• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEJADIAN COLD SURGE DAN HUBUNGANNYA DENGAN CURAH HUJAN INDONESIA DWIPUTRA HADI UTOMO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEJADIAN COLD SURGE DAN HUBUNGANNYA DENGAN CURAH HUJAN INDONESIA DWIPUTRA HADI UTOMO"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

KEJADIAN COLD SURGE DAN HUBUNGANNYA DENGAN CURAH HUJAN INDONESIA

DWIPUTRA HADI UTOMO

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kejadian Cold Surge

dan Hubungannya dengan Curah Hujan Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015

Dwiputra Hadi Utomo NIM G24090061

(4)

ABSTRAK

DWIPUTRA HADI UTOMO. Kejadian Cold Surge dan Hubungannya dengan Curah Hujan Indonesia. Dibimbing oleh RAHMAT HIDAYAT.

Cold surge adalah aliran udara dingin lapisan permukaan yang menjalar dari bumi bagian utara ke arah selatan melewati garis ekuator melalui wilayah Asia Timur dan Tenggara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kejadian cold surge khususnya pada bulan Desember hingga Februari terhadap intensitas curah hujan di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kecepatan angin meridional (utara-selatan) menggunakan NCEP/NCAR Reanalysis serta data curah hujan harian menggunakan Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) 3B42 bulan Desember, Januari, Februari tahun 2011-2014. Selain itu, dalam penelitian ini juga digunakan data anomali Sea Surface Temperature (SST) wilayah Niño3.4 (indeks Nino3.4) tahun 1979-2014.

Penelitian ini dimulai dengan mengidentifikasi kejadian cold surge,dimana terjadinya cold surge ditentukan dengan menggunakan indikator kecepatan rata-rata angin meridional melebihi 8 m/s. Kemudian dilakukan analisis hubungan antara kejadian cold surge dengan curah hujan. Dilakukan juga analisis hubungan antara cold surge dan El Nino-Southern Oscillation (ENSO).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara kejadian cold surge dengan keragaman curah hujan di wilayah Indonesia. Kejadian cold surge dapat meningkatkan intensitas curah hujan di wilayah Indonesia, khususnya pada Laut Jawa peningkatannya berkisar 20-80%. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa total keragaman jumlah hari cold surge yang dapat dijelaskan oleh nilai indeks El Nino-Southern Oscillation (ENSO) sebesar 𝑅2 = 0,38. Terdapat hubungan negatif antara jumlah kejadian cold surge dengan ENSO dengan tingkat keeratan hubungan 𝑟 = −0,61. Pada waktu nilai ENSO positif (El Nino) maka jumlah cold surge cenderung menurun sedangkan pada waktu nilai ENSO negatif (La Nina) maka jumlah cold surge cenderung naik. Kata Kunci : Curah Hujan, Cold Surge, El Nino-Southern Oscillation (ENSO), Angin Meridional

(5)

ABSTRACT

DWIPUTRA HADI UTOMO. Cold Surge Event and its Relationship to Indonesia Rainfall. Supervised by RAHMAT HIDAYAT.

Cold surge is low-level cold air flow that extends from the northern hemisphere to the south toward the equator through East Asia and Southeast Asia region. The purpose of this study is to analyze the effect of cold surge, especially in December until February to the variability of rainfall in Indonesia. The data used in this study are meridional wind speed data (north-south) using the NCEP / NCAR Reanalysis and daily rainfall data using Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) 3B42 in December, January, February 2011-2014. In addition, this study also used the data anomaly of Sea Surface Temperature (SST) in Niño3.4 region (Nino3.4index) for period of 1979-2014.

This study begins by identifying the occurrence of cold surge, using the average speed indicator meridional winds exceeding 8 m/s. Then analyzing the relationship between the cold surge event and rainfall in Indonesia. Furthermore, continued by analyzing the relationship between cold surges and El Nino-Southern Oscillation (ENSO).

The result of this study indicate that there is a positive relationship between the cold surge events to the variability of rainfall in Indonesia. The existence of cold surges is able to increase the intensity of rainfall in Indonesia, especially in Java Sea the rainfall intensity is increased about 20-80%. The result of this study also showed that the total variation of cold surge events that explained by the total variation of El Nino-Southern Oscillation (ENSO) index is 𝑅2 = 0.38. The number of cold surge has a negative relationship with ENSO index, with the value of correlation coeffient 𝑟 = −0,61. When ENSO value is positive (El Nino), the number of cold surges tend to decrease. Otherwise when ENSO value is negative (La Nina), the number of cold surges tend to increase. Keywords: Rainfall, Cold Surge, El Nino-Southern Oscillation (ENSO), Meridional Wind

(6)
(7)

KEJADIAN COLD SURGE DAN HUBUNGANNYA DENGAN CURAH HUJAN INDONESIA

DWIPUTRA HADI UTOMO

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

Pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)
(9)

Judul Skripsi : Kejadian Cold Surge dan Hubungannya dengan Curah Hujan Indonesia

Nama : Dwiputra Hadi Utomo NIM : G24090061 Disetujui oleh Dr Rahmat Hidayat, M.Sc Pembimbing Diketahui oleh Dr Ir Tania June, M.Sc Ketua Departemen Tanggal Lulus :

(10)

PRAKATA

Alhamdulillah. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah yang berjudul Kejadian Cold Surge dan Hubungannya dengan Curah Hujan Indonesia dapat diselesaikan dengan kendala dan keterbatasan yang dihadapi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Rahmat Hidayat selaku pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan ide, saran dan masukan sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ahmad Bey dan Dr. Ir. Rini Hidayati selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak saran dan nasihat kepada penulis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada seluruh dosen yang telah memberikan bimbingan dan ilmu dan juga kepada staf departemen GFM atas bantuannya.

Terima kasih penulis ucapkan kepada keluarga, terutama ayah, ibu, kakak, adik dan mbak Astri yang memberikan banyak dukungan dan doa dalam melaksanakan penelitian ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua teman-teman GFM 46 dan GFM 47 yang telah memberikan dukungan motivasi dan bantuan selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2015 Dwiputra Hadi Utomo

(11)

DAFTAR ISI DAFTAR ISI v DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 METODE 2

Bahan dan Alat 2

Prosedur Analisis Data 2

HASIL DAN PEMBAHASAN 3

Cold Surge 4

Cold Surge dan Curah Hujan Wilayah Indonesia 8

Cold Surge dan Curah Hujan di Bogor 11

Cold Surge dan El Nino-Southern Oscillation (ENSO) 13

SIMPULAN DAN SARAN 15

Simpulan 15

Saran 15

DAFTAR PUSTAKA 16

(12)

DAFTAR TABEL

1 Jumlah hari terjadi dan tidak terjadi cold surge pada bulan DJF

tahun 2011/12, 2012/13, dan 2013/14 5

2 Tanggal hari terjadi cold surge 6

DAFTAR GAMBAR

1 Rata-rata tekanan permukaan laut (hPa) dan vektor angin meridional

(1.000 hPa) pada bulan DJF tahun 2011/12 – 2013/14 3 2 Rata-rata kecepatan angin meridional ketinggian 1.000 hPa pada

110°BT - 117.5°BT dan 15°LU tahun (a) 2011/12, (b) 2012/13, dan

2013/14 5

3 Peta komposit rata-rata kecepatan angin meridional bulan DJF pada tahun 2011/12, 2012/13, dan 2013/14 (a) rata-rata pada bulan DJF, (b) rata-rata pada saat terjadi cold surge, dan (c) rata-rata pada saat

tidak terjadi cold surge 7

4 Peta rata-rata curah hujan (TRMM 3B42) bulan DJF pada tahun 2011/12, 2012/13, dan 2013/14 (a) rata pada bulan DJF, (b) rata-rata pada saat terjadi cold surge, dan (c) rata-rata pada saat tidak

terjadi cold surge 9

5 Kenaikan/penurunan curah hujan pada saat terjadi cold surge terhadap rata-rata klimatologi (DJF) pada (a) tahun 2011/12, (b)

tahun 2012/13, dan (c) tahun 2013/14 10

6 Kenaikan/penurunan curah hujan pada saat tidak terjadi cold surge terhadap rata-rata klimatologi (DJF) pada (a) tahun 2011/12, (b)

tahun 2012/13, dan (c) tahun 2013/14 10

7 Curah hujan harian Bogor (TRMM) dan Bogor (Observasi) bulan DJF serta kecepatan angin meridional pada indeks cold surge, pada

tahun (a) 2011/12, (b) 2012/13, dan (c) 2013/14 12

8 Jumlah kejadian cold surge (biru), bulan DJF dari tahun 1979 hingga

2014, indeks Nino3.4 (garis merah) 13

DAFTAR LAMPIRAN

1 Scripting language ektrak angin di ketinggian 1000 hPa, 110-117,5

BT dan 15 LU tahun 2011 17

2 Scripting language peta angin bulan DJF tahun 2011-2012 17 3 Scripting language angin saat cold surge tahun 2011-2012 18

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu fenomena penting dalam bidang meteorologi adalah fenomema yang berkaitan dengan angin monsoon. Monsoon adalah angin berskala besar yang terjadi ketika terdapat perbedaan suhu di daratan dan lautan yang terjadi pada waktu musim dingin maupun musim panas. Menurut Yamamoto et al. (2013) Asian monsoon merupakan monsoon system terbesar di bumi. Asian monsoon terbagi menjadi dua bagian, yaitu Indian monsoon dan East Asian monsoon dan secara dinamik berhubungan dengan Australian monsoon dan African monsoon. Kecepatan angin pada Indian summer monsoon lebih kuat dibandingkan dengan East Asian summer monsoon. Sebaliknya, kecepatan angin pada East Asian winter monsoon lebih kuat dibandingkan dengan Indian winter monsoon.

Pada saat Asian winter monsoon, kondisi suhu daratan di wilayah Asia Timur yang lebih dingin dibandingkan di lautan, menyebabkan hembusan angin dingin menuju Laut Cina Selatan, yang terus menuju ke daerah ekuator. Menurut Krishnamurti dalam Chang et al. (2006), sumber panas Asian winter monsoon berasal dari daerah ekuator. Selain itu sirkulasi pada Asian winter monsoon meliputi daerah yang lebih luas mencakup wilayah tropis dan subtropis. Asian winter monsoon tersebut dicirikan oleh adanya kejadian aliran udara lapisan permukaan dari arah utara-timur laut (low-level north-northeasterly flow) pada waktu musim dingin di Belahan Bumi Utara (BBU), khususnya di Asia Timur dan Asia Tenggara, yang dikaitkan dengan antisiklon dari permukaan Siberian-Mongolian High (SMH) (Hattori et al. 2011; Chang et al. 2006). Siberian-High atau yang disebut sebagai Siberian anticyclone merupakan fenomena tekanan permukaan yang tinggi di bagian tengah dan timur laut Siberia pada waktu musim dingin.

Dalam cuaca dingin yang terus menerus selama Asian winter monsoon tersebut, terkadang terjadi variasi tekanan, suhu, dan kecepatan angin yang ekstrim yang dikenal dengan cold surge (Yen dan Chen 2002; Chen et.al. 2002; Hattori et al., 2011). Menurut Zhang et al. (1997) cold surge ditandai dengan pergerakan antisiklon Siberian-High ke arah tenggara. Menurut Chen et.al. 2002 daerah yang dilalui cold surge umumnya mengalami penurunan suhu udara, peningkatan tekanan permukaan serta peningkatan angin lapisan bawah yang bertiup arah selatan.

Penelitian ini dilakukan karena penelitian-penelitian terdahulu hanya berfokus pada fenomena perubahan angin, tekanan dan suhu di wilayah Laut Cina Selatan, khususnya perbedaan tekanan di Danau Baikal, Siberia, dan Danau Balkash. Sementara penelitian yang menekankan pada pengaruh terjadinya cold surge terhadap kondisi perubahan cuaca di Pulau Jawa dan sekitarnya belum banyak dilakukan (Aldrian dan Utama, 2007; Hattori et al., 2011). Oleh karena itu, kajian ini bermaksud untuk mempelajari fenomena cold surge Laut Cina Selatan dan keterkaitannya dengan fenomena terjadinya hujan di wilayah Indonesia.

(14)

2

Tujuan Penelitian

Meneliti fenomena kejadian cold surge pada bulan Desember hingga Februari terhadap pola curah hujan di Indonesia serta meneliti hubungan antara cold surge dengan ElNino-Southern Oscillation (ENSO).

METODE

Bahan dan Alat

Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1) data kecepatan angin meridional (utara-selatan) harian tahun 2011-2014 menggunakan NCEP/NCAR Reanalysis dengan resolusi spasial 2,5°×2,5°, yang diperoleh dari website http://www.esrl.noaa.gov/psd/data/gridded/, 2) data curah hujan harian bulan Desember, Januari, dan Februari (DJF) tahun 2011-2014 menggunakan TRMM 3B42 v7, yang diperoleh dari website http://mirador.gsfc.nasa.gov/, 3) data anomaly Sea Surface Temperature (SST) wilayah Niño3.4 periode 1979-2014, yang diperoleh dari website http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices/ 3mth.nino34.81-10.ascii.txt, dan 4) data curah hujan harian stasiun Baranangsiang Bogor bulan Desember, Januari dan Februari tahun 2011-2013. Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer dan perangkat lunak Microsoft Office untuk analisis data dan penyajian teks, tabel, dan grafik. Selain itu, digunakan pula GrADS versi 2.0.2.oga.2 untuk menampilkan peta kecepatan angin meridional dan curah hujan.

Prosedur Analislis Data Dalam penelitian ini, dilakukan prosedur sebagai berikut: 1. Melakukan identifikasi kejadian cold surge.

a. Mengekstrak data kecepatan angin meridional harian di ketinggian 1.000 hPa pada indeks cold surge yaitu di 110°BT - 117,5°BT dan 15°LU pada bulan DJF tahun 2011-2014.

b. Melakukan identifikasi untuk menentukan terjadinya cold surge. Kejadian cold surge ditentukan dengan menggunakan indikator kecepatan rata-rata angin meridional melebihi 8 m/s.

2. Melakukan analisis hubungan antara cold surge dengan curah hujan. a. Mengelompokkan data curah hujan menjadi tiga kondisi:

1) Rata-rata curah hujan pada hari-hari keseluruhan DJF (hari terjadi maupun tidak terjadi cold surge).

(15)

3

c. Melakukan analisis hubungan antara kejadian cold surge dengan curah hujan.

3. Melakukan analisis hubungan antara cold surge dan El Nino-Southern Oscillation (ENSO).

a. Mengekstrak data kecepatan angin meridional harian di ketinggian 1.000 hPa pada indeks cold surge yaitu di 110°BT - 117,5°BT dan 15°LU pada bulan DJF tahun 1979-2014.

b. Mengidentifikasi kejadian cold surge berdasarkan data kecepatan angin meridional.

c. Memplot banyaknya kejadian cold surge dengan anomaly Sea Surface Temperature (SST) wilayah Niño3.4 periode 1979-2014.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tekanan permukaan laut pada bulan DJF mencapai 1.036 hPa. Tekanan tersebut berpusat di daerah Siberia-Mongolia pada koordinat (50°LU, 90°BT) dan (50°LU, 100°BT). Dari peta kontur tekanan permukaan laut, dapat dilihat pula bahwa semakin ke selatan tekanan akan semakin menurun sampai ke wilayah Laut Cina Selatan dengan radius yang lebih luas. Dari pusat tekanan di daratan tinggi Siberia-Mongolia, angin berhembus menuju ke arah timur sampai 130°BT, kemudian berubah ke arah selatan sampai ke daerah Laut Cina Selatan, bahkan sampai ke daerah tropis (Gambar 1).

Gambar 1 Rata-rata tekanan permukaan laut (hPa) dan vektor angin meridional (1.000 hPa) pada bulan DJF tahun 2011/12 – 2013/14.

(16)

4

Cold Surge

Istilah cold surge digunakan untuk mendefinisikan peristiwa penurunan suhu udara yang cepat di wilayah Asia Tenggara dan Laut Cina Selatan. Hal tersebut disebabkan oleh udara dingin yang menjalar dari benua Asia ketika musim dingin di belahan bumi utara. Berdasarkan kajian literatur, cold surge memiliki beberapa definisi yang disesuaikan dengan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini cold surge didefinisikan sebagai hari dimana rata-rata kecepatan harian angin meridional ketinggian 1000hPa sepanjang 110°BT – 117,5°BT dan 15°LU melebihi 8 m/s ke arah selatan (Chang et al. 2005).

Untuk keperluan identifikasi cold surge, data grid angin meridional diekstrak menjadi data teks menggunakan perangkat lunak GrADS versi 2.0.2.oga.2. Selanjutnya dilakukan identifikasi penentuan terjadinya cold surge. Mengacu pada Chang et al. (2005) indeks cold surge dapat dilihat pada Gambar 1 yang ditunjukkan oleh garis hitam tebal dari arah barat ke timur sepanjang lintasan 110°BT – 117,5°BT dan 15°LU. Dikatakan terjadi cold surge, jika rata-rata kecepatan angin meridional di indeks cold surge melebihi 8 m/s ke arah selatan (Chang et al. 2005).

Gambar 2 menyajikan kecepatan rata-rata angin meridional pada indeks cold surge yang berada disekitar wilayah Laut Cina Selatan yaitu 110°BT – 117,5°BT dan 15°LU dengan ketinggian 1.000 hPa pada bulan DJF tiga tahun terakhir yaitu tahun 2011/12, 2012/13, dan 2013/14. Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa kondisi kecepatan angin setiap tahunnya memiliki pola yang berbeda, pada tahun 2011/12 dan 2012/13 lama terjadinya cold surge terlihat pendek, sedangkan pada tahun 2013/14 terjadinya cold surge berlangsung lama. Pada tahun 2012/13 kecepatan angin meridional pada indeks cold surge lebih lemah dibandingkan dengan tahun 2011/12 dan 2013/14.

Selanjutnya dilakukan identifikasi untuk menentukan hari terjadinya cold surge. Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa jumlah hari cold surge pada tahun 2011/12 dan 2013/14 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2012/13. Lebih lanjut, dilakukan pengelompokan kondisi terjadi dan tidak terjadi cold surge berdasarkan rata-rata kecepatan angin meridional dan curah hujan, yang disajikan dalam Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1, jumlah hari cold surge pada tahun 2011/12 sebanyak 36, artinya dalam rentang waktu 1 Desember 2011 hingga 29 Februari 2012 terjadi 36 hari cold surge. Jumlah hari cold surge pada tahun 2012/13 sebanyak 22 hari artinya dalam rentang waktu 1 Desember 2012 hingga 28 Februari 2013 terjadi 22 hari cold surge. Jumlah hari cold surge pada tahun 2013/14 sebanyak 37 hari artinya dalam rentang waktu 1 Desember 2013 hingga 28 Februari 2014 terjadi 37 hari cold surge. Lebih lanjut, keterangan tanggal terjadinya cold surge disajikan dalam Tabel 2.

(17)

5

(a)

(b)

(c)

Gambar 2 Rata-rata kecepatan angin meridional ketinggian 1.000 hPa pada 110°BT – 117,5°BT dan 15°LU tahun (a) 2011/12, (b) 2012/13, dan 2013/14.

Tabel 1 Jumlah hari terjadi dan tidak terjadi cold surge pada bulan DJF tahun 2011/12, 2013/13, dan 2013/14

Hari terjadi cold surge (hari)

Hari tidak terjadi cold surge (hari)

Total hari pada bulan DJF (hari)

2011-2012 36 55 91

2012-2013 22 68 90

(18)

6

Tabel 2 Tanggal hari terjadi cold surge

Tanggal hari terjadi cold surge pada bulan DJF Tahun 2011/12 Tahun 2012/13 Tahun 2013/14

1-Des-11 23-Des-12 1-Des-13

2-Des-11 24-Des-12 2-Des-13

3-Des-11 30-Des-12 4-Des-13

8-Des-11 31-Des-12 5-Des-13

9-Des-11 1-Jan-13 17-Des-13

10-Des-11 3-Jan-13 18-Des-13

11-Des-11 4-Jan-13 19-Des-13

12-Des-11 5-Jan-13 20-Des-13

13-Des-11 6-Jan-13 21-Des-13

15-Des-11 9-Jan-13 22-Des-13

16-Des-11 10-Jan-13 23-Des-13

17-Des-11 11-Jan-13 24-Des-13

18-Des-11 12-Jan-13 25-Des-13

19-Des-11 13-Jan-13 26-Des-13

21-Des-11 14-Jan-13 27-Des-13

22-Des-11 17-Jan-13 28-Des-13

23-Des-11 18-Jan-13 29-Des-13

24-Des-11 27-Jan-13 30-Des-13

25-Des-11 20-Feb-13 31-Des-13

26-Des-11 21-Feb-13 4-Jan-14

27-Des-11 22-Feb-13 9-Jan-14

28-Des-11 23-Feb-13 12-Jan-14

31-Des-11 13-Jan-14 1-Jan-12 14-Jan-14 6-Jan-12 15-Jan-14 7-Jan-12 16-Jan-14 8-Jan-12 17-Jan-14 9-Jan-12 18-Jan-14 10-Jan-12 19-Jan-14 11-Jan-12 20-Jan-14 25-Jan-12 21-Jan-14 30-Jan-12 22-Jan-14 31-Jan-12 23-Jan-14 17-Feb-12 11-Feb-14 18-Feb-12 14-Feb-14

(19)

7

Setelah dilakukan identifikasi terjadinya cold surge, selanjutnya dilakukan analisis visual peta komposit kecepatan angin meridional menggunakan perangkat lunak GrADS. Analisis dilakukan terhadap tiga kondisi, yaitu:

1. Rata-rata kecepatan angin meridional pada hari-hari keseluruhan DJF (bulan Desember, Januari, Feburari baik hari terjadi maupun tidak terjadi cold surge).

2. Rata-rata kecepatan angin meridional pada hari-hari terjadi cold surge. 3. Rata-rata kecepatan angin meridional pada hari-hari tidak terjadi cold surge.

Hasil analisis kecepatan dan arah angin terhadap tiga kondisi tersebut disajikan pada Gambar 3. Pada gambar tersebut, nilai positif diwakili oleh warna coklat dan kuning yang menunjukkan arah angin menuju ke utara sedangkan nilai negatif diwakili oleh warna hijau dan biru yang menunjukkan arah angin menuju ke selatan. Gradasi warna mewakili kecepatan angin.

Gambar 3 Peta komposit rata-rata kecepatan angin meridional bulan DJF pada tahun 2011/12, 2012/13, dan 2013/14 (a) rata-rata pada bulan DJF, (b) rata-rata pada saat terjadi cold surge dan (c) rata-rata pada saat tidak terjadi cold surge.

(a) (b) (c) DJF 2011/12 DJF 2012/13 DJF 2013/14 CS 2011/12 CS 2012/13 CS 2013/14

Tanpa CS 2011/12 Tanpa CS 2012/13 Tanpa CS 2013/14

(20)

8

Angin meridional di Laut Cina Selatan umumnya bergerak ke selatan, seperti disajikan pada Gambar 3. Peta rata-rata kecepatan angin meridional dari data hari keseluruhan DJF disajikan pada Gambar 3a, hari-hari terjadi cold surge disajikan pada Gambar 3b, dan hari-hari tidak terjadi cold surge disajikan pada Gambar 3c. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa kecepatan angin memiliki intensitas yang berbeda, yakni rata-rata kecepatan angin meridional pada saat terjadi cold surge (Gambar 3b) memiliki intensitas kecepatan angin ke arah selatan kuat, dan lemah saat tidak terjadi cold surge (Gambar 3c).

Angin meridional yang berhembus ke arah selatan pada bulan DJF tahun 2011/12 dan tahun 2013/14 cenderung lebih kuat dibandingkan dengan tahun 2012/13. Hal ini terlihat bahwa daerah di Laut Cina Selatan yang memiliki kecepatan angin meridional di atas 6 m/s arah selatan pada tahun 2011/12 dan 2013/14 lebih luas dibandingkan dengan tahun 2012/13. Ketika cold surge, angin meridional yang berhembus ke arah selatan di Laut Cina Selatan menguat, yang artinya cold surge menjalar ke selatan.

Cold Surge dan Curah Hujan Wilayah Indonesia

Setelah dilakukan analisis kecepatan angin meridional, selanjutnya untuk melihat karakteristik cold surge dan keterkaitannya dengan kondisi curah hujan di wilayah Indonesia, dilakukan analisis komposit peta curah hujan. Analisis dilakukan terhadap tiga kondisi, yaitu:

1. Rata-rata curah hujan pada hari-hari keseluruhan DJF (bulan Desember, Januari, Feburari baik hari terjadi maupun tidak terjadi cold surge).

2. Rata-rata curah hujan pada hari-hari terjadi cold surge. 3. Rata-rata curah hujan pada hari-hari tidak terjadi cold surge.

Hasil analisis curah hujan terhadap tiga kondisi tersebut selanjutnya disajikan pada Gambar 4. Peta rata-rata curah hujan dari data hari keseluruhan DJF (klimatologi DJF) disajikan pada Gambar 4a, hari-hari terjadi cold surge disajikan pada Gambar 4b, dan hari-hari tidak terjadi cold surge disajikan pada Gambar 4c.

Menurut Johnson dan Houze (1987), cold surge cenderung kering. Namun, dalam perjalanan menuju ekuator, cold surge akan membawa uap air di sepanjang lintasan di atas Laut China Selatan yang cenderung lebih hangat sehingga menjadi lembab.

Aldrian dan Utama (2007) menyatakan bahwa penjalaran cold surge ke selatan mempengaruhi posisi ITCZ (Intertropical Convergen Zone) lebih ke selatan. ITCZ membentuk awan hujan yang berakibat pada naiknya intensitas curah hujan di wilayah tersebut.

Berdasarkan Gambar 4, curah hujan yang tinggi berada pada Laut Jawa, selatan Pulau Sumatera dan utara Pulau Kalimantan. Secara umum pola sebaran secara spasial rata-rata curah hujan tahun 2011/12 dan 2013/14 tidak jauh

(21)

9

wilayah lainnya, seperti Pulau Jawa, Laut Jawa dan perairan selatan Jawa curah hujan sekitar 10-20 mm/hari. Pada tahun berikutnya 2012/13, di wilayah perairan di selatan Sumatera, Laut Jawa, dan perairan utara Kalimantan, curah hujan berkisar antara 20-50 mm/hari. Sama dengan tahun 2012/13, pada tahun 2013/14 curah hujan juga terjadi di wilayah perairan di selatan Sumatera, Laut Jawa, dan perairan utara Kalimantan, namun dengan intensitas hujan yang lebih rendah yaitu sekitar 15-30 mm/hari.

Gambar 4 Peta rata-rata curah hujan harian (TRMM 3B42) bulan DJF pada tahun 2011/12, 2012/13, dan 2013/14 (a) rata pada bulan DJF, (b) rata-rata pada saat terjadi cold surge, dan (c) rata-rata pada saat tidak terjadi cold surge.

Peta komposit curah hujan saat cold surge (Gambar 4b) menunjukkan intensitas hujan yang lebih tinggi dibandingkan dengan peta klimatologi rata-rata curah hujan bulan DJF (Gambar 4a) maupun peta komposit curah hujan saat tidak terjadi cold surge (Gambar 4c). Kondisi ini terjadi pada ketiga tahun yang diamati. Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan cold surge meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia. Sejalan dengan yang dinyatakan oleh Tangang et al. (2008) bahwa pada saat adanya angin dari utara yang kuat di Wilayah Laut Cina Selatan mengakibatkan hujan yang amat lebat di Semenanjung Malaysia.

Peta anomali saat terjadi cold surge (Gambar 5) menggambarkan perbedaan antara curah hujan pada saat terjadi cold surge dengan rata-rata klimatologi (DJF) tahun 2011/12, 2012/13, dan 2013/14.

a.Rata-rata DJF (Klimatologi)

b. Cold Surge

c. Tanpa Cold Surge

(22)

10

(a) (b)

(c)

Gambar 5 Kenaikan/penurunan curah hujan pada saat terjadi cold surge terhadap rata-rata klimatologi (DJF) pada (a) tahun 2011/12, (b) tahun 2012/13, dan (c) tahun 2 013/14

(a) (b)

(23)

11

Pada tahun 2011/12 pada saat cold surge, terjadi anomali positif yang tinggi di perairan sebelah timur Sumatera dengan peningkatan curah hujan lebih dari 100% dibandingkan dengan rata-rata curah hujan DJF. Sementara di laut Jawa anomali positif hanya berkisar antara 20-60%. Pada tahun 2012/13 di perairan sebelah timur Sumatera dan bagian barat Pulau Kalimantan terjadi anomali negatif antara 40-80% yang artinya di wilayah tersebut curah hujan lebih rendah dibanding rata-rata curah hujan DJF dengan selisihnya mencapai 0.8 kali rata-rata curah hujan DJF. Sementara di laut Jawa anomali positif berkisar antara 40-80%, di beberapa wilayah mencapai 80-100%. Pada tahun 2013/14 kondisi curah hujan di laut Jawa terjadi anomali positif yang kurang lebih sama dengan tahun 2012/13, dengan cakupan wilayah yang lebih luas, yaitu hingga perairan sekitar Pulau Kalimantan. Sebaliknya, di wilayah daratan Pulau Jawa, terutama di bagian tengah, terjadi anomali negatif paling tinggi dibanding dengan tahun 2 tahun sebelumnya. Dari tiga tahun pengamatan terjadi anomali positif berkisar 20-80% di wilayah Laut Jawa, hal ini mengindikasikan bahwa curah hujan di Laut Jawa meningkat pada saat terjadi cold surge (Gambar 5).

Peta anomali saat tidak terjadi cold surge (Gambar 6) menggambarkan perbedaan antara rata-rata curah hujan pada saat tidak terjadi cold surge dengan rata-rata klimatologi (DJF) tahun 2011/12, 2012/13, dan 2013/14. Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa saat tidak terjadi cold surge anomali curah hujan secara umum berkebalikan dengan saat terjadi cold surge, seperti pada tahun 2011/12 di perairan sebelah timur Sumatera terjadi anomali negatif hingga 40-80% dibanding dengan rata-rata curah hujan DJF yang berkebalikan dengan saat terjadi cold surge. Anomali negatif juga terjadi di wilayah Laut Jawa. Pola yang serupa terjadi untuk tahun 2012/13 dan 2013/14.

Cold Surge dan Curah Hujan Di Bogor

Analisis komposit peta curah hujan yang dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa curah hujan di beberapa wilayah Indonesia lebih tinggi saat terjadi cold surge dibandingkan saat tidak terjadi cold surge maupun rata-rata klimatologinya (DJF). Untuk mengetahui keterkaitan antara kejadian cold surge dan curah hujan di Bogor, disajikan pada Gambar 7 grafik kecepatan angin meridional indeks cold surge dan curah hujan Bogor (TRMM dan Observasi).

Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa selama tiga tahun berturut-turut curah hujan di Bogor (data TRMM) dan Bogor (observasi) semakin meningkat. Pada tahun 2011/12 jumlah curah hujan pada bulan DJF di Bogor (data TRMM) meningkat dari 900 mm menjadi 1.183 mm pada tahun 2012/13, kemudian meningkat lagi menjadi 1.474 mm pada tahun 2013/14. Dan pada tahun 2011/12 jumlah curah hujan DJF di Bogor (observasi) meningkat dari 1.211 mm menjadi 1.394 mm pada tahun 2012/13.

(24)

12 DJF 2011/12 (a) DJF 2012/13 (b) DJF 2013/14 (c)

Gambar 7 Curah hujan harian Bogor (TRMM) dan Bogor (observasi) bulan DJF serta kecepatan angin meridional pada indeks cold surge, pada tahun

Angin Meridional CH Bogor TRMM Cold Surge CH Bogor Observasi

(25)

13

dengan penelitian Aldrian dan Utama (2007) mengenai karakteristik cold surge terhadap iklim musim hujan di wilayah Indonesia bagian barat laut, yang menemukan bahwa perambatan cold surge ke daerah selatan ekuator terjadi setelah 4-6 hari kenaikan indeks cold surge di Hongkong.

Cold Surge dan El Nino-Southern Oscillation (ENSO)

Untuk melihat variasi tahunan jumlah cold surge, dilakukan analisis data angin meridional (indeks cold surge) dari tahun 1979 hingga tahun 2014. Jumlah kejadian cold surge dari tahun 1979 hingga tahun 2014 disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Jumlah kejadian cold surge (biru), bulan DJF dari tahun 1979 hingga 2014, indeks Nino3.4 (garis merah)

Kejadian cold surge memiliki variasi yang cukup besar antara tahun 1979 hingga tahun 2014. Selama 35 tahun, jumlah kejadian cold surge terendah yaitu sebanyak 8 kejadian cold surge saat tahun 1997/98, sedangkan jumlah kejadian cold surge tertinggi yaitu sebanyak 40 kejadian cold surge saat tahun 2010/11 (Gambar 8).

Fenomena ENSO dapat dilihat dengan menganalisis anomali suhu permukaan laut (ASPL) Nino3.4 (Trenberth, 1997). El Nino terjadi jika ASPL pada wilayah Nino 3.4 di atas 0,5°C dan La Nina terjadi jika ASPL di bawah −0,5.

Menurut penelitian Irawan (2006), saat El Nino terjadi penurunan intensitas curah hujan Indonesia. Hal ini sejalan dengan jumlah cold surge rendah pada saat terjadi El Nino. Begitu juga saat La Nina, terjadi peningkatan intensitas curah hujan Indonesia yang sejalan dengan jumlah cold surge yang tinggi.

Pada tahun-tahun El Nino, yaitu 1982, 1986, 1987, 1991, 1997, 2002, dan 2009 jumlah cold surge cenderung rendah, sedangkan pada tahun La Nina 1988, 1995, 1999, 2007, dan 2010 jumlah cold surge cenderung tinggi. Pernyataan ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Zhang (1997) bahwa aliran angin kuat dari

(26)

14

utara di Laut Cina Selatan lebih sering terjadi saat La Nina dibandingkan saat El Nino. Saat La Nina, terjadi peningkatan intensitas curah hujan Indonesia.

Pada Gambar 8 dapat dilihat bahwa terdapat hubungan negatif antara fenomena ENSO dengan jumlah kejadian cold surge. Hal ini ditunjukkan dengan nilai korelasi negatif yaitu 𝑟 = −0,61. Selanjutnya untuk melihat seberapa besar proporsi dari total variasi jumlah hari cold surge dapat dijelaskan oleh nilai indeks ENSO digunakan koefisien determinasi. Koefisien determinasi (𝑅2) dapat dihitung dari kuadrat koefisien korelasi (Koopmans, 1987). Berdasarkan data tahun 1979 – 2014 nilai koefisien determinasi 𝑅2 = 0,38. Artinya total variasi jumlah hari cold surge yang dapat dijelaskan oleh nilai indeks ENSO adalah sebesar 38%.

(27)

15

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:

1. Terdapat hubungan antara kejadian cold surge dengan curah hujan di wilayah Indonesia. Terlihat peningkatan curah hujan saat terjadi cold surge dibandingkan saat tidak terjadi cold surge maupun rata-rata klimotologi DJF. Dengan demikian, keberadaan cold surge merupakan salah satu faktor yang meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia.

2. Terdapat kecenderungan bahwa pola curah hujan di wilayah Bogor mengikuti pola kecepatan angin di indeks cold surge.

3. Terdapat hubungan negatif antara jumlah kejadian cold surge dengan El Nino-Southern Oscillation (ENSO) dengan 𝑟 = −0,61 dan 𝑅2 = 0,38. Pada waktu nilai ENSO positif maka jumlah cold surge cenderung menurun sedangkan pada waktu nilai ENSO negatif maka jumlah cold surge cenderung naik.

Saran

Dalam penelitian ini, telah dikaji dampak cold surge terhadap curah hujan di wilayah Indonesia. Disarankan melengkapi kajian lebih lanjut mengenai dampak cold surge terhadap parameter lain seperti suhu permukaan laut, suhu daratan, dan tekanan permukaan.

(28)

16

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian E dan Utama G S A. 2007. Identifikasi dan Karakteristik Seruak Dingin (Cold Surge) Tahun 1995-2003. Jurnal Sains Dirgantara. 4(2): 107-127. Chang C P, Wang Z dan Hendon H. 2006. The Asian winter monsoon. In The

Asian Monsoon. Wang, B.( ed.). Springer. Berlin.

Chang C P, P A Harr dan Chen H J. 2005. Synoptic disturbances over the equatorial South Cina Sea and western maritime continent during boreal winter. Monthly Weather Review. 133 : 489-503.

Chen T C, Yen M C, Huang W R, dan Gallus W A .2002. An East Asian cold surge: case study. Monthly Weather Review 130(9): 2271-2290

Hattori M, Mori S dan Matsumoto J. 2011. The Cross-Equatorial Northerly Surge over the Maritime Continent and Its Relationship to Precipitation Patterns. Journal of the Meteorological Society of Japan. Vol. 89A: 27-47.

Irawan, B. 2006. Fenomena Anomali Iklim El Nino dan La Nina: Kecenderungan Jangka Panjang dan Pengaruhnya Terhadap Produksi Pangan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 24(1): 28-45.

Johnson R H dan Houze Jr R. 1987. Precipitating cloud systems of the Asian monsoon. In Monsoon Meteorology. C.P. Chang and T.N. Krishnamurti (Eds.). Oxford University Press. 298-353.

Koopmans L H. 1987. Introduction to Contemporary Statistical Methods. 2nd Ed. Boston : Duxbury Press.

Tangang F T, Juneng L, Salimun E, Vinayachandran P N, Seng Y K, Reason C J C, Behera S K, dan Yasunari T. 2008. On the roles of the northeast cold surge, the Borneo vortex, the Madden-Julian Oscillation, and the Indian Ocean Dipole during the extreme 2006/2007 flood in southern Peninsular Malaysia. Geophysical Research Letters. VOL. 35. L14S07.

Trenberth K E. 1997. The Definition of El Niño. Bull. Amer. Met. Soc.. 78: 2771-2777 [Internet]. [diunduh 2015 Jan 20]. Tersedia pada: http://www.cgd.ucar.edu/cas/papers/clivar97/en.dfn.html.

Yen M C dan Chen T C. 2002. A Revisit of the Tropical-midlatitude Interaction in East Asia Caused by cold surges. Journal of the Meteorological Society of Japan. Vol. 80. No. 5: 1115-1128.

Yamamoto M, Sai H, Chen M T, dan Zhao M. 2013. The East Asian winter monsoon variability in response to precession during the past 150 000 yr. Clim. Past. 9(6): 2777-2788.

Zhang Y, Sperber K R, dan Boyle J S. 1997. Climatology and interannual variation of East Asian winter monsoon: Result from the 1979-95 NCEP-NCAR reanalysis. Monthly Weather Review.125: 2605-2610.

(29)

17

LAMPIRAN

Lampiran 1 Scripting language ektrak angin di ketinggian 1000 hPa, 110-117,5 BT dan 15 LU tahun 2011

#******************************************************************

# Scripting language ektrak angin di ketinggian 1000 hPa,

# 110-117,5 BT dan 15 LU tahun 2011 # Oleh : Dwiputra Hadi Utomo G24090061 # Departemen Geofisika dan Meteorologi # Institut Pertanian Bogor

#****************************************************************** 'sdfopen D:\datanc\uvwind\vwnd.2011.nc' 'set lon 110 117.5' 'set lat 15' 'set lev 1000' 'set t 1 365' 'fprintf vwnd D:\vwind2011.txt %g 4 1' 'reinit' #******************************************************************

Lampiran 2 Scripting language peta angin bulan DJF tahun 2011-2012

#******************************************************************

# Scripting language peta angin bulan DJF tahun 2011-2012

# Oleh : Dwiputra Hadi Utomo G24090061 # Departemen Geofisika dan Meteorologi # Institut Pertanian Bogor

#****************************************************************** cl='-12, -10, -8, -6, -4, -2, 0, 2, 4, 6, 8, 10' 'sdfopen D:\datanc\uvwind\vwnd.2011.nc' 'sdfopen D:\datanc\uvwind\vwnd.2012.nc' 'set lon 90 145' 'set lat -15 30' 'set lev 1000' 'set dfile 1'

'define sum1112d = sum(vwnd,t=335,t=365)' 'set dfile 2' 'define sum1112jf=sum(vwnd, t=1, t=60)' 'define sum1112djf=sum1112d+sum1112jf' 'define ave1112djf=sum1112djf/91' 'sdfopen D:\datanc\uvwind\uwnd.2011.nc' 'sdfopen D:\datanc\uvwind\uwnd.2012.nc' 'set dfile 3'

'define sum1112du = sum(uwnd,t=335,t=365)' 'set dfile 4'

'define sum1112jfu=sum(uwnd, t=1, t=60)' 'define sum1112djfu=sum1112du+sum1112jfu' 'define ave1112djfu=sum1112djfu/91' 'set gxout shaded'

'set ccolor 0' 'set cint 2' 'set map 1 1 6' 'set mpdset mres'

'set clevs -12, -10, -8, -6, -4, -2, 0, 2, 4, 6, 8, 10' 'd ave1112djf'

'cbarn'

'set gxout vector' 'set ccolor 1' 'set gxout vector'

(30)

18

'set arrscl 0.6 15' 'set arrowhead 0.08' 'set cthick 6'

'd ave1112djfu; ave1112djf'

'draw title rata-rata v-wind Des 2011 - Feb 2012' 'printim D:\meridional_1112_djf_vektor.png white' clear

#******************************************************************

Lampiran 3 Scripting language angin saat cold surge tahun 2011-2012

#******************************************************************

# Scripting language angin saat cold surge tahun 2011-2012

# Oleh : Dwiputra Hadi Utomo G24090061 # Departemen Geofisika dan Meteorologi # Institut Pertanian Bogor

#****************************************************************** cl=' -12, -10, -8, -6, -4, -2, 0, 2, 4, 6, 8, 10' 'sdfopen D:\datanc\uvwind\vwnd.2011.nc' 'sdfopen D:\datanc\uvwind\vwnd.2012.nc' 'set lon 90 145' 'set lat -15 30' 'set lev 1000' 'set dfile 1' 'define sum1112a=vwnd(t=335)+vwnd(t=336)+vwnd(t=337)+vwnd(t=342)+vwnd(t=34 3)+vwnd(t=344)+vwnd(t=345)+vwnd(t=346)+vwnd(t=347)+vwnd(t=349)+vwn d(t=350)+vwnd(t=351)+vwnd(t=352)+vwnd(t=353)+vwnd(t=355)+vwnd(t=35 6)+vwnd(t=357)+vwnd(t=358)+vwnd(t=359)+vwnd(t=360)+vwnd(t=361)+vwn d(t=362)+vwnd(t=365)' 'set dfile 2' 'define sum1112b=vwnd(t=1)+vwnd(t=6)+vwnd(t=7)+vwnd(t=8)+vwnd(t=9)+vwnd(t= 10)+vwnd(t=11)+vwnd(t=25)+vwnd(t=30)+vwnd(t=31)+vwnd(t=48)+vwnd(t= 49)+vwnd(t=50)' 'define sum1112=sum1112a+sum1112b' 'define ave1112=sum1112/36' 'set dfile 2' 'define sum1213a=vwnd(t=358)+vwnd(t=359)+vwnd(t=365)+vwnd(t=366)' 'sdfopen D:\datanc\uvwind\uwnd.2011.nc' 'sdfopen D:\datanc\uvwind\uwnd.2012.nc' 'set dfile 3' 'define sum1112au=uwnd(t=335)+uwnd(t=336)+uwnd(t=337)+uwnd(t=342)+uwnd(t=3 43)+uwnd(t=344)+uwnd(t=345)+uwnd(t=346)+uwnd(t=347)+uwnd(t=349)+uw nd(t=350)+uwnd(t=351)+uwnd(t=352)+uwnd(t=353)+uwnd(t=355)+uwnd(t=3 56)+uwnd(t=357)+uwnd(t=358)+uwnd(t=359)+uwnd(t=360)+uwnd(t=361)+uw nd(t=362)+uwnd(t=365)' 'set dfile 4' 'define sum1112bu=uwnd(t=1)+uwnd(t=6)+uwnd(t=7)+uwnd(t=8)+uwnd(t=9)+uwnd(t =10)+uwnd(t=11)+uwnd(t=25)+uwnd(t=30)+uwnd(t=31)+uwnd(t=48)+uwnd(t =49)+uwnd(t=50)' 'define sum1112u=sum1112au+sum1112bu'

(31)

19

'cbarn'

'set gxout vector' 'set ccolor 1' 'set gxout vector' 'set arrscl 0.6 15' 'set arrowhead 0.08' 'set cthick 6'

'd ave1112csu; ave1112'

'draw title rata-rata v-wind Des 2011 - Feb 2012(CS)' 'printim D:\meridional_1112_cs_djf_vektor.png white' clear

(32)

20

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Bogor pada tanggal 17 Juni 1990 sebagai anak kedua dari bapak Hadi Sumarno dan ibu Dwi Ananingsih. Penulis menempuh pendidikan sekolah menengah atas di SMA Kornita tahun 2006-2009. Tahun 2009 penulis mengikuti Ujian Talenta IPB (UTMI), dan diterima sebagai mahasiswa di Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematik dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Selama menjalani masa studi, penulis sempat mengikuti berbagai kepanitiaan.

Gambar

Gambar  1  Rata-rata  tekanan  permukaan  laut  (hPa)  dan  vektor  angin  meridional  (1.000 hPa) pada bulan DJF tahun 2011/12 – 2013/14
Gambar  2  Rata-rata  kecepatan  angin  meridional  ketinggian  1.000  hPa  pada  110°BT  –  117,5°BT dan 15°LU tahun (a) 2011/12, (b) 2012/13,  dan  2013/14
Tabel 2 Tanggal hari terjadi cold surge
Gambar  3  Peta  komposit  rata-rata  kecepatan  angin  meridional  bulan  DJF  pada  tahun 2011/12, 2012/13, dan 2013/14 (a) rata-rata pada bulan DJF, (b)  rata-rata  pada  saat  terjadi  cold  surge  dan  (c)  rata-rata  pada  saat  tidak  terjadi cold s
+5

Referensi

Dokumen terkait

Tanaman jagung mengalami penurunan bobot kering totalnya saat ditanam bersama kedelai yang jumlahnya lebih dari satu per lobang yaitu bersama kedelai kultivar Anjasmara,

pe errh hiittu un ng ga an n tte errs se eb bu ut t d di i jja ad diik ka an n pedoman dalam membuat penguat yang pedoman dalam membuat penguat yang di kehendaki

Penerapan Prinsip Syariah Dalam Proses Underwriting BUMIDA Syariah Prinsip shari>‘ah underwriting perusahaan asuransi syariah khususnya BUMIDA, diterapkan dalam proses

Puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas segala rahmat dan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini dengan judul “Perilaku

Dalam penelitian ini yang menjadi variabel independen adalah Organizational Citizenship Behavior (OCB), Disiplin kerja dan Kompensasi, sementara yang menjadi variabel

Deputi Bidang AMDAl dan Pembinaan Teknis, selanjutnya disebut Depuli III, adalah unsur pelaksana sebagian tugas dan lungsi BAPEDAl yang berada di bawah

Sesuai dengan analisis data yang dilakukan, 6 responden atau 100 persen responden menjawab pernah melihat Guru PKn menjalin hubungan yang baik terhadap

Penelitian yang dilakukan oleh Adinugroho dan Sidiyasa (2001) juga sejalan dengan ini, dimana biomassa pada setiap bagian pohon meningkat secara proporsional dengan semakin