• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) 2.1.1. Defenisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronif (PPOK) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. (Silvia & Lorraine: 2006)

Penyakit paru obstruksi kronis atau dapat disingkat dengan PPOK, merupakan suatu gangguan yang paling sering menimpa kelompok yang dalam jangka waktu lama terpapar oleh asap rokok dan bahan toksik inhalasi lainnya. Kerusakan akan menimbulkan suatu obstruksi dari jalan napas yang dapat menimbulkan keparahan. Dalam hal ini dikaitkan dengan proses hipersensitivitas, batuk produktif yang kronis dan penurunan toleransi pada saat beraktivitas.

Defenisi PPOK menurut American Thoracic Society (ATS) adalah suatu gangguan dengan karakteristik adanya obstruksi dari jalan napas karena bronkitis kronis atau emfisema; obstruksi jalan napas umumnya progresive dan dapat disertai hiper-reaksi dan mungkin kembali normal sebagian.

British Thoracic Society (BTS) mendeskripsikan PPOK sebagai suatu gangguan kronis, yang mengalami perkembangan lambat dengan karakteristik berupa obstruksi jalan napas (FEV1 <80% diprediksi dan FEV1 /FVC <70%) dimana tidak terjadi perubahan terlalu berdampak pada beberapa bulan. Sebagian besar fungsi paru akan berkurang secara menetap namun sebagian akan kembali dengan pengobatan bronkodilator.

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD 2001), PPOK didefenisikan sebagai suatu gangguan dengan karakteristik berupa keterbatasan dari jalan napas yang tidak sepenuhnya kembali. Gangguan jalan napas

(2)

biasanya bersifat progresif dan diikuti oleh reaksi abnormal inflamasi akibat respon paru terhadap partikel gas yang berbahaya.

PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif non-reversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema paru. Walaupun kadang asma bronchial juga dapat menyertai kedua ganggaun tersebut, namun dalam hal ini asma dibedakan karena asma bronchial dapat timbul sendiri meski tidak terpapar oleh bahan-bahan inhalasi bersifat toksik.

Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan mucus yang berlebihan dalam bronkus. Sedangkan emfisema paru merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran alveolus dan duktus alveolaris yang tidak normal. (Silvia & Lorraine: 2006)

PPOK dikatakan eksaserbasi atau serangan akut (serangan dadakan) apabila gejala menununjukkan fase perburukan dimana keluhan sesak napas bertambah berat walaupun diberi obat yang lazim dipergunakan sehari-hari dapat menolong, dahak semakin banyak, kekuningan bahkan sampai kehijauan. (PDPI, 2003)

2.1.2. Etiologi

Banyak faktor yang dapat menyebabkan PPOK. Namun faktor tersering adalah adanya riwayat merokok. Asap rokok merupakan penyebab tersering timbulnya PPOK. Di Negara berkembang, berkisar 85% sampai 90% penderita PPOK memiliki riwayat terhadap rokok (Kochar). Kelainan struktur jaringan berkaitan erat dengan respons inflamasi ditimbulkan oleh paparan partikel atau gas beracun, tetapi dinyatakan faktor utama dan paling dominan ialah asap rokok dibanding yang lain (Russell, 2002). Hal ini juga ditunjang dengan Kebiasaan merokok yang masih tinggi yaitu pada laki-laki di atas 15 tahun sekitar 60-70% nya merokok. Jika dilihat dari riwayat perokok dapat dibagi menjadi 3 kategori yakni perokok aktif, perokok pasif dan bekas perokok. Derajat berat merokok dapat dihitung dengan menggunakan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah

(3)

rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Dikatakan perokok ringan apabila angka yang didapat 0-200, dikatakan sedang apabila angka yang didapat 200-600 dan dikatakan berat apabila angkanya >600. Semakin besar angkanya, maka semakin tinggi kemungkinan untuk menderita PPOK. (Suradi, 2007)

Saat ini Indonesia menjadi salah satu produsen dan konsumen rokok tembakau serta menduduki urutan kelima setelah negara dengan konsumsi rokok terbanyak di dunia, yaitu China mengkonsumsi 1.643 miliar batang rokok per tahun, Amerika Serikat 451 miliar batang setahun, Jepang 328 miliar batang setahun, Rusia 258 miliar batang setahun, dan Indonesia 215 miliar batang rokok setahun. Sehingga perlunya suatu tindakan agar penderita PPOK tidak semakin bertambah. (Suradi, 2007)

Faktor lain yang dapat menyebabkan PPOK adalah terpajan oleh bahan-bahan polutan secara episodik. Baik bahan polutan itu terdapat dalam ruangan maupun diluar ruangan. Bahan-bahan polutan itu diantaranya, sulfur dioksida didapat dari pembakaran industri. Kemudian nitrogen dioksida, merupakan hasil pembakaran bahan-bahan fosil atau asap kendaraan. Kemudian oleh karena ozone yang diubah oleh sinar matahari akibat reaksi fotokimia dari nitrogen dioksida dan hidrokarbon yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor dan industry. Pencemaran lainnya adalah dari partikel, biasanya partikel ini berasal dari pembakaran hutan, industri, dan asap kendaraan. Adapun pencemaran lain diantaranya bahan kimia organic yang mudah menguap, logam padat, Poliklinikcylic aromatic hydrocarbons, produk dari jamur-jamuran, dll. (Kenneth & William, 2003)

Hal-hal lain yang dapat menjadi faktor resiko adalah hiper-reaktivitas dari bronkus, riwayat infeksi saluran napas bawah dan Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia. (PDPI: 2003)

2.1.3. Proses Terjadinya PPOK

Penyakit Paru Obstruksi Kronis merupakan suatu kelompok gangguan pulmoner yang ditandai dengan adanya suatu obstruksi permanent (irreversible).

(4)

Peradangan kronis adalah suatu respon dari terpaparnya paru dari bahan-bahan iritan seperti asap rokok yang dihisap, gas-gas beracun, debu, dll yang merusak jalan napas dan parenkim paru. PPOK diklasifikasikan menjadi subtype bronchitis kronik dan emfisema, walaupun kebanyakan pasien memiliki keduanya. Bronkitis kronis didefinisikan sebagai batuk produktif kronis selama lebih dari 2 tahun dan emfisema ditandai oleh adanya kerusakan pada dinding alveola yang menyebabkan

peningkatan ukuran ruang udara distal yang abnormal. (PDPI 2003)

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) berupa perubahan patologis dari jalan napas dimana respon yang terjadi adalah batuk yang kronis dan produksi sputum, lesi pada saluran napas yang lebih kecil akan menyebabkan obstruksi jalan napas dan kerusakan emfisematosa permukaan paru. Abnormalitas ini juga akan berakibat pada vaskularisasi pulmonal yang akan berkontribusi pada gagal jantung kanan. Meski lokasi dan penampakan lesi berbeda, patogenesisnya tetap ditentukan oleh proses inflamasi yang terjadi. (James & Marina, 2003)

Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK yang diakibatkan oleh bronkitis kronis dan empisema. Terjadinya peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran nafas mengakibatkan restriksi

pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil berkurang akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai beratnya sakit. Peran specific growth factors, seperti transforming growth factor-β(TGF-β) yang meningkat pada saluran nafas perifer dan connective tissue growth factor (CTGF)

belum jelas diketahui. TGFβ mungkin menginduksi fibrosis melalui pelepasan

CTGF yang akan menstimulasi deposisi kolagen dalam saluran nafas. (Putrawan & Ngurah Rai, 2008)

Masuknya komponen-komponen rokok ataupun bahan-bahan iritan akan merangsang perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus dan silia. Selain itu, silia yang melapisi bronkus akan mengalami kelumpuhan atau

(5)

sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran nafas. Mukus ini kemudian akan berfungsi sebagai tempat perkembangan dari mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema dan

pembengkakan jaringan. Ventilasi, terutama ekspirasi terhambat. Timbul

hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan. (GOLD, 2008)

Rokok dan bahan iritan tersebut juga akan merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru. Rokok dan bahan iritan akan mengaktivasi makrofag yang

kemudian akan melepaskan mediator inflamasi, melengkapi mekanisme seluler yang menghubungkan merokok dengan inflamasi pada PPOK. Neutrofil dan makrofag melepaskan berbagai proteinase kemudian akan merusak jaringan ikat parenkim paru yang menyebabkan hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps. (GOLD, 2008)

Peranan sel T sitotoksik (CD8) belum jelas, mungkin berperan dalam

apoptosis dan destruksi sel epitel dinding alveoli melalui pelepasan TNFα. Ada

beberapa karakteristik inflamasi yang terjadi pada pasien PPOK, yakni peningkatan jumlah neutrofil (didalam lumen saluran nafas), makrofag (lumen saluran nafas, dinding saluran nafas, dan parenkim), dan limfosit CD 8+ (dinding saluran nafas dan parenkim). (Corwin EJ, 2001)

2.1.4. Klasifikasi

PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. (PDPI:2003)

(6)

Bronkitis kronis sering terjadi pada perokok dan penduduk di kota-kota yang dipenuhi oleh kabut-asap; beberapa penelitian menunjukkan bahwa 20% hingga 25% laki-laki berusia antara 40 hingga 65 tahun mengidap penyakit ini. Diagnosis bronkitis kronis ditegakkan berdasarkan data klinis; penyakit ini didefenisikan sebagai batuk produktif persisten selama paling sedikit 3 bulan turut pada paling sedikit 2 tahun berturut-turut. (Robin Kumar)

Terdapat beberapa bentuk dari bronkitis kronis, yaitu: a) Bronkitis kronis sederhana

Gejala yang mungkin timbul adalah batuk produktif yang akan meningkatkan sputum mukoid, namun jalan napas tidak terhambat. b) Bronkitis mukopurulenta kronis

Namun apabila sputum penderita mengandung pus yang mungkin disebabkan oleh infeksi sekunder, maka pasien dikatakan mengidap bronkitis mukopurulenta kronis.

c) Bronkitis asmatik kronis

Beberapa pasien dengan bronkitis kronis mungkin memperlihatkan hiperresponsivitas jalan napas dan episode asma intermiten. Keadaan ini yang disebut sebagai bronkitis asmatik kronis, dalam hal ini sulit dibedakan dengan asma atopik.

d) Bronkitis obstruktif kronis

Mereka dikatakan mengidap bronkitis obstruktif kronis apabila suatu subpopulasi pasien bronkitis kronis mengalami obstruksi aliran keluar udara yang kronis berdasarkan uji fungsi paru. (Robin Kumar)

Gambaran khas pada bronkitis kronis adalah hipersekresi mucus, yang dimulai dari jalur napas besar. Berbagai faktor/bahan iritan ini akan memicu hipersekresi kelenjar mukosa bronkus dan menyebabkan hipertrofi kelenjar mukosa, dan menyebabkan pembentukan metaplastik sel goblet penghasil

(7)

mucin di epitel permukaan bronkus. Selain itu, zat tersebut juga menyebabkan peradangan dengan infiltrasi sel T CD8+, makrofag, dan neutrofil. (Robin Kumar)

2. Emfisema

Emfisema ditandai dengan adanya pembesaran permanen rongga udara yang terletak distal dari bronkiolus terminal disertai destruksi dinding rongga tersebut. Terdapat beberapa penyakit dengan pembesaran rongga udara yang tidak disertai desktruksi; hal ini lebih tepat disebut

“overinflation”. Contohnya adalah peregangan rongga udara di paru kontralateral setelah pneumonektomi unilateral. (Robin Kumar) Emfisema dibagi menurut bentuk asinus yang terserang. Meskipun beberapa bentuk morfologik telah diperkenalkan, ada dua bentuk yang paling penting sehubungan dengan PPOK. Yaitu:

a) Emfisema Sentrilobular (CLE)

Secara spesifik CLE menyerang bagian bronkiolus respiratorius dan duktus alveolaris. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya cenderung menjadi satu ruang sewaktu dinding-dinding mengalami integrasi.

b) Emfisema panlobular (PLE)

Bentuk yang penting berikutnya adalah emfisema panlobular (PLE) atau emifsema panasinar. Merupakan bentuk morfologik yang jarang., alveolus yang sebelah distal mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata; mengenai bagian asinus sentral dan perifer. c) Emfisema Asinar Distal (Paraseptal)

Pada keadaan ini bagian proksimal dari asinus normal, namun bagian distalnya yang terkena. Emfisema tampak nyata pada daera dekat pleura, di sepanjang septum jaringan ikat lobules dan tepi lobulus. (Robin Kumar)

(8)

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2008, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dibagi atas 4 derajat berdasarkan tingkat keparahannya. Yakni:

1. Derajat 1 (PPOK ringan)

Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan aliran udara ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80% Prediksi). Pada derajat ini, orang tersebut mungkin tidak menyadari bahwa fungsi parunya abnormal.

2. Derajat 2 (PPOK sedang)

Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%; 50% < VEP1 < 80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas. Dalam tingkat ini pasien biasanya mulai mencari pengobatan oleh karena sesak nafas yang dialaminya.

3. Derajat 3 (PPOK berat)

Ditandai dengan keterbatasan / hambatan6y aliran udara yang semakin memburuk (VEP1 / KVP < 70%; 30% Ł VEP1 < 50% prediksi). Terjadi sesak nafas yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan dan eksaserbasi yang berulang yang berdampak pada kualitas hidup pasien. 4. Derajat 4 (PPOK sangat berat)

Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 < 30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya gagal nafas kronik dan gagal jantung kanan. (GOLD, 2008)

2.1.5. Pengaruh Inflamasi Sistemik PPOK stabil

Respons inflamasi paru yang abnormal bukanlah satu-satunya yang terjadi pada Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) tapi juga dapat menimbulkan inflamasi sistemik termasuk stress oksidatif sistemik, aktivasi sel-sel inflamasi di sirkulasi sistemik dan peningkatan sitokin proinflamasi. Efek sistemik lainnya adalah dapat terjadi nutrisi yang abnormal dan penurunan berat badan. Disfungsi

(9)

otot rangka juga dapat terjadi, efek lainnya adalah efek kardiovaskular, sistem saraf dan osteoskeletal. Respons inflamasi sistemik ditandai dengan mobilisasi dan aktivasi sel inflamasi ke dalam sirkulasi. Proses inflamasi ini merangsang sistem hematopoetik terutama sumsum tulang untuk melepaskan leukosit dan trombosit serta merangsang hepar untuk memproduksi acute phase protein seperti CRP dan fibrinogen. Acute phase protein akan meningkatkan pembekuan darah yang merupakan prediktor angka kesakitan dan kematian pada penyakit kardiovaskular sehingga menjadi pemicu terjadi trombosis koroner, aritmia dan gagal jantung.

2.1.6. Diagnosis

Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru. Penderita PPOK akan datang ke dokter dan mengeluhkan sesak nafas, batuk-batuk kronis, sputum yang produktif, serta adanya riwayat faktor resiko. Sedangkan PPOK ringan dapat tanpa keluhan atau gejala. (PDPI, 2003).

Diagnosa dapat ditegakkan yang pertama yakni dengan anamnesa. Meliputi keluhan utama dan keluhan tambahan. Biasanaya keluhan pasien adalah batuk maupun sesak napas yang kronis dan berulang. Tipe emfisema paru sehari-hari cenderung memiliki keluhan sesak napas yang biasanya diekspresikan berupa pola napas yang terengah-engah. Pada tipe bronkitis kronis gejala batuk sebagai keluhan yang menonjol, batuk disertai dahak yang banyak kadang kental dan kalau berwarna kekuningan pertanda adanya super infeksi bakteriel. Gangguan pernapasan kronik, PPOK secara progresif memperburuk fungsi paru dan keterbatasan aliran udara khususnya saat ekspirasi, dan komplikasi dapat terjadi gangguan pernapasan dan jantung. Perburukan penyakit menyebabkan menurunnya kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, bahkan sampai kehilangan kualitas hidup. (Suradi, 2007).

Adanya Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja juga sering

(10)

ditemukan. Kemudian adanya riwayat penyakit emfisema pada keluarga dan terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang dan lingkungan asap rokok dan polusi udara.

Kemudian adanya Batuk berulang dengan atau tanpa dahak dan sesak dengan atau tanpa bunyi mengi. (PDPI, 2003).

Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik, pada inspeksi didapati pursed - lips breathing atau sering dikatakan mulut setengah terkatup atau mulut mencucu. Lalu adanya barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding). Pada saat bernapas dapat ditemukan penggunaan otot bantu napas dan hipertropi otot bantu napas. Pelebaran sela iga dan bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher dan edema tungkai. Dan adanya Penampilan pink puffer atau blue bloater. Pada saat palpasi didapati stem fremitus yang lemah pada

penderita emfisema dan adanya pelebaran iga. Dan saat perkusi pada penderita emfisema akan didapati hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah. Auskultasi berguna untuk mendengar apakah suara napas vesikuler normal, atau melemah, apakah terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang dan bunyi jantung terdengar jauh. (PDPI, 2003)

Pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosa adalah Faal paru, dengan menggunakan Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP) Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, namun dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore. Lalu uji faal paru lainnya dapat dilakukan Uji bronkodilator biasa untuk PPOK stabil. Selain faal paru, yang rutin dilakukan adalah darah rutin (melihat leukosit, Hb dan hematokrit). Dan pemeriksaan radiologi yakni foto toraks posisi PA untuk melihat apakah ada gambaran emfisema atau bronkitis kronis.

(11)

Adapun pemeriksaan lain yang dapat digunakan adalah pemeriksaan faal paru dengan pengukuran Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, dll. Lalu lainnya adalah uji latih

kardiopulmoner, uji provokasi bronkus, uji coba kortikosteroid, analisis gas darah, CT Scan resolusi tinggi, elektrokardiografi, ekokardiografi, bakteriologi dan kadar alfa-1 antitripsin. (PDPI 2003)

3.1.7. Penatalaksanaan PPOK stabil

Sebelum melakukan penatalaksanaan terhadap PPOK, seorang dokter harus dapat membedakan keadaan pasien. Apakah pasien tersebut mengalami serangan (eksaserbasi) atau dalam keadaan stabil. Hal ini dikarenakan pentalaksanaan dari kedua jenis ini berbeda.

Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil antara lain mempertahankan fungsi paru, meningkatkan kualitas hidup dan terakhir mencegah eksaserbasi. Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di Poliklinikklinik sebagai evaluasi berkala atau dirumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah eksaserbasi.

Penatalaksanaan PPOK stabil meliputi pemberian obat-obatan, edukasi, nutrisi, rehabilitasi dan rujukan ke spesialis paru/rumah sakit. Dalam

penatalaksanaan PPOK yang stabil termasuk disini melanjutkan pengobatan pemeliharaan dari rumah sakit atau dokter spesialis paru baik setelah mengalami serangan berat atau evaluasi spesialistik lainnya, seperti pemeriksaan fungsi paru, analisis gas darah, kardiologi dll. Obat-obatan diberikan dengan tujuan mengurangi laju beratnya penyakit dan mempertahankan keadaan stabil yang telah tercapai dengan mempertahankan bronkodilatasi dan penekanan inflamasi. Obat-obatan yang digunakan antara lain:

1. Bronkodilator

Diberikan dalam bentuk oral, kombinasi golongan beta 2 agonis dengan golongan xantin. Masing-masing dalam dosis subobtimal, sesuai dengan

(12)

berat badan dan beratnya penyakit sebagai dosis pemeliharaan. Contohnya aminofilin/teofilin 100-150 mg kombinsi dengan salbutamol 1 mg atau terbutalin 1 mg

2. Kortikosteroid

Gunakan golongan metilprednisolon/prednison, diberikan dalam bentuk oral, setiap hari atau selang sehari dengan dosis 5 mg perhari, terutama bagi penderita dengan uji steroid positif.

3. Ekspektoran

Gunakan obat batuk hitam (OBH) 4. Mukolitik

Gliseril guayakolat dapat diberikan bila sputum mukoid 5. Antitusif

Kodein hanya diberikan bila batuk kering dan sangat mengganggu Manfaatkan obat-obatan yang tersedia sesuai dengan perkiraan patogenesis yang terjadi pada keluhan klinis. Perhatikan dosis dan waktu pemberian untuk menghindari efek samping obat.

(13)

Tabel 2.1 : Terapi berdasarkan stage dari PPOK

Sumber: Global initiative for chronic obstructive lung disease (GOLD)

Hal lain yang harus diberikan adalah pendidikan atau edukasi, karena keterbatasan obat-obatan yang tersedia dan masalah sosiokultural lainnya, seperti keterbatasan tingkat pendidikan dan pengetahuan penduduk, keterbatasan ekonomi dan sarana kesehatan, edukasi di Puskesmas ditujukan untuk mencegah bertambah beratnya penyakit dengan cara menggunakan obat yang tersedia dengan tepat, menyesuaikan keterbatasan aktivitas serta mencegah eksaserbasi. Keseimbangan nutrisi antara protein lemak dan karbohidrat juga harus dijaga. Asupan nutrisi diberikan dalam porsi kecil tetapi sering. Kekurangan kalori dapat menyebabkan meningkatnya derajat sesak. Pemberian karbohidrat yang berlebihan menghasilkan CO2 yang berlebihan. Dan yang terakhir adalah tahap rehabiltasi dimana pasien harus diberikan latihan pernapasan dengan pursed-lips, latihan ekspektorasi dan latihan otot pernapasan dan ekttremitas.

(14)

3.1.8. Prognosis

Beberapa pasien mungkin hidup lebih lama dengan eksaserbasi, namun tetap dengan bantuan dari ventilasi mekanik sebelum meninggal akibat penyakit ini. Banyak kematian dari PPOK disebabkan oleh komplikasi sistem pernapasan, berhubungan dengan kondisi lain yang sebenarnya memiliki angka kematian yang rendah apabila tidak terjadi bersamaan dengan PPOK.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil crossplot impedansi akustik dengan porositas yang ditunjukkan pada gambar 2 (a) dan posisinya pada log oleh gambar 2 (b) terlihat bahwa

Ada pengaruh yang signifikan secara parsial maupun simultan personal selling dan promosi pen- jualan terhadap peningkatan vo- lume penjualan produk fashion SM (Multi

&lt;ntuk menghubungkan teks dengan ob%ek (table, gambar, footer, halaman, dan lain-lain) yang men%adi bagian naskah dalam dokumen yang sama. +.6 F!n*#$ B!tton 3a(a 9ea(er

Proses pengadaan Dalam membuat rencana pengadaan pada proyek pembangunan Grand Indonesia, bagian cost control kantor proyek maupun kantor pusat memulai dengan melakukan

Berdasarkan diagram pareto yang digambarkan pada gambar 2, proses perancangan usulan perbaikan yang akan dilakukan adalah pada keempat masalah yang memiliki nilai bobot

Yang menyebabkan saya bekerja pada saat ini, ialah dari muda saya bekerja sebagai petani, alasan saya bekerja saat ini karena ekonomi yang tidak mencukupi untuk kebutuhan

Hal penting yang harus diperhatikan adalah bila suatu balok hanya mengalami satu beban terpusat gaya geser bernilai konstan di antara beban dan momen lentur