2.1. Botani Tanaman Padi
Menurut Herawati (2012), tanaman padi dapat di klasifikasikan sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae
Division : Spermatophta Sub Division : Angiospermae Classis : Monocotyledonae
Ordo : Poales Familia : Poacea
Genus : Oryza
Spesies : Oryza sativa L
2.2. Morfologi Tanaman Padi a. Akar
Padi merupakan tanaman semusim dengan sistem perakaran serabut. Terdapat dua macam perakaran padi yaitu akar seminar yang tumbuh dari akar primer radikula pada saat berkecambah dan akar adventif sekunder yang
bercabang dan tumbuh dari buku batang muda bagian bawah. Akar adventif tersebut menggantikan akar seminar. Perakaran yang sehat dan mengcengkeram
tanah lebih luas serta kuat menahan perebahan memungkinkan penyerapan air dan hara lebih efisien terutama pada saat pengisian gabah (Suardi, 2002).
b. Batang
Batang tanaman padi mempunyai batang yang beruas-ruas panjang, memiliki rongga dan berbentuk bulat. Rangkaian ruas-ruas pada batang padi
mempunyai panjang yang berbeda-beda, ruas batang bawah pendek dan semakin ke atas ruas batang akan semakin panjang. Ruas pertanaman dari atas merupakan
ruas terpanjang. Di antara ruas batang padi terdapat buku dan tiap-tiap buku duduk sehelai daun. Batang baru akan muncul pada ketiakdaun, yang semula berupa kuncup kemudian mengalami pertumbuhan, yang pada akhir nya menjadi
batang baru. Batang baru dapat di sebut batang sekunder (kedua), apabila batang tersebut terletak pada buku terbawah (AAK, 1990).
c. Daun
Daun tanaman padi tumbuh pada batang dalam susunan yang
berselang-seling, satu daun pada tiap buku. Daun terdiri dari helaian daun yang terletak pada batang padi, berbentuk memanjang seperti pita, pelepah daun yang membungkus ruas dan telinga daun (auricle); lidah daun (ligule). Daun bendera
mempunyai panjang daun terpendek dengan lebar daun yang terbesar. Jumlah daun dan besar sudut yang dibentuk antara daun bendera dengan malai, tergantung
kepada varietas yang ditanam.Anakan (tunas) mulai tumbuh setelah tanaman padi memiliki 4 atau 5 helai daun dan tumbuh pada dasar batang. Tanaman padi memiliki pola anakan berganda (anak-beranak). Dari batang utama akan tumbuh
anakan primer sampai anakan tersebut memiliki 6 daun dengan 4 - 5 akar. Dari anakan primer selanjutnya tumbuh anakan sekunder yang kemudian menghasilkan
Daun tanaman padi memiliki ciri khas yaitu adanya sisik dan telinga daun, hal inilah yang menyebabkan daun padi dapat di bedakan dari jenis tanaman rumput-rumputan lainnya (AAK, 1990).
d. Malai
Malai merupakan sekumpulan bunga padi (spikelet) yang keluar dari buku
paling atas, malai termasuk kedalam bagian generative tanaman padi. Bulir-bulir padi terletak pada cabang pertama dan cabang kedua, sedangkan sumbu utama malai adalah ruas buku yang terakhir pada batang. Panjang malai tergantung pada
varietas padi yang ditanam dan cara bercocok tanam (Herawati, 2012). e. Bunga
Bunga padi merupakan bunga telenjang yang mempunyai satu bakal buah, 6 buah benang sari serta dua tangkai putik. Bakal buah mengandung air (cairan) untuk kebutuhan lodiculi, warnanya keunguan atau ungu tua. Lodikula
merupakan daun mahkota yang telah berubah bentuk dan berfungsi mengatur pembukaan bunga. Benang sari terdiri dari tangkai sari, kepada sari dan kandung
serbuk. Tangkai sari tipis dan pendek, sadangkan pada kepala sari terletak kandung serbuk yang berisi tepung sari (pollem) (AAK, 1990).
Bunga padi secara keseluruhan disebut malai. Malai terdiri dari 8-10
buku yang menghasilkan cabang-cabang primer selanjutnya menghasilkan cabang-cabang sekunder. Dari buku pangkal malai akan muncul hanya satu
f. Gabah
Buah padi atau gabah adalah ovary yang telah masak, bersatu dengan lemma dan palae serta bagian lain yang membentuk sekam atau kulit gabah. jika
bunga padi telah dewasa, Kedua belahan kembang mahkota (palea dan lemmanya) yang semula bersatu akan membuka dengan sendirinya sedemikian rupa sehingga
antara lamma dan palea terjadi siku/sudut sebesar 30-60° (Herawati, 2012).
2.3. Syarat Tumbuh Tanaman Padi a. Iklim
Tanaman padi secara umum membutuhkan suhu minimum 11°-25°C untuk perkecambahan, 22°-23 C untuk pembungaan, 20°-25°C untuk pembentukan biji,
dan suhu yang lebih panas dibutuhkan untuk semua pertumbuhan karena merupakan suhu yang sesuai bagi tanaman padi khususnya di daerah tropika. Suhu udara dan intensitas cahaya di lingkungan sekitar tanaman berkorelasi
positif dalam proses fotosintesis yang merupakan proses pemasakan oleh tanaman untuk pertumbuhan tanaman dan produksi buah atau biji (Aak, 1990).
Tanaman padi dapat hidup baik di daerah yang berhawa panas dan banyak mengandung uap air. Curah hujan yang baik rata-rata 200 mm per bulan atau lebih, dengan distribusi selama 4 bulan, curah hujan yang dikehendaki per tahun
sekitar 1500-2000 mm (Amirullah dan Andi, 2008).
b. Tanah
Kondisi tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman padi sangat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu posisi topografi yang berkaitan dengan kondisi hidrologi, porositas tanah yang rendah dan tingkat keasaman tanah yang
manusia (Suparyono, 1997). Tanaman padi dapat tumbuh dengan baik di daerah yang berhawa panas dan banyak mengandung uap air dengan curah hujan rata-rata 200 mm bulan lebih, dengan distribusi selama 4 bulan, curah hujan yang
dikehendaki sekitar 1500-2000 mm tahun-1 dengan ketinggian tempat berkisar antara 0-1500 m dpl dan tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman padi
adalah tanah sawah dengan kandungan fraksi pasir, debu dan lempung dengan perbandingan tertentu dan diperlukan air dalam jumlah yang cukup yang ketebalan lapisan atasnya sekitar 18-22 cm dengan pH 4-7 (Surowinoto, 1982).
2.4. Varietas Tanaman Padi
Penggunaan Varietas unggul merupakan salah satu teknologi yang
berperan penting dalam peningkatan kuantitas dan kualitas produk pertanian. Kontribusi nyata varietas unggul terhadap peningkatan produksi padi nasional antara lain tercermin dari pencapaian swasembada beras pada tahun 1984.
Varietas sebagai salah satu komponen produksi telah memberikan sumbangan sebesar 56% dalam peningkatan produksi yang pada dekade 1970-2000 mencapai
hampir tiga kali lipat (Fitri, 2009).
Pada umumnya produksi per Ha padi varietas unggul lebih tinggi dari pada varieta unggul nasional maupun lokal, karena mempunyai sifat-sifat pembawaan
yang lebih. Pada dasarnya varietas unggul Nasional hanya di anjurkan untuk di tanam pada tempat-tempat dataran tinggi kurang dari 500 meter di atas permukaan
Ada berbagai jenis sumber benih yang sering ditanam oleh petani yaitu varietas lokal dan sebahagian besar varietas unggul. Keberadaan varietas lokal saat ini kurang diperhitungkan karena memiliki penampilan populasi yang
beragam seperti bentuk, warna gabah, umur panen yang relatif lama, dan tinggi tanaman. Padahal, varietas lokal memiliki adaptasi kesesuaian yang tinggi
terhadap daerah tertentu. Penggunaan varietas lokal berkontribusi besar dalam mendukung pertanian organik salah satunya lebih efisien dalam hal pemupukan. Walaupun dari segi produksi padi varietas lokal masih rendah yaitu berkisar
antara 2-3 ton/ha dibandingkan dengan varietas unggul (Sidauruk dan Hartati, 2010).
Keunggulan varietas lokal yang tidak dimiliki oleh varietas unggul yaitu mempunyai sifat genetik yang tahan terhadap kondisi cekaman biotik berupa hama dan penyakit tanaman atau kondisi abiotik berupa kondisi cuaca yang tidak
menguntungkan (Daradjat, Susanto dan Suprihatno, 2003). Berkaitan dengan hal tersebut, varietas lokal perlu dipertahankan dan dilestarikan sebagai kekayaan dan
aset plasma nutfah daerah, sekaligus sumber keragaman genetik.
2.5. Amelioran Abu Janjang Sawit
Abu janjang kelapa sawit adalah abu yang berasal dari hasil pembakaran
tandan kosong kelapa sawit dan kemudian abu dari hasil pembakaran tersebut yang di ambil lalu jadikan sebagai amelioran ABJS. Abu janjang kelapa sawit bisa
berasal dari hasil limbah padat janjang kosong kelapa sawit yang telah mengalami pembakaran didalam incenerator di pabrik kelapa sawit dan bisa juga dengan melakukan pembakaran secara manual. Limbah janjang kosong merupakan
segar (TBS) pada pabrik Kelapa Sawit yang mencapai 21% dari TBS yang diolah (Surono, 2009).
Abu janjang kelapa sawit dapat digunakan sebagai salah satu amelioran di
tanah gambut karena mempunyai kandungan unsur hara yang lengkap baik makro maupun mikro, mampu meningkatkan pH tanah dan memiliki kejenuhan basa
yang tinggi dimana kandungan kationnya bisa mengusir senyawa beracun apabila ketersediaannya mencukupi. Abu janjang kelapa sawit memiliki kandungan 30-40 % K2O, 7 % P2O5, 9 %CaO, dan 3 % MgO. Selain itu juga mengandung unsur
hara mikro yaitu 1.200 ppmFe, 100 ppm Mn, 400 ppm Zn, dan 100 ppm Cu (Bangka, 2009). Hasil Penelitian (Chan dan Suwandi, 1985) menunjukkan bahwa abu janjang kelapa sawit ternyata dapat meningkatkan kapasitas tukar kation tanah, terutama setelah mengalami inkubasi selama satu bulan.
Menurut Sarief (1986) bahwa pertumbuhan dan produksi tanaman akan
mencapai optimum apabila faktor penunjang pertumbuhan dalam keadaan optimal, unsur-unsur yang dimaksud adalah nutrisi yang dibutuhkan tanaman
2.6. Lahan Gambut
Gambut terbentuk dari serasah organik yang terdekomposisi secara anaerobik dimana laju penambahan bahan organik (humifikasi) lebih tinggi
daripada laju dekomposisisnya. Akumulasi gambut umumnya akan membentuk lahan gambut pada lingkungan jenuh atau tergenang air, atau pada kondisi yang
menyebabkan aktivitas mikro organisme terhambat. Vegetasi pembentuk gambut umumnya sangat adaptif pada lingkungan anaerob atau tergenang seperti bakau (mangrove), rumput-rumput rawa, dan hutan air tawar. Di dataran rendah dan
daerah pantai, mula-mula terbentuk gambut topogen karena kondisi anerobik yang dipertahankan oleh tinggi permukaan air sungai, tetapi kemudian penumpukan
serasah tanaman yang semakin bertambah menghasilkan pembentukan hamparan gambut (Noor, 2001).
Lahan gambut apabila dibuka dan didrainase sebagai lahan budidaya,
maka proses dekomposisi bahan organik akan mengalami percepatan. Perbaikan drainase akan menyebabkan air keluar dari gambut, kemudian oksigen masuk ke
dalam bahan organik dan meningkatkan aktifitas mikroorganisme. Akibatnya terjadi dekomposisi bahan organik yang melepas CO2 ke udara dan gambut akan mengalami penyusutan (subsidence) (Agus and Subiksa, 2008).
Pemanfaatan lahan gambut diharapkan dapat menguntungkan secara ekonomi untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan di satu sisi tidak
merusak lahan gambut itu sendiri. Lahan gambut sendiri dikenal rapuh (fragile) sehingga memerlukan teknologi dan input yang tepat dengan dampak terhadap lahan gambut negatif yang minimal. Pengembangan lahan gambut dihadapkan
dalam pengelolaan lahan gambut dapat mengakibatkan degradasi lahan, penurunan produktivitas, dan hilangnya mata pencaharian petani (Noor, 2010).
Pengembangan pertanian pada lahan gambut harus mempertimbangkan
sifat tanah gambut. Menurut (Mawardi et al., 2001), secara umum sifat kimia tanah gambut didominasi oleh asam-asam organik yang merupakan suatu hasil
akumulasi sisa-sisa tanaman. Asam organik yang dihasilkan selama proses dekomposisi tersebut merupakan bahan yang bersifat toksik bagi tanaman, sehingga mengganggu proses metabolisme tanaman yang akan berakibat langsung
terhadap produktifitasnya. Sementara itu secara fisik tanah gambut bersifat lebih berpori dibandingkan tanah mineral sehingga hal ini akan mengakibatkan