerir adalah permasalahan yang sifatnya sederhana yang melakat pada pribadi pemilih yang mengakibat tidak datang ke TPS. Seperti ada keperluan keluarga, merencanakan liburan pada saat hari pemilihan. Pada kasus-kasus seperti ini dalam pemahaman penulis pemilih masih bisa mensiasatinya, yaitu dengan cara mendatangi TPS untuk menggunakan hak pilih terlebih dahulu baru melakukan aktivitas atau keperluan yang bersifat pribadi.

Pemilih golput karena alasan teknis yang tipe kedua ini cenderung tidak mengetahui esensi dari menggunakan hak pilih, sehingga lebih mementingkan kepentingan pribadi dari pada menggunakan hak pilihnya. Pemilih ideal harus mengetahui dampak dari satu suara yang diberikan dalam Pemilu. Hakikatnya suara yang diberikan itulah yang menentukan pemimpin lima tahun mendatang. Dengan memilih pemimpin yang baik berarti pemilih berkontribusi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik pula.

b. Faktor Pekerjaan

Faktor pekerjaan adalah pekerjaan sehari-hari pemilih. Faktor pekerjaan pemilih ini dalam pemahaman penulis memiliki kontribusi terhadap jumlah orang yang tidak memilih. Berdasarkan data sensus Penduduk Indonesia tahun 2010 dari 107,41 juta orang yang bekerja,

(21)

paling banyak bekerja di sektor pertanian yaitu 42,83 juta orang (39,88 persen), disusul sektor perdagangan sebesar 22,21 juta orang (20,68 persen), dan sektor jasa kemasyarakatan sebesar 15,62 juta orang (14,54 persen). Data di atas menunjukkan sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di sektor informal, dimana penghasilanya sangat terkait dengan intensitasnya bekerja. Banyak dari sektor informal yang baru mendapatkan penghasilan ketika mereka bekerja, tidak bekerja berarti tidak ada penghasilan. Seperti tukang ojek, buruh harian, nelayan, petani harian. Kemudian ada pekerjaan masyarakat yang mengharuskan mereka untuk meninggalkan tempat tinggalnya seperti para pebisnis, pelaut atau penggali tambang. Kondisi seperti membuat mereka harus tidak memilih, karena faktor lokasi mereka bekerja yang jauh dari TPS.

Maka dalam pemahaman penulis faktor pekerjaan cukup signifikan yang mempengaruhi partisipasi pemilih dalam sebuah pemilihan umum. Pemilih dalam kondisi seperti ini dihadapkan pada dua pilihan menggunakan hak pilih yang akan mengancam berkurang penghasilannya atau pergi bekerja dan tidak memilih.

2. Faktor Eksternal

Faktor ektenal faktor yang berasal dari luar yang mengakibatkan pemilih tidak menggukan hak pilihnya dalam Pemilu. Ada tiga yang masuk pada kategori ini menurut pemilih yaitu aspek administratif, sosialisasi dan politik.

(22)

a. Faktor Administratif

Faktor adminisistratif adalah faktor yang berkaitan dengan aspek adminstrasi yang mengakibatkan pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Diantaranya tidak terdata sebagai pemilih, tidak mendapatkan kartu pemilihan tidak memiliki identitas kependudukan (KTP). Hal-hal administratif seperti inilah yang membuat pemilih tidak bisa ikut dalam pemilihan. Pemilih tidak akan bisa menggunakan hak pilih jika tidak terdaftar sebagai pemilih. Kasus Pemilu legislatif 2009 adalah buktinya banyaknya masyarakat Indonesia yang tidak bisa ikut dalam Pemilu karena tidak terdaftar sebagai pemilih. Jika kondisi yang seperti ini terjadi maka secara otomatis masyarakat akan tergabung kedalam kategori golput.

Faktor berikut yang menjadi penghalang dari aspek administrasi adalah permasalahan kartu identitas. Masih ada masyarakat tidak memilki KTP. Jika masyarakat tidak memiliki KTP maka tidak akan terdaftar di DPT (Daftar Pemilih Tetap) karena secara administtaif KTP yang menjadi rujukkan dalam mendata dan membuat DPT. Maka masyarakat baru bisa terdaftar sebagai pemilih menimal sudah tinggal 6 bulan di satu tempat.

Golput yang diakibat oleh faktor administratif ini bisa diminimalisir jika para petugas pendata pemilih melakukan pendataan secara benar dan maksimal untuk mendatangi rumah-rumah pemilih.

(23)

Selain itu dituntut inisiatif masyarakat untuk mendatangi petugas pendataan untuk mendaftarkan diri sebagai pemilih. Langkah berikutnya DPS (Daftar Pemilih Sementara) harus tempel di tempat-tempat strategis agar bisa dibaca oleh masyarakat. Masyarakat juga harus berinisiatif melacak namanya di DPS, jika belum terdaftar segara melopor ke pengrus RT atau petugas pendataan. Langkah berikut untuk menimalisir terjadi golput karen aspek adminitrasi adalah dengan memanfaatkan data kependudukan berbasis IT. Upaya elektoronik Kartu Tanda Penduduk (E KTP) yang dilakukan pemerintahan sekarang dalam pandangan penulis sangat efektif dalam menimalisir golput administratif.

b. Sosialisasi

Sosialisasi atau menyebarluaskan pelaksanaan Pemilu di Indonesia sangat penting dilakukan dalam rangka memenimalisir golput. Hal ini di sebabkan intensitas Pemilu di Indonesia cukup tinggi mulai dari memilih kepala desa, bupati/walikota, gubernur Pemilu legislatif dan Pemilu presiden hal ini belum dimasukkan pemilihan yang lebih kecil RT/ RW.

Kondisi lain yang mendorong sosialisi sangat penting dalam upaya meningkatkan partisipasi politik masyarakat adalah dalam setiap Pemilu terutama Pemilu di era reformasi selalu diikuti oleh sebagian peserta Pemilu yang berbeda. Pada Pemilu 1999 diikuti sebanyak 48 partai politik, pada Pemilu 2004 dikuti oleh 24 partai politik dan Pemilu 2009 dikuti oleh 41 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal di Aceh. Kondisi ini menuntut perlunya sosialisasi terhadap masyarakat.

(24)

Permasalahan berikut yang menuntut perlunya sosialisasi adalah mekanisme pemilihan yang berbeda antara Pemilu sebelum reformasi dengan Pemilu sebelumnya. Dimana pada era orde baru hanya memilih lambang partai sementara sekarang selian memilih lambang juga harus memilih nama salah satu calon di pertai tersebut. Perubahan yang signifikan adalah pada Pemilu 2009 dimana kita tidak lagi mencoblos dalam memilih tetapi dengan cara menandai. Kondisi ini semualah yang menuntu pentingnya sosialisasi dalam rangka menyukseskan pelaksanaan Pemilu dan memenimalisir angka golput dalam setiap Pemilu. Terlepas dari itu semua penduduk di Indonesia sebagai besar berada di pedesaan maka menyebar luaskan informasi Pemilu dinilai pentingi, apalagi bagi masyarakat yang jauh dari akses transportasi dan informasi, maka sosiliasi dari mulut ke mulut menjadi faktor kunci mengurangi angka golput.

c. Faktor Politik

Faktor politik adalah alasan atau penyebab yang ditimbulkan oleh aspek politik masyarakat tidak mau memilih. Seperti ketidak percayaan dengan partai, tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa Pemilu/Pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Kondisi inilah yang mendorong masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Stigma politik itu kotor, jahat, menghalalkan segala cara dan lain sebagainya memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap politik sehingga membuat masyarakat enggan untuk menggunakan hak

(25)

pilih. Stigma ini terbentuk karena tabiat sebagian politisi yang masuk pada kategori politik instan. Para pelaku politik punya kecenderungan baru mendekati masyarakat ketika akan ada agenda politik seperti Pemilu. Maka kondisi ini meruntuhkan kepercayaan masyarakat pada politisi itu sendiri. Faktor lain adalah para politisi yang tidak mengakar, politisi yang tidak dekat dan tidak memperjuangkan aspirasi rakyat. Sebagian politisi lebih dekat dengan para petinggi partai, dengan pemegang kekuasaan. Mereka lebih mengantungkan diri pada pemimpinnya dibandingkan mendekatkan diri dengan konstituen atau pemilihnya. Kondisi lain adalah tingkah laku politisi yang banyak berkonflik mulai konflik internal partai dalam mendapatkan jabatan strategis di partai, kemudian konflik dengan politisi lain yang berbeda partai. Konflik seperti ini menimbulkan antipati masyarakat terhadap partai politik itu sendiri. Idealnya konflik yang di tampilkan para politisi seharusnya tetap mengedepankan etika politik untuk menjaga kewibawaan politik dan kepercayaan masyarakat.

Politik pragamatis yang semakin menguat, baik dikalangan politisi maupun di sebagian masyarakat. Para politisi hanya mencari keuntungan sesaat dengan cara mendapatkan suara rakyat. Sedangan sebagian masyarakat kita, politik dengan melakukan transaksi semakin menjadi-jadi. Baru mau mendukung, memilih jika ada mendapatkan keutungan materi, maka muncul ungkapan kalau tidak sekarang kapan lagi, kalau sudah jadi/terpilih mereka akan lupa janji. Kondisi-kondisi yang seperti

(26)

penulis uraikan ini yang secara politik memengaruhi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Sebagian Masyarakat semakin tidak yakin dengan politisi. Harus diakui tidak semua politisi seperti ini, masih banyak politisi yang baik, namun mereka yang baik tenggelam dikalahkan politisi yang tidak baik.

F. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan dan Bentuk Penelitian

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis, dengan pendekatan Kuantitatif dimana tujuan dari metode ini adalah untuk menggambarkan kondisi obyek penelitian berdasarkan data dan fakta yang ada, yang kemudian dilakukan analisis dengan metode kuantitatif terhadap obyek penelitian sesuai dengan tujuan penelitian yakni untuk melihat analisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam Pemilihan Umum di Kabupaten Sambas.

Dalam penelitian ini, peneliti memakai bentuk penelitian survey, yang dimaksud dengan penelitian Survei adalah metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai suatu unit atau sekelompok unit. Menurut Singarimbun dan Effendi (1995: 3) metode penelitian survey adalah penelitian yang mengambil sample dari populasai dan mengunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok. menurut

Cooper dan Emory (1996: 287) “Mensurvei adalah mengajukan pertanyaan

(27)

2. Sumber Data

Dalam suatu penelitian kita kenal adanya teknik dan alat yang sangat dipelukan untuk mengumpulkan data yang digunakan. Adapun data yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi;

a) Data Primer

Yaitu berbentuk informasi yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian itu sendiri yang dapat dikumpulkan dengan metode survey dimana informasi tersebut diperoleh melalui Wawancara Terstruktur yaitu mengadakan tanya jawab dengan menggunakan alat baik berupa angket atau Koesioner maupun melalui wawancara tidak terstruktur melalui yakni bertanya langsung pada responden melalui teknik wawancara mendalam. b) Data Sekunder

Yaitu data yang diperoleh penulis secara tidak langsung yang disediakan oleh lembaga KPU, data Kecamatan, Desa atau dari sumber lainnya seperti melakukan studi literatur atau instansi pemerintahan.

3. Populasi Dan Sampel a) Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulnnya (Sugiono, 1999:72). Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat di Kabupaten Sambas yang terdata sebagai pemilih pada pemilihan umum.

(28)

b) Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 1999: 72). Adapun sampel dalam penelitian ini adalah pemilihan sampel dilakukan dengan menggunakan

purposive sampling.

Teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah

purposive sampling yaitu dimana pengambilan sampel yang dimaksud

dalam sampel dilakukan dengan sengaja dengan catatan bahwa sampel tersebut mewakili populasi yang ada, hal ini dengan menggunakan pertimbangan bahwa sampel berkaitan dengan tujuan penelitian.

Dalam menentukan besarnya sampel yang diambil dalam suatu penelitian, Soeratno dan Arsyad (1999:105), mengatakan bahwa “Dalam

penentuan jumlah sampel tidak ada aturan yang tegas yang dipersyaratkan

untuk suatu penelitian dari populasi yang tersedia”. Singaribun dan

Sofyan (1988:149) mengatakan, ada empat faktor yang harus dipertimbangkan agar mendapat data yang representatif, yaitu :

1) Derajat keseragaman, semakin seragam sampel populasi, maka akan semakin kecil sampel yang akan diambil.

2) Presisi yang dikehendaki peneliti, semakin tinggi presisi yang dikehendaki maka akan semakin besar sampel yang harus diambil. 3) Rencana analisis, pada dasarnya sampel juga ditentukan dari

(29)

sesuai dengan presisi yang dikehendaki, tetapi kalau dikaitkan dengan kebutuhan analisis maka jumlah sampel tersebut kurang mencukupi. 4) Biaya, tenaga, dan waktu yang tersedia. Semakin besar biaya, tenaga

dan waktu yang tersedia, maka akan semakin besar sampel yang dapat diambil dan tingkat presisi yang diperoleh akan semakin tinggi.

Berdasarkan pendapat para ahli jumlah sampel yang diambil sebanyak 30 orang responden merupakan angka yang representatif dalam sebuah besaran sampel penelitian. Donald R. Cooper & C. William Emory menjelaskan 30 responden adalah jumlah minimum yang disebutkan oleh ahli–ahli metodologi penelitian (1996: 245). Oleh itu, dalam penelitian ini peneliti mengambil jumlah responden sebanyak 35 orang dari setiap dapil (Daerah Pemilih) sebagai sampel. Pertimbangan ini karena jumlah tersebut merupakan angka yang dianggap representatif sehingga total sampel dalam penelitian ini dari 5 (lima) dapil (Daerah Pemilih) adalah 175 responden. Hal ini dengan asumsi bahwa data sampel sebanyak 35 orang telah dianggap represetatif dalam metode penelitian sosial, serta sudah merupakan bentuk data besar (> 30) yang bisa dianalisis menggunakan analisis statistik parametrik. Selain itu pertimbangan peneliti mengambil jumlah sampel 35 orang juga sudah mempertimbangkan empat aspek yang dijadikan pertimbangan pengambilan sampel berdasarkan pendapatan ahli utamanya merujuk pada pendapat Singaribun dan Sofyan (1988:149) yang menjelaskan bahwa pertimbangan derajat keseragaman, tingkat presisi,

(30)

analisis penelitian serta kondisi teknis meliputi biaya, tenaga, dan waktu yang tersedia dalam penyelesaian penelitian ini.

Adapun bauran sampel penelitian yang diambil oleh peneliti dalam menjawab masalah penelitian ini selanjutnya dapat digambarkan berdasarkan tabel 1.2 dibawah ini.

Tabel 1.2

Bauran Sampel Penelitian

Dapil Wilayah Kecamatan Jumlah Sampel

Dapil 1 Sambas, Sejangkung,

Subah, Sajad, Sebawi

35

Dapil 2 Tebas Tekarang 35

Dapil 3 Pemangkat, Selakau,

Semparuk, Salatiga

35

Dapil 4 Jawai, Jawai Selatan 35

Dapil 5 Paloh, Sajingan Besar, Tl. Keramat, Tangaran, Galing

35

Total 175

Sumber: Data Sekunder Olahan, Juni 2015.

4. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengambilan sampel yang akan digunakan peneliti meliputi: a) Kuesioner, yaitu pengumpulan data melalui daftar pertanyaan yang

disebarkan kepada Masyarakat sambas yang menjadi sampel dalam penelitian ini.

b) Wawancara Mendalam yakni pengumpulan data dengan melakukan wawancara pada responden yang dianggap mampu menjawab masalah penelitian. Metode ini dijadikan sebagai metode tambahan untuk memperdalam informasi dari hasil Kuesioner yang disebarkan pada responden.

(31)

c) Observasi, yaitu pengumpulan data dengan cara penelitian langsung terjun ketempat penelitian.

5. Teknik Analisis Data

Adapun teknik analisis data yang digunakan untuk pengolahan data yaitu dengan menggunakan analisis kualitatif dan kuantitatif.

a) Analisis Kualitatif

Yaitu dengan melihat jawaban dari responden melalui kuesioner yang telah disebarkan kemudian dikelompokkan menurut kriteria yang ada dan hasil dari masing-masing jawaban pertanyaan dijumlahkan kemudian dicari persentasenya, dianalisis dan ditarik kesimpulan. Selain itu data dari hasil wawancara mendalam juga dijadikan sebagai informasi tambahan untuk menjelaskan masalah penelitian.

b) Analisis Kuantitatif

Analisis Data Kuantitatif adalah data yang berbentuk angka atau data kualitatif yang diangkakan. Untuk mengukur variabel yang digunakan di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan skala likert.

Menurut Sugiono, (2005: 87-86) Skala Likert ini digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dalam penelitian ini fenomena sosial ini diterapkan secara spesifik oleh peneliti dan selanjutnya disebut sebagai variabel penelitian. Ada empat skala yang digunakan peneliti : sangat yakin, yakin, ragu-ragu dan tidak setuju. Adapun untuk lima tingkat kualitas pelaksanaan pelayanan sesuai indikator. Variabel yang diukur meliputi:

(32)

1) Jawaban A = Sangat Yakin : Bobot 4

2) Jawaban B = Yakin : Bobot 3

3) Jawaban C = Ragu-ragu : Bobot 2

4) Jawaban D = Tidak setuju : Bobot 1

Selanjutnya analisis jawaban responden akan ditabulasikan dengan menganalisis jawaban responden dari penyebaran kuesioner serta observasi dan wawancara peneliti, lalu dilakukan tabulasi dan disajikan dalam bentuk tabel frekwensi kemudian dianalisis dengan menggunakan persentase. Untuk lebih memperdalam analisis dalam penelitian ini selanjutnya dilakukan penskoran dengan skala indeks.

Adapun Total nilai indeks yang dijadikan ukuran peneliti adalah 4 (empat) dengan menggunakan kriteria 3 kotak (Three–box Method). Sehingga

rentang 4 (0,1-4,00) akan menghasilkan rentang sebesar 1,33 yang akan digunakan sebagai dasar interprestasi nilai indeks. Adapun interpretasi nilai indeks yang dimaksud adalah sebagai berikut;

1. Dengan skor nilai 0,10 - 1,33 atau mempunyai nilai interpretasi yang paling rendah. Artinya variabel ini mempunyai pengaruh yang paling besar karena mempunyai skor yang paling rendah, menjauhi nilai indeks opitimal yang ditentukan.

(33)

2. Dengan skor nilai 1,34 - 2,66 dengan asumsi sedang atau mempunyai pengaruh yang sedang.

3. Dengan skor nilai 2,67 - 4,00 yang paling tinggi atau mempunyai pengaruh yang paling rendah, mendekati nilai harapan optimal dari indeks yang ditentukan.

(34)

28

A. Gambaran Umum Kabupaten Sambas 1. Kondisi Fisik Wilayah

Kabupaten Sambas terletak di bagian paling utara Propinsi Kalimantan Barat atau diantara 1’23’’ Lintang Utara dan 108’39’’ Bujur

Timur

Secara administratif, batas wilayah Kabupaten Sambas adalah: a. Utara : Serawak (Malaysia Timur) & laut Natuna b. Selatan : Kab. Bengkayang & Kota Singkawang

c. Barat : Laut Natuna.

d. Timur : Kab. Bengkayang & Serawak

Luas Kabupaten Sambas adalah 6.395,70 km2 atau sekitar 4,36 persen dari luas wilayah Propinsi Kalimantan Barat.

(35)

Gambar 2.1 Peta Kabupaten Sambas

Daerah Pemerintahan Kabupaten Sambas pada tahun 2008 terbagi menjadi 19 Kecamatan dan 183 Desa serta 1 UPT. Kecamatan terluas adalah Kecamatan Sajingan Besar dengan luas 1.391,20 km2 atau 21,75 persen sedangkan yang terkecil adalah Kecamatan Tekarang dengan luas sebesar 83,16 km2 atau 1,30 persen dari luas wilayah Kabupaten Sambas.

(36)

Grafik 2.2 Penduduk Kabupaten Sambas Menurut Jenis Kelamin, J U M L A H P E N D U D U K KECAMATAN

(37)

Tabel 2.1.

Penduduk Kabupaten Sambas Menurut Jenis Kelamin

No Kecamatan Laki-Laki Perempuan Total

1. Selakau 15.129 14.943 30.072 2. Selakau Timur 5.118 5.082 10.200 3. Pemangkat 22.245 22.344 44.589 4. Semparuk 11.589 12.176 23.765 5. Salatiga 7.254 7.417 14.671 6. T e b a s 31.551 32.062 63.613 7. Tekarang 6.380 6.913 13.293 8. S a m b a s 22.280 22.699 44.979 9. S u b a h 9.154 8.373 17.527 10. Sebawi 7.651 7.947 15.598 11. Sajad 4.770 5.166 9.936 12. J a w a i 16.504 18.538 35.042 13. Jawai Selatan 8.714 8.946 17.660 14. Teluk Keramat 28.032 30.643 58.675 15. G a l i n g 9.933 9.720 19.653 16. Tangaran 9.783 11.006 20.789 17. Sejangkung 11.247 11.071 22.318 18. Sajingan Besar 5.347 4.501 9.848 19. P a l o h 11.923 11.969 23.892 Jumlah 244.604 251.516 496.120

Sumber: Kab. Sambas Dalam Angka, 2013

2. Visi, Misi, Tujuan, Sasaran, Strategi dan Arah Kebijakan

Kabupaten Sambas mempunyai bupati dan wakil bupati yang masing-masing bernama dr. Hj. Juliarti Djuhardi Alwi, MPH dan Dr. Pabali Musa, M.Ag untuk masa periode 2011-2016. Sejalan dengan

(38)

ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, setiap kepala daerah berkewajiban adalah menetapkan langkah strategis berkewajiban untuk menjamin kelanjutan dan peningkatan percepatan pembangunan yang telah dicapai sebelumnya. Langkah ini harus dijabarkan dalam visi dan misi serta program prioritas yang dituangkan ke dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Sambas 2012-2016, yang selanjutnya disebut RPJMD Kabupaten Sambas.

Mengingat Kepala Daerah terpilih adalah lanjutan dari kepemimpinan periode sebelumnya, maka dengan RPJMD 2012-2016 konsistensi dan keberlanjutan pencapaian rencana pembangunan lima tahun sebelumnya akan lebih terjamin. Untuk memastikan konsistensi dan keberlanjutan.

a. Visi

Dalam rangka konsistensi terhadap visi terdahulu, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2006-2011, maka dibutuhkan visi berikutnya (2012-2016) yang merupakan keberlanjutan dan penajaman dari visi yang digagas, dirancang, dan dirintis oleh Bupati-Wakil Bupati sebelumnya. Penetapan visi tersebut, didasarkan atas pertimbangan, sebagai berikut:

1) Visi masih aktual untuk tetap digunakan sampai target pencapaian pada tahun 2016, sebagai konsistensi terhadap Peraturan Daerah Nomor: 2 Tahun 2010 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Sambas Tahun 2005-2025 dan

(39)

Peraturan Daerah Nomor: 6 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2006-2011. 2) Masih tetap sesuai dengan nilai-nilai luhur masyarakat yang sebagian

besar muslim dan agraris, serta didukung dengan potensi laut dan lahan pertanian yang masih besar. Nilai-nilai luhur yang masih dianut antara lain:

a) Kehidupan masyarakat Kabupaten Sambas yang religius Islami, hal ini tercermin dari sebagian besar penduduk beragama Islam (87%), sehingga cukup mewarnai budaya masyarakat Sambas.

b) Motto “Terpikat Terigas“ sudah mulai terinternalisasi dan

menginspirasi seluruh stakeholders dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan daerah, sehingga pada periode berikutnya masih relevan untuk dilanjutkan dengan tambahan sedikit

kata menjadi “Bersama Lanjutkan Terpikat Terigas”, yang kemudian

disingkat dengan “Bela Terpikat Terigas”. Makna dari moto “Bela Terpikat Terigas” adalah:

- Bela (bersama lanjutkan), mengandung arti bahwa dengan

semangat kebersamaan dan bekerja sama seluruh komponen masyarakat Sambas berkomitmen untuk melanjutkan dan meningkatkan apa yang telah digagas, dirancang, dan dirintis oleh Bupati-Wakil Bupati periode 2006-2011.

(40)

- Terpikat Terigas, mengandung arti bahwa seluruh komponen

masyarakat Sambas akan bahu membahu berpartisipasi aktif dalam seluruh aspek dan tujuan pembangunan, yaitu:

 Tingkatkan Ekonomi Rakyat, untuk membangun

kemandirian.

 Religius, untuk membangun kepribadian.

 Pendidikan, untuk meningkatkan kualitas sumber daya

manusia.

 Ilmu pengetahuan, untuk membangun peradaban besar dan

utama.

 Kesehatan masyarakat, untuk meningkatkan kualitas

lahiriyahnya.

Semua itu akan diwujudkan melalui suatu Pemerintahan Daerah yang tertib dan terukur pada aspek:

Ekonomi kerakyatan yang sinergis dengan investasi. Religius.

Ilmu pengetahuan dan teknologi. Good Governance.

Amanah dan berakhlaqul-karimah, serta

Social control and social participation.

Atas dasar pertimbangan di atas dan dengan memperhatikan potensi, permasalahan, dan peluang yang dimiliki Kabupaten Sambas, nilai-nilai visi daerah, aspirasi, dan dinamika yang berkembang pada

(41)

masa 5 tahun sebelumnya (tahun 2006-2011), maka visi Kabupaten Sambas untuk periode 2012-2016 adalah:

“TERWUJUDNYA SAMBAS YANG MANDIRI, BERPRESTASI,

MADANI, SERTA SEJAHTERA, MELALUI BELA TERPIKAT

TERIGAS” Adapun makna dari visi tersebut yaitu:

1) Sambas yang mandiri adalah suatu kondisi dimana perekonomian masyarakat berkembang dengan baik, kreatif, dan inovatif yang ditandai dengan meningkatnya investasi dan kapasitas ekonomi masyarakat baik karena faktor intensifikasi maupun ekstensifikasi, serta membaiknya infrastruktur dan pengelolaan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan.

2) Sambas yang berprestasi adalah suatu kondisi dimana kualitas sosial, moral, dan intelektual masyarakat berkembang dengan baik menuju pencapaian unggul terutama pada bidang pendidikan, kesehatan, kepribadian, dan kebudayaan.

3) Sambas yang madani adalah suatu kondisi dimana kehidupan masyarakat berlangsung dengan harmonis, taat dan tertib hukum, sadar politik, demokratis, dan dinamis serta selaras dengan prinsip-prinsip good

governance.

4) Sambas yang sejahtera adalah suatu kondisi dimana hak-hak dasar dan sekunder masyarakat terpenuhi dengan didukung oleh suasana kehidupan yang agamis, aman, dan damai.

(42)

b. Misi

Dalam upaya mewujudkan visi pembangunan Kabupaten Sambas Tahun 2012-2016 tersebut, maka misi pembangunan Kabupaten Sambas adalah sebagai berikut :

1) Mengembangkan ekonomi kerakyatan dan investasi yang sinergis melalui kemitraan dan pemberdayaan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat yang didukung oleh pelayanan prima.

2) Meningkatkan pembangunan infrastruktur dasar dengan memperhatikan aspek pemerataan dan keadilan pembangunan serta mengutamakan faktor pengungkit perekonomian rakyat.

3) Meningkatkan kemampuan budi, daya, dan karsa insani menuju pembangunan manusia seutuhnya.

4) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan.

5) Meningkatkan kapasitas dan kualitas aparatur dan penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance. 6) Penegakan hukum (law enforcement) yang adil dan bertanggung

jawab.

7) Memantapkan stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat guna memacu akselerasi pembangunan daerah.

8) Meningkatkan pembinaan mental spritual guna mengokohkan jatidiri masyarakat yang berkepribadian luhur, berbudaya, dan berwawasan kebangsaan.

(43)

c. Tujuan

Tujuan Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Sambas Tahun 2012-2016 adalah sebagai berikut :

1) Meningkatkan penyediaan infrastruktur dasar.

2) Meningkatkan kemampuan pengelolaan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan hidup.

3) Meningkatkan kegiatan ekonomi dan investasi.

4) Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia melalui pembangunan bidang pendidikan, kesehatan, kebudayaan, pemuda, olahraga dan pemberdayaan perempuan, keluarga dan anak untuk menunjang program-program unggulan daerah.

5) Meningkatkan derajat pendidikan.

6) Meningkatkan kepribadian dan kebudayaan masyarakat.

7) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program pembangunan.

8) Melakukan reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan. 9) Menegakkan supremasi hukum.

10) Memantapkan stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat. 11) Meningkatkan kualitas kehidupan beragama.

d. Sasaran

Adapun sasaran pembangunan daerah Kabupaten Sambas Tahun 2012-2016 adalah:

(44)

2) Terciptanya pengelolaan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan.

3) Berkembangnya perekonomian daerah.

4) Meningkatnya derajat kesehatan masyarakat, kebudayaan, pemuda, olahraga serta pemberdayaan perempuan dan anak.

5) Meningkatnya derajat pendidikan masyarakat.

6) Meningkatnya kepribadian dan kebudayaan masyarakat.

7) Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. 8) Melakukan reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan. 9) Meningkatnya kesadaran hukum.

10) Terciptanya stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat. 11) Meningkatnya kualitas kehidupan beragama.

B. Gambaran Umum Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Umum di Kabupaten Sambas

Demokrasi sebagai sistem kenegaraan merupakan salah satu mekanisme yang dianggap paling ideal dalam merumuskan tujuan dan cita-cita Negara. Dalam hal ini Pemilu merupakan salah satu tonggak demokrasi dan instrumen untuk mewujudkan cita-cita demokrasi, yaitu terbentuknya masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, memiliki kebebasan berekspresi dan berkehendak serta mendapatkan akses terpenuhinya hak-hak dasar mereka sebagai warga Negara. Karena itu, untuk melihat ada tidaknya demokrasi dalam penyelenggaraan negara, indikator yang dapat jadikan alat

(45)

ukur adalah dengan dijalankannya Pemilu secara bebas dan berkesinambungan, yang diikuti dengan tingginya partisipasi masyarakat dalam proses Pemilu tersebut.

Pemilihan umum (Pemilu) itu sendiri adalah salah satu cara dalam sistem demokrasi untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat, serta salah satu bentuk pemenuhan hak asasi warga negara dibidang politik. Pemilu dilaksanakan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Sebab, rakyat tidak mungkin memerintah secara langsung. Karena itu, diperlukan cara untuk memilih wakil rakyat dalam memerintah suatu negara selama jangka waktu tertentu.

Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang tentang Pemilu yaitu UU No.10/2008 mengatur tentang hak dan ketentuan Pemilu itu sendiri yang disebutkan di pasal 19

ayat 1 berbunyi: “WNI yang pada hari pemungutan suara telah berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.” Jelas

(46)

dalam produk hukum tertinggi di negara kita yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang diamandemen tahun 1999-2002, juga tercantum hal

senada. Dalam pasal 28 E disebutkan: “Pemilu dilaksanakan secara

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”.

Tujuannya dari Pemilu sendiri adalah :

1. Pemilu bertujuan agar pemerintah lahir dari, oleh dan untuk rakyat dengan memilih wakil-wakilnya di DPR dan DPD serta Presiden/Wakil Presiden.

2. Melalui Pemilu harapan-harapan rakyat disampaikan dan ditawarkan kepada calon-calon.

3. Pemilu yang terselenggara secara periodik memberi kesempatan kepada rakyat untuk menilai, mengevaluasi dan melakukan control terhadap perjalanan pemerintahan.

4. Pemilu bertujuan agar pemerintah berkuasa atas kehendak rakyat dan berdasarkan legitimasi rakyat.

Setiap warga negara, apapun latar belakangnya seperti suku, agama, ras, jenis kelamin, status sosial dan golongan, sesungguhnya mereka semua memiliki hak yang sama untuk berserikat dan berkumpul, menyatakan pendapat, menyikapi secara kritis kebijakan pemerintah dan pejabat negara. Hak ini disebut hak politik yang secara luas dapat langsung diaplikasikan secara kongkrit melalui media pemilihan umum.

Dalam menyelenggarakan Pemilu, diperlukan tata cara dan prosedur yang disebut sistem Pemilu. Sistem Pemilu mencakup dua hal. Pertama,

(47)

nilai-nilai normatif yang tertuang dalam Undang-Undang Pemilu yang mengatur bagaimana membagi kekuasaan dalam lembaga perwakilan secara proporsional sesuai dengan dukungan politik yang tergambar dari hasil perolehan suara dalam Pemilu. Kedua, proses pemilihan yaitu mekanisme pemilihan yang meliputi pengelolaan Pemilu, pemilihan di tempat suara pemungutan suara, perhitungan suara, petugas Pemilu, penetapan hasil Pemilu dan menetapkan hasil Pemilu menjadi kursi di lembaga perwakilan maupun pada tingkat eksekutif.

Tetapi mekanisme dan prosedur yang efektif saja tidak cukup untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati kehendak rakyat sebagai hasil dari Pemilu itu sendiri. Pemilu merupakan sarana legitimasi bagi sebuah kekuasaan. Setiap penguasa, betapapun otoriternya pasti membutuhkan dukungan rakyat secara formal untuk melegitimasi kekuasaannya. Pemilu merupakan icon demokrasi yang dapat dengan mudah diselewengkan oleh penguasa untuk kepentingan melanggengkan kekuasaannya. Maka selain mekanisme dan prosedur yang tepat, masalah sistem atau aturan main dalam penyelenggaraan Pemilu adalah hal penting yang harus diperhatikan.

Oleh itu, Pemilu/Pilkada yang demokratis memiliki beberapa persyaratan. Pertama, Pemilu harus bersifat kompetitif, artinya peserta Pemilu baik partai politik maupun calon perseorangan harus bebas dan otonom. Baik partai politik yang sedang berkuasa, maupun partai-partai oposisi memperoleh hak-hak politik yang sama dan dijamin oleh

(48)

undang-undang (UU), seperti kebebasan berbicara, mengeluarkan pendapat, berkumpul dan berserikat.

Syarat kompetitif juga menyangkut perlakuan yang sama dalam menggunakan sarana dan prasarana publik, dalam melakukan kampanye, yang diatur dalam UU. Misalnya stasiun televisi milik negara harus memberikan kesempatan yang besar pada partai politik yang berkuasa, sementara kesempatan yang sama tidak diberikan pada partai-partai peserta Pemilu lainnya

Kedua, Pemilu harus diselenggarakan secara berkala. Artinya

pemilihan harus diselenggarakan secara teratur dengan jarak waktu yang jelas. Misalnya setiap empat, lima, atau tujuh tahun sekali. Pemilihan berkala merupakan mekanisme sirkulasi elit, dimana pejabat yang terpilih bertanggung jawab pada pemilihnya dan memperbaharui mandat yang diterimanya pada Pemilu sebelumnya. Pemilih dapat kembali memilih pejabat yang bersangkutan jika merasa puas dengan kerja selama masa jabatannya. Tetapi dapat pula menggantinya dengan kandidat lain yang dianggap lebih mampu, lebih bertanggung jawab, lebih mewakili kepemimpinan, suara atau aspirasi dari pemilih bersangkutan. Selain itu dengan pemilihan berkala maka kandidat perseorangan atau kelompok yang kalah dapat memperbaiki dan mempersiapkan diri lagi untuk bersaing dalam Pemilu berikut. Ketiga, Pemilu haruslah inklusif. Artinya semua kelompok masyarakat baik kelompok ras, suku, jenis kelamin, penyandang cacat, lokalisasi, aliran ideologis, pengungsi dan sebagainya harus memiliki

(49)

peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam Pemilu. Tidak ada satu kelompok pun yang didiskriminasi oleh proses maupun hasil Pemilu. Hal ini diharapkan akan tercermin dalam hasil Pemilu yang menggambarkan keanekaragaman dan perbedaan–perbedaan di masyarakat.

Keempat, pemilih harus diberi keleluasaan untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan alternatif pilihannya dalam suasana yang bebas, tidak dibawah tekanan, dan akses memperoleh informasi yang luas. Keterbatasan memperoleh informasi membuat pemilih tidak memiliki dasar pertimbangan yang cukup dalam menetukan pilihannya. Suara pemilih adalah kontrak yang (minimal) berusia sekali dalam periode Pemilu (bisa empat, lima, atau tujuh tahun). Sekali memilih, pemilih akan ”teken kontrak” dengan partai atau orang yang dipilihnya dalam satu periode tersebut. Maka agar suara pemilih dapat diberikan secara baik, keleluasaan memperoleh informasi harus benar-benar dijamin.

Kelima, penyelenggara Pemilu yang tidak memihak dan independen.

Penyelenggaraan Pemilu sebagian besar adalah kerja teknis. Seperti penentuan peserta Pemilu, Pembuatan kertas suara, kotak suara, pengiriman hasil pemungutan suara pada panitia nasional, penghitungan suara, pembagian kursi dan sebagainya. Kerja teknis tersebut dikoordinasi oleh sebuah panitia penyelenggara Pemilu. Maka keberadaan panitia penyelenggara Pemilu yang tidak memihak, independen, dan profesional Sangay menentukan jalannya proses Pemilu yang demokratis. Jika penyelenggara merupakan bagian dari partai politik yang berkuasa, atau

(50)

berasal dari partai politik peserta Pemilu, maka azas ketidakberpihakan tidak terpenuhi. Otomatis nilai Pemilu yang demokratis juga tidak terpenuhi. Selanjutnya setiap kali pesta demokrasi digelar, baik dalam bentuk pemilihan umum tingkat nasional (Pemilu) ataupun tingkat daerah (Pilkada) selalu menghadirkan kelompok yang tidak dapat berpartisipasi dalam proses Pemilu atau Pilkada tersebut yang selanjutnya golongan ini disebut golput. Tingginya angka Golput disebuah wilayah merupakan sebuah indikator kuat/lemahnya sistem politik yang diterapkan di wilayah tersebut. Hal ini menjadikan sebuah tantangan bagi penyelenggara pemliu bagaimana pelaksana Pemilu untuk terus berusaha meminimalisir angka golput.

Sikap orang-orang golput, menurut Arbi Sanit dalam memilih memang berbeda dengan kelompok pemilih lain atas dasar cara penggunaan hak pilih. Apabila pemilih umumnya menggunakan hak pilih sesuai peraturan yang berlaku atau tidak menggunakan hak pilih karena berhalangan di luar kontrolnya, kaum golput menggunakan hak pilih dengan tiga kemungkinan. Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai. Kedua, menusuk bagian putih dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih. Bagi mereka, memilih dalam Pemilu sepenuhnya adalah hak. Kewajiban mereka dalam kaitan dengan hak pilih ialah menggunakannya secara bertanggung jawab dengan menekankan kaitan penyerahan suara kepada tujuan Pemilu, tidak hanya membatasi pada penyerahan suara kepada salah satu kontesan Pemilu.

(51)

Kabupaten Sambas sebagai sebuah wilayah otonom yang terletak diperbatasan dengan Malaysia wilayah Sabah dan Sarawak juga tidak luput dari hal tersebut. Berdasarkan data KPU Kabupaten Sambas menunjukkan bahwa tingkat Golput atau partisipasi masyarakat dalam mengikuti pemilihan umum di Kabupaten Sambas tergolong tidak terlalu baik hal ini dibuktikan dari angka partisipasi pemilih pada Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD dari tahun 2014 sebesar 67,73% atau tidak jauh lebih baik dari Pemilu sebelumnya yakni tahun 2009 sebesar 66,51%. Untuk lebih jelasnya data perbandingan Partisipasi Pemilih pada Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD dari tahun 2004, 2009 dan 2014 ditunjukkan dari tabel 2.2 berikut ini;

Tabel 2.2

Perbandingan Partisipasi Pemilih

Pada Pemilu DPR, DPD dan DPRD Tahun 2004, 2009 dan 2014 di Kabupaten Sambas NO TAHUN PEMILU LEGISLATIF Data Pemilih Pemillih yang hadir Partisipasi (%) 1 PEMILU 2004 305,756 239,411 78.30 2 PEMILU 2009 381,768 254,762 66.73 3 PEMILU 2014 414,715 279,993 67.51

Sumber: Data KPU 2015

Berdasarkan tabel 2.2 diatas menunjukkan bahwa kecenderungan partsipasi pemilih di Kabupaten Sambas dari tahun 2004 yakni sebesar 78,30 % sampai tahun 2014 yakni sebesar 67,51% mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan partisipasi pemilih di Kabupaten Sambas

(52)

merupakan permasalahan yang harus dicarikan solusinya agar partisipasi pemilih dapat ditingkatkan pada Pemilu atau Pilkada berikutnya.

Selain itu berdasarkan data pemilihan umum Presiden tahun 2004 hingga 2014 juga mengalami penurunan yang singnifikan. Untuk lebih jelasnya tabel 2.3 berikut ini menampilkan perbandingan partisipasi Pemilih Pada Pemilu Presiden Tahun 2004, 2009 dan 2014.

Tabel 2.3

Perbandingan Partisipasi Pemilih

Pada Pemilu Presiden Tahun 2004, 2009 dan 2014 di Kabupaten Sambas

NO TAHUN

PEMILU PRESIDEN Putaran 1

PEMILU PRESIDEN Putaran 2 Data Pemilih Pemillih yang hadir Partisipasi (%) Data Pemilih Pemillih yang hadir Partisipasi (%) 1 PEMILU 2004 310,692 232,495 74.83 310,588 220,644 71.04 2 PEMILU 2009 389,594 252,735 64.87 3 PEMILU 2014 413,405 269,651 65.23

Sumber: Data KPU 2015

Berdasarkan data tabel 2.3 diatas menunjukkan bahwa partisipasi pemilih dalam pemilihan umum Presiden juga mengalami penurunan yang signifikan dari tahun 2004 mencapai angka 74,83%, menjadi hanya sebesar 64,87% pada tahun 2009 atau mengalami penurunan sebesar 9,97%. Dan tidak jauh lebih baik pada tahun 2014 dengan tingkat partisipasi pemilih hanya sebesar 65,23%. Artinya masih ada 35,13% suara yang tidak meyalurkan hak pilihnya pada proses Pilpres tersebut. Angka ini merupan angka yang cukup besar yakni melebihi 1/3 dari total suara pemilih.

(53)

Berdasarkan data tingkat partisipasi pemilih baik pada pemilihan umum DPR, DPD dan DPRD, maupun pemilihan Umum Presiden menunjukkan bahwa perlunya evaluasi dan peningkatan tingkat partisipasi pemilih di Kabupaten Sambas.

Tidak dapat dipungkiri bahwa akses dan jarak lokasi TPS merupakan salah satu indikator tingginya tingkat partisipasi pemilih. Hal ini karena semakin dekat jarak TPS akan semakin memudahkan pemilih untuk mengikuti proses Pemilihan Umum (Pemilu) itu sendiri. Namun perlu diingat bahwa rasionalisasi penentuan jumlah PPS dan TPS per Desa bukanla tanpa alasan, hal ini sangat mempertimbangkan berbagai aspek dalam mempermudah pemilih untuk mengikuti pemilihan umum.

Selain itu, jumlah PPS dan TPS di setiap kecamatan juga dapat menggambarkan sebaran pemilih disetiap kecamatan dibandingkan dengan luas wilayah, artinya semakin banyak jumlah penduduknya cenderung akan semakin luas wilayahnya, maka secara otomatis semakin banyak jumlah pemilihnya serta semakin banyak pula PPS dan TPS yang tersebar di Kecamatan tersebut.

PPS maupun TPS sebagai ujung tombak dari proses pemilihan umum disuatu wilayah mempunyai peranan yang sangat vital dalam mensukseskan Pemilu/Pilkada itu sendiri. Oleh itu, perhitungan jumlah PPS dan TPS disetiap kecamatan/desa merupakan sebuah keharusan benar-benar memerlukan kalkulasi yang matang.

(54)

Selanjutnya tabel 2.4 berikut menyajikan data perbandingan jumlah TPS dan jumlah pemilih di setiap Kecamatan di Kabupaten Sambas.

Tabel 2.4

Data Perbandingan Jumlah Pemilih Terdaftar Serta Jumlah Desa/PPS dan Jumlah TPS

Pada Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD tahun 2014 Di Kabupaten Sambas

No Nama Kecamatan Jumlah

Desa/PPS

Jumlah TPS

Jumlah Pemilih Terdaftar

L P L+P 1 SAMBAS 18 101 18,036 18,443 36,479 2 TELUK KERAMAT 24 153 25,041 24,618 49,659 3 JAWAI 11 98 15,905 15,276 31,181 4 TEBAS 23 169 28,086 26,735 54,821 5 PEMANGKAT 5 119 17,779 17,782 35,561 6 SEJANGKUNG 12 52 9,121 8,816 17,937 7 SELAKAU 9 72 12,752 12,113 24,865 8 PALOH 8 56 9,596 9,315 18,911 9 SAJINGAN BESAR 5 30 4,801 3,905 8,706 10 SUBAH 11 56 7,488 6,844 14,332 11 GALING 10 50 7,783 7,597 15,380 12 TEKARANG 7 35 5,803 5,567 11,370 13 SEMPARUK 5 61 9,687 9,856 19,543 14 SAJAD 4 27 4,264 4,490 8,754 15 SEBAWI 7 39 6,934 6,825 13,759 16 JAWAI SELATAN 9 51 8,440 7,912 16,352 17 TANGARAN 7 51 8,765 8,623 17,388 18 SALATIGA 5 44 6,037 5,846 11,883 19 SELAKAU TIMUR 4 24 3,994 3,840 7,834 TOTAL 184 1,288 210,312 204,403 414,715

Sumber: Data KPU 2015

Berdasarkan tabel 2.4 diatas menunjukkan bahwa jumlah kecamatan Tebas yang mempunyai jumlah pemilih terdaftar sebanyak 54.821 mempunyai jumlah total TPS yang paling besar yakni sebanyak 169 TPS.

(55)

Bandingkan dengan Kecamatan Selakau Timur yang mempunyai jumlah pemilih terdaftar hanya sebanyak 7.834 hanya mempunyai TPS sebanyak 24 TPS atau kecamatan yang paling sedikit jumlah penduduk dan jumlah TPSnya di Kabupaten Sambas. Selanjutnya tabel 2.5 menjelaskan data perbandingan jumlah TPS dan jumlah pemilih di setiap Kecamatan di Kabupaten Sambas pada pemilihan umum DPR, DPD dan DPRD tahun 2009.

Tabel 2.5

Data Perbandingan Jumlah Pemilih Terdaftar Serta Jumlah Desa/PPS dan Jumlah TPS

Pada Pemilu ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD Tahun 2009 Di Kabupaten Sambas

No Nama Kecamatan Jumlah

Desa/PPS

Jumlah TPS

Jumlah Pemilih Terdaftar

L P L+P 1 SAMBAS 18 90 16,080 16,500 32,580 2 TELUK KERAMAT 24 121 22,864 22,597 45,461 3 JAWAI 11 83 14,021 13,639 27,660 4 TEBAS 23 138 25,100 24,280 49,380 5 PEMANGKAT 5 108 18,550 18,191 36,741 6 SEJANGKUNG 12 46 8,548 8,365 16,913 7 SELAKAU 9 64 11,764 11,202 22,966 8 PALOH 8 44 8,651 8,373 17,024 9 SAJINGAN BESAR 5 25 3,870 3,233 7,103 10 SUBAH 11 55 6,774 6,107 12,881 11 GALING 10 50 7,289 7,093 14,382 12 TEKARANG 7 29 5,165 5,050 10,215 13 SEMPARUK 5 54 9,906 9,810 19,716 14 SAJAD 4 21 3,991 4,151 8,142 15 SEBAWI 7 38 6,109 5,928 12,037 16 JAWAI SELATAN 9 43 7,626 7,208 14,834 17 TANGARAN 7 39 7,778 7,780 15,558 18 SALATIGA 5 36 5,732 5,481 11,213 19 SELAKAU TIMUR 4 20 3,552 3,410 6,962 TOTAL 184 1,104 193,370 188,398 381,768

(56)

Berdasarkan tabel 2.5 yang menjelaskan tentang perbandingan jumlah PPS/Desa, jumlah TPS serta jumlah pemilih di setiap Kecamatan di Kabupaten Sambas pada pemilihan umum DPR, DPD dan DPRD tahun 2009 menunjukkan bahwa jumlah Kecamatan Tebas yang mempunyai jumlah pemilih terdaftar sebanyak 49.380 pemilih, berbanding lurus dengan jumlah total TPS yakni sebanyak 138 TPS. Selanjutnya pada Kecamatan Teluk Keramat yang mempunyai total jumlah pemilih terdaftar sebanyak 45.461 juga mempunyai total jumlah TPS yang cukup besar yakni sebanyak 121 TPS. Bandingkan dengan Kecamatan Selakau Timur dan Kecamatan Sajingan Besar yang masing-masing mempunyai total jumlah pemilih terdaftar hanya sebanyak 6.962 dan 7.103, dengan hanya mempunyai TPS masing-masing sebanyak 20 dan 25 buah dimasing-masing kecamatan tersebut atau kecamatan yang paling sedikit jumlah penduduk dan jumlah TPS-nya di Kabupaten Sambas pada Pemilu 2009.

Berkaca pada data statistik patisipasi pemilih dari beberapa Pemilu sebelumnya, setiap kecamatan yang berada di Kabupaten Sambas mempunyai problematika tersendiri khususnya terkait tentang jumlah partisipasi pemilih. Untuk lebih jelasnya berikut ini disajikan data tingkat partisipasi pemilih pada Pemilihan Umum Legislatif Anggota DPR, DPD, DPRD 2004, 2009 sera 2014.

Gambar

Gambar 2.1 Peta Kabupaten Sambas
Grafik 2.2 Penduduk Kabupaten Sambas Menurut Jenis Kelamin, J U M L A H P E N D U D U K KECAMATAN
Tabel 3.1 Usia Responden

Referensi

Dokumen terkait

Badan ini dibentuk setelah Lansekap Budaya Provinsi Bali dimasukkan ke dalam Daftar Warisan Dunia, tetapi perlu diperhatikan bahwa badan pengelola ini dibentuk untuk

Oncology emergency modules: superior vena kava syndrome.. Corticosteroid physiology and principles

Merujuk pada kebijakan umum pembangunan kesehatan na- sional, upaya penurunan angka kematian bayi dan balita merupakan bagian penting dalam Program Nasional Bagi

mengidentifikasi permasalahan yang terjadi pada PT.EMKL Tirtasari Abadi Sejahtera yaitu kurang optimalnya pencatatan dan perhitungan dalam laporan keuangan yang masih

di dalam melestarikan budaya Betawi, dilakukan melalui penyelenggaraan special event yang di- implementasikan dalam bentuk Festival Palang Pintu di mana semua aktivitas seni

Salah satu sub bidang dalam geografi adalah geografi pembangunan dan ekonomi, yang terkait dengan keruangan dalam kaitannya dengan strategi pembangunan dan

Maka berdasarkan hasil wawancara, peneliti menginterpretasikan bahwa Aktivitas Divisi Humas Mabes Polri dengan masyarakat mengenai informasi jadwal pelayanan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan dua metode perhitungan curah hujan terhadap hasil kalibrasi dan validasi model IHACRES yang diterapkan di