• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi pengobatan pada pasien tuberkulosis anak di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Magelang kunjungan pertama Januari-April 2007 - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Evaluasi pengobatan pada pasien tuberkulosis anak di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Magelang kunjungan pertama Januari-April 2007 - USD Repository"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI PENGOBATAN PADA PASIEN TUBERKULOSIS ANAK

DI BALAI KESEHATAN PARU MASYARAKAT (BKPM) MAGELANG

KUNJUNGAN PERTAMA JANUARI-APRIL 2007

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Sukma Paramita Citraningtyas

NIM : 058114073

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

ii

EVALUASI PENGOBATAN PADA PASIEN TUBERKULOSIS ANAK

DI BALAI KESEHATAN PARU MASYARAKAT (BKPM) MAGELANG

KUNJUNGAN PERTAMA JANUARI-APRIL 2007

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Sukma Paramita Citraningtyas

NIM : 058114073

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

vii

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatakan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

limpahan berkat dan karunia-Nya sehingga penulisan skripsi yang berjudul

Evaluasi Pengobatan pada Pasien Tuberkulosis Anak di Balai Kesehatan Paru

Masyarakat (BKPM) Magelang Kunjungan Pertama Januari-April 2007 dapat

diselesaikan dengan baik dan lancar. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat

untuk mendapatkan gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) di Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak dapat

terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan dorongan dari banyak pihak. Oleh

karena itu pada saat ini penulis ingin menghaturkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1.

Rita Suhadi, M.Si, Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta sekaligus juga sebagai dosen penguji yang

telah banyak memberi masukan kepada penulis.

2.

dr. Fenty, M.Kes, SpPK selaku dosen pembimbing skripsi dan penguji

yang telah memberikan kritik, saran dan pencerahan kepada penulis.

3.

Ipang Djunarko, S.Si, Apt. selaku dosen penguji yang telah banyak

memberi masukan kepada penulis.

4.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah atas izin yang telah diberikan

sehingga peneliti dapat melakukan pengambilan data rekam medik di

(8)

viii

5.

Kepala Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Magelang atas izin

yang diberikan kepada penulis untuk melakukan penelitian.

6.

Ibu Rina, Ibu Kunah dan segenap staf BKPM Magelang, khususnya

staf pada bagian pendaftaran dan bagian Apotek yang telah banyak

membantu pada saat proses pengambilan data dilakukan.

7.

Bapak, Ibu, Kakak dan Adik tercinta atas doa dan dorongan sehingga

kuliah dapat selesai tepat waktu.

8.

Semua sahabat, Dhita, Ika, Nia, Dewi dan Yesi, serta teman-teman

senasib dan seperjuangan Fakultas Farmasi Angkatan 2005 kelas B

dan FKK 2005, terima kasih atas dukungan dan pertemanan yang

terjalin selama ini.

9.

Teman-teman KKN kelompok 19 yang telah hidup bersama-sama dan

berjuang di lokasi selama 2 bulan, terutama untuk Nori Paramita yang

telah membantu dalam penyusunan

abstract

.

10.

Seluruh warga Kos Mandoyo, Icha, Titin, Mono, dan Erlin, serta

Deddy atas dukungan dan kesediaan untuk menemani dan

mendengarkan keluh kesah saat mengerjakan skripsi.

11.

Serta semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini, namun tidak dapat penulis sebutkan satu per

satu.

Dalam penulisan skripsi ini penulis telah berusaha seoptimal mungkin,

(9)

ix

masih jauh dari sempurna. Untuk memperbaiki penulisan ini penulis selalu

berusaha untuk terbuka dan menerima saran dan kritik yang bersifat membangun.

Akhir kata penulis berharap bahwa skripsi ini dapat memberikan manfaat

bagi penulis pada khusunya dan bagi pembaca pada umumnya.

(10)
(11)

xi

INTISARI

Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan penyebab kematian pertama

akibat infeksi. Pengobatan tuberkulosis anak dilakukan setiap hari dengan dosis

yang ditetapkan berdasarkan berat badan. Pengobatan pada anak-anak kerap

mengalami

medication error

dan salah satu penyebabnya adalah

Drug Therapy

Problems

(DTP). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya DTP

pada pengobatan pasien TB anak di BKPM Magelang.

Data diambil dari rekam medik pasien TB anak di BKPM Magelang yang

berkunjung pertama kali pada bulan Januari-April 2007. Penelitian ini termasuk

observasional bersifat deskriptif evaluatif dan pengambilan data dilakukan secara

purposive sampling

. Penelitian dilakukan dengan menilai karakteristik pasien

tuberkulosis anak serta evaluasi terhadap obat-obat yang diresepkan berdasarkan

Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis 2007 untuk mengetahui ada

tidaknya DTP.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pasien TB anak paling

banyak perempuan. Berdasarkan umur diketahui bahwa penderita TB paling

banyak adalah balita (0-5 tahun). Berdasarkan berat badan diketahui 23% dengan

berat 0-10 kg; 56% 10-20 kg; 18% 20-30 kg dan 3% 30-40 kg. Obat tambahan

yang paling banyak diresepkan adalah antibiotik, antitusiv-ekspektoran dan

suplemen makanan. DTP yang terjadi selama terapi pada pasien TB anak antara

lain adalah perlu terapi tambahan pada 2 pasien, obat salah pada 2 pasien, dosis

kurang pada 11 pasien, dosis berlebih pada 35 pasien dan ketidaktaatan pada 1

pasien

(12)

xii

ABSTRACT

Tuberculosis is the first death which is caused by infection. The

tuberculosis treatment for children is done everyday with the dosage based by

weight. The treatment often has a medical error which is caused by drug theraphy

problems (DTP). This research is purpose to recognize DTP on children in BKPM

Magelang.

This data from the patients who come to BKPM Magelang for the first

visit on January-April 2007 was written in medical record. This research was an

observational study which used descriptive-evaluative method by purposive

sampling. This research was taken by describing characteristics on patientswith

some evaluations on drugs prescribed. The evaluation is based on Pedoman

Nasional Penanggulangan Tuberkulosis 2007 in order to know DTP.

Based on the research, girls had more percentages than boys. Based on

age, infants were the most suffered. Based on the weight, there were 23% patients

which weighed 0-10 kg; 56% weighed 10-20 kg; 18% weighed 20-30 kg and 3%

weighed 30-40 kg. The additional drugs were the most prescribed ones, namely,

antibiotics, antitusive-expectoran and food suplement. DTP which occured on the

process of treatment is needed additional drugs (2 patients); ineffective drugs (2

patients); dosage too low (11 patients); dosage too high (35 patients) and

non-compliance (1 cases).

(13)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ...

i

HALAMAN JUDUL ...

ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...

iii

HALAMAN PENGESAHAN ...

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ...

v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA

ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ...

vi

PRAKATA ...

vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...

x

INTISARI ...

xi

ABSTRACT

... xii

DAFTAR ISI ...

xiii

DAFTAR TABEL ...

xvi

DAFTAR GAMBAR ...

xvii

DAFTAR LAMPIRAN ...

xviii

BAB I. PENGANTAR ...

1

A.

Latar Belakang ...

1

1.

Permasalahan ...

4

2.

Keaslian penelitian ...

4

3.

Manfaat penelitian ...

5

(14)

xiv

1.

Tujuan umum ...

6

2.

Tujuan khusus ...

6

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ...

7

A.

Tuberkulosis Paru ...

7

1.

Penyebab ...

7

2.

Etiologi dan patogenesis ...

7

3.

Gejala tuberkulosis ...

8

4.

Diagnosis ...

8

B.

Pengobatan Tuberkulosis ...

12

C.

Balai Kesehatan Paru Masyarakat Magelang ...

15

D.

Drug Therapy Problems

(DTP)

... 17

E.

Keterangan Empiris ...

18

BAB III. METODE PENELITIAN ...

19

A.

Jenis dan Rancangan Penelitian ...

19

B.

Definisi Operasional ...

19

C.

Subyek Penelitian ...

21

D.

Jalannya Penelitian ...

23

1.

Tahap orientasi ...

23

2.

Tahap pengambilan data ...

24

3.

Tahap pengolahan data ...

24

E.

Tata Cara Analisis Hasil ...

25

F.

Kesulitan Penelitian ...

25

(15)

xv

A.

Diagnosis dan Karakteristik Pasien TB Anak ...

27

1.

Diagnosis TB anak ...

28

2.

Karakteristik jenis kelamin pasien TB anak ...

31

3.

Karakteristik umur pasien TB anak ...

32

4.

Karakteristik berat badan pasien TB anak ...

33

5.

Karakteristik gejala yang dirasakan pasien TB anak ...

34

B.

Gambaran Pengobatan Pasien TB Anak ...

36

1.

Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) ...

36

2.

Penggunaan obat tambahan ...

38

C.

Drug Therapy Problems

(DTP) ... 39

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ...

45

A.

Kesimpulan ...

45

B.

Saran ...

45

DAFTAR PUSTAKA ...

46

LAMPIRAN ...

48

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel I.

Sistem Skor Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TB ...

11

Tabel II.

Dosis OAT Kombipak pada Anak ...

14

Tabel III.

Dosis OAT KDT pada Anak ...

14

Tabel IV.

Penggolongan DTP ...

18

Tabel V.

Gejala yang Dirasakan Pasien TB Anak di BKPM

Magelang Kunjungan Pertama Januari-April 2007 ...

36

Tabel VI. Perbandingan Penggunaan OAT-FDC dan OAT

Kombipak pada Pasien TB Anak di BKPM Magelang

Kunjungan Pertama Januari-April 2007 ...

38

Tabel VII. Distribusi Obat yang Diresepkan Sebelum Mendapatkan

Terapi OAT pada Pasien TB Anak di BKPM

Magelang Kunjungan Pertama Januari-April 2007...

40

Tabel VIII. Frekuensi Penerimaan Resep Selama Pengobatan Pasien

TB Anak di BKPM Magelang Kunjungan Pertama

Januari-April

2007

...

41

Tabel IX.

Nomor Pasien dan Kasus DTP Perlu Terapi Tambahan ...

43

Tabel X.

Nomor Pasien dan Kasus DTP Obat Salah ...

43

Tabel XI.

Nomor Pasien dan Kasus DTP Dosis Kurang ...

44

(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Alur Deteksi Dini dan Rujukan TB Anak ...

9

Gambar 2. Alur Tatalaksana Pasien TB Anak pada Unit Pelayanan

Kesehatan Dasar...

12

Gambar 3. Bagan Kegiatan BKPM Magelang ...

17

Gambar 4. Bagan Subyek Penelitian...

22

Gambar 5. Tahap Jalannya Penelitian...

24

Gambar 6. Diagram Perbandingan Hasil Sistem Skoring pada Pasien

TB Anak di BKPM Magelang Kunjungan Pertama

Januari-April 2007 ...

29

Gambar 7. Diagram Perbandingan Hasil Uji Tuberkulin Pasien TB

Anak di BKPM Magelang Kunjungan Pertama Januari-

April

2007 ...

31

Gambar 8. Diagram Karakteristik Jenis Kelamin Pasien TB Anak di

BKPM Magelang Kunjungan Pertama Januari-April

2007...

32

Gambar 9. Diagram Karakteristik Umur Pasien TB Anak di BKPM

Magelang Kunjungan Pertama Januari-April 2007...

33

(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian ...

50

Lampiran 2. Data Berat Badan Balita Menurut KepMenKes Nomor

920/Menkes/SK/VIII/2002...

51

(19)

1

BAB I

PENGANTAR

A.

Latar Belakang

Penyakit Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit infeksi yang

disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis

. Penyakit ini merupakan penyebab

kematian pertama di dunia akibat infeksi.

World Health Organization

(WHO)

memperkirakan bakteri ini membunuh sekitar 2 juta jiwa setiap tahunnya. Antara

tahun 2002-2020 diperkirakan sekitar 1 miliar manusia akan terinfeksi. Kecepatan

penyebaran TB bisa meningkat lagi sesuai dengan peningkatan penyebaran

HIV/AIDS dan munculnya bakteri TB yang resisten terhadap obat.

Di kawasan Asia Tenggara, data WHO tahun 2002 menunjukan bahwa

TB membunuh sekitar 2.000 jiwa setiap hari. Sekitar 40 persen dari kasus TB di

dunia berada di kawasan Asia Tenggara. Indonesia sendiri menduduki peringkat

ketiga dunia, setelah India dan Cina. Di Indonesia setiap tahunnya terdapat 583

ribu kasus dan 140 ribu di antaranya meninggal dunia. Jika dihitung, setiap hari

425 orang meninggal akibat TB di Indonesia. Kalau 1 orang pasien bisa

menularkan ke 10 orang, pada tahun berikutnya jumlah yang tertular adalah 5,8

juta orang. Terdapat 75% kasus TB di suatu negara berkembang, termasuk

Indonesia terjadi pada usia produktif, yaitu usia antara 15-50 tahun (Harries,

1997).

Pemerintah melalui Program Nasional Pengendalian TB telah melakukan

berbagai upaya untuk menanggulangi TB, antara lain dengan strategi DOTS

(20)

ada tiga tahapan penting, yaitu mendeteksi pasien, melakukan pengobatan, dan

melakukan pengawasan langsung. Keberadaan program tersebut memang

menunjukkan banyak kemajuan bagi penanggulangan dan pengobatan TB di

Indonesia. Pemerintah juga telah menjamin ketersediaan obat-obat anti TB bagi

sarana pelayanan kesehatan pemerintah untuk mencukupi kebutuhan prakiraan

kasus di seluruh Indonesia, namun pada kenyataannya TB masih belum dapat

diberantas bahkan diperkirakan jumlah penderita TB belum mengalami

penurunan.

Penderita TB tidak hanya datang dari golongan dewasa, namun juga

dapat terjadi pada anak-anak. Terutama bila di sekeliling mereka terdapat

penderita TB aktif dewasa, serta tinggal di lingkungan padat dengan sirkulasi

udara buruk dan kurang sinar matahari. Menurut data WHO, pada 2004 tercatat

1,3 juta anak di dunia yang terinfeksi TB. Dari jumlah tersebut, tiap tahunnya

450.000 di antaranya meninggal dunia. Sementara menurut data Depkes, kasus TB

anak di Indonesia pada 2007 tercatat sebanyak 3.990 kasus (Anonim, 2009).

Anak-anak yang menderita TB ini dikenal sebagai penderita infeksi TB primer,

sedangkan pada orang dewasa kebanyakan infeksi yang terjadi adalah infeksi

pasca primer. Infeksi TB pada anak-anak dapat terjadi karena adanya penularan

dari orang dewasa, misalnya melalui

droplet

.

Diagnosis TB pada anak sulit dilakukan karena kadang ada kebingungan

antara infeksi primer (seringkali tanpa luka yang jelas pada paru-paru) dan PTB

atau

Pulmonary Tuberculosis

(Anonim, 2002). Hal ini dikarenakan pemeriksaan

(21)

dapat mengeluarkan sputum/dahak mereka. Oleh karena itu untuk mendukung

diagnosis dilakukan penggunaan sistem skoring, yaitu pembobotan terhadap

gejala dan tanda klinis yang dijumpai (Anonim, 2007b).

Pengobatan TB sifatnya lama dan jumlah obat yang dikonsumsi tidak

sedikit, misalnya standar pengobatan TB anak adalah dengan menggunakan

isoniazid, rifampisin dan pirazinamid selama 2 bulan dan diberikan setiap hari

(Anonim, 2005). Pemilihan obat yang tepat dan cukup jumlahnya sangat penting

agar TB pada anak dapat disembuhkan dan tidak mengganggu pertumbuhan dan

perkembangan mereka. Karena sifat pengobatan yang lama maka dari pihak

keluarga juga harus melakukan pemantauan yang cukup ketat agar tujuan

pengobatan dapat tercapai.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi terapi yang diberikan pada

anak. Evaluasi yang dilakukan berdasarkan pada ada-tidaknya

Drug Therapy

Problems

(DTP) yang terjadi. Evaluasi terhadap DTP meliputi ketepatan

pemilihan dan penggunaan obat, ketepatan pemilihan terapi tambahan, ketepatan

dosis obat, pemilihan obat dengan efek samping yang minimal, serta ketaatan

pasien minum obat didukung dengan pemberian informasi obat yang benar

(Cipolle, 2004).

Penelitian ini termasuk dalam penelitian observasional yang dilakukan

secara deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif. Bersifat retrospektif karena

evaluasi dilakukan berdasarkan data yang terdapat pada rekam medis pasien di

Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Magelang. Dari data pengobatan yang

(22)

BKPM maupun menggunakan standar pengobatan dari Departemen Kesehatan

Republik Indonesia atau WHO. Keberadaan penelitian ini juga diharapkan dapat

dijadikan referensi bagi pengobatan TBC untuk anak-anak. Penelitian ini

diharapkan menjadi bahan pertimbangan dalam peningkatan pelayanan medik di

Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Magelang.

1.

Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka

permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :

a.

seperti apakah karakteristik anak yang mengidap TB?

b.

seperti apakah gambaran terapi (meliputi kelas terapi, jenis dan golongan

obat, jumlah dan dosis obat dan juga penggunaan obat tambahan) yang

diberikan dalam pengobatan TB pada anak?

c.

apakah ada permasalahan yang berhubungan dengan obat (DTP) yang

terjadi selama pengobatan terhadap TB pada anak dilakukan (meliputi :

penggunaan obat yang tidak perlu, perlunya obat tambahan, penggunaan

obat tidak tepat, dosis obat terlalu tinggi/rendah, efek samping obat dan

ketaatan pasien) ?

2.

Keaslian penelitian

Penelitian mengenai evaluasi pengobatan pada pasien tuberkulosis anak

di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Magelang dengan kunjungan

pertama Januari-April 2007 belum pernah dilakukan. Ada beberapa penelitian

(23)

penelitian ini berbeda dalam hal tujuan penelitian, subyek penelitian, waktu

penelitian dan lokasi penelitian.

Beberapa penelitian tentang tuberkulosis antara lain adalah :

a.

Karakteristik Tuberkulosis Anak dengan Biakan Positif yang diteliti oleh

Supriyatno, dkk (2002).

b.

Gambaran Penatalaksanaan Pengobatan Penyakit Tuberkulosis (TB) di

Kabupaten Temanggung Jawa Tengah Periode Januari – Desember 2005 yang

diteliti oleh Lusiana (2006).

c.

Evaluasi Pengobatan Tuberkulosis Paru pada Pasien Dewasa di Instalasi

Rawat Jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Tahun 2005 yang diteliti oleh

Utomowati (2007).

3.

Manfaat penelitian

Manfaat dari penelitian “Evaluasi Pengobatan pada Pasien Tuberkulosis

Anak di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Magelang Kunjungan

Pertama Januari-April 2007” adalah :

a.

Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam pengobatan

penyakit TB pada anak.

b.

Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam

peningkatan pelayanan medik pengobatan TB pada anak di Balai Kesehatan Paru

(24)

B.

Tujuan

1.

Tujuan umum

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

pengobatan atau terapi TB yang diberikan pada pasien anak di Balai Kesehatan

Paru Masyarakat (BKPM) Magelang.

2.

Tujuan khusus

a.

Mengetahui karakteristik anak pengidap TB dilihat dari data yang ada

pada data rekam medik.

b.

Mengetahui gambaran terapi (meliputi kelas terapi, jenis dan golongan

obat, jumlah dan dosis obat, dan juga penggunaan obat tambahan) yang

diberikan untuk mengobati TB pada anak-anak.

c.

Mengetahui ada tidaknya permasalahan-permasalahan yang berhubungan

dengan obat (DTP) yang terjadi selama pengobatan terhadap TB pada anak

dilakukan (meliputi: penggunaan obat yang tidak perlu, perlunya obat

tambahan, penggunaan obat tidak tepat, dosis obat terlalu tinggi/rendah,

(25)

7

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A.

Tuberkulosis Paru

1.

Penyebab

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis

. Bakteri ini

termasuk golongan basil gram positif,

berbentuk batang, dinding selnya mengandung komplek lipida-glikolipida serta

lilin (wax) yang sulit ditembus zat kimia (Anonim, 2005).

Mycobacterium

tuberculosis

juga dikenal dengan nama lain

tubercle bacilli

, karena

kemampuaanya dalam menimbulkan lesi yang disebut tuberkel (Harries, 1997).

Umumnya

Mycobacterium tuberculosis

menyerang paru (80%) dan

sebagian kecil organ tubuh lain. Kuman ini mempunyai sifat khusus, yakni tahan

terhadap asam pada pewarnaan, sehingga disebut sebagai Basil Tahan Asam

(BTA).

Mycobacterium tuberculosis

cepat mati dengan matahari langsung, tetapi

dapat bertahan hidup pada tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh,

kuman dapat

dormant

(tertidur sampai beberapa tahun). TB timbul berdasarkan

kemampuannya untuk memperbanyak diri di dalam sel-sel fagosit (Anonim,

2005)

2.

Etiologi dan patogenesis

Sumber penularan penyakit TB adalah pasien TB dengan BTA positif pada

saat ia batuk atau bersin. Di mana pada saat itu terjadi penyebaran kuman melalui

droplet. Orang lain dapat terinfeksi jika menghirup droplet yang mengandung

(26)

bakteri tersebut akan terbawa hingga sampai ke cabang bronkial dan akan

menempel di bronkiolus atau alveolus. Kemampuan bakteri dalam menimbulkan

penyakit tergantung dari keganasan bakteri dan kemampuan mikrobiosidal dari

makrofag pada alveolus tersebut (Anonim, 2000a).

3.

Gejala tuberkulosis

Gejala-gejala umum TB pada anak antara lain adalah mengalami

penurunan berat badan selama tiga bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas,

dan tidak mengalami kenaikan dalam satu bulan walaupun telah mendapat

penanganan gizi yang baik. Mengalami demam lama atau berulang tanpa sebab

yang jelas (bukan tifus, malaria atau infeksi saluran nafas akut) dapat disertai

dengan keringat malam. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit,

paling sering di daerah leher, ketiak dan lipatan paha. Gejala dari saluran nafas,

misalnya batuk lebih dari 30 hari (setelah disingkirkan sebab lain dari batuk),

tanda cairan di dada dan nyeri dada. Gejala dari saluran cerna, misalnya diare

berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare, benjolan (massa) di

abdomen, dan tanda-tanda cairan dalam abdomen (Anonim, 2005).

4.

Diagnosis

Diagnosis TB paling tepat adalah dengan penemuan basil TB dari

spesimen dahak, bilasan lambung, biopsi dan lain-lain. Namun pada anak-anak hal

tersebut sulit didapat karena anak-anak kadang tidak dapat mengeluarkan dahak

mereka, justru kerap kali menelannya. Oleh karena itu sebagian besar diagnosis

anak didapat dari gambaran klinik, foto rontgen dada dan uji tuberkulin (Wirawan,

(27)
(28)

Diagnosis TB anak sulit dilakukan, tidak seperti pada orang dewasa yang

dapat dilakukan dengan pemeriksaan sputum atau dahak secara mikroskopis.

Karena sulitnya mendiagnosis maka sering terjadi

overdiagnosis

maupun

underdiagnosis

. Oleh karena itu untuk mempermudah diagnosis pada anak

digunakan sistem skor, yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang

dijumpai (Anonim, 2007b).

Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien

dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6, harus ditatalaksana sebagai

pasien TB dan mendapat Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Skor kurang dari 6 tetapi

secara klinis kecurigaan kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan

diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi,

pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-scan, dan

(29)

Tabel I. Sistem Skoring Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TB

(Anonim, 2007b)

Parameter

0

1 2 3

Jml

Kontak TB

Tidak

jelas

Laporan

keluarga,

BTA negatif

atau tidak

tahu, BTA

tidak jelas

BTA positif

Uji tuberkulin

Negatif

Positif

(

10 mm,

atau

5 mm

pada keadaan

imunosupresi)

Berat badan/

keadaan gizi

Bawah

garis

merah (KMS)

atau BB/U

<80%

Klinis gizi

buruk

(BB/U

<60%)

Demam tanpa

sebab yang

jelas

2 minggu

Batuk

3 minggu

Pembesaran

kelenjar limfe

koli, aksila,

inguinal

1 cm,

jumlah >1,

tidak nyeri

Pembengkakan

tulang/sendi

panggul, lutut,

falang

Ada

pem-bengkakan

Foto rontgen

toraks

Normal/

tidak

jelas

Jumlah

Catatan :

Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.

Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik

lainnya seperti asma, sinusitis, dan lain-lain.

Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat

langsung didiagnosis tuberkulosis.

Berat badan dinilai saat pasien datang

(moment opname)

kemudian

dilampirkan pada tabel badan badan.

(30)

Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah

penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.

Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14).

Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi

lebih lanjut.

Setelah didapatkan hasil dari sistem skor, maka tatalaksana dilanjutkan

dengan pemberian OAT, dapat dilihat dari alur berikut ini :

Gambar 2. Alur Tatalaksana Pasien TB Anak pada

Unit Pelayanan Kesehatan Dasar (Anonim, 2007b)

B.

Pengobatan Tuberkulosis

Ada tiga sifat penting yang terdapat dalam obat TB yaitu memiliki

aktivitas bakterisidal, sterilisasi, dan kemampuan mencegah resistensi. Sifat-sifat

tersebut dimiliki oleh tiap obat TB dengan kemampuan yang berbeda-beda.

Isoniazid dan rifampisin merupakan bakterisidal paling kuat dan aktif melawan

(31)

saat ini. Pirazinamid dan streptomisin juga merupakan bakterisidal yang dapat

melawan populasi basil TB. Pirazinamid hanya aktif di lingkungan asam.

Streptomisin merupakan bakterisidal yang mampu membunuh basil TB yang

tumbuh dengan cepat. Etambutol dan tiosetason digunakan bersama-sama dengan

obat lain yang lebih kuat untuk mencegah resistensi basil (Anonim, 2000a). Terapi

terhadap penderita TB dimaksudkan untuk menyembuhkan penderita hingga

sembuh, mencegah kematian, mencegah kekambuhan dan menurunkan tingkat

penularan (Anonim, 2005).

Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan

diberikan dalam waktu 6 bulan (Anonim, 2007b). Pengobatan pada anak tidak

berbeda dengan dewasa, namun ada hal yang harus diperhatikan yaitu pemberian

obat untuk tahap intensif maupun lanjutan OAT pada anak diberikan setiap hari,

selain itu dosis obat yang diberikan harus disesuaikan dengan berat badan anak

(Anonim, 2005).

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan 6 bulan cukup adekuat.

Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan

penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk

menilai keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata

walaupun gambaran radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti, maka

OAT tetap dihentikan (Anonim, 2007b). Perbaikan klinis yang terjadi antara lain

adalah kenaikan berat badan dan pengamatan terhadap peningkatan aktivitas anak

(32)

Tabel II. Dosis OAT Kombipak pada Anak (Anonim, 2007b)

Jenis Obat

BB

< 10 kg

BB

10 – 19 kg

BB

20 – 32 kg

Isoniasid

50 mg

100 mg

200 mg

Rifampisin

75 mg

150 mg

300 mg

Pirazinamid

150 mg

300 mg

600 mg

Tabel III. Dosis OAT KDT pada Anak (Anonim, 2007b)

Berat Badan (kg)

2 bulan tiap hari

RHZ (75/50/150)

4 bulan tiap hari

RH (75/50)

5-9

1 tablet

1 tablet

10-19

2 tablet

2 tablet

20-32

4 tablet

4 tablet

Keterangan:

Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit

Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.

Anak dengan BB

33 kg , dirujuk ke rumah sakit.

Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah

OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus

sesaat sebelum diminum.

Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat

dengan penderita TB dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan

menggunakan sistem skoring (Tabel I). Bila hasil evaluasi dengan sistem skoring

didapat skor <5, kepada anak tersebut diberikan isoniazid (INH) dengan dosis

5-10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan sebagai terapi pencegahan (profilaksis). Bila

anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan

setelah pengobatan pencegahan selesai (Anonim, 2007b).

Obat anti tuberkulosis yang diberikan kepada pasien TB anak bisa dalam

(33)

merupakan OAT yang diberikan dalam bentuk dosis tunggal dengan paduan obat

tuberkulosis. Untuk mempermudah pemberian obat pada pasien anak maka dibuat

dalam bentuk racikan. OAT-kombipak memiliki keuntungan yaitu mudah

dilakukan penyesuaian dosis jika ternyata pasien mengalami kontraindikasi

dengan salah satu obat. Namun kelemahannya adalah kemungkinan terjadinya

kesalahan pada saat penyiapan racikan karena jumlah obat yang cukup banyak

(Utomowati, 2007).

Obat anti tuberkulosis FDC bentuknya lebih ringkas dan praktis

dibanding OAT-kombipak, sehingga penggunaan obatnya pun menjadi lebih

mudah. OAT-FDC ini berupa paduan obat tuberkulosis yang diberikan dalam satu

tablet yang mengandung kombinasi beberapa jenis obat dengan dosis tepat. Selain

kelebihan yang dimiliki daripada OAT-kombipak, dengan OAT-FDC ini

diharapkan ketaatan pasien minum obat menjadi lebih baik karena penggunaan

obatnya lebih mudah. Namun kelemahannya adalah sulit melakukan penyesuaian

dosis untuk pasien yang kontraindikasi dengan obat tersebut (Utomowati, 2007).

C.

Balai Kesehatan Paru Masyarakat Magelang

Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Wilayah Magelang adalah

salah satu unit pelayanan kesehatan masyarakat yang bergerak dalam bidang

tindakan preventif, promotif dan kuratif terhadap penyakit yang berkaitan dengan

fungsi paru. BKPM Magelang sampai dengan tahun 2005 lebih dikenal sebagai

BP4 (Balai Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Paru) Magelang yang berlokasi

di Jl. Jend. Sudirman No. 46 B Kota Magelang. Pada tahun 2005 – 2006 terjadi

(34)

Magelang, namun tetap dengan pengawasan dari Pemerintah Provinsi Jawa

Tengah. Pada tahun 2006 – 2007 dibentuklah satuan kerja khusus P4, yang

mengurusi kegiatan-kegiatan pada unit tersebut. Kemudian pada Juli 2008 BP4

Magelang resmi berubah nama menjadi BKPM Wilayah Magelang. Dikarenakan

gedung lama sudah tidak mampu menampung jumlah pasien dari beberapa

kabupaten di Jawa Tengah yang cukup banyak maka pada tanggal 30 Desember

2008 pelayanan di BKPM pindah ke gedung baru yang lebih memadai yang

terletak di Jl. Jenderal Sudirman No. 46 B Kota Magelang.

BKPM Magelang sendiri mempunyai visi yaitu “Menjadi pusat rujukan

layanan kesehatan paru yang profesional dan dicintai masyarakat”, sedangkan

misinya adalah :

1.

Melaksanakan pelayanan kesehatan paru yang bermutu dan terjangkau

bagi masyarakat.

2.

Meningkatkan sumber daya manusia, kinerja, profesionalisme dan

kesejahteraan.

3.

Mengupayakan peran serta masyarakat dalam peningkatan kesehatan

paru masyarakat melalui penyuluhan kesehatan dengan kerja sama lintas

sektoral.

Sesuai dengan sesuai Perda Provinsi Jawa Tengah No 5 tahun 2006

tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No 1 Tahun 2002

tentang Pembentukan, Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan Susunan Organisasi

Unit Pelaksana Teknis Dinas, maka cakupan wilayah kerja BKPM meliputi : Kota

(35)

Masyarakat

Individu

Diagnosis kesehatan

paru pasien

Tim Multidisiplin

(SpP,SpPK,SpR,Ps,

Perawat, dsb

)

Rencana

Implementasi

terapi

Out come

Sembuh total

Rehabilitasi

Analisis lingkungan

(angka kesakitan

paru dsb)

Tim Multidisiplin (ahli

kesmas, klinisi,

psikolog, dll)

Rencana

kegiatan/program

Record

Networking

Database untuk

pengkajian,

penelitian dan

pengambangan

ilmu

KESADARAN TTG KESEHATAN

PARU, PERILAKU, DERAJAT KES

PARU

M

M

A

A

S

S

A

A

L

L

A

A

H

H

K

K

E

E

S

S

E

E

H

H

A

A

T

T

A

A

N

N

P

P

A

A

R

R

U

U

Kabupaten Kebumen, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Banyumas, Kabupaten

Banjarnegara, Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Cilacap (Anonim, 2008).

Gambar 3. Bagan Kegiatan BKPM Magelang (Anonim, 2008)

D.

Drug Therapy Problems

(DTP)

Drug therapy problems

(DTP) merupakan salah satu dari 6 macam

kejadian

medication error

paling umum yang terjadi selama pengobatan

dilaksanakan (Cohen, 1999).

Drug Therapy Problems

(DTP) adalah

kejadian-kejadian yang tidak dikehendaki yang dialami oleh pasien yang melibatkan, atau

(36)

terapi (Cipolle, 2004). Kategori dan kasus DTP yang sering terjadi dapat dilihat

dari tabel berikut :

Tabel IV. Penggolongan

Drug Therapy Problems

(Cipolle, 2004)

No.

Drug Therapy Problem

Contoh kasus yang sering terjadi

1.

Penggunaan obat yang tidak

perlu

Obat yang digunakan tidak sesuai

dengan indikasi; Kondisi pasien lebih

baik diobati dengan terapi

nonfarmakologis.

2.

Diperlukan terapi tambahan

Diperlukan obat untuk mengurangi

risiko terjadinya perubahan kondisi

sekarang.

3.

Penggunaan obat yang tidak

efektif

Bentuk sediaan yang digunakan tidak

sesuai dengan kondisi pasien.

4.

Dosis terlalu rendah

Dosis terlalu rendah untuk

menghasilkan respon yang diinginkan.

5.

Adverse Drug Reaction

(ADR)

Obat yang digunakan menimbulkan

reaksi alergi.

6.

Dosis terlalu tinggi

Dosis yang diberikan terlalu tinggi;

Frekuensi obat terlampau singkat.

7.

Ketidaktaatan

Pasien tidak mengerti perintah yang

diberitahukan; harga obat terlampau

mahal; pasien lupa minum obat.

E.

Keterangan Empiris

Penelitian mengenai TB yang dilakukan sebelumnya memberikan

kesimpulan bahwa TB juga dapat diderita oleh anak-anak. Pasien pediatrik atau

pasien anak merupakan pasien yang sangat rentan mengalami

medication errors

.

Drug Therapy Problems

(DTP) merupakan salah satu dari 6 macam kasus yang

(37)

19

BAB III

METODE PENELITIAN

A.

Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian tentang evaluasi pengobatan pada pasien tuberkulosis anak di

Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Magelang kunjungan pertama

Januari-April 2007 termasuk penelitian observasional (Pratiknya, 2001) dengan rancangan

penelitian bersifat deskriptif evaluatif (Notoadmodjo, 2005).

Penelitian ini disebut sebagai penelitian obeservasional karena pada

penelitian ini hanya dilakukan pengamatan terhadap sejumlah ciri (variabel) yang

ada pada subyek penelitian tanpa adanya manipulasi atau perlakuan dari

penelitian. Rancangan penelitian ini adalah deskriptif evaluatif, karena tujuan dari

penelitian ini adalah untuk membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu

keadaan secara obyektif (Notoadmodjo, 2005). Evaluasi dilakukan berdasarkan

Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis yang diterbitkan oleh

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2007b).

B.

Definisi Operasional

1.

Pasien tuberkulosis anak adalah pasien anak usia 0 – 14 tahun yang

didiagnosis baik dengan Uji Tuberkulin maupun dengan sistem skoring dan

ditetapkan menderita TB.

2.

Periode Januari-April 2007 adalah waktu kunjungan pertama yang dilakukan

oleh pasien anak ke BKPM Magelang untuk memeriksakan diri dan untuk

(38)

3.

Evaluasi pengobatan adalah evaluasi yang dilakukan terhadap obat-obat yang

diresepkan kepada pasien tuberkulosis anak di BKPM Magelang kunjungan

pertama Januari-April 2007 berdasarkan penggolongan 7 macam DTP

menurut Cipolle (2004).

4.

Kartu rekam medik adalah berkas yang memberikan informasi tentang

identitas pasien yang meliputi nomor rekam medis, nama, umur, jenis

kelamin, hasil Uji Tuberkulin, hasil sistem skoring, anamnesis, berat badan,

tanggal dan perjalanan penyakit, jenis obat, dosis obat, lama pemberian dan

hasil pengobatan.

5.

Lama pengobatan adalah waktu penggunaan OAT yang diperlukan oleh pasien

TB anak dalam melaksanakan terapi TB, meliputi fase intensif selama 2 bulan

dan fase tambahan selama 4 bulan, di BKPM Kota Magelang.

6.

Dosis obat adalah takaran (kadar) obat yang digunakan untuk mengobati

penyakit atau mengurangi gejala yang diberikan pada saat pasien menunggu

hasil uji tuberkulin maupun pada saat pasien menerima terapi TB anak di

BKPM Kota Magelang. Dosis obat yang dimaksud meliputi dosis dan aturan

pemakaian obat. Evaluasi dosis berdasarkan MIMS (2007a), Informatorium

Obat Nasional Indonesia (2000b), Pedoman Nasional Penanggulangan

Tuberkulosis (2007b).

7.

Obat tambahan adalah obat (generik maupun paten) selain OAT, yang

diberikan kepada pasien selama proses terapi TB di BKPM Kota Magelang.

8.

Jenis obat tambahan adalah kelompok obat tambahan berdasarkan efek

(39)

Magelang, terutama yang diberikan pada saat pasien menunggu hasil Uji

Tuberkulin.

9.

Efek samping obat adalah efek yang tidak diharapkan dari penggunaan obat

antituberkulosis dan obat tambahan selama proses terapi tuberkulosis di

BKPM Magelang.

10.

Status pengobatan adalah kondisi pasien TB anak baik selama maupun setelah

dilakukannya terapi. Kondisi ini ada tiga macam yaitu

Drop Out

(DO) untuk

pasien yang pengobatannya putus, kambuh untuk pasien yang dulu pernah

melakukan terapi namun karena sesuatu hal tidak tuntas dan menjadi kambuh

lagi, dan kondisi yang ketiga adalah sembuh yaitu keadaan pasien yang telah

tuntas melaksanakan terapi dan berdasarkan hasil laboratorium dinyatakan

sembuh.

11.

Data yang tidak dapat dievaluasi adalah data rekam medik yang tidak memuat

diagnosis TB, baik hasil Uji Tuberkulin maupun hasil skoring sistem.

C.

Subyek Penelitian

(40)

Populasi pasien TB anak di BKPM Magelang dengan kunjungan pertama

Januari-April 2007 berjumlah 198 pasien. Berdasarkan perhitungan, maka jumlah

populasi penelitian yang didapat adalah 67 pasien.

(Notoadmodjo, 2002)

Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan pada saat pengolahan

data, maka jumlah populasi penelitian yang diambil dibuat berlebih, yaitu menjadi

80 pasien. Kedelapan puluh pasien tersebut kemudian mengalami seleksi

berdasarkan kriteria inklusi dan eklusi penelitian yang telah dibuat, yaitu :

a.

Kriteria inklusi

1.

Pasien anak usia 0 – 14 tahun yang didiagnosis menderita TB.

2.

Tercatat dalam rekam medis di Balai Kesehatan Paru Masyarakat

(BKPM) Magelang.

3.

Berkunjung atau memeriksakan diri pertama kali pada periode

Januari-April 2007.

4.

Sedang atau telah menjalani terapi TB, fase intensif dan fase lanjutan.

b.

Kriteria eksklusi

Data rekam medik pasien yang tidak memiliki kelengkapan data

(41)

Sampel kemudian diambil dengan cara

purposive sampling

, yaitu

mengambil sampel dengan pertimbangan tertentu antara lain pasien dengan data

rekam medik yang memiliki kelengkapan data diagnosis TB oleh dokter, melalui

hasil skoring sistem dan Uji Tuberkulin (

Mantoux test

). Berdasarkan

pengambilan sampel dengan cara

purposive

sampling

tersebut maka total subyek

penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah 39 pasien TB anak yang

diwakili oleh data rekam medik.

D.

Jalannya Penelitian

Gambar 5. Tahap Jalannya Penelitian

1.

Tahap orientasi

Tahap orientasi adalah awal dari jalannya penelitian. Pada tahap ini

peneliti mencari informasi tentang seberapa besar jumlah pasien TB anak yang

berobat di BKPM Magelang yang beralamat di Jl. Jenderal Sudirman No. 46 B

Magelang. Pada tahap ini juga dilakukan penyesuaian teknis pengambilan data di

ruang pendaftaran BKPM, tempat rekam medik disimpan. Penyesuaian teknis

bertujuan agar selama pengambilan data dilakukan kegiatan pelayanan di ruang

(42)

tahap ini dapat diketahui bahwa jumlah total pasien TB anak yang berkunjung

pertama kali di BKPM Magelang pada periode Januari-April 2007 ada 198 pasien.

2.

Tahap pengambilan data

Pada tahap ini dilakukan pengambilan data dimulai dari tanggal 30

Desember 2008 sampai dengan 13 Januari 2009. Data rekam medik pasien TB

anak yang diambil meliputi nomor RM, usia pasien, jenis kelamin, tempat tinggal,

hasil skoring sistem, hasil Uji Tuberkulin, kelas terapi obat, jumlah dan dosis

obat, efek samping yang mungkin muncul, obat tambahan yang digunakan, dan

status pengobatan (DO atau

Drop Out

, kambuh atau sembuh).

Data yang diambil untuk penelitian adalah rekam medik dari pasien anak

yang berkunjung pertama kali pada periode Januari-April 2007 dengan usia 0-14

tahun, berdasarkan penggolongan usia dari BKPM Magelang. Data tersebut juga

memiliki kelengkapan data diagnosis dokter melalui sistem skoring dan Uji

Tuberkulin. Hal ini menjadi pertimbangan dalam pengambilan sampel karena

melalui data tersebut pasien dapat dinilai apakah benar-benar positif TB atau

tidak. Data rekam medik juga harus memiliki kelengkapan data pengobatan

terhadap TB yang diberikan. Kondisi pasien baik pada awal berkunjung maupun

selama menerima terapi TB dapat dilihat melalui data rekam medik tersebut.

3.

Tahap pengolahan data

Data yang diperoleh kemudian dievaluasi, diolah dan disajikan dalam

bentuk tabel yang memuat analisis SOAP (

Subjective, Objective, Assessement and

(43)

tersebut kemudian dinilai DTP apa saja yang terjadi dalam terapi pasien TB anak.

Selain itu dari data RM juga dapat diketahui karakteristik pasien TB anak.

E.

Tata Cara Analisis Hasil

Data yang diperoleh dari RM pasien TB anak kemudian diolah secara

deskriptif kemudian hasilnya disajikan dalam bentuk diagram dan tabel beserta

uraian penjelasannya. Analisis yang dilakukan didasarkan pada :

a.

jenis kelamin, usia, berat badan, tingkat pendidikan dari pasien

b.

diagnosis tuberkulosis berdasarkan hasil skoring sistem dan Uji

Tuberkulin (

Mantoux test

)

c.

evaluasi DTP yang terjadi selama pengobatan TB pada anak dengan

metode SOAP dan analisis pengobatan dilakukan berdasarkan Pedoman

Nasional Penanggulangan Tuberkulosis 2007 dari Departemen Kesehatan

Republik Indonesia

F.

Kesulitan Penelitian

Selama penelitian dilakukan peneliti tidak lepas dari kesulitan-kesulitan

penelitian. Kesulitan itu antara lain adalah teknik pengambilan data rekam medik

(RM). Hal itu dikarenakan situasi BKPM Magelang yang agak kurang

mendukung sebab BKPM baru saja melakukan pindah gedung yang jaraknya

cukup jauh dari gedung yang lama, sehingga rak penyimpanan rekam medik

belum sepenuhnya tertata rapi dan berurutan nomor rekam mediknya. Akibatnya

teknik penelitian yang awalnya dirancang sebagai teknik acak sederhana tidak

dapat terlaksana dan peneliti hanya mampu mengambil data yang disediakan oleh

(44)

Kesulitan berikutnya adalah data pada RM kadang tidak lengkap,

terutama data diagnosis TB baik dengan sistem skoring maupun hasil dari Uji

Tuberkulin. Hal ini yang menyebabkan banyak data tidak masuk dalam kriteria

inklusi penelitian. Selain itu dokumentasi peresepan obat juga tidak lengkap,

sehingga penelusuran terhadap obat-obat yang diberikan kepada pasien menjadi

(45)

27

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian tentang evaluasi pengobatan pada pasien TB anak di Balai

Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Magelang dengan waktu kunjung pertama

Januari-April 2007 dilaksanakan dengan melakukan pencatatan langsung

obat-obat yang diberikan pada saat terapi dan semua data diagnosis yang tercantum

dalam rekam medik pasien yang tersimpan di ruang pendaftaran BKPM

Magelang. Selama periode Januari-April 2007 diketahui ada 198 pasien TB anak

yang berkunjung di BKPM Magelang. Dari kasus tersebut terdapat 39 pasien yang

sesuai dengan tujuan penelitian, antara lain memiliki kelengkapan data diagnosis

dan terapi. Berdasarkan data rekam medik tersebut kemudian dilakukan

pencatatan meliputi nomor rekam medik, usia pasien, jenis kelamin, hasil skoring

sistem, hasil Uji Tuberkulin, kelas terapi obat, jumlah dan dosis obat, efek

samping yang mungkin muncul, obat tambahan yang digunakan, dan status

pengobatan (DO atau

Drop Out

, kambuh atau sembuh).

Hasil dari penelitian ini terbagi dalam tiga bagian utama. Bagian pertama

membahas tentang diagnosis dan karakteristik pasien TB anak. Bagian kedua

membahas tentang gambaran pengobatan pasien TB anak. Bagian yang terakhir

tentang

drug therapy problems

(DTP) yang terjadi pada saat pengobatan

dilakukan.

A.

Diagnosis dan Karakteristik Pasien TB Anak

Berdasarkan data kunjungan pasien di BKPM Magelang pada periode

(46)

Hasil Sistem Skoring

< 6 poin 56% 6-13 poin

44%

< 6 poin 6-13 poin

Informasi tentang kondisi pasien tersebut diwakili oleh data rekam medik yang

tersimpan di ruang pendaftaran BKPM Magelang.

1.

Diagnosis TB anak

Pada anak, gejala klinis TB bersifat tidak khas sehingga banyak dijumpai

over/under diagnosis atau over/under treatment

. Pemeriksaan penunjang untuk

membantu diagnosis TB anak seperti uji serologis dan PCR memberikan hasil

yang kurang memuaskan. Selain uji tersebut tidak ada uji lain yang lebih spesifik

layaknya kultur

M.tuberculosis

(Supriyatno, 2002). Untuk membantu penetapan

diagnosis TB pada anak dilakukan sistem pembobotan (

scoring system

) gejala dan

pemeriksaan penunjang lainnya.

Gambar 6. Diagram Perbandingan Hasil Sistem Skoring pada Pasien TB

Anak di BKPM Magelang Kunjungan Pertama Januari-April 2007

Hasil skoring sistem yang didapat dari data rekam medik pasien TB anak

di BKPM Magelang dengan waktu kunjungan pertama bulan Januari-April 2007

(47)

antara 6 sampai 13. Seorang anak akan didiagnosis TB jika hasil sistem skoring

nilainya adalah

6. Berdasarkan data rekam medik pasien ternyata ada 23 pasien

yang mendapatkan hasil skoring kurang dari 6 dan 16 pasien mendapatkan hasil

skoring antara 6-13.

Di dalam sistem skoring ada salah satu pengujian yang sangat penting

untuk menilai seorang anak mengidap TB atau tidak, yaitu Uji Tuberkulin atau

Mantoux test

. Uji tuberkulin dilakukan dengan cara Mantoux ( pernyuntikan

intrakutan ) dengan semprit tuberkulin 1 cc jarum nomor 26. Tuberkulin yang

dipakai adalah tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU. Pembacaan dilakukan 48-72

jam setelah penyuntikan. Diukur diameter transveral dari indurasi yang terjadi.

Ukuran dinyatakan dalam milimeter, uji tuberkulin positif bila indurasi >10 mm (

pada gizi baik ), atau >5 mm pada gizi buruk (Anonim, 2002a).

Secara umum hasil positif menunjukkan bahwa pasien terinfeksi oleh

TB, bahkan kemungkinan adanya TB aktif pada anak. Berdasarkan hasil tersebut

maka pasien dapat langsung mendapatkan terapi TB baik fase intensif maupun

fase lanjutan. Namun kadang ada kondisi-kondisi tertentu yang membuat hasil Uji

Tuberkulin negatif walaupun pasien telah terinfeksi TB, misalnya kondisi anergi

atau keadaan yang menyebabkan berkurangnya reaktivitas terhadap antigen

tertentu. Berdasarkan data rekam medik terdapat 21 pasien yang menunjukkan

hasil Uji Tuberkulin positif dan 17 pasien menunjukkan hasil negatif, sisanya

yaitu 1 pasien tidak melakukan Uji Tuberkulin, sebab menurut sistem skoring

(48)

Hasil Uji Tuberkulin

Positif 53% Negatif

44%

Tidak melakukan

3%

Positif Negatif Tidak melakukan

Gambar 7. Diagram Perbandingan Hasil Uji Tuberkulin pada Pasien TB

Anak di BKPM Magelang Kunjungan Pertama Januari-April 2007

Berdasarkan keterangan pada data rekam medik pasien dapat diketahui

bahwa pasien yang mendapatkan hasil skoring antara 6-13 dan menunjukkan hasil

Uji Tuberkulin positif ada 12 pasien, hasil negatif 3 pasien dan yang tidak

melakukan Uji Tuberkulin 1 pasien. Sedangkan pasien yang mendapatkan hasil

skoring kurang dari 6 namun menunjukkan hasil Uji Tuberkulin positif ada 8

pasien dan hasil negatif 15 pasien. Pada data rekam medik tidak terdapat

informasi lebih lanjut mengapa pasien dengan hasil skoring kurang dari 6 dan

hasil Uji Tuberkulin negatif tetap menerima terapi TB selama 6 bulan. Namun jika

ditelusuri lebih lanjut diketahui bahwa setelah pasien menerima terapi OAT

selama 2 bulan, ternyata pasien menunjukkan perbaikan klinis, yang berarti bahwa

pasien memang mengidap TB meskipun Uji Tuberkulin menunjukkan hasil

negatif. Hal ini telah sesuai dengan Alur Deteksi Dini dan Rujukan TB Anak

(49)

Karakteristik Jenis Kelamin

Pasien TB anak

Perempuan

67%

Laki-laki 33%

Laki-laki Perempuan

2.

Karakteristik jenis kelamin pasien TB anak

Pasien anak yang berkunjung pertama kali pada bulan Januari-April 2007

di BKPM Magelang dan terdiagnosis menderita tuberkulosis dapat

dikelompokkan berdasarkan jenis kelaminnya. Hal ini bertujuan untuk mengetahui

besarnya persentase kejadian TB pada pasien anak laki-laki dan perempuan.

Gambar 8. Diagram Karakteristik Jenis Kelamin pada Pasien TB Anak di

BKPM Magelang Kunjungan Pertama Januari-April 2007

Hasil dari pencatatan data rekam medik menunjukkan bahwa dari 39

pasien yang ada diketahui bahwa 13 pasien TB anak (33%) adalah anak laki-laki

dan 26 pasien (67%) adalah anak perempuan. Berdasarkan diagram tersebut dapat

terlihat bahwa pasien anak yang didiagnosis TB dan mendapat terapi di BKPM

paling banyak adalah pasien perempuan dibandingkan pasien laki-laki. Tidak ada

permasalahan khusus terkait besar kecilnya persentase jenis kelamin yang

terinfeksi TB. Karena sebenarnya semua anak yang berumur kurang dari 15 tahun,

(50)

Karakteristik Umur Pasien TB

Anak

≥ 12 tahun 0%

5-12 tahun 46%

1-5 tahun 46% < 1 tahun

8%

< 1 tahun 1-5 tahun

5-12 tahun ≥ 12 tahun

Berbeda dengan orang dewasa, dimana ada banyak faktor yang

menyebabkan jenis kelamin tertentu memiliki persentase besar dalam hal

terinfeksi

M. tuberculosis

. Hasil penelitian Utomowati (2007) menyatakan

persentase laki-laki dewasa terserang TB paru lebih besar dibanding wanita. Hal

ini dikarenakan laki-laki dewasa memiliki faktor risiko lebih besar akibat

kebiasaannya merokok.

3.

Karakteristik umur pasien TB anak

Gambar 9. Diagram Karakteristik Umur pada Pasien TB Anak di BKPM

Magelang Kunjungan Pertama Januari-April 2007

Pasien TB anak yang berkunjung pertama kali pada bulan Januari-April

2007 di BKPM Magelang juga dapat digolongkan berdasarkan umur. Kategori

umur anak yang digunakan di BKPM Magelang yaitu antara umur 0-14 tahun.

Berdasarkan penggolongan usia sekolah, umur pasien TB anak dapat

(51)

dan 12-14 tahun. Berdasarkan diagram berikut dapat diketahui bahwa pasien TB

anak di BKPM dengan umur kurang dari 1 tahun sebanyak 3 pasien, 1-5 tahun

sebanyak 18 pasien, 5-12 tahun sebanyak 18 pasien dan tidak terdapat pasien

dengan umur antara 12-14 tahun.

Data tersebut menunjukkan bahwa TB anak paling banyak diderita oleh

balita (kurang dari 1 tahun dan antara 1-5 tahun) dibandingkan dengan anak-anak

usia sekolah. Anak-anak pada usia balita merupakan anak-anak yang sedang

mengalami masa pertumbuhan, selain itu sistem kekebalan tubuhnya juga sedang

dalam masa perkembangan. Apalagi jika balita tersebut tumbuh di lingkungan

keluarga dimana salah satu anggota keluarganya mengidap TB BTA positif, maka

balita tersebut akan mudah tertular TB. Oleh karena itu akan sangat wajar jika

pada usia balita seorang anak mempunyai risiko tinggi terinfeksi oleh berbagai

macam penyakit dibanding anak usia sekolah, 5-6 tahun maupun 12-14 tahun.

4.

Karakteristik berat badan pasien TB anak

Berdasarkan data rekam medik pasien maka dapat diketahui berat badan

pasien pada awal diagnosis. Melalui data berat badan ini maka akan dapat

diperoleh suatu gambaran kondisi klinik pasien pada saat datang memeriksakan

diri ke BKPM Magelang. Melalui data berat badan tersebut maka dapat dilakukan

penggolongan berdasarkan berat badan pasien. Diantara 39 pasien yang menjadi

sampel penelitian terdapat 9 pasien dengan berat badan 0-10 kg; 22 pasien dengan

berat badan 10-20 kg; 7 pasien memiliki berat badan 20-30 kg dan 1 pasien

(52)

Karakteristik Berat Badan

Pasien TB Anak

0-10 kg 23%

10-20 kg 56% 20-30 kg

18%

30-40 kg 3%

0-10 kg

10-20 kg

20-30 kg

30-40 kg

Gambar 10. Diagram Karakteristik Berat Badan pada Pasien TB Anak di

BKPM Magelang Kunjungan Pertama Januari-April 2007

Karakteristik berat badan ini sebenarnya tidak dapat diperbandingkan

satu sama lain mengingat usia pasien yang berlainan. Namun dari data berat badan

ini dapat digunakan untuk menilai sistem skoring untuk menetapkan diagnosis TB

pada anak, karena berat badan ini sangat berhubungan erat dengan gejala yang

dirasakan pasien, yaitu berat badan turun/kurang maupun berkurangnya nafsu

makan. Penilaian sistem skoring dengan berat badan didasarkan pada KepMenKes

RI No. 920 tahun 2002 yang memuat tentang Klasifikasi Status Gizi Anak Bawah

Lima Tahun (Balita).

5.

Karakteristik gejala yang dirasakan pasien TB anak

Melalui data rekam medik dapat diketahui gejala yang dirasakan oleh

pasien TB anak pada saat pertama kali datang memeriksakan diri. Sebanyak 36

dari 39 pasien mengeluhkan batuk sebagai gejala awal (92%). Meskipun batuk

(53)

adalah batuk yang sifatnya kronik (berlangsung lama) dan terjadi berulang. Gejala

batuk ini harus dapat dibedakan dengan batuk kronik berulang akibat asma dan

hal inilah yang agak sulit dibedakan. Gejala batuk pada asma biasanya belangsung

pada malam atau dini hari, terjadi karena ada faktor pencetus dan ada riwayat

atopi (Supriyatno, 2002).

Tabel V. Gejala yang Dirasakan Pasien TB Anak di BKPM Magelang

Kunjungan Pertama Januari-April 2007

Gejala Jumlah

Persentase

(%)

Batuk 36

92

Demam 29

74

BB kurang/turun

29

74

Pilek 24

62

Pembesaran kelenjar

24

62

Tidak nafsu makan

22

56

Sesak nafas

19

49

Keringat malam/dingin

8

20

Mual-muntah 2 5

Diare 1

3

Gejala paling banyak kedua yang sering dikeluhkan pasien adalah

demam dan berat badan kurang. Demam, dikeluhkan oleh 29 pasien (74%),

merupakan salah satu gejala paling umum yang dapat dirasakan jika telah terjadi

infeksi dalam tubuh. Demam yang terjadi jika pasien terinfeksi TB sifatnya tidak

terlalu tinggi dan berlangsung lama (Supriyatno, 2002). Berat badan kurang atau

tidak naik, seperti yang dikeluhkan oleh banyak pasien, berhubungan dengan

berkurangnya nafsu makan (anoreksia). Penurunan berat badan yang terjadi pada

29 pasien (74%) ini kerapkali menjadi pertanda seorang anak terinfeksi TB.

(54)

sebab yang jelas dan tidak naik dalam 1 bulan walaupun sudah mendapatkan

penanganan yan baik (Anonim, 2002a).

Selain ketiga gejala diatas, masih banyak gejala-gejala lain yang

dikeluhkan pasien terkait dengan tanda-tanda klinik seorang anak terkena TB.

Gejala tersebut sering kali terjadi bersama-sama pada satu pasien. Melalui

gejala-gejala tersebut dapat dilakukan skoring untuk menilai seorang anak positif

mengidap TB atau tidak. Untuk status pengobatan pasien apakah tergolong DO,

kambuh maupun sembuh pada pasien TB anak di BKPM Magelang tidak dapat

dilakukan penilaian. Hal ini dikarenakan pada data rekam medik pasien tidak

terdapat informasi mengenai status pengobatan pasien. Meski begitu dari data

pengobatan yang dimiliki pasien, kebanyakan pasien TB anak di BKPM

Magelang telah melaksanakan pengobatan TB dengan tuntas.

B.

Gambaran Pengobatan Pasien TB Anak

1.

Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Setelah pasien didiagnosis mengidap TB maka akan segera diberikan

terapi pada pasien tersebut. Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam

obat dan diberikan dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari,

baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan

dengan berat badan anak (Anonim, 2007b). Ketiga OAT yang digunakan adalah

INH, Rifampisin dan Pirazinamid (PZA). Terapi yang diberikan untuk pasien TB

dibagi menjadi 2 fase, yaitu 2 bulan pertama sebagai fase intensif dengan

menggunakan kombinasi dari INH, Rifampisin dan PZA. Fase lanjutan diberikan

(55)

Tabel VI. Perbandingan Penggunaan OAT-FDC dan Kombipak pada Pasien

TB Anak di BKPM Magelang Kunjungan Pertama Januari-April 2007

Jenis Obat

Jumlah

Persentase (%)

OAT-Kombipak Racikan

35

89

OAT-FDC 3

8

OAT-FDC dan Kombipak

1

3

Untuk pasien yang masih anak-anak, maka penggunaan OAT-kombipak

maupun FDC harus disesuaikan dengan berat badan pasien. Berdasarkan data

rekam medik, dari 39 pasien yang ada terdapat 35 pasien menerima

OAT-kombipak racikan sepenuhnya, 3 pasien menerima OAT-FDC, dan sisanya 1

pasien diketahui menerima FDC kemudian untuk terapi bulan berikutnya diganti

menjadi OAT-Kombipak dalam bentuk racikan.

Kombipak dan FDC yang diberikan pada 2 bulan fase intensif pada

dasarnya sama, yaitu kombinasi 3 macam OAT. Untuk jumlah obat yang

diberikan disesuaikan dengan berat badan pasien TB anak, misalnya untuk pasien

TB anak dengan berat badan 12 kg maka OAT-Kombipak yang diresepkan adalah

INH 100 mg, Rifampisin 150 mg dan PZA 300 mg. Sedangkan jika mendapat

OAT-FDC, maka pasien akan menerima 2 tablet yang mengandung INH,

Rifampisin dan PZA dengan jumlah secara berurutan 50 mg, 75 mg dan 150 mg

(Anonim, 2007b). Perbandingan kandungan obat untuk OAT Kombipak dan FDC

fase intensif dan fase lanjutan adalah sama, hanya berbeda pada jenis obat yang

diberikan. Pada OAT Kombipak maupun FDC fase lanjutan tidak terdapat

Pirazinamid seperti pada fase intensif. Dokumentasi pengobatan baik fase intensif

(56)

dapat menerima OAT sesuai masa pengobatannya dan tidak mengalami kelebihan

atau kekurangan OAT.

2.

Penggunaan obat tambahan

Selain mengunakan OAT untuk membunuh

M.tuberculosis

, ternyata

dokter juga meresepkan beberapa obat tambahan untuk mengobati gejala yang

dikeluhkan pasien. Obat tambahan yang diresepkan ada juga yang berguna untuk

meningkatkan status kesehatan pasien. Berdasarkan data rekam medik pasien,

diketahui bahwa semua kasus yang ada mendapatkan obat tambahan berupa obat

untuk tujuan mengobati flu yang disertai batuk dan juga suplemen makanan. Saat

pasien datang pertama kali untuk berobat dan mendapatkan Uji Tuberkulin, maka

sambil menunggu hasil uji tersebut dokter akan meresepkan obat untuk mengatasi

gejala yang dirasakan pasien.

Menurut data rekam medik pasien TB anak, diketahui bahwa dari 39

pasien terdapat 5 pasien yang tidak mendapatkan obat sebelum OAT karena pada

kelima pasien dokter langsung meresepkan OAT. Berdasarkan data juga diketahui

terdapat 8 jenis obat yang diberikan pada pasien anak sebelum terapi dengan OAT

dilaksanakan. Obat yang paling banyak diresepkan sebelum pasien didiagnosis

menderita TB atau sebelum menerima terapi OAT adalah antibiotik, yaitu jenis

amoksisilin, yaitu sebesar 25% atau 22 obat dari total obat 90 obat yang

diresepkan pada pasien. Dua puluh satu persen atau 19 obat yang diberikan adalah

antitusif-ekspektoran. Terdapat 19% atau 17 obat berupa suplemen makanan, baik

itu vitamin, penambah nafsu makan maupun penguat sistem imun. Obat asma

(57)

Tabel VII. Distribusi Obat yang Diresepkan Sebelum Terapi TB pada Pasien

TB Anak di BKPM Magelang Kunjungan Pertama Januari-April 2007

Golongan Obat

Jumlah

Persentase (%)

Antibiotik 22

25

Antitusiv-ekspektoran 19

21

Suplemen 17

19

Obat asma

13

14

Flu disertai batuk

11

12

Antihistamin 5 6

Antipiretik analgetik

2

2

Kortikosteroid 1 1

Obat yang berguna untuk meredakan flu yang disertai batuk (kebanyakan

mengandung gliseril guaiakolat, fenilpropanolamin, dekstrometorfan,

difenhidramin) juga banyak diresepkan yaitu sebesar 12% atau 11 obat, dan

sisanya adalah antihistamin sebanyak 6% atau 5 obat; analgetik antipiretik sebesar

2% atau 2 obat dan kortikosteroid 1 obat atau 1%. Obat-obat yang diresepkan

sebelum pasien menerima terapi TB seperti tersebut di atas, terkadang juga masih

diresepkan oleh dokter selama masa terapi dengan OAT dilakukan.

C.

Drug Therapy Problems

(DTP)

Drug therapy problems

(DTP) atau sering diartikan sebagai

permasalahan yang berhubungan dengan obat merupakan salah satu penyebab

medication error

yang paling banyak terjadi dan dapat menyebabkan peningkatan

biaya pengobatan. Pada penelitian ini dilakukan evaluasi terhadap pengobatan TB

yang dilakukan kepada pasien anak yang berkunjung pertama kali di BKPM

Magelang pada bulan Januari-April 2007. Evaluasi bertujuan untuk mengetahui

ada tidaknya DTP yang terjadi selama pengobatan TB fase intensif dan fase

Gambar

Gambar 1. Alur Deteksi Dini dan Rujukan TB Anak (Anonim, 2002a)
Tabel I. Sistem Skoring Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TB
Gambar 2. Alur Tatalaksana Pasien TB Anak pada
Tabel III. Dosis OAT KDT pada Anak (Anonim, 2007b)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pendekatan kedua model ini merupakan pemberian intervensi promosi dan pemeliharaan kesehatan tentang asupan makan seim- bang pada anak overweight dan obesitas selama 6 bulan

Untuk mengetahui rangka mesin tersebut masih dalam keadaan aman atau tidak dan kesesuaian tegangan maksimum dengan desain rangka, maka pada tugas akhir ini

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan media sosial yang terlalu sering terhadap perkembangan moral siswa di SMP Islam Ma’arif dan di SMP

25187706 Belanja Bahan Obat Obatan- Belanja Vaksin APBD Karo (Kab.).

Tujuan, dalam pemilihan media harus diperhatikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, kemampuan apa yang ingin ditingkatkan (kognitif, afektif, psikomotor, atau

Ileus obstruktif atau disebut juga ileus mekanik adalah keadaan dimana isi lumen saluran cerna tidak bisa disalurkan ke distal atau anus karena

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejarah program penyelamatan dan rehabilitasi elang bondol di pulau kotok, upaya konservasi dan rehabilitasi elang

Dalam tulisan ini, penulis ingin memaparkan bagaimana etika profesional dan tanggung jawab moral mampu membentuk para pelayan gereja dengan melihat beberapa