• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode himpunan aktif untuk menyelesaikan masalah pemrograman kuadratik - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Metode himpunan aktif untuk menyelesaikan masalah pemrograman kuadratik - USD Repository"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

METODE HIMPUNAN AKTIF UNTUK

MENYELESAIKAN MASALAH PEMROGRAMAN KUADRATIK

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Program Studi Matematika

Oleh: Yudith Kase NIM: 083114014

PROGRAM STUDI MATEMATIKA JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

ii

ACTIVE SET METHODS TO SOLVE QUADRATIC PROGRAMMING PROBLEMS

Thesis

Presented as Partial Fulfillment of the Requirements to obtain The Sarjana Sains Degree

in Mathematics

By: Yudith Kase

Student Number : 083114014

MATHEMATICS STUDY PROGRAM, MATHEMATICS DEPARTMENT FACULTY OF SCIENCE AND TECHNOLOGY

SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)
(6)

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

!" !#$

Skripsi ini kupersembahkan kepada:

Tuhan Yesus dan Bunda Maria, juru selamat dan pelindungku

Almarhum Bapa yang selalu mendoakanku, Mama dan kedua saudaraku terkasih Engel dan Ewal

My beloved sister Ima Teme beserta keluarga

(7)
(8)

viii ABSTRAK

Penentuan penyelesaian masalah pemrograman nonlinear, seperti masalah pemrograman kuadratik konveks berkendala tidak mudah dilakukan secara ana-litik. Namun, tidak berarti bahwa masalah tersebut tidak dapat diselesaikan. Sa-lah satu metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikannya adaSa-lah Metode Himpunan Aktif. Metode himpunan aktif merupakan metode untuk menyelesai-kan masalah pemrograman kuadratik konveks yang melibatmenyelesai-kan kendala berupa persamaan dan pertidaksamaan.

Dalam metode himpunan aktif, yang diselesaikan adalah submasalah pem-rograman kuadratik konveks, yakni dengan membangun sebuah himpunan kerja yang terdiri dari kendala-kendala pertidaksamaan aktif. Kendala-kendala perti-daksamaan aktif digunakan karena memiliki nilai nol pada penyelesaiannya se-hingga dapat digantikan oleh kendala berupa persamaan, sedangkan kendala per-tidaksamaan tidak aktif dapat dihilangkan dari himpunan kerja. Selanjutnya, di-cari penyelesaian untuk arah layak. Jika arah layak sama dengan nol dan syarat Karush-Kuhn-Tucker dipenuhi maka akan diperoleh penyelesaian yang merupa-kan peminimum dari fungsi objektif pada masalah pemrograman kuadratik kon-veks. Jika tidak, maka perlu dibangun himpunan kerja yang lain dan diselesaikan submasalah baru tersebut.

Kelebihan dari metode himpunan aktif, yaitu lebih sederhana perhitun-gannya karena tidak semua kendala digunakan. Tetapi jika pemilihan titik awal tidak tepat atau dengan kata lain titik awal menyebabkan tidak ditemukannya kendala aktif maka akan dibutuhkan banyak iterasi untuk mencapai hasilnya.

(9)

ix ABSTRACT

Determination of the solution of nonlinear programming problems, such as the convex quadratic programming problems that involve constraints is not easy done analitcally. However, it does not mean that the problem can not be completed. One of the methods that can be used to solve this problem is Active Set Methods. Active Set Method is a method to solve the problems of convex quadratic programming with involving constrains in the form of equalities and inequalities.

In the Active Set Method, the convex quadratic programming subproblems are solved by first building a working set of active ineqaulity constraints. The active inequality constraints are used because it has zero value on the solution so that it can be replaced by equality constraints, whereas inactive inequality constraints can be removed from a working set. Next, looking for a solution for the feasible direction. If the feasible direction equal to zero and the condition of Karush Kuhn Tucker is satisfied, so it will be obtained a solution that is the minimizer of objective function in the convex quadratic programming problems. If not, it is necessary to build another working set and solved the new subprobems.

The advantages of the Active Set Method that is simpler in its computation because not all constraints are used. But if the selection of starting point is not appropriate or in other words, the starting point causes not to find active constraints then it needs much iteration to achieve the results.

Keywords: active set, Karush-Kuhn-Tucker, convex, Lagrange multiplier, feasi-ble direction.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, ka-rena atas kasih dan penyertaan-Nya sehingga skripsi berjudul “METODE

HIMPUNAN AKTIF UNTUK MENYELESAIKAN MASALAH

PEMROGRAMAN KUADRATIK” dapat penulis selesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai syarat kelulusan guna memperoleh gelar Sarjana Sains di Universitas Sanata Dharma.

Dalam penyusunan skripsi ini, tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan teri-makasih kepada:

1. Lusia Krismiyati Budiasih, S.Si., M.Si., selaku dosen pembimbing dan Ka-prodi Matematika yang telah meluangkan waktu serta penuh kesabaran membimbing dan menuntun penulis dalam penyusunan skripsi ini.

2. P.H. Prima Rosa, S.Si., M.Sc., selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Sanata Dharma.

3. M.V. Any Herawati, S.Si., M.Si., selaku dosen penguji dan dosen pembim-bing Angkatan 2008.

4. Dr. Marcellinus Andy Rudhito, S.Pd., M.Si., selaku dosen penguji.

(11)

xi

6. Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan bekal ilmu baik yang berhubu-ngan deberhubu-ngan akademik maupun non akademik.

7. Staf FST khususnya Pak Tukija, Ibu Linda dan Ibu Rina, Karyawan Per-pustakaan USD serta Mas Susilo selaku Laboran .

8. Almarhum Bapak yang telah tenang di sisi Bapa, Mama dan kedua sauda-raku Engel, Ewal serta Ka ima yang selalu mendukung penulis.

9. Teman-teman seperjuangan (Nooppy, Donat, Amel, Marcell, Fenny, Ethus, Moyo dan Widi). Friendship Never Be A Part guys.

10. Ina dan Adel, anak kos Aulia, Ao, Sende, Novi, Wiwi, Elvira, Tere, Tesa dan Asri, ka Merlin, Pipot serta teman KKN kelompok 31 angkatan XLII.

11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah mendu-kung penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak akan penulis terima dengan senang hati. Semoga skripsi ini berguna bagi semua pihak.

Yogyakarta, 29 Februari 2012 Penulis

(12)

xii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL DALAM BAHASA INGGRIS ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xv

(13)

xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Pembatasan Masalah ... 3

D. Tujuan penulisan ... 3

E. Manfaat Penulisan ... 4

F. Metode Penulisan ... 4

G. Sistematika Penulisan ... 4

BAB II RUANG VEKTOR DAN TEORI OPTIMASI ... 6

A. Ruang Vektor ... 6

B. Himpunan Konveks dan fungsi Konveks ... 33

C. Teori Optimasi ... 60

BAB III METODE HIMPUNAN AKTIF UNTUK MENYELESAIKAN MASALAH PEMROGRAMAN KUADRATIK ... 79

A. Pemrograman Kuadratik ... 79

B. Metode Himpunan Aktif ... 85

BAB IV PENUTUP ... 117

A. Kesimpulan ... 117

(14)

xiv

DAFTAR PUSTAKA ... 119

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Fungsi = − ... 40

Gambar 2.2 Himpunan Konveks dan yang bukan Himpunan Konveks ... 43

Gambar 2.3 Fungsi Konveks dan Bukan Fungsi Konveks ... 44

(16)

xvi DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Output Penyelesaian contoh 3.3 dengan Matlab ... 115

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Optimasi merupakan pokok persoalan yang sering dijumpai dalam

kehi-dupan. Optimasi menyangkut bagaimana menghadapi berbagai macam

kemung-kinan untuk mencapai hasil yang optimal, contohnya pengoptimalan dalam

pe-makaian lahan parkir. Dalam pengoptimalan pepe-makaian lahan parkir terdapat

hal-hal yang berpengaruh, misalnya jenis kendaraan dan jumlah kendaraan.

Permasalahan tersebut dapat dimodelkan secara matematis. Misalkan

pengopti-malan pemakaian lahan parkir dinyatakan dengan fungsi f. Hal-hal yang

mem-pengaruhi dinyatakan dengan variabel misalnya 1, 2, … , . Variabel-variabel

tersebut perlu diberi batasan yang disebut sebagai kendala sedangkan fungsi

, , … , disebut fungsi objektif.

Fungsi objektif yang sering dijumpai adalah berbentuk linear. Namun

dengan adanya perkembangan muncul faktor-faktor yang menyebabkan

keti-daklinearan suatu fungsi sehingga memicu munculnya permasalahan nonlinear.

Permasalahan nonlinear merupakan masalah untuk mengoptimumkan

fungsi objektif terhadap himpunan variabel real, di mana salah satu atau

keduanya dari fungsi objektif dan kendala berbentuk nonlinear. Dalam

(18)

kendala. Namun, pada masalah-masalah lainnya fungsi objektif dapat pula

dioptimalkan walaupun tidak melibatkan kendala.

Pemrograman kuadratik merupakan salah satu dari masalah pemrograman

nonlinear yang melibatkan kendala. Masalah pemrograman kuadratik merupakan

masalah optimasi nonlinear dengan fungsi objektif berbentuk kuadratik dan

ken-dalanya berbentuk linear. Jika fungsi objektif merupakan fungsi konveks maka

dikatakan masalah pemrograman kuadratik konveks. Untuk menyelesaikan

ma-salah pemrograman kuadratik, khususnya pemrograman kuadratik konveks dapat

digunakan beberapa metode, antara lain Metode Titik Dalam, Metode Dual dan

Metode Himpunan Aktif. Dalam penulisan ini akan dipaparkan tentang Metode

Himpunan Aktif.

Metode himpunan aktif adalah metode untuk menyelesaikan masalah

pemrograman kuadratik dengan kendala berupa persamaan yang dapat

digenera-lisasikan untuk menyelesaikan masalah pemrograman kuadratik dengan kendala

yang bersifat umum. Dengan kata lain metode himpunan aktif dapat digunakan

untuk menyelesaikan masalah pemrograman kuadratik yang melibatkan kendala

berupa persamaan dan pertidaksamaan. Secara intuitif dalam metode himpunan

aktif, kendala pertidaksamaan yang tidak aktif tidak berperan dalam pencapaian

penyelesaian, sehingga dapat dihilangkan.

Dalam metode himpunan aktif, dibangun sebuah subhimpunan dari

ken-dala berupa persamaan yang diberi indeks dengan suatu himpunan kerja. Salah

(19)

Karush-Kuhn-Tucker. Jika penyelesaian dari submasalah pemrograman kuadratik dengan

kendala persamaan dalam himpunan kerja adalah layak untuk masalah

pemrograman kuadratik semula dan syarat Karush-Kuhn-Tucker dipenuhi maka

akan diperoleh penyelesaiannya. Jika syarat Karush-Kuhn-Tucker tidak dipenuhi

maka himpunan kerja tersebut dihilangkan dan diselesaikan submasalah baru.

B. RUMUSAN MASALAH

Pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini yaitu:

1. Bagaimana menyelesaikan masalah pemrograman kuadratik dengan metode

himpunan aktif?

2. Bagaimana algoritma metode himpunan aktif dan implementasinya dalam

MATLAB untuk menyelesaikan masalah pemrograman kuadratik?

C. PEMBATASAN MASALAH

Pembahasan metode himpunan aktif dalam tulisan ini hanya dibatasi pada

masalah pemrograman kuadratik konveks dan pada masalah optimasi yang

meli-batkan kendala.

D. TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan ini yaitu untuk menyelesaikan masalah pemrograman

(20)

dan untuk menyusun algoritma metode himpunan aktif dengan menggunakan

ba-hasa pemrograman MATLAB.

E. MANFAAT PENULISAN

Manfaat dari tulisan ini yaitu untuk memperoleh pengetahuan tentang

metode himpunan aktif yang digunakan untuk menyelesaikan masalah

pemrogra-man kuadratik yang melibatkan kendala serta dapat menggunakan bahasa

pemro-graman MATLAB untuk menyelesaikan masalah pemropemro-graman kuadratik.

F. METODE PENULISAN

Metode yang digunakan penulis adalah metode studi pustaka yaitu

de-ngan mempelajari buku-buku yang berkaitan dede-ngan metode himpunan aktif

un-tuk menyelesaikan masalah pemrograman kuadratik.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Perumusan Masalah

C. Pembatasan Masalah

D. Tujuan Penulisan

E. Manfaat Penulisan

(21)

G. Sistematika Penulisan

BAB II RUANG VEKTOR DAN TEORI OPTIMASI

A. Ruang Vektor

B. Himpunan Konveks dan Fungsi Konveks

C. Teori Optimasi

BAB III METODE HIMPUNAN AKTIF UNTUK MENYELESAIKAN

MASALAH PEMROGRAMAN KUADRATIK

A. Pemrograman Kuadratik

B. Metode Himpunan Aktif

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

(22)

BAB II

RUANG VEKTOR DAN TEORI OPTIMASI

Dalam Bab II ini akan dibahas tentang ruang vektor, matriks, himpunan dan

fungsi konveks serta teori optimasi. Matriks yang akan dibahas, yaitu matriks Hesse

dan matriks semidefinit positif. Untuk teori optimasi diawali dengan penjelasan

opti-masi berkendala dan optiopti-masi tidak berkendala serta penjelasan-penjelasan lain yang

berkaitan dengan teori optimasi.

A. Ruang Vektor

Definisi 2.1

Ruangℝ adalah himpunan dari semua kumpulan terurut , , ⋯ , .

Definisi 2.2

Misalkan himpunan tak kosong yang dilengkapi dengan operasi

1. Jumlah: untuk setiap , ∈ , + ∈ .

2. Perkalian skalar: untuk setiap ∈ dan skalar ∈ ℝ, ∈ .

Himpunan dengan operasi penjumlahan dan perkalian skalar dikatakan

mem-bentuk suatu ruang vektor atas ℝ jika memenuhi aksioma-aksioma berikut:

a. + = + , untuk setiap , ∈ .

(23)

c. Terdapat elemen ∈ sehingga + = , untuk setiap ∈ .

d. Untuk setiap ∈ terdapat elemen – ∈ sehingga + – = 0.

e. + = + , untuk setiap skalar ∈ ℝ dan untuk setiap , ∈ .

f. ( + = + , untuk setiap skalar , ∈ ℝ dan untuk setiap ∈ .

g. ( = , untuk setiap skalar , ∈ ℝ dan untuk setiap ∈ .

h. 1 = , untuk setiap ∈ .

Contoh 2.1

Buktikan bahwa ℝ = , , ⋯ , ∈ ℝ, ∈ ℝ, ⋯ , ∈ ℝ adalah ruang

vektor.

Bukti

Misalkan = , , ⋯ , dan = , , ⋯ , , maka

+ = + , + , ⋯ , +

= , , ⋯ ,

a. + = + , + , ⋯ , +

= + , + , ⋯ , +

= +

(24)

= , , ⋯ , + , , ⋯ , + , , ⋯ ,

= , , ⋯ , + , , ⋯ , + , , ⋯ ,

= , , ⋯ , + , , ⋯ , + , , ⋯ ,

= , , ⋯ , + + , + , ⋯ , +

= + +

c. + = , , ⋯ , + 0,0, ⋯ ,0

= + 0, + 0, ⋯ , + 0

= , , ⋯ ,

=

d. + − = , , ⋯ , + − , − , ⋯ , −

= + − , + − , ⋯ , + −

= 0,0, ⋯ ,0 =

e. + = + , + , ⋯ , +

= , , ⋯ , + , , ⋯ ,

= , , ⋯ , + , , ⋯ ,

(25)

f. + = + , , ⋯ ,

= + , + , ⋯ , +

= + , + , ⋯ , +

= , , ⋯ , + , , ⋯ ,

= , , ⋯ , + , , ⋯ ,

= +

g. = , , ⋯ ,

= , , ⋯ ,

= , , ⋯ ,

= , , ⋯ ,

=

h. 1 = 1 , , ⋯ ,

= 1 , 1 , ⋯ , 1

= , , ⋯ ,

=

Karena ℝ = , , ⋯ , ∈ ℝ, ∈ ℝ, ⋯ , ∈ ℝ dengan operasi

pen-jumlahan dan perkalian skalar memenuhi aksioma-aksioma seperti pada Definisi

(26)

Definisi 2.3

Misalkan ! = banyaknya baris pada matriks " dan # = banyaknya kolom pada matriks " maka matriks " dikatakan bujur sangkar jika ! = #.

Definisi 2.4

Suatu matriks bujur sangkar " dikatakan simetrik jika " = "$ dengan "$ ada-lah transpose dari ".

Definisi 2.5

Misalkan " ∈ ℝ × adalah matriks simetrik.

" dikatakan definit positif jika $" > 0, ∀ ∈ ℝ , ≠ .

" dikatakan semidefinit positif jika )" ≥ 0, ∀ ∈ ℝ .

" dikatakan semidefinit negatif jika $" ≤ 0, ∀ ∈ ℝ , ≠ 0.

" dikatakan indefinit jika tidak semidefinit positif atau semidefinit negatif.

Contoh 2.2

Diberikan sebuah matriks simetrik berikut:

" = , 4 −2−2 30

Untuk mengkaji bahwa matriks " bersifat definit positif, maka:

$" = 1 2 , 4 −2

(27)

= 1 2 3 4 − 2−2 + 3 4

= 4 − 2 − 2 + 3

= 4 − 4 + 3

= 2 − + 2 2.1

Persamaan (2.1) adalah penjumlahan kuadrat dan oleh karena itu hasilnya tidak

negatif. Persamaan (2.1) akan bernilai nol jika dan hanya jika 2 − = 0 dan = 0, yang secara tidak langsung menyatakan pula bahwa = 0. Hal ini

membuktikan bahwa $" > 0 untuk semua ≠ 0. Jadi, dapat disimpulkan bahwa matriks " bersifat definit positif.

Contoh 2.3

Diberikan sebuah matriks simetrik berikut:

" = ,2 00 20

Untuk mengkaji bahwa matriks " bersifat semidefinit positif, maka:

$" = 1 2 ,2 0

0 20 , 0

= 1 2 322 4

= 2 + 2 2

(28)

Contoh 2.4

Diberikan sebuah matriks simetrik berikut:

" = 63 0 30 3 0

3 0 37

Untuk mengkaji bahwa matriks " bersifat semidefinit positif, maka:

$" = 1 82 63 0 30 3 0

3 0 37 6 8

7

= 1 82 6

3 + 0 + 3 8

0 + 3 + 0 8

3 + 0 + 3 8

7

= 3 + 0 + 3 8 + 0 + 3 + 0 8 + 8 3 + 0 + 3 8

= 3 + 3 8+ 3 + 3 8 + 3 8

= 3 + 2 8+ 8 + 3

= 3 + 8 + 3

Berdasarkan hasil di atas, dapat disimpulkan bahwa matriks " bersifat semidefi-nit positif karena ∀ ∈ ℝ jumlahan kuadrat di atas ≥ 0.

Definisi 2.6

Diberikan titik ∈ ℝ dan 9 > 0.

(29)

Definisi 2.7

Barisan di ℝ dikatakan konvergen ke ∈ ℝ, atau dikatakan titik limit da-ri , jika untuk setiap > > 0 ada bilangan asli ? > sehingga untuk semua # ≥ ? > , barisan memenuhi − < >.

Definisi 2.8

Jika barisan mempunyai limit, maka barisan tersebut dikatakan konvergen. Jika

barisan tidak mempunyai limit, maka barisan tersebut dikatakan divergen.

Definisi 2.9

Misalkan @ ⊂ ℝ dan ∈ ℝ.

Titik dinamakan titik interior dari @ jika terdapat 9 > 0 sehingga :; ⊂ @.

Definisi 2.10

Himpunan @ dikatakan terbuka dalam ℝ jika setiap titik dari @ adalah titik in-terior @.

Definisi 2.11

(30)

Definisi 2.12

Misalkan ∈ ℝ dan misalkan B: ℝ ⟶ ℝ merupakan fungsi bernilai real yang mempunyai turunan parsial orde ke-2 dalam himpunan terbuka E yang memuat

(31)

Bukti

Untuk membuktikan bahwa kumpulan tersebut bebas linear maka dibentuk

per-samaan berikut

H F + H F + H8F8 =

KH + 2H + 3H −3H + 5H88 = 0= 0

H + 4H + 2H8 = 0

Selanjutnya, akan digunakan operasi baris elementer untuk mencari nilai dari

H , H dan H8.

61 2 30 −3 5

1 4 27

Tambahkan -1 kali baris pertama ke baris ketiga untuk memperoleh

61 2 30 −3 5

0 2 −17

Tambahkan 2 kali baris kedua ke 3 dikali baris ketiga untuk memperoleh

61 2 30 −3 5

0 0 77

• 7H8 = 0 H8 = 0

• −3H + 5H8 = 0

−3H = 0

H = 0

(32)

H = 0

Kerana H = H = H8 = 0 maka dapat disimpulkan bahwa kumpulan vektor F , F , F8 bebas linear.

Definisi 2.14

Hasil kali dalam (inner product) ℝ adalah sebuah fungsi yang mengasosiasikan sebuah bilangan real M , N dengan sepasang vektor dan di ℝ sedemikian ru-pa sehingga aksioma-aksioma berikut ini terpenuhi bagi semua vektor , dan

di ℝ dan semua bilangan skalar H ∈ ℝ.

1. M , N = M , N; (Aksioma Kesimetrian)

2. M + , N = M , N + M , N; (Aksioma Penjumlahan)

3. MH , N = HM , N; (Aksioma Homogenitas)

4. M , N ≥ 0; (Aksioma Positivitas)

M , N = 0 jika dan hanya jika = 0;

Sebuah ruang vektor real yang memiliki sebuah hasil kali dalam disebut ruang

hasil kali dalam real (Real Inner Product Space).

Definisi 2.15

Hasil kali dalam baku untuk ℝ adalah hasil kali skalar

(33)

Definisi 2.16

Norma (norm) atau panjang sebuah vektor di ℝ , dinotasikan dengan < <, dide-finisikan sebagai

< < = M , N P = ∙ P = R + + ⋯ +

Definisi 2.17

Dua vektor dan pada ℝ dikatakan ortogonal jikaM , N = 0.

Teorema 2.18 (Teorema Pythagoras)

Jika dan adalah vektor-vektor ortogonal di dalam sebuah ruang hasil kali

da-lam ℝ , maka

< + < = < < + < <

Bukti

< + < = M + , + N

= M , N + M , N + M , N + M , N = M , N + M , N + M , N + M , N

(34)

Definisi 2.19

Jika dan adalah vektor-vektor ortogonal di dalam ruang hasil kali dalam di ℝ dan ≠ , maka proyeksi skalar dari pada diberikan oleh

=M , N< < 2.2

dan proyeksi vektor dari pada diberikan oleh

T = U< < V =1 M , NM , N 2.3

Teorema 2.20

Jika ≠ , dan Tadalah proyeksi vektor dari pada , maka

1. − TdanTadalahortogonal.

2. = Tjika dan hanya jika adalah sebuah perkalian skalar dari .

Bukti

1. Karena

MT, TN = M< < ,α < < Nα

= U< <V M , Nα

= α

(35)

M , TN = M , NM , N

=

Hal ini mengakibatkan

M − T, TN = M , TN − MT, TN

= −

= 0

2. Jika = , maka proyeksi vektor dari pada diberikan oleh

T =M , NM , N

= M , NM , N

= =

Sebaliknya, jika = T, menurut persamaan (2.3) maka =

= < < = T □

Teorema 2.21 (Ketaksamaan Cauchy-Schwarz dalam )

(36)

Bukti

Jika = , maka

M , N = 0 = < << <

Jika ≠ , maka misalkan T sebagai proyeksi vektor dari pada . Karena T or-togonal pada − T, maka menurut Teorema Pythagoras

<T< + < − T< = < <

Jadi,

M , N

< < = <T<

= < < − < − T<

dan dari sini diperoleh

M , N = < < < < − < − T< < < ≤ < < < <

Dengan mengambil akar diperoleh

M , N ≤ < << < □

Teorema 2.22 (Ketaksamaan Cauchy-Buniakowski-Schwarz)

Misalkan , ∈ ℝ . Maka

XY Z Z Z[

(37)

Bukti

Pertidaksamaan (2.4) akan bersifat trivial jika dan hanya jika = atau = . Oleh karena itu, misalkan dan tak nol. Misalkan \ adalah sebarang bilangan real. Maka

Dengan mensubstitusikan nilai ], ^ dan `, maka diperoleh

aY Z Z

Z[

b ≤ < < < <

Selanjutnya dengan mengambil akar diperoleh

XY Z Z

Z[

(38)

Definisi 2.23

Pemetaan <∙< disebut norm jika dan hanya jika memenuhi sifat-sifat berikut: 1. < < ≥ 0, ∀ ∈ ℝ .

2. < < = 0 jika dan hanya jika = 0. 3. <] < = < <, ∀ ∈ ℝ, ∈ ℝ .

4. < + < ≤ < < + < <, ∀ , ∈ ℝ .

Contoh 2.6

Akan dibuktikan bahwa < < = _Z[ Z adalah norm.

Bukti

Untuk membuktikan bahwa < < = _Z[ Z adalah norm, maka harus

ditunjuk-kan bahwa < < = _Z[ Z memenuhi masing-masing sifat dari Definisi 2.23. Misalkan dan adalah sebarang vektor di ℝ , # dan adalah sebarang bila-ngan real, maka

1. Akan ditunjukkan bahwa < < ≥ 0. Untuk Z ≥ 0, maka

< < = Y Z ≥ 0 Z[

(39)

Oleh karena itu, _Z[ Z = 0 dan < < = 0. Sebaliknya, jika < < = 0 maka _Z[ Z = 0.

Karena Z ≥ 0, dengan demikian _Z[ Z = 0 hanya dipenuhi jika Z = 0 sehingga = 0.

3. Akan ditunjukkan bahwa <] < = < < , ∀ ∈ ℝ, ∈ ℝ .

< < = Y Z

Z[

= aY Z

Z[ b

= < <

4. Akan ditunjukkan bahwa < + < ≤ < < + < < , ∀ , ∈ ℝ .

< + < = Y Z + Z

Z[

≤ Y Z

Z[

+ Y Z

Z[

= < < + < < (Ketaksamaan Cauchy-Schwarz)

Jadi,

< + < ≤ < < + < <

Contoh 2.7

(40)

Bukti

Untuk membuktikan bahwa < < = _Z[ Z d adalah norm, maka harus

di-tunjukkan bahwa < < = _Z[ Z d memenuhi masing-masing sifat dari De-finisi 2.23.

Misalkan dan adalah sebarang vektor di ℝ , # dan adalah sebarang bila-ngan real, maka

1. Akan ditunjukkan bahwa < < ≥ 0.

Karena Z ≥ 0 untuk sebarang bilangan real Z, maka

< < = aY Z Z[

b d

≥ 0

2. Akan ditunjukkan bahwa < < = _Z[ Z d = 0 jika dan hanya jika = 0.

Jika = 0 maka Z = 0, ∀c.

Oleh karena itu, _Z[ Z = 0 dan < < = 0.

Sebaliknya, jika < < = 0 maka _Z[ Z = 0.

Karena Z ≥ 0, dengan demikian _Z[ Z P = 0 hanya dipenuhi jika

Z = 0 sehingga = 0.

3. Akan ditunjukkan bahwa <] < = < < , ∀ ∈ ℝ, ∈ ℝ .

< < = aY Z

Z[

(41)

= a Y Z

Dengan mengambil akar maka diperoleh

(42)

1. < − < ≥ 0.

2. < − < = 0 jika dan hanya jika = . 3. < − < ≤ < − < + < − <.

4. < − < = < − <.

Bukti

1. Akan dibuktikan bahwa < − < ≥ 0.

< − < = aY Z− Z

Z[

b P

Karena ZZ ≥ 0 untuk sebarang bilangan real Z dan Z maka

dipero-leh < − < ≥ 0.

2. Akan dibuktikan bahwa < − < = 0 jika dan hanya jika = . Jika = maka Z = Z, ∀c.

Oleh karena itu _Z[ ZZ = 0 dan < − < = 0. Sebaliknya, jika < − < = 0, maka _Z[ ZZ = 0.

Karena ZZ ≥ 0, dengan demikian _Z[ ZZ = 0 hanya dipenuhi

jika ZZ = 0, ∀c sehingga = .

3. Akan dibuktikan bahwa < − < ≤ < − < + < − <. < − < = < − + − <

= M − + − , − + − N

(43)

= < − < + M − , − N + M − , − N + < − <

= < − < + 2M − , − N + < − < ≤ < − < + 2< − << − < + < − <

= < − < + < − <

Dengan mengambil akar maka diperoleh

< − < ≤ < − < + < − <.

4. Akan dibuktikan bahwa < − < = < − <.

< − < = < −1 − < = 1 < − < = < − <

Jadi, terbukti bahwa < − < = < − <.

Teorema 2.25 (Hukum Paralelogram)

Untuk semua , ∈ ℝ ,

< + < + < − < = 2 < < + < <

Bukti:

< + < + < − < = M + , + N + M − , − N

= M , + N + M , + N + M , − N − M , − N

(44)

= M , N + M , N + M , N + M , N = 2M , N + 2M , N

= 2< < + 2< <

= 2 < < + < <

Definisi 2.26

Barisan I ⊂ ℝ disebut barisan Cauchy jika lim

h,i⟶j< h− i< = 0

Dengan kata lain untuk setiap k > 0, terdapat sebuah bilangan bulat : sehingga < h− i< < k untuk semua !, l > :.

Definisi 2.27

Misalkan m adalah sebuah relasi pada himpunan n, maka m disebut relasi urutan parsial jika memenuhi tiga sifat berikut:

1. Refleksif

m adalah fefleksif jika dan hanya jika ] m ] untuk setiap ] ∈ n.

2. Antisimetris

m adalah antisimetris jika dan hanya jika ] m ^ dan ^ m ], maka ] = ^ untuk

(45)

m adalah transitif jika dan hanya jika ] m ^ dan ^ m `, maka ] m ` untuk

se-tiap ], ^, ` ∈ n.

Relasi urutan parsial biasanya dinotasikan dengan ≤; dan ] ≤ ^ dibaca “] men-dahului ^”. Relasi ≥, yaitu ] melampaui ^, juga sebuah urutan parsial dari n, disebut urutan dual.

Definisi 2.28

Himpunan n bersama-sama dengan suatu relasi urutan parsial m pada n disebut

himpunan terurut parsial (partially ordered set).

Contoh 2.8

Perhatikan bilangan bulat positif ℕ. Dikatakan ] membagi ^ ditulis ]|^, jika ter-dapat ` ∈ ℕ sedemikian sehingga ]` = ^. Contoh 2|4, 3|12, 7|21 dan

seterus-nya. Tunjukkan bahwa pembagian adalah sebuah pengurutan parsial dari ℕ, yaitu,

tunjukkan bahwa

a. ]|].

b. Jika ]|^ dan ^|] maka ] = ^.

c. Jika ]|] dan ^|` maka ]|`.

Penyelesaian

(46)

b. Anggap ]|^ dan ^|], misal ^ = p] dan ] = H^. Maka ^ = pH^ sehingga

pH = 1. Karena p dan H adalah bilangan bulat positif maka p = 1 dan H = 1.

Dengan demikian ] = ^. (Antisimetris).

c. Anggap ]|^ dan ^|`, misal ^ = p] dan ` = H^. Maka ` = Hp] sehingga ]|`.

(Transitif).

Definisi 2.29

Misalkan q adalah subhimpunan dari sebuah himpunan n yang terurut secara

par-sial. Definisikan:

a. Batas atas dan supremum dari q.

Elemen r dalam n disebut batas atas dari q jika r melampaui (≥) setiap

elemen dari q, yaitu r adalah batas atas dari q jika ∀ ∈ q, ≤ r. Jika

su-atu batas atas dari q mendahului (≤) setiap batas atas lain dari q maka disebut

batas atas terkecil atau supremum dari q dan dinyatakan dengan:

sup(q)

b. Batas bawah dan infimum dari q.

Elemen ! dalam n disebut batas bawah dari q jika ! mendahului (≤) setiap

elemen dari q, yaitu ! adalah batas bawah dari q jika ∀ ∈ q, ! ≤ . Jika

suatu batas atas dari q melampaui (≥) setiap batas bawah lain dari q maka

disebut batas bawah terbesar atau infimum dari q dan dinyatakan dengan:

(47)

Definisi 2.30

Misalkan n merupakan subhimpunan tak kosong dari ℝ.

a. Himpunan n dikatakan terbatas ke atas jika ada bilangan x ∈ ℝ sedemikian

sehingga H ≤ x untuk semua H ∈ n. Setiap bilangan x dikatakan batas atas

dari n.

b. Himpunan n dikatakan terbatas ke bawah jika ada bilangan y ∈ ℝ

sedemi-kian sehingga y ≤ H untuk semua H ∈ n. Setiap bilangan y dikatakan batas

bawah dari n.

Lemma 2.31

Batas bawah l dari himpunan tak kosong n di ℝ adalah infimum dari n jika dan

hanya jika ∀> > 0 terdapat ∈ n sedemikian sehingga l + > > .

Bukti

(⟹)

Diketahui l = inf n dan > > 0.

Akan ditunjukkan terdapat ∈ n sedemikian sehingga l + > > .

Jika ^ batas bawah n maka ^ ≤ l.

Karena l + > > l maka l + > bukan batas bawah n.

(48)

(⟸)

Jika l suatu batas bawah n, dan ∀> > 0 terdapat ∈ n sedemikian sehingga

l + > > .

Akan dibuktikan l = inf n.

Misalkan bahwa ^ suatu batas bawah n. Karena ∈ n dan ^ suatu batas bawah n

maka ≥ ^.

Karena l + > > maka l + > > ^.

Jadi ∀> > 0 berlaku l + > > ^. Andaikan ^ > l maka jika diambil > =|}i akan

diperoleh l + > =i~| sehingga ^ > l + > > l dan ^ > l + > > yang

kontra-diksi dengan pernyataan bahwa ^ batas bawah. Jadi, jika ^ batas bawah n

harus-lah l ≥ ^ sehingga l merupakan batas bawah terbesar atau l = inf n.

Definisi 2.32

Misalkan • = merupakan barisan bilangan real. Barisan • dikatakan naik

jika memenuhi pertidaksamaan

≤ ≤ ⋯ ≤ ≤ ~ ≤ ⋯

dan dikatakan turun jika memenuhi pertidaksamaan

≥ ≥ ⋯ ≥ ≥ ~ ≥ ⋯

Jika barisan • merupakan barisan naik atau barisan turun maka merupakan

(49)

Teorema 2.33

Barisan turun dan terbatas ke bawah adalah konvergen.

Bukti:

Diberikan turun dan terbatas ke bawah. Karena : # ∈ ℕ ≠ ∅ maka

ter-dapat ^ ∈ ℝdan ^ = inf : # ∈ ℕ . Jadi, untuk setiap # ∈ ℕ berlaku

≥ ^ (2.5)

Karena ^ = inf : # ∈ ℕ , maka untuk > > 0 yang diberikan terdapat : ∈ ℕ

dan

^ − > > ≥ ^ (2.6)

Karena turun, maka mengingat (2.5) dan (2.6), untuk setiap # ≥ : berlaku

^ − > > ≥ ≥ ^ > ^ + > (2.7)

Jadi, diperoleh pernyataan bahwa untuk setiap > > 0 terdapat : ∈ ℕ sedemikian

sehingga untuk setiap # ≥ ℕ dan # ≥ :, maka − ^ < >. Jadi, konver-gen dan lim = ^ = inf : # ∈ ℕ .

B. Himpunan Konveks dan Fungsi Konveks

Definisi 2.34

Sebuah Fungsi B: ℝ → ℝ dikatakan kontinu pada … ∈ ℝ jika untuk setiap

k > 0 yang diberikan, terdapat 9 > 0 sedemikian sehingga jika < − …< < 9

(50)

Definisi 2.35

Misalkan ‡ adalah konstanta, B dan ˆ adalah fungsi-fungsi yang memiliki limit di `. Maka

1. Misalkan didefinisikan B = ‡ maka harus dibuktikan f x k

c

x→ ( )=

lim .

Misalkan > > 0, harus ditunjukkan bahwa dapat dicari 9 > 0 sedemikian se-hingga

(51)

Ambil sebarang 9 > 0 maka untuk 0 < − ` < 9 berlaku B − ‡ = ‡ − ‡ = 0 < >

Jadi terbukti bahwa k k

(52)

3. Misalkan > > 0, f x K

4. Untuk membuktikan rumus 4, akan digunakan informasi dari rumus-rumus

(53)

Teorema 2.37

Menurut teorema tentang limit fungsi diperoleh:

[

]

3. B(`) adalah nilai ekstrimB pada n jika merupakan nilai maksimum atau

(54)

Teorema 2.39 (Teorema Titik Kritis)

Andaikan B terdefinisikan pada selang Š yang memuat titik `. Jika B(`) adalah

nilai ekstrim, maka ` haruslah berupa suatu titik kritis; yakni ` berupa salah satu:

1. Titik ujung dari Š; atau

2. Titik stasioner dari B yakni titik ` sedemikian sehingga B′(`) = 0; atau

3. Titik singular dari B yakni titik ` sedemikian sehingga B′(`) tidak ada;

Bukti:

Misalkan B(`) berupa nilai maksimum B pada Š dan misalkan bahwa ` bukan

ti-tik ujung atau pun titi-tik singular. Harus diperlihatkan bahwa ` adalah titik

sta-sioner.

Karena B(`) adalah nilai maksimum, maka B( ) ≤ B(`) untuk semua dalam Š,

yaitu

B( ) − B(`) ≤ 0

Jadi, jika < `, sehingga − ` < 0, maka

B( ) − B(`)− ` ≥ 0 (2.8)

sedangkan jika > `, maka

B( ) − B(`)− ` ≤ 0 (2.9)

Karena ` bukan titik singular maka B′(`) ada. Akibatnya, untuk → `} maka

lim Ž→••

B( ) − B(`)

(55)

dan untuk → `~ maka

lim Ž→•’

B( ) − B(`)

− ` = B‘(`) ≤ 0

Jadi, dapat disimpulkan bahwa B‘(`) = 0 atau ` merupakan titik stasioner.

Teorema 2.40 (Teorema Nilai Rata-rata)

Jika B kontinu pada selang tertutup [], ^] dan terdiferensial dalam interval (], ^)

maka terdapat paling sedikit satu bilangan ` dalam (], ^) dimana

B‘(`) = B(^) − B(]) ^ − ]

atau ekuivalen dengan

B(^) − B(]) = B‘(`)(^ − ])

Bukti:

Pembuktian Teorema Nilai Rata-rata ini didasarkan pada analisis dari fungsi

(56)

Persamaan = ˆ(

(], B(])) dan (^, B(

dan melalui (], B(]

Selanjutnya dihasilk

Perhatikan bahwa H

Gambar 2.1

) pada Gambar 2.1 adalah persamaan garis ( (^)). Karena garis ini mempunyai kemiringan

B(^) − B(]) ^ − ]

])) maka bentuk kemiringan persamaannya adala

ˆ( ) − B(]) = B(^) − B(])^ − ] ( − ])

ilkan rumus

H( ) = B( ) − ˆ( )

= B( ) − B(]) −B(^) − B(])^ − ] (

H(^) = H(]) = 0 dan untuk dalam (], ^)

H‘( ) = B( ) −B(^) − B(]) ^ − ]

is yang melalui

alah

(57)

Jika diketahui bahwa terdapat suatu bilangan ` dalam (], ^) yang memenuhi

H‘(`) = 0 maka bukti selesai. Hal ini didasarkan pada persamaan terakhir bahwa

0 = B‘(`) −B(^) − B(]) ^ − ]

Karena B dan ˆ kontinu maka B − ˆ kontinu di [], ^]. Oleh karena itu H‘(`) ada

untuk suatu ` dalam (], ^)

Berdasarkan sifat bahwa jika B kontinu pada interval tertutup [], ^], maka B

mencapai nilai maksimum dan minimum. Jadi H harus mencapai nilai maksimum

ataupun nilai minimum pada [], ^]. Jika kedua nilai ini kebetulan nol, maka H( )

secara identik adalah nol pada [], ^], akibatnya H‘( ) = 0 untuk semua dalam

(], ^). Jika salah satu nilai maksimum atau nilai minimum berlainan dengan nol,

maka nilai tersebut dicapai pada sebuah titik dalam `, karena H(]) = H(^) = 0.

Karena H mempunyai turunan di setiap titik dari (], ^), sehingga dengan

Teo-rema Titik Kritis H‘(`) = 0.

Definisi 2.41

Sebuah fungsi B: ℝ → ℝ dikatakan terdiferensial secara kontinu pada ∈ ℝ ,

jika “”

“Ž•( ) ada dan kontinu, c = 1 … #. Gradien dari B pada didefinisikan

seba-gai

(58)

Jika B terdiferensial secara kontinu pada setiap titik dari sebuah himpunan terbuka

@ ⊂ ℝ , maka B dikatakan terdiferensial secara kontinu pada @ dan dinotasikan

dengan B ∈ ˜ (@).

Definisi 2.42

Sebuah fungsi B: ℝ → ℝ yang terdiferensial secara kontinu dikatakan

terdife-rensial dua kali secara kontinu pada ∈ ℝ , jika “™”

“Ž•“Žš( ) ada dan kontinu,

c = 1 … #. Matriks Hesse dari B pada didefinisikan sebagai matriks simetri # × # yang elemennya

[∇ B( )]Z› =— B

Z— ›( ), 1 ≤ c, œ ≤ #

Jika B terdiferensial dua kali secara kontinu pada setiap titik dari sebuah

himpu-nan terbuka @ ⊂ ℝ , maka B dikatakan terdiferensial dua kali secara kontinu

pa-da @ dan dinotasikan dengan B ∈ ˜( )(@).

Definisi 2.43

Himpunan n ∈ ℝ adalah konveks jika untuk setiap , ∈ n, segmen garis

yang menghubungkan dan juga terletak di n.

Segmen garis yang menghubungkan dan didefinisikan dengan:

(59)

Jadi, subhimpunan n dari ℝ adalah konveks jika dan hanya jika untuk setiap

dan di n dan setiap dengan 0 ≤ ≤ 1, vektor + (1 − ) juga di n.

Berikut diberikan beberapa gambar yang mendeskripsikan himpunan konveks dan

yang bukan himpunan konveks.

Gambar 2.2

Definisi 2.44

Misalkan n ⊂ ℝ merupakan himpunan konveks tak kosong.

Misalkan B: n ⊂ ℝ ⟶ ℝ.

Jika untuk setiap , ∈ n dan semua ∈ (0,1),

B( + (1 − ) ) ≤ B( ) + (1 − )B( ) (2.11)

(60)

Gambar 2.3

Gambar 2.3 merupakan contoh dari fungsi konveks dan bukan konveks.

Interpretasi geometri fungsi konveks menyatakan bahwa nilai fungsi di bawah

tali busur yang bersesuaian yaitu nilai fungsi konveks di titik pada segmen garis

+ (1 − ) kurang dari atau sama dengan tinggi dari tali busur yang

menghubungkan titik-titik ( , B( ) dan ( , B( ).

Contoh 2.9

•: ℝ ⟶ ℝ didefinisikan oleh • = , untuk ∈ ℝ. Buktikan bahwa fungsi

ter-sebut adalah fungsi konveks.

Penyelesaian:

Melalui Definisi 2.44 akan dibuktikan bahwa

•( + (1 − ) ) ≤ •( ) + (1 − )•( )

Ambil , ∈ ℝ dan semua ∈ [0,1] maka •( ) = dan •( ) = .

(61)

= + 2 (1 − ) + (1 − )

= + 2( − ) + (1 − 2 + )

= + 2( − ) + ( − 2 + )

Karena ∈ [0,1] maka < , sehingga

•( + (1 − ) ) < + 2( − ) + ( − 2 + )

= + 2(0) + ( − )

= + ( − )

= + (1 − )

= •( ) + (1 − )•( )

Karena •( + (1 − ) ) ≤ •( ) + (1 − )•( ), maka dapat disimpulkan

bahwa • = adalah fungsi konveks untuk sebarang ∈ [0,1].

Contoh 2.10

Diberikan

• = + − 2 − 5 +294

untuk ∈ ℝ . Akan ditunjukkan bahwa • adalah fungsi konveks.

Penyelesaian:

• adalah fungsi konveks bila memenuhi

•( + (1 − ) ) ≤ •( ) + (1 − )•( )

(62)

+ (1 − ) = ž Ÿ + (1 − ) ž Ÿ

= ž Ÿ + ž − Ÿ

= U (( − )+

} )+ V

sehingga,

•( + (1 − ) )

= ( ( − )+ ) + ( ( } )+ ) − 2( ( − )+ )

−5( ( − )+ ) +294

= ( − )2+ 2 ( ) + 1 2

+ ( − )2+ 2 ( − ) + 2 2

−2( − + ) − 5( − + ) +294

= 12− 2 + 12 +2 − 2 21+ 12 + ( 22− 2 + 22

+2 2− 2 22+ 22) − 2 + 2 − 2 − 5 + 5 −5 +294

= 12− 2 + 12+2 − 2 21+ 12 + ( 22− 2 + 22

+2 2− 2 22+ 22) − 2 + 2 − 2 − 5 + 5 −5 +294

= ( 2 + 2 − 2 2

1 1− 2 2 2 2+ 2 + 2 +2 1 1+2 2

−2 − 2 − 2 1+ 2 1− 5 2+ 5 2) + + − 2 1−5 2+294

(63)

•( + (1 − ) )

< ( 12+ 22− 2 − 2 + 12+ 22+2 +2 2− 2 12

−2 − 2 1+ 2 1− 5 2+ 5 2) + + − 2 1−5 2+ 294

= 12+ 22+ 12+ 22− 2 12− 2 22− 2 + 2 − 5 + 5 + 12

+ − 2 1−5 2+ 294

= + − − − 2 1+ 2 1− 5 2+ 5 2+ + − 2 1−5 2

+294

= + − 2 1− 5 2+ + − 2 1−5 2

− + − 2 1− 5 2 +294

= ( + − 2 1− 5 2) + + − 2 1−5 2 − + − 2 1− 5 2

+294

= ( + − 2 − 5 ) + (1 − )( + − 2 − 5 ) +

¡

= •( ) + (1 − )•( )

Karena

•( + (1 − ) ) ≤ •( ) + (1 − )•( )

maka dapat disimpulkan bahwa • = 12+ 22− 2 1− 5 2+294 adalah fungsi

(64)

Definisi 2.45 (Turunan Berarah)

Misalkan B: ℝ ⟶ ℝ terdiferensial secara kontinu pada himpunan terbuka

@ ⊂ ℝ . Maka untuk ∈ @ dan ¢ ∈ ℝ , turunan berarah dari B pada dalam

arah ¢ didefinisikan sebagai

B‘( ; ¢) ≝ lim ¤⟶¥

B( + ¦¢) − B( )

¦ = ∇B( )§¢ (2.12)

dimana ∇B( ) adalah gradien dari B pada , merupakan vektor # × 1.

Untuk semua , ∈ @, diperoleh

B( ) = B( ) + ∇B + ¨( − ) $( − ), ¨ ∈ (0,1)

atau

B( ) = B( ) + ∇B( )$( − ) + ©(< − <).

Definisi 2.46

Misalkan B ∈ ˜( )@. Untuk sebarang ∈ @, ¢ ∈ ℝ , turunan berarah kedua

dari B pada dalam arah d didefinisikan dengan

B‘‘( ; ¢) ≝ lim ¤⟶¥

B′( + ¦¢; ¢) − B′( ; ¢)

¦ = ¢$∇ B( )¢ (2.13)

dimana ∇ B( ) merupakan matriks Hesse dari B pada . Untuk sebarang

, + ¢ ∈ @, ada ª ∈ ( , + ¢) sedemikian sehingga

B( + ¢) = B( ) + ∇B( )$¢ +1

2 ¢$∇ B(ª)¢

(65)

B( + ¢) = B( ) + ∇B( )$¢ +1

2 ¢$∇ B( )¢ + ©(<¢<«)

Teorema 2.47

Misalkan n ⊂ ℝ adalah himpunan konveks terbuka tak kosong dan misalkan

B: n ⊂ ℝ → ℝ adalah fungsi yang terdiferensial. Maka B adalah konveks jika

dan hanya jika

B( ) ≥ B( ) + ∇B( )$( − ), ∀ , ∈ n (2.14)

Bukti:

Syarat Perlu: Misalkan B( ) adalah fungsi konveks, maka untuk semua dengan

0 < < 1 dan , ∈ ℝ .

B( + (1 − ) ) ≤ B( ) + (1 − )B( ) ⟺ B( + − ) ≤ B( ) + B( ) − B( )

⟺ B + ( − ) ≤ B( ) − B( ) + B( )

⟺ B + ( − ) − B( ) ≤ B( ) − B( )

Oleh karena itu,

B + ( − ) − B( )≤ B( ) − B( )

Tetapkan → 0 maka diperoleh

∇B( )$( − ) ≤ B( ) − B( )

(66)

B( ) ≥ B( ) + ∇B( )$( − )

Syarat Cukup: Asumsikan bahwa (2.14) berlaku. Ambil sebarang , ∈ n dan

tetapkan = + (1 − ) , 0 < < 1. Maka

B( ) ≥ B( ) + ∇B( )$( − )

B( ) ≥ B( ) + ∇B( )$( − )

Oleh karena itu,

B( ) + (1 − )B( )

≥ žB( ) + ∇B( )$( − )Ÿ + (1 − )žB( ) + ∇B( )$( − )Ÿ

= B( ) + ∇B( )$( − ) + (1 − )B( ) + (1 − )∇B( )$( − )

= B( ) + ∇B( )$( − ) + B( ) − αB( ) + ∇B( )$( − )

− ∇B( )$( − )

= B( ) + ∇B( )$( + − − + )

= B( ) + ∇B( )$( + (1 − α) − ) = B( ) + ∇B( )$( − )

= B( ) + 0

= B( + (1 − ) )

(67)

Teorema 2.48

Misalkan n ⊂ ℝ adalah himpunan konveks terbuka tak kosong, dan misalkan

B: n ⊂ ℝ ⟶ ℝ terdiferensial dua kali secara kontinu. Maka B adalah konveks

jika dan hanya jika matriks Hesse adalah semidefinit positif pada setiap titik

da-lam n.

Bukti:

Syarat cukup: Misalkan bahwa matriks Hesse ∇ B( ) adalah semidefinit positif

pada setiap titik ∈ n.

Akan dibuktikan bahwa B adalah konveks.

Pertimbangkan , … ∈ n. Melalui Teorema Nilai Rata-rata diperoleh,

B( ) = B(…) + ∇B(…)$( − …) +1

2 ( − …)$∇ B(-)( − …)

dimana - = … + ¦( − …), ¦ ∈ (0,1). Perhatikan bahwa - ∈ n.

Karena ∇ B( ) adalah semidefinit positif ∀ ∈ n maka

( − …)$∇ B(-)( − …) ≥ 0

Akibatnya,

B( ) ≥ B(…) + ∇B(…)$( − …)

Oleh karena itu melalui Teorema 2.47, B adalah fungsi konveks.

Syarat perlu: Misalkan bahwa B adalah fungsi konveks dan misalkan … ∈ n.

(68)

Karena n adalah himpunan terbuka, maka ada 9 > 0 sedemikian sehingga ketika

\ < 9, … + \T ∈ n. Melalui Teorema 2.47

B … + \T ≥ B … + \∇B … $T (2.15)

Karena B … terdiferensial dua kali pada …, maka

B … + \T = B … + \∇B … $T +\

2 T$∇ B … T + © <\T<« 2.16

Dengan mensubstitusikan persamaan (2.16) ke pertidaksamaan (2.15) maka

B … + \∇B … $T +\

2 T$∇ B … T + © <\T<« ≥ B … + \∇B … $T

B … − B … + \∇B … $T − \∇B … $T +\

2 T$∇ B … T + © <\T<« ≥ 0

0 +12 \ T$∇ B … T + © <\T<« ≥ 0

Jadi, setelah disubstitusikan diperoleh

1

2 \ T$∇ B … T + © <\T<« ≥ 0

Bagi dengan \ dan tetapkan \ → 0, maka

T$∇ B … T ≥ 0

Jadi, dapat disimpulkan bahwa Matriks Hesse adalah semidefinit positif.

Teorema 2.49 (Teorema Proyeksi)

Misalkan n ⊂ ℝ merupakan himpunan konveks tertutup tak kosong dan ∉ n,

(69)

< −°<= inf∈ n< − < (2.17)

Selanjutnya, °adalah titik minimal dari persamaan (2.17) jika dan hanya jika

M −°, −°N≤ 0, ∀ ∈ n (2.18)

atau dapat dikatakan bahwa ° adalah proyeksi ±H( ) dari pada n jika dan

hanya jika (2.18) berlaku.

Bukti

Misalkan

inf < − < ∈ n = ² > 0 (2.19)

Karena ² adalah batas bawah terbesar maka ² ≤ < − <, ∀ ∈ n.

Misalkan terdapat sebuah titik 1∈ n dan ∉ n. Kemudian, dibuat ruas garis yang menghubungkan titik 1 dan titik y. Selanjutnya, dari titik 1 dibuat kitar

dengan radius 1. Dari titik limit yang diperoleh dari kitar 1 dan berada pada

ga-ris yang menghubungkan titik 1 dan titik y, diperoleh titik 2. Kemudian, dari

ti-tik 2 dibuat kitar dengan radius 12. Dari titik limit yang diperoleh dari kitar 2

dan berada pada garis yang menghubungkan titik 2 dan titik y, diperoleh titik

3. Demikian seterusnya, hingga diperoleh titik ‡−1. Kemudian dari titik ‡−1

dibuat kitar dengan radius 1

‡. Dari titik limit yang diperoleh dari kitar ‡−1

terse-but dan terletak pada ruas garis yang menghubungkan titik ‡−1 dan titik y

(70)

Akan ditunjukkan bahwa < − <→ ².

Karena ² = inf < − < ∈ n maka berdasarkan Lemma 2.31, untuk setiap > =I> 0 terdapat < − < dengan ∈ n sedemikian sehingga ² +

I> < − I<.

Dengan demikian, terbentuk barisan < − < yang terbatas dan turun. Berdasarkan Teorema 2.33, maka < − < akan konvergen dan

lim

‡→ < − ‡<= ² = inf < − ‡< .

• Berikut ini akan dibuktikan adalah barisan Cauchy dan oleh karena itu

ada limit °∈ n.

Melalui Teorema Parallelogram diketahui bahwa

< + <2+< <2= 2 < <2+< <2

Misalkan ambil , h∈ n di mana diganti dengan − dan diganti

de-ngan !− . Dengan mensubstitusikan dan ke Hukum Parallelogram di

atas maka diperoleh

< + !− 2 <2+< ‡− !<2= 2< ‡− <2+ 2< !− <2

< − !<2 = 2< ‡− <2+ 2< !− <2−< ‡+ !− 2 <2

= 2< I− < + 2< h− < − ³2 U I+2 h− V³

= 2< I− < + 2< h− < − 4 ´ µ~ ¶− ´ (2.20)

(71)

Dari definisi ² diketahui bahwa inf < − < = ² sehingga < − <=

< − <≥ ², ∀ ∈ n. Dengan mengganti = µ~ ¶, diperoleh

³ ‡+2 !− ³≥

³ ‡+2 !− ³2≥ ²2 (2.21)

Jadi, dengan menggunakan persamaan (2.20) dan (2.21) diperoleh

< − !<2≤ 2< ‡− <2+ 2< !− <2− 4²2

Ambil k dan m cukup besar sehingga < − <→ ² dan < !− <→ ².

De-ngan demikian dipenuhi < !<2→ 2²2+ 2²2− 4²2 = 0 atau

< − !<⟶ 0

yang menunjukkan bahwa · adalah barisan Cauchy dengan limit °. Karena

n tertutup maka °∈ n. Hal ini menunjukkan bahwa ada ° sehingga

< −°<= ².

Jadi, barisan adalah barisan Cauchy.

• Akan dibuktikan bahwa ° adalah tunggal.

Andaikan ° tidak tunggal, artinya ada ° ∈ n dan ° ≠° dengan <° − <=

².

Melalui Hukum Parallelogram, misalkan diganti dengan ° − dan

di-ganti dengan °− , maka diperoleh

(72)

<° −°<2= 2 <2+ 2 <2 +° − 2 <2

= 2<… − < + 2<… − < − ³2 U… + …2 − V³

= 2<… − < + 2<… − < − 4 ³… + …2 − ³

= 2² + 2² − 4 ³… + …2 − ³

Karena …+…

2 ∈ n, maka menurut (2.21), ²2≤´ …+…

2 − ´

2 .

Akibatnya,

<° −°<2≤ 2²2+ 2²2− 4²2 = 0

Jadi, <° −°<≤ 0, padahal <° −°<> 0. Jadi, ada kontradiksi. Terbukti

° =°.

• Akan dibuktikan bahwa jika M −°, −°N≤ 0, ∀ ∈ n, maka ° adalah titik

minimum dari < −°<= inf ∈n< − <.

Ambil x sebarang di S dan misalkan M −°, −°N≤ 0, ∀ ∈ n dipenuhi,

se-hingga < − <2 =< −°+°− <2

= < − …< + <… − < + 2M − …, … − N = < − …< + <… − < + 2(… − )§( − …)

Karena <°− <2≥ 0 dan (°− )¸( −°) ≥ 0, maka

(73)

< −°<= inf ∈n< − <.

• Akan dibuktikan bahwa jika ° adalah titik minimum dari

< −°<= inf ∈n< − <, maka M −°, −°N≤ 0, ∀ ∈ n.

Misalkan < − <2≥< −°<2, ∀ ∈ n.

Karena °+ \( −°) ∈ n dengan \ ∈ (0,1), maka diperoleh

< − (°+ \( −°))<2< °<2 ⇔< −°− \( −°)<2< °<2 ⇔< −°− \ + \°<2< °<2 ⇔< −°+ \(°− )<2< °<2

⇔< −°<2+ \2 <2+ 2\ )¸( °)< °<2

⇔< −°<2+ \2< °<2+ 2\( °)¸ )< °<2

⇔ \2< −°<2+ 2\( °)¸ )≥ 0

Bagi dengan \ dan misalkan \ → 0, maka diperoleh

M −°, −°N≤ 0, ∀ ∈ n.

Teorema 2.50

Misalkan n ⊂ ℝ merupakan himpunan konveks tertutup tak kosong dan ∉ n.

Maka terdapat vektor tak nol T dan bilangan real sehingga

T$ > dan T$ ≤ α, ∀ ∈ n (2.22)

(74)

T$ > sup T$ , ∀ ∈ n (2.23)

yang mengatakan bahwa terdapat hiperbidang º = T$ = α yang secara te-gas membagi dan n.

Bukti:

Karena n adalah himpunan konveks tertutup tidak kosong dan ∉ n, maka mela-lui Teorema Proyeksi terdapat titik tunggal … ∈ n sehingga

− … $ − … ≤ 0, ∀ ∈ n

Karena

− … $ − … ≤ 0

maka

ž − … $ − … Ÿ$ = − … $ − …

≤ 0

Diberikan T = − … ≠ 0, maka

0 ≥ − … $ − … = − … $ − … + −

= T$ − … + T$

= T$T + T$ − T$

= <T<<T< + T$ − T$

= T$ − T$ + <T<

Karena itu

(75)

Tetapkan = sup T$ ∈ n sehingga

T$ ≥ T$ + <T< = α + <T<

Jadi benar bahwa terdapat vektor tak nol T dan bilangan real sehingga T$ ≥ α + <T<

Lemma 2.51 (Lemma Farkas’)

Misalkan q ∈ ℝ»×¼ dan½ ∈ ℝ . Maka tepat satu dari sistem berikut mempunyai

penyelesaian:

Sistem 1 q ≤ 0, ½$ > 0 (2.24) Sistem 2 q$ = ½, ≥ 0 (2.25)

Bukti:

Misalkan bahwa terdapat penyelesaian untuk Sistem 2 yaitu terdapat ≥ 0

sede-mikian sehingga q$ = ½.

Akan dibuktikan bahwa Sistem 1 tidak mempunyai penyelesaian.

Misalkan memenuhi q ≤ 0

Karena ≥ 0 maka

½$ = (q$ )$

= $q ≤ 0

(76)

Sekarang misalkan bahwa Sistem 2 tidak mempunyai penyelesaian.

Misalkan n = = q$ , ≥ 0 yang adalah himpunan konveks tertutup tidak

kosong dan ½ ∉ n.

Akan dibuktikan bahwa Sistem 1 mempunyai penyelesaian.

Melalui Teorema (2.50) terdapat T ∈ ℝ dan ∈ ℝ sehingga T$½ > dan T$ ≤ , ∀ ∈ n.

Karena 0 ∈ n, ≥ T$0 = 0. Maka T$½ > 0. Perhatikan pula bahwa ≥ T$ = T$q$

= q$ $T

= $qT, ∀ ≥ 0

Karena ≥ 0 maka qT ≤ 0. Jadi ada vektor T ∈ ℝ yang merupakan penyele-saian dari Sistem 1.

C. Teori Optimasi

Teori optimasi merupakan salah satu bidang dalam matematika terapan

dan riset operasi yang dapat diaplikasikan dalam bidang sains, teknik,

maneje-men bisnis dan militer. Melalui teori optimasi ini masalah-masalah yang

diha-dapi akan didefinisikan secara matematis dan diselesaikan dengan menggunakan

alat bantu matematika sehingga diperoleh penyelesaian dari masalah tersebut.

(77)

min B( )

∈ Á (2.26)

dengan x adalah vektor diℝ , B( ) adalah fungsi objektif, Á ⊂ ℝ adalah

him-punan kendala atau daerah layak.

Masalah optimasi ini juga terbagi menjadi dua bagian, yaitu masalah

op-timasi berkendala dan masalah opop-timasi tanpa kendala. Jika himpunan kendala

Á = ℝ maka (2.26) merupakan masalah optimasi tanpa kendala dengan bentuk

umum:

ÂÃÄ

∈ℝÅB( ) (2.27)

Untuk masalah optimasi berkendala memiliki bentuk umum sebagai berikut:

min ∈ℝÅB( ) (2.28)

½Z( ) = 0, c = 1, … , !Æ (2.29) ½Z( ) ≥ 0, c = !Æ+ 1, … , ! (2.30)

dengan E dan I masing-masing adalah himpunan indeks dari kendala berupa

per-samaan dan kendala berupa pertidakper-samaan, ½Z( ), (c = 1, … , ! ∈ ‰ ∪ Š)

meru-pakan fungsi kendala. ‰ = 1, … , !Æ dan Š = !Æ+ 1, … , ! dimana !Æ dan

! adalah bilangan bulat tak negatif dengan 0 ≤ !Æ ≤ !.

Dilihat dari bentuk fungsi objektif dan fungsi kendala, masalah optimasi

ini dapat dibagi pula menjadi dua bagian. Jika fungsi objektif maupun fungsi

(78)

objektifnya tidak linear maka merupakan masalah optimasi nonlinear. Sebuah

fungsi dikatakan fungsi linear jika memenuhi syarat-syarat berikut:

1. Fungsi yang belum diketahui dan derivatif-derivatifnya secara aljabar hanya

berderajat satu.

2. Tidak ada hasil kali yang berkaitan dengan fungsi yang belum diketahui dan

derivatif-derivatifnya atau dua atau lebih derivatif.

3. Tidak memuat fungsi transendental.

Fungsi yang tidak linear merupakan fungsi nonlinear.

Definisi 2.52

Titik ∈ ℝ dikatakan sebagai titik layak atau disebut juga penyelesaian

layak jika dan hanya jika memenuhi semua kendala pada persamaan dan

perti-daksamaan (2.29)-(2.30). Himpunan semua titik layak dikatakan himpunan layak

atau daerah layak.

Definisi 2.53

Penyelesaian optimum merupakan penyelesaian layak yang memiliki nilai

(79)

Definisi 2.54

Misalkan nilai optimal dari masalah optimasi dinotasikan dengan È∗ yang

meru-pakan nilai minimum dari fungsi objektif dalam daerah layak, yakni

È∗= min •( ): ½c( )= 0, c = 1, … , !Ê, ½c( )≥ 0, c = !Ê+ 1, … !

Masalah optimasi dikatakan tidak layak jika daerah layaknya kosong dan È∗

ber-nilai +∞. Masalah optimasi dikatakan tidak terbatas ke bawah jika ada titik

layak sedemikian sehingga •( ) → −∞ atau È∗ bernilai −∞.

Secara umum metode optimasi adalah metode iterasi yang bertujuan

un-tuk mencari peminimum dari sebuah masalah optimasi. Metode iterasi mengacu

pada berbagai teknik yang menggunakan aproksimasi pada setiap langkahnya

untuk mendapatkan penyelesaian yang lebih akurat dari masalah-masalah

opti-masi baik masalah optiopti-masi linear maupun nonlinear. Metode ini diawali dengan

memberikan nilai awal ¥ ∈ ℝ . Kemudian dibangun barisan iterasi I

mela-lui beberapa aturan iterasi sehingga ketika barisan I adalah berhingga maka

titik akhirnya adalah penyelesaian optimum dari masalah optimasi. Jika barisan

I adalah tak hingga maka barisan tersebut memiliki titik limit yang adalah

(80)

Definisi 2.55

Titik ∗ dikatakan peminimum lokal jika ada 9 > 0 sedemikian sehingga

B( ∗) ≤ B( ) untuk semua ∈ ℝ memenuhi < −< < 9.

Titik ∗ dikatakan peminimum lokal tegas jika ada 9 > 0 sedemikian sehingga

B( ∗) < B( ) untuk semua ∈ ℝ dengan dan < −< < 9.

Definisi 2.56

Titik ∗ dikatakan peminimum global jika B( ∗) ≤ B( ) untuk semua ∈ ℝ .

Titik ∗ dikatakan peminimum global tegas jika B( ∗) < B( ) untuk semua

∈ ℝ dengan ≠ ∗.

Definisi 2.57

Misalkan B: ℝ¼ ⟶ ℝ terdiferensialkan pada ∈ ℝ . Jika terdapat vektor

¢ ∈ ℝ sehingga:

M∇B( ), ¢N < 0

maka¢ disebut arah turun dari fungsi B di .

Definisi 2.58

Titik ∗ ∈ ℝ dikatakan titik stasioner (atau kritis) untuk B yang

(81)

Algoritma dari metode optimasi dapat diterima apabila iterasi I

berge-rak terus menerus ke arah peminimum lokal ∗ dan dengan cepat konvergen ke

titik ∗. Jika aturan konvergensi yang diberikan telah dipenuhi maka iterasi dapat

dihentikan. Iterasi dihentikan berdasarkan kriteria penghentian berikut:

<∇B( I)< ≤ 9 (2.31)

dimana 9 adalah toleransi yang ditentukan. Jika (2.31) dipenuhi maka vektor

gradien ∇B( I) cenderung menuju nol dan barisan iterasi I konvergen ke

ti-tik stasioner.

Misalkan I merupakan iterasi ke-‡, ¢I arah ke-‡, I panjang langkah ke-‡,

maka iterasi ke-‡ + 1 yaitu:

I~ = I+ I¢I (2.32)

Berdasarkan persamaan (2.32) dapat dilihat bahwa adanya perbedaan panjang

langkah I dan perbedaan arah ¢Imembentuk metode yang berbeda.

Kebanya-kan metode iterasi disebut metode turun (descent methods) yang berarti B

meme-nuhi setiap iterasi

B( I~ ) = B( I+ I¢I) < B( I) (2.33)

dimana ¢I adalah arah turun seperti pada Definisi 2.57.

Definisi 2.59

Misalkan ∗∈ ÁdenganÁ adalah daerah layak dan¢ ∈ ℝ .

(82)

+ 9I¢I ∈ Á, ∀‡ dan ¢I⟶ ¢, 9I ⟶ 0, maka arah batas ¢disebut arah layak

sekuensial dariÁdi ∗. Himpunan semua arah layak sekuensial dariÁdi ∗

ada-lah

nÌ@( ∗, Á) = ͢Π∗+ 9I¢I ∈ Á, ∀‡ ¢I ⟶ ¢, 9I ⟶ 0 Ï

Berdasarkan definisi di atas, jika himpunan I = ∗+ 9I¢I maka I adalah

barisan titik layak yang memenuhi

1. I ≠ ∗, ∀‡

2. limI⟶j I = ∗

3. I ∈ Áuntuk semua ‡ yang cukup besar.

Jika ¢I = < I− ∗<, maka

¢I = I− ∗

< I− ∗< ⟶ ¢

yang berarti bahwa I = ∗+ 9I¢I adalah barisan titik layak dengan arah layak

¢.

Definisi 2.60

Misalkan ∗∈ Ádan¢ ∈ ℝ . Jika

¢$∇cÑ() = 0, c ∈ ‰ ¢$∇cÑ() ≥ 0, c ∈ Š()

Maka ¢ dikatakan arah layak linear dari Á di ∗. Himpunan semua arah layak

Gambar

Gambar 2.2 Himpunan Konveks dan yang bukan Himpunan Konveks .....      43
Tabel 3.2 Tabel Perbandingan Nilai Awal Metode Himpunan Aktif.........    115
Persamaan � = ˆ(��)Gambar 2.1  pada Gambar 2.1 adalah persamaan garis
Gambar 2.2
+4

Referensi

Dokumen terkait

[r]

HARGA BESARNYA NILAI. JAMINAN

Diduga melalui model pembelajaran tipe STAD dapat meningkatkan pemahaman dan kualitas proses pembelajaran materi peristiwa proklamasi Indonesia Kondisi Awal Tindakan Kondisi Akhir

Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah beberapakali, terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua

Namun dibalik itu / ada kebahagiaan tersendiri / yang dapat di petik dari tanggal 21 april ini // TK pujokusuman pun juga merasakan kebahadgiaannya // karena pada tanggal itu pula /

Pada dasarnya yang dimaksud dengan Perencanaan yaitu memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan apa (what), siapa (who), kapan (when), dimana (where), mengapa (why), dan bagaimana

a) Pengembangan kelembagaan dan budaya lokal guna meningkatkan eksistensi adat budaya Balimasyarakat Kabupaten Klungkung. b) Peningkatan sumber daya manusia aparatur maupun

Antara lain penambahan dua mata kuliah MKPB ( lihat bagian III ), dan mengusulkan ke Jurusan untuk meninjau kembali mata kuliah Statistika Matematika II bagi program