• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etika Profesional dan Tanggung Jawab Moral Pendeta HKBP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Etika Profesional dan Tanggung Jawab Moral Pendeta HKBP"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

Etika Profesional dan Tanggung Jawab Moral Pendeta HKBP

(Tinjauan Etis Terhadap Dokumen Kode Etik Pendeta HKBP)

Oleh : Joel Parlindungan

712015128

Diajukan kepada Program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi

Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si.Teol)

Program Studi Ilmu Teologi

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

MOTTO

“BE THE BEST VERSION OF YOURSELF IN ANYTIME”

“JADIKANLAH DIRIMU MENJADI VERSI YANG TERBAIK DI SETIAP SAAT”

KOLOSE 2 :7

Hendaklah kamu berakardi dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkankepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan

(7)

Ucapan Terima Kasih

Untuk pencapaian ini, Penulis hendak mengucapkan terimakasih kepada bebera pa pihak yang telah membimbing dan memungkinkan penulis berproses di Fakultas Teologi UKSW.

1. Kepada Orangtuaku tercinta Bapak Horasman Turnip dan Mama tercinta Riani Br. Sagala, segala kasih sayang dan dukungan doa serta penulisan Tugas Akhir ini berjalan dengan baik. Kepada saudara-saudaraku tersayang yang pertama abang tercinta adalah Riki Lamhot Parulian Turnip, dan Adikku Jenita Tri Ningsih Br. Turnip yang lagi berjuang mencapai cita-cita, dan juga kepada seluruh keluarga yang mendukung studiku di perantauan kepada mereka jugalah kupersembahkan tulisan ini.

2. Wali studiku, Gusti A.B. Menoh, M.Hum, Pdt. Astrid Bonik Lusi, M.Th, Pdt. Abraham Silo Wilar, Ph.D, Pdt Agus Supratikno, M.Th, yang telah membimbing saya menjadi pribadi yang lebih matang kepribadiannya, dan selalu mengajarkan saya akan nilai konsistensi dalam berproses dalam menjalani diskursus akademik, serta menjadi orangtua kedua saya secara pribadi di dalam setiap prosesnya.

3. Bapak Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nubantimo sebagai pembimbing tunggal Pembimbing tunggal yang banyak memberikan masukan sistematis dan berpikir sederhana namun sifatnya konkret, serta mewujudkan tulisan yang tetap menunjukkan gaya kepenulisan otentik yang menginspirasi penulis untuk menyelesaikan Tugas Akhir ini.

4. Rekan-rekan pribadi saya selama proses studi perkuliahan, para pendeta HKBP yang mengetahui penulis secara pribadi dan selalu mendukung penulis, kiranya tulisan ini dapat menjadi „dompet‟ pribadi, dalam artian menjadi modal atau bentuk pengetahuan yang relevan bagi kemajuan proses berpikir serta menjadi pengetahuan yang bermanfaat bagi gereja-Nya, melalui perantaraan para pendeta khususnya di gereja HKBP.

5. Dekan Fakultas Teologi; Dr. David Samiyono, MTS, MSLS Kaprogdi Pdt. Dr. Rama Tulus Pilakoannu M.Si dan Ibu Budi dan seluruh dosen yaitu Pdt. Dr. Retnowati M.Si, Pdt. Rudiyanto M.Th, Pdt. Izak Lattu Ph.D Pdt. Yusak B Setyawan MATS, Ph.D, Pdt. Agus Supratikno M.Th, Pdt. Nimali Fidelis Buke, MA, dan Pdt. Prof. Dr (HC) John A Titaley Th.D, Ira D Mangililo Ph.D yang ilmunya banyak saya serap, Pdt. Gunawan Y A Suprabowo D.Th, Handri Yonathan M.Phil, Pdt. Dr. Tony Tampake M.Si, yang selalu

(8)

memberikan informasi bagi penulis selama berproses sebagai mahasiswa di Fakultas Teologi.

6. Majelis HKBP Salatiga yang senantiasa bersama dengan penulis menginspirasi kepenulisan tulisan ini, juga banyak memberikan kontribusi yang cukup, dalam hal moral dan relasi. Tulisan ini, dipersembahkan juga untuk mereka guna memperkaya khazanah berpikir yang lebih utuh dan konkret.

7. Teman satu kontrakan yang banyak mengajarkan saya semakin memahami kekerabatan tanpa memandang latar belakang. Kiranya Tuhan Yesus Memberkati usaha dan pelayanan kita semua.

8. Kepada adik saya tercinta, Credo Hasiando Naibaho, angkatan 2017 yang selalu bersama dengan penulis membantu di setiap proses selama dua tahun belakangan ini, tulisan ini juga dipersembahkan kepada beliau, sehingga memperkaya bangunan berpikir, dan lebih kritis dalam menghadapi berbagai situasi. Penulis berharap tulisan ini dapat membantu proses studi yang sedang dijalani beliau hingga akhir.

Akhir kata penulis berharap agar tugas akhir ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi Jemaat HKBP Salatiga dan pihak-pihak yang memerlukan. Biarlah nama Allah semakin dipermuliakan. Horas.

Salatiga, 07 Agustus 2019.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tak terbatas kepada Tuhan Yesus Sang Kepala Gereja, karena hanya atas anugerah dan kasih-Nya sajalah penulis dapat menyelesaikan penulisan Tugas Akhir ini. Sekian banyak kisah dan rasa telah mewarnai proses penulisan Tugas Akhir ini. Meskipun, sungguh, sepanjang waktu selama penulisan ini berlangsung, kasihNya yang nyata membimbing dan menyadarkan bahwa hanya Allah sajalah penolong yang ajaib, sumber segala pengetahuan dan ilmu. Itulah saat-saat terbaik dalam penulisan ini, menyadari keterbatasan dan mengakui kuasaNya yang sanggup menguatkan, dan membimbing hingga penulisan ini selesai pada akhirnya.

(10)

ABSTRAK

Joel Parlindungan, 2019. Etika profesional dan tanggung jawab moral pendeta HKBP (Tinjauan etis terhadap dokumen kode etik pendeta HKBP).

Penelitian ini bertujuan untuk melihat serta mendeskripsikan model-model pola etis profesional dan tanggungjawab moral pendeta melalui dokumen dan ketetapan HKBP. Penelitian ini dimotivasi oleh adanya kasus penyimpangan-penyimpangan nilai etis yang melibatkan pendeta HKBP. Etika adalah suatu kajian ilmu yang berhubungan dengan sikap atau perilaku manusia, dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama. Dalam bahasa sederhana etika membahas tentang baik-buruknya tingkah laku dan tindakan manusia, serta menyoroti kewajiban-kewajiban manusia. Pendeta sebagai profesi yang memiliki unsur panggilan Allah, dalam melaksanakan pekerjaan pelayanannya tentu harus ada etika yang membatasi, agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan khususnya penyimpangan etis dan moral. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui penelitian kepustakaan (library search) terhadap pengkajian dokumen baku sinode HKBP dan teori-teori yang berfokus pada etika profesional pendeta. Teknik pengumpulan data terkait dengan penelitian ini ialah mendeskripsikan dokumen Kode Etik HKBP. Hasil dari penelitian ini ialah dokumen Kode Etik HKBP lebih menekankan tugas dan pekerjaan pelayanan seorang pendetanya dan kurang bahkan sedikit sekali memasukkan unsur-unsur etika serta moral didalamnya. Hal ini yang sekiranya membuat beberapa pendeta HKBP terlibat dalam kasus penyimpangan nilai etis dan moral, karena kurangnya batasan-batasan yang jelas dan tegas secara etis dan moral didalam dokumen Kode Etik HKBP.

(11)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ... iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES ... iv

PERNYATAAN BEBAS ROYALTI DAN PUBLIKASI ... v

KATA PENGANTAR ... vi DAFTAR ISI ... ix MOTTO ... xi ABSTRAK ...xii 1. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Rumusan Masalah ... 3 1.3. Batasan Masalah ... 3 1.4. Tujuan Penulisan ... 3 1.5. Manfaat Penulisan ... 3 1.6. Metode Penelitian ... 4 1.7. Sistematikan Penulisan ... 4 2. KAJIAN TEORI ... 4 2.1. Etika ... 4 2.2. Profesi ... 6 2.3. Pendeta ... 8

2.4. Etika Profesional dan Moral Pendeta ... 9

2.5. Moral Profesional ... 11

2.6. Kode Etik Profesi ... 12

3. DOKUMEN DAN KETETAPAN SINODE HKBP ... 14

3.1. Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) ... 14

3.2. Credo Sinode HKBP ... 14

3.3. Pendeta HKBP ... 15

(12)

4. ANALISA ... 22

5. PENUTUP ... 26

5.1. Kesimpulan ... 26

5.2. Saran ... 27

(13)

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) merupakan salah satu gereja Protestan tertua di Indonesia yang telah melahirkan banyak pendeta. Sejak berdiri mulai 1861,1 sinode HKBP menghasilkan ratusan pendeta dengan berbagai karakter yang berbeda-beda. Akan tetapi, dengan berbagai karakter pelayanan pendeta tersebut masih banyak ditemui permasalahan-permasalahan yang terjadi di tengah-tengah kehidupan pelayan HKBP. Umumnya, permasalahan tersebut berasal dari aspek eksternal maupun internal pendeta tersebut. Secara khusus dalam aspek internal, bahwa masih banyak pendeta HKBP yang tidak mampu bertanggung jawab terhadap tugas ke-pendeta-annya di tengah-tengah kehidupan berjemaat.

Seiiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, penyimpangan-penyimpangan moral di lingkup internal pendeta HKBP juga semakin mencuat ke permukaan masyarakat. Contohnya: pada tahun 2013, JPPN.com memberitakan seorang pendeta HKBP di Kabupaten Tobasa menjadi terdakwa pemerkosaan terhadap seorang bidan PTT. Meskipun telah memiliki istri dan anak, pendeta dengan inisial MS tersebut mampu untuk menjalin kasih (berselingkuh) dengan wanita lain hingga berujung pada tindakan pemerkosaan terhadap korban.2 Tidak hanya itu, skandal yang cukup viral pada masanya juga ditempati pada tahun 2010 dalam dunia kependetaan HKBP. VOA.com juga telah memberitakan kasus pelecehan seksual yang dilakukan salah seorang pendeta di Sekolah Tinggi Biblevrouw HKBP. Pendeta yang sekaligus sebagai dosen di kampus tersebut melakukan pelecehan seksual dengan cara meditasi dan hipnotis terhadap 19 korban mahasiswinya.3

Permasalahan diatas merupakan salah satu dari sekian banyak permasalahan internal pendeta HKBP yang muncul di ruang publik masyarakat. Bagi Trull dan

1

https://hkbp.or.id/profil-HKBP. Di akses pada tanggal 20 Februari 2019. 2

Jpnn.com, “Pendeta Maruli: Saya Malu Tapi Saya Mencintai Dia”, 22 Desember 2013, di akses pada tanggal 16 Januari 2019. https://www.jpnn.com/news/pendeta-maruli-saya-malu-tapi-saya-mencintai-dia.

3

J. Erwin Butarbutar, “Duh, Siman Hutahaean!” 18 Oktober 2011,di akses pada tanggal 16 Januari 2019. https://catatanjeb.wordpress.com/2011/10/18/duh-siman-hutahaean-pendeta-cabul-hkbp-zinahi-19-jemaatnya/#more-3098.

(14)

Carter, keprihatinan seperti ini disebabkan oleh minimnya pemahaman dan dasar yang baku dalam melaksanakan tugas serta tanggung jawab bagi kalangan pendeta.4 Penyimpangan moral tersebut menjadi bukti konkret yang mampu merusak integritas profesional pendeta HKBP. Sehingga, kasus-kasus tersebut menjadikan turunnya tingkat kepercayaan penuh jemaat kepada pendeta. Padahal, HKBP sendiri memiliki sejumlah perangkat atau dokumen-dokumen baku terkait tentang tugas dan tanggung jawab moral sebagai seorang pendeta. Beberapa dokumen tersebut antara lain Agenda HKBP, Aturan Dohot Peraturan HKBP, Konfessi HKBP, Ruhut Parmahanion Dohot Paminsangon HKBP. Keempat dokumen baku ini berisikan peraturan tata liturgi gereja HKBP dan peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan kehidupan pelayanan di HKBP.

Berdasarkan fakta diatas, keprihatinan tersebut menjadi sesuatu yang

urgentuntuk dikaji demi mewujudkan tujuan utama dalam pelayanan pendeta, yakni pertumbuhan iman dan kesejahteraan rohani. Pendeta menjadi kunci akan iman dan kesejahteraan rohani itu sendiri. Integritas moral pendeta HKBP sangatlah perlu secara sadar dipahamidan dihidupi demi tanggung jawab yang ia jalani.5 Maka, integritas seseorang itu akan menjadi sebuah kepercayaan, yakni “Mendapatkan

kepercayaan adalah pujian yang lebih besar daripada dicintai.”6 Oleh karena masalah yang menjadi fenomenal sekarang, para pelayan perlu didukung hal etika pribadi dan etika profesional.Etika profesional menjernihkan identitas profesional. Sudahkah seorang pendeta menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara professional atau tidak? Oleh karena itu, diperlukan melihat dan meninjau kerangka etika kependetaan yang diaturkan dalam tatanan institusional yang menjadi tugas dan tanggung jawab. Dari dasar teori etika profesional bagi pendeta yang diaturkan dalam tatanan instutusional bisa terlihat bagaimana praktik profesional seorang pendeta yang selayaknya harus dilakukan.7

4

Joe E. Trull & James E. Carter, Etika Pelayan Gereja, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2014), 3. 5

Trull & Carter, Etika Pelayan Gereja, 4. 6

Kutipan George MacDonald pada buku “Etika yang Perlu Diketahui Setiap Pemimpin”, 36. 7

(15)

Sehubungan dengan itu, harapan moral utama dari setiap profesi adalah disiplin diri dalam menjalankan tugasnya. Sehingga para pendeta tidak mengeksploitasi yang bukan dari tugas dan tanggung jawabnya. Pendeta berada di tatanan atas sebagai pemimpin. Jika pendeta tidak disiplin dalam menjalankan profesinya maka kepemimpinan yang mereka miliki akan jadi satu hal yang salah dan tidak baik. Bisa saja pendeta menyalahgunakan kepemimpinan dan kuasanya. Jika seorang pendeta melakukan pelayanan atau pekerjaan tidak berlandaskan iman, pengharapan dan kasih, maka dia telah melanggar janji tahbisannya. Seorang profesional akan memegang teguh kesetiannya kepada institusi dan menolak segala godaan yang bisa menghancurkan kesetiaan dan profesionalisme serta profesinya.8

1.2. Rumusan Masalah

Dalam tulisan ini, penulis ingin memaparkan bagaimana etika profesional dan tanggung jawab moral mampu membentuk para pelayan gereja dengan melihat beberapa masalah yang terjadi dalam berprofesi sebagai pendeta HKBP. Oleh karena itu, rumusan masalah dalam tulisan ini adalahbagaimana model-model panduan etis profesional dan tanggungjawab moral dalam produk dokumen dan ketetapan sinode HKBP bagi pendeta?

1.3. Batasan Masalah

Untuk lebih mengarahkan tulisan ini, penulis membatasi masalah dalam ruang lingkup sosial dan kinerja pendeta HKBP.

1.4. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan model-model pola etis profesional dan tanggungjawab moral pendeta melalui dokumen dan ketetapan HKBP.

1.5. Manfaat Penulisan

Yang menjadi manfaat dari tulisan ini adalah:

a) Sebagai pengembangan studi ilmu yang berkaitan dengan etika profesional dan tanggung jawab moral bagi pendeta HKBP.

8

Gaylord Noyce, Etika Pastoral: Tanggung Jawab Etis Pelayan Jemaat, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2016), 33-35.

(16)

b) Sebagai kontribusi pemikiran mengutamakan kode etik sebagai pendeta HKBP berdasarkan dokumen dan ketetapan sinode HKBP.

1.6. Metode Penelitian

Dalam tulisan ini, penulis menggunakan metode kualitatif melalui penelitian kepustakaan (library search) terhadap pengkajian dokumen baku sinode HKBP dan teori-teori yang berfokus pada etika profesional pendeta.

1.7. Sistematika Penulisan

Dalam rangka untuk mempermudah proses penelitian ini, penulis menggunakan lima bagian penulisan.Bagian pertama adalah pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Bagian kedua adalah tinjauan teoritis yang meliputi pemahaman tentang etika, profesi, moral dan pendeta.

Bagian ketiga adalah menarasikan dokumen-dokumen dan ketetapan sinode HKBP tentang etika profesional serta tanggung jawab moral sebagai pendeta HKBP. Bagian keempat adalah analisis etika profesional serta tanggung jawab moral pendeta HKBP melalui pengkajian kajian teoritis dokumen sinode HKBP. Bagian kelima adalah penutup yang meliputi kesimpulan dan saran.

(17)

2. KAJIAN TEORI 2.1. Etika

Kata etika berasal dari bahasa Yunani, to Ethos (tunggal) atau ta Etika (jamak) yang berarti kebiasaan, adat, kesusilaan, perasaan atau kecenderungan hati seseorang dalam melakukan sesuatu perbuatan.1Istilah etika kemudian menjadi terminus teknicus (istilah yang khusus) yaitu istilah yang digunakan untuk ilmu pengetahuan yang menyelidiki soal kaidah-kaidah, kelakuan dan perbuatan manusia. Dalam bahasa Latin istilah ethos dan ethikos disebut dengan mos dan mores atau sering dikatakan dengan moralitas. Oleh sebab itu, kata etika sering diterangkan dengan kata moral. Kata etika dan moral tidak memiliki arti yang sama, sebab kata etika lebih memiliki arti yang mendalam dibandingkan dengan moral.

Memang kedua kata ini hampir memiliki arti yang sama meskipun sebenarnya pengertian keduanya berbeda, baik secara prinsip maupun prakteknya. Sehingga dapat dikatakan bahwa Etika bukanlah menjadi sumber daripada moral, melainkan Filsafat yang merefleksikan ajaran-ajaran moral, dengan memiliki 5 ciri khas yaitu rasional, kritis, mendasar, sistematik dan normatif.2 Jadi, etika adalah ilmu yang mempelajari apa yang baik dan apa yang buruk, tentang hak serta kewajiban moral (akhlak). Etika juga merupakan kajian atas nilai yang dapat berkenan dengan akhlak, atau etika adalah kajian nilai terhadap apa yang benar dan apa yang salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.3 Secara ringkas etika adalah suatu kajian ilmu yang berhubungan dengan sikap atau perilaku manusia, dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama.

Beberapa ahli memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap etika. Namun, pada dasarnya etika membahas baik-buruknya tingkah laku dan tindakan manusia, serta menyoroti kewajiban-kewajiban manusia. Dari Sokrates hingga Protagoras menekankan Etika sebagai asas hidup manusia dalam melangsungkan dirinya di

1

J. Verkuil, Etika Kristen Bagian Utama, (Jakarta: BPK-GunungMulia, 2008), 1. 2

J. Verkuil, Etika Sosial, (Jakarta: BPK-GM, 1993), 3. 3

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 237.

(18)

dunia.4Sedangkan menurut para ahli etika di Indonesia, misal seperti Magnis Suseno hingga Reza Wattimena menjelaskan bahwa manusia harus mampu mencari orientasi dan merefleksikan dasar dari tindakan agar manusia mampu melakukan pilihan serta mengambil keputusan sesuai situasi yang dihadapi.

Pikiran, tindakan dan keputusan etis manusia dapat diklasifikasikan dalam tiga bentuk.5Pertama, keputusan etis yang sangat berorientasi pada hasil dari suatu (teleologis). Dari hasilnya, tindakan tersebut dinilai benar atau salah. Namun, kesulitannya adalah etika ini cenderung menghalalkan segala cara demi hasil yang dituju. Kedua, keputusan etis yang sangat memperhatikan hukum atau ketentuan-ketentuan normatif (deontologis). Etika ini menempatkan kewajiban sebagai dasar tindakan seseorang. Namun, etika ini cenderung statis dan tidak mampu menghadapi situasi yang saling bertentangan.Ketiga, keputusan etis yang mengutamakan situasi atau konteks yang ada (etika tanggungjawab).Kelebihan etika ini mengutamakan bahwa seseorang harus mampu menanggapi dengan tepat terhadap suatu masalah etis di kehidupannya. Sehingga, keputusan tersebut bukan berdasarkan kewajiban atau hasil dari tindakan etis tersebut. Namun, kesulitan etika ini adalah ketika pengambil keputusan tidak mampu untuk memahami dan menganalisa situasi dan konteks permasalahan yang menjadikan kedilemaan suatu tindakan etis. Diantara ketiga model tersebut, etika menaruh perhatian terhadap norma-norma yang membimbing perbuatan manusia dan cita-cita yang membentuk tujuan manusia. Dalam Kristen, etika digunakan untuk menolong orang-orang untuk berpikir lebih terang tentang kehendak Allah, supaya mereka dapat mengembangkan hidupnya sendiri dan kehidupan masyarakat yang lebih sesuai dengan kehendak Allah itu.6Etika ini berlandaskan pertimbangan apa yang hendak dilakukan manusia. Etika berperan sebagai pendorong manusia untuk lebih memiliki dasar dan tujuan dalam hidupnya.

4

Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), 36-37. 5

K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia, 1993), 22-23. 6

Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-Faktor di dalamnya, (Jakarta: BPK-GM, 2002), 38-42.

(19)

2.2. Profesi

Menurut bahasa Yunani, kata profesi dinamakan prophaino, adalah tindakan pernyataan secara publik. Sedangkan dalam bahasa Latinnya, profesi atau profession

merupakan suatu kegiatan atau pekerjaan yang semula dihubungkan dengan sumpah dan janji yang bersifat religius. Dalam bahasa Inggris, yakni profession artinya “bersaksi atas nama”.7

Demikian juga dengan bahasa Indonesianya diartikan bahwa kata profesi merupakan suatu pengakuan yang tidak hanya demi pertumbuhan faktor ekstenal (ekonomi, sosial, dll) melainkan juga faktor internal (kepribadian). Berdasarkan beberapa pengertian etimologi di atas, kata profesi dapat dimaknai sebagai kemampuan yang bertanggung jawab, berfokus pada suatu hal yang bersifat religus. Abad pertengahan menjadi awal sekularisasi profesi. Dari masa ini, profesi menjadi identik dengan kecintaan dan membaktikan diri untuk melayani dunia.8 Panggilan religius seorang pendeta sebagai mandataris Yesus yang diutus oleh gereja untuk menjadi pelayannya dalam melayani jemaat maupun masyarakat untuk kemuliaan Allah. Adanya keterpanggilan pribadi oleh proses yang religius. Oleh karena itu, pendeta adalah sebuah profesi. Dimensi transenden suatu panggilan kependetaan adalah keberpihakan kepada “sesuatu yang lebih”. Yang dimaksudkan dengan “sesuatu yang lebih” ini ialah adanya campur tangan Allah dalam proses panggilan kependetaan tersebut.

Paul F. Camenish mendefinisikan „profesi‟ sebagai suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya: (a) memiliki keahlian dan pengetahuan khusus, yang diyakini bermanfaat bahkan penting bagi tercapainya suatu kondisi yang dijunjung tinggi, seperti keadilan, kesehatan dan kesejahteraan rohani; (b) memegang kendali atas pekerjaan profesionalnya; (c) dan biasanya mengklaim atau diharapkan motivasinya dalam menjalankan kegiatan profesionalnya lebih dari sekadar keuntungan diri sendiri. Pidarta menambahkan bahwa setidaknya ada dua jenis profesi, yakni profesi khusus dan luhur. Profesi khusus diartikan sebagai suatu pelaksanaan profesinya yang berfokus pada pencapaian ekonomi, yaitu nafkah atau

7

Richard M. Gula S.S, Etika Pastoral, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 28-29. 8

(20)

penghasilan. Sedangkan, profesi luhur merupakan suatu pelaksanaan yang lebih mengutamakan pelayanan dan pengabdian terhadap Allah.9

Profesi luhur sifatnya lebih terikat daripada profesi khusus. Profesi luhur terikat pada norma, etika dan hukum yang harus dijalankan agar mendisiplinkan profesi tersebut. Dalam profesi luhur ini juga ada 6 sifat dasar, yaitu sifat ke-Allah-an, kemurnian niat, keluhuran budi, kerendahan hati, kesungguhan kerja serta integritas ilmiah dan sosial.10 Dengan demikian, ada dua unsur yang terlihat dalam profesi, yakni keahlian dan panggilan. Keahlian lebih berpusat pada skill, sedangkan panggilan dalam profesi mengarah pada kehendak Allah pada hidup seseorang tersebut. Dengan dua unsur ini, seorang profesional harus memadukan dalam diri pribadinya kecakapan yang diperlukan untuk menjalankan pekerjaannya dan juga kematangan etik. Panggilan menjadi unsur batiniah yang memberikan kesadaran bagi para profesional untuk lebih sungguh-sungguh dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya. Landasan yang menjadi panduan dalam berprofesi disebut sebagai kode etik.11

Akan tetapi, Ujan menekankan setidaknya ada dua hal yang dapat menjadi hambatan dalam menjalankan profesi dengan baik dan bertanggungjawab, yaitu ketimpangan posisi yang berakibat pada ketimpangan relasi profesional-klien; dan konflik kepentingan. Maksudnya, dalam relasi profesional-klien menjadi sangat perlu dibangun suatu hubungan berdasarkan sikap saling percaya. Klien (jemaat) percaya bahwa profesional mampu menemukan apa yang terbaik baginya; sementara itu profesional juga percaya bahwa jemaat memang membutuhkan bantuan profesional sebagai jalan terbaik bagi kepentingan jemaat. Sehingga, hubungan saling percaya antara pendeta dan jemaat penting diprinsipkan. Kedua, tidak dapat dipungkiri bahwa konflik kepentingan sering terjadi dalam relasi profesional dengan klien. Biasanya hal ini bersumber dari: relasi profesional-klien; relasi profesional-organisasi; dan

9

Yahya Wijaya, Etika Profesi Rohaniwan: Sebuah Perspektif Kristen Protestan, dalam Etika Sosial dalam Interaksi Lintas Agama, (Jenewa, Globethics.net: 2014), 22-23.

10

M. Jusuf Hanafiah & Amri Amir, Etika kedokteran & Hukum Kesehatan, (Jakarta: EGC, 2008), 17.

11

I Putu Jati Arsana, Etika Profesi Insinyur: Membangun Sikap Profesionalisme sarjana Teknik, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), 80-81.

(21)

profesional masyarakat. Ketiga hal ini tidak mudah untuk dijawab. Namun yang terpenting adalah seorang profesional harus memperhatikan konflik-konflik yang dapat mengganggu otonominya dalam melakukan penilaian dan keputusan profesional.12

2.3. Pendeta

Istilah Pendeta berakar dari bahasa sansekerta, yaitu “pandit” yang artinya alim, yang berilmu, ahli dalam bidang agama, filsafat, akademis, dan keterampilan. Dalam masyarakat, pandit biasanya memiliki kedudukan yang spesifik sebagai tokoh utama pemimpin masyarakat maupun agama.13Dalam konteks Alkitab, pendeta dapat disebut dengan istilah “Poimen” (ποίμην) dan “Doulos”(δοσλος) dari bahasa Yunani.

Poimen” (ποίμην) artinya gembala, pendeta,direktur, seorang yang mengawasi dan

mengontrol orang lain, memiliki komitmen, dan memberi perintah, aturan atau ajaran untuk dipatuhi oleh mereka. Kata kerja dari “Poimen” (ποίμην) ini adalah

Proistemi” (Yun: προίστημι), artinya memimpin, berwenang terhadap anggota,

mengurus, membantu, melindungi, memberi perhatian kepada mereka yang dipimpin.14“Doulos” (δοσλος) yang artinya “Hamba”. Hamba adalah seseorang yang

bekerja dan melaksanakan kepentingan orang lain. Dalam kehidupan agama Israel, istilah hamba digunakan untuk menunjukkan kerendahan hati seseorang dihadapan Allah dan wujud penyerahan diri kepada Allah.15Dalam bahasa Inggris, pendeta/pastor disebut juga “Shepherd” (Gembala). “Shepherd” menunjukkan posisinya sebagai pemimpin, pelindung, pemelihara, memperdulikan, dan fungsinya sebagai pemberi makanan, memperdulikan dan merawat, dan mengurusi orang lain.16

Pendeta adalah orang yang mendapatkan panggilan khusus dari Allah dan diutus oleh jemaat, dan karena itu, tugas pokoknya adalah memelihara kesatuan umat tetapi ia bukan manusia suci. Tahbisan pendeta menjadi sesuatu yang penting yang

12

Andre Ata Ujan, “Profesi: Sebuah Tinjauan Etis”. Dalam Armada Riyanto (ed.), Jurnal Studia:

Philiosophica et Theologica 7, no. 2 (Oktober 2007), 145-147. 13

Muhammad Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia, (Jakarta: Grafika, 2000), 564. 14

Joesph Henry Thayer, Greek-English Lexicon of The New Testament, (American: Book Company, 1889), 527, 539.

15

W. R. F. Browning, Kamus Alkitab: A Dictionary of the Bible, (Jakarta: BPK-GM, 2010), 131. 16

(22)

membedakan pendeta dari pelayan yang lain, walaupun dalam praktiknya tugas pendeta sama dengan tugas penatua dan diaken, kecuali dalam pelayanan Sakramen Baptisan dan Perjamuan Kudus. Tahbisan mempunyai makna yang sangat mendalam karena tahbisan itu melibatkan pendeta dalam panggilan dan kehidupan ilahi.17

Hidup seperti Kristus adalah nilai utama dalam setiap orang Kristen. Sebagaimana pendeta juga merupakan umat Kristen, spritualitasnya juga haruslah menjadi cerminan daripada umat Kristen awam. Trull menekankan bahwa spiritualitas pada dasarnya menjadi jalan untuk melakukan hal bermoral. Roh Allah, pengalaman iman hingga pengajaran menjadi modal yang seharusnya menguatkan kesakralan serta kekudusan seorang pendeta dalam menjalankan tanggungjawabnya sebagai pimpinan jemaat.18 Menurut Bill Lawrence, setidaknya ada 5 nilai spiritualitas yang dimiliki seorang pendeta: Pertama, pemberitaan kebenaran dan keteladanan (2 Tim 2:15 dan Tit 2:7). Kedua, empati (Ibr 13:3).Ketiga, hamba dalam pelayanan (Mat 20:26-28). Keempat, ramah dan lemah lembut (1 Tim 3:3).Kelima, pengembalaan (Yoh 10).

2.4. Etika Profesional dan Moral Pendeta

Profesi sangat berkaitan dengan “panggilan” dan “profesional”. Penggunaan klasik profesi pada dasarnya bermakna religius. Istilah profesi berasal dari kaum biarawan/wati yang mengucapkan kaul(janji/profess) untuk membantu menjawab kebutuhan masyarakat. Kaum Biarawan/wati berjanji(profess) akan panggilan iman tentang Allah. Sebagai suatu panggilan, seorang pendeta merupakan pilihan khusus Allah untuk menjadi wakil Allah yang menerima suatu jabatan tahbisan yang kudus. Di dalamnya ada unsur batiniah yang sakral, yakni sebagai mandataris Yesus yang diutus oleh gereja untuk menjadi pelayanNya dalam melayani jemaat maupun masyarakat demi kemuliaan nama Allah.19 Sedangkan, seseorang yang disebut profesional, adalah orang yang mempunyai komitmen pribadi yang mendalam atas

17

Robert P. Borrong, Melayani Makin Sungguh: Signifikansi Kode Etik Pendeta bagi Pelayanan Gereja-gereja di Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 2016), 15-19.

18

Joe E.Trull & James E. Carter, Etika Pelayan Gereja, (Jakarta: BPK-GM, 2014), 137. 19

(23)

pekerjaannya. Penyatuan diri dengan pekerjaannya membentuk identitas dan kematangan dirinya. Berkembang bersama dengan perkembangan dan kemajuan pekerjaannya. Komitmen seperti ini melahirkan tanggung jawab yang besar dan mendalam atas pekerjaannya.20

Etika profesional menjernihkan identitas profesional. Sudahkah seorang pendeta menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara professional atau tidak? Oleh karena itu, diperlukan melihat dan meninjaukerangka etika kependetaan yang diaturkan dalam tatanan instutusional yang menjadi tugas dan tanggung jawab. Dari dasar teori etika profesi bagi pendeta yang diaturkan dalam tatanan instutusional bisa terlihat bagaimana praktek profesional seorang pendeta yang selayaknya harus dilakukan. Harapan moral utama dari setiap profesi adalah disiplin diri dalam menjalankan tugasnya.Sehingga tidak memfokuskan yang bukan dari tugas dan tanggung jawabnya.Jika seorang pendeta melakukan pelayanan atau pekerjaan tidak berlandaskan Iman, Pengharapan dan Kasih, maka dia telah melanggar janji tahbisannya. Seorang profesional akan memegang teguh kesetiananya kepada institusi dan menolak segala godaan yang bisa menghancurkan kesetian dan profesionalisme dan profesinya.21

Lebih dari itu, Paul Stoltz mengemukakan bahwa ada 3 tipe kepribadian pelayanan profesi di dalam kode etik, antara lain:22Tipe berhenti (Quitter). Tipe ini menjelaskan bahwa seseorang hanya menutup mata melihat peluang yang tersedia di dalam profesinya. Biasanya hal ini terjadi pada manusia yang sudah melihat puncak dari keseluruhan usahanya, namun berhenti atas akibat dari ketidaksanggupan menghadapi tantangan dari puncak suatu profesi tersebut. Kelebihan tipe ini lebih mengutamakan keberhasilan dari satu capaian daripada capaian yang bercabang-cabang. Kemudian, tipe berkemah (Camper). Tipe kepribadian ini bersifat kepuasan diri menjadi keutamaan. Kepribadian seperti ini mengutamakan kepuasan diri

20

Putu Jati Arsana, Etika Profesi Insinyur: Membangun Sikap Profesionalisme sarjana Teknik, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), 80.

21

Gaylord Noyce,Etika pastoral (Tanggung Jawab Etis Pelayan Jemaat), (Jakarta: BPK-GM, 2016), 1-35.

22

(24)

daripada kepuasaan yang diberikan oleh capaian atas profesinya. Sehigga tidak ada alasan untuk mencari peluang dan kesempatan lain. Tipe ini lebih memfokuskan sikap cukup dan tidak perlu menjejaki segala hal dalam profesinya. Ketiga, tipe pendaki (Climber). Tipe ini mengarah pada bakti dalam melakukan profesinya. Hidupnya terus bergerak dan mampu memberikan kontribusi pada lingkungannya. Namun, mampu memiliki cita-cita yang baru setelah cita-cita sebelumnya telah selesai dan tidak pernah merasa puas. Sehingga, manusia seperti ini tidak akan mudah menyerah atau bahkan tidak berhenti bermimpi untuk mewujudkan kemauan diri terhadap cita-citanya tersebut.

Selain tipe kepribadian, Herman Musakabe menekankan tiga kategori kualitas manusia dalam praktik profesinya.23 Pertama, manusia kaya arti. Tipe kualitas ini berfokus pada usaha dalam memberikan kontribusi dalam setiap aktivitas profesi. Kehadirannya mampu memberikan warna dan dapat diandalkan. Sedangkan ketidakhadirannya dalam lingkungannya akan memberikan kekurangan dan membuat orang merasa kehilangan. Kedua, manusia miskin arti. Tipe kualitas ini hanya sekedar berperan pas-pasan saja. Kehadirannya tidak memberikan arti penting dan hanya sebagai pelengkap suatu komunitas saja. Kualitas ini juga sering sekali memberikan alasan untuk menghindari tanggungjawabnya di tengah-tengah lingkup profesinya. Ketiga, manusia berlawanan arti. Tipe manusia ini sangat sering melanggar norma-norma dan aturan yang berlaku. Tindakannya lebih suka menuntut daripada melakukan kewajibannya. Seringkali, kehadirannya sebagai troublemakerdan beban di tengah-tengah lingkungannya.

2.5. Moral Profesional24

Keunggulan seorang profesional terletak pada otoritas epistemik. Ujan melihat bahwa tuntutan moral profesional sangat sering terjadi di tengah relasi profesional-klien. Karena begitu, ia menekankan dua hal yang penting diprinsipkan profesional, yaitu pertama, menjadi kewajiban moral bagi profesional untuk selalu meningkatkan dan mengembangkan pengetahuannya. Kedua, profesional harus mampu memiliki

23

Herman Masukabe, Menjadi Manusia Kaya Arti, (Bogor, Grafika Mardi Yuana, 2010), 4-5. 24

Andre Ata Ujan, “Profesi: Sebuah Tinjauan Etis”. Dalam Armada Riyanto (ed.), Jurnal Studia:

(25)

kesadaran akan ketidak-tahuan dalam menambah pengetahuannya. Kedua hal ini sangatlah penting sebagai suatu ketidakpuasan dengan pengetahuan yang dimiliki profesional.

Pentingnya moral profesional tertuang dalam nilai kebajikan atau keutamaan. Kebajikan merupakan kekuatan internal untuk berprilaku etis dalam berpofesi. Di dalam praktiknya, profesional harus memprinsipkan praksis kebaikan. Maksudnya, kebajikan hanya dapat diperoleh melalui kemauan untuk melakukan hal yang baik. Sehingga, seorang profesional hanya akan memiliki keutamaan apabila ia terus-menerus berusaha mempraktikan apa yang disadarinya sebagai baik di dalam profesinya.

2.6. Kode Etik Profesi

Menurut Wursanto,25 kode etik merupakan aturan-aturan susila atau sikap ahklak yang ditetapkan dan ditaati bersama oleh para anggota suatu organisasi (profesi). Kode etik merupakan bentuk persetujuan bersama guna mengatur tingkah laku para anggota profesi. Kode etik profesi adalah prinsip-prinsip moral yang melekat pada suatu profesi yang disusun secara sistematis. Ini berarti, tanpa kode etik yang sengaja disusun secara sistematis suatu profesi tetap bisa berjalan karena prinsip-prinsip moral sebenarnya sudah melekat pada suatu profesi. Menurut Sumaryono, ada 3 pokok yang menjadi fungsi kode etik profesi, yaitu:26

a) Sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik. b) Sebagai kontrol sosial.

c) Sebagai pencegah campur tangan pihak lain.

Berdasarkan alasan fungsi di atas, kode etik profesi sudah sangat penting untuk dinyatakan secara tertulis. Kode etik profesi akan membentuk sebuah situasi tertentu bagi seseorang. Ini akan menuntunnya membuat penilaiansendiri atas profesinya.

Kode etik profesi merupakan produk etika terapan karena dihasilkan berdasarkan penerapan (pemikiran) etis secara praksis suatu profesi. Kode etik profesi berubah dan diubah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

25

Ig. Wursanto, Etika Komunikasi Kantor, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 21. 26

E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum: Norma-norma bagi penegak hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 36.

(26)

sehingga anggota kelompok profesi tidak akan ketinggalan zaman. Kode etik profesi menjadi tolak ukur perbuatan anggota kelompok profesi.Setiap kode etik selalu dibuat tertulis yang tersusun secara teratur, rapi, lengkap, tanpa cacat, dalam bahasa yang baik, sehingga menarik perhatian dan menyenangkan pembacanya. Semua yang tergambar adalah perilaku yang baik.27

Robert D. Kohn menyatakan bahwa ada lima urgensi nilai tentang pentingnya kode etik profesi dibakukan dalam suatu profesi, yaitu:28Pertama, kode etik profesi bersifat melindungi anggota profesi dengan mengutamakan kejujuran dan cita-cita masyarakat. Kedua, kode etik profesi mempertahankan sikap sopan santun atau keugaharian antar sesama anggota profesi. Ketiga, kode etik profesi memfokuskan adanya ikatan yang kuat antar anggota profesi, sehingga tidak ada campur tangan dari pihak luar. Keempat, kode etik profesi mengutamakan pencapaian cita-cita suatu profesi, dankelima, kode etik profesi menitikberatkan nilai-nilai daripada sekedar hak-hak suatu profesi.

Selain itu, tujuan pentingnya membakukan kode etik suatu profesi antara lain:29Untuk menjunjung tinggi martabat profesi, untuk menjaga dan memilihara kesejahteraan para anggota profesi, untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi, untuk meningkatkan mutu profesi, untuk meningkatkan mutu organisasi profesi, meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi, meningkatkan profesionalitas organisasi yang kuat dan erat, menentukan buku standarnya sendiri.

Sigit menjelaskan bahwa dalam penyusunan wujud atau bentuk dari kode etik biasanya dibuat tertulis secara formal, memilikistruktur yang sistematis, normatif, etis, lengkap dan mudah dipahami untuk dijadikan pedoman perilaku ke-profesian.Kode etik berisi prinsip-prinsip dasar etika profesi yang sudah didiskusikan dan disepakati dengan itikad baik demi ketertiban dalam menjalankan profesinya. Sifat dan orientasi rancangan kode etik seharusnya singkat,sederhana, logis, konsisten, jelas, rasional, praktis dan dapat dilaksanakan, komprehensif dan lengkap,

27

Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997),77-78. 28

E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, 37-38. 29

Hendro Sigit, Etika Bisnis Modern: Pendekatan pemangku kepentingan, (Yogyakarta: STIM YKPN, 2012), 126.

(27)

bersifat positif dalam penyusunannya.Penyusunan kode etik formal, dalam struktur suatu organisasi profesi, dilakukan oleh Komite etika, yaitu entitas yang mengembangkan kebijakan, mengevaluasi tindakan,meneliti dan menghukum berbagai pelanggaran etika. Dalam pelaksanaannya, organisasi menunjuk seseorang atau entitas tertentu untuk menjadi pejabat etika, yaitu pihak yang mengkordinasikan kebijakan, memberikan pendidikan dan menyelidiki tuduhan pelanggaran etika.30

30

(28)

3. DOKUMEN & KETETAPAN SINODE HKBP 3.1. Huria Kristen Batak Protestan (HKBP)

Pada tanggal 7 Oktober 1861 menurut Almanak ditetapkan sebagai hari lahir HKBP. Misionar Van Asselt dan Betz berkumpul di rumah seorang penduduk: Bondanalotot Nasution di Prausorat Sipirok untuk mengadakan rapat bersama para misionaris Jerman, seperti Heine dan Klammer.1 Mereka berempat bergabung pada saat itu mengadakan rapat koordinasi misi untuk merencanakan penginjilan di tanah Batak, sekaligus membagi wilayah kerja masing-masing. Pada hari itulah merupakan permulaan dari tugas Rheinische Mission Gessellschaft (RMG) di tanah Batak. Tanggal rapat koordinasi kerja keempat orangMisionar inilah yang kemudian ditetapkan oleh badan zending RMG sebagai hari lahirnya gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Selanjutnya HKBP benar- benar mandiri melalui proses yang cukup panjang, sejak tanggal 11 Juli 1940. Pada waktu itu semua pendeta Jerman yang memimpin dan melayani HKBP ditangkap dan diperintahkan meninggalkan Indonesiaoleh tentara Sekutu dan Jepang. Peristiwa itu memaksa para pendeta pribumi (orang Batak) mengadakan rapat pada tanggal tersebut untuk memilih pimpinan gereja HKBP dari kalangan Pendeta Batak sendiri.

3.2. Credo Sinode HKBP2

Dasar utama HKBP yaitu Yesus Kristus sebagai sumber kebenaran dan kehidupan sebagaimana yang disaksikan oleh Kitab Suci umat Kristen. Dalam ketaatan kepada Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus, HKBP menerima Pancasila dan UUD 1945 sebagai azas bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam credonya, HKBP mengaku bahwa pengakuan imannya masih lanjutan yang berdasarkan pada pengakuan iman Apostolicum, Niceanum, dan Atanasianum.

Melalui pewartaan, kesaksian, surat kiriman, kidung jemaat, doa, liturgi, dan buku pelajaran, selalu kelihatan dengan jelas pengakuan bahwa, Yesus Kristuslah Kepala Gereja dan Tuhan dari segala tuan. Dalam ketaatan kepada firman Allah yang merupakan sumber pemberitaan dan kepercayaan, gereja bersaksi melalui rapat-rapat

1

Paul B. Pedersen. Darah Batak dan Jiwa Protestan. (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1975), 53. 2

(29)

gerejawi, dalam pekerjaan dan kehidupannya sehari-hari yang bersumber dari penyataan Allah Tritunggal, yaitu Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Semua rapat gereja, jabatan pengembalaan, pelayanan di gereja dan aturan gereja berdasar pada pengakuan gereja.

3.3. Pendeta HKBP

Istilah pendeta berakar dari bahasa sansekerta, yaitu “pandit’ yang artinya alim, yang berilmu, ahli dalam bidang agama, filsafat, akademis, dan keterampilan. Dalam masyarakat, pandit biasanya memiliki kedudukan yang spesifik sebagai tokoh utama pemimpin masyarakat maupun agama. Oleh karena itu pendeta merupakan satu jabatan gerejawi. Dalam HKBP jabatan gerejawi disebut dengan tohonan. Istilah “tohonan” berasal dari bahasa Batak kuno yang berati orang yang memiliki keahlian tertentu dalam bidang-bidang yang dibutuhkan masnyarakat misalnya: kepala suku yang sekaligus menjadi panglima dan pemimpin agama (datu-imam).3 Dengan demikian, jabatan pendeta merupakan suatu jabatan gerejawi yang diterima bukan karena kebaikan dan prestasi melainkan karena anugrah Allah kepada orang-orang yang dipanggil menjadi alat Allah untuk memberitakan iman dan menyampaikan keselamatan bagi warga jemaat yang dilayaninya dan juga bagi orang-orang yang belum mengenal Kristus.

Secara umum tugas-tugas kependetaan di HKBP sebagai teman sekerja Allah dibagi atas tiga bagian:4

a. Pendeta Sebagai Pemimpin

Sebagai seorang pemimpin, pendeta adalah orang yang lebih dahulu mengambil langkah-langkah, mempelopori, dan menggerakkan anggota jemaat mencapai tujuan bersama. Dalam hal itu seorang pendeta memiliki hak dan kuasa (bdn. Ef.2:2;4:11-12; Mat. 28:29-20), tetapi harus mempertangung jawabkannya menurut sakramen-sakramen yang ada terutama kepada Allah.

3

A. Lumbantobing, Makna dan Wibawa Jabatan dalam gereja batak, (Jakarta: BPK Gunung-Mulia, 1992), 34.

4

(30)

b. Pendeta Sebagai Pelayan

Sebagai seorang pelayan, pendeta harus mampu masuk dan merasakan apa yang dirasakan jemaat. Kepekaan tersebut termasuk dalam keadaan suka dan duka jemaat.Selain itu, pendeta juga harus menjadi seorang penegak keadilan bagi orang-orang yang tertindas. Artinya, pendeta harus mampu merendahkan dirinya seperti pelayan yang menjamu jemaat demi suatu persekutuan yang setara tanpa membeda-bedakan derajat jemaat dan besar-kecilnya pelayanan.

c. Pendeta Sebagai Pengkhotbah

Sebagai seorang pengkhotbah, pendeta harus menyatakan kebenaran Kitab Suci, dan seluruh kehidupannya harus sesuai dengan firman Allah (menjadi pengkhotbah yang hidup). Pendeta haruslah berbicara atas nama Allah, dan Kitab Suci, oleh otoritas kepada jemaat.

3.4. Dokumen Sinode HKBP a. Konfessi HKBP

Dokumen ketiga HKBP ini merupakan kumpulan pengakuan-pengakuan warga jemaat HKBP tentang unsur-unsur kepercayaannya di dalam keKristenan. Dokumen ini merupakan suatu keabsahan yang signifikan tentang bagaimana pemahaman teologi HKBP sebagai organisasi gereja yang hadir dan bertumbuh di tengah-tengah iman umat percaya terhadap Kristus. Berdasarkan hasil sejarah, dokument konfessi ini dibagi menjadi dua bagian, yakni pengakuan iman percaya HKBP tahun 1951 dan 1996. Di dalamnya berisikan 18 pasal ajaran mengenai pandangan teologi HKBP terhadap unsur-unsur agama Kristen Protestan.

Secara khusus mengenai para pelayan gereja, terdapat beberapa hal penting yang perlu dimaknai. Dalam pasal 9 konfessi HKBP tahun 1951, dinyatakan bahwa para pelayanan merupakan saksi Kristus yang terpanggil untuk menunaikan tugas Kristus, yaitu sebagai Nabi, Imam dan Raja (1 Kor 12:28). Para pelayan ini juga memiliki tugas, yakni: Memberitakan Injil kepada anggota-anggota gereja dan di luar gereja; pelayanan sakramen; menggembalakan anggota jemaat; menjaga kemurnian ajaran, melakukan tuntunan jiwa, melawan ajaran sesat; dan melakukan pekerjaan

(31)

diakonia. Dengan demikian setiap pelayan harus menolak dan melawan pendirian yang meniadakan jabatan tahbisan dan tidak menentang tugas tahbisan yang diberikan kepadanya.5

b. Agenda

Agenda (atau Tata Ibadah HKBP) adalah sebuah buku yang berisikan kumpulan tata ibadah yang dipakai oleh gereja-gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Kata Agenda berasal dari bahasa Latin yang berarti menunjukkan sebuah daftar tentang hal-hal yang akan dikerjakan; kemudian kata itu digunakan oleh gereja-gereja protestan di Jerman Agende atau “Kirchenagende”, yakni sebuah buku kumpulan tata ibadah yang dipakai oleh gereja, antara lain: kebaktian minggu biasa, kebaktian dengan perjamuan kudus, dengan baptisan, naik sidi, pemberkatan nikah, pemakaman, ordinasi (die Ordination zum Predigtamt), dan lain-lain. Padanannya sebelum masa Reformasi adalah Agenda missarum (perayaan messe), agenda mortuorum (perayaan mengenang para orang mati), dan lain-lain. Kumpulan Tata Ibadah HKBP pun dikenal dengan nama “Agende” (dulu) atau “Agenda” (kini) sesuai dengan pemakaian kata itu oleh gereja-gereja asal para misionaris yang bekerja di Tanah Batak (1861 – 1940).6

Di dalam Agenda, ada tata ibadah minggu, yakni yang mengatur susunan dan mekanisme ibadah minggu. Pelaksanaan perayaan hari-hari besar Kristen berkaitan erat dengan tata ibadah minggu tersebut, sehingga secara keseluruhan isi Agenda saling terkait dan berhubungan. Di samping itu, dalam Agenda dicantumkan juga ibadah-ibadah khusus, seperti pelaksanaan baptisan, pemberkatan nikah, penahbisan pelayan, salah satunya pendeta. Harus diakui bahwa Agenda memberikan ketentuan dan pengaruh kuat dalam peribatan yang dilaksanakan di HKBP. Nilai spiritualitas HKBP dapat ditemukan di dalam pelaksanaan Agenda tersebut. Oleh karena itu, pelaksanaan Agenda HKBP adalah jati diri HKBP sendiri.7 Tentu, sebagai jati diri

5

Pengakuan Iman HKBP, (Pematangsiantar: Percetakan HKBP, 2013), 63-64. 6

J. R. Hutauruk, Tata Ibadah Minggu HKBP, (Jakarta: HKBP Distrik VIII Jawa Kalimantan, 2008), 59.

7

Bungaran Simanjuntak, Konsepku Membangun Bangso Batak: Manusia, Agama dan Budaya, (Jakarta: Obor), 335.

(32)

HKBP, pendeta juga mengambil peran penting dalam menghidupi nilai spiritualitas yang terkandung dalam Agenda tersebut. Sebagaimana Dalam agenda HKBP tugas jabatan pendeta adalah suatu tugas yang kudus. Oleh karena itu diperhatikan kepada para pendeta agar sungguh-sungguh menyadari betapa berat dan mulianya tugas jabatan tersebut. Tugas jabatan pendeta menurut agenda HKBP adalah sebagai berikut:8

a. Memelihara harta yang telah diterima dari Yesus Kristus seperti yang dilakukan oleh gembala, memelihara yang dipercayakan kepadanya agar jangan tersesat, karena kelak akan mempertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan, menjadi teladan dan memberitakan Yesus Kristus yang diutus Allah untuk memperbaharui persekutuan manusia dengan Allah, karena dialah jalan kepada kehidupan, jalan kepada pertobatan dan jalan untuk kerukunan manusia dengan Allah.

b. Kesungguhan dalam menasehati mereka yang mau datang hidup dalam kerendahan kepada Allah, demikian juga kesungguhan dalam menegor mereka yang tidak mau datang kepada kehidupan, agar tidak seorangpun yang menjadi sesat karena tidak ada nasehat, sehingga mereka tidak dituntut sebagai seorang pendeta.

c. Memelihara kedua pekerjaan kudus, yaitu sakramen perjanuan kudus dan babtisan kudus. Meneliti dan mengamati para anggota jemaat agar hanya mereka yang patut dan yang mengenal dosa-dosanya dan menyesali perbuatan-perbuatannya yang layak mengikuti perjamuan kudus.

d. Tekun mendidik dan memelihara anak-anak seperti yang dilakukan oleh Yesus Kristus.

e. Menjaga dan memelihara seluruh anggota jemaat termasuk kepada para janda, kaum bapa dan kaum ibu, anak laki-laki dan anak perempuan seperti yang diperbuat oleh Rasul Paulus.

8

Tata Pentahbisan Pendeta dalam Agenda HKBP, (Pearaja Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2003), 48-51.

(33)

f. Memiliki cara hidup yang baik agar menjadi contoh dan teladan bagi mereka yang digembalakan; teladan dalam perkataan, cara hidup, iman dan kasih. Hendaklah sepakat terhadap sesama pendeta. Didalam kepatuhan kepada Allah janganlah berpikir sendiri-sendiri dan berselisih paham, serta saling memfitnah, agar memperoleh seperti apa yang didoakan oleh Tuhan Yesus kepada Bapa-Nya: “Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti engkau ya Bapa, didalam Aku dan Aku didalam Engkau, agar mereka juga didalam Kita, supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.

c. Tata Dasar dan Tata Laksana HKBP

Dokumen kedua ini merupakan hasil amandemen kedua HKBP pada tahun 2002. Dalam bahasa batak dokumen ini dinamakan aturan dohot paraturan HKBP 2002 dung amandemen paduahon. Tata dasar dan tata laksana HKBP ini merupakan ketentuan-ketentuan pokok yang mendasar dan ketentuan-ketentuan pelaksanaan ruang lingkup HKBP. Dokumen ini ditujuankan untuk menata kehidupan gereja yang meliputi persekutuan, kesaksian, pelayanan, penatalayanan dan pembangunan demi mewujudkan visi, misi serta prinsip utama HKBP. Adapun cakupan atas ketiga hal ini yaitu:9

i. Visi

HKBP menjadi berkat bagi dunia. ii. Misi

a. Beribadah kepada Allah Tri Tunggal Bapa, Anak, dan Roh Kudus dan bersekutu dengan saudara-saudara seiman.

b. Mendidik warga jemaat supaya sungguh-sungguh menjadi anak Allah dan warganegara yang baik.

c. Mengabarkan Injil kepada yang belum mengenal Kristus dan yang sudah menjauh dari gereja.

d. Mendoakan dan menyampaikan pesan kenabian kepada masyarakat dan Negara.

9

(34)

e. Mengggarami dan menerangi budaya Batak, Indonesia dan Global dengan Injil.

f. Memulihkan harkat dan martabat orang kecil dan tersisih melalui pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.

g. Mengembangkan kerjasama oikumene antar gereja dan membangun dialog lintas agama.

h. Mengembangkan penatalayanan (pelayan, organisasi, administrasi, keuangan dan aset) yang bersih, rapi, transparan, akuntabel dan melaksanakan pembangunan gereja.

iii. Prinsip

a. Sikap inklusif, dialogis dan terbuka; b. Kasih dan cara-cara tanpa kekerasan; c. Transparansi dan akuntabilitas;

d. Keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan;

Demi mewujudkan ketiga dasar HKBP tersebut, para pelayan dan jemaat merupakan aktor langsung dalam ruang lingkup pelayanan di tengah-tengah gereja dan masyarakat. Secara khusus, para pelayan HKBP adalah warga jemaat yang terpanggil dan terpilih untuk mempersembahkan dirinya melayani di tengah-tengah gereja. Dalam tata dasar Bab XI tentang pelayan dinyatakan bahwa pelayan di HKBP dibagi menjadi dua bagian, yakni pelayan tahbisan dan non-tahbisan. Pelayan tahbisan adalah para pelayan penuh waktu yang diangkat dan ditahbiskan oleh HKBP sesuai dengan Agenda HKBP dan diakui oleh HKBP. Sedangkan pelayan non-tahbisan adalah warga jemaat paruh waktu atau sukarela yang mempersembahkan dirinya sesuai dengan karunia yang diberikan Tuhan kepadanya.10 Dalam tata laksana Bab VI tentang jabatan tahbisan di HKBP, seorang pendeta harus bertugas sebagaimana tertera dalam Agenda Penahbisan Kependetaan HKBP. Tujuh tahbisan pendeta tersebut haruslah dihayati dan dilakukan sepanjang masa pelayanannya sebagai pendeta. Jika tidak, maka seorang pendeta tersebut akan diberhentikan dari

10

(35)

jabatan tahbisannya. Demikian juga proses pemberhentian akan diatur berdasarkan dokumen Aturan Pengembalaan dan Sanksi HKBP.11

d. Aturan Pengembalaan dan Sanksi HKBP

Dokumen ini merupakan aturan gereja dalam mengembalakan dan memberikan sanksi kepada warga jemaat yang melawan kekudusan gereja. Pendeta merupakan aktor utama yang menjalankan pengembalaan warga gereja. Dalam kehidupan gereja, pada umumnya ada tiga bentuk kesalahan para pendeta, yaitu kesalahan administrasi gereja; kesalahan terhadap kekudusan tahbisan pendeta; dan kesalahan yang berkaitan dengan pengakuan iman pendeta. Maka, di dalam bagian I dalam dokumen ini dinyatakan bahwa pendeta yang adalah sebagai pengembala jemaat sudah seharusnya memiliki karakter sebagai berikut:12

a. Karakter penguat dan pembaharu jemaat;

Ciri pendeta ini mengarah pada sifat yang lebih mumpuni melindungi, mengarahkan serta mentransformasi baik iman, pikiran dan tingkah laku jemaat dalam kehidupan bergereja dan bermasyarakat. Karakter tersebut memberikan sokongan moral terhadap jemaat yang membutuhkan, agar pilar kehidupan jemaat semakin kuat dan terarah demi kemuliaan nama Tuhan. Sehingga, keragu-raguan, rasa takut hingga menyerah dapat ditinggalkan ke suatu sikap yang membawa perubahan hidup orang beriman.

b. Menghidupi sikap kasih;

Dalam karakter ini, pendeta harus memiliki sikap kasih diatas segala tindakan pelayanannya. Artinya, pendeta lebih mengutamakan dasar perbuatannya melalui kasih terhadap jemaat, bukan semata-mata melalui pemikirannya sendiri. Dasarnya adalah dikarenakan Allah telah mengasihi umat ciptaan-Nya, demikian juga pendeta memahami dan menghidup sikap kasih tersebut dalam bertindak dan menjawab segala keputusan yang ada di tengah-tengah gereja.

11

Aturan Dohot Peraturan HKBP, (Pematangsiantar: Percetakan HKBP, 2015), 120-121. 12

Ruhut Parmahanion dohot Paminsangon: RPP HKBP, (Pematangsiantar: Percetakan HKBP, 2009), 11-13.

(36)

c. Tidak sekedar sebagai seorang hakim yang mengadili;

Pendeta bukanlah hakim, namun meski demikian pendeta bertanggungjawab dalam menghadapi setiap permasalahan moral jemaat di tengah-tengah kebenaran perintah Allah. Beban serta tanggungjawab besar yang hendak dipahami oleh pendeta adalah bahwa hukuman (siasat gereja) yang diberikan gereja terhadap jemaat bukan menjadikan pendeta hanya sebatas si pemberi ganjaran saja, melainkan juga mampu membimbing, mengembalai jemaat semakin terarah dan menghidupi perintah Tuhan dalam imannya. Sehingga, pendeta tidak akan sewenang-wenang bahkan tinggi hati dalam melakukan suatu hukuman terhadap jemaatnya.

d. Memiliki roh pengembala;

Karakter ini tentu lebih spesifik mengarah pada kehendak dan kuasa Allah dalam hal interpersonal pendeta dengan Allah di dalam dirinya. Secara spiritual, pendeta haruslah memiliki nilai-nilai kekudusan yang lebih kuat dan kokoh dalam mengahadapi jemaat. Kekuatan menggembalakan jemaat tersebut tentu diberikan oleh Allah melalui penyertaan Roh Kudus di dalam diri pendeta tersebut. Hal ini menjadi kunci bahwa Allah adalah pengerak utama seluruh sikap yang dicantumkan sebelumnya.

Keempat karakter utama ini merupakan ciri utama sikap pengembalaan Kristus di dalam kehidupan pelayanannya di tengah-tengah jemaat. Pendeta adalah kehendak pemilihan Allah sebagai wakil-Nya untuk mengembalakan jemaat. Sebagai kehendak pemilihan Allah terhadap jabatan para pengembala, maka hidup dan kehidupan para pelayan juga milik Allah, bukan milik dirinya sendiri atau lembaga gereja. Sehingga, para pendeta haruslah mampu mengalahkan kuasa kejahatan dari dalam dirinya ataupun dari luar dirinya. Sebagaimana tugas utama para pendeta untuk mewujudkan gereja yang kudus, maka sikap para pendeta jugalah harus kudus kerena Allah juga mencintai kekudusan umatNya di dalam KerajaanNya. (Im 19: 2; Yes 6: 3; Mat 5: 48; 1 Pet 1: 15-16).

(37)

4. ANALISA

Berdasarkan penjelasan perihal etika profesional dan tanggung jawab moral di dalam teori, bahwa etika profesional mampu menjernihkan identitas profesional. Maksudnya adalah dalam profesi sebagai pendeta, institusi gereja harus dapat melihat dan meninjau kerangka etika kependetaan tentang apa yang harus dilakukan dan tidak. Tulisan ini akan memfokuskan tentang nilai etis dan tanggungjawab moral sebagai pendeta. Profesionalitas terwujud berdasarkan komitmen serta tindakan nyata pribadi terhadap lingkup pekerjaannya. Dengan demikian, pendeta bukan hanya sekedar jabatan atau gelar dalam mengemban tugas dan pelayanannya. Melainkan, pendeta dengan penyatuan dirinya terhadap pelayanannya akan membentuk identitas dan kematangan terhadap profesionalitas dirinya. Komitmen serta dedikasi seperti itulah yang melahirkan tanggung jawab yang besar dan mendalam bagi diri seorang pendeta.

Berangkat dari pemahaman di atas, dokumen HKBP secara garis besar menekankan bahwa perihal pendeta dititikberatkan pada tugas jabatannya saja. Dokumen HKBP belum secara tegas menekankan unsur pembentukan spritualitas para pendetanya dalam kehidupan sebagai pelayan. Sangat jelas dalam dokumen-dokumen HKBP belum menekankan prinsip dasar spiritualitas dan etika profesionalitas kependetaannya, namun lebih menekankan tugas pelayanan. Padahal, prinsip etika tersebut adalah dasar berpijak baku dalam menimbang dan mengambil suatu tindakan pelayanan yang efisien dan berdasarkan dengan nilai-nilai Kristus. Sebagai aktor pelayanan, gereja HKBP masih berpusat pada tugas pengembalaan dan pemberi sanksi terhadap hal-hal yang diluar dari nilai-nilai keKristenan.

Hal tersebut menurut penulis haruslah menjadi keprihatinan khusus terhadap kehidupan dasar setiap keputusan yang terjadi dalam lingkup pelayanan di HKBP. Pasalnya, sinode HKBP sudah termasuk dalam kategori gereja tertua di Indonesia. Namun, sampai saat ini dasar tertulis tentang pengambilan sikap dan keputusan bisa dikatakan masih tergantung pada pemahaman tersendiri. Berarti disini para pelayan akan menimbulkan sikap multitafsir dalam melakukan tindakannya terhadap berbagai keputusan yang diambil. Memang, dalam dokumen HKBP yang tercantum dalam

(38)

Aturan Pengembalaan dan Sanksi HKBP diwajibkan para pendeta memiliki karakter penguat, pembaharu, pengasih, hakim yang adil dan pengembala. Akan tetapi, keempat model karakter dasar itu belum menjadi tuntunan baku yang efektif menjawab berbagai konteks permasalahan di tengah-tengah jemaat.

Pelaksanaan Kode Etik dalam konteks sinode HKBP, dapat ditinjau dari sistem pemerintahan yang telah ditetapkan, yaitu episkopal. Dalam konteks ini (episkopal) sebenarnya model dan kode etik dapat berarti “peraturan yang mengikat”. Itu yang menyebabkan Kode Etik profesional dan tanggung jawab moral masih kurang tegas, sebab masih ada faktor yang menghambatnya, yaitu; kepemimpinan, politik, budaya, dan pemahaman lokal.

Apalagi jika melihat tiga bentuk kesalahan yang dicantumkan dokumen HKBP, yaitu kesalahan administrasi gereja, kesalahan terhadap kekudusan tahbisan pendeta, dan kesalahan yang berkaitan dengan pengakuan iman pendeta. Secara identik, karakter yang diwajibkan dokumen HKBP tersebut masih dalam kategori berhenti (Quitter). Pasalnya, karakter tersebut hanya dijadikan sebagai capaian semu saja, yakni hanya untuk menjawab kebutuhan profesinya sebagai pendeta. Namun, dalam ranah profesi pendeta sebagai “panggilan” belum kuat untuk menjadi dasar pengambilan sikap etis para pelayan di HKBP. Dari sini, dokumen HKBP belum siap mengakomodasi pertumbuhan spiritual para pelayan HKBP, khususnya pendeta untuk mengambil langkah memiliki karakter pendaki (Climber).Penulis berpendapat masih banyak lagi karakter yang harus dimiliki para pendeta dan harus dicantumkan dalam dokumen HKBP. Namun, HKBP masih memfokuskan kelima karakter tersebut dalam menjawab segala pergumulan dalam lingkup gereja HKBP.

Kekhawatiran yang terjadi akan landasan di atas bahwa para pendeta tidak mampu menjadi manusia kaya arti, tetapi pas-pasan. Maksudnya adalah karakter yang diwajibkan oleh dokumen HKBP tentang karakter pendeta hanya terpusat dari hal-hal yang dicantumkan saja. Para pendeta menjadi tidak mampu menghidupi esensi profesinya sebagai profesional dan penanggung jawab moral dari segala tindakan asusila moral dalam lingkungan gereja maupun sosial. Hasilnya, ketidakadaan modal dalam mengambil sikap etis terhadap berbagai pergumulan gereja membuat para

(39)

pendeta susah mengambil sikap yang tepat, relevan dan efisien. Tentu, hal tersebut hanya akan menjadikan pendeta semakin tidak dipercayai oleh jemaat jika yang terjadi adalah keputusan multitafsir dengan pemikiran sendiri tanpa tolak ukur yang sesuai berdasarkan kode etik pendeta HKBP. Sehingga, sungguh sangatlah penting kode etik pendeta HKBP dirumuskan dengan akurat.

Kode etik merupakan aturan-aturan susila, atau sikap akhlak yang ditetapkan bersama dan ditaati bersama oleh para anggota, yang tergabung dalam suatu organisasi (profesi). Kode etik merupakan serangkaian ketentuan dan peraturan yang disepakati bersama guna mengatur tingkah laku para anggota organisasi. Dengan begitu, sinode HKBP harus duduk bersama untuk merumuskan serangkaian unsur ketentuan dan peraturan kode etik pendeta HKBP. Kaidah-kaidah moral sangat dibutuhkan oleh pendeta HKBP demi tugas pelayanan serta tanggung jawab pelayanan kepada Allah maupun kepada warga jemaat atau umat yang dilayani. Kehidupan pendeta HKBP seharusnya memperlihatkan nilai-nilai etis yang dikehendaki Yesus Kristus terhadap warga jemaat dan kepada semua orang. Itulah dasarnya kode etik pendeta di HKBP tidak boleh mengesampingkan nilai-nilai etis pelayanan yang dilakukan oleh Kristus.

Kehidupan moral dan rohani bukanlah sesuatu yang dipelajari seperti ilmu pengetahuan tetapi dapat melalui pelatihan dan ketaatan pada aturan yang menjadi kewajiban seorang pendeta sehingga pada gilirannya menghasilkan seorang pelayan yang memiliki kehidupan rohani dan moral yang tangguh.Profesi pendeta diharapkan akan lebih baik kalau ada segala unsur di dalam kode etik pendeta sebagai wadah untuk mempertemukan harapan dan persepsi warga jemaat tentang panggilan dan profesi pendeta. Dengan pemahaman pendeta HKBP tentang dirinya dan pelayanannya, gereja sebagai institusi juga akan tertolong demi mencegah terjadinya banyak gejolak dan konflik internal dengan adanya panduan perilaku dan berkarya bagi para pelayan.Oleh karena itu sangat diperlukan unsur spiritualitas dalam kode etik untuk menjadi norma atau ukuran menilai dan mengevaluasi baik kehidupan maupun kinerja pendeta HKBP. Hal tersebut adalah tuntunan moral pendeta dan bukan peraturan gereja mengenai keberadaan dan tugas-tugas pendeta. Kode etik

(40)

pendeta diharapkan lebih berfungsi selaku pedoman moral dalam menjalankan kehidupan seorang pendeta dan khususnya menolong pendeta mengoptimalkan fungsinya.

Spiritualitas menjadi jalan untuk bermoral. Pengalaman spiritual seseorang akan terlihat dari moral atau tingkah lakunya. Spiritualitas seorang pendeta harus mampu mempertahankan dan tidak tergoda akan godaan-godaan duniawi, seperti; perselingkuhan, penggelapan uang gereja, pencabulan, dan pelanggaran etika serta moral lainnya. Kesadaran spiritual pendeta sangat mempengaruhi kesadaran orang tersebut mengenai arti yang lebih dalam dari berbagai hal, antara lain mengenai arti dari pekerjaan, arti dari hidup, dan sebagainya. Tanpa kesadaran spiritual yang cukup, pendeta HKBP hanya melihat apa yang dilakukan secara kulit luarnya saja. Hanya dengan kesadaran spiritual yang yang tertuang dalam landasan kode etik pendeta HKBP, maka para pendeta tidak lagi melihat pekerjaannya sebagai kewajiban atau tugas belaka, melainkan sesuai dengan cita-cita Kristus terhadap pendeta.Sehingga, dengan kesadaran spiritual pendeta HKBP dapat melihat makna setiap sikap dan tindakannya. Kesadaran ini juga memberikan rasa syukur kepada Allah, tanggungjawab yang lebih baik kepada aktivitas profesi sebagai pendeta.

Untuk itu, unsur-unsur dalam kode etik menjadi prioritas penting dalam mewujudkan cita-cita profesionalitas pendeta HKBP. Sebagaimana wujud misi HKBP dalam penatalayanan harus dicapai, para pendeta sebagai aktor utama juga harus memiliki standar kuat dalam mewujudkannya. Standar kuat itu adalah ketentuan unsur-unsur dalam kode etik pendeta HKBP. Kode etik tersebut akan membantu pemaknaan pendeta HKBP terhadap ketujuh nasehat tahbisannya. Bagi penulis, jika segala unsur dimasukkan dalam kode etik pendeta HKBP dan dimutualisasikan dengan tujuh tohonan pendeta HKBP, maka hal ini akan bersinergi memberikan modal yang kuat bagi panggilan dan profesionalitas pendeta HKBP dalam menjalankan proses profesinya sesuai nilai etis dan tanggungjawab moral pendeta. Hal tersebut akan menjadi tolak ukur yang mendalam bagi pendeta HKBP untuk menjadikan dirinya sebagai hamba Allah yang menjauhi segala hal yang melanggar nilai etika dan tanggungjawab moral profesionalitasnya sebagai pendeta.

(41)

5. PENUTUP 5.1. Kesimpulan

Berdasarkan tulisan ini, penulis menemukan bahwa masih banyak permasalahan yang dihadapi pendeta HKBP dalam mengemban tugas dan tanggung jawab pelayanannya. Oleh karena itu, penulis telah menjelaskan apa yang menjadi pokok permasalahan dan harapan bagi pendeta HKBP dalam menghidupi profesinya sebagai seorang pendeta. Maka dari itu kesimpulan dari seluruh tulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Dalam profesinya, pendeta sebagai seorang teladan dalam gereja sangat perlu didorong oleh ilmu etika. Kode etik muncul dari standar etika profesi pendeta.Pendeta HKBP hendaklah menerapakan apa yang harus dilakukan dan tidak perlu dilakukan berdasarkan kode etik tersebut.Dalam hal inilah, etika membantu dan membentuk seorang pendeta dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya.

2. Dalam hal profesional dan tanggungjawab moral, etika mendorong pendeta untuk lebih mengetahui apa yang akan dilakukan dan menjadi pertimbangan atas keputusan-keputusan yang akan dibuat pendeta dan mencegah pendeta untuk tidak melakukan penyimpangan atau keputusan yang dapat merusak jabatan dan tahbisannya. Etika memberikan landasan bagi pendeta HKBP untuk berjalan sesuai dengan kaidah-kaidah yang sudah ditentukan. Dari sikap yang profesional ini, pendeta HKBP diwajibkan untuk mengemban tanggungjawab moralnya melalui etika profesi kependetaan.

3. Khususnya dalam dokumen HKBP tentang pendeta, penulis tidak menemukan secara terperinci bagian yang meredaksikan unsur spiritualitas dan etika profesionalitas serta tanggungjawab moral didalam kode etik. Dokumen HKBP masih menekankan ruang lingkup tugas-tugas pokok pendeta di dalam pelayanan. Padahal, kode etik pendeta sudah seharusnya dirumuskan dengan memenuhi segala aspek maupun unsur sejak terjadinya amandemen di dalam sinode HKBP. Sehingga, hal ini mencirikan bahwa

(42)

HKBP harus terus peka dan memperbaharui landasan kehidupan para pendetanya melalui kaidah-kaidah moral dalam kode etik pendeta.

5.2. Saran

Demi menjaga keberlangsungan yang baik bagi pelayanan pendeta, penulis memberikan saran untuk mendukung pendeta dalam menjalankan profesinya:

1. Gereja, khususnya HKBP merupakan wadah organisatoris bagi setiap pendeta, hendaklah memasukkan segala unsur (khususnya unsur spiritualitas, etika profesionalitas dan tanggungjawab moral) didalam kode etikyang baku untuk menjadi dasar pendeta dalam pelayanan agar bisa lebih profesional dalam menjalankan profesinya. Janji tahbisan pendeta untuk melayani memang sudah ada, akan tetapi pendeta butuh unsur tatanan yang dapat membimbing untuk pengembangan spiritualitas dalam menjalankan profesinya.

2. Gereja HKBP juga perlu mempersiapkan secara dini bagi calon-calon pendetanya melalui wawasan etika profesi pendeta dan tanggung jawab moralnya. Hal ini bertujuan agar para calon pendeta HKBP sudah siap serta matang secara spiritualitas, pemahaman yang baik mengenai Etika Profesionalitas dan tanggungjawab moral sebagai pendeta, supaya kelak tidak terjadi penyimpangan dalam melaksanakan tugas dan panggilannya sebagai pendeta.

3. Untuk penelitian berikutnya, penulis menyarankan kiranya dapat memperlengkapi tulisan ini dengan data hasil wawancara, supaya dapat terlihat relevansi data penulis dengan hasil di lapangan.

Referensi

Dokumen terkait

Jadi dapat disimpulkan bahwa variabel tanggung jawab moral, kesadaran wajib pajak, sanksi perpajakan, dan kualitas pelayanan secara bersama-sama mempunyai pengaruh

peran etika dan tanggung jawab sosial perusahaan. 2) Untuk menganalisis pengaruh dari relativisme terhadap pandangan akan. peran etika dan tanggung jawab sosial perusahaan. 3)

Dari penelusuran etimologis dan sudut pandang literasi Thomas Lickona di atas, kita dapat mendefinisikan bahwa tanggung jawab moral adalah kemampuan seseorang untuk menunjukkan

Etika bisnis berperan penting dalam memberikan kepercayaan terhadap kelompok atau individu yang berkepentingan dengan jalannya perusahaan, yakni :1. NORMA DAN TANGGUNG

Sedangkan menurut Kreitner (1992) adalah studi mengenai tanggung jawab moral yang terkait dengan apa yg di anggap benar dan apa yang di anggap salah, akan

i) Mengenal pasti tahap etika dan moral profesional pelajar Program Sarjana PTV, UTHM yang telah mengikuti program latihan mengajar dari aspek amalan

Etika & Tanggung Jawab Profesi Mata kuliah ETP Æ diharapkan dalam menjalani profesi hukum bisa menjadi panutan/bisa menjalani profesi dengan baik, apalagi kondisi sekarang

BIDANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL • Tanggung Jawab Terhadap Lingkungan Polusi udara, polusi air, polusi tanah, pembuangan limbah beracun, daur ulang • Tanggung Jawab Terhadap Pelanggan