• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan penjelasan perihal etika profesional dan tanggung jawab moral di dalam teori, bahwa etika profesional mampu menjernihkan identitas profesional. Maksudnya adalah dalam profesi sebagai pendeta, institusi gereja harus dapat melihat dan meninjau kerangka etika kependetaan tentang apa yang harus dilakukan dan tidak. Tulisan ini akan memfokuskan tentang nilai etis dan tanggungjawab moral sebagai pendeta. Profesionalitas terwujud berdasarkan komitmen serta tindakan nyata pribadi terhadap lingkup pekerjaannya. Dengan demikian, pendeta bukan hanya sekedar jabatan atau gelar dalam mengemban tugas dan pelayanannya. Melainkan, pendeta dengan penyatuan dirinya terhadap pelayanannya akan membentuk identitas dan kematangan terhadap profesionalitas dirinya. Komitmen serta dedikasi seperti itulah yang melahirkan tanggung jawab yang besar dan mendalam bagi diri seorang pendeta.

Berangkat dari pemahaman di atas, dokumen HKBP secara garis besar menekankan bahwa perihal pendeta dititikberatkan pada tugas jabatannya saja. Dokumen HKBP belum secara tegas menekankan unsur pembentukan spritualitas para pendetanya dalam kehidupan sebagai pelayan. Sangat jelas dalam dokumen-dokumen HKBP belum menekankan prinsip dasar spiritualitas dan etika profesionalitas kependetaannya, namun lebih menekankan tugas pelayanan. Padahal, prinsip etika tersebut adalah dasar berpijak baku dalam menimbang dan mengambil suatu tindakan pelayanan yang efisien dan berdasarkan dengan nilai-nilai Kristus. Sebagai aktor pelayanan, gereja HKBP masih berpusat pada tugas pengembalaan dan pemberi sanksi terhadap hal-hal yang diluar dari nilai-nilai keKristenan.

Hal tersebut menurut penulis haruslah menjadi keprihatinan khusus terhadap kehidupan dasar setiap keputusan yang terjadi dalam lingkup pelayanan di HKBP. Pasalnya, sinode HKBP sudah termasuk dalam kategori gereja tertua di Indonesia. Namun, sampai saat ini dasar tertulis tentang pengambilan sikap dan keputusan bisa dikatakan masih tergantung pada pemahaman tersendiri. Berarti disini para pelayan akan menimbulkan sikap multitafsir dalam melakukan tindakannya terhadap berbagai keputusan yang diambil. Memang, dalam dokumen HKBP yang tercantum dalam

Aturan Pengembalaan dan Sanksi HKBP diwajibkan para pendeta memiliki karakter penguat, pembaharu, pengasih, hakim yang adil dan pengembala. Akan tetapi, keempat model karakter dasar itu belum menjadi tuntunan baku yang efektif menjawab berbagai konteks permasalahan di tengah-tengah jemaat.

Pelaksanaan Kode Etik dalam konteks sinode HKBP, dapat ditinjau dari sistem pemerintahan yang telah ditetapkan, yaitu episkopal. Dalam konteks ini (episkopal) sebenarnya model dan kode etik dapat berarti “peraturan yang mengikat”. Itu yang menyebabkan Kode Etik profesional dan tanggung jawab moral masih kurang tegas, sebab masih ada faktor yang menghambatnya, yaitu; kepemimpinan, politik, budaya, dan pemahaman lokal.

Apalagi jika melihat tiga bentuk kesalahan yang dicantumkan dokumen HKBP, yaitu kesalahan administrasi gereja, kesalahan terhadap kekudusan tahbisan pendeta, dan kesalahan yang berkaitan dengan pengakuan iman pendeta. Secara identik, karakter yang diwajibkan dokumen HKBP tersebut masih dalam kategori berhenti (Quitter). Pasalnya, karakter tersebut hanya dijadikan sebagai capaian semu saja, yakni hanya untuk menjawab kebutuhan profesinya sebagai pendeta. Namun, dalam ranah profesi pendeta sebagai “panggilan” belum kuat untuk menjadi dasar pengambilan sikap etis para pelayan di HKBP. Dari sini, dokumen HKBP belum siap mengakomodasi pertumbuhan spiritual para pelayan HKBP, khususnya pendeta untuk mengambil langkah memiliki karakter pendaki (Climber).Penulis berpendapat masih banyak lagi karakter yang harus dimiliki para pendeta dan harus dicantumkan dalam dokumen HKBP. Namun, HKBP masih memfokuskan kelima karakter tersebut dalam menjawab segala pergumulan dalam lingkup gereja HKBP.

Kekhawatiran yang terjadi akan landasan di atas bahwa para pendeta tidak mampu menjadi manusia kaya arti, tetapi pas-pasan. Maksudnya adalah karakter yang diwajibkan oleh dokumen HKBP tentang karakter pendeta hanya terpusat dari hal-hal yang dicantumkan saja. Para pendeta menjadi tidak mampu menghidupi esensi profesinya sebagai profesional dan penanggung jawab moral dari segala tindakan asusila moral dalam lingkungan gereja maupun sosial. Hasilnya, ketidakadaan modal dalam mengambil sikap etis terhadap berbagai pergumulan gereja membuat para

pendeta susah mengambil sikap yang tepat, relevan dan efisien. Tentu, hal tersebut hanya akan menjadikan pendeta semakin tidak dipercayai oleh jemaat jika yang terjadi adalah keputusan multitafsir dengan pemikiran sendiri tanpa tolak ukur yang sesuai berdasarkan kode etik pendeta HKBP. Sehingga, sungguh sangatlah penting kode etik pendeta HKBP dirumuskan dengan akurat.

Kode etik merupakan aturan-aturan susila, atau sikap akhlak yang ditetapkan bersama dan ditaati bersama oleh para anggota, yang tergabung dalam suatu organisasi (profesi). Kode etik merupakan serangkaian ketentuan dan peraturan yang disepakati bersama guna mengatur tingkah laku para anggota organisasi. Dengan begitu, sinode HKBP harus duduk bersama untuk merumuskan serangkaian unsur ketentuan dan peraturan kode etik pendeta HKBP. Kaidah-kaidah moral sangat dibutuhkan oleh pendeta HKBP demi tugas pelayanan serta tanggung jawab pelayanan kepada Allah maupun kepada warga jemaat atau umat yang dilayani. Kehidupan pendeta HKBP seharusnya memperlihatkan nilai-nilai etis yang dikehendaki Yesus Kristus terhadap warga jemaat dan kepada semua orang. Itulah dasarnya kode etik pendeta di HKBP tidak boleh mengesampingkan nilai-nilai etis pelayanan yang dilakukan oleh Kristus.

Kehidupan moral dan rohani bukanlah sesuatu yang dipelajari seperti ilmu pengetahuan tetapi dapat melalui pelatihan dan ketaatan pada aturan yang menjadi kewajiban seorang pendeta sehingga pada gilirannya menghasilkan seorang pelayan yang memiliki kehidupan rohani dan moral yang tangguh.Profesi pendeta diharapkan akan lebih baik kalau ada segala unsur di dalam kode etik pendeta sebagai wadah untuk mempertemukan harapan dan persepsi warga jemaat tentang panggilan dan profesi pendeta. Dengan pemahaman pendeta HKBP tentang dirinya dan pelayanannya, gereja sebagai institusi juga akan tertolong demi mencegah terjadinya banyak gejolak dan konflik internal dengan adanya panduan perilaku dan berkarya bagi para pelayan.Oleh karena itu sangat diperlukan unsur spiritualitas dalam kode etik untuk menjadi norma atau ukuran menilai dan mengevaluasi baik kehidupan maupun kinerja pendeta HKBP. Hal tersebut adalah tuntunan moral pendeta dan bukan peraturan gereja mengenai keberadaan dan tugas-tugas pendeta. Kode etik

pendeta diharapkan lebih berfungsi selaku pedoman moral dalam menjalankan kehidupan seorang pendeta dan khususnya menolong pendeta mengoptimalkan fungsinya.

Spiritualitas menjadi jalan untuk bermoral. Pengalaman spiritual seseorang akan terlihat dari moral atau tingkah lakunya. Spiritualitas seorang pendeta harus mampu mempertahankan dan tidak tergoda akan godaan-godaan duniawi, seperti; perselingkuhan, penggelapan uang gereja, pencabulan, dan pelanggaran etika serta moral lainnya. Kesadaran spiritual pendeta sangat mempengaruhi kesadaran orang tersebut mengenai arti yang lebih dalam dari berbagai hal, antara lain mengenai arti dari pekerjaan, arti dari hidup, dan sebagainya. Tanpa kesadaran spiritual yang cukup, pendeta HKBP hanya melihat apa yang dilakukan secara kulit luarnya saja. Hanya dengan kesadaran spiritual yang yang tertuang dalam landasan kode etik pendeta HKBP, maka para pendeta tidak lagi melihat pekerjaannya sebagai kewajiban atau tugas belaka, melainkan sesuai dengan cita-cita Kristus terhadap pendeta.Sehingga, dengan kesadaran spiritual pendeta HKBP dapat melihat makna setiap sikap dan tindakannya. Kesadaran ini juga memberikan rasa syukur kepada Allah, tanggungjawab yang lebih baik kepada aktivitas profesi sebagai pendeta.

Untuk itu, unsur-unsur dalam kode etik menjadi prioritas penting dalam mewujudkan cita-cita profesionalitas pendeta HKBP. Sebagaimana wujud misi HKBP dalam penatalayanan harus dicapai, para pendeta sebagai aktor utama juga harus memiliki standar kuat dalam mewujudkannya. Standar kuat itu adalah ketentuan unsur-unsur dalam kode etik pendeta HKBP. Kode etik tersebut akan membantu pemaknaan pendeta HKBP terhadap ketujuh nasehat tahbisannya. Bagi penulis, jika segala unsur dimasukkan dalam kode etik pendeta HKBP dan dimutualisasikan dengan tujuh tohonan pendeta HKBP, maka hal ini akan bersinergi memberikan modal yang kuat bagi panggilan dan profesionalitas pendeta HKBP dalam menjalankan proses profesinya sesuai nilai etis dan tanggungjawab moral pendeta. Hal tersebut akan menjadi tolak ukur yang mendalam bagi pendeta HKBP untuk menjadikan dirinya sebagai hamba Allah yang menjauhi segala hal yang melanggar nilai etika dan tanggungjawab moral profesionalitasnya sebagai pendeta.

5. PENUTUP

Dokumen terkait